• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PENGEMBANGAN USAHA TERNAK KAMBING MELALUI PENDEKATAN INTEGRASI DENGAN SISTEM USAHA PERKEBUNAN KARET DAN KELAPA SAWIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA PENGEMBANGAN USAHA TERNAK KAMBING MELALUI PENDEKATAN INTEGRASI DENGAN SISTEM USAHA PERKEBUNAN KARET DAN KELAPA SAWIT"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PENGEMBANGAN USAHA TERNAK KAMBING MELALUI

PENDEKATAN INTEGRASI DENGAN SISTEM USAHA

PERKEBUNAN KARET DAN KELAPA SAWIT

LEO P.BATUBARA

Loka Penelitian Kambing Potong, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan PO Box 151 Bogor 16114

ABSTRACT

The development scheme of goat through integrated production system with oil palm and rubber

plantation.-Goats have a good marketing prospect for domestic and exports, therefore as a potential comodity to develop in commercial scheme. The development of goat production is potential through integrated production system with oil palm and rubber plantation as both are very large in Indonesia. The low carrying capacity of forages on plantation, it can be improved by altering the cultivation pattern; to utilize by products on farm and oil palm industries level as additional feed; and the utilization of margin land for cutting forages. Research needed for future are economic evaluation of the integrated production system for conventional or inconventional scheme; the utilization of by products as additional feed; practical management to control scabies/internal parasite and the alternative economical medicine. This integrated production system should be also developed through agribusiness approach system, and an assessment to find out the design of agribusiness is needed. Oil palm plantation within oil palm industry is the one most potential site to develop the integration model as a “knot of agribusiness”.

Keywords :Goat, plantation, integration.

ABSTRAK

Kambing mempunyai prospek pasar dalam negeri maupun ekspor yang cukup tinggi sehingga merupakan komoditas unggulan untuk dikembangkan secara komersial. Usaha kambing potensial dikembangkan melalui pendekatan integrasi dengan sistem usaha perkebunan karet dan kelapa sawit yang cukup luas di Indonesia. Daya dukung hijauan yang rendah pada lahan perkebunan dapat ditingkatkan dengan merubah pola tanam, pemanfaatan produk samping dilapangan maupun pabrik pengolahan minyak, serta pemanfaatan lahan marginal untuk rumput potongan. Dibutuhkan dukungan penelitian meliputi analisis ekonomi secara integral usaha pada pola tanam konvensional/inkonvensional, penggunaan produk samping sebagai pakan tambahan, serta penelitian sistem pengendalian penyakit parasit dalam dan luar serta obat alternatif yang efektif dan murah. Pengembangan usaha kambing melalui pendekatan integrasi dengan usaha perkebunan harus disertai pendekatan agribisnis, sehingga perlu dikaji rancang bangun sistem integrasi secara integral meliputi antara lain besaran skala usaha, cluster, hamparan dan kawasan. Perkebunan kelapa sawit yang mempunyai pabrik pengolahan minyak sawit sangat potensial dikembangkan sistem usaha integrasi sebagai simpul agribisnis.

Kata kunci: Kambing, perkebunan, integrasi

PENDAHULUAN

Populasi kambing di Indonesia cukup tinggi 13,3 juta ekor (DITJEN,BPPETERNAKAN,2003) dan

umumnya dipelihara secara tradisional oleh petani dalam skala pemilikan kecil. Sebahagian besar kambing yang dipelihara petani adalah jenis kambing lokal (kambing kacang) yang mempunyai sifat reproduksi yang tinggi, tetapi bobot badannya relatif rendah (18-25 kg). Kondisi usaha peternakan kambing selama ini kurang berkembang, hal ini dapat dipahami karena pengembangannya didasarkan pada pendekatan komoditas yang kerap kali tidak efesien serta kurang mampu mendorong peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Sistem pendekatan komoditas ini menunjukkan

sejarah perkembangan peternakan ruminansia potong di Indonesia belum banyak berubah, masih bersifat tradisional dengan skala pemilikan kecil.

Petani dengan skala pemilikan kecil pada hakekatnya dicirikan oleh:

a. Usaha sambilan, tidak didasarkan pada usaha ekonomi, dimana fungsi ternak sebagai simpanan sementara. Petani suatu saat bisa menjual seluruh ternaknya dan bibit unggulpun bisa masuk rumah potong melalui tengkulak. b. Skala pemilikan kecil mengakibatkan

pengadaan faktor-faktor produksi tidak efisien. Kebutuhan obat-obatan, pakan , jumlahnya sangat sedikit sehingga tidak efisien pengadaannya. Keadaan ini membuat petani

(2)

sulit atau kurang alasannya untuk mengadopsi teknologi.

c. Pemanfaatan pejantan, terutama pejantan unggul tidak efisien. Seekor pejantan yang baik/unggul sebenarnya mampu untuk mengawini 40-50 ekor induk.

d. .Satu orang tenaga kerja mampu menggembalakan 100-150 ekor kambing, sehingga penggunaan tenaga kerja pada usaha sambilan juga tidak efisien.

Pada era globalisasi yang semakin dekat, pengembangan usaha peternakan sudah harus dikaji secara konprehensif dalam cakupan yang luas yang berkaitan dengan teknologi dan ekonomi. Pengembangan usaha peternakan yang berorientasi produksi saja akan tetap terbelakang. Oleh karena itu, pengkajian tentang komoditas yang kompetitif, konsumen, permintaan, perluasan pasar sangat penting. Selain itu penerapan teknologi secara utuh untuk meningkatkan efisiensi dan jaminan mutupun harus dilaksanakan. Bertitik tolak dari pemikiran diatas maka konsep pengembangan usaha ternak harus melalui pendekatan agribisnis dimana diupayakan keterkaitan antar subsistem (agroproduksi, agroindustri, agroniaga) agar proses produksi berjalan se-efisien mungkin.

Kambing Sebagai Komditi Unggulan

Semua petani bisa memelihara ternak apa saja sebagai usaha sambilan, tetapi hanya beberapa jenis ternak saja yang bisa diusahakan dalam skala ekonomi dan hanya oleh petani yang memiliki sumber daya alam yang mendukung serta adanya potensi pasar yang menjamin. Ternak kambing potensinya cukup besar dan tersebar hampir disebahagian besar propinsi di Indonesia. Komoditas ini mempunyai prospek pasar yang cukup tinggi dan dapat dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petani. Hal ini dapat dilihat dari kebutuhan akan kambing di Indonesia cukup besar yakni jumlah pemotongan sebanyak 5.108.750 ekor atau sekitar 38,5% dari populasi (DITJEN BPPETERNAKAN,2003). Sebagai

contoh Sumatera Utara, kebutuhan akan kambing/domba baru terpenuhi 45%, masih kekurangan 55% atau sekitar 7900 ekor/bulan (KARO-KARO, et al.,1993). Peluang ekspor juga

terbuka ke Malaysia, Singapura dan Timur Tengah. Timur Tengah setiap tahun mengimpor kambing/domba sebanyak lebih kurang 3 juta ekor, terutama pada musim naik haji (SUHAJI, 1993).

Sumatera Utara pada tahun 2000, mengekspor kambing sebanyak dua kali (± 300 ekor) ke Malaysia tetapi kemudian terhenti karena

terbatasnya bakalan untuk ekspor. Ekspor kambing/domba ke Timur Tengah dirintis pertama kali 16 tahun yang lalu (1988) oleh PT. Gayung Mas Jakarta dengan jumlah 250 ekor. Ekspor terhenti disebabkan bobot kambing terlalu rendah (bobot badan sekitar 18 kg; berat karkas ± 8 kg) dan sulitnya mendapatkan bakalan secara kontinu, karena peternak umumnya skala kecil dan terpencar-pencar. Berdasarkan kebutuhan dan peluang ekspor, maka kambing merupakan komoditas unggulan untuk dikembangkan sebagai usaha ekonomi.

POLA PENGEMBANGAN USAHA TERNAK KAMBING

Pendekatan Sistem Integrasi

Usaha peternakan kambing berwawasan agribisnis membutuhkan lahan yang cukup luas sebagai sumber hijauan untuk pakan utamanya. Keterbatasan lahan di Indonesia dan harga yang cukup tinggi saat ini, usaha peternakan kambing secara komersial kearah agribisnis sulit dikembangkan dengan sistem apapun, kecuali

di-integrasikan dengan usaha perkebunan baik dengan

atau tanpa pemberian pakan tambahan dikandang. Oleh karena itu pada dekade terakhir ini banyak usaha yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN untuk memadukan usaha ternak, khususnya ruminansia kecil dengan perkebunan kelapa sawit dan karet (SIBON, 1988, INIGUEZ dan SANCHEZ,

1991). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa integrasi peternakan kambing/domba dengan perkebunan kelapa sawit dan karet memberikan efek saling menguntungkan. Salah satu komponen biaya yang cukup tinggi didalam pengolahan perkebunan adalah untuk pengendalian gulma. Pada tanaman belum menghasilkan, 50-70% dari biaya pemeliharaan adalah untuk pengendalian gulma, sedangkan pada tanaman menghasilkan, 20-30% dari biaya pemeliharaan (REESE, A., 1986).

Integrasi usaha peternakan kambing dengan perkebunan merupakan salah satu usaha untuk menghemat biaya pengendalian gulma. REESE,A., (1986) menunjukkan bahwa penggembalaan domba diareal perkebunan karet tidak menimbulkan dampak negatif terhadap tanaman karet, tetapi sebaliknya dapat mengendalikan kesuburan lahan dan dapat meningkatkan produksi lateks. HARUN

dan CHEN (1994), melaporkan bahwa integrasi

peternakan domba dengan perkebunan karet dapat menghemat biaya penyiangan 20-50% serta meningkatkan produksi lateks dan rendemen buah sawit segar. Integrasi kedua usaha ini dapat

(3)

meningkatkan efefisiensi penggunaan lahan persatuan luas. Disamping itu juga, dapat sebagai sumber pendapatan yang sangat berarti bagi petani terutama pada masa harga karet atau buah sawit anjlok, dimana harga kambing boleh dikatakan sepanjang masa tidak pernah turun/relatif stabil.

Perkebunan yang cukup luas di Indonesia mempunyai peluang yang cukup besar untuk mengembangkan sistem integrasi peternakan kambing dengan perkebunan karet dan kelapa sawit. Penelitian cukup banyak yang sudah dilakukan baik didalam negri maupun diluar negri untuk menunjang teknologi sistem integrasi ini. Teknik Produksi Pada Pendekatan Sistem Integrasi

Teknik produksi usaha kambing pada ekosistem perkebunan kelapa sawit dan karet mempunyai beberapa kekhususan dibanding pada ekosistem lainnya. Teknik produksi yang meliputi penyediaan pakan, pemulia biakan, pengendalian penyakit dan sistem pengelolaan menuntut penyesuaian dengan kondisi perkebunan dan sistem pengelolaan perkebunan agar diperoleh hasil yang optimal. Dengan demikian teknik produksi pada sistem integrasi memerlukan strategi dalam pola pengembangannya.

Strategi pemanfaatan biomassa hijauan dengan sistem penggembalaan.

Biomassa hijauan yang terdapat dilahan perkebunan sebanyak 60-70% dari vegetasi umumnya dapat dikonsumsi oleh ternak (CHEN,

1990). Aspek utama yang harus diperhatikan dalam sistem integrasi adalah penyesuaian jumlah ternak sebagai penyiang biologis dengan daya dukung luasan lahan yang dimiliki. Sistem penggembalaan pada lahan perkebunan yang dapat dianjurkan sebagai berikut (CHONG and ISMAIL,1996):

Penggembalaan tetap (Continous grazing) Sejumlah ternak digembalakan pada suatu areal yang cukup luas untuk selama beberapa bulan tanpa adanya perubahan jumlah ternak yang lebih rendah dari perhitungan daya tampung (moderate stocking

rate). Untuk setiap unit areal yang telah

digembalakan sebaiknya diistirahatkan selama 3 bulan untuk menekan infestasi parasit dalam. Manfaat pengaruh penggembalaan terhadap penyiangan bagi perkebunan ini tidak segera tampak, bila stocking rate tetap dipertahankan.

Penggembalaan bergilir (Rotational grazing) Lahan areal perkebunan dibagi-bagi kedalam beberapa petak yang jumlah dan luas setiap petak tergantung dari jumlah dan kelompok ternak yang ingin digembalakan secara teratur selama periode tertentu. Umumnya 4-6 periode penggembalaan per-tahun akan dapat mengkontrol gulma. Sistem penggembalaannya dapat diatur oleh penggembala itu sendiri, akan tetapi yang terbaik dengan menggunakan “electric fences”.

Strip grazing

Sekelompok ternak dalam jumlah banyak digembalakan pada luasan lahan yang terbatas (over-grazing) oleh penggembala atau menggunakan ”electric fences”. Cara ini adalah salah satu strategi untuk memanfaatkan lahan yang produksi hijauannya tinggi dan sekaligus untuk mengendalikan gulma dalam waktu yang singkat (1-2 hari)

Strategi meningkatkan daya dukung hijauan.

Introduksi rumput unggul tahan naungan.

Introduksi rumput dan kacangan yang cenderung tahan naungan pada masa pertumbuhan karet/kelapa sawit yang terbaik adalah Brachiaria

humidicola, Paspalum notatum, Stylosanthes quianensis, Panicum maximum serta Arachis pintoi.

Pertanaman campuran ini dapat meningkatkan daya tampung menjadi 23 ekor kambing hektar per-tahun dibanding 10 ekor/ha/thn pada sistem konvensional. Kelemahan sistem ini, rumput introduksi hanya tahan hidup sampai umur pohon 5-6 tahun, kemudian berangsur lenyap sesuai pertambahan umur pohon. Tampaknya tidak ada rumput introduksi yang berhasil dikembangkan setelah umur pohon lebih dari 6 tahun (STEER and

SHELTON,1991;BATUBARA et al,1996). Double hedge row system.

Setiap hektar kebun sawit ditengahnya ditanami rumput unggul seluas 11x22 m sebagai pastura, sedangkan pohon karet dalam jumlah yang sama ditanam lebih rapat (2x3 m) disekeliling pastura. Dengan sistem ini daya dukung meningkat menjadi 36-37 ekor/Ha dan produksi rumput relatif stabil walaupun pohon karet telah tumbuh dewasa, karena pastura masih cukup mendapat sinar matahari. Diperoleh penghematan biaya penyiangan lebih dari 50%. Namun sejauh mana pengaruh sistem ini

(4)

terhadap produksi lateks dan pendapatan total sistem integrasi ini masih perlu kajian lebih lanjut (CHONG and ISMAIL,1996).

Mengurangi kepadatan pohon (density) dan merubah pola tanam (konfigurasi).

CHEN (1996), melaporkan bahwa untuk

meningkatkan daya dukung hijauan pada lahan perkebunan dapat dilakukan dengan merubah kepadatan pohon/ha serta konfigurasi tanam. Kepadatan tanaman dari 110-160 pohon/ha cukup untuk memperoleh hasil kumulatif dan produksi yang ekonomis pohon kelapa sawit. Dengan pola tanam baru ini, daya dukung hijauan dapat ditingkatkan dua kali lipat dibanding pola tanam konvensional.

Strategi pemanfaatan lahan marginal untuk produksi rumput.

Pada umumnya pada lahan areal perkebunan ada lahan marginal yang dapat ditanami rumput unggul sebagai suplai tambahan rumput dengan cara potong-angkut. Pemilihan jenis rumput yang dikembangkan harus sesuai dengan kondisi lahan marginal yang digunakan. Ada peternak yang sengaja mengurangi jumlah pohon kelapa sawit yang kurang produktif dalam luasan yang cukup memadai untuk dapat ditanami rumput potongan.

Strategi pemanfaatan limbah panen di lapangan.

Rendahnya daya dukung hijauan pada lahan perkebunan dapat diatasi atau disubstitusi dengan pemanfaatan limbah pada panen dilapangan yakni daun sawit dan daging pelepah sawit. Produksi daun sawit dan pelepah sawit cukup banyak dan tersedia sepanjang waktu, karena pemangkasan pelepah sawit (prunning) merupakan kegiatan rutin. Daun sawit tanpa lidi dan daging pelepah produksi bahan keringnya masing-masing 658 kg dan 1640 kg/ha/tahun (SITOMPUL, et al., 2004). Dengan

penggunaan 30% dalam ransum, daun sawit dan pelepah sawit daya dukungnya ± 22 ekor/ha dengan bobot badan kambing ± 30 kg dengan pemberian 3% bobot badan.

Strategi akan untuk meningkatkan produktivitas kambing.

Pendekatan sistem integrasi untuk meningkatkan produktivitas kambing dapat dilakukan dengan pemanfaatan lumpur sawit (solid

decanter) dan bungkil inti sawit (palm kernel cake)

yang merupakan limbah dan hasil ikutan pabrik pengolahan minyak inti sawit. Kedua bahan ini cukup potensial baik secara kuantitas maupun kualitas. Penelitian pemanfaatan lumpur sawit dan bungkil inti sawit telah banyak dilakukan terutama untuk domba dan sapi (BATUBARA, et al., 1995;

WONG dan ZAHARI,1992). Produksi bahan kering

lumpur sawit dan bungkil inti sawit masing-masing 1132 kg dan 514 kg/ha (SITOMPUL, et al.,2004). Dengan penggunaan 30% dalam ransum daya dukung kedua bahan pakan ini ± 20 ekor kambing/ha/tahun dengan bobot badan 30 kg dengan kebutuhan bahan kering 3% bobot badan.

Strategi pengendalian penyakit.

Masalah penyakit yang paling serius pada kambing di ekosistem perkebunan terutama adalah penyakit parasit-dalam yakni cacing usus halus dan cacing pankreas serta parasit luar yakni scabies. Parasit ini kadang kala dapat menyebabkan kematian terutama bila kondisi pakan kurang memadai, tetapi lebih sering mengakibatkan penurunan produksi dan kemampuan reproduksinya. Disamping pemberian pakan yang cukup, ada 4 pedoman untuk mengkontrol serangan cacing (GATENBY andBATUBARA,1994)yakni:

1. Rumput potongan yang diberikan sebaiknya rumput dari area yang tidak digunakan untuk penggembalaan.

2. Pada sistem penggembalaan, setiap area penggembalaan harus diistirahatkan selama 10-12 minggu setelah digunakan.

3. Pemberian racun cacing secara rutin.

4. Melakukan seleksi kambing-kambing yang secara individu resisten terhadap parasit dalam. Pada umumnya pemberian racun cacing dengan interval 3 bulan sudah memadai, tetapi area penggembalaan yang tingkat infestasi cacingnya tinggi terutama pada musim hujan, atau sistem penggembalaan yang terus menerus atau area penggembalaan yang masa istirahatnya pendek, pemberian racun cacing harus lebih cepat yakni interval 2 bulan, malahan kadang kala harus 1x sebulan. Pengendalian parasit luar yakni scabies sampai saat ini belum diperoleh cara yang paling efektif dan efisien. Penggunaan obat Ivomex dirasakan terlalu mahal bagi peternak.

Pendekatan Sistem Agribisnis

Bertitik tolak dari potensi kambing sebagai komoditas unggulan yang kompetitif, maka sebaiknya peluang ini dimanfaatkan sehingga

(5)

pengembangannya diarahkan melalui konsep pendekatan agribisnis, dimana diupayakan adanya keterkaitan antar subsistem sehingga proses produksi berjalan efisien. Pengembangan usaha kambing melalui pendekatan integrasi dengan usaha perkebunan serta pendekatan agribisnis perlu dikaji rancang bangunnya sehingga dapat berdaya guna dan berhasil guna. Pendekatan agribisnis yang menjadi perhatian antara lain tipologi usaha yang meliputi jumlah ternak per-petani (skala usaha), jumlah peternak per-kelompok (cluster), jumlah cluster hamparan dan jumlah hamparan per-kawasan (BATUBARA,et al.,1997).

Skala Usaha

Konsep pengembangan usaha kambing berorintasi agribisnis, haruslah dimulai dari penentuan skala usaha minimal per-peternak, agar proses produksi dapat berjalan efisien dan nyata meningkatkan kesejahteraan petani melalui penggunaan teknologi.

BATUBARA, et al., (1997) menyarankan skala usaha per-petani 25 ekor induk/1 ekor pejantan sehingga dapat memenuhi pendapatan petani sesuai dengan target GBHN ($ 1500) pada perhitungan 1997. Skala usaha minimal ini telah dikaji melalui kegiatan Sistem Usaha Pertanian (SUP) pada domba di Kabupaten Langkat. Hasil kajian “Succes

story” yakni tiga tahun setelah kegiatan SUP

domba berakhir (2001). Skala usaha ini menunjukkan dampak yang sangat nyata terhadap perkembangan usaha domba dan kesejahteraan sosial masyarakat. Dengan skala usaha ini petani memperoleh pendapatan sekitar 600-700 ribu per bulan.

Cluster Efektif

Disarankan untuk setiap cluster (kelompok) minimal harus ada ± 1250 ekor induk didasarkan kepada efisiensi pemasaran dan jumlah (omset) kebutuhan akan obat-obatan dan pakan sehingga telah dapat mendorong tumbuhnya kelembagaan sapronak seperti warung ternak. Dengan demikian untuk satu cluster terdiri dari 1250/25 = 50 peternak. Dengan pendekatan sistem integrasi maka satu afdeling minimal dikembangkan 1 cluster. Hamparan Efektif

Dasar pertimbangan untuk menentukan satu hamparan produksi yang efektif dapat diarahkan kepada kemungkinan berdirinya satu kelembagaan koperasi peternak yang peranannya sebagai penyedia/pemasok sarana produksi, pemasaran dan

pembinaan (teknologi) serta bantuan modal untuk pengembangan usaha ternak. Berdasarkan perhitungan agar fungsi diatas berjalan, maka untuk satu hamparan minimal harus terdiri dari 6250 ekor induk atau 5 (lima) cluster dan berada dalam satu kebun pada sistem integrasi.

Kawasan Usaha

Untuk satu kawasan agribisnis kambing pengembangannya kearah produksi dan industri peternakan. Pengembangan kawasan ini jelas harus pada daerah yang ekosistemnya potensial sehingga dapat menunjang berkembangnya agroproduksi dan agroindustri (industri pakan ternak, pengolahan kulit) serta pemasaran yang lebih luas (agroniaga) yakni ekspor. Oleh karena itu daerah yang potensial dikembangkan kearah kawasan usaha adalah melalui pendekatan sistem integrasi dengan perkebunan yang besarannya masih perlu dikaji lebih lanjut. Dengan demikian satu kawasan agribisnis kambing terdiri dari beberapa hamparan efektif. Pada kawasan usaha diharapkan sudah berkembang usaha skala menengah (100±500 ekor induk) dan skala perusahaan (>1000 ekor induk). Perusahaan diharapkan berperan sebagai inti dan berfungsi sebagai pemasok sapronak/teknologi untuk plasma; usaha penggemukan; industri pakan dan perluasan pasar (ekspor).

DUKUNGAN PENELITIAN YANG DIBUTUHKAN.

Meningkatkan daya dukung hijauan.

Telah dilakukan beberapa alternatif upaya untuk meningkatkan daya dukung hijauan dengan merubah pola tanam konvensional kearah inkonvensional, namun belum disertai analisis ekonominya secara integral. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk melakukan analisis ekonominya secara integral dari sistem integrasi kedua usaha ini, baik secara konvensional maupun inkonvensional, serta penelitian pola tanam inkonvensional lainnya yang lebih efektif.

Pemanfaatan limbah dan hasil ikutan sebagai pakan tambahan.

Penelitian pemanfaatan limbah dan hasil ikutan perkebunan kelapa sawit antara lain daun sawit; pelepah sawit; lumpur sawit dan bungkil inti sawit sebagai pakan tambahan untuk kambing masih terbatas. Penelitian pemanfaatan limbah dan hasil ikutan tersebut baik sebagai pakan tambahan tunggal atau sebagai pakan komplit masih

(6)

diperlukan. Penelitian perbaikan kualitas/ pengkayaan gizi limbah dan hasil ikutan tersebut melalui teknologi pengolahan perlu dilakukan untuk mendapatkan ransum yang ekonomis untuk setiap fase fungsi fisiologis kambing.

Pengendalian penyakit kurap (scabies)/parasit luar.

Perlu penelitian sistem pengelolaan yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit kurap (scabies) dan penelitian untuk mendapatkan obat alternatif yang lebih murah dan efektif untuk mengatasi penyakit scabies maupun parasit dalam. Perbaikan mutu kambing lokal.

Untuk mendukung peluang ekspor dikemudian hari, maka perlu pemacuan penelitian program kawin silang antara kambing lokal dengan jenis kambing unggul, untuk memperoleh bibit unggul yang dapat beradaptasi dan berkembang biak dengan baik pada ekosistem perkebunan dan mempunyai bobot badan yang dapat memenuhi persyaratan ekspor.

KESIMPULAN

1. Kambing mempunyai prospek pasar yang cukup tinggi baik pasar dalam negri maupun tujuan ekspor, sehingga merupakan komoditas unggulan yang potensial untuk dikembangkan secara komersial. Terbatasnya lahan sebagai sumber hijauan, maka pola pengembangan usaha kambing dapat dilakukan melalui pendekatan integrasi dengan sistem usaha perkebunan (kelapa sawit/karet) yang cukup luas di Indonesia.

2. Untuk meningkatkan daya dukung hijauan lahan perkebunan, dapat dilakukan antara lain dengan introduksi rumput unggul, merubah pola tanam (konfigurasi), mengurangi jumlah pohon per-hektar, pemanfaatan daun dan pelepah sawit serta penanaman rumput unggul pada lahan marginal sebagai rumput potongan.

3. Sistem pengembangan dengan memberikan periode istirahat yang cukup panjang (10-12 minggu) untuk setiap areal penggembalaan, merupakan salah satu alternatif untuk menekan infestasi cacing dan mengurangi biaya penggunaan racun cacing.

4. Masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut antara lain kemungkinan pola tanam

inkonvensional lainnya serta analisis ekonomi secara integral dari usaha sistem integrasi; sistem pengelolaan untuk pengendalian scabies dan racun cacing yang efektif dan ekonomis; ransum lengkap berbasis limbah dan hasil ikutan untuk berbagai fase fungsi fisiologis kambing serta meningkatkan produktivitas kambing melalui program persilangan untuk memenuhi persyaratan ekspor.

5. Perkebunan kelapa sawit yang memiliki pabrik/ industri pengolahan minyak inti sawit sangat potensial dikembangkan sistem usaha integrasi sebagai simpul agribisnis dikemudian hari.

6. Pengembangan usaha kambing melalui pendekatan integrasi dengan usaha perkebunan harus disertai pendekatan agribisnis. Pendekatan agribisnis menuntut adanya rancang bangun pengembangan yang meliputi besaran skala usaha/petani, besaran kelompok (cluster), besaran hamparan dan kawasan usaha.

DAFTAR PUSTAKA

BATUBARA,L.P., S.KARO-KARO, dan RASMAN HUTAPEA,

1997. Agribisnis domba berbasis perkebunan. Makalah presentasi pada Pertemuan Tingkat Nasional Agribisnis Peternakan Berbasis Perkebunan. Ditjen Peternakan, Medan, 6-7 Januari.

BATUBARA, L. P., K SIMANIHURUK, JUNJUNGAN dan

ERWIN SIHITE. 1995. Pemanfaatan limbah minyak

sawit (solid decanter) dalam ransum tambahan untuk domba jantan muda. Journal Penelitian Peternakan Sei Putih (J.P.P.S) Vol.1 No.6. Februari. Sub Balitnak Sei Putih, Sumut, Indonesia.

CHONG DAI TAI and TAJUDIN ISMAIL.1996. Improve

sheep production system in rubber plantation. Proc. Of Workshop on Research Methodologies. Medan, North Sumatera, Indonesia. September 19-14. CHEN, C. P. 1990. Management of forages for animal

production under tree crops. Proc. Of Workshop on Research Methodologies. Medan, North Sumatera, Indonesia. September 19-14.

DITJEN BP,PETERNAKAN.2004. Tantangan dan peluang

pengembangan agribisnis kambing ditinjau dari aspek perwilayahan sentra produksi ternak. Makalah di presentasikan pada lokakarya kambing nasional, tanggal 6 Agustus di Bogor.

GATENBY,R.andL.P.BATUBARA. 1994. Management of

sheep in the humid tropics experiences in North Sumatera. Second Symp. On sheep production in Malaysia. 22-24 November.

(7)

HARUN, O. andC. P. CHEN. 1994. Proc. International

Congres on Quality Veterinary Services for the 21st

Century. 15-17 November. Kualalumpur, Malaysia.

INIQUEZ,L.C.and M.D.SANCHEZ. 1991. Integrated tree

cropping and small ruminant production system. Proc. Of Workshop on Research Methodologies. Medan, North Sumatera, Indonesia. September 19-14.

KARO-KARO,S.,E.SEMBIRING,M.DSANCHEZ andH.C.

KNIPHSCHER.1989. Cost benefit analysis of sheep

production at. village level. Proc. Of the 13th Ann.

Conf. Of MSAP. March, 6-9, 1990. Malacca, Malaysia.

REESE, A. 1988. Effect of energy suplementation on

Indonesian sheep. PhD Thesis. NCSU, Departement of An.Sci, Raleigh.

SIBON, A.J.1988. Sheep rearing by small holders –the

RISDA experiences. Symposium on sheep production on Malaysia.

SITOMPUL,D.M.,B.P.MANURUNG,I.W.MATHIUS dan

AZMI, 2004. Integrasi sapi-sawit; Daya dukung

produk samping dalam pengembangan ternak sapi. Makalah presentasi pada Seminar dan Ekspose Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak, Denpasar, 20-22 Juli 2004.

STEER, W. W. andH. M. SHELTON 1991. Forages for

plantation crops. ACIAR Proc. No. 32 pp. 112-116, Canberra.

SUHAJI, 1993. Segitiga Pertumbuhan Utara. Kapita

Selekta Direktorat Jendral Peternakan Jakarta. WONG,H.K. andWAN ZAHARI,W.M.,1992. Oil plam

by products as animal feed. Proceedings of 7th

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian pewarnaan pada jamur dengan cara diidentifikasi menggunakan pewarnaan dengan lactophenol blue , pertama siapkan media agar sebanyak 5 ml secara aseptis

Syok hipo%olemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh

Preffer (1994:349) dan Upton (1995:78) menyatakan bahwa kesuksesan suatu perusahaan dalam menghadapi persaingan pasar ditentukan oleh human capital, bukan physical capital,

Hal ini membuktikan bahwa PGV- 0 memiliki kemampuan lebih baik dibanding kurkumin pada penghambatan daur sel untuk memasuki fase sintesis, atau PGV-0 mampu menghambat

Otonomi daerah sebagai suatu konsekuensi reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana otonomi

amplikon fragmen DNA genom EBV dengan teknik PCR konvensional adalah konsentrasi DNA virus yang rendah pada sampel penelitian yang digunakan, karena konsentrasi

Berdasarkan hasil uji mann whitney terhadap efek akut dan kronis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara jalan kaki dan senam

“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu