• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN TANAMAN SERAI WANGI DI SAWAH LUNTO SUMATERA BARAT (Andropogon nardus Java de JONE)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN TANAMAN SERAI WANGI DI SAWAH LUNTO SUMATERA BARAT (Andropogon nardus Java de JONE)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN TANAMAN SERAI WANGI DI SAWAH

LUNTO SUMATERA BARAT (Andropogon nardus Java de

JONE)

Daswir dan Indra Kusuma

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

ABSTRAK

Serai wangi (Andropogon nardus L), merupakan salah satu tanaman atsiri. yang telah terkenal di Indonesia sejak masa-masa Perang Dunia II. Dari hasil penyulingan daunnya diperoleh minyak serai wangi. Di Indonesia minyak serai wangi dikenal juga dengan sereh, sedangkan dalam perdangangan internasional, minyak serai wangi Indonesia dikenal dengan nama “Java citronella oil”. Untuk di ekspor, minyak serai wangi harus memenuhi per-syaratan mutu yang telah ditetapkan dalam standar perdagangan. Pengembangan serai wangi di kota sawah lunto cukup layak diusahakan dengan tingkat usaha 10 – 20 ha dengan tingkat IRR 0,5576 dan NPV 12% /thn.

PENDAHULUAN

Minyak serai wangi diperoleh dari tanaman serai wangi yang me-ngandung senyawa sitronellal sekitar 32 - 45%, geraniol 10 - 12%, sitronellol 11 - 15%, geranil asetat 3 - 8%, sitronellal asetat 2 - 4% dan sedikit me-ngandung seskuiterpen serta senyawa lainnya (Masada, 1976). Komponen utama minyak serai wangi adalah sitronellal dan geraniol yang masing-masing mempunyai aroma yang khas dan melebihi keharuman minyak serai sendiri. Komponen-komponen tersebut diisolasi lalu diubah menjadi turunan-nya. Baik minyak, komponen utama atau turunannya banyak digunakan dalam industri kosmetika, parfum,

sabun dan farmasi. Kandungan sitro-nellal dan geraniol yang tinggi merupa-kan persyaratan ekspor. Minyak yang kurang memenuhi persyaratan ekspor, dijual di pasar dalam negri sebagai bahan baku industri sabun, pasta gigi dan obat-obatan.

Sebelum Perang dunia kedua, Indonesia merupakan negara peng-ekspor utama minyak serai wangi. Namun saat ini negara produsen utama adalah RRC. Hal ini disebabkan karena produksi minyak serai wangi Indonesia selalu menurun dan mutunya kalah dibanding China dan Taiwan. Pada hal permintaan cukup besar, karena kebu-tuhan pasar selalu meningkat 3 - 5% per tahun. Negara pengimpor minyak seria wangi Indonesia yaitu Singapura, Jepang, Australia, Meksiko, India, Taiwan, Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Jerman dan Spanyol (Dep. Perdagangan, 2002). Konsumsi minyak serai wangi dunia mencapai 2.000 – 2.500 ton dan baru terpenuhi 50 - 60% saja. China sebagai negara produsen utama hanya mampu memasok 600 - 800 ton per tahun. Sedangkan Indonesia baru dapat memenuhi 200 - 250 ton dari pemintaan minyak serai wangi per tahun (Paimin dan Yunianti, 2002).

(2)

Menurunnya volume ekspor minyak serai wangi Indonesia karena kurang tersedia bahan baku. Hal ini adalah karena rendahnya harga jual minyak ataupun daun segar, ditambah lagi dengan rendahnya produktifitas tanaman, sehingga petani menjadi malas mengelola tanaman mereka. Rendahnya harga jual minyak serai wangi Indonesia di pasaran interna-sional adalah karena petani umumnya menanam varitas lokal yang mutu minyak kurang memenuhi standar ekspor. Mutu minyak serai wangi lokal hanya mengandung sitronellal maksi-mal 27% dan total geraniol maksimaksi-mal 82%. Sedangkan standar mutu ekspor minyak serai wangi Indonesia adalah sitronellal minimal 35% dan total geraniol minimal 85%. Sebetulnya harga minyak serai wangi dipasaran internasional relatif stabil, berkisar antara 4 $ US sampai 8 $ US dengan rata-rata 6 $ US. Agar minyak serai wangi Indonesia yang di ekspor dapat bersaing dengan minyak negara lain, maka mutu yang tidak baik harus diperbaiki.

Sampai saat ini industri minyak atsiri termasuk minyak serai wangi menjadi turunannya berada di luar negeri. Sehingga Indonesia terpaksa mengimpor produk-produk tersebut untuk memenuhi kebutuhan industri farfum dan kosmetik dalam negeri dengan harga berlipat ganda dibanding-kan harga bahan bakunya. Akibatnya, nilai impor minyak atsiri Indonesia lebih tinggi dari nilai ekspor. Oleh karena itu usaha untuk mendirikan industri isolasi dan turunan minyak

atsiri di Indonesia sangat penting artinya, karena akan memberi nilai tambah dan, membuka kesempatan berusaha kerja serta me-ningkatkan teknologi.

PERKEMBANGAN TANAMAN SERAI WANGI

Tanaman serai wangi

(Andro-pogon nardus L) dan Cymbo(Andro-pogon nardus, termasuk keluarga

rumput-rumputan. Diduga asal dari semua tipe tanaman serai wangi ialah rumput ”mana” (Cymbopogon confertiflorus Stapt) yang tumbuh liar di Ceylon. Pada tahun 1890 jenis tanaman serai wangi dari spesies Andropogon nardus. L var genuinus Hack) mulai diper-kenalkan di Economic Garden di Bogor (BBPP Bogor, 1943). Pada saat ini dikenal dua jenis tanaman serai wangi yang dapat dibedakan berdasarkan sifat-sifat morfologi dan fisiologisnya. Masing-masing adalah : (1). Cymbopo-gon nardus Rendle atau

Andropogon nardus Ceylon de JONG,

yang dikenal sebaga tipe Mahapengiri. Tipe Maha pengiri banyak terdapat di Pulau Jawa sehingga dianggap tanaman asli Indonesia, seangkan tipe Lena Batu berasal dari Srilangka (Ketaren dan Djatmiko, 1978). Daerah penghasil minyak serai wangi Indonesia yaitu Sumatra Utara, Jawa Barat Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan daerah penghasil utama adalah Jawa Barat. Saat ini serai wangi sudah dikembangkan pula di daerah Sumatra selatan, Lampung, Bengkulu, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan

(3)

Timur, Nangroe Aceh Darusalam dan Sumatra Barat.

DUKUNGAN TEKNOLOGI Tanaman seria wangi merupakan salah satu tanaman penghasil atsiri yang cukup penting di Indonesia. Teknik budidaya merupakan salah satu faktor penentu bagi keberhasilan usaha tani, disamping faktor lingkungan juga skala usaha tani ikut menentukan kelanjutan usaha budidayanya.

Syarat tumbuh

Pertumbuhan tanaman serai-wangi dapat dipengaruhi oleh kesu-buran tanah, iklim dan tinggi tempat diatas permukaan laut. Tanaman serai wangi dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah baik didataran rendah maupun daratan tinggi sampai dengan keting-gian 1.200 m dpl, dengan ketingketing-gian tempat optimum 250 m dpl. Untuk pertumbuhan daun yang baik diper-lukan iklim yang lembab, sehingga pada musim kemarau pertumbuhannya menjadi agak lambat. Tanaman pelin-dung berpengaruh kurang baik ter-hadap produksi daun dan kadar minyaknya. Sebagai tanaman sela pada perkebunanan karet, tanaman ini hanya dapat ditanam sampai umur 5 tahun.

Secara umum serai wangi tum-buh baik di daerah dengan iklim A dan B, jenis tanah gembur sampai liat dengan pH 5,5 – 7,0. Di daerah dengan iklim D sampai E atau curah hujan rata-rata 1.000 – 1.500 mm/tahun dengan bulan kering 4 - 6 bulan, produksi daun menjadi turun tetapi rendemen dan mutu minyak meningkat (Zainal et al., 2004).

Bahan tanaman

Tanaman seraiwangi yang di-budidayakan rakyat terdiri atas 2 klon, yaitu jenis Maha pengiri dan Lena Batu. Maha Pengiri mempunyai batang yang berwarna merah keunguan, daunnya terkulai lemas, rumpun lebar dan rendah serta membutuhkan tanah yang subur. Lena Batu batangnya berwarna hijau, daun umumnya tegak dan kaku, rumpun lebih tinggi dan tegak serta dapat tumbuh pada keadaan tanah yang kurang subur yang tinggi, karena memiliki kadar total geraniol > 85% dan sitronellal > 35%. Tetapi akibat tercampur dengan sereh balon dan munding yang berasal dari tipe Lena Batu menghasilkan minyak dengan mutu yang rendah. Karena mutu minyak klon Lena Batu hanya mengandung 55 - 65% total geraniol dan sekitar 15% sitronellal (Rusli et al., 1986).

Departemen perindustrian telah menentukan syarat mutu minyak serai wangi sebagai pedoman bagi pemulian tanaman maupun pengembangan usaha budidayanya, dimana standar mutu minyak serai wangi sebagai berikut (Tabel 1). Untuk memecahkan masalah ini Balittro Bogor telah melakukan seleksi plasma nutfah serai wangi dari berbagai sentra produksi. Hasil seleksi didapatkan 4 klon yang memenuhi syarat, yakni G1, G2, G3 dan G113. Keempatnya berasal dari klon Maha Pengiri dan telah dilepas oleh Mentri Pertanian pada tahun 1992 sebagai klon unggul dengan nama serai wangi 1, serai wangi 2, serai wangi 3, dan serai wangi 4 (Tabel 1).

(4)

Tabel 2. Deskripsi Serai wangi Unggul

Uraian Seraiwangi 1 Seraiwangi 2 Seraiwangi 3 Seraiwangi 4

1.Rumpun Condong ke atas dan batang bulat meruncing

Condong ke atas dan batang bulat meruncing

Condong ke atas dan batang bulat meruncing

Condong ke atas dan batang bulat meruncing

2.Daun Agak lemas

merumbai, hijau permu-kaan kasar. Bentuk daun pita dengan ratio 44,5 Tepi daun rata agak tajam dan ujung meruncing. Warna pelepah hijau bercampur merah Agak lemas merumbai, hijau permukaan kasar. Bentuk daun pita dengan ratio 44,5 Tepi daun rata agak tajam dan ujung meruncing. Warna pelepah hijau bercampur merah Agak lemas merumbai, hijau permukaan kasar. Bentuk daun pita dengan ratio 44,5 Tepi daun rata agak tajam dan ujung meruncing. Warna pelepah hijau bercampur merah Agak lemas merumbai, hijau permukaan kasar. Bentuk daun pita dengan ratio 44,5 Tepi daun rata agak tajam dan ujung meruncing. Warna pelepah hijau bercampur merah

3.Jumlah anakan 36 36 25 38

4.Perbanyakan Vegetatif de-ngan anakan Vegetatif dengan anakan Vegetatif dengan anakan Vegetatif dengan anakan 5.Ketinggian lokasi 0-150 m dpl 0-600 m dpl 600-1200 m dpl 300-1200 m dpl 6.Produksi daun segar

46 ton/ha/thn 47 ton/ha/thn 48 ton/ha/thn 48 ton/ha/thn 7.Rendemen

minyak

1.02 % 1.01 % 1.01 % 1.02 %

8.Produksi minyak

472 kg/ha/thn 424 kg/ha/thn 464 kg/ha/thn 463 kg/ha/thn 9. Mutu minyak -Geraniol -Sitronellal -Bbt jenis -Indeks bias -Warna 89,97 % 39,55 % 0,880 1.465 Kuning pucat 88,44 % 39,33 % 0,887 1.465 Kuning pucat 88,82 % 39,32 % 0,878 1.463 Kuning pucat 88,11 % 39,32 % 0,878 1.463 Kuning pucat Sumber : Hobir, 2002

Tabel 1. Syarat-syarat mutu minyak serai wangi ekspor (SNI-Indonesia)

Karakteristik Mutu Standar mutu Indonesia (SIN)

Bobot jenis,25º/25ºC 0,850 – 0,892

Indeks bias, 25º C 1,454 – 1,473

Putaran optik (0o) – (-6º)

Kelarutan dalam alkohol 80 % Negatif

Kadar Sitronellal 35 %

Kadar Geraniol Total 85 %

Zat-zat asing : alkohol tambahan, lemak,

minyak pelikan, m. Terpentin dll Negatif

Rekomendasi: Bau

Titik nyala

Segar,khas minyak serai wangi 76º-84º

(5)

Bercocok Tanam Persiapan lahan

Bila lokasi yang akan ditanami serai wangi berupa hutan, tentunya harus dilakukan kegiatan pembukaan lahann atau Land clearing(LC) terlebih dahulu. Tetapi bila lahannya hanya berupa semak belukar cukup dibabat, dibakar dan langsung dibajak. Setelah pembukaan lahan dilakukan peng-ajiran lubang tanam.

Jarak tanam ditanah yang subur 100 x 100 cm, sedangkan di tanah yang kurang subur 75 x 75 cm. Ukuran lubang tanaman adalah 30 x 30 x 30 cm. Penanaman serai wangi dapat juga dilakukan dengan sisitem parit. Jarak parit, ukuran lebar dan dalam parit sama seperti sistem lubang. Pada lahan yang topografinya lereng, sebaiknya barisan lubang atau parit tanam melin-tang lereng atau searah kountour. Pena-naman serai wangi pada kemiringan lahan 25 - 30º dengan curah hujan 3.500 mm/th, sebaiknya menggunakan terasering dan pertanaman secara pagar. Dengan sistem ini jumlah tanah yang dihanyutkan hujan hanya 24,1 m²/ha/th, sehingga seraiwangi juga dapat berfungsi sebagai tanaman konservasi. Untuk jelasnya diperhati-kan Tabel 3.

Sebelum tanam, bila semak yang bekas dibabat dan dibakar tumbuh kembali, dapat disemprot dengan herbisida sampai basah. Konsertrasi atau perbandingan herbisida dengan air yang akan disemprotkan adalah 60 ml herbisida dicampur dengan 10 liter air.

Tabel 3. Jumlah tanah yang hanyutkan pada pertanaman serai wangi dengan kemiringan 25 - 30º. Sistem tanam diteras Tidak

(m²/ha/th) Memakai teras (m²/ha/th) Segi tiga 36,6 31,3 Pagar 30,1 24,1 Bujur sangkar 41,0 28,1 Sumber: Wahid dkk,1986. Penanaman

Seminggu setelah penyemprotan herbisida penanaman sudah dapat di-lakukan. Untuk menghindari penyiram-an setelah tpenyiram-anam sebaiknya penpenyiram-anampenyiram-an dilakukan tepat di awal atau diakhir musim hujan. Bibit yang ditanam pada musim hujan akan tumbuh dengan cepat.

Setelah lubang atau parit kembali ditutup dengan tanah, ditanamkan bibit 1 atau 2 batang bibit serai wangi per lubang. Bila ukuran batang bibit yang akan ditanam cukup besar, cukup ditanam 1 batang per lubang, tetapi bila kecil-kecil ditanam 2 batang per lubang. Penanaman dilakukan sampai sedikit diatas pangkal batang, lalu tanah disekitar bibit dipadatkan.

Pemeliharaan

Selain penyulaman, kegiatan pemeliharaan yang utama pada tanam-an serai wtanam-angi adalah penyitanam-angtanam-an, pengemburan, pembumbunan dan pe-mupukan. Peyemprotan pestisida ham-pir tidak pernah dilakukan, karena sampai saat ini belum ditemukan hama dan penyakit yang berbahaya menye-rang tanaman serai wangi.

(6)

Penyulaman

Bila ada bibit yang belum tumbuh atau mati dalam kurun waktu satu bulan Setelah tanam, dilakukan penyulaman. Penyulaman ini sangat penting untuk mempertahankan jumlah populasi dan produksi per luas areal pertanaman. Bibit yang digunakan untuk penyulaman dapat berasal dari anakan yang sudah ditanam dan hidup disampingnya atau dari rumpun induk yang sejenis.

Penyiangan

Bila semak atau rumput banyak yang tumbuh dekat rumpun seraiwangi Maka harus dilakukan penyiangan. Penyiangan pertama dilakukan 1 bulan setelah tanam selanjutnya sekali tiga bulan atau 4 kali dalam setahun atau tergantung pertumbuhan gulma. Semak atau rumput bekas siangan dapat diletakan di rumpun serai wangi. Bila ada daun serai wangi yang sudah tua dan kering juga harus disiangi atau dibuang. Kalau dibiarkan daun kering dan mati ini akan dapat menganggu pertumbuhan tanaman serai wangi. Disamping itu penyiangan atau pem-babatan semak diantara tanaman serai wangi juga perlu dilakukan. Pekerjaan ini biasanya hanya dilakukan pada tahun pertama setelah tanam. Atau sebelum daun tanaman seraiwangi saling bertemu dan menutup tanah. Kegiatan pembabatan semak ini biasanya dilakukan sekali 4 bulan atau 3 kali dalam setahun.

Pengemburan dan pembumbunan

Pengngemburan sekitar rumpun dilakukan pertama kali pada saat

tanaman berumur 1 bulan setelah tanam. Pengemburan kedua adalah setelah panen pertama. Pengngemburan dilakukan dengan mencangkul tanah sekitar rumpun secara melingkar. Lalu tanahnya dibumbunkan ke rumpun seraiwangi.

Pemupukan

Untuk menjaga kesuburan tanah dan kestabilan produksi. Tanaman serai wangi perlu dipupuk. Pemupukan tidak berpengaruh terhadap kadar maupun susunan minyak serai wangi. Tetapi berpengaruh pada produksi daun dan banyaknya minyak atsiri yang dihasilkan per hektar (Rusli et al., 1985).

Setelah bibit mengeluarkan daun. atau satu bulan setelah tanam, beri pupuk Urea sebanyak 25 gram atau satu sendok makan per rumpun. Pupuk diberikan dengan cara melingkari rumpun sejarak 25 cm atau satu jeng-kal. Perlakuan pemupukan dilaksana-kan bersamaan waktunya dengan pengemburan. Dosis pupuk yang di-pakai tergantung dari kondisi tanah baik sifat fisik maupun kesuburannya Di Bogor pemupukan dilakukan dengan pupuk NPK (37 ; 65 ; 65) dengan dosis 150 - 200 kg/ha/th. Di Lembang (Bandung) pemupukan cukup dengan 70 kg Urea dan 50 kg KCl/ha/th (Risfaheri, 1990).

Paling tidak tanaman seraiwangi diberi pupuk kandang atau kompos. Dosis pupuk kandang yang diberikan adalah 2 kg dan kompos 0,5 kg per rumpun sekali 6 bulan. Penanaman pada tanah yang kelewat asam sebaik-nya juga diberikan kapur sebasebaik-nyak 0,5

(7)

kg per rumpun sekali 6 bulan atau 1 kg per rumpun untuk pemberian sekali setahun. Akhir-akhir ini pembeli luar negeri, terutama Amerika Serikat lebih suka membeli minyak atsiri dari pertanaman yang dipelihara secara organik atau tampa menggunakan pupuk dan pestisida kimia.

Panen

Panen pertama dapat dilakukan pada saat tanaman serai wangi sudah berumur 5 - 6 bulan setelah tanam. Panen dilakukan dengan jalan memo-tong daun serai wangi pada 5 cm diatas ligula (batas pelepah dengan helaian daun) dari daun paling bawah yang belum mati atau kering. Panen selanjutnya dapat dilakukan setiap 3 bulan pada musim hujan dan setiap 4 bulan pada musim kemarau.

Bila petani memiliki luasan per-tanaman seluas 1 hektar, dengan jarak tanam 1 x 1 m atau jumlah populasi 10.000 rumpun seraiwangi per hektar, maka setiap petani cukup memanen 100 – 150 rumpun per hari. Dengan demikian, bila seluruh serai wangi dalam satu hektar sudah selesai di-panen, maka yang 100 – 150 rumpun pertama panen sudah bisa dipanen kembali. Artinya, bila panen sudah dimulai, maka setiap harinya petani panen terus saja.

Produksi kebun serai wangi petani sejak dari panen 1 sampai ke 3 meningkat, tetapi panen berikutnya sampai panen ke 7 produksi turun hampir 50%. Terjadinya penurunan produksi daun segar dan minyak se-telah tahun ketiga adalah karena dengan meningkatnya umur rumpun

tumbuhnya makin ke atas, sehingga akar baru yang tumbuh tidak dapat mencapai tanah yang menyediakan hara. Oleh karena itu untuk mening-katkan produksi daunnya diperlukan tindakan budidaya terutama pembum-bunan sekitar rumpun (Mansur, 1990). Untuk tanah yang subur dan tanaman terpelihara dengan baik, hasil daun segar berkisar 50 – 70 ton/ha/th. Sedangkan untuk tanaman yang tidak terpelihara dengan baik, Produksinya hanya antara 15 - 20 ton daun segar/ha/ th. (Rusli at al., 1990). Kusuma (1996) menyatakan bahwa dari beberapa hasil penelitian dan uji coba pengembangan serai wangi, produksi daun basah pada saat panen 1 atau 6 bulan setelah tanam hanya 0,25 kg /rumpun dan panen ke II (9 bulan setelah tanam) hanya 0,75 kg/rumpun.

Pasca panen

Jumlah dan mutu serai wangi yang dihasilkan selain ditentukan oleh jenis tanaman kondisi iklim dan tanah, serta mutu daun waktu panen, juga ditentukan oleh cara penanganan daun setelah panen dan penyulingan. Penanganan daun sebelum disuling yang kurang tepat dapat menurunkan produksi dan mutu minyak. Daun serai wangi yang akan disuling tidak perlu dipotong-potong pendek. Tetapi sebaiknya daun serai wangi tersebut dijemur selama 3 - 4 jam atau disimpan di tempat teduh 3 - 4 hari. Sebetulnya mutu minyak yang terbaik diperoleh dari penyulingan daun segar. Penje-muran dan pelayuan daun serai wangi sebelum disuling pada batas tertentu tidak berpengaruh terhadap rendemen

(8)

minyak. Malahan penjemuran dan pelayuan yang terlalu lama dapat menurunkan kadar sitronellal dan total geraniol dalam minyak. Tetapi dengan penjemuran atau pelayuan jumlah bahan yang dapat disuling setiap kali penyulingan bertambah besar, sehingga penyulingan bahan dalam keadaan kering lebih efiisien.

Apabila menggunakan penyu-lingan secara kukus, perbandingan garis tengah dan tinggi ketel penyuling efektif maksimal 1 : 1,5. Kepadatan daun dalam ketel penyulingan yaitu 250 - 300 g/l dengan kecepatan penyu-lingan 0,16 kg uap/jam/kg daun. Lama penyulingan untuk ketel penyuling kapasitas 1 ton daun adalah 5 jam dengan kecepatan penyulingan 120 kg uap/jam. Rendemen minyak yang di-hasilkan sekitar 0,7 – 0,9%. Sebaiknya ketel penyulingan diberi isolasi untulk mencegah kehilangan panas.

PENGEMBANGAN SERAI WANGI DI SAWAH LUNTO

SUMATERA BARAT Untuk lebih berhasil dalam kegiatan pengembangan tanaman serai wangi sebaiknya di ikut sertakan tenaga teknis/ pengawalan teknologi terutama Balai-Balai Pengkajian/BPTP di daerah pengembangan, baik skala usaha tani maupun effisiensi alat pasca panen seperti pada pengembangan di Kota Sawah Lunto Sumatra Barat.

Kelayakan Usahatani

Usaha perkebunan dan penyu-lingan seraiwangi sebetulnya cukup bagus dan dapat menambah pendapat-an petpendapat-ani. Tetapi skala usaha optimum

harus dipertimbangkan dengan benar dalam pengembangan tanaman ini. Luasan usaha tani yang optimum untuk seorang petani adalah satu hektar kebun monokultur serai wangi. Sedangkan kelayakan usaha penyulingan adalah menggunakan alat suling yang mampu menampung 1 ton bahan baku untuk sekali penyulingan.

Untuk mendukung operasional alat suling ini secara effisien paling tidak dibutuhkan kebun serai wangi seluas 10 - 20 hektar yang terawat dengan baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa skala usaha optimum pengembangan tanaman serai wangi untuk satu unit penyulingan kapasitas 1 ton bahan baku 10 - 20 hektar kebun. Disamping itu untuk menghindari biaya tarnspor bahan baku yang tinggi, maka kebun seluas 10 - 20 hektar tersebut harus terkonsentrasi dalam satu tempat/kawasan yang tidak terlalu jauh dari tempat penyulingan. Bila pekebun serai wangi memanen hanya 100 rum-pun sehari dan produksi setiap rumrum-pun minimal 3 kg, maka setiap hari petani akan menghasilkan 300 kg daun seria wangi. Dengan harga jual daun serai wangi sebesar Rp 100,-/kg, maka setiap hari petani mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp. 30.000,-. Untuk mendapatkan tambahan pengha-silan sebesar ini, petani hanya membu-tuhkan waktu kerja untuk panen serai wanginya sendiri 3 jam (pukul 7ºº - 10ºº pagi). Artinya pekerjaan rutin lainnya seperti ke sawah, ladang dan pemeliharaan ternak masih dapat dilakukan petani seraiwangi.

(9)

Prospek usaha penyulingan serai wangi juga cukup bagus. Biaya pro-duksi untuk membeli dan mengolah 1 ton bahan baku hanya Rp. 200.000,-. Setelah disuling sekurang-kurangnya dihasilkan 7 - 8 kg minyak serai wangi. Pada tingkat harga jual minyak Rp. 30.000,- saja penyuling sudah mendapat untung sebesar 20%. Oleh karena itu, apabila alat suling kapasitas 1 ton bahan baku yang berada di areal pengembangan seluas 10 - 20 hektar kebun serai wangi (Gambar 1), yang dimiliki oleh kelompok petani itu sendiri, maka keuntungan yang di-peroleh dari usaha penyulingan dapat menjadi tambahan pendapatan petani pula. Untuk melihat hasil yang telah dilakukan oleh petani serai wangi di Nagari Kajai Kec. Lembah berangin Kota sawahlunto tahun 2005 sebagai berikut : NPV 12% per tahun 11.823.408,13 dimana petani masih menerima keuntungan sebanyak Rp. 11.823.408,-. IRR = 0,5576, di-mana pada harga daun seraiwangi Rp. 125,-/kg petani mampu membayar biaya bunga sebesar 55,76% per tahun.

Gambar 1. Lahan tanaman serai wangi di Desa Kajai Kota Sawah Lunto Sumbar

Analisis ekonomi dari pengembang-an seraiwpengembang-angi skala komersial. Analisa produksi bahan baku daun seraiwangi

Pertama adalah penyerapan tena-ga kerja pada areal 1 hektar selama 7 tahun usahatani yaitu 2.753 orang, dan kebutuhan tenaga kerja per tahun adalah 2.753/7 = 393,2 orang (Tabel 4, 5 dan 6). Penyerapan tenaga kerja per tahun seluas 20 hektar : 393,2 x 20 = 7.864 HK/tahun dengan nilai upah harian Rp. 25.000,-/HK ± Rp. 196,6 juta/tahun. Untuk jangka waktu 7 tahun diproyeksikan beredar sebanyak Rp. 196,6 juta x 7 tahun = Rp. 1 376,2 juta.

Tabel 4. Perkiraan produksi daun seraiwangi pada harga Rp.125,0/kg Tahun ke Produksi daun ton/ha/thn Harga daun/ kg Nilai/ Rp 1 15,00 125 1 875 000,- 2 67,50 125 8 437 500,- 3 170,00 125 21 250 000,- 4 190,00 125 23 750 000,- 5 150,00 125 18 750 000,- 6 105,00 125 13 125 000,- 7 90,00 125 11 250 000,- Jumlah 787,50 98 437 500,- Rata-rata 112,5 ton/tahun 14 062 500,- Sumber: Zainal dkk,2005.

(10)

Analisa produksi minyak seraiwangi

Produksi daun seriawangi/tahun/ hektar rata-rata adalah 112,5 ton, dengan rendemen hasil minyak serai wangi 0,08% diperoleh minyak yaitu 0,08 x 112,5 ton daun = 900 kg mi-nyak/tahun, jika harga minyak Rp. 30.000,-/kg maka diperoleh pendapatan = 900 kg x Rp 30.000,- = Rp. 27.000.000,-/tahun Kegiatan selama jangka waktu 7 tahun adalah 7 x Rp 36 juta = Rp 189 juta.

Apabila berjalan kontinyu harga minyak stabil Rp. 30.000,-/kg diperoleh pendapatan selama setahun adalah 20 ha x Rp 189 juta selama 7 kegiatan diperoleh pendapatan = Rp. 3.780 juta.

KESIMPULAN

Tanaman seraiwangi cukup layak dan memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan pada lahan-lahan mar-ginal dengan tingkat usaha skala 10 - 20 hektar, IRR 0,5576 serta NPV 12%/tahun seperti yang telah dilakukan pada daerah kritis di Kota Sawah Lunto, Sumatra Barat.

Tabel 5. Perkiraan biaya produksi daun seraiwangi/ha Tahun ke Tenaga Kerja (HK) Jumlahupah (Rp)

Bahan Jumlah Biaya 1 201 5.025.000,- 6.500.000,- 11.525.000,- 2 296 7.400.000,- 4.800.000,- 12.200.000,- 3 544 13.600.000,- - 13.600.000,- 4 608 15.200.000,- - 15.200.000,- 5 480 12.000.000,- - 12.000.000,- 6 336 8.400.000,- - 8.400.000,- 7 288 7.200.000,- - 7.200.000,- Jumlah 2.753 68.875.000,- 11.300.000,- 80.125.000,- Sumber : Zainal dkk., 2005

Tabel 6. Analisa biaya seraiwangi per hektar Tahun Penerimaan (Rp. 000,-) Biaya (Rp. 000,-) Keuntungan (Rp. 000,-) 1 1.875,- 11.525,- - 9.650,- 2 8.437,5 12.200,- - 3.762,- 3 21.250,- 13.600,- 7.650,- 4 23.750,- 15.200,- 8.550,- 5 18.750,- 12.000,- 6.750,- 6 13.125,- 8.400,- 4.725,- 7 11.250,- 7.200,- 4.050,- Sumber : Zainal 2005

(11)

DAFTAR PUSTAKA

BBPP Bogor, 1943. The economic garden at Bogor. Guide and outline of important Rops. Indonesia. Page 27-28

Dep Perindag, 2002. Data statistik eks-por/impot komoditi lain-lain (esential oil). Jakarta

Hobir, 2002. Seraiwangi unggulan Balittro. Majalah Trubus. No 394. PT. Trubus Swadaya Jakarta: hal 69.

Ketaren, S., 1985. Pengantar Teknologi minyak atsiri. PN. Balai Pustaka akarta 427 p.

Kusuma, I., 1996. Pengembangan pertanian terpadu berwawasan ling-kungan disekitar Danau Singkarak. Proposal kerjasama penelitian dan pengembangan antara Balittro dengan PT. Gebu Niaga Nusantara. PT.GNN. Jakarta; 35 hal. (unpublished).

Mansyur, M., 1990. Mutu dan produksi minyak klonunggul T – ANG 1,2,3 dan 113. Prosising Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembang-an TPengembang-anamPengembang-an Industri, Buku VII; Tanaman Atsiri, Seri Pengembang-an No. 13. Pusat PenelitiPengembang-an dPengembang-an Pengembangan Tanaman Industri. Bogor : 1062 – 1067.

Masada, Y., 1976. Analysis of essential oils by chromatography and mass spectrumetri. A halted Press Book, John Wiley & Sons, Inc, New York.

Paimin, F.R. dan I. Yunianti, 2002. Pasar ekspor tunggu serai wangi. Majalah Trubus No. 394. PT. Trubus Swadaya. Jakarta : 67 – 68 Risfaheri, 1990. Pengaruh penjemuran

dan pelayauan daun serai wangi terhadap rendemen dan mutu minyaknya. Pembr. Littri vol. XV No. 3 Puslitbangtri. Bogor : 124 – 128.

Rusli, S, N. Nurdjanah, Soediarto, D. Sitepu, Ardi, S dan D.T. Sitorus. 1985. Penelitian dan pengembang-an minyak atsiri Indonesia; Hasil pertemuan konsultasi pengembang-an tpengembang-anampengembang-an minyak atsiri. Edisi khusus penelitian Tanaman Rem-pah dan Obat No. 2. Balai Pene-litian Tanaman rempah dan Obat. Bogor; hal 10 – 14

Wahid, P., M.P. Laksamanahardja, D. Mulyono dan S. Rusli, 1986. Masa-lah pembudidayaan tanaman nilam, seraiwangi dan cemgkeh. Dalam Proceedings Diskusi Minyak Atsiri V, 3 – 4 Maret 19986. Kerjasama BBIHP dan Balittro. Bogor.

Zainal, M., Daswir, Indra, Ramadhan, Idris, David, A Yulius F., 2003. Laporan akhir Pengembangan tanaman perkebunan berwawasan konservasi di Sawah Lunto. Kerja-sama Pemko Sawah Lunto-Puslitbun (Unpublish).

Referensi

Dokumen terkait

Metode alkali fusion yaitu mereaksikan pasir hasil preparasi dengan KOH pada suhu 700°C selama 3 jam dengan perbandingan massa KOH: massa pasir zirkon alam

Proses level 0 (Gambar 2) ini menjelaskan alur keseluruhan proses yang terjadi pada aplikasi untuk sistem Kamus Bahasa Indonesia ke Bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa

Metode definitif untuk mendiagnosis sifilis dilakukan dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap terhadap eksudat dari chancre pada sifilis primer dan lesi mukokutis

Reading Questioning and Answering (RQA) dipadu Think Pair Share (TPS) berpotensi dalam memberdayakan keterampilan metakognitif siswa sebesar 17,72% lebih tinggi

pengguna bahasa non-Sunda 7 .Hal ini tidak hanya berdampak pada penggunaan bahasanyamenjadi simpel, populer dan dipenuhi serapan 8 ,tetapi juga membuat literatur

Berdasarkan kedalaman perairan tersebut, maka lokasi Perairan di Bangsring yang dapat dijadikan alternatif penempatan fish apartment adalah di perairan depan pantai bagian

Program yang sedang dijalankan dari satu atau lebih chase, satu atau lebih scene ditambah tampilan manual dari pengaturan fader dan scanner bisa membentuk suatu tata lighting yang

kode programyang ditulis dalam Visual Basic digunakan untuk menangani event. dari pemakai atau dari