• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN EKONOMI BUDIDAYA ORGANIK DAN KONVENSIONAL PADA 3 NOMOR HARAPAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN EKONOMI BUDIDAYA ORGANIK DAN KONVENSIONAL PADA 3 NOMOR HARAPAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN EKONOMI BUDIDAYA ORGANIK DAN

KONVENSIONAL PADA 3 NOMOR HARAPAN

TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb)

Ekwasita Rini Pribadi dan Mono Rahardjo

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

ABSTRAK

Semua varietas tanaman mempunyai spesifik karakter terhadap adaptasi lingkungan tumbuh dan input yang diberikan dan akan ber-pengaruh terhadap produksi serta pendapatan usahatani. Tujuan penelitian ini mengkaji nilai ekonomi budidaya organik dan konvensional dari tiga nomor harapan temulawak. Informasi ini diharapkan akan menjadi acuan dalam pe-ngembangan budidaya temulawak. Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi dan diulang 4 kali. Petak utama terdiri dari dua pa-ket pemupukan; 1) budidaya organik dan 2) bu-didaya konvensional. Sedangkan anak petak terdiri dari 3 nomor harapan temulawak yaitu, Balittro 1, Balittro 2, dan Balittro 3. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan (KP) Suka-mulya, sejak Agustus 2005 sampai Oktober 2006. Ukuran petak percobaan 30 m2, dengan jarak tanam 75 cm x 50 cm dan setiap petak terdapat 80 tanaman. Paket budidaya organik terdiri dari; bokashi 10 t/ha, pupuk bio 90 kg/ ha, zeolit 300 kg/ha, dan pupuk fosfat alam 300 kg/ha, sedangkan paket budidaya konvensio-nal; pupuk kandang kotoran sapi 20 t/ha, urea 200 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 200 kg/ha. Data yang dikumpulkan adalah input-output dari setiap paket percobaan, data dianalisis se-cara deskriptif dan kelayakan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan : (1) Produksi rimpang segar dan simplisia temulawak pada budidaya konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan produksi budidaya organik. (2) Produktivitas temulawak budidaya organik 15,20 – 17,83 ton/ha, produksi tertinggi pada nomor harapan Balittro 3 (17,83 ton/ha rimpang dan 3,57 ton/ ha simplisia). Produksi rimpang segar dan sim-plisia temulawak pada budidaya konvensional masing-masing berkisar 19,64 – 22,31 ton/ha dan 3,93 – 4,46 ton/ha, produksi tertinggi dica-pai nomor harapan Balittro 2. (3) pada harga jual Rp 1.500,-/kg rimpang, budidaya organik tidak layak diusahakan pada semua nomor

ha-rapan temulawak Balittro 1, 2, dan 3. (4) Har-ga pokok temulawak budidaya orHar-ganik adalah Rp 1.726,-/kg untuk rimpang, Rp 19.805,-/kg untuk simplisia, dan Rp 163.179,-/kg untuk ekstrak. Sedangkan pada budidaya konvensio-nal, harga pokok Rp 1.471,-/kg untuk rim-pang, Rp 18.531,-/kg simplisia, dan Rp 155.046,-/kg ekstrak, (5) dengan harga jual Rp 1.500,-/kg rimpang, budidaya konvensio-nal pada nomor harapan Balittro 2 dan 3, la-yak diusahakan, dengan pendapatan bersih per 1.000 m2 lahan masing-masing Rp 228.750,- dan 78.750,- dengan B/C rasio 1,073 dan 1,026, (6) bila diproduksi dalam bentuk sim-plisia dan ekstrak dengan harga jual Rp 20.000,-/kg dan Rp 174.000,-/kg budidaya or-ganik nomor harapan Balittro 1 dan 2, serta budidaya konvensional nomor harapan Balit-tro 1, 2, dan3 layak diusahakan. Pendapatan tertinggi dari budidaya konvensional nomor harapan Balittro 2 dengan pendapatan bersih per 1.000 m2 lahan sebesar Rp 819.965,- dan B/C rasio 1,101 untuk simplisia dan Rp 2.747.516,- dan B/C rasio 1,226 untuk rim-pang.

Kata kunci : Curcuma xanthorhiza Roxb, kajian ekonomi, budidaya, nomor harapan

ABSTRACT

Economic Analysis of Organic and Conventional Cultivation of Three

Promising Lines of Javanese Turmeric (Curcuma xanthorriza

Roxb.)

All of plant have specific character in adaptation to environment and input of production that will be expressed to produc-tion and income of farming system. The objec-tive of the research was to find out economic aspect the effect of organic and conventional cultivation of three promising lines of

(2)

Java-nese turmeric (Curcuma xanthorriza Roxb.). This information expected will be recommen-ded in the development of Javanese turmeric cultivation. The research was conducted in Su-kamulya Experimental Station from August 2005 until October 2006. The size of experi-mental plot was 30 m2, and the line spacing was 75 cm x 50 cm and every experimental plot consisted 80 plants. The experiment was desig-ned in Split Plot Desigdesig-ned with 4 replications. The main plots were two treatments of organic and conventional cultivation. In Organic culti-vation fertilizer application was 10 t bokashi + 90 kg bio fertilizer + 300 kg zeolit + 300 kg rock phosphate/ha and the treatment of con-ventional cultivation was 20 t dung manure + 200 kg Urea + 200 kg SP-36 + 200 kg kg/ha. The data collected were input-output of far-ming system. Farfar-ming efficiency was analyzed using descriptive analysis and B/C ratio. The results showed that : (1) Javanese tumeric con-ventional cultivation produced rhizome and simplisia higher than production of rhizome and simplisia in organic cultivation, the pro-duction were 15.20 – 17.83 ton/ha and 3.04 – 3.57 ton/ha, the highest production was pro-missing line of Balittro 3 (17.83 ton/ha and 3.57 ton/ha), (2) the production of rhizome and simplisia in con-ventional cultivation were 19.64 – 22.31 ton/ ha and 3.93 – 4.46 ton/ha, the highest produc-tion was promissing line Balittro 2, (3) If price of the rhizome was Rp 1,500,-/kg the organic cultivation, that produ-ced rhizome, was not promissing to be develop for all promissing lines of Balittro 1, 2 and 3 due to net income that was negatif and B/C ra-tio lower than 1, (4) Floor price of Java turme-ric in organic cultivation was Rp 1,726,-/kg for rhizome, Rp 19,805,-/kg for simplisia, and Rp 163,179,-/kg for extract. Than in conventional cultivation floor price was Rp 1,471,-/kg for rhizome, Rp 18,531,-/kg for simplisia, and Rp 155,046,-/kg for extract, (5) If price of rhizome Rp 1,500,-/kg, the cultivation of javanese tur-meric that promissing to developt was conven-tional cultivation promissing lines Balittro 2 and 3, that gave net income per 1,000 m2 area were Rp 228,750,- and 78,750,-, the B/C ratio 1.073 dan 1.026, (6) If javanese turmeric was produced in kind of simplisia and extract that price were Rp 20,000,-/kg and Rp 174,.000,-/kg, organic cultivation promissing lines

Balit-tro 1 and 2, and conventional cultivation pro-missing lines Balittro 1, 2, and 3 propro-missing to develop. The highest net income was gained by conventional cultivation of promissing line Balittro 2, the net income was Rp 819,965,- and Rp 2,747,516,-. The B/C ratio was 1.101 and 1.226 per 1,000 m2 area.

Key words : Curcuma xanthorhiza Roxb, economic

analysis, cultivation promising lines PENDAHULUAN

Temulawak (Curcuma

xantho-rhiza Roxb) merupakan tanaman obat

asli Indonesia (Prana, 1985), disebut juga Curcuma javanica (Badan POM, 2004). Sebagai bahan baku obat, jum-lah kebutuhan temulawak untuk In-dustri Obat Tradisional dan InIn-dustri Kecil Obat Tradisional menduduki ringkat pertama di Jawa Timur dan pe-ringkat kedua di Jawa Tengah (Kema-la et al., 2003). Temu(Kema-lawak dimanfa-atkan sebagai obat dan mempunyai klaim manfaat untuk penyembuhan je-nis penyakit terbanyak (24 jeje-nis pe-nyakit), oleh karena itu pada tahun 2004 pemerintah mencanangkan te-mulawak sebagai “Minuman Kesehat-an Nasional”.

Rimpang temulawak mengan-dung minyak atsiri, resin, kurkumin, lemak, kamfer, serat kasar dan kal-sium klorida (Quissumbing dalam Agusta dan Chaerul, 1994). Minyak atsiri dari temulawak mengandung ba-nyak sekali komponen yang berman-faat antara lain berpotensi sebagai se-nyawa antioksidan, anti hepatotoksik, meningkatkan sekresi empedu, anti hi-pertensi, melarutkan kolesterol, me-rangsang air susu (laktagoga), tonik bagi ibu pasca melahirkan, peluruh ha-id, anti bakteri, pewarna makanan dan kain, serta bahan kosmetik (Hadi,

(3)

1985; Agusta dan Chairul, 1994; Suk-samrarn et al., 1994; Direktorat Aneka Tanaman, 2000). Curcumin dan xan-thorrhizol merupakan komponen bahan aktif utama dari minyak atsiri temu-lawak yang berkhasiat obat. Xanthor-rhizol adalah komponen minyak atsiri khas temulawak (Oei Ban Liang dalam Sidik et al., 1997).

Luas panen temulawak pada ta-hun 2000 mencapai 433 ha dengan ra-ta-rata produksi 10,7 ton/ha (Direktorat Aneka Tanaman, 2000). Angka terse-but lebih rendah dibandingkan dengan yang diperoleh dari hasil-hasil peneli-tian yaitu 20 ton/ha. Mengingat rendah-nya produksi yang dapat dicapai petani, sedangkan potensi pemanfaatannya un-tuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor sangat prospektif, maka pengembangan temulawak harus diiku-ti oleh cara budidaya yang baik agar di-peroleh produksi dan mutu yang tinggi serta terstandar baik pada budidaya or-ganik maupun konvensional.

Sistem usaha budidaya pertani-an secara umum adalah sebagai suatu penataan kegiatan usaha yang dikelola berdasarkan kemampuan lingkungan fi-sik, biologis, dan sosio ekonomi serta sesuai dengan tujuan, kemampuan dan sumber daya yang dimiliki petani (Shaner et al., 1982). Setiap usahatani memerlukan input produksi yang ber-asal dari bahan kimia sintetik dan dari bahan alami. Berdasarkan input pro-duksi yang digunakan, sistem usahatani dapat dikatagorikan kedalam 4 kelom-pok yaitu : (1) pertanian tradisional, di mana hanya menggunakan input pro-duksi yang tersedia dari tempat usaha saja, (2) pertanian modern dicirikan oleh penggunaan varietas unggul diser-tai input produksi dari luar tempat

usa-ha, seperti pupuk dan pestisida sinte-tik, (3) pertanian dengan input ekster-nal rendah (Low Exterekster-nal Input

Sus-tainable Agriculture = LEISA) dengan

prinsip mengoptimalkan interaksi an-tara input produksi dengan unsur-un-sur agroekosistem, (4) pertanian orga-nik, merupakan bentuk usahatani yang tidak menggunakan sama sekali bahan kimia sintetik dan mengandalkan se-penuhnya penggunaan bahan organik alami, termasuk phosphat alam, te-pung kapur dan lainnya (FAO, 2000).

Memasuki abad ke-21, gaya hidup sehat dengan cara kembali ke alam “back to nature” telah menjadi trend baru di masyarakat. Mereka me-nyadari penggunaan bahan-bahan ki-mia non-alami seperti pupuk dan pes-tisida kimia sintesis serta hormon tum-buh dalam produksi pertanian ternyata dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan ling-kungan. Timbulnya kesadaran terse-but, sistem pertanian organik berkem-bang. Berdasarkan persyaratan yang harus dipenuhi dalam pertanian orga-nik, pengembangan pertanian organik di Indonesia menjadi dilematis, sebab disatu sisi pengembangan pertanian harus dipacu untuk meningkatkan pro-duktivitas, di sisi lain adanya tuntutan peningkatan kualitas kesehatan de-ngan mengkonsumsi makanan sehat. Peningkatan produktivitas pertanian harus dipacu dengan penggunaan va-rietas unggul yang responsif terhadap input produksi, sedangkan pertanian organik, pengelolaannya mengguna-kan input produksi dari bahan alami yang pada kenyataannya produktivitas yang diperoleh rendah sehingga harga jual per satuan produksi menjadi ting-gi. Berdasarkan hal tersebut di atas,

(4)

pengembangan pertanian organik di In-donesia saat ini mengarah pada komo-ditas yang bernilai ekonomi tinggi dan berorientasi ekspor (Budianto, 2002).

Tanaman obat, terutama temu-temuan seperti temulawak, jahe, kencur dan kunyit mempunyai potensi untuk diekspor, sehingga berpeluang untuk dibudidayakan secara organik agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Namun hingga saat ini sistem budidaya tanaman temu-temuan tersebut masih menggunakan cara LEISA, di mana se-lain menggunakan pupuk organik juga dikombinasikan dengan pupuk buatan, dengan takaran yang tidak berlebihan. Petani mengembangkan tanaman temu-temuan dengan cara LEISA karena bi-aya produksi yang dikeluarkan relatif rendah.

Produksi dan mutu tanaman se-cara umum dipengaruhi oleh : (1) no-mor atau varietas unggul, (2) penye-diaan unsur hara (pemupukan), dan (3) perlindungan tanaman terhadap OPT (Partohardjono, 2002). Setiap varietas tanaman mempunyai respon yang ber-beda terhadap lingkungan tumbuh dan input yang diberikan dan akan berpe-ngaruh terhadap produksi serta penda-patan usahatani. Tulisan ini akan mengkaji nilai ekonomi budidaya orga-nik dan konvensional terhadap 3 nomor harapan temulawak. Informasi ini diha-rapkan akan menjadi acuan dalam pe-ngembangan budidaya temulawak, agar diperoleh mutu dan nilai ekonomi yang tinggi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Ke-bun Percobaan Sukamulya-Sukabumi pada tipe iklim C menurut Schmith dan

Forguson. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2005 sampai Ok-tober 2006. Penelitian menggunakan Ran-cangan Petak Terbagi dengan 4 ulangan. Petak utama adalah dua paket pemupukan, yaitu (1) budidaya orga-nik dan (2) budidaya konvensional. Paket budidaya organik terdiri dari; bokashi 10 ton/ha, pupuk bio 90 kg/ ha, zeolit 300 kg/ha, dan pupuk fosfat alam 300 kg/ha, diberikan pada awal tanam. Paket budidaya konvensional terdiri dari : pupuk kandang sapi 20 ton/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 200 kg/ ha diberikan pada awal tanam, Urea 200 kg/ha diberikan masing-masing 1/3 dosis pada 0, 1, dan 2 bulan se-telah tanam. Kandungan hara pupuk kandang dan bokashi yang digunakan tercantum pada Tabel 1. Anak petak terdiri dari tiga nomor harapan temu-lawak yaitu, Balittro 1, Balittro 2, dan Balittro 3. Ukuran petak percobaan adalah 30 m2 (6 m x 5 m), dengan ja-rak tanam 75 cm x 50 cm, setiap petak terdapat 80 tanaman.

Tanaman dipanen pada umur 10 bulan setelah tanam. Peubah yang diamati meliputi; data asupan (input) berupa penggunaan sarana produksi usahatani, penggunaan tenaga kerja dan peralatan, serta data keluaran

(out-put) berupa hasil rimpang segar, hasil

simplisia kering, dan rendemen ek-strak temulawak. Harga masukan dan keluaran yang digunakan mengacu pa-da harga stanpa-dard/pasar yang berlaku pada saat penelitian dilakukan.

(5)

Metode analisis usahatani

Untuk mengetahui alternatif perlakuan yang paling efisien dan ter-besar perolehan keuntungannya dila-kukan dengan metode tabulasi yang ke-mudian disajikan secara deskriptif. Untuk mengetahui tingkat keuntungan dari masing-masing pola dilakukan analisis pendapatan (Gittinger, 1986) yang secara matematis dirumuskan se-bagai berikut : n n P =  Bt -  Ct P = Pendapatan t=1 t=1 B = penerimaan atau nilai produksi C = Biaya produksi t = waktu satu perio de produksi Untuk mengetahui perlakuan yang layak dilakukan atau dikembang-kan maka dilakudikembang-kan analisis finansial dengan rumus matematik sebagai ber-ikut (Gitinger, 1986) n  Bt t=1 B/C rasio = n  Ct t=1

Apabila B/C rasio > 1, maka usahatani tersebut layak dilakukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Biaya usahatani dan produksi

Biaya produksi rimpang temu-lawak nomor harapan Balittro 1, 2, dan 3 per 1.000 m2 ditampilkan pada Tabel 2. Total biaya budidaya organik berkisar antara Rp 2.773.000,- sampai Rp 2.838.750,-, sedangkan pada budi-daya konvensional adalah Rp 3.051.000,- sampai Rp 3.117.750,-. Biaya produksi terbesar digunakan un-tuk penggunaan tenaga kerja. Rata-rata biaya tenaga kerja pada budidaya pupuk organik mencapai 52 - 53%, sedangkan biaya tenaga kerja pada bu-didaya konvensional lebih tinggi yaitu 55 - 56% dari total biaya usahatani. Biaya penggunaan bahan pada budi-daya organik sebesar 44 - 45%, se-dangkan pada budidaya konvensional sebesar 40 - 41% dari total biaya usa-hatani. Biaya produksi ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Pribadi et al. (2003) pada budidaya temulawak di bawah tegakan sengon dengan menggunakan 10 ton pupuk kandang, 200 kg urea, 200 kg SP-36, dan 200 kg KCl, dan pupuk Bio dosis 0 - 90 kg/ha yaitu hanya sebesar Rp 1.066.000,- sampai Rp 1.116.250,-. Tabel 1. Kandungan hara pupuk kandang dan bokashi

Table 1. Nutrients content of dung manure and bokashi fertilizer

Unsur/Nutrition Pupuk kandang/Dung manure Bokashi/Bokashi

N %) 1,53 1,13 P (%) 0,50 0,60 K (%) 0,79 0,82 Ca (%) 0,50 0,34 Na (%) 0,15 0,29 Mg (%) 0,31 0,42 C organik (%) 33,28 31,03

(6)
(7)
(8)

Perbedaan biaya tersebut dise-babkan oleh jenis dan dosis pupuk or-ganik yang digunakan, pada budidaya temulawak di bawah sengon hanya di-gunakan pupuk organik pupuk Bio de-ngan mikroorganisme aktif

Azospiril-lum lipoferum, Azotobacter beijerin-ckii, Aeromonas punctata dan Asper-gilus niger dan pupuk kandang dosis

10 ton/ha, sedangkan pada penelitian ini digunakan beberapa jenis pupuk organik seperti Bokashi, pupuk fosfat alam dan pupuk zeolit, sedangkan pa-da paket pemupukan an-organik dosis pupuk kandang ditingkatkan menjadi 20 ton/ha.

Produksi rimpang segar dan simplisia temulawak pada budidaya konvensional berkisar antara 19,64 – 22,31 ton/ha dan 3,93 – 4,46 ton/ha, dan hasil rimpang Balittro 2 tertinggi dibandingkan dengan Balittro1 dan Ba-littro 3. Respon ke tiga nomor harapan temulawak terhadap pemupukan pada budidaya konvensional tidak sama, Ba-littro 2 mempunyai respon yang lebih tinggi dibandingkan dengan Balittro 1 dan Balittro 3. Produksi rimpang dan simplisia Balittro 2 terendah pada budi-daya pupuk organik, namun menjadi tertinggi hasilnya pada budidaya kon-vensional. Produktivitas yang dicapai pada penelitian ini nyata lebih tinggi dari pada produktivitas temulawak yang dihasilkan dengan cara budidaya petani yaitu 10,7 ton/ha (Direktorat Aneka Tanaman, 2000).

Rendahnya produksi rimpang dan simplisia Balittro 2 dibandingkan Balittro 1 dan 3 pada budidaya orga-nik, diduga karena ketersediaan hara relatif lebih rendah dibandingkan pada budidaya konvensional, dan mungkin

disebabkan oleh kemampuan penye-rapan hara oleh akar Balittro 2 pada kondisi marginal lebih rendah diban-dingkan Balittro 1 dan Balittro 3. Se-cara umum pupuk organik lebih lam-bat terurai sehingga hara tanaman le-bih lambat terserap oleh tanaman, se-dangkan pupuk an-organik, lebih mu-dah terurai dan cepat dapat terserap oleh tanaman. Pada umumnya produk-tivitas tanaman pada budidaya organik lebih rendah dibandingkan dengan bu-didaya an-organik (Budianto, 2002), karena pupuk buatan lebih mudah ter-sedia bagi kebutuhan hara tanaman. Hasil dari budidaya organik mempu-nyai keunggulan, yaitu dengan budi-daya or-ganik diharapkan hasil tanam-an tidak tercemar oleh bahtanam-an kimia sintetis. Khusus untuk temulawak Ba-littro 2 merupakan salah satu calon va-rietas temulawak yang sangat tanggap terhadap pemupukan an-organik.

Hasil ekstrak temulawak yang dihasilkan bervariasi antar paket tek-nologi budidaya. Produksi ekstrak yang diperoleh tidak selalu berkorelasi positif dengan produksi rimpang dan simplisia. Rendemen rimpang menjadi ekstrak temulawak nomor harapan Ba-littro 2 dan 3, relatif tidak berbeda ba-ik pada budidaya organba-ik atau budi-daya konvensional dengan kisaran rendemen 3,07 – 3,99 (Tabel 3). Pro-duksi ekstrak tertinggi dicapai pada budidaya konvensional menggunakan nomor harapan Balittro 2 dengan hasil 890 kg/ha.

(9)

Biaya prosesing dan pendapatan

Hasil analisis usahatani menun-jukkan bahwa biaya usahatani budida-ya organik lebih rendah dibandingkan dengan budidaya konvensional (Tabel 2), tetapi pada budidaya organik bila diproduksi dalam bentuk rimpang de-ngan harga jual Rp 1.500,-/kg, pada se-mua nomor harapan temulawak yang dicoba tidak layak secara finansial un-tuk dikembangkan. Hal tersebut ditun-jukkan oleh pendapatan bersih yang bernilai negatif, dan B/C rasio kurang dari satu (Tabel 4).

Analisis harga pokok menun-jukkan bahwa untuk mengembalikan biaya produksi harga jual temulawak yang dihasilkan dari budidaya organik harus lebih tinggi dari pada temulawak

dari budidaya konvensional (Table 4). Hal ini disebabkan produktivitas yang dihasilkan dari budidaya organik cen-derung lebih rendah dari produksi yang dihasilkan pada budidaya kon-vensional, meskipun biaya produksi budidaya organik lebih rendah. Untuk mengembalikan biaya produksi rata-rata harga jual temulawak organik ha-rus lebih tinggi dari Rp 1.726,-/kg un-tuk rimpang, Rp 19.805,-/kg unun-tuk simplisia, dan Rp 163.179,-/kg untuk ekstrak. Sedangkan pada budidaya konvensional, dengan harga jual rata-rata Rp 1.471,-/kg rimpang, Rp 18.531,-/kg simplisia, dan Rp 155.046,-/kg untuk ekstrak sudah da-pat menutup kebutuhan biaya produk-si.

Tabel 3. Produksi rimpang, simplisia dan ekstrak budidaya organik dan konvensional pada 3 nomor harapan temulawak di IP. Sukamulya per 1.000m2

Table 3. Production of rhizom, simplisia and extract of organic and conventional cultivation of 3 genotyes Java turmeric in Sukamulya Exerimental Garden per 1.000 m2

Uraian/Items

Jumlah produksi/Total of production Budidaya Organik/ Organic cultivation Budidaya konvensional/ Conventional cultivation Balittro 1 Balittro 2 Balittro 3 Balittro 1 Balittro 2 Balittro 3 Rimpang/ rhizome (kg) 1.583 1.520 1.783 1.964 2.231 2.111 Simplisia/ Simplisia (kg) 317 304 357 393 446 422 Ekstrak/ Extract (kg) 50 48 55 52 89 66 Persentase ren-demen rimpang menjadi ekstrak/ Percentage of rhizome to ex-tract (%) 3,17 3,15 3,07 2,63 3,99 3,13

(10)

Paket budidaya konvensional menggunakan nomor harapan Balittro 2 dan 3 dengan hasil berupa rimpang layak secara finansial untuk dikem-bangkan, hal ini ditunjukkan oleh pen-dapatan bersih masing-masing sebesar Rp 228.750,- dan 78.750,- dengan B/C rasio masing-masing 1,073 dan 1,026 (Tabel 4). Pendapatan tersebut lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang diperoleh dari temulawak yang dita-nam dibawah tegakan sengon meng-gunakan pupuk dasar 10 ton pupuk kandang, 200 kg urea, 200 kg SP-36, dan 200 kg KCl di mana hanya meng-hasilkan pendapatan bersih sebesar

Rp 23.720,- per 1.000 m2 lahan. Ang-ka tersebut lebih rendah dibandingAng-kan dengan hasil penelitian menggunakan input yang sama ditambahkan pupuk Bio dengan mikroorganisme aktif

Azo-spirillum lipoferum, Azotobacter bei-jerinckii, Aeromonas punctata dan As-pergilus niger dosis 45 kg dan 90 kg/

ha, dimana diperoleh pendapatan ber-sih masing-masing sebesar Rp 238.895,- dan Rp 459.470,- per 1.000 m2 lahan (Pribadi et al., 2003). Dalam rangka pengembangan budidaya orga-nik temulawak, penelitian lebih lanjut penggunaan pupuk Bio jenis tersebut pada nomor-nomor harapan Balittro 1, Tabel 4. Biaya produksi, pendapatan, dan harga pokok temulawak budidaya organik dan konvensional pada 3 nomor harapan temulawak di IP. Sukamulya per 1.000 m2

Table 4. Cost of production, net income and floor price of Java turmeric in organic and conventional cultivation of 3 genotyes Java turmeric in Sukamulya Research Station per 1,000 m2

Uraian/ Items Budidaya Organik/ Organic cultivation Budiya konvensional/ conventional cultivation

Balittro 1 Balittro 2 Balittro 3 Balittro 1 Balittro 2 Balittro 3 Biaya produksi usahatani/

On farm Cost of produc-tion (Rp)

2.788.750 2.773.000 2.838.750 3.051.000 3.117.750 3.087.750

Biaya prosesing/ Cost of

post harvest (Rp) - Simplisia/ Simplisia - Ekstrak/ Extract 3.538.005 5.233.775 3.397.200 5.475.476 3.985.005 5.421.109 4.389.540 4.952.849 4.986.285 7.969.207 4.718.085 6.660.147 Pendapatan/Revenue(Rp) - Rimpang/Rhizome - Simplisia/Simplisia - Ekstrak/Extract 2.374.500 6.332.000 8.732.016 2.280.000 6.080.000 8.324.682 2.674.500 7.132.000 9.523.368 2.946.000 7.865.000 8.975.094 3.346.500 8.924.000 15.473.994 3.166.500 8.444.000 11.482.608 Pendapatan Bersih/ Net income Rp) - Rimpang/Rhizome - Simplisia/Simplisia - Ekstrak/Extract - 414.250 5.245 521.035 - 493.000 - 90.200 382.389 - 164.250 308.245 770.990 - 105.000 415.460 350.922 228.750 819.965 2.747.516 78.750 638.165 1.264.620 B/C rasio/ B/C ratio - Rimpang/ Rhizome - Simplisia/Simplisia - Ekstrak/Extract 0,851 1,001 1,063 0,822 0,985 1,048 0,942 1,045 1,088 0,966 1,056 1,041 1,073 1,101 1,216 1,026 1,082 1,124 Harga pokok/Floor price

- Rimpang/ Rhizome - Simplisia/ Simplisia - Ekstrak/Extract 1.477 18.562 154.650 1.529 18.818 156.612 1.340 17.874 151.691 1.553 18.942 167.197 1.397 18.162 143.105 1.463 18.488 154.837

(11)

2 dan 3 perlu dilakukan agar ekspresi sifat genetik tanaman lebih terlihat dan biaya usahatani bisa diturunkan. Menu-rut Dimyati (2002), seperti halnya ta-naman hortikultura keberlanjutan pe-ngembangan tanaman obat organik sa-ngat tergantung pada produktivitas, efi-siensi dan pendapatan usaha. Untuk itu input produksi dalam pengembangan temulawak organik hendaknya mem-perhatikan kaidah-kaidah tersebut.

Peningkatan nilai tambah pro-duk primer temulawak dapat dilaku-kan melalui diversifikasi produk men-jadi produk sekunder seperti simplisia dan ekstrak. Menurut Kemala et al. (2005) pengolahan rimpang temu-te-muan menjadi simplisia mampu me-ningkatkan harga produk menjadi 7 – 15 kali, sedangkan dari rimpang men-jadi produk olahan ekstrak sebesar 81 – 280 kali. Hasil analisis usahatani temu-lawak menjadi produk simplisia deng-an harga proses Rp 11.175,-/kg simpli-sia dan Rp108.047,-/kg ekstrak (Kema-la et al., 2003) menunjukkan adanya peningkatan pendapatan hampir sama pada semua paket budidaya yang dite-liti (Tabel 4). Pemrosesan menjadi sim-plisia dengan harga jual Rp 20.000,-/kg dan harga jual ekstrak Rp 174.000,- pa-da paket budipa-daya organik maupun konvensional pada nomor-nomor ha-rapan temulawak Balittro 1, 2, dan 3 mampu memberikan tambahan penda-patan yang nyata. Bila dijual dalam bentuk simplisia atau ekstrak pendapat-an bersih terbesar diperoleh dari budi-daya konvensional pada nomor harapan Balittro 2, dengan pendapatan bersih masing-masing sebesar Rp 819.965,- dan Rp 2.747.516,- per 1.000 m2 lahan (Tabel 4).

KESIMPULAN

Produksi rimpang segar dan simplisia temulawak pada budidaya konvensional lebih tinggi dari pada produksi budidaya organik. Produkti-vitas temulawak budidaya organik berkisar 15,20 – 17,83 ton/ha dan 3,04 – 3,57 ton/ha dan produksi tertinggi pada nomor harapan Balittro 3 (17,83 ton/ha rimpang dan 3,57 ton/ha sim-plisia). Sedangkan produksi pada bu-didaya konvensional masing-masing berkisar 19,64 – 22,31 ton/ha dan 3,93 – 4,46 ton/ha, produksi tertinggi dica-pai nomor harapan Balittro 2.

Biaya usahatani budidaya or-ganik lebih rendah dibandingkan budi-daya konvensional.

Harga pokok temulawak budi-daya organik adalah Rp 1.726,-/kg un-tuk rimpang, Rp 19.805,-/kg unun-tuk simplisia, dan Rp 163.179,-/kg untuk ekstrak. Sedangkan pada budidaya konvensional, harga pokok Rp 1.471,-/kg untuk rimpang, Rp 18.531,-1.471,-/kg simplisia, dan Rp 155.046,-/kg eks-trak.

Budidaya organik tidak layak diusahakan pada semua nomor harap-an temulawak Balittro 1, 2, dharap-an 3 (dengan harga jual Rp 1.500,-/kg rim-pang). Sedangkan pada budidaya kon-vensional pada nomor harapan Balittro 2 dan 3, layak diusahakan, dengan pendapatan bersih per 1.000 m2 lahan masing-masing Rp 228.750,- dan 78.750,- dengan B/C rasio 1,073 dan 1,026.

Temulawak bentuk simplisia dan ekstrak dengan harga jual Rp 20.000,-/kg dan Rp 174.000,-/kg budi-daya organik nomor harapan Balittro 1 dan 2, serta budidaya konvensional

(12)

nomor harapan Balittro 1, 2, dan 3 layak diusahakan. Pendapatan tertinggi diperoleh dari budidaya konvensional nomor harapan Balittro 2 dengan pendapatan bersih per 1.000 m2 lahan sebesar Rp 819.965,- dan B/C rasio 1,101 untuk simplisia dan Rp 2.747.516,- dan B/C rasio 1,226 untuk rimpang.

DAFTAR PUSTAKA

Agusta, A. dan Chaerul, 1994. Analisis komponen kimia minyak atsiri dari rimpang temulawak (Curcuma

xan-thorrhiza Roxb.). Prosiding

Simpo-sium Penelitian Bahan Obat Alami VIII, hal. : 643 – 647.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI., 2004. Informasi Temu-lawak Indonesia, 36 hal.

Budianto, J., 2002. Kebijakan penelitian dan pengembangan pertanian organik. Prosiding Seminar Nasioanal dan Pameran Pertanian Organik, Jakarta, 2 – 3 Juli 2002, hal. 1 - 12.

Dimyati, A., 2002. Dukungan penelitian dalam pengembangan hortikultura or-ganik. Prosiding Seminar Nasioanal dan Pameran Pertanian Organik, Ja-karta, 2 – 3 Juli 2002, hal. 109 – 128. Direktorat Aneka Tanaman, 2000.

Budi-daya Tanaman Temulawak. Jakarta. 44 hal.

FAO, 2000. Organic Farming : Demand for organic products has created new export opportunities for the develoing world. htpp://www/fao.org/magazine. spotlight.organic farming.html.

Gittiner, J.P., 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Ke-dua. Universitas Indonesia. Jakarta. 579 hal.

Hadi, S., 1985. Manfaat temulawak di-tinjau dari segi kedokteran. Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung 17 – 18 September 1985, hal. 139 – 145.

Kemala, S; Sudiarto, E. R. Pribadi, JT. Yuhono, M. Yusron, L. Mauludi, M. Raharjo, B. Waskito, dan H. Nur-hayati, 2003. Studi serapan, pasokan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia. Laporan Teknis Penelitian Bagian Proyek Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 61 hal.

Kemala, S., O. Rostiana, M. Rizal, M. Rahardjo, S. Yuliani, dan Sugiharto, 2005. Prospek dan Arah Pengem-bangan Agribisnis Tanaman Obat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 42 hal.

Partohardjono, S., 2002. Penelitian dan pengembangan tanaman pangan da-lam kaitannya sistem pertanian orga-nik. Prosiding Seminar Nasioanal dan Pameran Pertanian Organik, Jakarta, 2 – 3 Juli 2002, hal. 99 - 108.

Prana, M.S., 1985. Beberapa aspek bio-logi temulawak (Curcuma

xanthor-rhiza Roxb.). Prosiding Simposium

Nasional Temulawak. Bandung 17 – 18 September 1985, hal. 42 – 48. Pribadi, E.R., M. Januwati, dan M.

Yusron. 2003. Peningkatan penda-patan usahatani temulawak

(13)

tegakan hutan rakyat melalui peng-gunaan pupuk Bio. Jurnal Ilmiah Gakuryoku. Vol. XI. No.1. hal: 7 – 10.

Shaner, W.W., P.F. Philipp, and W.R. Schmehl, 1982. Farming System Re-serach and Development : gudelines for developing countries. Boulder, Westview. 414 hal

Sidik, M.W. Mulyono, A. Muhtadi, 1997. Temulawak, Curcuma xanthorrhiza (Roxb). Seri Pustaka Pengembangan dan Pemanfaatan Tanaman Obat Alam. hal 1 - 105

Sudiarto dan Gusmaini, 2004. Peman-faatan bahan organik in situ untuk efisiensi budidaya jahe yang ber-kelanjutan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 23. No. 2. hal. 37 - 45.

Suksamrarn, A., S. Eiamong, P. Piya-chaturawat and J. Charoenpiboonsin, 1994. Phenolic Diarylheptanoids from Curcuma xanthorrhiza. Phyto-chemistry, 36 (6) : pp. 1505 – 1508.

Gambar

Tabel 1. Kandungan hara  pupuk kandang dan bokashi
Tabel  3.  Produksi  rimpang,  simplisia  dan  ekstrak  budidaya  organik  dan  konvensional pada 3 nomor harapan temulawak di IP
Table  4.  Cost  of  production,  net  income  and  floor  price  of  Java  turmeric  in  organic  and  conventional  cultivation  of    3  genotyes  Java  turmeric    in  Sukamulya Research Station per 1,000 m 2

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memperoleh data secara obyektif tentang seberapa besar fungsi perencanaan dalam upaya peningkatan pelayanan di Kantor Uptd Penerangan Jalan Umum

Atas kehendak-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ ANALISIS POTENSI ENERGI LIMBAH PADAT AREN DENGAN VARIASI PEREKAT DAN UKURAN PARTIKEL REFUSE

Analisis Pendapatan & Biaya Pemeliharan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Menganalisis kondisi pemeliharaan dilihat dari aspek pendapatan yang diterima beserta aspek

Penghitungan total harga makanan pada restoran sushi tersebut dilakukan oleh pelayan dengan melihat warna piring dan menghitung jumlah piring ya ng diambil oleh

Pemanfaatan Tulang Ikan Nila ( Oreochromis niloticus ) sebagai Pengganti Gelatin dan Karakteristik Sifat Fisika Kimianya.. Di bawah bimbingan WIRANTI SRI RAHAYU dan

Isolated of Endophytic bacteria from red betel root, produced a supernatant to test the inhibitory effect on 4 test bacteria that are pathogenic, Two (2)

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola pengembangan paragraf dan kelengkapan unsur-unsur paragraf dalam karangan deskripsi tempat yang digunakan Siswa Kelas X Semester

Sejarah dan Perkembangan Transportasi Udara di Indonesia Sebagaimana transportasi pada umumnya, transportasi udara mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai unsur penunjang