• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah, Kekuasaan, dan Onghokham

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sejarah, Kekuasaan, dan Onghokham"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Aria W. Yudhistira

Pengantar diskusi buku:

Sang Guru dan Secangkir Kopi:

Sejarawan Onghokham dan Sebuah Dunia Baru Bernama Indonesia

karya Andi Achdian, Kekal Press, 2011

di rumah Dolorosa Sinaga, Pinang Ranti, Jakarta Timur, Minggu 19 Juni 2011.

Sejarah, Kekuasaan, dan Onghokham

Sejarawan Onghokham pernah mengatakan, kalau dirinya seperti kehilangan gairah untuk menulis soal kekuasaan begitu rezim Orde Baru tumbang. “Saya sekarang seperti tidak tahu lagi menulis apa?” katanya kepada sejarawan Andi Achdian. Onghokham menilai Orde Baru telah memberinya inspirasi yang begitu luas karena seperti karikatur kolonialisme.

The Inscrutable and the Paranoid: An Investigation into the Sources of the Brotodiningrat Affair adalah karya Onghokham paling monumental yang menggambarkan karakter

pemerintahan kolonial yang paranoid. Menurut Onghokham, paranoidnya pemerintah Hindia Belanda sama dengan paranoidnya pemerintahan Suharto yang rajin memata-matai rakyatnya, lalu membuat intrik dan rekayasa sebagai alasan bertindak keras atas nama stabilitas dan keamanan.

Namun kiranya dia masih hidup, Onghokham akan kembali tertantang untuk menulis lagi soal kekuasaan dan jalinan yang melingkarinya. Ternyata, 13 tahun

pascalengsernya Suharto sekaligus menandakan periode pemerintahan yang

dinamakan Orde Reformasi, bangsa Indonesia masih menyimpan kerinduan terhadap sosok Suharto dan pemerintahannya. Terlepas dari metodologi survei yang dilakukan oleh Indo Barometer, hasil survei tersebut menunjukkan bangsa ini seolah-olah

melupakan pengalaman hidup di zaman otoritarianisme Orde Baru dan menjadikannya sebagai zaman gilang-gemilang Indonesia.

Pada periode kekuasaan Sukarno dan Suharto, kekuasaan dapat dikatakan lebih bersifat individual melampaui status legal-formal yang menempel pada sosok keduanya.

Keduanya memiliki apa yang dikatakan Ben Anderson tentang kekuasaan di Jawa, yakni kharisma. Dengan demikian kekuasaan menjadi begitu personal, apa yang menyinggung pribadi presiden dianggap sebagai persoalan negara yang bisa mengganggu stabilitas dan keamanan negara.

Andi Achdian dalam bukunya Sang Guru dan Secangkir Kopi (Kekal Press: 2011) mengungkapkan isi surat Onghokham kepada Daniel Lev tentang penyingkiran Ruslan Abdulgani dari lingkaran kekuasaan Sukarno pada era 1960an. Penyingkiran tersebut

(2)

terutama lantaran ketersinggungan Sukarno atas sepak terjang Abdulgani yang dianggap terlalu mendominasi. Selain juga ucapan istri Abdulgani tentang kehadiran Hartini, istri ketiga Sukarno, saat penganugerahan gelar Doktor Hanoris Causa, “What is that whore doing here?” yang ternyata tidak hanya didengar telinga Abdulgani.

Dalam otobiografinya, Suharto banyak mengungkapkan “sikap kenegaraannya” yang berlandaskan pada persoalan pribadi. Misalnya dalam menanggapi kritik mahasiswa dan aktivis antikorupsi pada awal 1972 soal pembangunan TMII yang direncanakan Ny. Tien Suharto. Suharto menanggapi kritik tersebut dengan reaksi yang keras dan

menyatakan tidak ragu untuk melakukan tindakan tegas terhadap aksi-aksi yang dianggapnya mengganggu stabilitas nasional. “Saya tahu bahwa ada kelompok tertentu yang ingin menjadikan proyek yang kami cita-citakan itu sebagai satu issue politik. Mereka mencari kesempatan untuk bisa mengganggu kestabilan nasional...Kalau mereka tidak mengerti akan kalimat ‘tidak akan saya biarkan’, terus terang saja, akan saya tindak” (Suharto, 1989: 315).

Dalam kasus lain, Suharto sampai harus mengadakan jumpa pers khusus di hadapan seratus wartawan dalam dan luar negeri untuk menanggapi isi majalah gosip Pop edisi Oktober 1974 yang memuat artikel “Teka-teki Sekitar Garis Silsilah Soeharto”. Artikel tersebut menyebutkan Suharto sebagai anak haram, bukan sebagai anak Kartorejo, seorang petugas desa pengatur air sebagaimana narasi resmi seperti ditulis O.G. Roeder

The Smiling General. Jumpa pers tersebut dilakukan di Bina Graha dan didampingi

sejumlah pejabat negara, Jaksa Agung, Kepala Bakin, Menteri Penerangan, dan Menteri Sekretaris Negara. Presiden menyatakan artikel tersebut bukan saja merugikan pribadi dan keluarga, melainkan kehormatan negara. Sebagai kepala negara, katanya, tidak bisa sembarangan menjadi obyek dugaan, teka-teki, yang bisa merusak nama baik dan wibawa. Ini karena posisi dan tanggung jawabnya sebagai kepala negara. Artikel tersebut, kata dia, “tidak bisa kita nilai sebagai suatu masalah yang kecil” (Tempo, 15 November 1974).

Pasca-Orde Baru, kita tidak lagi dapat menyaksikan praktik kekuasaan seperti yang dilakukan Sukarno dan Suharto. Struktur kekuasaan terpecah bukan lagi pada personal presiden, tetapi menyebar ke lembaga-lembaga negara lain: DPR, DPD, BPK, MK, dan MA. Mahkamah Konstitusi bahkan bisa membatalkan undang-undang yang telah disetujui presiden dan DPR. Demikian pula DPR yang memiliki kekuasaan, seperti kata Bambang Kesowo (Kompas, 19 Januari 2011), jauh lebih besar dibandingkan presiden. DPR bisa melakukan pemakzulan terhadap presiden, sedangkan presiden tidak dapat membubarkan parlemen. Kekuasaan presiden pasca-Orde Baru terbatas hanya pada status legal-formal, bukan lagi berdasarkan kharisma orang per orang.

(3)

Saya lahir dan besar ketika Orde Baru telah berhasil memapankan kekuasaannya. Guru-guru saya di SMP dan SMA bahkan tidak berani melirik apalagi menunjuk-nunjuk foto Suharto yang terpampang di dinding ruang kelas. Saat ini, jangankan menunjuk-nunjuk, memasang gambar presiden di pantat seekor kerbau pun bisa leluasa dilakukan atas nama demokrasi. Begitu juga memarodikan lingkaran kepresidenan sebagai acara di televisi dapat terlaksana atas nama kebebasan. Lalu pertanyaannya, di manakah kekuasaan? Jika lembaga kepresidenan sudah begitu habis-habisan ditelanjangi dan mendapat cemoohan yang sarkastik, kekuasaan kepresidenan tidak lagi menjadi objek menarik untuk dikritik.

Lantas apakah sekarang kita tidak dapat mengkritik kekuasaan? Saya berani mengatakan bisa, dengan melebarkan cakrawala mengenai kekuasaan tidak lagi terbatas pada status legal-formal kepresidenan. Kekuasaan menyebar bukan hanya pada DPR, DPD, MK, BPK, atau MA. Jika pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, kemudian berlanjut pada masa Sukarno dan Suharto, kharisma memainkan peran penting dalam mempertahankan kekuasaan, sekarang kharisma telah berganti menjadi kekuatan kapital sebagai unsur penting dalam kekuasaan. Sering kita lihat perebutan kekuasaan bupati, walikota, ketua partai, bahkan ormas yang menggunakan kekuatan uang.

Unsur penting lain di dalam kekuasaan selain uang adalah media massa. Andi Achdian dalam buku ini menyebutkan media massa bisa memberikan pengetahuan kepada publik, tetapi di sisi lain mampu menyebarkan kepanikan dan membakar kakacauan dalam masyarakat (hlm. 136). Dari sini, timbul pertanyaan siapa yang lebih berkuasa antara SBY, Surya Paloh, dan Aburizal Bakrie? SBY adalah presiden yang memiliki kekuasaan secara legal-formal. Sementara Surya Paloh dan Aburizal Bakrie adalah pengusaha pemilik televisi berpengaruh dalam soal berita sekaligus seorang politisi. Surya Paloh adalah pemilik Metro TV yang vokal terhadap pemerintah yang juga menjabat Ketua Umum Nasional Demokrat setelah kalah dari Aburizal Bakrie merebut jabatan Ketua Umum Partai Golkar. Sementara Aburizal Bakrie adalah pemilik TVOne yang juga Ketua Umum Partai Golkar.

Perkawinan antara uang dan media massa sangat penting dalam perebutan kekuasaan di Indonesia saat ini. Politik pencitraan bisa berjalan efektif melalui media massa, terutama televisi dengan daya jangkaunya yang bisa menembus hingga ke pelosok mengalahkan koran atau internet. Di Metro TV kita bisa menyaksikan Surya Paloh berpidato panjang lebar tanpa ada jeda. Melalui televisi pula tidak perlu otak yang pintar untuk memahami berbagai teks ketimbang membacanya melalui media cetak dan internet. Fakta dan gosip hampir tidak bisa dibedakan.

Ketika hasil survei Indo Barometer menunjukkan mayoritas publik menilai kondisi saat Orde Baru lebih baik dari saat ini, dan Suharto dipandang lebih berhasil daripada presiden-presiden lainnya, sayangnya Indo Barometer tidak memaparkan bagaimana

(4)

publik menerima informasi mengenai Orde Baru dan periode pemerintahan lainnya. Jika ini menjadi salah satu parameter dalam menghitung survei, alhasil kita dapat memahami bagaimana “kerinduan” terhadap Suharto itu bisa menghinggapi publik. Surya Paloh dan Aburizal Bakrie adalah dua pengusaha dan merintis karir politiknya di Golkar pada masa Orde Baru. Melalui televisi, informasi tentang kebaikan Orde Baru bisa tersosialisasikan dengan baik dan diterima tanpa sadar oleh masyarakat. Untuk menciptakan suasana “kerinduan” tersebut tidak perlu dengan berteriak mengatakan Suharto dan Orde Baru berhasil dan lebih baik, tetapi cukup dengan mengatakan periode-periode pemerintahan di luar Orde Baru lebih buruk. Itu yang disampaikan melalui televisi setiap hari dan tanpa sadar kita mengunyahnya bulat-bulat, tanpa suatu kritik bahwa ini bagian dari pertarungan kekuasaan.

Onghokham sangat memperhatikan desas-desus dan gosip untuk menganalisis manuver dan aksi-aksi politik, terutama pada peristiwa 1965. Desas-desus dan gosip itu telah menyiapkan suasana yang mencekam di tengah masyarakat. Secara psikologis, desas-desus tersebut telah menimbulkan ketakutan dan kecemasan publik, seperti kata Iwan Simatupang: “Kapan kiranya PKI akan melakukan kudeta?”

Jika pada paruh pertama periode 1960an desas-desus dan gosip tersebut menyebar melalui koran, radio, orasi di rapat terbuka, atau pengajian di masjid-masjid dan kemudian berujung pada terjadinya peristiwa pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat dan pembantaian ratusan ribu simpatisan dan anggota PKI. Kini, desas-desus dan gosip menyebar melalui televisi, situs berita online, situs jejaring pertemanan Facebook atau Twitter, SMS, serta Blackberry Massenger.

Melalui televisi, pengamat politik dan politisi masuk ke dalam ruang-ruang publik di dinding rumah-rumah penduduk dan kantor membahas berbagai gosip dan desas-desus tersebut. Ketika Presiden SBY mengadakan jumpa pers mengomentari SMS Nazaruddin dan tuduhan politisi Permadi soal Partai Demokrat memiliki simpanan Rp. 42 triliun, pengamat politik dan politisi antipemerintah mengkritik presiden berlebihan dan mementingkan politik citra. Dalam logika yang sama dengan tuduhan terhadap SBY, kita bisa mengatakan hal yang serupa kepada para pengkritik SBY. Bukankah citra itu

penting bagi politisi, bukan hanya pada presiden berkuasa tetapi juga bagi para pengkritiknya untuk membangun citra kritis.

Akankah desas-desus dan gosip yang berseliweran di ruang publik kita saat ini bisa berujung pada peristiwa yang menggenaskan seperti terjadi pada 1965? Atau

setidaknya terjadi penggulingan kekuasaan SBY yang melibatkan massa seperti pada akhir kekuasaan Sukarno dan Suharto? Saya menilai ini hanya impian para elite politik, politisi, dan segelintir pengamat yang rajin tampil di televisi.

(5)

Mengikuti konsepsi Onghokham mengenai kekuasaan, terutama pada masyarakat Jawa, yakni ada zaman edan atau kesusahan (kalabendu) dan zaman keemasan (krtyuga). Zaman kesusahan adalah bentuk kesadaran kekinian, dan zaman emas adalah harapan-harapan masa depan atas situasi masa kini. Jadi kesadaran kesejarahan menegaskan sifat tidak pernah puas yang selalu muncul terhadap situasi kehidupan kekinian pada masyarakat Jawa (hlm. 85).

Onghokham menyebut para satria dan pangeran sebagai orang-orang yang mampu membawa sifat tidak puas itu menjadi kekuatan politik yang mengancam kekuasaan yang ada. Pertanyaannya: adakah para satria dan pangeran itu—yang kini

bermetamorfosis menjadi politisi cum pengusaha—yang dalam konsepsi kekuasaan Jawa harus memiliki suatu kharisma?

Atau seperti kata Onghokham dalam tulisannya tentang jago (tukang pukul), yang ada hanyalah para jago yang dikendalikan oleh para bangsawan—satria dan pangeran— untuk merebut kekuasaan raja, dan kemudian berharap mendapatkan kedudukan sebagai penasihat raja. Para jago ini tampaknya bisa kita lihat dalam politik

kontemporer saat ini sebagai pengamat politik dan para intelektual yang rajin tampil dengan genit mengkritisi pemerintahan setiap saat di televisi.

Akhir kata saya ingin mengatakan, buku ini mengajak kita untuk berdialog dengan sejarah. Dan setiap zaman memiliki semangatnya (zeitgeist) sendiri. Pelajaran sejarah seperti yang tampil dalam percakapan sambil minum kopi antara Onghokham dan Andi Achdian mengajak kita untuk mengevaluasi kekinian dan terutama citra kemanusiaan kita berhubungan dengan dunia sekitar.

Sejarah, seperti kata Onghokham, adalah cerita tentang orang, bukan struktur, institusi, atau sekadar peristiwa. Kesadaran bahwa sejarah adalah manusia seharusnya bukan saja mendorong setiap generasi untuk menulis dan menafsirkan sejarahnya sendiri, melainkan ada kesadaran aktif setiap manusia bahwa dirinya adalah bagian dari sejarah di masa depan. (*)

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan dalam penelitian ini yang pertama adalah bagaimana potret kekuasaan korup masa orde baru yang ada dalam novel Rangda karya Sunaryono Basuki KS,

presiden memiliki kekuasaan tertinggi sehingga tercermini pemerintahan yang demokratis dan otoriter dengan sistem pemerintahan pada masa orde baru ini adalah

Peserta didik dapat menggunakan nalar dalam mengkaji perkembangan sosial- ekonomi dan politik masa akhir Orde Baru dan

Tanpa adanya pembatasan masa jabatan presiden, kesalahan pada masa Orde Baru yang memungkinkan Presiden Soeharto berkuasa lebih dari 30 tahun akan terulang..

Penelitian ini menyimpulkan bahwa 1) kekuasaan Presiden dalam membentuk Un- dang-Undang sebelum amandemen UUD 1945 sangatlah besar, hal ini dapat dilihat dari masa pemerintahan

Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan

Rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hampir tidak pemah terjadi.. perubahan, selama Orde Baru hanya terjadi pada jabatan wakil presiden, sementara pemerintahan

Hal ini terlihat dari isi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang memisahkan kewenangan antara Kepala Desa dan BPD serta membatasi kekuasaan Kepala Desa seperti pada masa Orde