• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Pendahuluan

Penentuan Kondisi Optimum Koagulasi

Glucono δ Lactone (GDL) merupakan jenis koagulan yang biasanya digunakan pada

pembuatan tahu sutera (silken tofu), namun pada penelitian ini, GDL digunakan untuk pembuatan tahu press. Proses pembuatan tahu sutera cukup berbeda dengan proses pembuatan tahu press, perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan karakteristik tekstur tahu yang dihasilkan. Walaupun demikian untuk mempermudah penetapan konsentrasi, peneliti mengacu pada literatur pembuatan tahu sutera dengan mengambil kisaran konsentrasi 0.6% dari berat susu kedelai (Shurtleff dan Aoyagi 1979). Jumlah konsentrasi yang digunakan yaitu 0.4%, 0.8%, dan 1.2% namun berdasarkan volume susu kedelai (untuk mempermudah perhitungan). GDL yang ditambahkan sudah dalam bentuk larutan yang berasal dari larutan stok 40 % (b/v).

Proses koagulasi dilakukan dengan menggunakan ketiga konsentrasi tersebut pada suhu awal 63 °C (suhu koagulasi minimum). Hasil pengamatan secara visual terhadap curd yang dihasilkan diperoleh bahwa pada konsentrasi 0.4% proses koagulasi berjalan sangat lambat dan protein belum terkoagulasi sempurna (whey masih berwarna putih susu), namun sudah terbentuk curd yang cukup banyak dan dapat dicetak. Kemudian pada konsentrasi 0.8% dan 1.2% proses koagulasi sudah berjalan sempurna dimana whey memiliki penampakan transparan. Dengan mempertimbangkan bahwa pada setiap konsentrasi GDL yang digunakan curd tebentuk, maka ketiga konsentrasi tetap digunakan untuk perlakuan selanjutnya. Data trial penentuan konsentrasi GDL dengan suhu awal koagulasi 63 °C dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Trial penentuan konsentrasi GDL dengan suhu koagulasi 63 °C Jumlah GDL yang ditambahkan

(%) Penggumpalan* Keterangan

0.4 +++ whey keruh

0.8 +++++ whey transparan

1.2 +++++ whey transparan

*Ket : + = intensitas penggumpalan

Jumlah koagulan yang dibutuhkan tergantung pada kadar padatan (protein) susu kedelai (Johnson dan wilson 1984). Menurut Blazek (2008), kurangnya jumlah koagulan yang digunakan untuk koagulasi akan menyebabkan pengendapan protein menjadi tidak sempurna serta menyulitkan proses pemisahan whey dan curd. Jumlah koagulan yang kurang juga akan menghasilkan pembentukan struktur matriks curd yang renggang karena tidak sempurnanya pengendapan, akibatnya

curd yang terbentuk terlalu lunak (Obatolu 2007). Sebaliknya, kelebihan jumlah koagulan akan

membuat tekstur curd kedelai menjadi keras dan mengurangi palatabilitas.

Suhu awal koagulasi ditentukan melalui evaluasi partikel koagulat yang dihasilkan melalui koagulasi pada suhu awal 63 °C, 73 °C, dan 83 °C dengan penambahan GDL sebanyak 0.4% dari volume susu kedelai. Pada perlakuan suhu awal koagulasi terendah (63 °C) proses koagulasi dapat berlangsung walaupun lambat, kemudian pada suhu awal 73 °C proses koagulasi berlangsung cepat dan dihasilkan koagulat dengan ukuran yang besarnya secara visual sama dengan koagulat pada proses koagulasi pada suhu awal 83 °C. Dengan pertimbangan untuk dapat melihat pengaruh suhu

(2)

32

(a) (b)

terhadap proses koagulasi serta tekstur curd yang dihasilkan secara nyata maka dipilih suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C.

Penentuan waktu koagulasi dilakukan dengan pengamatan terhadap waktu yang dibutuhkan untuk mengkoagulasi seluruh protein menggunakan koagulan GDL (Glucono δ Lactone) dengan konsentrasi yang telah ditetapkan. Indikator selesainya waktu koagulasi dilihat dari telah terpisahnya bagian curd dengan bagian whey dan warna whey menjadi jernih (transparan). Pada penelitian awal waktu koagulasi yang digunakan adalah 10 menit, namun data hasil pengukuran tekstur obyektif curd yang diperoleh sangat tidak konsisten antar pengulangan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh proses koagulasi yang belum berlangsung sempurna. Kemudian waktu koagulasi diperpanjang menjadi 20 menit, dan diperoleh data hasil pengukuran tekstur obyektif curd yang lebih konsisten dibandingkan dengan curd yang dikoagulasi selama 10 menit. Waktu koagulasi yang digunakan adalah 20 menit walapun untuk perlakuan suhu awal koagulasi 63 °C dan kensentrasi GDL 0.4%, proses koagulasi tetap belum sempurna.

Pengepresan dilakukan dalam alat pencetak dari kayu yang didesain mirip alat pencetak yang ada di pabrik „Diazara Tresna‟ dan beban penekan berupa botol berisi air. Alat pencetak curd ini berukuran 10x10 cm2 dan berlubang-lubang kecil sebagai tempat keluarnya whey pres. Tekanan penekan curd ditentukan sebesar 4.71g/cm2 (Lampiran 4.) dengan lama penekanan selama 30 menit (Fahmi 2010). Sehingga besarnya tekanan yang harus diberikan adalah sebesar 471 gram (jumlah berat botol berisi air dengan tutup pencetak curd). Alat pencetak tahu yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 22.

Gambar 22. Alat pencetak tahu skala laboratorium (a) yang dibuat mirip alat pencetak tahu di pabrik „Diazara Tresna‟ (b)

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan seperti yang telah dibahas sebelumnya, dilakukan penetapan terhadap beberapa parameter proses yang akan digunakan pada penelitian utama yaitu : suhu awal koagulasi (63 °C dan 83 °C), konsentrasi GDL (0.4%, 0.8% dan 1.2%), waktu koagulasi (20 menit), berat penekanan 471 g dan waktu penekanan selama 30 menit.

B. Penelitian Utama

1. Profil Koagulasi

Pembuatan curd dilakukan sesuai dengan prosedur pembuatan curd yang ditetapkan pada tahap pendahuluan. Proses diawali dengan membuat susu kedelai. Sebanyak 500 g kacang kedelai diekstrak menjadi susu kedelai dengan total penambahan air sebesar 1:15 (terhadap bobot kering kacang) sehingga dihasilkan total padatan susu kedelai sebesar ± 5% Brix (Fahmi 2010). Total padatan ini diasumsikan mewakili konsentrasi protein yang terdapat dalam susu. Total padatan susu kedelai

(3)

33

penting dalam tahap koagulasi susu, karena semakin banyak protein yang terdapat dalam susu, koagulan yang dibutuhkan akan semakin banyak (Blazek 2008).

Proses koagulasi susu kedelai memerlukan pemanasan sebagai prekursor terjadinya agregasi protein (Boye et al. 1997). Pada penelitian ini, dilakukan dua kali pemanasan, yaitu: (1) pemanasan pada suhu 100 oC selama 3 menit saat pembuatan susu kedelai, yang tujuan utamanya adalah untuk mengekstrak protein kedelai serta mendenaturasi struktur alami protein kedelai, dan (2) pemanasan susu kedelai pada suhu perlakuan, yaitu 63 °C dan 83 °C sebelum tahap koagulasi yang tujuannya adalah mempercepat proses koagulasi protein.

Koagulan yang digunakan adalah GDL yang dipersiapkan dalam bentuk larutan stok 40% (%b/v). Kemudian dilakukan penambahan GDL dengan konsentrasi 0.4%, 0.8%, dan 1.2 % dari volume susu kedelai pada masing-masing suhu awal koagulasi. Volume susu kedelai yang digunakan yaitu sebesar 1200ml untuk masing-masing perlakuan. Proses koagulasi dilakukan selama 20 menit, kemudian dilakukan pemisahan antara whey dan curd. Curd yang masih panas langsung di cetak dan diberi penekanan sebesar 471 g selama 30 menit.

Perlakuan dengan suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C pada konsentrasi GDL 0.4%, 0.8% dan 1.2% menunjukkan bahwa proses koagulasi terjadi pada pH yang berbeda. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 7), terlihat bahwa adanya pengaruh nyata suhu awal koagulasi terhadap pH whey yang dihasilkan. Koagulasi pada suhu awal 83 °C menghasilkan kondisi koagulasi pada pH yang lebih rendah dibandingkan koagulasi pada suhu awal 63 °C dengan rataan nilai pH masing-masing sebesar 5.17 dan 5.25. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan semakin meningkatnya suhu, proses hidrolisis GDL menjadi asam glukonat akan semakin cepat. Oleh karena itu pada suhu awal koagulasi 83 °C, asam glukonat yang terbentuk akan lebih banyak sehingga pH lingkungan akan menjadi lebih rendah dibandingkan pada suhu awal koagulasi 63 °C. Selain itu, peningkatan kosentrasi koagulan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap pH whey. Semakin tinggi konsentrasi GDL yang ditambahkan, akan menyebabkan pH whey semakin rendah. Nilai pH whey yang tertinggi pada suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C terjadi pada penambahan GDL 0.4% yaitu masing-masing sebesar 5.78 dan 5.71, sedangkan pH whey yang terendah terdapat pada penambahan GDL 1.2% yaitu masing-masing sebesar 4.82 dan 4.77. Grafik hubungan antara pH whey dengan suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23. Grafik pH whey pada berbagai perlakuan 6,41 5,78d 5,71d 5,14c 5,05b 4,82a 4,77a 0 1 2 3 4 5 6 7 60 80 pH

Suhu Awal Koagulasi ( °C)

Susu kedelai GDL 0.4% GDL 0.8% GDL 1.2%

(4)

34

Menurut Pearson (1983), protein kedelai memiliki kelarutan minimum pada pH 3.75-5.25, sedangkan kelarutan maksimal protein kedelai pada sisi asam (di bawah titik isoelektriknya) terjadi pada pH 1.5-2.5 dan pada sisi basa (di atas titik isoelektriknya) pada pH 6.3. Nilai pH pada proses koagulasi akan berpengaruh terhadap banyaknya protein yang terkoagulasikan menjadi curd dan kadar protein yang ada di dalam whey hasil pengepresan curd. Nilai pH koagulasi yang mendekati titik isoelektrik protein kedelai akan lebih efektif dalam mengkoagulasikan protein kedelai dibandingkan nilai pH koagulasi yang jauh dari titik isoelektrik protein kedelai.

Mekanisme koagulasi dengan koagulan GDL adalah dengan penurunan pH larutan susu mendekati pH isoelektrik protein kedelai. Pada saat pH larutan susu mendekati pH isoelekriknya, protein memiliki kelarutan minimum. Hal tersebut menyebabkan protein susu kedelai lebih mudah untuk membentuk agregat dan terkoagulasi.

Pada proses koagulasi, tidak semua protein kedelai terkoagulasi membentuk matriks curd. Sebagian kecil protein kedelai yang tidak terkoagulasi masih terdapat dalam whey. Shurtleff dan Aoyagi (1979) mengindikasikan bahwa konsentrasi koagulan yang optimum adalah konsentrasi terendah yang dibutuhkan untuk menghasilkan transmittan whey yang tertinggi. Pengukuran transmittan pada whey sebenarnya untuk menduga jumlah protein yang terkoagulasi. Semakin tinggi nilai transmittan whey, mengindikasikan bahwa semakin banyak protein yang terkoagulasi. Namun pengukuran transmittan whey menghasilkan data yang sangat beragam sehingga untuk menduga jumlah protein yang terkoagulasi dilakukan pengukuran kadar protein whey menggunakan metode Bradford. Data kadar protein whey dan kadar protein curd dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kadar protein whey berbagai perlakuan Suhu Awal Koagulasi

( °C)

Konsentrasi GDL (%)

Kadar Protein whey *(mg/ml) 63 0.4 4,4789 b 0.8 0,7350 a 1.2 0,7464 a 83 0.4 0,8563 a 0.8 0,7449 a 1.2 0,8045 a

Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

*Diukur dengan metode Bradford

Kadar protein di dalam whey menunjukkan seberapa sempurna proses koagulasi protein, semakin rendah kadar protein whey menunjukkan semakin banyak protein yang terkoagulasi dan berarti akan meningkatkan kadar protein dan rendemen curd yang dihasilkan. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 9.), interaksi keduanya hanya memberikan pengaruh yang signifikan pada perlakuan suhu awal koagulasi 63 °C dengan konsentrasi GDL 0.4%. Kadar protein whey yang masih cukup tinggi saat penambahan GDL 0.4% pada suhu awal koagulasi 63 °C menandakan bahwa proses koagulasi belum berlangsung sempurna. Hal tersebut dapat didukung oleh rendahnya kadar protein dan rendemen curd yang dihasilkan (Tabel 8.) Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson 2-tailed (Lampiran 30.), kadar protein whey berkorelasi positif dengan pH whey (0.627) dan berkorelasi negatif dengan massa curd (-0.674) dan total padatan curd (-0.759). Namun kadar protein whey tidak

(5)

35

memiliki korelasi yang signifikan terhadap kadar protein curd, hal tersebut membutuhkan pendalaman yang lebih mengenai metode pengukuran kadar protein pada whey dan curd. Mengingat metode pengukuran kadar protein untuk whey menggunakan metode Bradford sedangkan pada curd menggunakan metode Kjedahl.

Curd yang dihasilkan kemudian dianalisis kadar protein, massa, kadar air, dan pengukuran

tekstur obyektif menggunakan (TA-XT2i). Data kadar air ini digunakan untuk mengonversi jumlah total padatan curd yang dihasilkan. Kadar protein, massa, kadar air dan total padatan curd masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kadar Protein*, massa, kadar air dan total padatan curd

Sampel Kadar Protein

Curd* (g/100g) Massa Curd (g) *** Kadar Air Curd** (g/100g) Total Padatan Curd (g) 63 °C_0.4% 8.14±1.72 a 140.80±20.65 a 83.62±1.41 c 23.0631±3.38 a 63 °C_0.8% 14.01±2.76 c 183.35±8.98 b 80.55±0.69 ab 35.6660±1.75 a 63 °C_1.2% 13.17±3.73 bc 188.15±10.39 b 81.52±1.07 b 34.7701±1.92 a 83 °C_0.4% 10.95±1.77 abc 201.85±9.12 b 84.98±0.52 c 30.3179±1.37 a 83 °C_0.4% 10.87±1.51 ab 179.80±13.86 b 79.46±0.94 a 36.9390±2.85 a 83 °C_0.4% 10.24±0.97 ab 176.35±2.33 b 80.07±0.65 a 35.1466±0.47 a Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) *Diukur dengan metode Kjedahl basis basah

**Diukur dalam basis basah *** Dari 500 g kacang kedelai

Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kadar protein curd pada taraf 5%. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 22.), pada suhu awal koagulasi 63 °C terlihat peningkatan kadar protein curd yang signifikan pada peningkatan konsentrasi GDL 0.4% menjadi 0.8%, namun kadar protein curd tidak mengalami perubahan yang signifikan pada konsentrasi GDL 1.2%. Peningkatan kadar protein curd tersebut disebabkan oleh proses koagulasi pada konsentrasi GDL 0.4% belum berlangsung sempurna, sehingga saat koagulasi sempurna (GDL 0.8%) protein yang terkoagulasi bertambah dan meningkatkan kadar protein curd. Kadar protein curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena pada suhu awal koagulasi 83 °C, proses koagulasi sudah optimum sehingga jumlah protein yang mampu dikoagulasi relatif sama. Kadar protein curd yang tertinggi dihasilkan saat perlakuan suhu koagulasi 63 °C dengan penambahan GDL 0.8% (14.01 g/100g). Jika dikaitkan dengan pH whey yang dihasilkan, kadar protein curd tertinggi (60 °C_0.8%) terjadi pada saat whey memiliki nilai pH 5.14 (Gambar 21.). dan menurun dengan naik/turunnya pH whey. Hal tersebut disebabkan oleh pH lingkungan yang medekati pH isoelektrik protein yang menyebabkan proses koagulasi dapat lebih optimum dalam mengkoagulasi protein. Kondisi optimum koagulasi pada perlakuan ini dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu besarnya kadar protein dalam curd atau besarnya rendemen curd. Jika dilihat dari kadar protein curd maka kondisi optimum diperoleh pada saat perlakuan 63 °C_0.8% dan jika dilihat dari rendemen curd diperoleh saat perlakuan 83 °C_0.4%.

Berdasarkan Tabel 8. dapat dilihat bahwa massa curd yang dihasilkan berkisar antara 140.80 – 201.85 g. Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap massa curd yang terbentuk. Massa curd yang rendah pada perlakuan 63 °C_0.4% (140.80 g) disebabkan oleh proses koagulasi yang belum sempurna yang ditandai dengan penampakan

(6)

36

terdapatnya protein susu kedelai yang belum terkoagulasi sehingga menyebabkan penurunan rendemen curd. Peristiwa koagulasi yang tidak sempurna tersebut disebabkan oleh proses koagulasi yang berjalan lambat, yang dapat disebabkan oleh suhu koagulasi yang terlalu rendah atau kurangnya jumlah koagulan yang ditambahkan (Shurtleff dan Aoyagi 1979).

Menurut Blazek (2008) peningkatan temperatur koagulasi dan kecepatan pengadukan sesaat setelah penambahan koagulan juga akan menurunkan rendemen curd dan mempengaruhi kekerasan

curd yang terbentuk. Pengaruh peningkatan suhu awal koagulasi maupun konsentrasi koagulan dapat

mempercepat proses koagulasi dan berdampak terhadap menurunnya rendemen curd yang dihasilkan. Namun berdasarkan analisis ragam (Lampiran 11.), menunjukkan bahwa perlakuan peningkatan suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL yang digunakan hanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap massa curd pada perlakuan 60 °C_0.4%, yang disebabkan oleh proses koagulasi yang belum sempurna.

Pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap kadar air curd seharusnya berbanding lurus dengan berat curd yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena gel dari protein kedelai ini, atau yang secara konvensional dikenal sebagai tahu, memiliki kemampuan untuk membentuk matriks yang mampu menahan air, lemak, polisakarida, flavor dan komponen lainnya (Zayas 1997). Sehingga pada umumnya rendemen curd yang besar disebabkan oleh kandungan kadar air yang cukup tinggi pula. Hal tersebut didukung oleh besarnya total padatan dari masing-masing perlakuan yang tidak berbeda nyata (Lampiran 13.)

Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 15.) menunjukan bahwa perlakuan suhu awal koagulasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar air curd yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata kadar air pada suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C masing-masing sebesar 81.90% dan 81.50%. Peningkatan suhu awal koagulasi dapat menyebabkan proses koagulasi berlangsung semakin cepat. Menurut Milewski (2001), pemanasan akan meningkatkan energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Semakin tinggi suhu pemanasan akan semakin tinggi pula energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Tingginya energi vibrasi dan rotasi ini menyebabkan peluang protein untuk bertabrakan dan menyatu menjadi lebih besar sehingga proses agregasi pun menjadi lebih cepat. Kecepatan koagulasi protein akan mempengaruhi banyaknya protein yang menyatu membentuk matriks curd dan kemampuan matriks protein untuk mengikat komponen lain, khususnya air yang pada akhirnya akan mempengaruhi tekstur curd yang dihasilkan.

Konsentrasi GDL dan Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar air curd. Pengaruh konsentrasi GDL terhadap kadar air curd menunjukkan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi koagulan menyebabkan penurunan kadar air

curd. Kadar air curd yang tertinggi baik pada suhu awal koagulasi 63 °C maupun 83 °C terdapat pada

saat penambahan GDL 0.4%, yaitu masing-masing sebesar 83.62% dan 84.98%. Hal tersebut disebabkan oleh proses koagulasi yang berlangsung lebih lambat dibandingkan pada perlakuan GDL 0.8% dan 1.2%. Proses koagulasi yang lambat tersebut akan memberikan kesempatan curd untuk memerangkap air lebih banyak. Berdasarkan uji statistika Anova (Lampiran 15.), peningkatan konsentrasi GDL 0.8% dan 1.2 % tidak menunjukkan penurunan kadar air yang signifikan pada taraf 5%.

Total padatan curd merupakan selisih antara massa total curd dengan massa air di dalam curd atau dapat diperoleh melaui perhitungan [ (1 - Kadar air curd) x Massa curd ]. Data ini mencerminkan massa padatan yang ada dalam curd, baik protein maupun nonprotein yang terperangkap dalam matriks curd. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 13.), hanya konsentrasi GDL yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total padatan curd, dimana total padatan curd terendah terjadi pada penambahan GDL dengan konsentrasi 0.4%, kemudian meningkat pada penambahan GDL 0.8% dan

(7)

37

1.2% (namun peningkatan total padatan pada konsentrasi GDL 0.8% dan 1.2% tidak signifikan pada taraf 5%). Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson 2-tailed (Lampiran 30.), total padatan curd berkorelasi positif dengan masa curd (0.684), dan berkorelasi negatif dengan pH (-0.773), kadar protein whey (-0.759) dan kadar air curd (-0.626) pada taraf 5%.

2. Analisis Texture Curd secara Obyektif (TA-XT2i)

Sifat tekstural tahu memainkan peran penting dalam mempengaruhi kualitas dan penerimaan konsumen (Liu et al. 2004). Tekstur tahu yang baik memiliki penampakan yang lembut, kokoh, kompak namun tidak keras dan tidak terlalu elastis (Blazek 2008). Umumnya, karakteristik tekstur

curd secara obyektif dianalisis menggunakan instrumen texture analyser TA-XT2i dengan metode Texture Profile Analysis (TPA). Analisis dilakukan terhadap parameter-parameter mekanik seperti

kekerasan, kohesivitas dan daya kunyah (Prabhakaran et al. 2006).

Curd yang dihasilkan direndam air dan disimpan didalam refrigerator selama 1 malam sebelum

pengukuran TPA. Sebelum curd dianalisis, curd dikeluarkan dari refrigerator dan didiamkan selama 1 jam di suhu ruang. Curd dipotong berbentuk silinder dengan d ± 3.5 cm. Pengukuran sampel curd dilakukan sebanyak empat kali dari empat titik yang berbeda. Sampel curd yang akan diukur, dipotong berbentuk silinder dengan diameter ±1 cm. Sampel dianalisis menggunakan probe P/100 dengan diameter 100mm serta pengaturan alat seperti pada metode penelitian (Tabel 5.). Hasil pengukuran tekstur curd menggunakan TPA menghasilkan sebuah grafik, contoh grafik TPA curd pada perlakuan 83 °C_0.8% dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24. Grafik TPA curd perlakuan (83oC_0.8%)

Parameter Kekerasan dapat diperoleh dari puncak tertinggi pada kurva pertama, yang menggambarkan seberapa besar gaya yang diberikan hingga terjadi perubahan (deformasi) pada curd. Perubahan (deformasi) pada curd menyebabkan kurva mengalami penurunan setelah mencapai titik maksimumnya. Curd dengan nilai kekerasan paling rendah dihasilkan pada perlakuan suhu awal koagulasi 83 °C dengan penambahan GDL 0.4% (1.49 kg F) ,sedangkan nilai kekerasan curd yang paling tinggi dihasilkan pada perlakuan suhu awal koagulasi 83°C dengan penambahan GDL 0.8% (3.05 kg F). Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 17a.), perlakuan suhu awal koagulasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekerasan curd yang dihasilkan. Koagulasi pada suhu awal 63 °C

Kekerasan A 1 A 2 L 2 L 1 Kohesivitas = A 2/ A 1

Daya Kunyah = A 2/A 1 * Kekerasan Elastisitas = L 2/ L 1

(8)

38

menghasilkan curd yang lebih lunak daripada koagulasi pada suhu awal 83 °C dengan rataan nilai kekerasan masing-masing sebesar 1.95 kg F dan 2.16 kg F. Baik pada suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C, penambahan GDL dengan konsentrasi 0.4% menghasilkan curd yang paling lunak, sedangkan penambahan GDL dengan konsentrasi 0.8% menghasilkan curd yang paling keras. Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekerasan

curd, dimana nilai kekerasan curd meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi GDL dari 0.4%

menjadi 0.8% kemudian menurun saat konsentrasi GDL 1.2%. Peristiwa ini terjadi karena struktur

curd pada perlakuan konsetrasi 1.2% secara visual menunjukkan bentuk yang rapuh dan mudah pecah.

Rapuhnya struktur curd secara visual ini disebabkan karena partikel koagulat yang terbentuk memiliki ukuran yang sangat kecil sehingga membuat curd sulit untuk dicetak. Menurut Puppo dan Anon (1999), pada pH asam gel yang terbentuk akan semakin mudah pecah seiring dengan menurunnya kemampuan menahan air (WHC).Menurut Hou et al. (1997), peningkatan konsentrasi koagulan dapat meningkatkan kekerasan tahu tetapi menyebabkan penurunan rendemen. Profil tekstur

curd berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 25.

Pengaruh suhu awal koagulasi dapat dilihat pada konsentrasi 0.8%, dimana nilai kekerasan

curd lebih tinggi pada suhu awal 83 °C (3.05 kgF) dibandingkan pada suhu awal 63 °C (2.26 kgF).

Perbedaan kekerasan tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan kadar air curd, dimana kadar air curd pada perlakuan 83 °C_0.8% (79.46%) lebih rendah dibandingkan dengan kadar air curd perlakuan 63 °C_0.8% (80.55%). Peningkatan kekerasan curd seringkali dihubungkan dengan penurunan kemampuan matriks dalam menahan air (WHC) (Obatolu 2007). Curd yang keras memiliki struktur matriks yang padat karena molekul-molekul protein berdekatan satu dengan lainnya sebagai akibat dari hilangnya air pada tahap koagulasi. Pola peningkatan kekerasan berbanding terbalik dengan kadar air curd (Tabel 8.), kadar air yang tinggi pada curd akan menyebabkan curd menjadi lunak. Namun pengaruh besarnya kadar air terhadap kekerasan curd lebih mengarah kepada interaksinya di dalam

curd dan bagaimana air terperangkap di dalamnya.

Gambar 25. Profil tekstur curd berbagai perlakuan

Kekompakan struktur matriks curd yang ditunjukkan melalui parameter kohesivitas. Rosenthal (1999) menyebutkan bahwa kohesivitas adalah rasio usaha yang dibutuhkan untuk menekan pangan pada gigitan kedua dibandingkan dengan usaha yang dibutuhkan untuk menekan pada gigitan kedua.

a c b a d b b b b b a b b c c a d c 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 63°C _0.4% 63°C_0.8% 63°C_1.2% 83°C_0.4% 83°C_0.8% 83°C_1.2%

(9)

39

Kohesivitas menggambarkan kekompakan dan kekokohan curd serta menunjukkan kekuatan ikatan-ikatan dalam curd yang menyusun bentuk curd. Besarnya nilai kohesivitas dapat diperoleh dari rasio antara luas area dibawah kurva puncak kedua dengan luas area dibawah kurva puncak pertama. Luas area dibawah puncak kurva merupakan integral waktu (t) terhadap gaya(F) yang setara dengan usaha.

Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 17b.), nilai kohesivitas curd dipengaruhi secara nyata oleh konsentrasi GDL dan interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL pada taraf 5%. Penambahan GDL dengan konsentrasi 0.4% menghasilkan curd dengan kohesivitas terendah, penambahan GDL dengan konsentrasi 0.8% dan 1.2% menghasilkan kohesivitas yang lebih tinggi namun besarnya tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL memberikan pengaruh yang signifikan pada taraf 5%, dengan nilai kohesivitas terkecil pada perlakuan 83 °C_0.4%(34.77%) dan nilai kohesivitas yang tertinggi pada perlakuan 83 °C_0.8% (43.18%). Nilai kohesivitas yang kecil menunjukkan bahwa curd yang terbentuk memiliki struktur yang tidak kompak Partikel koagulat yang kecil ketika tahap koagulasi menjadi penyebab kurang kompaknya struktur curd.

Daya kunyah (gumminess) sampel curd menunjukkan seberapa mudah sampel dipecah menjadi bagian-bagian kecil sebelum ditelan ketika sampel berada di dalam mulut. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 17), suhu awal koagulasi, konsentrasi GDL dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang signifikan pada taraf 5%. Curd yang dikoagulasi pada suhu awal 63° C memiliki daya kunyah yang lebih rendah daripada curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C dengan rata-rata nilai daya kunyah curd masing-masing sebesar 0.79 kg F dan 0.88 kgF. Daya kunyah yang rendah ini disebabkan curd yang dihasilkan pada suhu awal koagulasi 63 oC memiliki nilai kekerasan yang lebih kecil dibandingkan dengan curd yang dihasilkan pada suhu awal 83 oC. Selain itu, kekompakan struktur curd yang dihasilkan pada suhu awal koagulasi 63 oC lebih rendah daripada kekompakan struktur curd yang dihasilkan pada suhu awal koagulasi 83 oC. Menurut DeMan (1985), nilai

gumminess(daya kunyah) dipengaruhi oleh kekerasan serta kekompakan sampel.Semakin tinggi

kekerasan sampel dan semakin kompak struktur sampel tersebut akan membuat daya kunyahnya menjadi semakin tinggi.

Pengaruh konsentrasi GDL terhadap daya kunyah curd menunjukkan pola perubahan yang sama dengan pola perubahan nilai kekerasan curd, dimana terjadi peningkatan daya kunyah curd seiring dengan peningkatan konsentrasi GDL dari 0.4% menjadi 0.8%, namun daya kunyah menurun saat peningkatan konsentrasi GDL menjadi 1.2%. Nilai daya kunyah curd terendah pada perlakuan suhu awal koagulasi 83 °C dengan penambahan GDL konsentrasi 0.4% (0.52 kgF) dan yang tertinggi pada suhu koagulasi awal 83 °C dengan penambahan GDL 0.8% (1.32 kgF).

Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson 2-tailed (Lampiran 29.), kadar air memberikan korelasi negatif terhadap kekerasan (-0.810), kohesivitas (-0.762) dan daya kunyah curd (-0.832) pada taraf 5%. Semakin tinggi kadar air curd, semakin rendah nilai kekerasan, kohesivitas, dan daya kunyah curd. Lampiran 29. juga menunjukkan adanya korelasi positif antara parameter tekstur lain, yaitu kohesivitas dan daya kunyah, dengan kekerasan curd pada taraf 5%.

3. Analisis Tekstur Curd secara Subyektif

Selain analisis tekstur secara obyektif, sampel curd juga dievaluasi secara subyektif dengan pendekatan penekanan dengan menggunakan telunjuk dan ibu jari. Pengujian sensori ini diperlukan untuk melihat respon konsumen terhadap sampel curd. Menurut Szczesniac (1987) yang dikutip oleh Faridi dan Faubion (1990) uji sensori dilakukan karena tekstur merupakan atribut sensori dimana hanya indera manusia seperi peraba, penglihatan dan pendengaran yang dapat mempersepsikan, menjelaskan dan mengukur tekstur.

(10)

40

Analisis kekerasan curd yang dilakukan oleh panelis terlatih dalam bidang kekerasan curd dengan menekan curd mentah menggunakan telunjuk dan ibu jari. Dalam hal ini, panelis tidak melakukan penilaian secara langsung terhadap curd hasil perlakuan suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL. Analisis subyektif kekerasan curd dilakukan menggunakan persamaan regresi hubungan antara tekstur obyektif dan subyektif tahu komersial. Tingkat kekerasan sampel curd yang diberi perlakuan berada didalam kisaran tingkat kekerasan tahu komersial tersebut. Penilaian

kekerasan tahu komersial menggunakan uji rating skala garis dengan skala 0 = sangat lunak dan skala 15 = sangat keras.

Sebelas panelis terlatih dalam bidang kekerasan curd dilibatkan dalam analisis kekerasan curd. Sebelumnya, sekitar 30 calon panelis diseleksi dengan uji segitiga dan uji rangking terhadap kekerasan beberapa curd kedelai komersial. Kuesioner uji segitiga dan uji rangking yang digunakan dalam proses seleksi ini dapat dilihat pada Lampiran 2. Sebanyak 12 calon panelis terlatih yang lolos seleksi kemudian dilatih dalam Focus Group Discussion (FGD). Dari 12 calon panelis yang lolos seleksi, hanya 11 orang yang aktif hingga akhir pelatihan. Menurut Kemp et al. (2009), analisis deskriptif hanya membutuhkan 6-18 panelis terlatih dengan kemampuan sensori yang baik dan telah menerima pelatihan.

Pelatihan panelis bertujuan menyamakan persepsi semua panelis. Kesamaan persepsi merupakan prasyarat agar keragaman penilaian antar panelis dapat diminimalkan. Pelatihan panelis juga dilakukan agar panelis memberikan penilaian yang konsisten terhadap sampel curd yang sama. Kem et al. (2009) menyebutkan bahwa tujuan pelatihan panelis tidak hanya meningkatkan kemampuan panelis dalam mendeteksi, membedakan, dan mendeskripsikan sampel, melainkan juga meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi ragam antar penelis.

Berdasarkan hasil seleksi, diperoleh enam merek curd komersial dengan kisaran kekerasan 0.46 kg F hingga 4.75 kg F. Curd yang terpilih sebagai sampel dapat dilihat pada Lampiran 18. Berdasarkan penilaian subyektif panelis dan obyektif TPA terhadap enam sampel tahu komersil, diperoleh persamaan garis y = 2.876 x + 1.358 dengan nilai R2 = 0.935. Persamaan garis tersebut dapat digunakan dalam penentuan penilaian subyektif terhadap curd GDL dengan memasukkan nilai obyektif kekerasan curd perlakuan sebagai variabel x. Hasil pengujian dan analisis ragam terhadap kekerasan curd dengan penekanan dapat dilihat pada Lampiran 17 dan Lampiran 18.

Besar tingkat kekerasan curd secara subyektif dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan konsentrasi GDL dan interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL. Berdasarkan pengujian statistik, kekerasan curd secara subyektif yang tertinggi pada penambahan GDL 0.8% (8.99) dan yang terendah pada penambahan GDL 0.4% (5.79). Grafik pengaruh interaksi antara konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap kekerasan penekanan subyektif curd dapat dilihat pada Gambar 26.

Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsetrasi GDL memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penilaian subyektif curd. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 19.), interaksi antara kedua variabel tersebut memberikan peningkatan yang signifikan terhadap kekerasan curd pada konsentrasi 0.8%. Berdasarkan penilaian subyektif pada penambahan GDL dengan konsentrasi 0.8%, kekerasan curd saat suhu awal koagulasi 83 °C (10.12) lebih tinggi dibandingkan dengan saat suhu awal koagulasi 63 °C (7.87).

(11)

41

Huruf yang berbeda pada bar menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Gambar 26. Grafik tekstur penekanan (subyektif) untuk variabel suhu koagulasi dan konsentrasi GDL (0 = sangat lunak dan 15 = sangat keras)

4. Elektroforesis Fraksi Protein Curd

a. Pelarutan Protein

Proses pelarutan dilakukan pada sampel curd dan tepung kedelai menggunakan buffer [Tris(hydroxymethyl)aminomethane] pH 8.4 yang mengandung 0.02 M β–mercaptoethanol. Prinsip dari proses pelarutan protein adalah mereduksi ikatan-ikatan protein yang terbentuk, dimana β– mercaptoethanol memiliki peran sebagai reducing agent yang dapat memutuskan ikatan disulfida protein sehingga protein dapat terekstrak dari matriks pangan (Corredig 2006).

Proses pelarutan dilakukan melalui tiga tahapan, kemudian hasil pelarutan protein dianalisis kadar proteinnya dengan metode Bradford (1979). Selanjutnya sampel (curd dan tepung kedelai) dianalisis kadar total proteinnya dengan metode mikro Kjeldahl (AOAC 1995). Sehingga berdasarkan hasil pengukuran kadar protein metode Bradford dan Kjeldahl, dapat dihitung besar persen recovery proses pelarutan protein. Data total protein (kjeldahl dan pelarutan), serta persen recovery pelarutan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil analisis protein curd Sampel Total Protein

Kjeldahl * Total Protein Tereksrak * Recovery (%) Tepung Kedelai 39.85 13.38 33.56 60_0.4% 8.14 a 5.61ab 68.28b 60_0.8% 14.01 c 8.17 c 58.76ab 60_1.2% 13.17 bc 7.59 bc 58.23ab 80_0.4% 10.95 abc 6.68 abc 60.66ab 80_0.8% 10.87 ab 6.17 abc 56.82ab 80_1.2% 10.24 ab 5.10 a 50.55a

Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

* Diukur dalam satuan mg/100mg berat sampel

Proses pelarutan protein pada tepung kedelai menghasilkan persen recovery pelarutan yang paling rendah (33.56%), hal tersebut diduga disebabkan oleh masih terikatnya protein kedelai dalam

a b ab a c ab 0 2 4 6 8 10 12 0.4% 0.8% 1.2% Kek era sa n S u b yek ti f C u rd Konsentrasi GDL 60 C 80 C 63 C 83 C

(12)

42

matriksnya (saat dalam bentuk tepung) sehingga lebih sulit untuk dilarutkan. Perlakuan suhu awal koagulasi atau konsentrasi GDL tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar protein

curd yang dihasilkan. Namun interaksi kedua variabel tersebut memberikan pengaruh yang cukup

signifikan terhadap kadar protein curd.

Peningkatan konsentrasi tidak menyebabkan peningkatan kadar protein curd secara signifikan kecuali pada suhu awal koagulasi 63 °C dimana terjadi peningkatan kadar protein curd saat peningkatan konsentrasi 0.4% menjadi 0.8%. Hal tersebut disebabkan oleh proses koagulasi pada konsentrasi 0.4% belum berlangsung sempurna sehingga tidak semua protein terkoagulasi. Pada perlakuan konsentrasi 0.8%, kadar protein curd meningkat yang disebabkan oleh proses koagulasi yang sudah berlangsung sempurna.

Pengaruh suhu awal koagulasi terhadap jumlah protein yang dapat diekstrak menunjukkan bahwa rata-rata total protein yang dapat diekstraksi pada suhu awal koagulasi 63 °C (7.12mg/100mg) lebih besar dibandingkan pada suhu awal koagulasi 83 °C (5.98 mg/100ml). Hal tersebut diduga bahwa dengan meningkatnya suhu awal koagulasi menyebabkan interaksi antar molekul protein curd menjadi semakin kuat sehingga lebih sulit untuk diekstrak. Secara umum pengaruh peningkatan konsentrasi GDL pun menyebabkan penurunan jumlah total protein yang dapat diekstrak. Seperti yang sebelumnya dibahas, diduga pula bahwa dengan peningkatan konsentrasi GDL akan menyebabkan interaksi protein curd semakin kuat sehingga protein yang mampu diekstrak pun akan menurun.

Berdasarkan data persen recovery pelarutan protein, dapat diketahui pula bahwa nilai persen

recovery pelarutan menurun dengan peningkatan suhu awal koagulasi dan peningkatan konsentrasi

GDL yang ditambahkan. Pola penurunan persen recovery pelarutan yang disebabkan oleh peningkatan suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL tersebut diduga pula disebabkan oleh interaksi protein curd yang semakin kuat. Besarnya nilai persen recovery pelarutan curd ini merupakan hal yang cukup penting dalam analisis selanjutnya. Semakin besar nilai persen recovery pelarutan, maka jumlah protein yang terdeteksi sebagai pita saat analisis elektroforesis akan semakin mewakili total protein di dalam curd.

b. Analisis GEL Elektroforesis

Hasil pelarutan protein (tepung kedelai dan curd berbagai perlakuan) yang akan dianalisis elektroforesis terlebih dahulu dianalisis kadar proteinnya menggunakan metode Bradford. Hal tersebut bertujuan agar konsentrasi sampel tidak kurang dari batas deteksi pewarna yang digunakan (coomassie

brilliant blue, batas deteksi 0.1 μg) (Bolag dan Edelstein 1991). Selain itu, dengan mengetahui

kadar protein masing- masing sampel, maka jumlah protein yang akan diinjeksikan ke dalam mini slab elektroforesis dapat dibuat sama. Jumlah protein yang disuntikkan yaitu sebanyak 2.5 µg.

Elektroforesis digunakan dalam penelitian ini karena memiliki peran sangat penting dalam pemisahan molekul-molekul biologi, khususnya protein. Selain tidak mempengaruhi struktur biopolimer, elektroforesis juga sangat sensitif terhadap perbedaan muatan dan berat molekul yang cukup kecil (Bachrudin 1999). Penggunaan SDS dan merkaptoetanol disertai dengan pemanasan akan memecah struktur tiga dimensi protein, terutama ikatan disulfida menjadi subunit-subunit polipeptida secara individual. SDS akan bereaksi dengan protein membentuk kompleks SDS-protein yang bermuatan negatif. Kemudian protein dialirkan dalam medium yang mengandung medan listrik sehingga senyawa protein yang bermuatan negatif akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan muatan molekul protein. Prinsip inilah yang digunakan untuk memisahkan molekul-molekul dengan muatan berbeda. Menurut Pomeranz dan Meloan (1994), migrasi partikel bermuatan tersebut dapat terjadi akibat perbedaan muatan total, ukuran dan bentuk partikel

(13)

43

Marker, yang digunakan sebagai standar protein, dalam penelitian ini terdiri atas

protein-protein dengan berat molekul kecil (Low Molecular Weight). Marker (Fermentas) tersebut mengandung tujuh jenis protein standar, yaitu β-galactosidase (BM : 116 kDa), bovine serum albumin (BM : 66.2 kDa), ovalbumin (BM : 45 kDa), lactase dehidrogenase (BM : 35 kDa), REase BSP 981 (BM : 25 kDa), β-Lactoglobulin (BM : 18.4 kDa), dan lysozime (BM : 14.4 kDa).

Gel hasil elektroforesis SDS-PAGE tersebut di dokumentasikan dalam bentuk gambar dengan menggunakan Gel-Doc (Bio-rad). Hasil dokumentasi gel menggunakan GEL-DOC dapat dilihat pada Gambar 27.

Gambar 27. Profil SDS-PAGE totsl protein curd dengan GEL-DOC

1 : GDL 0.4% - 63 °C; 2 : GDL 0.8% - 63 °C; 3 : GDL 1.2% - 63 °C; 4 : GDL 0.4% - 83 °C; 5 : GDL 0.8% - 83 °C; 6 : GDL 1.2% - 83 °C; M : marker protein; T : tepung kedelai

Pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap profil protein berdasarkan SDS-PAGE ternyata menunjukkan pita protein dengan pola yang relatif sama. Pita protein yang muncul untuk hasil pelarutan curd semua perlakuan (6 perlakuan) menunjukkan pola yang relatif sama pula seperti pita protein pada hasil pelarutan tepung kedelai. Pita protein tersebut diduga terdiri dari α‟, α, β yang merupakan subunit 7S (β-konglisinin) dan pita golongan Asam (A1, A2 ,A3, A4, A5) dan Basa

(B1,B2,B3,B4) yang merupakan subunit 11S (Glisinin). Pendugaan tersebut berdasarkan data publikasi

gel SDS-PAGE protein kedelai oleh Mujoo et al. (2003) (Gambar 2.)

Analisis selanjutnya yaitu penentuan berat molekul masing-masing pita protein. Penentuan berat molekul pita protein dihitung berdasarkan kurva standar marker, yang diperoleh melalui hubungan antara mobilitas elektroforetik (Rf) dengan nilai logaritma berat molekul (Log BM) protein

marker (Lampiran 22.) Data penentuan berat molekul dari masing-masing pita protein dapat dilihat

pada Tabel 10.

Tabel 10. menunjukkan berat molekul yang hampir sama antara sampel curd dan tepung kedelai. Berat molekul masing-masing subunit yaitu α΄ (76.71-83.70 kDa), subunit α (67.92-73.98 kDa), β (55.54-55.87 kDa), kelompok asam (A1,A2,A3 dan A4) (22.82-39.53kDa), A5 (12.04-12.41

kDa) dan kelompok basa (16.41-19.79 kDa).

α α΄ β A3 Asam (A1,A2,A4) Basa A5 1 2 3 4 5 6 M

(14)

44

Tabel 10. Nilai berat molekul pita protein sampel tepung kedelai dan semua sampel curd

Protein BM ( kDa )

Tepung Kedelai Curd GDL

α΄ 83.70 82.92 76.71 77.70 α 73.57 73.98 67.94 67.92 β 55.54 55.87 A3 44.58 44.48 Asam (A1,A2,A4) 39.32 39.53 34.30 34.69 22.85 22.82 Basa 19.79 19.62 16.54 16.41 A5 12.41 12.04

Hasil GEL-DOC tersebut kemudian dianalisis densitas pita proteinnya dengan menggunakan ImageJ 1.42q (software dari Wayne Rasband, National Institute of Health, USA

(http://rsb.info.nih.gov/ij). Pengukuran densitas terhadap pita protein tersebut bertujuan untuk mengetahui persentase dari masing-masing pita tersebut. Dimana diduga bahwa terdapat perbedaan persentase pita protein pada masing- masing sampel yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi. Data hasil analisis densitas pita protein dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Persentase fraksi protein SDS-PAGE

Sampel

Protein (%)

α΄ and α β Asam Basa A5

(A3, A1, A2, A4)

Tepung Kedelai 20.33 11.33 39.03 25.38 3.93 63 °C_0.4% 29.15d 7.56b 36.39a 24.40c 2.50b 63 °C_0.8% 23.36b 8.87c 38.90bc 26.37d 2.50b 63 °C_1.2% 28.70d 7.44b 40.00c 22.10a 1.76a 83 °C_0.4% 24.49c 6.06a 38.23b 28.88e 2.34ab 83 °C_0.8% 24.87c 6.20a 41.62d 24.49c 2.82b 83 °C_1.2% 22.28a 9.31c 42.75d 23.20b 2.46b

Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Perhitungan persentase subunit merupakan perbandingan luas area masing-masing pita dibagi dengan luas area seluruh pita, sehingga jumlah total seluruh pita adalah 100% (Lampiran 26b.). Berdasarkan uji statistika ANOVA (Lampiran 27) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap subunit-subunit protein 7S maupun 11S pada curd semua perlakuan. Perbedaan persentase pada masing-masing subunit protein tersebut merupakan sebuah kombinasi yang mungkin mempengaruhi profil parameter tekstur curd yang terbentuk.

(15)

45

Pada perhitungan proporsi subunit 11S dan 7S dalam curd, dilakukan pengelompokkan subunit berdasarkan kedekatan pita protein dalam gel elektroforesis dan bertujuan untuk mempermudah analisis perhitungan densitas pita protein. Pengelompokan subuit tersebut dibagi menjadi lima kelompok, yaitu subunit α‟ dan α, β, kelompok asam (A3, A1, A2, dan A4), kelompok basa, dan A5.

Subunit α‟ dan α merupakan penyusun protein 7S (β-konglisinin). Menurut Mujo et al. (2003), subunit α‟ memiliki berat molekul sekitar 72 kDa, sedangkan α memiliki berat molekul sekitar 68 kDa. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 27a.), suhu awal koagulasi, konsentrasi GDL dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proporsi subunit α‟ dan α. Pengaruh suhu awal koagulasi menunjukkan bahwa proporsi subunit α΄ and α pada curd yang dikoagulasi pada suhu awal 63 °C (27.07%) lebih tinggi dibandingkan curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C (23.88%). Pengaruh konsentrasi GDL menunjukkan bahwa proporsi subunit α‟ dan α tertinggi diperoleh saat penambahan GDL 0.4% dan yang terendah saat penambahan GDL 0.8%. Interaksi antara suhu koagulasi dan konsentrasi GDL pun memberikan pengaruh yang signifikan dengan proporsi subunit α‟ dan α tertinggi saat perlakuan 63 °C_0.4% (29.15%) dan yang terendah saat perlakuan 83 °C_1.2% (22.28%).

Selain α‟ dan α, β-konglisinin (7S) juga tersusun atas polipeptida β yang memiliki berat molekul sekitar 52 kDa (Mujo et al. 2003). Analisis ragam (Lampiran 27b.) menunjukkan bahwa suhu awal koagulasi, konsentrasi GDL dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proporsi subunit β dalam curd. Curd yang dikoagulasi pada suhu awal 63 °C memiliki proporsi subunit β (7.96%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C (7.19%). Uji Duncan terhadap konsentrasi GDL menunjukkan bahwa proporsi subunit β tertinggi diperoleh saat penambahan GDL 1.2% dan terendah saat penambahan GDL 0.4%. Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL menunjukkan pengaruh yang signifikan dengan proporsi subunit β tertinggi saat perlakuan 83 °C_1.2% (7.56%) dan yang terendah saat perlakuan 83 °C_0.4% (6.06%).

Subunit kelompok Asam (A3, A1, A2, dan A4) yang menjadi penyusun protein 11S merupakan

subunit yang terbesar dibandingkan subunit lainnya. Analisis ragam (Lampiran 27c.) menunjukkan bahwa suhu awal koagulasi dan kosentrasi GDL memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proporsi subunit asam dalam curd. Pengaruh suhu awal koagulasi menunjukkan bahwa curd yang di koagulasi pada suhu awal 63 °C memiliki proporsi subunit asam yang lebih rendah dibandingkan curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C. Uji Duncan terhadap konsentrasi GDL dengan proporsi suubunit asam tertinggi diperoleh saat penambahan konsentrasi GDL 1.2% dan yang terendah saat penambahan GDL 0.4%.

Selain subunit asam, protein 11S juga di susun oleh subunit basa. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 27d.), suhu awal koagulasi, konsentrasi GDL dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proporsi subunit basa dalam curd. Suhu awal koagulasi 63 °C, cenderung menghasilkan curd dengan proporsi subunit basa yang lebih rendah dibandingkan dengan

curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C. Pengaruh konsentrasi GDL terhadap proporsi subunit

basa menunjukkan bahwa proporsi subunit basa tertinggi diperoleh saat penambahan GDL 0.4% dan yang terendah pada saat penambahan GDL 1.2%. Interaksi suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL pun memberikan pengaruh yang signifikan, dengan proporsi subunit basa tertinggi pada perlakuan 83 °C_0.4% (28.88%) dan yang terendah pada perlakuan 63 °C_1.2% (22.09%).

Subunit A5 merupakan polipeptida penyusun protein 11S yang termasuk kelompok asam.

Analisis ragam (Lampiran 27e.) menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proporsi subunit A5.

(16)

46

Banyak penelitian telah dilakukan terhadap pembuatan curd yang berasal dari bahan baku protein kedelai 11S dan 7S hasil pengisolasian. Telah dilaporkan pula bahwa curd yang dihasilkan dari protein 11S maupun 7S memberikan perbedaan karakteristik tekstur yang dihasilkan. Berbagai rasio antara subunit 11S /7S telah diujikan dan dikorelasikan terhadap parameter tekstur curd yang terbentuk. Dimana rasio 11S/7S yang lebih besar dilaporkan menyebabkan peningkatan kekerasan

curd yang terbentuk (Mujoo et al. 2003). Namun pada pembuatan curd yang berasal dari protein

kedelai alami, merupakan sebuah sistem kompleks yang merupakan interaksi banyak material, seperti protein, lemak, karbohidrat dan sebagainya. Oleh karena itu diduga terdapat pola yang berbeda mengenai rasio 11S/7S pada curd berbahan dasar protein kedelai alami dan curd berbahan dasar protein isolasi (11S dan 7S). Data persentase subunit 11S, 7S dan rasio 11S/7S seluruh perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Persentase protein 11S, 7S, dan rasio 11S/7S SDS-PAGE

Sampel Protein (%) Hardness (kg F) 7S 11S 11S/7S 63 °C_0.4% 36.71c 63.29a 1.72 a 1.59a 63 °C_0.8% 32,23bc 67,77b 2,10 b 2.26c 63 °C_1.2% 36.14c 63.86a 1.77 a 1.99b 83 °C_0.4% 30.55a 69.45c 2.27 c 1.49a 83 °C_0.8% 31.07a 68.93c 2.22 c 3.05d 83 °C_1.2% 31.59ab 68.41bc 2.17 bc 1.93b

Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Hasil analisis densitas pita protein menunjukkan bahwa sebagian besar protein globulin penyusun curd didominasi oleh glisinin (11S), yang merupakan hasil penjumlahan polipeptida kelompok asam (A3, A1, A2, dan A4), kelompok basa dan A5, yaitu sekitar 64.97% untuk curd yang

dikoagulasikan pada suhu awal 63 oC dan sekitar 68.93% untuk curd yang dikoagulasikan pada suhu awal 83 oC. Sedangkan kandungan β-konglisinin (7S) hanya sekitar 35.03% untuk curd yang dikoagulasikan pada suhu awal 63 oC dan sekitar 31.07 % untuk curd yang dikoagulasikan pada suhu awal 83 oC.

Berdasarkan pengujian statistika mengenai korelasi antara rasio 11S/7S terhadap kekerasan

curd GDL (Lampiran 28), diketahui bahwa jika pengujian dilakukan hanya menggunakan data suhu

awal koagulasi 63 °C dan tiga konsentrasi GDL, tingkat korelasi antara kekerasan dan rasio 11S/7S sebesar 0.749. Hal tersebut menandakan bahwa adanya korelasi positif yang cukup besar antara peningkatan rasio 11S/7S pada curd dengan peningkatan kekerasannya. Pengujian dengan menggunakan data suhu awal koagulasi 83 °C dan tiga konsentrasi GDL menunjukkan korelasi yang berlainan yaitu sebesar -0.156. Nilai korelasi yang kecil menunjukkan tidak adanya korelasi antara rasio 11S/7S terhadap kekerasan curd. Tidak adanya korelasi yang signifikan pula terjadi jika semua data digabungkan, hasil pengujian menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0.297.

Pola korelasi rasio protein 11S/7S yang dipengaruhi oleh perlakuan suhu awal koagulasi diduga disebabkan oleh perbedaan kecepatan gelasi antara protein 11S dan 7S. Menurut Nagano et al. (1994a,b), protein 7S dapat membentuk gel pada suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan protein 11S. Perlakuan suhu awal koagulasi 63 °C diduga menyebabkan protein 11S belum terkoagulasi sempurna, sehingga jumlah protein 11S yang terkoagulasi merupakan pengaruh dari pH. Oleh karena itu pada suhu awal koagulasi 63 °C, rasio protein 11S/7S berfluktuasi dan ternyata memiliki pola yang

(17)

47

sejalan dengan pola perubahan tingkat kekerasan curd. Fenomena pada perlakuan suhu awal koagulasi 83 °C, menunjukkan bahwa rasio protein 11S/7S pada semua konsentrasi GDL relatif memiliki besar yang sama, hal tersebut diduga pada suhu awal 83 °C, protein 11S yang belum terkoagulasi sempurna pada suhu awal 63 °C sudah terkoagulasi sempurna pada suhu ini, sehingga rasio protein 11S/7S yang dihasilkan relatif sama. Besarnya rasio 11S/7S yang relatif sama pada suhu koagulasi ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekerasan curd, hal tesebut diduga karena sebenarnya tekstur curd lebih dipengaruhi oleh tipe gel penyusun curdnya. Dimana interaksi antara suhu koagulasi dan konsentrasi GDL diduga menyebabkan perbedaan kombinasi jumlah tipe gel penyusun

Gambar

Gambar 23. Grafik pH whey pada berbagai perlakuan 6,415,78d5,71d5,14c4,82a5,054,77ba012345676080pH
Gambar 24. Grafik TPA curd perlakuan (83 o C_0.8%)
Gambar 25. Profil tekstur curd berbagai perlakuan
Tabel 9. Hasil analisis protein curd  Sampel  Total Protein
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dari Pasal tersebut maka timbulah kegelisahan akademik tentang kekuatan imperaif mediasi itu sendiri yang menyebutkan putusan batal demi hukum jika tidak

Seiring dengan hal itu pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemdikbud) telah melakukan upaya mendasar dan progresif yakni merubah kurikulum

Dari penjelasan tanggapan responden mengenai pelaksanaan promosi pada industry batu bata kulim, maka dapat ditarik kesimpulan bahwasannya pelaksanaan strategi

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan pendaftaran fidusia menurut Surat Edaran Direktorat Jenderal

Pemasaran media sosial atau sering disebut social media marketing adalah bentuk pemasaran langsung atau tidak langsung yang digunakan untuk membangun kesadaran, pengakuan,

perubahan nilai, Kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yaitu pelaksanaan bimbingan karir dalam pengembangan life sills

1) Karakteristik industri rumahan opak ketan dan kelontong di Kampung Cikatuncar Kelurahan Kotabaru Kecamatan Cibeureum Kota Tasikmalaya adalah dengan bahan baku yang