• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka ini membahas tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan ruang dan perilaku manusia di dalamnya, terutama seting ruang yang dapat mendorong perilaku spasial yang memperhatikan prinsip-prinsip ekologis (Eco-Spatial Behavior). Berkaitan dengan hal tersebut akan dibahas teori-teori yang berkaitan dengan: (1) spasial dari lingkungan buatan rumah susun; (2) makna dan konsep rumah susun melalui pemahaman hakekat rumah dan kebutuhan manusia akan rumah; (3) perilaku manusia dan interaksinya dengan lingkungan serta sikap manusia terhadap lingkungan maupun perilaku manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan; (4) konsep pembangunan yang berkelanjutan melalui pemahaman akan pengertian pembangunan berkelanjutan dan upaya pelestarian fungsi lingkungan; (5) konsep model; dan (6) penelitian terdahulu yang relevan, seperti uraian di bawah ini.

2.1. Konsep Dasar Spasial Lingkungan Buatan 2.1.1. Pengertian Spasial

Istilah spasial berasal dari kata bahasa Inggris spatial yang mempunyai arti segala sesuatu yang berkenaan dengan ruang (space), tetapi bukan ruangan yang diartikan sebagai room (bahasa Inggris). Oleh karena itu, penggunaan terjemahan spatial menjadi spasial dalam bahasa Indonesia untuk menghindari kerancuan pengertian yang sempit sebagai room tersebut.

Banyak para ahli menggunakan istilah “Ruang” sebagai tempat kehidupan, dengan demikian pengertian ruang tidak lain adalah biosphere yang merupakan persinggungan antara lithosphere, hydrosphere, dan atmosphere (Miller,1985), dan Rustiadi (2006) menempati ruang berkisar 3 m dalam tanah atau 200 m di bawah permukaan laut atau 30 m di atas permukaan tanah. UU No 26 Tahun 2007 “Tentang Penataan Ruang”, ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. The New

(2)

Grolier Webster International Dictionary, ruang dapat diartikan sebagai area tiga dimensi yang ukurannya dapat tak terbatas 12.

Para ahli, pengertian spasial dipahami secara berbeda antara ilmuwan berlatar belakang geografi dengan ilmuwan yang berlatar belakang sosial (Rustiadi, dkk. 2000). Dalam perspektif geografi, pengertian spasial adalah pengertian yang bersifat rigid (kaku), yakni segala sesuatu yang menyangkut lokasi atau tempat. Definisi suatu tempat atau lokasi secara geografi sangat jelas, tegas, dan lebih terukur karena setiap lokasi di atas permukaan bumi dalam ilmu geografi dapat diukur secara kuantitatif. Domain kajian spasial dalam ilmu geografi lebih fokus pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial. Perspektif ilmu sosial ekonomi (termasuk ilmu kewilayahan) tidak mendefinisikan spasial dalam bahasa posisi sebagai lokasi kuantitatif, melainkan lebih kepada makna atau masalah yang ada di dalamnya (seperti makna dan permasalahan yang ada di desa, kota atau hinterland ). Segala aspek spasial yang dijelaskan dalam geografi hanya akan memiliki makna dalam kaca mata ilmu sosial-ekonomi jika dipahami ada masalah dan ada pemahaman sosial ekonomi di atasnya. Ilmu psikologi membagi spasial berdasarkan bagaimana individu mempersepsikan ruang di sekitarnya, apakah bersifat pribadi atau publik.

Perbedaan cara pandang tersebut di atas, dapat dijelaskan lebih rinci melalui komponen atau gejala yang dapat menimbulkan kesan spasial antara ilmu sosial-ekonomi dan ilmu geografi, seperti yang disajikan dalam Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Gejala spasial dari berbagai cara pandang ilmu Komponen / gejala adanya Spasial

Geografi Sosial Ekonomi & Ilmu kewilayahan Psikologi Golledge (1997) 1. Movement 2. Network (paths) 3. Nodes (intersections) 4. Nodal Hierarchies 5. Areas Rustiadi (2006) 1. Jarak 2. Arah 3. Posisi

Gifort & Golledge (1997), Bell (1978), Holahan (1982) 1. Personal space 2. Territoriality, 3. Crowding & density, 4. Privasi

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Berdasarkan paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian spasial adalah segala sesuatu mengenai ruang, baik ruang daratan, lautan,

(3)

maupun ruang udara yang di dalamnya terdapat aktivitas kehidupan yang dapat terukur secara kuantitatif, makna, maupun persepsinya.

Rekonstruksi pemikiran atau pemahaman suatu ruang atau Spatial Cognition ini, direpresentasikan melalui struktur, entities, dan hubungan dari suatu spasial. Downs dan Stea (1977), proses menggabungkan atau menyusun transformasi psikologis individu dalam menyimpan, memanggil, dan menandai informasi tentang lokasi dan atributnya suatu fenomena keseharian lingkungan spasial disebut dengan pemetaan kognitif (cognitive mapping), yang sangat bergantung peta kognitif (cognitive map). Salah satu kegunaan peta kognitif untuk mengetahui perilaku spasial seseorang. Merekonstruksikan ini dibutuhkan suatu keterampilan yang disebut dengan spatial abilities, Golledge (ibid), spatial abilities di antaranya meliputi : a. Kemampuan berpikir secara geometri

b. Kemampuan menggambarkan hubungan ruang yang kompleks secara 3 dimensi maupun 2 dimensi.

c. Kemampuan menyusun fenomena variasi pola spasial pada skala yang berbeda.

d. Kemampuan mengintepretasi hubungan spasial secara makro baik untuk distribusi sebaran penduduk, vegetasi maupun tanah.

e. Kemampuan menyusun gambaran spasial ke dalam bentuk tulisan, dan lainnya.

2.1.2. Lingkungan Buatan

Lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dengan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa unsur perilaku manusia mempunyai peran yang sangat penting, karena dapat mempengaruhi kesejahteraan tidak saja manusia itu sendiri tetapi juga mahluk hidup lainnya. Oleh karena itu lingkungan hidup manusia dapat diartikan sebagai sistem di mana terdapat kepentingan manusia di dalamnya. Pendapat ini didukung oleh Gottlieb (1965) yang menyebutkan

(4)

bahwa lingkungan tidak saja yang ada di sekeliling kita, tetapi semua keadaan yang diperoleh dalam kehidupan dan perilaku manusia.

Sejak manusia muncul di bumi, lingkungan alami mengalami perubahan, karena perilaku manusia dalam usahanya untuk meningkatkan kualitas hidup. Lingkungan yang tadinya alami berubah secara drastik menjadi ”lingkungan buatan manusia”(man-made environment), baik itu akibat aktivitas pertanian, manufaktur, maupun permukiman di perkotaan atau di pedesaan. Oleh karena itu para ahli dalam bidang lingkungan seperti Otto Soemarwoto, Soerjani, Emil Salim, Rambo, Roberts (1984), dan yang lainnya membagi lingkungan hidup menjadi tiga jenis yaitu: (l) lingkungan alam meliputi udara, air, tanah, dan organisme yang berada dalam kelompok tanaman atau hewan hidup, (2) lingkungan buatan (built environment) dan (3) lingkungan sosial berkaitan dengan kebudayaan, hukum, ekonomi, musik, dan lainnya.

Lingkungan buatan sebagai bagian dari lingkungan hidup manusia adalah lingkungan hidup alam yang telah berubah drastis akibat intervensi yang tinggi dari peradaban manusia dan perubahan lingkungan alami menjadi lingkungan buatan ini sangat ditentukan oleh lingkungan sosial budaya (Soerjani, 1988). Salah satu contoh lingkungan buatan di perkotaan adalah permukiman rumah susun yang di dalamnya terdapat seting fisik permukiman, seting aktivitas, dan interaksi penghuni baik dengan lingkungan tempat tinggalnya maupun sesama penghuni, akibat dari penghunian rumah susun.

2.1.3. Lingkungan Permukiman Rumah Susun

Memahami lingkungan permukiman rumah susun akan dibahas mengenai makna rumah itu sendiri yang dikembangkan menjadi makna rumah susun dan lingkungannya serta penghunian rumah susun.

a. Makna Rumah

Rumah13 merupakan komponen utama perumahan14 dan

perumahan sendiri merupakan komponen utama suatu

13 Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan

keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya (Undang-undang no 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman).

14 Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang

dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. (UU no 1 tahun 2011).

(5)

permukiman15. Bagi penghuni, rumah tidak hanya berarti fisik semata, tetapi juga mempunyai makna tersendiri.

Pengertian rumah tidak hanya sebagai bangunan rumah saja juga dikemukakan oleh Pedro Arrupe yang dikutip Budihardjo (1987): ”A House is much more than building. It is social context of family life – the place where man loves and shares with those who are closed to him”. Rumah juga bukan semata-mata merupakan tempat bernaung untuk melindungi diri dari pengaruh fisik belaka, melainkan juga harus mampu memenuhi hasrat psikologis insani dalam membina keluarga (Soedarsono, 1986). Makna yang lebih luas rumah harus mampu membuka jalan dan memberikan saluran bagi kebutuhan aspirasi, dan keinginan manusia secara penuh menuju perbaikan taraf hidup dan kesejahteraan manusia (Batubara, 1986). Rumah sebagai tempat tinggal merupakan satuan yang kompleks yang melibatkan berbagai unsur-unsur kebudayaan (Suparlan, 1991).

Dari beberapa makna rumah tersebut di atas, Hayward (1987) merumuskan hakekat rumah adalah sebagai berikut:

1. Rumah sebagai pengejawantahan jati diri, yaitu sebagai simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuni.

2. Rumah sebagai wadah keakraban, yaitu dalam rasa memiliki, kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman.

3. Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi, yaitu merupakan tempat melepaskan diri dari dunia luar, dari tekanan dan ketegangan kegiatan rutin.

4. Rumah sebagai akar dan kesinambungan, yaitu dalam konsep kampung sebagai tempat kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam menuju masa depan.

5. Rumah sebagai wadah kegiatan sehari-hari. 6. Rumah sebagai pusat jaringan sosial

7. Rumah sebagai struktur fisik bangunan

15 Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang

mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan (UU no 1 tahun 2011).

(6)

Rumah sebagai benda dalam pemenuhan kebutuhan manusia dapat merujuk pada pemenuhan kebutuhan berdasarkan kebutuhan hirarki dari Maslow, seperti yang disajikan pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Rumah dalam pemenuhan kebutuhan manusia

No Kebutuhan Bertingkat (Maslow)

Pemenuhan Kebutuhan Melalui Rumah

1 Fisiologis Memberikan perlindungan dari gangguan alam dan binatang; tempat istirahat dan pemenuhan fungsi badani.

2 Rasa aman Rasa aman menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta, menjamin hak pribadi

3 Rasa cinta dan memiliki Memberi peluang untuk berinteraksi dan aktivitas komunikasi, serta mempunyai identitas dalam komunitas lingkungan perumahan yang ditinggali 4 Rasa harga diri Memberi peluang untuk tumbuhnya harga diri

melalui kepemilikan dan tampilan rumah yang ditinggali

5 Aktualisasi diri Rumah mencerminkan kesuksesan penghuninya sebagai bagian mengaktualisasikan diri.

Sumber: Deliyanto, 1997

Dari lima hirarki tersebut di atas, Maslow16 telah mengembangkan teorinya menjadi delapan hirarki kebutuhan, yaitu dua kebutuhan setelah mencapai harga diri berupa kebutuhan kognisi dan akan keindahan, serta menambahkan kebutuhan puncak setelah aktualisasi diri yaitu kebutuhan akan keberadaan Tuhan. Secara lengkap hirarki adalah sebagai berikut : (l) kebutuhan fisik (physiological needs), (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), (3) kebutuhan memiliki dan kasih sayang (belongingness & love needs), (4) kebutuhan penghargaan (esteem needs), (5) kebutuhan kognisi (needs to know & understand), (6) kebutuhan estetika (aesthetic needs), (7) aktualisasi diri (self-actualitation), dan (8) kebutuhan

pentingnya menemukan arti keberadaan Sang Pencipta

(transcendence).

16 (Maslow hierarchy of needs http\\www.Valdosta.peachnet.edu/-wihuitt/ psy702/regsis/ maslow.html 4/4/00 pp. I of

(7)

b. Rumah Susun dan Lingkungannya

Rumah susun dapat diartikan sebagai bangunan bertingkat yang terdiri dari beberapa unit rumah tinggal yang disebut Unit Satuan Rumah Susun (sarusun). Undang-undang Rumah Susun 1985, menyebutkan pengertian Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki atau disewa dan digunakan secara terpisah terutama untuk hunian; rumah susun dilengkapi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Rumah susun dan lingkungannya direncanakan sebagai tempat yang dapat mengakomodasi sebuah keluarga berikut kebutuhan-kebutuhannya yang kompleks tidak semata-mata kebutuhan fisik. Memahami makna rumah susun tentu saja tidak bisa terlepas akan makna rumah itu sendiri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Seperti yang telah dibahas, lingkungan permukiman rumah susun adalah merupakan lingkungan buatan atau man-made environment atau built environment, suatu lingkungan dengan intervensi manusia yang tinggi. Oleh karena itu permukiman rumah susun sebagai lingkungan hidup dan habitat manusia bukan hanya untuk manusia saja tetapi juga segala mahluk lain seperti berbagai jenis hewan yang sudah banyak didominasi dengan hewan piaraan; dan tumbuh-tumbuhan yang sudah didominasi jenis tanaman hias, rumput, pohon peneduh yang ditanam manusia, sumber daya air bersih yang sudah merupakan air bersih olahan, kemampuan pemurnian kembali limbah secara alami sudah dibantu alat, dan seterusnya. Kesemuanya saling terkait serta timbal balik sebagai satu kesatuan sistem ekologi yang sering disebut “ekosistem suatu permukiman” (Deliyanto, 2004).

Eko Budihardjo (1993) melihat permukiman di perkotaan sebagai suatu jaringan sistem organisme utuh yang terdiri atas dua subsistem yaitu city's hardware (jasmani kota) dan city's software (rohani kota). Suatu permukiman di perkotaan bisa diibaratkan sebagai jasad hidup, memahami lingkungan hidup dan kehidupan

(8)

suatu permukiman dapat didekati dengan bagaimana cara memahami sistem kehidupan jasad hidup.

Budihardjo (ibid), subsistem jasmani kota mencakup gejala metabolisme (mirip pencernaan makanan), kardiovaskuler (peredaran darah), nervous (persyarafan), dan skelektal (pertulangan). Metabolisme kota, dalam kehidupan kota terdapat jaringan yang menjamin pemenuhan kebutuhan kota seperti; air, pangan, bahan bakar, listrik, gas, dan seterusnya. Begitu juga untuk pembuangan, kota mempunyai pengolahan limbah atau menggunakan daerah pinggiran untuk pembuangan limbah dengan perlakuan tertentu. Jika penyaluran masuknya kebutuhan dan pembuangan sisa-sisa konsumsi tidak beres, suatu permukiman akan mengidap penyakit metabolis, yaitu gangguan pencernaan. Gejala ketidakberesan ini dapat dilihat adanya banjir jika saluran-saluran air kotor tertutup oleh sampah, kurangnya air bersih, listrik sering padam, dan seterusnya.

Kardiovaskuler kota, dalam kota terdapat lalu lintas, yang berfungsi untuk mengirim pangan kepelosok-pelosok, mengirim para pekerja, dan seterusnya. Jika lalu lintas ini terganggu (macet) akibat kepadatan kendaraan yang tinggi, maka terganggu pula peredaran darah kota tersebut. Sementara itu udara yang kotor akibat industri dan transportasi akan mengakibatkan pernafasan terganggu dan membahayakan paru-paru. Begitu juga yang terjadi di lingkungan permukiman rumah susun, bila arus sirkulasi baik vertikal maupun horizontal seperti lift, tangga, dan koridor rusak juga akan mengganggu kenyamanan penghuni.

Nervous, diidentikkan dengan jaringan informasi atau komunikasi seperti radio, televisi, telepon koran dan seterusnya, bila jaringan ini rusak maka penghuni rumah susun akan kehilangan informasi dan komunikasi sehingga tidak dapat berbuat apa-apa seperti bagian tubuh yang tidak bergerak akibat syarafnya rusak.

Skeletal pada permukiman kota, diidentikkan dengan infrastruktur permukiman seperti: jaringan jalan, parkir, ruang bermain, bangunan rumah, bangunan utilitas , dan seterusnya. Terganggunya salah satu sistem jasmani permukiman tersebut di atas akan mengganggu atau berpengaruh pada sistem jasmani

(9)

permukiman yang lain, sehingga lingkungan permukiman terkesan sakit.

Di dalam lingkungan permukiman rumah susun juga terdapat subsistem yang bersifat non jasmani (rohani) atau budaya kebiasaan tinggal di rumah susun, seperti struktur kelembagaan (perhimpunan penghuni), sistem penghunian maupun sistem sosial lainnya yang akan diuraikan pada bab lain.

Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rumah susun adalah bangunan bertingkat yang terdiri dari beberapa unit rumah tinggal yang dibangun dalam lingkungan buatan

dan direncanakan sebagai tempat tinggal yang dapat

mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan sebuah keluarga yang kompleks, tidak semata-mata kebutuhan fisik melainkan juga melibatkan berbagai unsur-unsur kebudayaan. Dalam lingkungan permukiman rumah susun mempunyai dua subsistem yaitu hardware system dan software system.

c. Penghunian Rumah Susun

Penghunian berasal dari kata huni yang berarti didiami, ditunggui, atau berpenduduk (Poerwadarminta, 1989), sedangkan hunian dapat berarti tempat untuk didiami. Penghunian adalah proses menghuni. Soedarsono (1986), menghuni adalah kehadiran manusia dalam menciptakan ruang pada lingkungan masyarakat. Pendapat tersebut senada dengan pendapat Frick (2006) menghuni dapat diartikan sebagai mengambil ruang sehingga menjadi milik. Dikatakannya, secara filosofis, proses menghuni berarti menjaga kepastian tentang perlindungan secara fisik dan non fisik, dikatakan lebih lanjut proses menghuni merupakan proses interaksi antara impian dan kenyataan antara kebebasan dan pengaturan seperti yang digambarkan pada Gambar 2.1. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penghunian adalah kehadiran manusia dalam menciptakan ruang pada lingkungan masyarakat untuk menjaga kepastian tentang perlindungan secara fisik maupun non fisik.

(10)

Gambar 2.1 Proses menghuni sebagai interaksi antara impian dan kenyataan (Sumber: Frick, 2006 )

Kehidupan bersama dalam satu bangunan rumah seperti kehidupan di rumah susun yang kita kenal saat ini, sebenarnya sudah dikenal bangsa Indonesia cukup lama. Bangsa Indonesia mempunyai pengalaman menata kehidupan bersama dalam sebuah rumah besar yang dihuni secara komunal. Rumah besar tersebut disebut “Lamin” di pedalaman Kalimantan dan “Rumah Gadang” bagi keluarga Minangkabau, atau rumah-rumah sejenis di berbagai daerah di tanah air yang dikenal sebagai “extended family”, yang berisi keakraban, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan di antara anggota-anggotanya yang berorientasi pada nilai yang sama, yaitu kepentingan kelompok daripada kepentingan individu. Dalam rumah besar yang dihuni bersama ini berlaku norma kehidupan yang

Arsitektur yang d apat be rpindah-pindah arsitektur yang tetap (tidak be rgerak)

Berkha yal kosong Menghuni angkasa

Proses menghuni Menghuni bersama Pen garuh rumah atas peng huninya

Transmigrasi, migrasi, pengungsi2

Komoditas tinggi, b ersifat be rkelana 1

Menghun i bu mi, kediaman = ruang hidu p

Menghuni rumah tin ggal tetap

Bentuk struktu r yang

rin gan saja (te mpat berlindung) Sejarah menghuni yang dimiliki se ndiri Menghuni rumah Menghun i rumah di pe rumahan

Tipologi gedu ng Tata kota da n tata ruang lingkungan 3

Penggunaan lahan , hak atas tanah

Pemba ngunan sesuai dengan iklim setempat

Tata re ncana pe rumahan Prasarana (infrastru cture) 3 Menghuni rumah d i desa/kampung 4 Me miliki tempat kediaman sendiri 5

Arsitek, ahli sipil, kon tra ktor dsb.

Melengkapi rumah Arsitek interior

Pe rkemahan 6 Waktu luang/libur 3 Memiliki vila sebagai rumah kedua 1

kebebasan landasan Peraturan dan p engawasan b ertambah terus

Pe ra turan bangunan dan pen gawa san

Perancangan ko nst, bangunan 6

Mebel, ornament, cat Impian utopia

In tera ksi Sosial

Ken yataan

1 perhatian pada limit of g rowth 2 perhatian pada kependuduka n

3 pe rhatian pada mobilitas d an lalu lintas

4 pe rhatian pada jarak tempat menghuni dan te mpat kerja

5 perha tian pada ekonomi / pembiayaan 6 perha tian pada pencemaran lingkungan

(11)

ditujukan untuk kelangsungan kehidupan bersama, menghadapi musuh bersama, kepentingan bersama, dan lainnya.

Lamin, Rumah Gadang, Rumah Susun memiliki satu persamaan ciri, karena masing-masing merupakan “communal dweling” dan proses penghunian karena proses turun temurun. Rumah susun proses penghuniannya masih belum melalui proses turun temurun melainkan penghunian baru yang pindah dari rumah landed houses, di samping itu dalam penghunian rumah susun menunjukkan adanya berbagai aspek yang berbeda. Kehidupan di rumah susun nampaknya memberi gambaran suatu kehidupan masyarakat modern yang cenderung memberi nilai tinggi terhadap segi-segi kehidupan yang bersifat pribadi (private, privacy) dan eksklusif. Bila dalam sebuah Lamin atau Rumah Gadang, communal dweling ditandai oleh adanya kebiasaan anggota rumah untuk berbagi suka dan duka, di dalam lingkungan rumah susun keluarga hidup sendiri-sendiri, di dalam unit rumah susun mereka.

2.2. Perilaku Manusia

2.2.1. Pengertian Perilaku

Perilaku atau behavior menurut Sarwono (1997) adalah perbuatan-perbuatan manusia, baik yang terbuka (kasat indera) maupun yang tertutup (tidak kasat mata). Perbuatan yang terbuka dinamakan overt behavior, yaitu semua perilaku yang bisa ditangkap langsung dengan indera seperti: menulis, menggeser, dan lainnya, sedangkan perilaku yang tak kasat indera disebut dengan covert behavior, yaitu motivasi, fantasi, sikap, berpikir, beremosi dan minat. Pendapat ini senada dengan pernyataan Decrades yang dikutip oleh Noor (1997) menyatakan bahwa ada perilaku mekanis yaitu perilaku yang berhubungan erat dengan gerakan badan, dan ada perilaku rasional yang erat hubungannya dengan jiwa.

Tuan (1974), perilaku (tingkah laku) atau tindakan adalah usaha dari suatu kebutuhan dasar dan struktur kepribadian individu dikombinasikan rangkaian proses penyesuaian dirinya terhadap situasi dan kondisi fisik. Proses tersebut merupakan proses kognitif dari penilaian stimuli eksternal dan aktivitas yang nampak. Adapun ciri-ciri perilaku menurut Watson (1878-1958) yang dikutip oleh Laurens (2005) sebagai berikut:

(12)

a. Perilaku itu sendiri adalah kasat mata, tetapi penyebab terjadinya perilaku secara langsung mungkin tidak dapat diamati.

b. Perilaku mengenal beberapa tingkatan, yaitu perilaku sederhana dan steoreotip, seperti perilaku binatang bersel satu, refleks; dan perilaku kompleks seperti perilaku sosial manusia.

c. Perilaku bervariasi dengan klasifikasi: kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang menunjukkan pada sifat rasional, emosional, dan gerakan fisik dalam berperilaku.

d. Perilaku bisa disadari dan bisa tidak disadari.

Berdasarkan pengertian dan ciri perilaku tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian perilaku atau behavior adalah perbuatan-perbuatan manusia, baik yang overt behavior maupun yang covert behavior, yang disadari atau tidak disadari baik secara rasional, emosional, maupun gerakan fisik dalam berperilaku.

2.2.2. Perilaku Manusia dan Interaksinya dengan Lingkungan a. Interaksi Manusia dengan Lingkungan

Manusia dan habitatnya (lingkungan hidup manusia), keduanya saling berinteraksi dan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Manusia merupakan pusat lingkungan dan sekaligus menjadi bagian dari lingkungan. Cara pandang manusia terhadap lingkungan dapat secara imanen atau transenden. Interaksi manusia dengan lingkungan merupakan jalinan transactional independency atau saling ketergantungan satu sama lain, artinya perilaku manusia mempengaruhi lingkungannya, sebaliknya Gifford (1987) dan Bubolz (1979) yang disitasi oleh Bianpoen (2000) lingkungan akan mempengaruhi perilaku dan pengalaman manusia itu sendiri. Melalui proses interaksi dengan lingkungan hidupnya, selain manusia akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya, ia juga membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya (Soemarwotto, 1989; Soerjani, 1988)

Digambarkan oleh Rambo (1981) secara analitik proses interaksi ini terjadi di dalam sistem sosial (socio sistem) dengan ekosistem. Kedua sistem ini saling berhubungan terus menerus

(13)

melalui aliran enerji, materi dan informasi, sehingga terjadi proses seleksi dan adaptasi antara keduanya. Dalam proses interaksi yang berlangsung secara terus-menerus, manusia berupaya menjaga, mempertahankan, memelihara, memperbaiki, membangun, dan mengembangkan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi hidupnya, sehingga manusia dapat hidup sejahtera dengan kualitas hidup yang lebih baik.

Interaksi manusia dengan lingkungannya dapat menimbulkan berbagai dampak fisik maupun dampak psikologis, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dampak positif merupakan sesuatu yang diharapkan oleh para perancang lingkungan, namun menurut Holahan sejumlah besar hasil rancangannya ternyata telah gagal mempertemukan kebutuhan perilaku (behavioral need) pemakainya (Holahan, 1982). Di dalam lingkungan, selain manusia berinteraksi antar sesamanya secara individu atau kelompok, manusia juga berinteraksi dengan komponen-komponen lingkungan lain, baik biotik maupun abiotik. Hasil interaksi antara manusia dengan lingkungan yang sifatnya positif menguntungkan manusia dan lingkungan, sebaliknya hasil interaksi yang sifatnya negatif dapat merugikan manusia dan Iingkungannya. Bahkan bila peristiwa terus-menerus berlangsung dapat merusak lingkungan yang berakibat pada menurunnya kualitas hidup manusia. Interaksi ini sifatnya kompleks berlangsung dinamik dan terus menerus, meskipun dalam kondisi berubah-ubah diharapkan akan tetap dalam suatu keseimbangan (Soerjani, 2002).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan interaksi manusia dengan lingkungan adalah proses hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya yang berlangsung secara terus-menerus, dalam hubungan timbal balik ini manusia berupaya menjaga, mempertahankan, memelihara, memperbaiki, membangun, dan mengembangkan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi hidupnya.

(14)

b. Sikap Manusia terhadap Lingkungan

Perilaku manusia sangat bergantung pada sikapnya. Dikemukakan Azwar (2007) bahwa Berkowitz (1972) menemukan pengertian lebih dari 30 definisi sikap. Puluhan pengertian sikap itu pada umumnya dapat dimasukkan ke dalam salah satu di antara tiga kerangka pemikiran, yaitu:

Pertama adalah kerangka pemikiran yang dikemukakan oleh Thrstone (1928) dan Likert (1932) mendefinisikan sikap adalah bentuk evaluasi atau reaksi perasaan (Azwar, 2007). Sikap seseorang terhadap obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut. Holahan (1982) berpendapat bahwa sikap manusia terhadap lingkungan adalah perasaan senang atau tidak senang tehadap lingkungan sebagai obyek sikap, baik itu isu yang berkenaan dengan karakteristik lingkungan maupun isu lingkungan fisik misalnya terhadap desain rumah, penataan rumah, dan lainnya yang mereka tempati. Sikap manusia terhadap lingkungan dibentuk atas dasar keputusan tentang keiinginan untuk hidup maupun kepuasan dan ketidakpuasan (disatification) berkaitan dengan lingkungan hidup sekarang.

Pemikiran yang kedua dikemukakan oleh Chave (1926); Bogardus (1931) dan Allport (1935), sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu (Azwar, 2007). Kesiapan bereaksi yang dimaksud, merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya respons. LaPierre (1934) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang dikondisikan. Oleh karena itu Deaux (1990) menyatakan bahwa sikap memberikan petunjuk tentang perilaku di masa datang, sehingga dimungkinkan untuk meramalkan bagaimana seseorang akan bertindak jika ia menghadapi obyek keyakinannya.

(15)

Kelompok pemikiran yang ketiga adalah kelompok yang berorientasi kepada skema triadic (triadic scheme), yaitu sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognisi, afeksi, dan konasi yang saling berintegrasi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu obyek. Komponen kognisi terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai obyek sikap yang mencakup fakta, pengetahuan, dan keyakinan tentang obyek, komponen afeksi terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap obyek sikap, dan komponen konasi adalah kesiapan seseorang untuk bereaksi atau berperilaku terhadap obyek (http//www.sbs.eku.edu/psy/winslow/psy.300.attitude.htm2/1/00p1 1of 2).

Berkaitan dengan kelompok pemikiran yang ketiga ini, ada dua pendekatan dalam melihat konstrak komponen-komponen sikap (kognisi, afeksi dan konasi), yaitu yang menyatu dan sebagai yang tidak menyatu (Rosenberg dan Hovland, 1960).

Pemikiran yang melihat komponen sikap sebagai satu kesatuan, Ajzen (1988) melihat semua komponen berada dalam suatu kontinum evaluatif, namun masing-masing dapat berbeda. Sebagai contoh seseorang yang mempunyai afeksi negatif terhadap penerbangan (takut & cemas naik pesawat) tetapi mempunyai kognisi positif terhadap pilot (pilot terlatih dan berpengalaman) akan tetap memutuskan bersedia ikut dalam penerbangan (konasi positif).

Gambar 2.2 Komponen sikap menyatu dalam kontinum evaluatif

Pemikiran yang tidak menyatu menempatkan ketiga komponen afeksi, kognisi, dan konasi sebagai faktor jenjang pertama dalam

Keyakinan (Kognisi) Emosi (Afeksi) Konasi (Kecende-rungan ber-perilaku) SIKAP

(16)

suatu model hirarkis. Ketiganya didefinisikan tersendiri dan kemudian dalam abstraksi yang lebih tinggi membentuk konsep sikap sebagai faktor tunggal jenjang kedua (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Konsepsi skematik hirarki sikap (Rosenberg & Hovland, 1960)

Berdasarkan uraian di atas, sikap dapat digunakan untuk meramalkan perilaku, namun membutuhkan beberapa persyaratan yaitu, apabila (1) sikap seseorang kuat dan konsisten, (2) dikaitkan dengan perilaku yang diramalkan, (3) berdasarkan pengalaman, dan (4) sikap individu (Atkitson, 1987).

Terdapat 4 tipologi karakteristik sikap yang digambarkan oleh Krech (1962), yaitu (1) affective association, adalah sikap yang mempunyai kandungan kognisi dan kecenderungan tindakan yang minimal. Respons dari sikap ini didasari oleh emosi yang rendah yang ditimbulkan oleh obyek stimulus. Tipe ini tidak dapat memprediksikan perilaku seseorang; (2) Intellectualized attitude, karakter sikap ini mempunyai komponen kognisi yang tinggi, tetapi kurang berorientasi pada tindakan seperti halnya affective association tipe juga tidak akurat dalam memprediksi sikap; (3) action

Variabel independent yang bisa diukur

Variabel intervening Variabel independent yang

bisa diukur

STIMULI

(Individu, Situasi, Isu Sosial, Kelompok sosial

Obyek sikap lannya)

SIKAP Respons syaraf simpatetik Pernyataan lisan tentang afek Respons perseptual Pernyataan lisan tentang keyakinan Tindakan yang tampak Pernyataan lisan mengenai perilaku AFEKSI KOGNISI KONASI

(17)

oriented attitudes, karakter sikap yang berorientasi pada tindakan ini dapat merepresentasikan kecenderungan tindakan, namun dengan kandungan kognisi yang minimum; (4) balance Attitudes, karakter sikap tipe ini sangat berorientasi pada tindakan dan kaya akan komponen perasaan. Tipe ini cenderung mempunyai kaitan erat dengan sistem sikap yang lain dalam konstelasi sikap seseorang. Oleh karena itu tipe ini dapat memprediksikan kecenderungan tindakan seseorang. Dari keempat tipe tersebut, tipe terakhir inilah yang mempunyai tingkat konsistensi yang tinggi dibandingkan dengan 3 tipe lainnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sikap manusia terhadap lingkungan adalah respons manusia terhadap stimuli lingkungan yang merupakan konstelasi komponen-komponen kognisi, afeksi, dan konasi yang saling berintegrasi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu stimuli lingkungan

c. Perilaku Lingkungan

Dalam teori interaksionaisme, Sarwono (1997) mengemukakan bahwa manusia ditempatkan dalam posisi yang berhadapan dan berinteraksi pertama kali dengan lingkungannya melalui penginderaannya. Setelah itu, apa yang ditangkap oleh indera akan diproses lebih lanjut dalam alam kesadaran manusia (kognitif) dan di sini ikut berpengaruh sebagai faktor yang terdapat dalam kognisi seperti memori tentang pengalaman, niat, sikap, motivasi, dan intelegensi orang yang bersangkutan. Hasil pengolahan akan berbentuk penilaian terhadap apa yang ditangkap oleh indera, dari ungkapan penilaian ini akan muncul perilaku. Ciri teori interaksi interaksionaisme yang diungkapkan oleh Sarwono tersebut adalah bahwa perilaku dianggap sebagai hasil interaksi antara faktor yang terdapat dalam diri manusia dan faktor dari luar diri manusia. Jadi manusia dengan lingkungannya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Nadler (1979), menyatakan bahwa perilaku manusia merupakan fungsi dari interaksi antara individu dan lingkungannya.

(18)

Perilaku manusia ini ditentukan oleh karakteristik individu itu sendiri yang meliputi kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan kebutuhan, dan pengalaman masa lalu. Karakteristik ini akan dibawa oleh individu bila ia memasuki lingkungannya yang selanjutnya karakteristik individu akan berinteraksi dengan karakteristik lingkungan, dengan demikian penyebab perilaku dapat berasal dari dalam diri manusia (internal) seperti kognitif, dan juga bisa bersumber dari faktor eksternal atau lingkungan. Ajzen (1980), ada empat elemen perilaku yaitu perilaku (action), target (target), kontek (context), dan waktu (time).

Dalam hubungan manusia dengan lingkungan, Edward Chase Tolman (1886-1959) merumuskan bahwa perilaku (behavior) sangat bergantung dari situasi dan antecedent. Situasi di sini dimaksudkan sebagai suatu keadaan yang menggambarkan aktivitas pada suatu tempat, sementara yang dimaksud antecedent adalah hal-hal yang mendahului situasi.

Bila situasi tersebut di atas yang menggambarkan aktivitas pada suatu tempat dapat diartikan sebagai lingkungan manusia, maka perilaku manusia dalam merespons lingkungannya tergantung macam lingkungannya dan individu yang bersangkutan. Pendekatan ini didukung oleh pendapat Kurt Levin (1890-1947) dan Brunswik (1903-1955) yang menyatakan bahwa masing-masing lingkungan dan individu seseorang dapat mempengaruhi respons seseorang secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama lingkungan dan individu mempengaruhi respons seseorang. Laurens (2005), menyatakan bahwa individu seseorang dapat berupa motivasi, pengalaman, pengetahuan, dan karakter seseorang, sedangkan lingkungan17 terdiri dari lingkungan fisik, lingkungan sosial,

17 Lingkungan yang dimaksud oleh Laurens (2005) adalah lingkungan fisik terdiri atas terrestrial, seting geografis

atau seting ruang; Lingkungan social terdiri atas organisasi sosial kelompok interpersonal; Lingkungan psikologik terdiri atas imajinasi yang dimiliki seseorang dalam benaknya dan Lingkungan behavior mencakup elemen-elemen yang menjadi pencetus respons seseorang.

(19)

lingkungan psikologik, maupun lingkungan behavior, seperti yang digambarkan pada rumusan dan skema ini.

Gambar 2.4 Pengaruh individu dan lingkungan terhadap perilaku dapat melalui proses 1 maupun proses 2.

d. Perilaku Adaptasi Manusia terhadap Lingkungan

Manusia melalui alam pikirannya (noosfir) dapat menjangkau hal-hal yang berwujud maupun yang abstrak (Soerjani, 1987). Oleh karena itu, manusia adalah mahluk yang mempunyai kemampuan adaptasi18 yang sangat besar dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dibandingkan mahluk hidup lainnya (Soemarwoto, 1991). Dengan kemampuan adaptasi manusia terhadap lingkungan yang besar ini, hampir di semua habitat utama19 dapat dihuni oleh manusia.

Adaptasi pada manusia dapat melalui proses fisiologi (adaptasi fisik), proses morfologi (adaptasi bentuk), dan proses sikap atau tingkah laku (adaptasi kultural) (Soemarwoto, 1991; Environmental and Human Adaptation 2006). Dalam jangka pendek adaptasi fisik manusia merupakan respons fisik akibat adanya perubahan lingkungan20, sedangkan untuk jangka panjang adaptasi fisik manusia dapat secara genetik. Manusia dalam beradaptasi secara kultural dapat melakukan adaptasi tindak penyesuaian diri melalui perilaku

18 Adaptasi adalah kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan alam atau lingkungannya (Holahan,

1982; Soemarwoto, 1991).

19 Habitat Utama: perairan, Daerah Aliran Sungai, hutan hujan tropis, lahan kering, dataran rendah teririgrasi, lahan

basah, lahan liar, daerah urban dan industri (Haeruman, 2007).

20 Disebutkan dalam Environmental and Human Adaptation 2006 : suhu (panas, beku), ketinggian /tekanan atmosfir,

ultra violet sinar matahari, dan pencemaran.

(20)

dan teknologi, menurut Bell (1978) upaya ini disebut dengan Coping21.

Coping atau mekanisme diri adalah upaya tindak penyesuaian diri manusia dalam berinteraksi dengan sistem lingkungan hidup manusia baik itu sistem sosial maupun ekosistem. Macam atau bentuk tindak coping ini dilakukan seseorang berdasarkan persepsinya22 terhadap lingkungan.

Dalam melihat persepsi lingkungan ini ada dua pendekatan yaitu pendekatan konvensional dan pendekatan ekologis dari Gibson (Bell, 1978). Pendekatan konvensional, persepsi adalah proses penerimaan sejumlah sensasi melalui bekerjanya sistem syaraf, sehingga kita dapat mengenal dan menyusun suatu pola yang terjadi sebagai hasil proses penerimaan informasi melalui penarikan kesimpulan atau pembentukan arti dari suatu kejadian saat itu, serta dikaitkan dengan kesan/ingatan untuk kejadian yang sama di masa lalu.

Pendekatan ekologis dari Gibson, persepsi adalah penyesuaian timbal balik antara individu, lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Pola persepsi menyampaikan lebih banyak informasi secara cepat tanpa melalui proses penyesuaian pusat syaraf yang lebih tinggi. Persepsi lebih banyak holistik, sehingga informasi lingkungan yang diterima bukan merupakan bagian yang terpisah-pisah melainkan satu kesatuan yang penting. Persepsi ini mempengaruhi reaksi seseorang dalam coping sesuai nalurinya, reaksi ini akan homeostasis bila yang dipersepsikan masih dalam batas optimal (toleran). Bila lingkungan dipersepsikan di luar batas optimal atau intoleran, penghuni mengalami stress23 yang memicu untuk melakukan penyesuaian diri yang kadang kala berhasil dan kadang kala gagal (Gambar 2.5).

21 Contoh: Manusia yang hidup di daerah yang tercemar oleh limbah domestik, dalam tubuhnya berkembang

kekebalan terhadap infeksi muntah berak. Orang Indian di pegunungan Andes yang tinggi telah teradaptasi pada kadar oksigen dalam udara yang rendah. Ketahanan tumbuhan terhadap kekeringan dilakukan dengan penyesuaian perakaran yang dalam dan luas. Tumbuhan dapat membentuk zat dalam tubuhnya yang membuat mereka kebal terhadap serangan hama.

22 Persepsi adalah stimulus (sesuatu yang dapat memberikan rangsangan pada syaraf) yang ditangkap oleh panca

indera yang diberi interpretasi (arti) oleh sistem syaraf (Sarwono, 1989.)

23 Stress adalah beban mental yang timbul akibat suatu rangsangan yang dipersepsikan di luar ambang toleransi

(21)

Gambar 2.5 Model tindak penyesuaian diri (Bell ,1978)

Teori tingkat adaptasi (adaptation level theory) menyebutkan, manusia menyesuaikan respons terhadap rangsang atau stimulus yang datang dari luar, sementara itu stimulus dapat diubah sesuai dengan keperluan manusia. Penyesuaian respons terhadap stimulus sebagai adaptasi, sedangkan penyesuaian stimulus pada keadaan individu disebut sebagai adjustment (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Bentuk coping yang terdiri dari adaptasi dan adjustment

Dalam hubungan ini, Wohlwill mengatakan bahwa setiap orang mempunyai tingkat adaptasi (adaptation level) tertentu terhadap rangsang atau kondisi lingkungan tertentu. Kondisi lingkungan yang Obyek

Fisik

Individu

Stress berlanjut

Adaptasi Kemungkinan efek lanjutan Persepsi Dalam batas optimum / toleran Di luar batas optimum /

intoleran Stress Coping

Berhasil

Gagal Homeostasis

Kemungkinan efek lanjutan

Manusia Lingk. Alam

atau Buatan

Adaptasi = respons disesuaikan dengan lingkungan/stimulus

Adjustment = stimulus disesuaikan

(22)

sama dengan tingkat adaptasi adalah kondisi optimal (Sarwono, 1992). Pendapat Lazarus yang disitasi Sarwono (ibid), ada dua macam adaptasi, yaitu tindak penyesuaian diri langsung dan tindak penyesuaian mental (Palliative coping). Individu cenderung selalu mempertahankan kondisi optimal ini, dalam skema Bell di atas kondisi ini dinamakan kondisi homeostasis. Respons dalam bentuk adaptasi cenderung tidak berdampak negatif pada lingkungan, tetapi respons dalam bentuk adjustment seringkali dapat merusak lingkungan baik fisik maupun non fisik.

Permasalahan sosial yang terjadi pada masyarakat, anggota masyarakat dalam melakukan coping akan mencoba berbagai solusi yang akhirnya akan menjadi solusi yang terbentuk dengan stabil pada kebiasaan masyarakat (homeostasis). Kebiasaan ini akan terpancar kuat pada generasi berikutnya sebagai budaya dari masyarakat itu sendiri (Krech, 1992).

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud coping lingkungan adalah upaya tindak penyesuaian diri manusia dalam berinteraksi dengan sistem lingkungan hidup manusia, baik lingkungan sosial, lingkungan alami, maupun lingkungan buatan, baik secara langsung dalam bentuk adaptasi dan adjustment maupun secara mental.

2.3. Spatial Behavior (perilaku spasial)

2.3.1. Konsep Perilaku Spasial

Respons individu terhadap stimulus lingkungan spasial bisa disebut sebagai perilaku spasial (spatial behavior). Perilaku spasial ini mempunyai arti yang beragam, para ahli ekonomi, sosiologi dan ahli antropologi memberikan penjelasan yang masing-masing berbeda (Tabel 2.1). Arsitek dan perencana kota umumnya lebih menaruh perhatian pada perilaku skala mikro, mulai dari ruangan hingga lingkungan atau distrik dalam kota. Laurens (2005), perilaku spasial merupakan fenomena dari kemanfaatan (affordances) lingkungan, yaitu bagaimana cara manusia menggunakan suatu seting lingkungannya. Dalam skala makro perilaku spasial oleh ahli geografi digunakan untuk menggambarkan tentang fluktuasi sistem atau

(23)

elemen sistem keruangan, seperti pertumbuhan wilayah, aliran komoditi, pertumbuhan penduduk dan sebagainya.

Golledge & Stimson (1997), perilaku spasial mempunyai arti yang sangat longgar, antara lain adalah perwujudan seting fisik (phisic setting) ruang akibat dari tindakan manusia, termasuk di dalamnya perilaku manusia terhadap ruang (seperti sikap, motivasi, tindakan maupun prestasi manusia) dan fluktuasi dari unsur-unsur sistem nonsensate.

Perilaku manusia dalam konteks ruang atau perilaku spasial ini sangat kompleks karena merupakan persinggungan interaksi yang rumit antara manusia dan lingkungan. Dalam interaksi ini melibatkan satuan variabel lingkungan manusia seperti lingkungan alam dan buatan yang termasuk di dalamnya adalah faktor budaya, teknologi sosial dan politik (ibid). Kompleksitas ini digambarkan dalam model pikiran “Black Box” yang merupakan persinggungan antara dunia luar dengan perilaku spasial yang nampak seperti yang diskemakan oleh Gold (1980) dan Burnett (1976) dalam gambar paradigma perilaku, pemahaman ruang, dan perilaku spasial (Gambar 2.7).

Gambar 2.7 Paradigma perilaku, pemahaman ruang, dan perilaku spasial (Sumber :Golledge & Stimson, 1997)

Perilaku spasial ini merupakan respons perilaku hasil proses pembelajaran yang dipengaruhi dan mempengaruhi persepsi, pemahaman

(24)

atau keyakinan yang pada akhirnya proses ini dapat merubah struktur lingkungannya. Begitu pula sebaliknya struktur lingkungan ini akan di respons kembali, dan seterusnya seperti yang digambarkan oleh Golledge & Stimson (1997) pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Interface antara perilaku manusia dan lingkungan (Sumber :Golledge & Stimson, 1997 )

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku spasial adalah perwujudan tata spasial akibat dari tindakan manusia, termasuk di dalamnya perilaku manusia terhadap ruang (seperti sikap, motivasi, tindakan dan prestasi manusia) dan fluktuasi dari unsur-unsur sistem nonsensate yang dapat membentuk pola perilaku kelompok sebagai akibat dari kondisi lingkungan atau spasial tertentu.

2.3.2. Pola Perilaku spasial

Sebagai mahluk individu dan sosial, pola perilaku spasial manusia, Laurens (2005) mengelompokkan ke dalam dua proses, yaitu proses individual dan proses sosial.

Pola perilaku spasial yang dihasilkan melalui proses individu terjadi pada alam pikiran seseorang, bagaimana cara manusia memanfaatkan lingkungan dalam interaksinya dengan lingkungan spasial. Interaksi yang terjadi dalam alam pikiran ini melalui proses persepsi, kognisi, dan afeksi yang terwujud dalam tindakan dan respons seseorang baik respons

(25)

emosional maupun evaluasi hasil perilaku yang muncul menghasilkan skema sikap agar pemanfaatan lingkungan tampak logis (Gambar 2.9).

Gambar 2.9 Perilaku spasial melalui proses perilaku individu (Sumber: Lang, 1987)

Pola perilaku spasial yang dihasilkan melalui proses sosial di samping perilaku spasial yang terkait dengan persepsi individu, juga terjadi akibat adanya hubungan antar manusia atau interpersonal sesama manusia dalam suatu seting spasial tertentu yang menimbulkan adanya gejala persepsi, seperti ruang personal (personal space)24, teritorialitas (territoriality)25, kesesakan (crowding)26, dan kepadatan (density)27, serta privasi (privacy)28. Pada kasus lingkungan permukiman rumah susun dapat disajikan pada Tabel 2.3.

24 Personal Space adalah suatu area dengan batas maya yang mengelilingi diri seseorang dan orang lain tidak diperkenankan masuk ke dalamnya, tabung maya ii dapat membesar atau mengecil bergantung dengan siapa seseorang berhadapan (Robert Sommer (1969).

25 Territoriality adalah sesuatu yang berkaitan dengan ruang fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang ekslusif, personalisasi, dan identitas. Termasuk di dalamnya dominasi, kontrol, konflik, keamanan, gugatan akan sesuatu, dan pertahanan (Julian Edney (1974).

26 Crowdingadalah persepsi seseorang terhadap kepadatan (densiy) atau respons subyektif terhadap ruang yang

sesak (Bell, …).

27 Density adalah banyaknya jumlah manusia dalam suatu batas ruang tertentu (Sarwono,…). 28 Privasi adalah kontrol selektif dari askes pada diri sendiri ataupun kelompok (Altman, 1975).

(26)

Tabel 2.3 Gejala persepsi akibat adanya hubungan interpersonal manusia dalam suatu seting spasial dan lingkungan spasial yang terbentuk

No

Gejala persepsi akibat adanya hubungan interpersonal manusia dalam suatu seting spasial

Lingkungan spasial yang

terbentuk Penerapan lingkungan spasial pada rumah susun

1 Ruang personal (personal space)

Hirarki Jarak komunikasi (intim,

personal, sosial dan publik.

Penataan perabot interior rumah susun, mis: bagaimana menata perabot ruang tidur, ruang tamu dan ruang serbaguna

2 Teritorialitas (territoriality)

Hirarki Teritorialitas: teritori primer (tempat sangat pribadi), teritori sekunder (tempat yang

dimiliki sekelompok manusia), dan teritori publik (tempat terbuka untuk umum)

Penataan masterplan permukiman rumah susun, mis: penataan unit satuan rumah susun, koridor, dan ruang public

3 Kepadatan dan kesesakan (crowding dan density)

Hirarki kepadatan ruang

(rendah, sedang dan tinggi) dan

hirarki kesesakan ruang (sesak

dan tidak sesak)

Penataan hirarki kepadatan penghuni rumah susun pada unit satuan rumah susun, dan ruang publik

4 Privasi (privacy) Hirarki Sifat ruang (ruang privat, ruang semi privat, ruang semi publik, dan ruang publik)

Penataan ruang berdasarkan sifat ruang, mis: dari privat untuk ruang tidur sampai publik untuk ruang-ruang bersama

Diolah dari berbagai sumber

2.3.3. Behavior Setting (seting perilaku)

Manusia dalam memenuhi kebutuhannya seperti yang telah diuraikan dalam hierarki kebutuhan Maslow, manusia menciptakan ruang-ruang aktivitas yang terlihat dari pola perilaku penggunanya. Barker (1968) seorang tokoh psikologikal ekologi telah mengembangkan penelitian perilaku individual di lapangan dan melahirkan konsep ”tatar perilaku” atau seting perilaku (behavior setting). Bell (1996) dan Krech (1962) melihat bahwa ada hubungan timbal balik antara lingkungan spasial yang terbentuk dan perilaku manusia, oleh karena itu pertemuan antara individu dan lingkungannya mewujudkan seting perilaku.

Istilah Behavioral Setting oleh Roger Barker (1968) digunakan untuk menjelaskan kombinasi yang stabil antara perilaku dan milleu29 tertentu, sedangkan David Haviland (1967) menyebutkan kombinasi ini sebagai

29 Physical Milleu adalah nilai ruang yang ditentukan oleh kondisi tempat atau spatial tertentu akibat dari sistem

aktivitasnya, misalnya nilai suatu ruang dikatakan sebagai Masjid karena aktivitas kelompok dan seting ruang disesuaikan dengan fungsi Masjid.

(27)

“ruang aktivitas” (Laurens, 2005). Kombinasi yang stabil antara perilaku dan milleu dapat digambarkan pada berbagai ruang aktivitas berikut ini. Misalnya Behavioral Setting untuk aktivitas prosesi pengadilan, masing-masing individu pelaku mempunyai peran masing-masing-masing-masing, dan menempati posisinya masing-masing berdasarkan seting ruang pengadilan. Ruangan akan ditata secara formal antara kursi hakim, jaksa, pembela, dan tersangka maupun pengunjung sesuai dengan aktivitas prosesi pengadilan, akibat aktivitas pengadilan dan penataan ruangnya maka yang terjadi pada setiap individu yang memasuki ruangan tersebut akan tertata (setting) sesuai dengan prosesi pengadilan. Perilaku individu yang memasuki ruangan ini akan berbeda lagi jika ruangan ini diubah menjadi ruang kelas, di mana di dalamnya ada yang berperan sebagai dosen dan mahasiswa. Begitu juga bila ruangan ini ditata untuk prosesi ibadah sholat Jum’at, Imam akan menempati mihrab dengan posisi tertentu di bagian muka ruangan, dan jamaah akan bersila menghadap imam pada saat berkhotbah. Seting perilaku ini pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku masing-masing individu, dan bila terdapat individu yang berperilaku tidak sesuai dengan setingnya maka seluruh individu dalam kelompok akan merasa terganggu, misalnya jika di dalam ruangan pengadilan atau ruang kelas terdapat individu yang berteriak-teriak dan bertindak tidak sesuai aturan.

Dalam skala ruang kota, ahli geografi mengamati hubungan seting perilaku manusia dengan struktur ruang kota. Seting perilaku ini tercermin dalam gambaran fisik tentang arah tindakan atau gerakan manusia termasuk gambaran fisik yang dapat mengarahkan dan memotivasi proses tingkah laku (Golledge & Stimson, 1997). Misalnya panjang gerak transportasi manusia, jaringan pergerakan, kedekatan dengan pusat belanja, rata-rata jarak antar kota dan lainnya.

Untuk menggambarkan bahwa seting perilaku merupakan kombinasi yang stabil antara perilaku dan milleu, di bawah ini digambarkan oleh Krech (1962) variasi setting spatial dan prominent behavior characteristics masyarakat Midwest dalam memanfaatkan waktu terbesarnya yang merupakan hasil penelitian Barker dan Wright (1954) seperti pada Tabel 2.4 berikut.

(28)

Tabel 2.4 Variasi perilaku masyarakat Midwest yang ditentukan oleh penduduk dalam memanfaatkan waktu terbesarnya

Variety of setting Prominent behavior characteristics

Occupancy Index (per cent

of 1,030,658 hours)

School classes Formal teaching and learning 12.4 Trafficways Traveling between behacior settings 7.5 Grocery, loker, and feed store Buying and selling food 5.7 Motor vehicle sales and

service

Buying, selling, and repairing automobiles, trucks, and equipment

5.4 Drug, variety, and department

stores

Buying and selling clothing, household accessories, and medicines

5.1 Indoor entertainments Attending and producing public

entertainments

4.8 Restaurants and tavems Eating, drinking, and preparing food in

public cafes and tavems

4.5 Government and school

offices

Office work 4.0

Home appliance, hardware, implement, and furniture store

Buying, selling, and repairing home and farm equipment

3.8 Attorneys, insurance, and real

estate offices

Legal work, buying and selling insurance and real estate

3.3 Indooe athletic contests Attending and participating in indoor

athletic contests

2.9 Building contractors and

material suppliers

Buying and selling materials and equipment, and erecting and altering buildings

2.9

Hotels, rooming houses, and nurseries

Providing temporary lodging 2.3 Telephone and electric offices Providing and maintaining telephone and

electric service

2.0 Barbers and beauticians Providing and securing hairdressing 1.8 Hallways and cloakrooms Going from one setting to another within

buildings. Putting on and removing outdoor garments

1.3

Total 69.7

Berdasarkan contoh-contoh tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam satu lingkungan buatan dapat didesain berbagai behavior setting. Pada kasus penghunian suatu permukiman rumah susun, dapat digambarkan pada Tabel 2.5 berikut.

(29)

Tabel 2.5 Kasus penghunian suatu permukiman rumah susun In te rk si d e n g a n t e ta n g g a P e rt e m u a n w a rg a B u a n g s a m p a h S im p a n k e n d a ra a n B e la n ja / m e n ju a l / ja sa R e kr e a si O la h r a g a E sc a p e d r b e n ca n a M e n e rim a t a m u N o n to n T V B e rib a d a h T id u r / is tir a h a t M a n d i b u a n g a ir B a ca d u d u k S tu d i k e rja b a ca t u lis H o b i B e rm a in d lm ru m a h In te ra ks i d g k e lu a rg a M a ka n M a sa k C u ci J e m u r S tr ik a Ruang Terbuka о о о о о о о Parkir kendaraan о Tmpt Pembuangan Sampah о

Tempat Olah Raga о о о

Warung / Tempat Komersial о о

Tempat Ibadah о о о о

Ruang Serbaguna о о

Hall Penerima о

Koridor/ tangga/ lift о

Ruang duduk о о о Ruang makan о о о о Ruang keluarga о о о о о о о Ruang Tidur о о о о о Kamar Mandi / WC о Dapur о о о Rg multi fungsi rmh о о Tempat / ruang R .B er sa m a + Fa s. Li ng k. R us un U ni t S at ua n Ru su n

Diolah dari berbagai sumber

2.4. Eco-spatial Behavior

2.4.1. Konsep Eco-spatial Behavior

Konsep eco-spatial behavior merupakan pengembangan dari perilaku perilaku spasial, dan tidak semua stimulus spasial akan direspons manusia dengan perilaku yang sejalan dengan prinsip-prinsip ekologis, eco-spatial behavior lebih menekankan hubungan timbal balik antara spasial dan perilaku manusia yang sejalan dengan prinsip-prinsip ekologis. Oleh karena itu untuk mehami eco-spatial behavior tidak bisa terlepas dari pemahaman akan ekologi.

Ekologi berasal dari kata Oikos dan logos (Yunani) yang artinya studi tentang rumah tangga mahluk hidup. Soerjani (2002), menyatakan bahwa sampai dengan 2002, ekologi dianggap sebagai cabang dari biologi. Merebaknya berbagai isu lingkungan hidup antara tahun 1968-1970, ekologi mulai dilihat sebagai ilmu tersendiri yang interdisiplin, integratif dan holistik yang mengkaitkan berbagai proses fisik dan hayati walaupun tetap

(30)

mempunyai hubungan erat dengan biologi. Bahkan prinsip-prinsip ekologi sering digunakan untuk menjelaskan seluk beluk lingkungan buatan, seperti kota dengan apa yang disebut ekologi perkotaan, dan sebagainya. Salim (2008) menyatakan bahwa prinsip-prinsip ekologi adalah sebagai berikut :

a. Adanya interdependensi antar komponen ekosistem;

b. Bila ekosistem mempunyai diversitas besar maka ekosistem tersebut mempunyai stabilitas ekosistem yang besar; begitu pula sebaliknya. c. Adanya ekuilibrium antar komponen ekosistem;

d. Mempunyai daya dukung dan daya tampung ekosistem terbatas; e. Zat dan energi tidak bisa diciptakan, tetapi hanya bisa

ditransformasikan menjadi produk lain beserta limbah cair, gas, dan padat yang akan masuk ekosistem.

Berdasarkan uraian perilaku spasial dan prinsip-prinsip ekologis tersebut di atas, maka eco-spatial behavior atau perilaku spasial yang ekologis adalah hubungan timbal balik antara tata spasial dan perilaku manusia yang sejalan dengan prinsip-prinsip ekologis. Berdasarkan pengertian dari konsep perilaku spasial dapat dikembangkan pengertian eco-spatial behavior sebagai perwujudan tata spasial akibat dari tindakan manusia, termasuk di dalamnya perilaku manusia terhadap ruang (seperti sikap, motivasi, tindakan, dan prestasi manusia) dan fluktuasi dari unsur-unsur sistem nonsensate, yang dapat membentuk pola perilaku manusia sesuai dengan prinsip-prinsip ekologi.

2.4.2. Prinsip-prinsip yang dapat mendukung Eco-spatial Behavior Tuntutan perilaku manusia agar menuju eco-spatial behavior dapat terwujud bila perilaku manusia sudah memperhatikan prinsip-prinsip kehidupan yang berkelanjutan.

a. Prinsip-prinsip Menuju Kehidupan Berkelanjutan

Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang (IUCN, 1993).

(31)

Untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan tersebut sangat diperlukan masyarakat yang berkelanjutan sebagaimana dituangkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan melalui sembilan prinsip secara singkat adalah: (1) menghormati dan memelihara komunitas kehidupan, (2) memperbaiki kualitas hidup manusia, (3) melestarikan daya dukung dan keanekaragaman bumi, (4) menghindari pemborosan sumber daya yang tak terbarukan, (5) berusaha tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi, (6) mengubah sikap dan gaya hidup orang-per orang, (7) mendukung kreativitas masyarakat untuk memelihara lingkungan sendiri, (8) menyediakan kerangka kerja nasional untuk memadukan upaya pembangunan dan kelestarian, dan (9) menciptakan kerja sama global.

Melestarikan sumber daya dan keanekaragamannya yang dipentingkan di sini adalah perlindungan terhadap struktur, fungsi, dan keanekaragaman unsur hayati serta unsur-unsur lain yang dapat diperbaharui. Dalam hubungan ini mencakup tiga hal pokok yaitu melestarikan proses-proses ekologi yang berlangsung dalam ekosistetn, melestarikan keanekaragaman hayati yang meliputi spesies hewan, tumbuhan, organisme lain, cadangan genetik dalam tiap spesies, dan menjamin keberlanjutan dalam menggunakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui seperti tanah, hutan, laut, ekosistem air tawar, sawah dan ladang, dan lainnya.

Di bawah ini disajikan prinsip-prinsip menuju kehidupan yang berkelanjutan, yang diadaptasi dari IUCN, UNEP, dan WWC dalam bukunya Caring for the Earth, A Strategy for Sustainable Living, yang telah diterjemahkan ke dalam buku Bumi Wahana, Strategi Menuju Kehidupan yang Berkelanjutan (1993: 10-11), sebagai berikut:

1) Memelihara dan menghormati komunitas kehidupan

Prinsip ini menekankan manusia mempunyai kewajiban untuk peduli kepada orang lain dan kepada bentuk-bentuk kehidupan lain, sekarang dan di masa mendatang. Karena seluruh kehidupan di bumi (biosfer) ini adalah bagian dari sebuah sistem yang besar yang saling bergantung dan saling berpengaruh.

(32)

2) Memperbaiki kualitas hidup manusia

Tujuan kehidupan yang sesungguhnya adalah untuk

memperbaiki mutu hidup manusia, oleh karena itu prinsip ini menekankan bahwa pembangunan yang dicapai melalui pertumbuhan ekonomi baru berarti jika dapat meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala segi.

3) Melestarikan daya hidup dan keragaman bumi

Prinsip ini mengupayakan kelestarian sistem-sistem penunjang kehidupan itu agar pembangunan bisa berlanjut.

4) Menghindari pemborosan sumber-sumber daya yang tak terbarukan,

Prinsip ini merupakan minimalisasi penciutan sumberdaya alam yang tidak bisa diperbarui melalui penghematan sumber daya atau bahan baku untuk pembuatan produk dengan cara mendaur ulang, bahkan bilamana mungkin beralih ke sumber daya pengganti yang dapat diperbarui

5) Berusaha tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi. Pada batas tertentu ekosistem bumi dan biosfer masih mampu bertahan terhadap gangguan atau beban tanpa mengalami kerusakan yang membahayakan, bila kapasitas daya dukung bumi tidak terlampaui. Oleh karena itu prinsip ini menekankan bahwa manusia dalam berusaha agar tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi melalui berbagai kebijakan.

b. Prinsip Pembangunan Kota Berkelanjutan

Kota adalah tempat terkonsentrasinya permukiman penduduk. Permukiman rumah susun sebagai solusi pemenuhan kebutuhan akan papan warga di perkotaan hendaknya memperhatikan prinsip pembangunan kota yang berkelanjutan. Budihardjo (2003) menyatakan ada tujuh prinsip (Prinsip Sapta-E) yang harus diperhatikan dalam pembangunan kota yang berkelanjutan, yaitu:

1) Environment atau Ekologi. Aspek ini sering terabaikan dalam

perencanaan dan pembangunan kota, sehingga kota semakin pengap, panas dan gersang di musim kemarau. Sebaliknya pada musim hujan warga kota sering mengalami banjir. Ruang

(33)

terbuka hijau dan ruang publik semakin melenyap, garis sempadan pantai dan sungai hilang, akses terhadap pemandangan, keindahan, fasilitas, dan aneka kenyamanan lain seolah menjadi milik orang kaya.

2) Employment atau ekonomi. Perencana kota dan penentu

kebijakan seringkali hanya mengalokasikan lokasi-lokasi bagi kegiatan sektor formal dan kurang memperhatikan sektor informal. Akibatnya, para pedagang kaki lima, lesehan, dan lain-lain menempati ruang-ruang kota yang tersisa (left-over urban space) yang menimbulkan rasa tidak aman dan siap digusur setiap saat.

3) Engagement atau partisipasi masyarakat. Keterlibatan warga

kota dan segenap pemangku kepentingan merupakan prasyarat dari pembangunan kota berkelanjutan.

4) Equity yang berarti persamaan hak, kesetaraan, dan keadilan

bagi segenap masyarakat kota tanpa kecuali dapat menjangkau seluruh sumberdaya perkotaan.

5) Energy conservation menuntut perhatian yang lebih untuk

aktivitas di perkotaan, terutama terhadap sarana dan prasarana transportasi umum massal.

6) Development Ethic atau etika membangun. Prinsip ini sering dilanggar terutama dalam pembangunan perumahan skala besar atau pembangunan kota baru. Pengurugan situ, pembongkaran hutan bakau, pengeprasan bukit dan perubahan bentang alam lainnya tanpa ada rasa bersalah di hati dan pikiran pelakunya.

7) Esthetic atau keindahan, prinsip ini terkadang kontroversial

karena adanya perbedaan persepsi antara warga kota dengan pengelola kota. Misalnya kampung kumuh atau pedagang kaki lima bagi pejabat pemerintah dianggap merusak citra, sementara bagi warganya bahwa keindahan kampung atau kaki lima terletak pada kekumuhannya.

Gambar

Tabel 2.2    Rumah dalam pemenuhan kebutuhan manusia
Gambar 2.1  Proses menghuni sebagai interaksi antara impian  dan kenyataan (Sumber: Frick, 2006 )
Gambar 2.3  Konsepsi skematik hirarki sikap (Rosenberg & Hovland, 1960)
Gambar 2.5  Model tindak penyesuaian diri (Bell ,1978)
+7

Referensi

Dokumen terkait

7 Tahun 1983 STDD Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan disebutkan bahwa: yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan

Gambar 4.1 Potensial listrik dalam koordinat kartesian Persamaan potensial listrik yang akan dibahas adalah peninjauan untuk sisi atas dengan nilai V menggunakan fungsi

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki percaya diri tinggi memperoleh keterampilan proses sains biologi siswa lebih baik dengan skor 118,3

[r]

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapt disimpulkan bahwa melalui penerapan “Snakes and Ladders Game” pada pembelajaran bahasa Inggris materi “This is

Menimbang : Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka tujuan pemidanaan yang bersifat Restoratif Justice (keadilan sosiologis) yang menekankan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui angket, focus group discussions (FGD), workshop serta wawancara mendalam dan

Dari hasil survey yang telah dilakukan diper- oleh data nilai kepuasan masyarakat per unsur pe- layanan sebagaimana terdapat pada Tabel 4 men- unjukkan bahwa nilai indeks