• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGEMBANGKAN PENALARAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP FUNGSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGEMBANGKAN PENALARAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONSEP FUNGSI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MENGEMBANGKAN PENALARAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN

KONSEP FUNGSI

Ulumul Umah1

1Universitas Pesantren Tinggi Darul „Ulum 1

ulumul.umah@mipa.unipdu.ac.id

Abstrak: Thompson (1994) menginformasikan bahwa ide himpunan pasangan terurut dari fungsi digunakan sebagai definisi “resmi” sejak tahun 1930an karena terbukti dapat menyelesaikan banyak masalah yang diperkenalkan oleh para ahli matematika. Namun definisi teoritis himpunan ini mendapat banyak kritik dalam landasan pedagogik, karena definisi ini tidak bermakna bagi siswa yang menerima fungsi sebagai suatu ide baru. Menurut kajian Tall (1997), definisi teoritis himpunan terbukti sukses dalam formulasi sistematis matematika, namun kurang sukses ketika diadopsi untuk tujuan pembelajaran dalam Kurikulum sekolah “New Mathematics” tahun 1960an. Confrey & Smith (1995) menyatakan bahwa pendekatan korespondensi dalam konsep fungsi berdasarkan pada definisi yang abstrak dan agak sempit serta lebih menekankan pada aturan secara eksplisit. Koklu (2007) mengungkapkan kecenderungan prosedural siswa yang terlalu kuat menghambat penalaran dan interpretasi yang bermakna tentang perubahan dalam situasi fungsi. Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman belajar yang perlu dialami oleh siswa untuk mengembangkan kemampuan bernalar ketika mulai menerima konsep fungsi. Hasil kajian menunjukkan bahwa siswa perlu memperoleh pengalaman pada aspek kovariasi, disamping aturan secara aljabar. Untuk memperoleh pemahaman tentang konsep fungsi dalam aspek kovariasi, guru perlu membiasakan siswa menghadapi masalah yang berkaitan dengan laju perubahan dan merepresentasikannya ke dalam grafik, berpindah antar representasi fungsi, serta dapat memanfaatkan komputer sebagai alat bantu alternatif.

Kata Kunci: Penalaran, Fungsi, Kovariasi

Konsep fungsi merupakan prasyarat bagi penguasaan konsep-konsep kalkulus. Meskipun konsep fungsi penting, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsep ini masih sulit dikuasai oleh siswa. Kesalahan yang dialami siswa antara lain siswa tidak dapat mengenali representasi dari fungsi yang tidak familiar bagi mereka, dan sebaliknya seringkali menganggap suatu representasi yang familiar sebagai fungsi (Vinner dalam Tall (1997); Markovits dkk dalam Tall (1997); Barnes dalam Tall (1997); Thompson: 1994; Dogan-Dunlap (2007)). Sebagai contoh, siswa tidak menganggap y = 4 sebagai fungsi kerena tidak tergantung pada x, tetapi adalah fungsi karena familiar (Barnes dalam Tall (1997)). Carlson (2002) juga menemukan kasus mahasiswa yang kesulitan mengoordinasi nilai-nilai pada variabel. Kesalahan pemahaman tentang fungsi pada umumnya disebabkan oleh pengalaman yang diperoleh siswa terbatas pada pengetahuan prosedural.

Konsep fungsi dapat dipahami dari beberapa pandangan yang berbeda. Pandangan terhadap konsep fungsi dapat dipengaruhi oleh pendekatan yang berbeda dalam pembelajaran fungsi, yang terkait erat dengan sejarah perkembangannya. Thompson & Carlson (2016) memaparkan kembali empat era perkembangan konsepsi matematikawan terhadap fungsi yang diidentifikasi oleh Boyer (1946) yaitu era proporsi, persamaan, dan fungsi, dengan era fungsi yang terbagi menjadi dua era. Era proporsi ditandai dengan awal munculnya perhatian terhadap perubahan, tetapi hubungan antar kuantitas direpresentasikan secara geometris, generalisasi diperoleh dengan similaritas. Namun, karena representasi bersifat geometris, perubahan tidak dapat direpresentasikan secara eksplisit, sehingga suatu hubungan nampak statis. Era persamaan ditandai dengan penggunaan persamaan untuk menyatakan variasi yang dipersempit dengan nilai kuantitas. Era ke-tiga yaitu era fungsi ditandai dengan representasi eksplisit dari hubungan antar nilai-nilai dari dua kuantitas sehingga nilai suatu kuantitas ditentukan oleh nilai kuantitas

(2)

yang lain. Nilai variabel bervariasi secara kontinu dan hubungan yang didefinisikan dengan rumus atau grafik. Notasi fungsi muncul selama era ke-tiga.

Era ke-empat, diprakarsai oleh Dirichlet dan berlanjut hingga hari ini, ditandai oleh nilai-nilai dari satu variabel ditentukan secara tunggal oleh nilai variabel lain dengan “aturan yang tepat dari korespondensi antara x dan y yang dapat dinayatakan secara jelas”. Definisi matematis tentang fungsi saat ini mengikuti definisi Dirichlet, tetapi dinyatakan dalam istilah produk Cartesian dan pasangan terurut. Tall (1997) menyatakan bahwa pada abad ke-20 ide visual grafik menjadi dianggap sebagai suatu himpunan pasangan terurut {

} Ide tentang himpunan pasangan berurut memberikan

kemungkinan definisi teoritis-himpunan yaitu fungsi berupa sebarang himpunan G dari pasangan terurut

{ } hanya dengan kondisi bahwa untuk

setiap ada suatu sehingga dan y ini tunggal (jika

maka

).

Perkembangan konsep fungsi berlangsung bukan tanpa kesulitan konseptual dan tantangan kognitif (Tall, 1997). Perkembangan konsep fungsi tersebut memunculkan dua pendekatan dalam membelajarkan fungsi, yaitu pendekatan korespondensi dan kovariasi. Pendekatan korespondensi berdasarkan pada definisi teoritis himpunan. Sedangkan pendekatan kovariasi merujuk pada kemampuan untuk membentuk gambaran dua kuantitas yang bervariasi dan mengoordinasi perubahannya dalam relasi satu sama lain. Pendekatan kovariasi lebih menekankan ekspresi “hubungan” antara dua kuantitas terstruktur yang dapat diekspresikan secara aljabar, secara visual dalam grafik, atau dalam situasi dunia nyata.

Pendekatan korespondensi dalam membelajarkan konsep fungsi bagi siswa sekolah mendapat banyak kritik dari aspek landasan pedagogis. Tall (1997) menyatakan bahwa meskipun definisi teoritis himpunan terbukti sukses dalam formulasi sistematis matematika, namun hal itu kurang sukses ketika diadopsi untuk tujuan pembelajaran dalam Kurikulum “New Mathematics” tahun 1960an. Meskipun siswa dapat menyebutkan domain, range, dan himpunan pasangan terurut, namun pengalaman yang mereka peroleh hanya berupa rumus seperti

atau

. Confrey & Smith (1995) menyatakan bahwa pendekatan

korespondensi berdasarkan pada definisi fungsi yang abstrak dan agak sempit dan lebih banyak menekankan pada aturan secara eksplisit (biasanya secara aljabar). Penekanan pada pendekatan korespondensi dapat menyebabkan siswa lebih berfokus pada aturan dan rumus untuk mendeskripsikan bagaimana memperoleh nilai output dari nilai input yang diketahui karena siswa lebih banyak diberi sajian notasi, manipulasi, dan rumus fungsi.

Banyak peneliti yang mengkaji perlunya aspek kovariasi dalam pembelajaran fungsi, antara lain Confrey & Smith (1994), Saldanha & Thompson (1998), Carlson dkk (2002), Carlson & Thompson (2005), Subanji (2006), Koklu (2007), Castillo-Garsow (2010), Moore dkk (2013), Johnson (2012). Aspek kovariasi dapat memberikan pengalaman tentang penalaran, bukan hanya terbatas pada aturan prosedural. Di sisi lain, Thompson (1994) mengungkapkan bahwa kita dapat menunjuk pada banyak kejadian natural yang tidak dapat dinyatakan secara analitis atau dibayangkan sebagai hasil kovariasi tetapi kita masih akan menyebutnya sebagai fungsi (misalnya nama orang dengan nomor pribadi dalam relasi database), sehingga pemahaman non-korespondensi dari fungsi masih terlalu terbatas pada hubungan yang disebut hubungan fungsional. Young dkk dalam Thompson & Carlson (2016) memberikan pengertian bahwa berpikir tentang nilai yang bervariasi tidak produktif untuk berpikir tentang struktur matematis seperti grup, ring, gelanggang, graf (dalam teori graf), dll.

Thompson (1994) berpendapat bahwa fungsi sebagai kovariasi merupakan salah satu “ide intuitif lama” yang wajar jika jejaknya masih muncul dalam budaya matematis. Thompson & Carlson (2016) mengungkapkan bahwa ide tentang variasi dan kovariasi dalam nilai-nilai

(3)

variabel tidak lagi cocok dengan definisi matematis fungsi saat ini. Namun Thompson & Carlson (2016) juga menambahkan bahwa ketika makna korespondensi dalam fungsi mampu menyelesaikan masalah yang muncul bagi matematikawan, mengenalkannya dalam matematika sekolah membuatnya agak tidak mungkin bagi siswa sekolah untuk melihat “kebutuhan intelektual” (merujuk pada istilah Harel (2013). Sejalan dengan pemikiran Thompson (1994) serta Thompson & Carlson (2016), perkembangan konsep fungsi merupakan wujud upaya dalam mencapai teori matematis yang lebih baik. Namun di sisi lain, perkembangan ini juga diiringi oleh berbagai kendala dalam pembelajarannya. Suatu definisi dapat dianggap ampuh bagi seorang matematikawan, tetapi tidak selalu bermakna bagi siswa sebagai individu pemula. Sebaliknya, pandangan yang lebih bermakna bagi siswa kadang tidak lagi cocok bagi teori modern. Oleh karena itu, daripada membandingkan pandangan mana yang lebih baik, pendidik perlu mengambil suatu sikap yang bijak dengan menggunakan “kesepakatan” matematis yang berlaku, namun tetap memperhatikan aspek koginif siswa. Menanggapi kebutuhan dalam aspek pembelajaran, Thompson (1994) menyarankan kurikulum pada K-14 yang memberikan perhatian terhadap aspek kovariasi dari fungsi, dan kemudian memperkenalkan fungsi sebagai korespondensi seiring munculnya kebutuhan.

Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan pengalaman belajar yang perlu dialami oleh siswa untuk mengembangkan penalaran pada konsep fungsi berdasarkan kajian teoritis. Hasil kajian diharapkan dapat mendukung dan memperkaya gagasan tentang pembelajaran matematika yang bermakna. Hasil kajian juga diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan kajian untuk melakukan penelitian terkait dengan pembelajaran matematika, khususnya pada topik fungsi.

MEMBANGUN KONSEP FUNGSI DENGAN PENALARAN Pemahaman Terhadap Konsep Fungsi

Breidenbach dkk (1992) mengategorikan konsep fungsi siswa sebagai prafungsi, aksi, proses, dan objek. Seseorang yang berpikir prafungsi tidak benar-benar banyak menunjukkan konsep fungsi. Sebagai contoh respon prafungsi yaitu fungsi adalah “persamaan matematika dengan variabel” atau “pernyataan matematika yang menyatakan sesuatu”. Sedangkan pandangan aksi berupa manipulasi fisik atau mental dari objek yang dapat berulang. Konsep fungsi berdasarkan pandangan aksi contohnya meliputi kemampuan mensubstitusikan bilangan ke dalam ekspresi aljabar dan menghitung. Konsep fungsi berdasarkan pandangan aksi merupakan konsep statis dimana seseorang cenderung berpikir satu langkah dalam suatu waktu (seperti hanya mengevaluasi suatu rumus). Seseorang yang memiliki pandangan terhadap fungsi terbatas pada pandangan aksi mungkin akan mampu mengomposisikan dua fungsi yang didefinisikan oleh bentuk aljabar dengan mengganti setiap variabel dalam satu bentuk dengan bentuk yang lain dan kemudian menyederhanakannya, tetapi ia mungkin akan kesulitan mengomposisikan dua fungsi yang didefinisikan dengan tabel atau gambar.

Konsep fungsi dengan pandangan proses melibatkan transformasi dinamis dari objek berdasarkan beberapa cara yang dapat berulang, yaitu objek asal yang sama akan selalu menghasilkan objek hasil transformasi yang sama. Seseorang dapat berpikir tentang transformasi tersebut sebagai suatu aktivitas tuntas yang dimulai dengan objek dari beberapa jenis, melakukan sesuatu dengan objek-objek tersebut, dan memperoleh objek baru sebagai hasil dari apa yang telah dilakukan. Ketika objek memiliki konsep proses, seseorang dapat mengombinasikannya dengan proses lain, atau melakukan proses kebalikannya. Gagasan fungsi 1-1 atau onto menjadi lebih mudah dicapai oleh siswa dengan konsep proses yang kuat. Dalam pandangan aksi, grafik fungsi adalah suatu gambar geometris, sedangkan dalam pandangan proses, grafik fungsi mendefinisikan pemetaan tertentu dari himpunan nilai input ke himpunan nilai output (Oehrtman dkk: 2008). Siswa yang pemahamannya terbatas pada pandangan aksi

(4)

mengalami banyak kesulitan dalam konsep fungsi. Sebagai contoh, ketidakmampuan untuk menafsirkan fungsi secara lebih luas daripada perhitungan yang dihasilkan dari rumus tertentu. Penalaran tentang perubahan secara dinamis menjadi sulit karena membutuhkan kemampuan untuk melakukan koordinasi pada pasangan nilai input-output secara simultan. Oleh karena itu, pandangan proses terhadap fungsi sangat penting untuk memahami konsep-konsep utama pada kalkulus (Breidenbach et al., 1992; Monk, 1987; Thompson, 1994a).

Ketika siswa mencapai derajat kesadaran yang tinggi dari suatu proses dalam totalitasnya, proses ini dapat dikapsulkan untuk memperoleh suatu konsep objek. Breidenbach dkk (1992) menegaskan kembali bahwa konsep proses tidak muncul secara spontan dari diri seseorang. Pecapaian konsep proses dari fungsi bukan suatu pencapaian yang mudah bagi siswa (Thompson: 1994). Jalur-jalur yang dialami siswa untuk mencapai konsep fungsi sebagai objek begitu panjang dan kompleks. Thompson (1994) menyatakan bahwa satu tanda konsep objek fungsi dari siswa adalah kemampuannya untuk bernalar tentang operasi pada himpunan-himpunan dari fungsi.

Berdasarkan kajian para peneliti sebelumnya, Carlson (1998) menyebutkan aspek-aspek pemahaman konsep fungsi yaitu kemampuan siswa untuk:

 mengarakterisasi hubungan fungsional “dunia nyata” menggunakan notasi fungsi,  mengoperasikan dengan tipe representasi fungsi tertentu seperti rumus, tabel, dan grafik,  berpindah antar representasi berbeda dari fungsi yang sama,

 merepresentasikan dan meginterpretasikan aspek kovariasi dari situasi fungsi

 menginterpretasikan informasi fungsional statis dan dinamis (yaitu menginterpretasikan grafik yang merepresentasikan posisi dan laju perubahan)

 menginterpretasikan dan mendeskripsikan sifat-sifat lokal dan global fungsi: kemiringan, kekontinuan, dan diferensiasi,

 mengonstruk fungsi menggunakan rumus dan fungsi lain,  mengenali fungsi, non-fungsi dan tipe-tipe fungsi,

 mengonseptualkan fungsi sebagai suatu proses maupun objek,  menginterpretasikan dan memahami bahasa fungsi,

 mengarakterisasi hubungan antara suatu fungsi dan persamaan. Penalaran Dalam Memahami Konsep Fungsi

Penalaran kovariasional muncul sebagai teori berdasarkan kerja Jere Confrey dan berdasarkan kerja Patrick Thompson di akhir tahun 1980an dan awal 1990an. Perbedaan antara dua titik awal ini yaitu Confrey berfokus pada nilai variabel berturut-turut, sedangkan Thompson berfokus pada pengukuran sifat-sifat objek. Meskipun demikian, keduanya mendeskripsikan koordinasi sebagai fondasi untuk penalaran tentang hubungan fungsi dinamis. Confrey mengarakterisasi kovariasi sebagai koordinasi nilai-nilai dua variabel sebagaimana nilai variabel tersebut berubah. Confrey & Smith (1994) menggunakan pendekatan diskrit yang berfokus pada perubahan antara nilai-nilai berturut-turut dari dua variabel. Confrey & Smith (1994) mengidentifikasi dua tipe perubahan konstan yaitu perubahan multiplikatif dan perubahan aditif, dan yang mereka sebut penalaran tentang kovariasi yaitu proses mengoordinasikan tipe-tipe perubahan ini secara iteratif.

(5)

Gambar 1. Contoh Kovariasi Confrey: Perubahan Nilai pada Satu Variabel Dikoordinasikan Dengan Perubahan Pada Variabel Lain (Thompson & Carlson, 2016)

Berdasarkan definisi oleh Confrey & Smith (1994), penalaran kovariasional meliputi memperhatikan bilangan dalam tabel, tetapi tidak memperhatikan apa yang terjadi di antara entri-entri dalam tabel. Mereka tidak memberikan gambaran rinci tentang apa yang terjadi antara nilai berturut-turut pada tabel tersebut sehingga siswa tidak perlu melihat nilai-nilai berpasangan yang kontinu. Sebagai respon terhadap Confrey & Smith (1994), Saldanha & Thompson (1998) mendeskripsikan penalaran yang bertumpu pada pengukuran sifat-sifat objek dan perubahan simultan yang dibedakan dari perubahan berturut-turut. Thompson (1988) mendeskripsikan sasaran kognitif penalaran kuantitatif, yaitu penalaran tentang kuantitas, besarnya kuantitas, dan hubungannya dengan kuantitas yang lain.

Carlson dkk (2002) mendefinisikan penalaran kovariasional sebagai aktivitas kognitif yang melibatkan koordinasi dua macam kuantitas yang berkaitan dengan cara-cara dua kuantitas tersebut berubah satu terhadap yang lain. Penalaran kovariasi memperkenankan siswa mengekstrak pola yang bertambah rumit dalam menghubungkan

dan

dari tabel nilai

dengan cara pikir yang mungkin digunakan siswa untuk memahami apa yang terjadi di antara nilai-nilai tersebut. Carlson dkk (2002) menyajikan suatu kerangka kerja kovariasi yang mendeskripsikan lima level kemampuan penalaran kovariasional dan lima aksi mental yang mencirikan level-level tersebut.

Castillo-Gasrow (2013) membedakan cara berpikir tentang bagaimana suatu kuantitas bervariasi secara kontinu, yaitu “chunky” dan “smooth”. Cara berpikir chunky yaitu siswa berpikir bahwa nilai-nilai bervariasi secara diskrit. Sedangkan cara berkipir smooth yaitu bernalar tentang kovariasi dalam istilah perubahan yang terus berlangsung. Thompson & Carlson (2016) kemudian merevisi kerangka kerja kovariasional Carlson dkk (2002) dan merumuskan kerangka kerja penalaran kovariasional ke dalam 6 level yang disajikan pada Tabel 1.

Thompson & Carlson (2016) menekankan bahwa penalaran kovariational kontinu, atau penalaran tentang nilai-nilai dari dua atau lebih kuantitas yang bervariasi secara simultan, memainkan peran penting dalam penemuan matematikawan pada konsep yang mengarah ke definisi modern fungsi. Ide-ide variasi dan kovariasi kontinu secara epistemologis diperlukan bagi siswa dan guru untuk mengembangkan konsep yang berguna dan kuat tentang fungsi. Dengan kata lain, Thompson & Carlson (2016) berpendapat bahwa penalaran tentang variasi dan kovariasi berperan dalam perkembangan matematis siswa.

(6)

Tabel 1. Level Mayor Penalaran Kovariasional

Level Deskripsi

Kovariasi

Kontinu Smooth

Seseorang membayangkan peningkatan atau penurunan (perubahan) dalam satu kuantitas atau nilai variabel terjadi secara simultan dengan perubahan nilai variabel lain, dan ia membayangkan kedua variabel bervariasi secara kontinu dan mulus.

Kovariasi

Kontinu Chunky

Seseorang membayangkan perubahan nilai satu variabel terjadi secara simultan dengan perubahan nilai variabel lain, dan ia membayangkan kedua

variabel bervariasi dengan variasi kontinu chunky.

Koordinasi Nilai Seseorang mengoordinasikan nilai dari satu variabel (x) dengan nilai-nilai

variabel lain (y) dengan antisipasi menciptakan koleksi pasangan diskrit (x,

y). Koordinasi Nilai Kasar

Seseorang membentuk gambaran kasar mengenai nilai kuantitas yang

bervariasi bersama-sama, seperti "kuantitas ini meningkat sementara kuantitas yang lain berkurang". Ia tidak membayangkan bahwa nilai-nilai individu dalam kuantitas berjalan beriringan

Pra Koordinasi Nilai

Seseorang membayangkan dua nilai variabel bervariasi, tetapi tidak secara sinkron

Tanpa Koordinasi

Seseorang tidak memiliki gambaran tentang variabel yang bervariasi bersama-sama. Ia berfokus pada variasi dari satu variabel atau variabel lainnya tanpa koordinasi nilai.

Penerapan dalam Pembelajaran

Untuk memperoleh pemahaman yang kuat terhadap konsep fungsi, maka saat pengenalan kepada konsep fungsi menjadi fase yang kritis bagi siswa. Pada fase ini siswa perlu memperoleh pengalaman-pengalaman belajar yang bermakna dan kaya secara kognitif. Pengalaman belajar yang diharapkan tidak hanya terbatas pada pengalaman prosedural tetapi juga berdasarkan penalaran yang kuat. Uraian berikut memberikan gambaran umum tentang ide-ide yang dapat dikembangkan di kelas saat awal pengenalan konsep fungsi.

Bekerja dengan Masalah Kejadian Dinamis

Beberapa penelitian tentang penalaran kovariational dalam konteks konsep fungsi menunjukkan bahwa penalaran kovariasional dapat dikembangkan oleh pemodelan peristiwa dinamis (Carlson et al., 2002; Johnson, 2012; Oehrtman dkk, 2008; Saldanha & Thompson, 1998). Secara keseluruhan, para peneliti ini menunjukkan peran fundamental penalaran kovariational bersama dengan penalaran kuantitatif dalam proses belajar dari gagasan fungsi dari perspektif yang dinamis. Mereka merekomendasikan pembelajaran bagi siswa sekolah dengan fokus yang lebih besar pada pemahaman ide-ide kovariasi dan berbagai representasi fungsi.

Pergeseran dari pendekatan kovariasi ke korespondensi dapat menjadi hal yang sulit bagi siswa, namun menurut Ellis (2011), bekerja secara langsung dengan kuantitas dapat membantu siswa mengembangkan pemahaman yang lebih fleksibel tentang fungsi. Dengan demikian siswa perlu bekerja dengan masalah yang berkaitan dengan kejadian dinamis yang melibatkan koordinasi kuantitas. Banyak kejadian dinamis yang dapat dijadikan rujukan untuk mengamati perubahan, seperti masalah perubahan waktu dan temperatur, perubahan waktu dan jarak, dan lain-lain. Dalam menyajikan masalah yang terkait dengan kejadian dinamis, Ellis (2011) menyarankan agar siswa bekerja dengan kuantitas yang dapat mereka akses dalam memulai penyelidikan aljabar terhadap fungsi dari perspektif ganda, serta mendukung kemampuan mereka untuk dapat bergeser di antara perspektif yang berbeda. Contoh masalah yang disajikan yaitu sebagai berikut.

(7)

Suatu roda gigi dengan 8 gigi dan roda gigi dengan 12 gigi diputar bersama. Siswa diminta untuk mengidentifikasi cara untuk melacak secara simultan rotasi kedua roda gigi. (Ellis, 2011)

Sebagai respon dari masalah di atas, siswa memperoleh kesempatan untuk mengeksplorasi kejadian kemudian merepresentasikan koordinasi nilai-nilai dengan tabel. Gambar 2. menampilkan contoh tabel yang dihasilkan siswa berdasarkan pengamatan pada kejadian putaran roda gigi.

Gambar 2. Tabel Putaran Roda Gigi (Ellis, 2011)

Salah satu aspek dalam pemahaman fungsi yaitu berpindah antar representasi fungsi. Berdasarkan suatu kejadian dinamis, siswa diminta untuk membuat koordinasi nilai-nilai yang sesuai antar variabel. Setelah siswa mampu memperoleh pemahaman yang bermakna tentang koordinasi kuantitas, selanjutnya siswa diminta untuk merepresentasikan hubungan kuantitatif tersebut dengan grafik. Dalam mengonstruk grafik, kadang akan ditemui kendala yang biasa dialami oleh siswa yaitu kesulitan dam membedakan antara atribut visual dari situasi fisik dan atribut visual dari grafik. Gambar 3 berikut menunjukkan ketika seorang siswa kelas 8 diminta untuk membuat grafik yang menyatakan hubungan antara jarak dua orang dan waktu ketika dua orang tersebut berjalan dari dua sudut ruangan yang berlawanan hingga berpapasan. Kejadian ketika kedua orang berpapasan diasumsikan oleh subjek dengan posisi berada di tengah ruangan. Oleh karena itu, ketika jarak kedua orang adalah nol, siswa menyatakan label sumbu dalam posisi yang serupa dengan jalur yang dilalui kedua orang dalam ruangan.

Gambar 3. Kerancuan antara atribut visual dari situasi fisik dan atribut visual dari grafik (Umah, 2014)

Kesalahan siswa dalam menyajikan hubungan dalam grafik dapat terkait dengan level perkembangan kognitif siswa. Dalam hal ini, guru memiliki peran dalam memberikan bantuan yang diperlukan siswa.

Menyatakan fungsi dalam grafik juga merupakan aspek dalam pemahaman fungsi dan oleh karena itu generalisasi hubungan ke dalam rumus juga merupakan pengalaman yang harus

(8)

dilalui siswa. Terkait dengan definisi fungsi dalam rumus, Thompson (2013) mengingatkan bahwa kita sering menggunakan frasa “nama aturan” dan “nama fungsi” secara bergantian.

Gambar 4. Bagian dari Definisi Fungsi (Thompson, 2013)

Penting untuk memperhatikan bahwa definisi V pada Gambar 4. tidak berarti bahwa dua bilangan yang sama, yaitu bilangan yang direpresentasikan oleh V(u) sema dengan bilangan yang direpresentasikan oleh u(13.76 − 2u)(16.42 − 2u). Namun, penggunaan tanda “=” berarti “didefinisikan sebagai”.

Penerapan Teknologi

Penerapan teknologi dengan komputer dan software dapat menjadi alternatif bagi guru untuk mendukung kegiatan eksplorasi siswa untuk mengoordinasikan hubungan ketergantungan dan menyelidiki aspek kovariasi. Alat komputer dapat membantu siswa mengeksplorasi aksi dan representasi matematis dan kemudian melakukan penalaran (Falcade dkk., 2007). Secara umum, alat komputer mampu secara dinamis dan fleksibel dapat digunakan untuk mengeksplorasi representasi fungsi yang berbeda seperti tabel, grafik, dan rumus. Doorman dkk. (2012) mendesain pengaturan pembelajaran dengan mengintegrasikan alat komputer. Kegiatan dengan alat komputer menawarkan kesempatan bagi siswa untuk mencapai tujuan matematis baru yang berhubungan dengan kovariasi dan fungsi sebagai objek matematika. Doorman dkk. (2012) menawarkan pemodelan yang menunjukkan pergeseran dari sub-model yang menunjukkan perhitungan input-output berulang ke model untuk penalaran tentang hubungan-ketergantungan, kovariasi, dan sifat fungsi. Dalam hal ini Doorman dkk. menggunakan applet komputer yang disebut AlgebraArrows seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 berikut.

(9)

Penggunaan alat komputer mungkin dapat menimbulkan masalah jika tidak ada keselarasan dengan teknik kertas-pensil (Drijvers dkk dalam Doorman dkk (2012). Wawasan ini membantu kita untuk menghindari siswa melaksanakan tugas-tugas melalui komputer dengan memuaskan tanpa penguasaan konsep-konsep matematika yang mendasari dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika tanpa menggunakan alat. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan dalam pembelajaran dengan memasukkan kegiatan berbasis kertas-pensil sebelum melakukan praktik dengan alat komputer.

Pengaturan pembelajaran dengan mengintegrasikan penggunaan alat komputer dapat dirancang oleh guru sesuai dengan kebutuhan. Namun yang harus diperhatikan oleh pendesain pembelajaran yaitu bagaimana peran alat komputer tersebut berlaku sesuai dengan porsinya. Penggunaan komputer dalam pembelajaran dapat dilakukan untuk mendukung aktivitas siswa untuk melakukan penalaran, tidak untuk membuat siswa mengalami ketergantungan pada alat. PENUTUP

Sebagai upaya untuk mengembangkan penalaran siswa dalam pembelajaran konsep fungsi, siswa perlu memperoleh pengalaman yang kaya pada aspek kovariasi. Meskipun ide tentang kovariasi tidak lagi cocok dengan definisi modern tentang fungsi, namun siswa perlu berpikir tentang kovariasi sebagai landasan untuk menuju definisi formal fungsi. Penalaran kovariasional menjadi kebutuhan bagi siswa untuk berkembang dari pandangan aksi ke pandangan proses terhadap fungsi. Untuk mendukung penalaran kovariasional, siswa perlu diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai kejadian dinamis dan kemudian merepresentasikannya dalam representasi fungsi yang berbeda. Penggunaan teknologi melalui komputer dan software dalam porsi yang tepat dapat menjadi alternatif dalam membantu siswa mengamati pola perubahan nilai-nilai variabel.

DAFTAR RUJUKAN

Breidenbach, D., Dubinsky, E., Hawks, J., & Nichols, D. 1992. Development of The Process Conception of Function. Educational Studies in Mathematics, 23: 247-285.

Carlson, M. 1998. A Cross-sectional Investigation of The Development of The Function Concept. Dalam E. Dubinsky, A. H. Schoenfeld, & J. J. Kaput (Eds). Research in Collegiate Mathematics Education. 1 (7): 115-162.

Carlson, M., Jacobs, S., Coe, E., Larsen, S., Hsu, E. 2002. Applying Covariational Reasoning While Modeling Dynamic Events: A Framework and a Study. Journal for Research in Mathematics Education. 33(5): 352 – 378.

Castillo-Garsow, C. C. 2010. Teaching the Verhulst Model: a Teaching Experiment in Covariational Reasoning and Exponential Growth. Disertasi tidak diterbitkan. USA: Arizona State University.

Confrey, J., & Harel, G. 1994. The Development of Multiplicative Reasoning in Learning Mathematics. New York: State University of New York Press.

Doorman, M., Drijvers, P., Gravemeijer, K., Boon, P., & Reed, H. 2012. Tool Use and The Development of The Function Concept: From Repeated Calculations to Functional Thinking,International Journal of Science and Mathematics Education (2012) 10: 1243-1267

Ellis, A. B. 2011. Algebra in the Middle School: Developing Functional Relationships Through Quantitative Reasoning. Dalam J. Cai, E. Knuth (eds.), Early Algebraization, Advances in Mathematics Education. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Johnson, H. L. 2012. Reasoning About Variation in The Intensity of Change in Covarying Quantities Involved in Rate of Change. The Journal of Mathematical Behavior, 31(3), 313–330.

(10)

Koklu, O. 2007. An Investigation of College Students’ Covariational Reasonings. USA: Florida State University (Ph.D. Dissertation).

Moore, K. C., Paoletti, T., Gammaro, J., Musgrave, S. 2013. Covariational Reasoning and Invariance Among Coordinate Systems. The Journal of Mathematical Behavior. 2013 (32): 461– 473.

Oehrtman, M. C., Carlson, M. P., & Thompson, P. W. 2008. Foundational Reasoning Abilities that Promote Coherence in Students' Understandings of Function. Dalam M. P. Carlson & C. Rasmussen (Eds.), Making the Connection: Research and Practice in

Undergraduate Mathematics (27- 42). Washington, DC: Mathematical Association of America.

Saldanha, L., & Thompson, P. W. 1998. Re-thinking Co-variation from a Quantitative Perspective: Simultaneous Continuous Variation. Dalam S. B. Berensah & W. N. Coulombe (Eds.), Proceedings of the Annual Meeting of the Psychology of

Mathematics Education - North America. Raleigh, NC: North Carolina State University. Subanji. 2006. Berpikir Pseudo Penalaran Kovariasi dalam Mengkonstruksi Grafik Fungsi

Kejadian Dinamik: Sebuah Analisis Berdasarkan Kerangka Kerja VL2P dan

Implikasinya pada Pembelajaran Matematika. Jurnal Ilmu Pendidikan. 13 (1): 1 – 8. Tall, D. 1997. Function and Calculus: Dalam A. J. Bishop dkk (Eds.), International Handbook

of Mathematics Education, 289-325, Dordrecht: Kluwer

Thompson, P. W.1994. Students, Functions, and The Undergraduate Curriculum. Dalam E. Dubinsky, A. H. Schoenfeld, & J. Kaput (Eds.), Research in Collegiate Mathematics Education. I. CBMS Issues in Mathematics Education (21-44). Providence, RI: American Mathematical Society.

Thompson, P. W. 2013. Why Use f(x) When All We Really Mean is y?. Makalah disajikan dalam Arizona Association of Mathematics Teachers annual meeting, Tempe, AZ, 21

September

Thompson, P. W. & Carlson, M. 2016. Variation, Covariation, and Functions: Foundational Ways of Thinking Mathematically. Dalam Cai, J. (Ed.), Compendium for Research in Mathematics Education. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Umah, U. 2014. Penalaran Kovariasional Siswa Kelas VIIIB MTs Negeri Kediri 1 dalam

Mengkonstruk Grafik Fungsi. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Gambar

Gambar 1. Contoh Kovariasi Confrey:  Perubahan Nilai pada Satu Variabel Dikoordinasikan  Dengan Perubahan Pada Variabel Lain  ( Thompson & Carlson , 2016)
Tabel 1. Level Mayor Penalaran Kovariasional
Gambar 2. Tabel Putaran Roda Gigi (Ellis, 2011)
Gambar 4. AlgebraArrows

Referensi

Dokumen terkait

Interkasi profesional yang lain adalah pengembangan akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit dengan indicator pemenuhan standar pelayanan yang ditetapkan

Setelah mengikuti mata kuliah Nirmana ini, mahasiswa akan dapat membuat disain dan mempresentasikannya ke dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi baik secara konsep tual

Dalam hal BPKel yang telah diberikan SK dan TDK oleh BPK tetapi dalam waktu 6 (enam) bulan ternyata anggota berkurang, maka ketua BPK wajib memberikan perintah

Dalam konteks komunikasi antarmanusia dengan konsep sibernetik, Dalam konteks komunikasi antarmanusia dengan konsep sibernetik, komunikasi sebagai suatu proses yang

• Gerbang logika dapat mempunyai beberapa masukan yang masing-masing mempunyai salah satu dari dua keadaan logika, yaitu 0 atau 1.. • Gerbang-gerbang logika

Tim peneliti melakukan refleksi terhadap pelaksanaan siklus kedua dan menganalisis untuk membuat kesimpulan atas pelaksanaan pembelajaran dengan metode belajar kelompok

Tujuan artikel ini adalah untuk mengekplorasi hubungan antara power, leadership dan innovative behavior pada implementasi innovative marketing dengan mengkaji

Deflasi ini terjadi terutama karena adanya turunnya harga yang mengakibatkan turunnya indeks pada kelompok bahan makanan 1.54 persen dan kelompok transportasi, komunikasi