• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study on Form, Drainage Network, and Watershed Hydrograph by Using SIMODAS (Case Study on Sabu Island - Nusa Tenggara Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Study on Form, Drainage Network, and Watershed Hydrograph by Using SIMODAS (Case Study on Sabu Island - Nusa Tenggara Timur)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

123

STUDI BENTUK, JARINGAN DRAINASE, DAN HIDROGRAF DAERAH ALIRAN SUNGAI MENGGUNAKAN SIMODAS (STUDI KASUS DI PULAU SABU - NUSA TENGGARA TIMUR)

Studyon Form, Drainage Network, and Watershed Hydrograph by Using SIMODAS (Case Study on Sabu Island - Nusa Tenggara Timur)

Ruslan Wirosoedarmo*, A. Tunggul Sutan Haji, dan Erlita Meidya Pramesti Jurusan Keteknikan Pertanian - Fak. Teknologi Pertanian – Univ. Brawijaya

Jl. Veteran – Malang *Penulis Korespondensi

ABSTRACT

Watershed management includes the identification of linkages between land use, soil, and water; between the upstream and downstream area; and a system in the hydrology which consists of the system input and system output. The system output from one river basin system is the flood discharge river which is the integrator that influenced by catchment area. River flood discharge is affected by wheather Watershed acts as a regulator of the process especially in terms of hydrology. Hydrograph form, in general, is strongly influenced by the nature of the rainfall, the length of the main stream slope, the direction and shape of the watershed. Research was conducted in Sabu Island, Nusa Tenggara Timur. The method used was the spatial analysis and flood hydrographs. Data processing was done by displaying spatial data in Arc View to perform the cutting process Daieko watershed, Ladeke and Rainkore. Then, it was processed in data Elevetion Model (DEM) of each watershed by Arc View. The results showed that Ladeke Watershed is the most potential to flooding from the Daieko and Rainkore with the flood peak was always high. Form of bird feathers watershed flood peak discharge value was small with relative long time. Form a broad basin with a river pattern of spread (radial) tended to produce values of flood peak discharge. Radial form of the most sensitive watersheds and smallest form parallel to the change of land was due to increasing flood discharge.

Keywords: shape of watershed, the hydrograph, SIMODAS

PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai DAS adalah suatu wilayah daratan yang secara topo-grafik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkan-nya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2002). Informasi debit banjir sungai akan memberikan hasil lebih bermanfaat bila disajikan dalam bentuk hidrograf. Bentuk hidrograf pada umumnya sangat dipe-ngaruhi oleh sifat hujan yang terjadi, akan tetapi juga dapat dipengaruhi oleh sifat DAS yang lain seperti panjang su-ngai induk, kemiringan lereng, arah, dan bentuk DAS (Harto, 1993). Hidrograf

merupakan salah satu tanggapan aliran sungai terhadap masukan curah hujan (Seyhan, 1990). Suatu hidrograf dapat dianggap sebagai suatu gambaran integral dari karakteristik fisiografis dan klimatis yang mengendalikan hubungan antara curah hujan dan pengaliran dari suatu daerah aliran tertentu. Bentuk dari lengkung hidrografnya tergantung pada karakteristik hujan yang mengakibatkan aliran itu. Hidrograf satuan tidak dapat dipakai untuk daerah aliran yang lebih besar dari kira-kira 5200 km2 karena pengaruh dari valley storage dan variasi hujannya pada hidrograf satuan menjadi lebih terlalu besar. Untuk menentukan besarnya debit sungai berdasarkan hujan

(2)

124 perlu ditinjau daru hubungan antara hujan dan aliran sungai. Besarnya aliran di da-lam sungai ditentukan terutama oleh be-sarnya hujan, intensitas hujan, luas dae-rah hujan, lama waktu hujan, luas daedae-rah aliran sungai, dan ciri-ciri daerah aliran itu. Daerah pengaliran, topografi, tum-buh-tumbuhan dan geologi mempunyai pengaruh terhadap debit banjir, corak banjir, debit pengaliran dasar. dan sete-rusnya (Sosrodarsono, 1999). DAS me-rupakan ekosistem tempat organisme dan lingkungan biofisik serta unsur bio-kimia berinteraksi secara dinamis dan didalamnya terdapat keseimbangan in-flow dan outflow dari material dan energi. Menurut Aronoff (1989) dan Pra-hasta (2007), SIG, Geographic Informa-tion System (GIS), merupakan suatu sis-tem (berbasiskan komputer) yang digu-nakan untuk menyimpan dan memanipu-lasi informasi-informasi geografis.

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dapat memadukan antara data grafis dengan data teks (atribut) objek yang dihubung-kan secara geografis di bumi ( georefe-rence). SIMODAS dikembangkan dengan menggunakan pendekatan sebar keru-angan, dengan variasi karakteristik atau sifat-sifat (properties) dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) diperhatikan. DAS dimodelkan sebagai sel-grid yang saling bersebelahan (neigbourhood) dimana at-ribut dari sel-selnya dapat bervariasi. Penyajian ini memungkinkan berbagai faktor physiographic yang meliputi kemi-ringan, arah aliran, laju abstraksi, dan kekasaran permukaan dapat diekstrak secara akurat untuk perhitungan besar-nya aliran air.

SIMODAS yang telah banyak diuji coba dibanyak DAS di Indonesia, dapat digunakan oleh pengambil keputusan, peneliti dan praktisi dalam Sistem Infor-masi dan Simulasi Hidrologi pada suatu DAS secara interaktif berbasis ruang dan waktu (spatio-temporal) dalam pengelo-laan DAS. Secara rinci dapat digunakan dalam masalah-masalah antara lain: a) penyiapkan database dan sistem

infor-masi hidrologi dan/atau sumber daya air; b) prediksi besar debit dan genangan aliran sungai, baik aliran rendah maupun banjir; c) pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap perubahan aliran atau banjir di DAS; d) perencanaan tata ruang air dan penanggulangan banjir suatu DAS; e) penentuan besarnya aliran su-ngai yang tidak memiliki stasiun hujan; f) digunakan untuk menentukan hidrograf satuan, waktu tempuh (travel time), waktu konsentrasi (Tc), dan parameter aliran permukaan lainnya; g) memberi gambaran potensi waduk dan hydropo-wer. Selain masalah-masalah tersebut, SIMODAS juga dapat dikembangkan lebih jauh untuk keperluan penelitian dan praktis lainnya (Haji, 2005).

Pengelolaan DAS sudah banyak di-lakukan dalam upaya memperbaiki atau mempertahankan kondisi agar tidak ter-jadi banjir yang membahayakan atau me-rugikan masyarakat yaitu terjadinya ke-rusakan tanaman maupun tanah. Namun cara-cara tersebut belum efektif dan penggunaan SIG serta SIMODAS meru-pakan salah satu alternatif baru yang lebih baik untuk mendeteksi banjir pada suatu daerah aliran sungai.

Pendugaan terhadap banjir maksi-mum pada suatu DAS dapat dilakukan jika debit banjir pada masing-masing bentuk DAS dan pengaruhnya terhadap hidrograf banjir sudah diketahui. Infor-masi tersebut juga bisa digunakan untuk perancangan bangunan pencegah banjir.

Tujuan penelitian ini adalah me-ngetahui debit banjir pada macam-ma-cam bentuk DAS, mengetahui pengaruh perbedaan bentuk DAS terhadap hidrog-raf banjir, dan mengetahui pengaruh ka-rakteristik DAS lainnya selain bentuk DAS terhadap hidrograf banjir.

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2008 - Juni 2009 di Laboratorium Teknik Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Jurusan Keteknikan

(3)

125 Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah PC (Personal Computer). Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Input data, meliputi peta kontur Pulau

Sabu, peta batas DAS Pulau Sabu, peta jaringan sungai Pulau Sabu, data curah hujan harian wilayah Daieko selama 1 tahun.

2. Software yang digunakan meliputi ArcView 3.3 ESRI sebagai software GIS, Microsoft Visual Basic 6.0 sebagai software dasar pembacaan algoritma, Software SIMODAS untuk pemodelan hidrologi.

Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari dua macam, yaitu:

1. Data spasial meliputi peta kontur Pulau Sabu, peta batas DAS Pulau Sabu, peta jaringan sungai Pulau Sabu 2. Data atribut adalah data curah hujan

harian wilayah Daieko selama 1 tahun. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam pe-nelitian ini adalah analisis spasial dan hidrograf banjir. Penelitian menggunakan tiga lokasi DAS di wilayah Pulau Sabu, NTT yaitu DAS Daieko, DAS Ladeke, dan DAS Raikore.

Pengolahan Data

Tahap-tahap pengolahan data adalah sebagai berikut:

1. Pengolahan data dengan SIG ArcView 3.3

Data peta kontur, peta batas DAS, dan peta jaringan sungai Pulau Sabu di-tampilkan pada Arc View untuk melaku-kan proses pemotongan DAS Daieko, Ladeke, dan Raikore dari Pulau Sabu. Setelah ketiga DAS tersebut dipotong maka dilakukan pengolahan DEM dari masing-masing DAS dengan Arc View. Peta kontur DAS diolah menjadi bentuk DEM dengan format TIN. DEM dalam format TIN diubah (convert) menjadi DEM (grid) dengan ukuran grid 25x25 meter

sehingga terbentuk peta grid ketinggian. Peta grid ketinggian ini kemudian digunakan untuk mendapatkan data slope, fill sink, flow direction dan flow accumulation. Selain itu dalam pengolahan data di Arc View juga didapatkan data soil, K Manning, landcover, Curve Number (CN), rainfall distribution, dan lebar saluran. Data-data ini disimpan dalam bentuk ASCII supaya dapat dimasukan ke map properties dalam SIMODAS. Peta DEM dari DAS dalam format TIN juga harus diubah menjadi bentuk image (JPEG) dan image-wrap (JPEG) supaya bisa ditampilkan dalam SIMODAS. Langkah-langkah diatas dilakukan dengan cara yang sama pada DAS Daieko, Ladeke dan Raikore.

2. Pengolahan Data dengan SIMODAS Data yang telah didapatkan dari hasil pengolahan DEM dalam Arc View dimasukkan ke map properties dalam SIMODAS. Setelah map properties sudah diisi data dengan lengkap, peta DEM dari DAS baru dapat ditampilkan dalam SIMODAS. Data curah hujan diolah dalam Microsoft Excel kemudian hasilnya di-masukkan dalam notepad dan disimpan dalam bentuk text documents (txt).

Langkah selanjutnya adalah pemi-lihan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) pada peta DEM dari DAS. DPS mempu-nyai karakteristik dan bentuk yang ber-beda pada masing-masing DAS, dan per-bedaan ini yang akan dianalisis penga-ruhnya terhadap hidrograf banjir. DPS yang telah dipilih disimpan dalam bentuk “data sudah urut” (dsu) untuk dimasuk-kan dalam model hujan-limpasan. Sete-lah proses pemilihan DPS selesai maka selanjutnya dilakukan simulasi hujan de-ngan modelhujan-limpasan.

Dalam model hujan-limpasan ter-dapat data-data yang harus ditambahkan lagi ke dalam peta DEM dari DAS. Data-data tersebut adalah file DEM, file data model (dsu), titik hidrograf, titik hujan, faktor hidrograf, data hujan, koefisien manning, curve number (CN), dan kemi-ringan. Pada simulasi hujan ini terdapat

(4)

126 tiga perlakuan yang menggunakan nilai CN yang berbeda, yaitu CN 50, CN 70, dan CN 90. Setelah data lengkap proses simulasi hujan bisa dimulai. Dari hasil simulasi hujan akan diperoleh hidrograf banjir dari DAS. Langkah-langkah diatas dilakukan dengan cara yang sama pada DAS Daieko, Ladeke, dan Raikore serta dilakukan pengulangan perlakuan dengan nilai CN yang berbeda.

Pengamatan dan Analisis Data

Data karakteristik DAS Daieko da-pat diketahui dan dicari dari hasil peng-olahan data peta DAS Daieko dalam Arc View dan SIMODAS. Data karakteristik DAS tersebut antara lain: bentuk DAS; luas DAS; sungai terpanjang; kerapatan drainase (D); RB, RL, RA, dan Lo. Dari hidrograf banjir yang dihasilkan dari simulasi hujan akan dapat diketahui data antara lain debit puncak banjir dan waktu puncak banjir. Setiap data karakteristik DAS yang telah didapatkan kemudian dianalisis pengaruhnya terhadap hasil hidrograf banjir dengan CN 50. Pada masing-masing DAS mempunyai karak-teristik DAS yang berbeda sehingga pe-ngaruhnya terhadap hidrograf banjir juga berbeda. Hasil analisis dari pengaruh ka-rakteristik DAS terhadap hidrograf banjir pada DAS yang satu akan dibandingkan dengan hasil analisis dari DAS yang lain. Langkah-langkah analisis diatas

dilaku-kan lagi dengan cara yang sama pada hasil hidrograf banjir dengan 70, dan hidrograf banjir dengan CN 90.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik dari DAS dalam penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil data pada Tabel 1 adalah DAS terluas Ladeke 4 sebesar 19.25934 km2. Sungai terpanjang DAS Daieko 2 sebesar 5863.069. RB, RL, RA terbesar DAS Ladeke 2 sebesar 12, 6.399, dan 22.746. Kerapatan Drainase terbesar Daieko se-besar 2.211 m/km2. Lo terse-besar DAS Raikore sebesar 0.344. Bentuk DAS me-rupakan salah satu faktor yang mempe-ngaruhi terjadinya debit banjir dan bentuk hidrograf yang ditunjukkan pada Gambar 2.

DAS Daieko dan Daieko 2 mempunyai bentuk bulu burung dengan pola jaringan drainase memanjang, DAS Ladeke, Ladeke 2, Ladeke 3, Ladeke 4 mempunyai bentuk radial dengan pola jaringan drainase menyebar, sedangkan DAS Raikore, Raikore 2, Raikore 3 mempunyai bentuk paralel dengan pola jaringan drainase parallel.

Analisis Hidrograf Banjir DAS

Curve Number (CN) merupakan suatu bilangan atau angka yang menunjukkan keadaan tata guna lahan di suatu daerah. Tabel 1. Hasil karakteristik DAS

DAS RB RL RA D Lo A (km2) Sungai Terpanjang (m) Daieko 5 1.046 5.031 2.211 0.226 8.501533 4627.924 Daieko 2 6 1.629 5.971 1.59 0.314 10.58851 5863.069 Ladeke 10.25 4.608 16.587 1.966 0.254 8.564623 3113.478 Ladeke 2 12 6.399 22.746 1.948 0.257 12.97595 3652.036 Ladeke 3 7.2 1.657 8.733 1.538 0.325 10.31123 2215.713 Ladeke 4 11.5 5.685 22.143 2.096 0.239 19.25934 4997.173 Raikore 7 1.555 4.379 1.777 0.344 8.460305 5305.907 Raikore 2 6.83 1.743 5.943 1.982 0.317 11.14883 5593.719 Raikore 3 9 2.714 11.245 1.574 0.318 10.51605 3350.745

(5)

127

Gambar 2. Perbedaan bentuk DAS CN 50 menunjukkan keadaan tata guna

lahan yang sebagian besar masih berupa hutan. Besar debit puncak banjir pada masing-masing DAS pada hidrograf ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil hidrograf banjir DAS de-ngan CN 50

Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai debit puncak banjir tertinggi pada DAS Ladeke yaitu sebesar 1.28 m3/detik dengan waktu puncak banjir 410-420 menit dan terendah pada DAS Raikore 2 yaitu sebesar 0,93 dengan waktu puncak banjir 490-500 menit.

Pada simulasi aliran hujan dengan menggunakan Curve Number 70, lahan diasumsikan sebagai 50% masih berupa hutan dan 50% lainnya sudah berupa pemukiman. Besar debit puncak banjir pada masing-masing DAS pada hidrograf ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil hidrograf banjir DAS de-ngan CN 70 DAS CN 70 Q puncak (m3/detik) T puncak (menit) Daieko 16,07 220 Daieko 2 15,99 230 Ladeke 17,89 200 Ladeke 2 17,45 200 Ladeke 3 14,05 200 Ladeke 4 16,75 220 Raikore 15,38 230 Raikore 2 15,14 230 Raikore 3 16,43 220

Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai debit puncak banjir tertinggi adalah pada DAS Ladeke sama seperti pada simulasi dengan CN 50. Nilai debit puncak banjir DAS Ladeke pada simulasi aliran dengan CN 70 adalah sebesar 17,89 m3/detik de-ngan waktu 200 menit. Waktu puncak DAS CN 50 Q puncak (m3/detik) t puncak (menit) Daieko 1,06 460-470 Daieko 2 1,03 500-510 Ladeke 1,28 410-420 Ladeke 2 1,22 430 Ladeke 3 0,96 420-430 Ladeke 4 1,12 480-490 Raikore 0,96 500-510 Raikore 2 0,93 490-500 Raikore 3 1,14 460-470

Daieko Daieko 2 Ladeke Ladeke 2 Ladeke 3

(6)

128 banjir pada CN 70 lebih cepat dibanding-kan dengan CN 50. Hal ini disebabdibanding-kan ka-rena pada CN 70 lahan diasumsikan 50% hutan dan 50% pemukiman. Nilai debit puncak banjir terendah adalah pada DAS Ladeke 3 yaitu 14,05 m3/detik dengan waktu puncak banjir 200 menit.

Simulasi aliran hujan dengan CN 90 lahan diasumsikan sebagian besar adalah berupa pemukiman. Lahan seperti ini bia-sa ditemukan didaerah perkotaan. Bebia-sar debit puncak banjir pada masing-masing DAS pada hidrograf ditunjukkan pada Ta-bel 4.

Tabel 4. Hasil hidrograf banjir DAS de-ngan CN 90 DAS CN 90 Q puncak (m3/detik) t puncak (menit) Daieko 61,46 150 Daieko 2 60,55 150 Ladeke 67,63 140 Ladeke 2 66,19 140 Ladeke 3 53,75 140 Ladeke 4 63,39 150 Raikore 58,57 150 Raikore 2 57,94 150 Raikore 3 62,76 150

Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai debit puncak banjir tertinggi adalah pada DAS Ladeke sama seperti pada simulasi aliran hujan dengan CN 50 dan CN 70. Nilai debit puncak banjir DAS Ladeke pada simulasi aliran dengan CN 90 adalah sebesar 67,63 m3/detik dengan waktu 140 menit. Waktu puncak banjir pada CN 90 jauh lebih cepat dibandingkan dengan CN 50 dan CN 70. Hal ini disebabkan karena pada CN 90 lahan diasumsikan sebagian besar adalah berupa pemukiman (padat penduduk) sehingga laju aliran air tidak tertahan dan sebagian besar air hujan menjadi run off. Nilai debit puncak banjir terendah pada simulasi dengan CN 90 adalah DAS Ladeke 3. Besar debit puncak banjir pada DAS Ladeke 3 sebesar 53,75 m3/detik dengan waktu 140 menit.

Analisis Bentuk dan Hidrograf Banjir DAS Bentuk hidrograf banjir dengan CN 50 yang dihasilkan oleh masing-masing bentuk DAS menunjukkan DAS Daieko mempunyai nilai debit puncak banjir terkecil yaitu 1,06 m3/detik dan waktu puncak banjir yang relatif lama yaitu 460-470 menit DAS Ladeke yang mempunyai bentuk DAS radial(melebar) mempunyai nilai debit puncak debit banjir terbesar yaitu 1,28 m3/detik dan waktu puncak banjir yang relatif cepat yaitu 410-420 menit. DAS Raikore 3 yang mempunyai bentuk paralel menghasilkan nilai debit puncak banjir yang relatif besar yaitu 1,14 m3/detik tetapi waktu puncak ban-jirnya terjadi relatif lama yaitu 460-470 menit. Hasil analisis data bahwa pada CN 50 DAS yang mempunyai bentuk bulu bu-rung (memanjang) cendebu-rung menurunkan debit puncak banjir dan waktu puncak banjir akan terjadi lebih lama dibanding-kan dengan DAS bentuk radial dan para-lel.

Hasil hidrograf dengan CN 70 pada menunjukkan bahwa DAS Daieko yang berbentuk bulu burung mempunyai nilai debit puncak banjir terkecil sebesar 16,07 m3/detk dan waktu puncak banjir terjadi relatif lama yaitu 220 menit. DAS Ladeke yang berbentuk radial mempunyai nilai debit puncak terbesar 17,89 m3/detik dan waktu puncak banjir terjadi relatif cepat yaitu 200 menit. DAS Raikore yang mem-punyai bentuk paralel memmem-punyai debit puncak banjir yang relatif besar yaitu 16,43 m3/detik tetapi waktu puncak banjir terjadi relatif lama yaitu 220 menit. Hasil hidrograf dengan CN 70 yang lahannya diasumsikan 50% masih berupa hutan dan 50% berupa pemukiman menunjukkan bahwa DAS dengan bulu burung masih menghasilkan nilai debit puncak banjir yang relatif kecil dan waktu puncak banjir terjadi relatif lama walaupun terjadi per-ubahan tata guna lahan dibandingkan de-ngan DAS bentuk radial dan paralel.

Hasil hidrograf banjir dengan CN 90 menunjukkan bahwa DAS Daieko mempu-nyai nilai debit puncak banjir terkecil se-besar 61,46 m3/detik dan waktu puncak

(7)

129 banjirnya terjadi relatif lama yaitu 150 menit. DAS Ladeke mempunyai nilai debit puncak banjir terbesar yaitu 67,63 m3/ detik dan waktu puncak banjirnya terjadi relatif cepat yaitu 140 menit. DAS Rai-kore mempunyai nilai debit puncak banjir yang relatif besar yaitu 62,76 m3/detik walaupun waktu puncak banjirnya terjadi relatif lama yaitu 150 menit. Data hasil hidrograf dengan CN 90 yang lahannya diasumsikan sebagian besar berupa pe-mukiman menunjukkan DAS dengan ben-tuk bulu burung masih menghasilkan nilai debit puncak banjir yang relatif kecil dan waktu puncak banjir terjadi relatif lama walaupun terjadi perubahan tata guna la-han yang sangat besar dibandingkan de-ngan DAS bentuk radial dan paralel. Analisis Perbedaan Hasil Klasifikasi Bentuk DAS dan Hidrograf Banjir dengan CN yang Berbeda

Hidrograf banjir suatu DAS dipe-ngaruhi oleh karakteristik DAS, salah satu karakterisitik tersebut adalah bentuk DAS. Bentuk suatu DAS diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu bentuk bulu bu-rung, bentuk radial, dan bentuk paralel. Masing-masing bentuk DAS tersebut akan menghasilkan hidrograf banjir yang ber-beda. Selain bentuk DAS, faktor yang juga mempangaruhi hidrograf banjir adalah ta-ta guna lahan dari DAS tersebut. DAS yang lahannya masih berupa hutan akan menghasilkan hidrograf yang berbeda de-ngan DAS yang sebagian besar lahannya berupa pemukiman.

Daerah aliran sungai yang relatif ti-dak peka terhadap perubahan lahan ada-lah DAS dengan bentuk bulu burung (me-manjang). DAS dengan bentuk bulu bu-rung cendebu-rung mempunyai debit puncak banjir yang lebih kecil dibandingkan de-ngan bentuk DAS radial dan paralel. Wak-tu terjadinya puncak banjir juga relatif la-ma karena bentuknya yang mela-manjang. DAS yang paling peka terhadap perubah-an lahperubah-an atau terhadap penurunperubah-an kualitas DAS adalah DAS dengan bentuk radial (melebar). Hal ini ditunjukkan dari nilai

debit puncak banjir yang selalu besar pa-da setiap perubahan lahan.

Waktu terjadinya puncak banjir juga relatif cepat. DAS dengan bentuk seperti ini mempunyai potensi yang lebih besar terhadap bencana banjir. DAS dengan bentuk paralel relatif peka terhadap per-ubahan lahan atau penurunan kualitas DAS. Nilai debit puncak banjirnya relatif besar walaupun waktu terjadinya puncak banjir relatif lebih lama dibandingkan DAS dengan bentuk radial. DAS dengan bentuk paralel juga mempunyai potensi yang be-sar terhadap terjadinya banjir.

Hasil analisis peningkatan debit puncak banjir pada tiap perubahan lahan pada masing-masing DAS dengan bentuk berbeda menunjukkkan bahwa DAS yang mengalami peningkatan debit puncak ban-jir terkecil pada setiap perubahan lahan adalah DAS yang mempunyai bentuk pa-ralel. Peningkatan debit puncak banjir tertinggi pada tiap perubahan lahan ter-jadi pada DAS dengan bentuk radial.

KESIMPULAN

Daerah Aliran Sungai Ladeke adalah DAS yang paling rawan terhadap bencana banjir daripada DAS lainnya karena debit puncak banjirnya selalu tinggi pada setiap CN yang berbeda. Bentuk DAS bulu bu-rung (memanjang) menghasilkan nilai bit puncak banjir yang relatif kecil de-ngan waktu puncak banjir yang relatif lama. Bentuk DAS yang melebar dengan pola sungai yang menyebar (radial) cen-derung menghasilkan nilai debit puncak banjir yang tinggi dengan waktu puncak banjir yang cepat. Bentuk DAS paralel cenderung menghasilkan nilai debit pun-cak banjir yang relatif kecil dengan waktu puncak banjir yang relatif lama. DAS de-ngan bentuk radial mengalami peningkat-an debit puncak bpeningkat-anjir tertinggi pada tiap perubahan lahan dan mempunyai potensi lebih besar terhadap terjadinya banjir. DAS dengan bentuk paralel mengalami peningkatan debit puncak banjir terkecil pada setiap perubahan lahan.

(8)

130 DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan kedua (revisi). Gadjah Mada University, Yogyakarta

Harto, B.S. 1993. Analisis Hidrologi. PAU Ilmu Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta

Haji, A.T.S. 2005. Poster SIMODAS. Institut Teknologi Bandung, Bandung

Seyhan, E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. UGM Press, Yogyakarta

Gambar

Tabel 1. Hasil karakteristik DAS
Gambar 2. Perbedaan bentuk DAS
Tabel  4.  Hasil  hidrograf  banjir  DAS  de- de-ngan CN 90  DAS                   CN 90 Q puncak  (m 3 /detik)  t puncak         (menit)  Daieko  61,46  150  Daieko 2  60,55  150  Ladeke   67,63  140  Ladeke 2   66,19  140  Ladeke 3  53,75  140  Ladeke 4

Referensi

Dokumen terkait

Dalam model perhitungan target penerimaan bea masuk sebelumnya, variabel yang dipakai sebagai tax base adalah total nilai impor dan selanjutnya dikalikan dengan

Prediksi rata-rata curah hujan bulanan tahun 2008 diperoleh menggunakan model SD dengan Regresi Linier Peubah Ganda. Ukuran kebaikan prediktor dalam memprediksi curah

Peraturan Walikota ini dimaksudkan sebagai dasar hukum pelaksanaan kegiatan Perangkat Daerah dalam bentuk pertemuan/workshop/Focus Group Discussion (FGD)/rapat-rapat teknis

Hasil penelitian menunjukkan prototype media website yang ketiga merupakan disain yang efektif ketika digunakan pada saat pembelajaran dengan 71,79% siswa Termotivasi; 61,54%

data dengan tidak menggunakan angka-angka melainkan menggunaka hasil infor masi yang sesuai untuk mengetahui pener apan EPAM ter- hadap kemampuan bahasa mimik

[r]

Ada beberapa metode desain yang dapat digunakan untuk mendesain sebuah dinding penahan tanah jenis MSE dengan perkuatan geosintetik. Metode tersebut seperti metode Rankine

Berdasarkan plot data dan grafik trend analisis data pada Gambar 1 dapat diketahui bahwa kunjungan wisatawan mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu dan nilai aktualnya masih