• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KUALITAS ATTACHMENT AYAH-ANAK DAN IBU- ANAK DENGAN KUALITAS PERSAHABATAN PADA REMAJA MADYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN KUALITAS ATTACHMENT AYAH-ANAK DAN IBU- ANAK DENGAN KUALITAS PERSAHABATAN PADA REMAJA MADYA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KUALITAS

ATTACHMENT

AYAH-ANAK DAN

IBU-ANAK DENGAN KUALITAS PERSAHABATAN PADA REMAJA

MADYA

Nidia Robertina & Mita Aswanti Tjakrawiralaksana Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

nidia.robertina@gmail.com Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara kualitas attachment ayah-anak dan ibu-anak dengan kualitas persahabatan pada remaja madya. Partisipan pada penelitian ini adalah remaja yang berusia 15 hingga 17 tahun, sebanyak 97 partisipan. Kualitas Attachment pada ayah-anak dan ibu-anak diukur dengan alat ukur Inventory of Parent and Peer Attachment yang disusun oleh Armsden dan Greenberg (1987). Kualitas persahabatan diukur dengan alat ukur Friendship Quality Questionnaire dari Parker dan Asher (1989) yang dibagi menjadi dua dimensi, yakni dimensi kualitas persahabatan positif yang terdiri aspek validation and caring, companionship and recreation, help and guidance, intimate exchange, dan conflict resolution, serta dimensi kualitas persahabatan negatif yang memiliki aspek conflict and betrayal. Hasil utama pada penelitian ini menemukan bahwa kualitas attachment ibu-anak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kualitas persahabatan positif dan memiliki hubungan yang signifikan terhadap kualitas persahabatan negatif. Kemudian pada kualitas attachment ayah-anak, ditemukan hasil yang signifikan terhadap dimensi kualitas persahabatan positif, namun tidak signifikan terhadap dimensi kualitas persahabatan negatif.

The Relationship of Father-Child and Mother-Child Attachment Quality with Friendship Quality among Middle Adolescence

Abstract

This research aimed to see the relationship between the attachment quality of father-child and mother-child with friendship quality among middle adolescence. The participants of this research were 97 adolescents aged 15 to 17 years old. Attachment quality of father-child and mother-child were measured using Inventory of Parent and Peer Attachment which developed by Armsden and Greenberg (1987). The friendship quality was measured using Friendship Quality Questionnaire developed by Parker and Asher (1989) which consists of two dimensions: positive friendship quality that consisting of aspects validation and caring, companionship and recreation, help and guidance, intimate exchange, conflict resolution; and negative friendship quality that having an aspect conflict and betrayal. The main result of this research found that the attachment quality on mother-child significantly correlated with positive friendship quality and also significantly correlated with negative friendship quality Attachment quality on father-child significantly correlated with positive dimension of friendship quality, but it there is no correlation with negative dimension of friendship quality.

Keywords: Attachment quality; friendship quality, middle adolescence

PENDAHULUAN

Pada masa remaja, teman sebaya dinilai sebagai sumber dukungan terbesar dalam hubungan persahabatan dan munculnya keintiman (Buhrmester; Furman & Buhrmester;

(2)

Hunter & Youniss; Wintre & Crowley dalam Freeman & Brown, 2001). Remaja mulai mengandalkan teman sebaya dalam mendapatkan dukungan dan kedekatan,   saling menceritakan rahasia maupun masalah yang mereka hadapi, serta berfungsi untuk mempelajari dan membentuk perilaku yang baru (Cobb, 2001).

Pada remaja madya, yakni remaja yang menginjak usia 15 hingga 17 tahun, persahabatan pada kategori usia ini dianggap sudah mencapai titik yang lebih stabil dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Namun memasuki usia ini terjadi berbagai perubahan dari masa sebelumnya, yang mengakibatkan remaja mengalami kecemasan dalam hubungan persahabatan sehingga menimbulkan insecurity (Cobb, 2001). Remaja membutuhkan sahabat yang dapat memberikan keamanan bagi dirinya, yakni orang yang dapat dipercaya. Banyak manfaat yang diperoleh remaja melalui hubungannya dengan sahabat, namun tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perselisihan dalam hubungan antara remaja dengan temannya.

Berbagai macam bentuk perselisihan dapat terjadi di kalangan persahabatan remaja. Seperti kasus perselisihan antara 5 siswa SMA swasta di Medan yang akhirnya melibatkan pihak kepolisian untuk “mendamaikan” kasus tersebut (Pasaribu, 2013). Kasus perselisihan juga terjadi pada dua siswa SMA negeri di Kuningan yang dilakukan di dalam mobil yang sedang melaju. Perselisihan ini kemudian menyebabkan terjadinya penabrakan enam siswi SMA yang sedang berjalan kaki (Taufik, 2013). Tidak hanya kasus ini, tentunya masih terdapat banyak kasus-kasus perkelahian lain yang terjadi antara satu siswa dengan temannya terutama memasuki usia remaja madya, karena menurut Soepardi (dalam Kusmiyati, 2013), perselisihan yang melibatkan kekerasan yang cukup serius rentan terjadi di usia 15 hingga 19 tahun.

Perselisihan antar siswa dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun yang dapat kemungkinan terjadi adalah karena adanya konflik yang timbul dalam hubungan remaja tersebut sehingga memunculkan perilaku agresi. Konflik yang terjadi pun juga tidak begitu saja muncul dalam hubungan antara siswa dan sahabatnya, namun hal itu berkaitan dengan kualitas persahabatan yang ada dalam hubungan tersebut, terutama pada kualitas persahabatan negatif. Oleh karena itu hubungan remaja dengan teman sebaya tidak dapat dipandang sebelah mata dilihat dari dampak-dampak yang berpengaruh bagi remaja, baik yang berdampak positif maupun yang negatif.

Persahabatan yang dimaksud dalam hubungan remaja tersebut mengacu pada pendekatan dyadic, yakni hubungan timbal balik dan saling berpengaruh antara individu

(3)

dengan teman sebaya yang diidentifikasi sebagai yang terbaik (Rubin et al dalam Blair, 2013). Kemampuan remaja untuk membangun dan menjaga kepuasan dalam hubungannya dengan sahabatnya merupakan indikator yang relevan dari kesejahteraan fisik dan mental, serta berfungsi sebagai proteksi dari resiko yang berkaitan dengan masalah psikososial yang terjadi di sepanjang kehidupan (Hartup & Stevens; Berndt; Rubin, Bukowski, & Parker dalam Rabaglietti & Clairano, 2008). Melalui persahabatan, remaja dapat merepresentasikan social

laboratory, yakni remaja dapat bereksperimen dengan pilihan-pilihan, peran, identitas, dan

perilaku tanpa kontrol dari orang dewasa (Rabaglietti & Ciairano, 2008).

Kesuksesan atau baik buruknya hubungan remaja dalam menjalin relasi dengan sahabatnya, dapat diukur melalui kualitas persahabatan yang dimiliki dalam hubungannya antara individu dan sahabatnya. Parker dan Asher (1993) menjelaskan pengertian kualitas persahabatan, yakni tingkat persahabatan dyadic dari hubungan antara individu dan teman sebaya, dukungan yang ada, serta tingkat konflik yang muncul. Kualitas persahabatan tersebut terdiri dari enam aspek, yakni validation and caring (pengesahan/pengakuan dan perhatian),

conflict and betrayal (konflik dan pengkhianatan), companionship and recreation

(kebersamaan dan rekreasi), help and guidance (bantuan dan bimbingan), dan conflict

resolution (pemecahan konflik). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Blair, Perry, O’Brien,

Calkins, Keane, dan Shanahan (2014), aspek-aspek ini kemudian diklasifikasikan menjadi dua dimensi, yakni dimensi kualitas persahabatan positif yang meliputi validation and caring, companionship and recreation, help and guidance, intimate exchange, dan conflict resolution. Sedangkan aspek conflict and betrayal masuk ke dalam dimensi kualitas persahabatan negatif.

Kualitas persahabatan positif berdampak pada keberhasilan anak pada dunia sosial, terutama saat anak berhadapan dengan teman sebaya. Selain itu, persahabatan dengan kualitas positif yang tinggi juga dapat meningkatkan kesejahteraan dan self-esteem, meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, dan meningkatkan kemampuan remaja dalam menghadapi stressor (Hartup & Stevens dalam Berndt, 2002; Tipton, 2011). Dalam hubungannya dengan sahabat, tidak menutup kemungkinan remaja memiliki kualitas persahabatan negatif yang lebih tinggi. Dampak yang akan muncul adalah anak cenderung memiliki tingkat agresi yang tinggi (Berndt; Bowker; Buhrmester; Hawley, Little & Card dalam Tipton, 2011), yang membuat anak memiliki perasaan kesepian yang lebih besar, lebih depresi dan cemas, serta memiliki harga diri (self-esteem) yang lebih rendah (Santrock, 2006).

Hubungan persahabatan antara remaja dengan teman sebaya tidak begitu saja muncul.

(4)

akan terus berkelanjutan dan mempengaruhi periode perkembangan berikutnya atau sepanjang rentang kehidupan anak (Buist, Dekovic, Meeus, & Van Aken, 2002). Hal tersebut dapat menjadi indikasi bahwa kualitas persahabatan yang dimiliki remaja merupakan representasi atas hubungan attachment yang dimiliki anak dengan orangtuanya. Menurut Bowlby dan Ainsworth (Collin, 1996) attachment merupakan suatu ikatan abadi yang efektif ditandai dengan kecenderungan untuk mencari dan mempertahankan kedekatan dengan tokoh tertentu, terutama ketika berada di bawah tekanan. Hubungan attachment antara anak dengan orangtua akan terus berkelanjutan dan mempengaruhi periode perkembangan berikutnya atau sepanjang rentang kehidupan anak (Ainsworth dalam Buist, Dekovic, Meeus, & Van Aken, 2003).

Pada awalnya teori mengenai attachment menjelaskan mengenai kelekatan individu saat berusia bayi dengan caregiver (Schwartz, 2002). Pada tahun pertama bayi membangun ikatan yang spesial dengan primary caregiver atau figur attachment. Hal itu terjadi karena individu secara biologis cenderung membentuk ikatan yang selektif dengan figur yang terdekat dan memberikan kepedulian di lingkungannya (Bowlby dalam Jiang, 2009) dan peran ibu yang biasanya diidentikkan sebagai figur attachment yang paling utama (Bowlby, 1997; Freeman & Brown, 2001; Milligan, 2004; Lawford, 2008). Namun terdapat penelitian yang menemukan bahwa Ayah juga dapat menjadi figur attachment dan berperan penting dalam perkembangan anak (Liu, 2006). Attachment yang terjadi dengan Ibu diasosiasikan dengan hubungan dan penerimaan anak dengan teman sebayanya (Kerns, Klepac, & Cole; Markiewicz, Doyle, & Brendgen; Youngblade et al.; Zimmerman dalam Liu, 2006). Sedangkan attachment yang terjadi dengan Ayah dapat dihubungkan dengan konsep dan kualitas persahabatan yang dimiliki anak (Zimmerman dalam Liu, 2006), dan memiliki hubungan yang positif dengan teman sebaya yang disebabkan oleh kenyamanan dan penerimaan Ayah ketika anak mengalami tekanan emosional (Roberts dalam Liu, 2006). Melalui temuan-temuan ini, terdapat indikasi bahwa keterlibatan Ayah dengan anak dapat menjadikan Ayah sebagai figur attachment yang berpengaruh pada perkembangan anak.

Tindakan Ayah maupun Ibu atas ketanggapan dan sensitivitas pada kebutuhan anak menciptakan kepercayaan tersendiri bagi anak dan membuat anak menjadikan figur

attachment sebagai “secure base”, yang biasanya dimanfaatkan anak untuk mendapatkan

keamanan dan dukungan saat anak mulai menjelajah lingkungannya (Schwartz, 2002; Lawford, 2008). Hubungan antara figur attachment dan anak ini kemudian membentuk

internal working model”, yang akan mempengaruhi bagaimana anak menilai, merasakan,

(5)

regulasi emosi dan perilaku seperti mencari kedekatan dan kemampuan menghadapi masalah (Zimmerman, 2004). Konsep “internal working model” ini kemudian akan berpengaruh dan terus belanjut serta relatif stabil di rentang kehidupan selanjutnya, terutama pada remaja dan dewasa (Pietromonaco & Barett, 2000; Schwartz, 2002; Liu, 2006), yang melibatkan hubungan dekat dan intim dengan individu lainnya (Wilkinson, 2004; Liu, 2006). Konsep

internal working model juga menjelaskan bahwa attachment berhubungan dengan kompetensi

sosial (Milligan, 2004) dan diasosiasikan dengan berbagai indikasi dari fungsi adaptif psikologis (Liu, 2006).

Memasuki usia remaja, attachment dengan orangtua lebih digambarkan pada kualitas dari attachment, yang tidak hanya sekedar melihat perilaku remaja dalam mencari kedekatan dan dukungan, namun juga ekspektasi kognitif atau sudut pandang remaja terhadap attachment yang merepresentasikan aspek-aspek dari suatu hubungan sebagai bagian dari konsep ”internal working model” yang dimiliki remaja, terutama hubungan dengan orangtua (Bretherton; Hinde; Henderson, Byrne, & Duncan-Jones dalam Armsden & Greenberg, 1987). Pada usia ini attachment dijelaskan berbeda dibandingkan masa sebelumnya. Intensitas kedekatan secara fisik antara remaja dan orangtua mulai berkurang dengan kehadiran lingkungan baru yang mulai lebih sering ditemui, sehingga frekuensi pertemuan tidak lagi sesering ketika individu masih berada di masa kanak-kanak (Armsden dan Greenberg, 1987). Armsden dan Greenberg (1987) menjelaskan mengenai kualitas attachment melalui tiga dimensi, yakni komunikasi, kepercayaan, dan keterasingan. Melalui tingkatan dari masing-masing dimensi, dapat sekaligus melihat pola attachment pada remaja dengan orangtua.

Melihat bahwa bagaimana remaja menjalin hubungan dengan sahabatnya ternyata merupakan suatu interpretasi dari attachment antara remaja dengan ayah dan ibu membuat peneliti ingin meneliti apakah kualitas attachment berhubungan dengan kualitas persahabatan remaja madya. Dengan melihat keterkaitan antara kualitas attachment dengan kualitas persahabatan remaja, peneliti berharap dapat sekaligus melihat akar permasalahan dari kasus-kasus perkelahian yang terjadi pada remaja madya karena melibatkan konflik sebagai aspek dari kualitas persahabatan negatif. Terdapat penelitian yang telah meneliti hubungan antara dua variabel ini, yakni penelitian yang dilakukan oleh Zimmerman (2004) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kualitas attachment Ayah dan Ibu dengan kualitas persahabatan. Melalui hasil penelitian dijelaskan bahwa attachment Ibu memiliki tingkat signifikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan attachment Ayah. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kerns, Klepac, dan Cole (1996) dan Milligan (2004) menemukan hasil yang

(6)

berbeda, yakni tidak ditemukan adanya korelasi antara kualitas attachment pada Ibu dengan kualitas persahabatan. Dari kedua hasil penelitian yang bertolakbelakang ini membuat peneliti ingin melakukan penelitian antara kedua variabel.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Attachment dan Kualitas Attachment

Attachment adalah ikatan abadi yang efektif ditandai dengan kecenderungan untuk mencari dan mempertahankan kedekatan dengan tokoh tertentu, terutama ketika berada di bawah tekanan (Bowlby & Ainsworth dalam Collin, 1996). Sementara kualitas mengacu pada

kepuasan yang berasal dari hubungan tersebut (Flynn, 2006), sehingga dapat disimpulkan bahwa kualitas attachment adalah kepuasan yang berasal dari ikatan abadi yang efektif ditandai dengan kecenderungan untuk mencari dan mempertahankan kedekatan dengan tokoh tertentu, terutama ketika berada di bawah tekanan.

Pada masa remaja, kualitas attachment, lebih penting dibandingkan dengan perilaku attachment. Dalam kualitas attachment, tidak hanya sekedar melihat perilaku individu dalam mencari kedekatan dan dukungan, namun juga ekspektasi kognitif atau sudut pandang remaja terhadap attachment yang merepresentasikan aspek-aspek dari suatu hubungan sebagai bagian dari konsep ”internal working model” yang dimiliki remaja, terutama hubungan dengan orangtua (Bretherton; Hinde; Henderson, Byrne, & Duncan-Jones dalam Armsden & Greenberg, 1987). Kedekatan fisik tidak lagi terlalu dibutuhkan dibandingkan masa-masa sebelumnya. Intensitas kedekatan secara fisik antara remaja dan orangtua mulai berkurang dengan kehadiran lingkungan baru yang mulai lebih sering ditemui, sehingga frekuensi pertemuan tidak lagi sesering ketika individu masih berada di masa kanak-kanak (Armsden dan Greenberg, 1987). Namun demikian, figur attachment tetap ada dan akan tetap mempengaruhi individu dalam berelasi dengan orang lain.

Didasari dari teori attachment Bowlby, terdapat tiga aspek yang menyusun kualitas attachment (Armsden & Greenberg, 1987; Gullone & Robinson, 2005), yakni: (1) Trust, aspek yang mengukur derajat rasa hormat dan saling memahami dalam hubungan attachment. (2) Communication, aspek yang mengukur intensitas dan kualitas dari komunikasi lisan. Dan yang terakhir adalah (3) alienation, yakni aspek yang mengukur perasaan marah dan keterasingan interpersonal. Keterasingan berkaitan dengan penghindaran dan penolakan individu.

(7)

Attachment Remaja dengan Ayah dan Ibu

Pada mulanya attachment terbentuk pada individu dari usia bayi dengan caregiver atau orangtuanya (Schwartz, 2002). Bayi membangun ikatan yang spesial dengan primary

caregiver atau figur attachment, karena kepedulian dan ketanggapan caregiver terhadap

segala kebutuhan bayi. Ikatan ini kemudian membuat bayi membangun secure base terhadap figur attachment yang biasanya dimanfaatkan anak untuk mendapatkan keamanan dan dukungan saat anak mulai menjelajah lingkungannya (Schwartz, 2002; Lawford, 2008). Ketika anak mulai beranjak dewasa, anak memiliki pemikiran, penilaian, perasaan, dan perilaku terhadap dirinya sendiri dan orang lain (Pietromonaco & Barett, 2000) sebagai representasi dari attachment antara anak dengan caregiver yang disebut sebagai “internal

working model. Konsep “internal working model” ini kemudian akan berpengaruh dan terus

belanjut serta relatif stabil di rentang kehidupan selanjutnya, terutama pada remaja dan dewasa (Pietromonaco & Barett, 2000; Schwartz, 2002; Liu, 2006), yang melibatkan hubungan dekat dan intim dengan individu lainnya (Wilkinson, 2004; Liu, 2006).

Kebanyakan pada penelitian-penelitian, ibu seringkali diidentikan sebagai primary

caregiver atau figur attachment (Bowlby, 1997; Freeman & Brown, 2001; Milligan, 2004;

Lawford, 2008). Namun ternyata ayah juga dapat menjadi figur attachment yang baik dan berperan penting dalam kehidupan anak (Liu, 2006). Attachment yang terjadi dengan Ibu diasosiasikan dengan hubungan dan penerimaan anak dan teman sebayanya (Kerns, Klepac, & Cole; Markiewicz, Doyle, & Brendgen; Youngblade et al.; Zimmerman dalam Liu, 2006). Sedangkan attachment yang terjadi antara anak dan Ayah dapat dihubungkan dengan konsep dan kualitas persahabatan yang dimiliki anak (Zimmerman dalam Liu, 2006). Adanya kenyamanan dalam hubungan antara anak dan Ayah dan penerimaan Ayah terhadap tekanan emosional yang dihadapi anak akan membuat anak memiliki hubungan yang positif dengan teman sebayanya (Roberts dalam Liu, 2006). Pernyataan-pernyataan ini dapat diindikasikan bahwa attachment, baik pada Ayah maupun Ibu, keduanya masing-masing memberikan dampak bagi perkembangan sosial anak.

Definisi Kualitas Persahabatan

Persahabatan merupakan pengalaman yang melibatkan suatu hubungan dengan adanya dukungan dan perbandingan sosial, sehingga remaja memiliki kesempatan untuk belajar definisi sosial yang baru, membangun dan/atau menguatkan kemampuan sosial, dan

(8)

bereksperimen dengan identitas dan peran sosial yang berbeda (Fonzi dalam Erwin, 1998). Persahabatan yang dimaksud adalah suatu hubungan dyadic, yakni hubungan timbal balik dan saling berpengaruh dengan teman sebaya yang diidentifikasi sebagai yang terbaik (Rubin et al dalam Blair, 2013). Untuk melihat bagaimana kesuksesan, yakni baik atau buruknya hubungan persahabatan tersebut, Parker dan Asher (1993) mengukurnya melalui kualitas persahabatan, yakni tingkat persahabatan dyadic dari hubungan antara individu dengan teman sebaya, dukungan yang ada, serta tingkat konflik yang muncul (Parker & Asher, 1993).

Dalam melihat kualitas persahabatan, Parker dan Asher (1993) menjelaskan mengenai enam aspek, yakni: (1) validation and caring yang merupakan tingkatan hubungan yang dikarakteristikan dengan perhatian, dukungan, dan ketertarikan. (2) conflict and betrayal, yang merupakan sejauh mana hubungan ditandai dengan adanya argumen, ketidaksetujuan, gangguan, dan ketidakpercayaan. (3) Companionship and recreation, yakni sejauh mana individu dan sahabat saling menikmati untuk menghabiskan waktu bersama, baik di luar maupun di dalam lingkup sekolah. (4) Help and guidance, yakni aspek yang mengukur sejauh mana usaha yang dilakukan sahabat untuk menolong satu sama lain pada tugas-tugas rutin maupun tugas yang menantang. (5) Intimate exchange, yakni aspek yang merupakan sejauh mana hubungan dikarakteristikan dengan keterbukaan atas informasi dan perasaan personal. Dan yang terakhir adalah (6) conflict resolution, yaitu aspek yang mengukur tingkatan ketidaksetujuan dalam hubungan yang diselesaikan secara efisien dan adil.

Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Blair, Perry, O’Brien, Calkins, Keane, dan Shanahan (2014), aspek-aspek dari kualitas persahabatan ini diklasifikasikan ke dalam dua dimensi, yakni dimensi kualitas persahabatan positif dan negatif. Pengklasifikasian ke dalam dua dimensi ini dipengaruhi oleh pernyataan Berndt (dalam Blair et al, 2014), yang menjelaskan bahwa kualitas persahabatan lebih baik dilihat dari fitur-fitur positif dan negatif. Aspek-aspek yang termasuk ke dalam kualitas persahabatan positif adalah validation and caring, companionship and recreation, help and guidance, intimate exchange, dan conflict resolution. Sementara aspek conflict and betrayal masuk ke dalam dimensi kualitas persahabatan negatif.

Kualitas persahabatan baik yang positif maupun yang negatif, keduanya memiliki keterlibatan yang penting pada perkembangan sosial anak (Blair et al, 2014). Persahabatan dengan kualitas positif yang tinggi adalah sumber emosional berupa dukungan yang nyata (Way, Becker, & Greene dalam Blair et al, 2014), adanya keterbukaan yang bersifat intim (Newcomb & Bagwell dalam Blair et al, 2014), serta mendukung kebersamaan (Parker &

(9)

Asher dalam Blair et al, 2014). Sebaliknya, persahabatan dengan kualitas negatif yang tinggi, seperti adanya konflik dan permusuhan, berelasi dengan masalah perilaku anak, baik yang terjadi karena faktor eksternal maupun internal, serta memiliki tingkat perilaku prososial yang rendah (Blair et al, 2014). Anak cenderung memiliki banyak konflik dengan teman-temannya. Anak memiliki perilaku agresi yang mengganggu (Berndt; Bowker; Buhrmester; Hawley, Little & Card dalam Tipton, 2011; Berndt, 2002) yang membuat anak dijauhi oleh teman-temannya, sehingga menimbulkan rasa kesepian bagi anak (Ladd, et al dalam Berndt, 2002), depresi dan kecemasan, serta memiliki self-esteem yang rendah (Santrock, 2006; Booth-LaForce, Rubin, Rose-Krasnor, & Burgess, 2014). Ketika berasa di masa dewasa, kemungkinan individu memiliki gejala psikopatologi (Booth-LaForce, Rubin, Rose-Krasnor, & Burgess, 2014).

Remaja

Usia yang digolongkan dalam fase remaja adalah antara usia 11 hingga 19 tahun (Cobb, 2001; Rice & Dolgin, 2008) yang dibagi menjadi tiga tahapan. Tahapan pertama adalah yang disebut sebagai early adolescence atau remaja awal(usia 11 - 14 tahun), tahapan kedua adalah yang disebut sebagai middle adolescence atau remaja madya (usia 15 – 17 tahun), dan tahapan ketiga adalah late adolescence atau remaja akhir (usia 18 – 19 tahun). Tahapan dari karakteristik remaja dalam penelitian ini adalah middle adolescence atau remaja madya. Remaja pada tahap ini sangat membutuhkan teman sebaya, dimana keintiman mulai semakin kuat pada setiap hubungan persahabatan dan hubungan semakin terfokus pada keamanan; kecenderungan bagi remaja perempuan untuk memiliki teman yang dapat mereka percaya dan mulai saling berbagi emosi serta membutuhkan satu sama lain. Kecemasan dalam persahabatan juga memuncak pada usia ini karena dipengaruhi oleh perubahan yang dihadapi remaja, yang kecenderungan menimbulkan ketidakamanan. Kecemasan ini membuat remaja membutuhkan dukungan emosional dari teman-temannya. Sama dengan remaja perempuan, persahabatan pada remaja laki-laki juga mulai melibatkan afeksi dan keintiman, meskipun sedikit berbeda dengan remaja perempuan, persahabatan pada remaja laki-laki tidak terlalu peduli untuk saling berbagi perasaan atau memahami satu sama lain. Bagi remaja laki-laki, yang terpenting dalam persahabatan adalah adanya teman untuk bergaul bersama dan menikmati aktivitas yang sama-sama mereka sukai. Remaja laki-laki juga tidak semudah remaja perempuan dalam mengungkapkan diri mereka serta ketidakpedulian remaja laki-laki

(10)

akan pengkhianatan kepercayaan. Namun demikian, remaja laki-laki berharap bahwa teman tidak akan membeberkan segala hal yang telah mereka lakukan bersama. (Cobb, 2001).

PerkembanganAttachment pada Remaja

Bowlby (dalam Liu, 2006) menyatakan bahwa sekali attachment telah terbentuk di masa kanak-kanak, maka hal tersebut akan terus berpengaruh dalam hubungan yang terjadi di sepanjang rentang kehidupan individu. Pada masa remaja, representasi dari kelekatannya dengan caregiver akan mempengaruhi bagaimana remaja menghadapi dunia sosialnya, dimana pada usia remaja figur attachment tidak lagi terpusat dengan caregiver, namun juga dapat terjalin dengan saudara kandung yang lebih tua, guru, pelatih, teman, mentor, dan terapis (Collin, 1996). Beberapa tokoh berpendapat bahwa Ibu secara tipikal memenuhi peran dari figur primary attachment pada masa kanak-kanak (Bowlby, 1997; Freeman & Brown, 2001), namun memasuki usia remaja awal hingga pertengahan, teman sebaya dinilai sebagai sumber dukungan terbesar dalam persahabatan dan keintiman (Buhrmester; Furman & Buhrmester; Hunter & Youniss; Wintre & Crowley, dalam Freeman & Brown, 2001). Peralihan tersebut diperkuat dengan pernyataan Armsden dan Greenberg (1987), bahwa intensitas kedekatan secara fisik antara remaja dan orangtua mulai berkurang dengan kehadiran lingkungan baru yang mulai lebih sering ditemui, sehingga frekuensi pertemuan tidak lagi sesering ketika individu masih berada di masa kanak-kanak.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, yakni penelitian yang dilakukan berdasarkan pengukuran terhadap respon individual untuk mendapatkan data berupa skor yang kemudian akan dianalisis secara statistik dan diinterpretasikan (Gravetter & Forzano, 2009). Lalu berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini termasuk correlational study, yakni penelitian yang bertujuan untuk melihat adanya hubungan, asosiasi, atau interdependensi antara dua atau lebih aspek dari suatu situasi (Kumar, 2011). Dalam penelitian ini, variabel-variabel yang ingin dilihat hubungannya adalah kualitas attachment dan kualitas persahabatan.

Karakteristik sampel pada penelitian ini adalah: (1) Remaja madya yang berusia 15 hingga 17 tahun, (2) memiliki sahabat, dan (3) masih memiliki ayah dan ibu. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 97 partisipan dengan teknik pengambilan sampel berupa non-probability sampling yang lebih tepatnya menggunakan convenience sampling, yakni

(11)

tidak semua anggota populasi memiliki kesempatan yang sama sebagai partisipan dalam penelitian ini. pengumpulan data dilakukan melalui pertemuan secara langsung dengan menyebarkan kuesioner pada partisipan.

Terdapat dua alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA)

Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA) diciptakan oleh Armsden dan Greenberg (1987) berdasarkan dari teori attachment yang dicetuskan oleh Bowlby. Terdapat tiga dimensi yang terukur dalam alat ukur ini, yakni tingkat kepercayaan (trust), komunikasi (communication), dan keterasingan (alienation). Alat ukur ini terdiri dari 25 item dengan nilai reliabilitas sebesar 0,912 dalam mengukur attachment ibu dan 25 item dengan nilai reliabilitas sebesar 0,909 dalam mengukur attachment ayah. Terdapat 8 favorable item dan 2 unfavorable item yang mengukur dimensi trust, 7 favorable item dan 2 unfavorable item yang mengukur dimensi communication, serta 6 item yang mengukur dimensi alienation.

Sama dengan versi aslinya, alternatif jawaban yang digunakan alat ukur IPPA adalah dengan menggunakan skala Likert dengan skala 1-5, yakni skala 1 = hampir tidak pernah, 2 = jarang, 3 = kadang-kadang, 4 = sering, dan 5 = hampir selalu. Skor total dari kualitas attachment pada ayah-anak dan ibu-anak diperoleh dengan me-reverse terlebih dahulu pada 6 item alienation dan 4 item unfavorable, yakni perhitungan skor yang dibalik dari 1 menjadi 5. Langkah berikutnya adalah menjumlahkan seluruh skor pada ketiga subskala dari nomor 1 hingga 25. Skoring dilakukan terpisah antara kualitas attachment ayah-anak dengan kualitas attachment ibu-anak.

Friendship Quality Questionnaire (FQQ)

Dalam mengukur kualitas persahabatan, alat ukur yang digunakan adalah Friendship Quality Questionnaire – Revised (FQQ) oleh Parker dan Asher (1989) yang telah diadaptasi dan digunakan dalam penelitian Hildayani (2002). Pada versi aslinya, alat ukur ini berjumlah 40 item, namun setelah diadaptasi dan mengalami beberapa perubahan oleh Hildayani (2002), alat ukur ini memiliki 47 item yang mengukur 6 dimensi, yaitu 5 item companionship and recreation, 15 item validation and caring, 9 item help and guidance, 6 item intimate disclosure, 3 item conflict resolution, dan 7 item conflict and betrayal, serta adanya satu item “warm-up” yang tidak akan dipakai dalam scoring. Nilai koefisien reliabilitas yang dimiliki pada alat ukur ini adalah sebesar 0,905 pada dimensi kualitas persahabatan positif dan 0,763 pada dimensi kualitas persahabatan negatif. Alternatif jawaban pada alat ukur ini

(12)

menggunakan skala Likert, yakni dengan skala 0 = sama sekali tidak benar, 1 = sedikit benar, 2 = ragu-ragu, 3 = sebagian besar benar, dan 4 = benar sekali.

Skoring yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menjumlahkan seluruh skor pada dimensi kualitas persahabatan yang positif (companionship and recreation, validation and caring, help and guidance, intimate disclosure, dan conflict resolution) menjadi satu skor total. Pada subskala conflict and betrayal menjadi satu dimensi yang mengukur kualitas persahabatan yang negatif dan skoring dilakukan dengan cara menjumlahkan seluruh skor pada subskala conflict and betrayal.

Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik statistik deskriptif, pearson correlation, independent sample t-test, dan one way-ANOVA dibantu dengan program statistik PASW versi 18.0.

HASIL PENELITIAN Gambaran Partisipan

Remaja yang menjadi partisipan pada penelitian ini adalah yang tergolong sebagai remaja madya atau yang memiliki rentang usia 15 hingga 17 tahun, yakni sebanyak 97 partisipan dengan persentase 64% adalah remaja perempuan (62 orang) dan 36% adalah remaja laki-laki (35 orang). Dari sisi pekerjaan, kebanyakan Ayah dari partisipan memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta yakni sebesar 41%. Berkaitan dengan pendapatan yang diraih, kebanyakan dari Ayah dari partisipan memiliki pendapatan diatas Rp 3.500.000 yang digolongkan sebagai pendapatan di atas rata-rata menurut BPS yakni dengan persentase 45%. Di sisi lain, berdasarkan pada pekerjaan dan pendapatan Ibu, mayoritas pekerjaan yang dimiliki adalah sebagai ibu rumah tangga yakni sebanyak 67 orang (68%) dan tidak memiliki pendapatan. Berdasarkan jumlah sahabat yang dimiliki, mayoritas partisipan memiliki sahabat sekitar 4 hingga 9 orang, yakni sebesar 45% dari total partisipan.

Dari hasil penelitian juga memperlihatkan gambaran partisipan terhadap kualitas attachment dengan ayah dan ibu yang diperoleh dengan menghitung skor rata-rata dari seluruh partisipan. Berikut adalah tabel gambaran kualitas attachment partisipan dengan ayah dan ibu.

Tabel 1. Gambaran Kualitas Attachment Partisipan dengan Ayah dan Ibu (N=97)

Mean SD Minimum Maksimum

(13)

Ibu 95,78 14,235 58 121

Dilihat dari tabel, mean terbesar dari seluruh partisipan diperoleh pada attachment remaja dengan Ibu dibandingkan dengan Ayah, yakni 87,62 pada Ayah dan 95,78 pada Ibu. Hal itu menandakan bahwa kebanyakan partisipan memiliki attachment dengan Ibu yang lebih tinggi dibandingkan dengan Ayah.

Berkaitan dengan gambaran kualitas persahabatan partisipan, skor kualitas persahabatan diperoleh dengan cara menghitung skor rata-rata pada setiap dimensi kualitas persahabatan. Berikut tabel gambaran kualitas persahabatan partisipan.

Tabel 2. Gambaran Kualitas Persahabatan Partisipan Penelitian (N=97)

Berdasarkan pada tabel terutama pada perbandingan mean kelompok, mayoritas partisipan memiliki kualitas persahabatan positif yang paling besar, yakni 111,79. Namun apabila dilihat dari masing-masing dimensi, kebanyakan partisipan memiliki aspek validation and caring pada kualitas persahabatan, yakni dengan mean sebesar 43,40.

Analisis Utama

Hasil perhitungan korelasi skor total kualitas attachment antara ayah dan anak dengan skor total dimensi kualitas persahabatan positif menggunakan teknik perhitungan pearson correlation, ditemukan hasil korelasi yang positif signifikan sebesar r(0,290) = 0,002, p<0,05. Hal itu menunjukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima atau dapat diartikan bahwa semakin tinggi kualitas attachment remaja dengan Ayah, semakin tinggi pula kualitas persahabatan positif yang dimiliki remaja.

Kemudian dari hasil perhitungan korelasi skor total kualitas attachment ayah dan anak dengan skor total dimensi kualitas persahabatan negatif ditemukan hasil korelasi negatif yang tidak signifikan sebesar r(-0.093) = 0,182, p>0,05. Melalui hasil ini dapat dijelaskan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak atau dapat diartikan bahwa tidak terdapat hubungan antara kualitas attachment Ayah dan dimensi kualitas persahabatan negatif.

Subskala Mean SD Min Maks

Kualitas Persahabatan Positif (Total) 111,79 19,262 70 147 Companionship and recreation 16,56 3,940 4 23 Validation and caring 43,40 9,035 17 60

Help and guidance 27,16 5,137 12 36

Conflict resolution 9,61 1,800 5 12

Kualitas Persahabatan Negatif

(14)

Berkaitan dengan perhitungan korelasi skor total kualitas attachment antara ibu dan anak dengan skor total dimensi kualitas persahabatan positif menggunakan teknik perhitungan pearson correlation ditemukan hasil korelasi yang positif signifikan sebesar r(0,288) = 0,002, p<0,05. Hal itu menunjukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima atau dapat diartikan bahwa semakin tinggi kualitas attachment remaja dengan Ibu, maka semakin tinggi pula kualitas persahabatan positif yang dimiliki remaja. Kemudian dari hasil perhitungan korelasi skor total dimensi kualitas persahabatan negatif ditemukan hasil korelasi yang negatif signifikan sebesar r(-0.314) = 0,001, p<0,05. Melalui hasil ini dapat dijelaskan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima atau dapat diartikan bahwa terdapat hubungan antara kualitas attachment Ibu dengan dimensi kualitas persahabatan negatif, yakni semakin tinggi kualitas attachment antara ibu dan remaja, maka kualitas persahabatan negatif semakin menurun.

Berikut adalah tabel korelasi antara kualitas attachment ayah-anak dan ibu-anak dengan kualitas persahabatan partisipan.

Tabel 3. Korelasi Kualitas Attachment Ayah-Anak dan Ibu-Anak dengan Kualitas Persahabatan Partisipan (N=97)

Kualitas Persahabatan Positif Kualitas Persahabatan Negatif

r Sig r sig

Ayah 0,290** 0,002 -0,093 0,182

Ibu 0,288** 0,002 -0,314** 0,001

** korelasi signifikan pada tingkat 0,01

Analisis Tambahan

Analisis tambahan digunakan untuk melihat korelasi antara kualitas attachment dengan aspek-aspek kualitas persahabatan positif, perbedaan mean dari kualitas attachment ayah-anak dan ibu-anak, serta perbedaan mean kualitas persahabatan partisipan berdasarkan jenis kelamin partisipan. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, ditemukan bahwa:

1. Dari lima aspek kualitas persahabatan yang tergolong sebagai dimensi positif (validation and caring, companionship and recreation, help and guidance, intimate exchange, dan conflict resolution), aspek validation and caring memiliki tingkat signifikan yang paling tinggi dibandingkan dengan seluruh aspek. Dari hasil penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan antara kualitas attachment pada Ayah-anak dan Ibu-anak dengan aspek validation and caring pada remaja madya. Ketika kualitas

(15)

attachment Ayah-anak dan Ibu-anak tinggi, aspek validation and caring pada kualitas persahabatan juga akan tinggi.

2. Berdasarkan dari gambaran perbedaan mean kualitas attachment ayah-anak dan ibu-anak berdasarkan pada jenis kelamin partisipan, diperoleh hasil yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan mean antara kualitas attachment ayah-anak dengan jenis kelamin partisipan. Kemudian pada kualitas attachment ibu-anak ditemukan perbedaan mean antara attachment Ibu dengan jenis kelamin partisipan. Partisipan perempuan ditemukan memiliki kualitas attachment dengan Ibu yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan laki-laki.

3. Berkaitan dengan perbedaan mean kualitas persahabatan berdasarkan pada jenis kelamin partisipan, diperoleh hasil yang menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mean antara kualitas persahabatan, baik yang positif maupun yang negatif dengan jenis kelamin partisipan. Pada kualitas persahabatan positif ditemukan bahwa perempuan memiliki kualitas persahabatan positif yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan laki-laki. Berbeda dengan kualitas persahabatan negatif, ditemukan bahwa Partisipan laki-laki memiliki kualitas persahabatan negatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan partisipan perempuan.

KESIMPULAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kualitas attachment pada Ayah-anak dan Ibu-anak dengan kualitas persahabatan yang dimiliki remaja dilihat dari dua dimensi, yakni dimensi positif dan negatif. Melihat dari hasil utama yang telah didapatkan, ditemukan bahwa kualitas attachment Ibu memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kualitas persahabatan positif dan hubungan negatif yang signifikan dengan kualitas persahabatan negatif. Sementara pada hasil analisis dari kualitas attachment Ayah, ditemukan hubungan positif yang signifikan dengan kualitas persahabatan positif. Namun pada kualitas attachment dengan Ayah tidak terdapat korelasi yang signifikan dengan kualitas persahabatan negatif.

DISKUSI

Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara kualitas attachment Ayah-anak dan Ibu-Ayah-anak dengan kualitas persahabatan yang dilihat dari dua dimensi, yakni dimensi

(16)

positif dan negatif. Tidak hanya itu, analisis juga dilakukan dengan melihat korelasi antara kualitas attachment dengan kelima aspek pada kualitas persahabatan positif, yakni validation and caring, companionship and recreation, help and guidance, intimate exchange, dan conflict resolution. Melalui analisis ini, peneliti ingin melihat aspek mana yang memiliki hubungan dengan attachment Ayah dan Ibu.

Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa attachment Ibu memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kualitas persahabatan positif dan hubungan negatif yang signifikan dengan kualitas persahabatan negatif. Sementara pada attachment Ayah, ditemukan hubungan positif yang signifikan dengan kualitas persahabatan positif, namun tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan dengan kualitas persahabatan negatif. Hal itu menunjukkan bahwa penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan Zimmerman (2004), yakni adanya hubungan antara attachment pada orangtua dengan kualitas persahabatan, lebih jelasnya attachment Ibu memiliki hubungan yang lebih kuat dibandingkan dengan Ayah.

Melihat bahwa attachment Ibu paling berhubungan dengan kualitas persahabatan dibandingkan dengan attachment Ayah, hal itu mendukung pernyataan Bowlby (1969/1982) bahwa Ibu adalah figur attachment utama yang mempengaruhi perkembangan anak. Internal working model yang telah terbentuk dari attachment antara anak dengan Ibu, akan terus berlanjut di sepanjang rentang kehidupan anak, yang juga akan berpengaruh pada seluruh hubungan sosial anak. Asumsi peneliti terkait dengan hubungan ini adalah atas perbedaan respon Ibu dan Ayah dalam menghadapi anak mereka. Pada masa remaja, ibu lebih banyak terlibat serta mengetahui kondisi anak mereka dibandingkan dengan Ayah yang cenderung menjaga jarak dan kurang terlibat (Shulman & Seiffge-Krenk; Hosley & Montemayor dalam Liu, 2006). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kenny et al (dalam Liu, 2006), ketika anak merasa depresi, maka interaksinya dengan Ayah akan menjadi lebih negatif. Ayah akan cenderung merasa tidak nyaman ketika anak mengalami tekanan, yang kemungkinan akan mengakibatkan hubungan negatif atau berjarak antara Ayah dan anak. Sementara kebalikannya, Ibu cenderung akan menunjukkan dukungan pada anak mereka yang mengalami tekanan, sehingga hubungan antara Ibu dan anak tidak akan berubah.

Meskipun attachment Ibu memiliki hubungan dengan kedua dimensi pada kualitas persahabatan, attachment dengan Ayah juga turut memiliki hubungan dengan kualitas persahabatan, terutama pada dimensi positif. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa attachment pada orangtua, yakni Ibu dan Ayah, keduanya sama-sama berperan penting dalam kualitas persahabatan remaja.

(17)

Pada penelitian ini, peneliti juga menganalisis hubungan antara kualitas attachment Ayah dan Ibu dengan aspek-aspek kualitas persahabatan positif yang sekiranya mendukung hubungan yang signifikan pada kedua variabel. Dari hasil penelitian, dari beberapa aspek yang memiliki hubungan yang signifikan, aspek validation and caring memiliki tingkat signifikan yang paling besar. Peneliti juga berasumsi bahwa aspek ini cukup memberikan pengaruh pada kualitas attachment maupun kualitas persahabatan. Hubungan positif yang signifikan pada hasil kualitas attachment Ayah dan Ibu dengan validation and caring menandakan bahwa ketika kualitas attachment pada Ayah dan Ibu tinggi, validation and caring yang dimiliki oleh remaja juga tinggi. Nisco (1998) menjelaskan bahwa perilaku peduli muncul dari bagaimana orangtua responsif dengan kebutuhan maupun tekanan yang dialami anak, yakni dengan dukungan dan kenyamanan yang diberikan orangtua. Ketanggapan ini yang membuat anak merasa bahwa lingkungan atau orang-orang sekitarnya juga akan menunjukkan kepedulian, mendidik, dan dapat dipercaya, sehingga anak akan memperlakukan hal yang sama dengan lingkungannya. Demikian yang terjadi saat orangtua tidak menanggapi tekanan yang dialami, anak akan merasa diabaikan dan semakin memperparah tekanan yang dialami. Dampak dari perasaan ini adalah anak akan merepresentasikan lingkungannya seakan tidak dapat dipercaya, dingin, menolak, dan tidak peduli, sehingga anak akan berperilaku seperti apa yang ia pikirkan mengenai lingkungannya. Pada hasil tambahan, peneliti mencoba untuk melihat perbedaan kualitas attachment berdasarkan pada jenis kelamin partisipan dan perbedaan kualitas persahabatan berdasarkan pada jenis kelamin partisipan.

Mengacu pada penelitian Buist, Dekovic, Meeus, dan Van Aken (2003), pola hubungan attachment di masa remaja dipengaruhi oleh jenis kelamin dari figur attachment dan gender dari remaja itu sendiri. Pengaruh yang berasal dari hubungan antara figur

attachment dengan remaja yang berjenis kelamin sama memiliki kualitas yang lebih tinggi

dibandingkan dengan figur attachment yang jenis kelaminnya berbeda dengan remaja. Apabila melihat dari hasil penelitian ini, ditemukan adanya perbedaan mean yang signifikan pada kualitas attachment Ibu berdasarkan jenis kelamin partisipan, namun sebaliknya, tidak terdapat perbedaan mean yang signifikanpada kualitas attachment Ayah. Hal itu menandakan bahwa hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Buist, Dekovic, Meeus, dan Van Aken (2003), yakni kualitas attachment Ibu memiliki perbedaan pada partisipan perempuan dan laki-laki, dengan mean pada partisipan perempuan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Namun bila melihat hasil kualitas attachment Ayah, penelitian ini tidak konsisten dengan

(18)

penelitian Buist, Dekovic, Meeus, dan Van Aken (2003), karena dari hasil penelitian ini kualitas attachment pada Ayahtidak terdapat perbedaan antara partisipan perempuan dan laki-laki. Tidak konsisten yang muncul tersebut mungkin terjadi karena tidakseimbangnya jumlah partisipan laki-laki dan perempuan yang didapatkan dalam penelitian ini. Jumlah partisipan perempuan yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah partisipan laki-laki membuat mean kualitas attachment dengan ibu memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Hal itu karena sesuai dengan yang dijelaskan Buist, Dekovic, Meeus, dan Van Aken (2003) bahwa ibu akan cenderung memiliki attachment yang lebih kuat dengan anak perempuannya dibandingkan dengan anak laki-lakinya. Namun karena jumlah partisipan laki-laki yang kurang seimbang menyebabkan tidak memperlihatkan perbedaan pada kualitas attachment Ayah.

Analisis tambahan yang dilakukan berikutnya adalah melihat perbedaan kualitas persahabatan berdasarkan pada jenis kelamin partisipan. Hasil penelitian yang dilakukan Furman dan Buhrmester (1985) menjelaskan bahwa persahabatan perempuan memiliki keintiman dan kasih sayang yang lebih dalam dibandingkan dengan persahabatan laki-laki. Pernyataan ini didukung oleh Cobb (2001) yang menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara remaja perempuan dan laki-laki dalam pola persahabatan.

Dari hasil penelitian ini, ditemukan perbedaan mean kualitas persahabatan yang signifikan antara partisipan perempuan dengan laki-laki yang menandakan hasil penelitian ini konsisten dengan pernyataan Cobb (2001). Pada remaja perempuan, penting bagi mereka untuk memiliki teman yang dapat dipercaya, terutama dalam menjaga rahasia masing-masing maupun yang tidak akan membicarakan diri mereka di belakang (Berndt, 1982 dalam Cobb, 2001). Sama dengan remaja perempuan, remaja laki-laki juga mengalami peningkatan keintiman dan afeksi dalam kualitas persahabatan, hanya saja tidak seperti remaja perempuan, remaja laki-laki tidak saling memahami maupun berbagi perasaan satu sama lain (Cobb, 2001)

Terkait dengan kualitas persahabatan positif, hasil dari penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan Furman dan Buhrmester (1985), dimana partisipan perempuan memiliki mean yang lebih tinggi, yakni sebesar 116,76 dibandingkan dengan partisipan laki-laki, yakni 103. Hasil dari kualitas persahabatan negatif juga menunjukkan terdapat perbedaan mean yang signifikan pada partisipan perempuan dan laki-laki. Namun pada hasil ini, partisipan laki-laki memiliki mean yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja

(19)

perempuan, yakni mean sebesar 13,14 pada partisipan laki-laki dan 9,55 pada partisipan perempuan.

Melalui perbedaan mean ini dapat disimpulkan bahwa partisipan perempuan memiliki kualitas persahabatan positif yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, serta memiliki kualitas persahabatan negatif yang lebih rendah dibandingkan dengan partisipan laki-laki. Hal itu kemungkinan dapat terjadi karena kecenderungan perempuan menggunakan strategi solution-oriented dalam penyelesaian konflik, dibandingkan dengan anak laki-laki yang cenderung bersaing untuk mempertahankan pendapat mereka (Maccoby dalam Thayer, Updegraff, & Delgado, 2008).

SARAN

Dari hasil yang telah didapatkan pada penelitian ini, terdapat beberapa saran sebagai pertimbangan pada penelitian selanjutnya serta saran praktis sebagai acuan dalam kegiatan yang berkaitan, yakni:

a. Mendapatkan jumlah partisipan yang sebanding antara perempuan dan laki-laki sebagai pertimbangan agar seluruh hasil data semakin dapat merepresentasikan tujuan penelitian. b. Melakukan pengacakan nomor item pada alat ukur kualitas attachment Ayah dan Ibu

untuk mencegah duplikasi jawaban oleh partisipan.

c. Melihat bahwa hubungan orangtua memberikan sumbangan bagi perkembangan sosial remaja, terutama pada hubungan dengan sahabat, maka hasil penelitian ini dapat diberikan sebagai informasi bagi orangtua untuk memberikan pengetahuan mengenai dampak dari attachment yang selama ini telah diterapkan dengan anak serta dampak yang dapat muncul dari hubungan persahabatan pada remaja.

d. Hasil dari penelitian ini juga dapat diberikan untuk guru Bimbingan Konseling di sekolah SMA, terutama ketika menghadapi kasus yang berkaitan dengan masalah pertemanan pada remaja. Dengan melihat bahwa adanya hubungan antara hubungan remaja dan orangtua dengan masalah pertemanan remaja, guru bisa memberikan solusi yang sekiranya melibatkan latar belakang remaja, terutama hubungan langsung dengan orangtua, serta dapat melibatkan orangtua untuk turut bekerja sama dalam mengatasi masalah yang ditemui.

(20)

DAFTAR REFERENSI

Armsden, G. & Greenberg, M. (1987). The inventory of parent and peer attachment: individual differences and their relationship to psychological well-being.Journal of Youth and Adolescence. 16(5). 427-454.

Berndt, T. (2002). Friendship quality and social development. Current Directions in Psychological Science. 11(1), 7-11.

Blair, B. (2013). Maternal influences on friendship quality: a dyadic approach Disertasi : The University of North Carolina.

Blair, B., Perry, N., O’Brien, M., Calkins, S., Keane, S., & Shanahan, L. (2014). The indirect effects of maternal emotion socialization on friendship quality in middle childhood. Development Psychology.50(2),566-576.

Booth-LaForce, C., Rubin, K., Rose-Krasnor, L., & Burgess, K. (2014). Attachment and friendship predictors of psychosocial functioning in middle childhood, and the mediating roles of social support and self-worth. Attachment and Friendship. 161-188.

Bowlby, J. (1997) Attachment and Loss vol. 1. London: Pimlico.

BPS. (2007). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2007. Diambil dari http://www.bps.go.id/brs_file/tenaker-15mei07.pdf

Buist, K., Dekovic, M., Meeus, W., & Van Aken, M. (2003). Developmental patterns in adolescent attachment to mother, father, and sibling. Journal of youth and adolescence. 31(3), 167. Cobb, N. (2001). Adolescence: Continuity, Change, and Diversity 4th edition. California: Mayfield. Collin, V. (1996). Human Attachment. USA: McGraw-Hill.

Erwin, P. (1998). Friendships in Childhood and Adolescence. London: Routledge.

Flynn, H. (2006). Friendship: A Longitudinal Study of Friendship Characteristics, Life Transitions, and Social Factors that Influence Friendship Quality (Disertasi). California: University of California.

Freeman, H., & Brown, B. B. (2001). Primary attachment to parents and peers during adolescence: Differences by attachment style. Journal of Youth and Adolescence, 30, 653-674.

Gravetter F. & Forzano, L. (2009). Research Methods for the Behavioral Sciences. Belmont: Cengage. Gullone, E. & Robinson, K. (2005). The inventory of parent and peer attachment-revised (IPPA-R) for

children: a psychometric investigation.Clinical Psychology and Psychotherapy. 12, 67-79. Furman, W. & Buhrmester, D. (1985). Childrens’ perceptions of the personal relationships in their

social network. Developmental Psychology. 21(6), 1016-1024.

Jiang, X. (2009). Parent attachment and early adolscents’ life satifaction: the mediating effect of hope. Disertasi: Beijing Normal University.

Kerns, K., Klepac, L., & Cole, A. (1996). Peer relationships and preadolescents’ perceptions of security in the child-mother relationship. Developmental Psychology. 32(3), 457-466.

Kumar, R. (2011). Research Methodology 3rd edition. London: SAGE.

Kusmiyati. (2013, September 9). Usia Remaja, Anak Biasanya Rentan Menjadi Nakal. July 11, 2014. http://health.liputan6.com/read/687598/usia-remaja-anak-biasanya-rentan-menjadi-nakal. Lawford, H. (2008). The role of attachment and caregiving in the emergence of generativity from

early to middle adolescence. Tesis: Concordia University.

Liu, Y. (2006). Paternal/maternal attachment, peer support, social expectations of peer interaction, and depressive symptoms. Adolescence. 41, 705-721.

Milligan, K. (2004). Attachment security and friendship quality in early childhood: a theoritical and methodological reconceptualization. Tesis: University of Toronto.

(21)

Nisco, L. (1998). The well-being of daughters caring for their elderly mothers: the role of attachment style and relationship quality. Thesis: Columbia University.

Parker, J. & Asher, S. (1993). Friendship and friendship quality in middle childhood: links with peer group acceptance and feelings of loneliness and social dissatisfaction. Developmental Psychology. 29(4), 611-621.

Pasaribu, B. (2013, Mey 14). DPRDSU Desak Disdiksu Segera “Damaikan” Kasus Perkelahian Siswa SMA Methodis 1 Medan. July 11, 2014. http://medanbisnisdaily.com/news/read/2013/05/14/29173/dprdsu_desak_disdiksu_segera_da maikan_kasus_perkelahian_siswa_sma_methodis_1_medan/#.U79wgJSSwuc

Pietromonaco, P., & Barett, L. (2000). The internal working models concept: What do we really know about the self in relation to others?. Review of general psychology, 4(2), 155-175.

Rabaglietti, E., & Ciairano, S. (2008). Quality of friendship relationships and developmental tasks in adolescence. Cognition, Brain, Behavior, 12, 183-203.

Rice, F., & Dolgin, K. (2008). The Adolescect: Development, Relationships, and Culture 12th Edition. USA: Pearson.

Santrock, J. (2006). The Life Span Development 10ed. New York: McGraw-Hill.

Schwartz, K. (2002). The contribution of mother, father, and friend attachment and social provisions to adolescent psychosocial development. Tesis: University of Calgary.

Taufik, M. (2013, December 5). Gara-gara Perkelahian di Mobil, 6 Siswi Terluka. July 11, 2014. http://koran-sindo.com/node/349221

Thayer, S., Updegraff, K., & Delgado, M. (2008). Conflict resolution in Mexican American adolescents’ friendship: links with culture, gender, and friendship quality. J Youth Adolescence. 37, 783-797.

Tipton, L. (2011). A study of the friendship quality in adolescents with and without an intellectual disability. Tesis: University of California.

Wilkinson, R. (2004). The role of parental and peer attachment in the psychological health and self-esteem of adolescents”. Journal of Youth and Adolescence, 33, 479-493.

Zimmerman, P. (2004). Attachment reresentations and characteristics of friendship relations during adolescence. J. Experimental Child Psychilogy. 88, 83-101.

Gambar

Tabel 1. Gambaran Kualitas Attachment Partisipan dengan Ayah dan Ibu (N=97)
Tabel 2. Gambaran Kualitas Persahabatan Partisipan Penelitian (N=97)
Tabel 3. Korelasi Kualitas Attachment Ayah-Anak dan Ibu-Anak dengan Kualitas Persahabatan  Partisipan (N=97)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara transmisi nilai ayah, transmisi ibu dan kualitas hubungan ayah, kualitas hubungan

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara transmisi nilai ayah, transmisi ibu dan kualitas hubungan ayah, kualitas hubungan

Ina Prima Grafindo Surakarta; (2) Hubungan antara work-family balance dengan secure attachment pada ibu bekerja yang memiliki anak remaja di PT.. Ina Prima Grafindo

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara gaya pengasuhan ayah dan ibu (otoritatif, permisif, dan otoriter) dengan perilaku bermasalah pada anak usia dini

Ayah lebih banyak dilihat sebagai figur yang bekerja, bersantai, memiliki otoritas, figur yang harus dilayani atau dihormati, dan kurang memperhatikan anak, sedangkan ibu lebih

Remaja dengan kualitas persahabatan yang tinggi kemungkinan memiliki kepercayaan yang tinggi dan sebaliknya, remaja dengan kualitas persahabatan yang rendah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara attachment dengan self- esteem remaja serta memberikan gambaran keterikatan remaja dengan ayah, ibu dan teman

Hubungan antara remaja dan ibu bapa merupakan perkara yang sangat penting kerana kajian lepas membuktikan bahawa gaya ikatan ( Attachment ) kanak-kanak terhadap ibu bapa adalah