BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK).
Penderita GGK semakin meningkat jumlahnya, di Amerika pada tahun 2009 diperkirakan terdapat 116395 orang penderita GGK yang baru. Lebih dari 380000 penderita GGK menjalani hemodialisis reguler (USRDS, 2011). Pada tahun 2011 di Indonesia terdapat 15353 pasien yang baru menjalani HD dan pada tahun 2012 terjadi peningkatan pasien yang menjalani HD sebanyak 4268 orang sehingga secara keseluruhan terdapat 19621 pasien yang baru menjalanai HD. Sampai akhir tahun 2012 terdapat 244 unit hemodialisis di Indonesia (IRR, 2013).
Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik (Landry dan Oliver, 2006). Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi (UF) atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 20-30% penderita yang menjalani HD reguler (Tatsuya et al., 2004). Penelitian terhadap pasien dengan HD reguler yang dilakukan di Denpasar, mendapatkan kejadian hipotensi intradialitik sebesar 19,6% (Agustriadi, 2009).
Gangguan hemodinamik saat HD juga bisa berupa peningkatan tekanan darah. Dilaporkan Sekitar 5-15% dari pasien yang menjalani HD reguler tekanan darahnya justru meningkat saat HD. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik (HID) atau intradialytic hypertension (Agarwal and Light, 2010; Agarwal et al., 2008). Pada penelitian kohort yang dilakukan pada pasien HD didapatkan 12,2% pasien HD mengalami HID (Inrig et al., 2009). Penelitian yang dilakukan di Denpasar mendapatkan hasil yang berbeda yaitu 48,1% dari 54 penyandang HD mengalami paradoxical post dialytic blood pressure reaction (PDBP) (Raka Widiana dan Suwitra, 2011).
Hipertensi intradialitik adalah suatu kondisi berupa terjadinya peningkatan tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah selama dan pada saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat memulai HD. Tekanan darah penderita bisa normal saat memulai HD, tetapi kemudian meningkat sehingga pasien menjadi hipertensi saat dan pada akhir HD. Bisa juga terjadi pada saat memulai HD tekanan darah pasien sudah tinggi dan meningkat pada saat HD, hingga akhir dari HD. Peningkatan tekanan darah ini bisa berat sampai terjadi krisis hipertensi (Chazot dan Jean, 2010).
Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi HD yang saat ini mendapat perhatian, karena episode HID akan mempengaruhi adekuasi HD. Beberapa penelitian mandapatkan bahwa HID mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien yang menjalani HD reguler. Mortalitas meningkat jika tekanan darah pasca HD meningkat yaitu bila sistolik ≥ 180 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg (rr =1,96 dan 1,73 berturut-turut). Pada pasien yang mengalami peningkatan
tekanan darah sebesar 10 mmHg saat HD didapatkan peningkatan risiko rawat inap di rumah sakit dan kematian (Inrig et al., 2009).
Pada pasien dengan gagal jantung biasanya dengan tekanan darah yang rendah, saat HD juga terjadi peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah pada pasien ini tidak mencapai level hipertensi seperti pada pasien yang tidak gagal jantung. Peningkatan tekanan darah ini juga meningkatkan risiko kematian dengan peningkatan 10 mmHg saat HD, walaupun tekanan darah sistolik (TDS) pra HD ≤ 120 mmHg (Inrig et al., 2009).
Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID seperti aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan ultrafiltrasi (UF), overaktif dari simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), fluid overload, peningkatan cardiac output (COP), obat antihipertensi yang ditarik saat HD dan vasokonstriksi yang diinduksi oleh endothelin-1 (ET-1). Di antara berbagai faktor tersebut yang paling umum diketahui sebagai penyebab HID adalah stimulasi RAAS oleh hipovolemia yang disebabkan oleh UF yang berlebihan saat HD dan variasi dari kadar elektrolit terutama kalsium dan kalium (Chazot dan Jean, 2010).
Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di darah, besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB) antara waktu HD dan target BB kering penderita. BB kering adalah BB di mana penderita merasa nyaman, tidak ada sesak dan tidak ada tanda-tanda kelebihan cairan. Pada penyandang HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar waktu
HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD sekitar 2 liter (Nissenson and Fine, 2008). Guideline K/DOQI 2006 menyatakan bahwa kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8% BB kering (K/DOQI, 2006). Umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi 2 kg bahkan mencapai 5 kg, sehingga pada kondisi ini dilakukan UF lebih dari 2 L. Pada HD dengan excessive UF atau UF berlebih, banyak timbul masalah baik gangguan hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson and Fine, 2008). Pada saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang aktivitas RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot and Jean, 2010).
Asumsi yang berbeda dikemukakan oleh Chou et al., yang melakukan penelitian terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dan 30 orang kontrol, didapatkan bahwa pada kelompok HID tidak didapatkan perubahan yang bermakna dari kadar katekolamin, dan renin tetapi didapatkan peningkatan dari resistensi vaskular sistemik dan penurunan keseimbangan rasio nitric oxide dan endothelin-1 (NO/ET-1) (Chou et al., 2006).
Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah NO suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA) yang merupakan inhibitor endogen dari NO synthase (NOS) dan ET-1 suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah khususnya
termasuk kejadian HID (Locatelli et al., 2010). Disfungsi endotel dapat menyebabkan perubahan terhadap tekanan darah saat HD, baik hipotensi maupun hipertensi intradialitik. Perubahan ini berhubungan dengan keterkaitan antara endotel, sistem saraf simpatis dan kontrol dari resistensi vaskular perifer (Raj et al., 2002). Terdapat perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 saat HD antara kontrol dan penderita yang prone terhadap hipertensi. Pada saat HD berakhir pada penderita HID terjadi peningkatan signifikan dari kadar ET-1 dan penurunan signifikan pada rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou et al., 2006). Pada penelitian lain juga ditemukan bahwa pada individu dengan HID terjadi peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah HD (Shafei et al., 2008). Pada penelitian cohort case control 25 pasien HD reguler yang mengalami episode HID, didapatkan hubungan antara HID dan disfungsi endotel. Pada penelitian ini didapatkan bahwa disfungsi endotel dapat menjelaskan sebagian penyebab kejadian HID (Inrig et al., 2011).
Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara disfungsi endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi endotel pada pasien dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Banyak hal yang belum dapat diterangkan baik patofisiologi, mekanisme dan strategi terapi yang tepat pada HID. Dari uraian di atas kami ingin mencari hubungan antara UF yang berlebih saat HD dengan terjadinya episode HID melalui keterlibatan disfungsi endotel. Disfungsi endotel ditandai dengan peningkatan konsentrasi ET-1, atau peningkatan kadar ADMA atau penurunan kadar NO serum saat HD.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular? 2. Apakah perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular? 3. Apakah penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular? 4. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko
kejadian HID pada pasien dengan HD regular?
5. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum ?
6. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum?
7. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas dapat dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah: Untuk membuktikan UF berlebih berperan dalam patogenesis terjadinya HID melalui disfungsi endotel yang
ditandai dengan peningkatan ET-1 atau peningkatan ADMA atau penurunan NO, pada pasien GGK yang menjalani HD reguler.
1.3.2 Tujuan khusus
Untuk membuktikan bahwa:
1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
3. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
4. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum. 6. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum. 7. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademis
Jika pada penelitian ini terbukti bahwa UF yang berlebih saat HD berperan dalam terjadinya HID melalui disfungsi endotel pada penyandang HD reguler, maka dapat memberikan kontribusi ilmiah berkaitan dengan UF yang berlebih sebagai dasar patogenesis HID melalui keterlibatan disfungsi endotel.
1.4.2 Manfaat praktis
Secara praktis, jika terbukti UF yang berlebih saat HD berperan dalam kejadian HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya kadar ADMA, atau meningkatnya kadar ET-1 atau menurunnya kadar NO) pada pasien HD reguler maka usaha-usaha untuk menekan HID melalui penentuan UF yang tepat saat HD dapat digunakan oleh para klinisi dalam penanganan kasus HID.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1 Epidemiologi
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau Chronic Kidney disease (CKD) menjadi problem kesehatan yang besar di seluruh dunia. Perubahan yang besar ini mungkin karena berubahnya penyakit yang mendasari patogenesis dari PGK. Beberapa dekade yang lalu penyakit glomerulonefritis merupakan penyebab utama dari PGK. Saat ini infeksi bukan merupakan penyebab yang penting dari PGK. Dari berbagai penelitian diduga bahwa hipertensi dan diabetes merupakan dua penyebab utama dari PGK (Zhang dan Rothenbacher, 2008).
Penyakit ginjal kronik tahap 5 (terminal) prevalensinya semakin meningkat di seluruh dunia. Penderita PGK yang mendapat pengobatan terapi pengganti ginjal diperkirakan 1,8 juta orang. Terapi pengganti ginjal mencakup dialisis dan transplantasi ginjal dan lebih dari 90% di antaranya berada di negara maju (Suhardjono, 2006).
2.1.2 Batasan
Penyakit Ginjal Kronik menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) adalah abnormalitas fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan yang ditandai dengan adanya satu atau lebih tanda kerusakan ginjal seperti yang terdapat pada Tabel 2.1 di bawah ini (KDIGO, 2013).
Tabel 2.1 Kriteria PGK (kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan) (KDIGO, 2013)
Petanda kerusakan ginjal (satu atau lebih))
Albuminuria (AER ≥ 30 mg/24 jam; ACR ≥ 30 mg/g [≥ 3 mg/mmol]) Abnormalitas pada sedimen urin
Gangguan elektrolit dan abnormalitas yang berhubungan dengan kerusakan tubulus
Abnormalitas pada pemeriksaan histologi
Abnormalitas struktural pada pemeriksaan imaging Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan LFG LFG < 60 ml/min/1.73 m2 (kategori LFG G3a–G5)
2.1.3 Stadium PGK
Penyakit ginjal kronik dibagi menjadi 6 stadium seperti Tabel 2.2 di bawah ini (KDIGO, 2013).
Tabel 2.2 Kategori LFG pada PGK (KDIGO, 2013)
Kategori LFG LFG (ml/min/1.73 m2) Batasan
G1 ≥ 90 Normal atau Tinggi
G2 60–89 Penurunan ringan
G3a 45–59 Penurunan ringan sampai sedang
G3b 30–44 Penurunan sedang sampai berat
G4 15–29 Penurunan berat
G5 <15 Gagal ginjal
2.2 Hemodialisis
Prevalensi penderita PGK yang mendapat terapi pengganti ginjal di negara berkembang saat ini meningkat dengan cepat, seiring dengan kemajuan ekonominya. Prevalensi penderita penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang menjalani HD rutin meningkat dari tahun ke tahun. Di seluruh dunia saat ini hampir setengah juta penderita GGK menjalani tindakan HD untuk memperpanjang hidupnya (Nissenson and Fine, 2008).
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).
2.2.1 Indikasi hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
A. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007): 1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam) c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5 mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l) f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L) k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis. B. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah. c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan. e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
2.2.2 Prinsip dan cara kerja hemodialisis
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2) kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di
dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al., 2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel (dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al., 2007).
Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et al., 2007).
Gambar 2.1
Skema Mekanisme Kerja Hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)
2.2.3 Komplikasi hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD
reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID) (Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik (Daurgirdas et al., 2007).
2.2.3.1 Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).
Tabel 2.3 Komplikasi Akut Hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)
Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi, infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis
Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu
cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis disequilibirium Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral. Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat Masalah pada dialisat / kualitas air
Chlorine Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal
Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus, gejala neurologi, aritmia
Kontaminasi bakteri / endotoksin Demam, mengigil, hipotensi oleh karena kontaminasi dari dialisat maupun sirkuti air
2.2.3.2 Komplikasi kronik
Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini. (Bieber dan Himmelfarb, 2013).
Tabel 2.4 Komplikasi kronik hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)
Penyakit jantung Malnutrisi
Hipertensi / volume excess Anemia
Renal osteodystrophy Neurophaty
Disfungsi reproduksi Komplikasi pada akses Gangguan perdarahan Infeksi
Amiloidosis
2.3 Hipertensi Intradialitik 2.3.1 Batasan
Hipertensi dialitik sering ditemukan pada pasien-pasien yang menjalani HD rutin, walaupun komplikasi HD ini sudah dikenal sejak beberapa tahun lalu namun sampai saat ini belum ada batasan yang jelas mengenai HID. Berbagai penelitian mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Beberapa penelitian mendefinisikan HID adalah peningkatan mean arterial blood pressure (MABP) 15 mmHg atau lebih selama atau sesaat setelah HD selesai (Amerling et al., 1995; Mees, 1996). Hipertensi intradialitik juga didefinisikan sebagai adanya hipertensi yang mulai sejak jam kedua atau ketiga saat sesi HD, setelah dilakukan UF atau peningkatan tekanan darah saat HD yang resisten terhadap UF (Cirit et al., 1995). Sementara peneliti lain mengemukakan HID adalah suatu kondisi berupa terjadinya peningkatan tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah selama dan pada saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat memulai HD (Chazot dan Jean, 2010). Berikut definisi HID pada beberapa penelitian:
a. Suatu peningkatan mean arterial blood pressure (MAP) ≥15 mmHg selama atau segera setelah HD (Amerling et al., 1995).
b. Suatu peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) >10 mmHg dari pre ke post HD (Inrig et al., 2007; Inrig et al., 2009).
c. Suatu peningkatan tekanan darah yang resisten terhadap UF (Cirit et al., 1995).
d. Perburukan dari hipertensi sebelumnya atau terjadinya hipertensi setelah terapi ESA (Sarkar et al., 2005).
e. Peningkatan tekanan darah selama atau segera setelah HD dan menyebabkan hipertensi post HD (post HD ≥130/80 mmHg (KDOQI, 2006).
2.3.2 Prevalensi
Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai pada pasien yang menjalani HD rutin, dengan prevalensi 5-15% (Locatelli et al., 2010). Pada penelitian kohort pasien HD selama 2 minggu ditemukan HID sebesar 8% (Amerling et al., 1995). Penelitian kohort yang terbaru mendapatkan prevalensi HID sebesar 12,2% (Inrig et al., 2009). Penelitian yang dilakukan di Denpasar mendapatkan hasil yang berbeda yaitu 48,1% dari 54 penyandang HD mengalami Paradoxical post dialytic blood pressure reaction (PDBP) (Raka Widiana dan Suwitra, 2011).
2.3.3 Etiologi dan patofisiologi
Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID seperti volume overload, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan UF, overaktif dari simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), UF yang berlebih saat HD, obat antihipertensi terekskresikan saat HD dan adanya disfungsi endotel (Locatelli et al., 2010).
2.3.3.1 Volume overload
Cairan ekstrasel yang berlebihan (overload) menyebabkan meningkatnya cardiac output (COP) merupakan salah satu penyebab yang penting dari meningkatnya tekanan darah. Hipervolumia (fluid overload) diyakini berperan dalam patogenesis HID (Locatelli et al., 2010).
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 7 pasien yang mengalami hipertensi saat HD, di dapatkan gambaran dilatasi pada jantung. Pada pasien ini tekanan darah meningkat saat dilakukan UF. Pasien ini kemudian diterapi dengan melakukan UF berulang yang intensif untuk menurunkan berat badan keringnya dan dilakukan monitor terhadap fungsi jantung. Semua pasien menunjukkan perbaikan tekanan darah, tekanan darah menjadi normal tanpa pemberian obat antihipertensi. Pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan perbaikan dari parameter fungsi jantung. Dari hasil tersebut peneliti menyimpulkan bahwa tekanan darah paradoksal meningkat dengan UF biasanya karena overhidrasi dan dilatasi jantung, dan disarankan untuk melakukan UF yang intensif pada pasien- pasien seperti ini (Cirit et al., 1995).
Peneliti lain melakukan penelitian terhadap 6 pasien yang mengalami HID yang resisten terhadap obat antihipertensi. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan sebelum dan saat HD. Pada saat dilakukan UF sedang didapatkan perbaikan fungsi sistolik jantung, tetapi MABP dan indeks jantung juga meningkat. UF yang lebih agresive menghasilkan tekanan darah yang normal pada semua pasien dan indeks jantung juga menjadi normal. Peneliti menjelaskan fenomena ini dengan kurva Frank-Starling. Pasien pada awalnya berada pada bagian yang menurun dari kurva, dengan UF sedang pasien berpindah ke kiri dan ke atas kurva, dengan
peningkatan indeks jantung, COP dan tekanan darah. Dengan UF lebih jauh, pasien pindah ke bagian yang bawah pada bagian kurva yang meningkat dengan tekanan darah menjadi normal (Gunal et al., 2002).
Penemuan dari 2 penelitian ini mengindikasikan bahwa tekanan darah meningkat paradoksal saat UF mungkin disebabkan oleh karena peningkatan COP karena adanya overhidrasi dan dilatasi jantung, dan disarankan dilakukan UF yang intensif untuk menurunkan berat badan kering pasien (Cirit et al., 1995; Gunal et al., 2002; Chou et al., 2006). Peneliti lain mengemukakan bahwa HID mungkin berhubungan dengan delayed post HD hypotension. Sehingga bila dilakukan UF yang agresif pasien yang rawat jalan harus dimonitor ketat dengan mengunakan ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) (Chou et al., 2006).
Hal yang penting harus dilakukan pasien adalah untuk menurunkan konsumsi garam dan air, diantara sesi HD. Hal ini untuk menurunkan peningkatan BB antar sesi HD, sehingga menurunkan kecepatan UF per jam saat HD berikutnya. Meningkatkan waktu terapi HD mungkin sangat berguna untuk menurunkan kecepatan UF per jam saat HD. Pembatasan dari konsumsi garam dan penurunan dari volume cairan ekstrasel akan menormalkan tekanan darah saat HD pada pasien dengan hipertensi. Penurunan konsumsi garam 100-120 mmol per hari berhubungan dengan penurunan tekanan darah dan menurunkan peningkatan BB antar HD (Locatelli et al., 2010).
Pengontrolan terhadap volume overload adalah hal yang paling penting dalam mencegah dan menangani pasien dengan HID (Locatelli et al., 2010).
2.3.3.2 RAAS activation
Mekanisme lain yang berperan terhadap kejadian HID adalah aktivasi dari RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II yang diinduksi oleh UF saat HD. Aktivasi dari RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II menyebabkan peningkatan yang tiba-tiba dari resistensi vaskular dan meningkatkan tekanan darah (Chou et al., 2006).
Penelitian terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dengan 30 kontrol pasien HD yang matched umur dan jenis kelamin, didapatkan kadar renin rata-rata sebelum dan sesudah HD sama pada kelompok pasien yang prone tehadap HID. Sebaliknya rata-rata kadar renin setelah HD meningkat signifikan pada kelompok kontrol. Disimpukan bahwa aktivasi RAAS bukan merupakan penyebab utama dari HID (Chou et al., 2006).
2.3.3.3 Sympathetic overactivity
Pasien dengan PGK umumnya sudah terjadi sympathetic overactivity, ditandai dengan peningkatan konsentrasi katekolamin plasma pada pasien PGK. Hal ini mungkin disebabkan oleh menurunnya kliren renal terhadap katekolamin dan langsung oleh karena aktivitas saraf simpatis. Sympathetic overactivity pada PGK menjadi normal setelah dilakukan nefrektomi, hal ini diduga karena signal dari ginjal yang sakit berperan dalam aktivasi simpatis (Locatelli et al., 2010).
Hipertensi intradialitik berhubungan dengan peningkatan stroke volume dan vasokonstriksi perifer, sehingga mungkin sympathetic overactivity berperan dalam onset HID. Pada penelitian lain didapatkan kadar norepinefrin meningkat signifikan setelah HD pada pasien kontrol, bukan pada pasien yang prone
terhadap HID (Chou et al., 2006). Evaluasi akurat dari aktivitas simpatis dengan microneurografi pada pasien dengan HID belum dilakukan sehingga mekanisme sympathetic overactivity dalam HID belum didukung oleh evidence-based percobaan klinis (Locatelli et al., 2010).
2.3.3.4 Perubahan kadar elektrolit
Komposisi yang adekuat dari dialisat dan kontrol terhadap variasi kadar elektrolit sangat penting pada terapi HD. Kadar elektrolit pasien seperti sodium, kalium, kalsium dan perubahan dari elektrolit saat HD sangat penting sebab erat hubungannya dengan kontraktilitas jantung, resistensi vaskular perifer dan kontrol tekanan darah.
Penarikan sodium saat dialisis sangat penting karena berperan dalam menjaga stabilitas kardiovaskular saat HD dan mencegah overhidrasi saat dialisis dan HID. Penarikan sodium yang adekuat bisa dicapai dengan memilih kecepatan UF dan konsentrasi sodium dialisat yang tepat. Untuk mempertahankan keseimbangan sodium, berat badan kering dan konsentrasi sodium saat akhir dialisis harus dipertahankan konstan (Locatelli et al., 2010).
Perubahan kadar kalium saat HD dapat memberikan dampak klinis yang penting. Hipokalemia dapat mencetuskan autonomic dysfunction dan mempengaruhi inotropik jantung. Walaupun hipokalemia dapat menyebabkan vasokonstriktor secara langsung, tidak ada data yang mendukung pengaruh konsentrasi kalium pada dialisat terhadap kejadian HID (Locatelli et al., 2010).
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 30 pasien prone terjadi HID didapatkan bahwa kadar kalium dialisat tidak berhubungan dengan kejadian HID,
tidak ada perbedaan antara kadar kalium plasma pre dan post HD pada pasien dengan HID maupun tanpa HID (Chou et al., 2006). Kalium tidak beperan dalam kejadian HID, tapi perubahan kadar kalium yang tajam dapat memicu aritmia (Locatelli et al., 2010).
Ion kalsium memegang peranan penting dalam proses kontraktilitas otot polos dan miosit jantung. Beberapa penelitian pada pasien dengan HD memperlihatkan bahwa perubahan kadar kalsium ion memiliki efek hemodinamik melalui perubahan dalam kontraktilitas otot jantung dan perubahan dalam reaktifitas vaskular (Felner, 1993).
Hemodialisis dengan konsentrasi dialisat kalsium yang rendah (1,25 mmol/l) berhubungan dengan penurunan yang besar pada tekanan darah dibandingkan dengan dialisis dengan konsentrasi kalsium dialisat yang tinggi (1,75 mmol/l). Perbedaan ini berhubungan dengan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri pada cairan dialisat dengan kadar kalsium yang rendah. Kadar kalsium dialisat yang tinggi juga berhubungan dengan penurunan compliance arteri dan peningkatan kekakuan arteri. Peranan dari dialisat dengan kalsium tinggi dalam patogenesis HID belum sepenuhnya ditemukan (Locatelli et al., 2010). Penelitian lain tidak menemukan perubahan yang relevan dalam konsentrasi kalsium plasma sebelum dan sesudah dialisis pada pasien dengan maupun tanpa HID (Chou et al., 2006).
2.3.3.5 Eliminasi obat saat hemodialisis
Beberapa obat termasuk obat anti hipertensi ditarik saat prosedur hemodialisis. Penarikan dari obat anti hipertensi saat HD bisa menyebabkan HID. Golongan obat CCB tidak ditarik saat prosedur hemodialisis, sedangkan sebagian
besar dari penghambat ACE secara komplit ditarik saat dialisis (Daugirdas et al., 2007). Pengetahuan akan obat yang di tarik saat HD sangat penting, sehingga terapi bisa disesuaikan pada pasien yang mengalami HID. Tetapi penting diingat bahwa penarikan obat anti hipertensi saat HD, tidak berperan di dalam konsep dari HID (Locatelli et al., 2010).
2.3.3.6 Terapi erythropoiesis-stimulating agents
Sejak diperkenalkannya erythropoiesis-stimulating agents (ESA) sebagai terapi anemia pada pasien PGK lebih dari 20 tahun yang lalu, prevalensi hipertensi pada pasien HD meningkat. Peningkatan dari hematokrit dan viskositas darah serta peningkatan dari konsentrasi ET-1, dan peningkatan resistensi vaskular perifer mungkin berperan dalam kondisi ini (Krapf dan Hulter, 2009).
2.3.3.7 Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi merupakan salah satu komponen dari peresepan HD. Penentuan besarnya UF harus optimal dengan tujuan untuk mencapai kondisi pasien euvolemik dan normotensi Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di darah, besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB) penderita antar waktu HD dan target BB kering penderita (K/DOQI, 2006).
Berat badan kering didefinisikan sebagai berat badan dimana volume cairan optimal. Penentuan BB kering ini harus akurat, tetapi pada klinik HD tidak selalu tersedia alat untuk menentukan BB kering yaitu multiple frequency bioimpedance spectroscopy. Oleh karena itu penentuan BB kering dilakukan secara klinis
melalui evaluasi tekanan darah, tanda-tanda overload cairan dan toleransi pasien terhadap UF saat HD untuk mencapai target BB (K/DOQI, 2006).
Definisi berat badan kering menurut Argawal adalah berat badan setelah dialisis yang terendah yang dapat ditoleransi oleh pasien yang dicapai dengan perubahan secara bertahap BB setelah dialisis, dan terdapat gejala yang minimal dari hipovolemia atau hipervolemia (Agarwal dan Weir, 2010)
Pada penderita dengan HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar waktu HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD sekitar 2 liter (Nissenson dan Fine, 2008). Tetapi umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi 2 kg bahkan mencapai 5 kg. Guideline K/DOQI 2006 menyatakan bahwa kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8% BB kering. Sebagai contoh pada pasien dengan BB 70 kg, kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak lebih dari 3,4 kg (K/DOQI, 2006). Pada kondisi kenaikan BB yang berlebih ini banyak timbul masalah saat tindakan HD, karena saat HD akan dilakukan dilakukan UF yang melebihi 4,0% BB kering. Saat HD bila dilakukan UF yang berlebihan akan timbul masalah baik gangguan hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson and Fine, 2008). Pada saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang aktivitas RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot dan Jean, 2010).
Pasien dengan terapi hemodialisis memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi yang mungkin berhubungan dengan efek hemodinamik karena UF yang cepat. Flyte dkk. meneliti efek kecepatan UF terhadap mortalitas dan cardiovascular disease (CVD). Kecepatan UF dibagi menjadi 3 kategori yaitu <10 /ml/jam/kgBB, 10-13 ml/jam/kgBB, dan >13 ml/jam/kgBB. Dari penelitian
ini didapatkan bahwa UF yang lebih cepat pada pasien HD berhubungan dengan risiko yang lebih besar terhadap berbagai sebab kematian dan kematian karena CVD (Flythe et al., 2011).
Tabel 2.5
Patofisiologi Hipertensi Intradialitik (Chazot dan Jean, 2010) 1. Kelebihan volume
2. Overaktifitas sistem saraf simpatis
3. Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron 4. Kelainan sel endotel
5. Faktor spesifik hemodialisis a. Net sodium gain b. High ionized calcium c. Hipokalemia
6. Obat-obatan
o Erythropoietin stimulating agents (ESA) o Removal of antihypertensive medications 7. Vascular stiffness
2.3.3.8 Fisiologi endotel
Endotel adalah satu lapisan sel yang paling dalam yang melapisi seluruh pembuluh darah dalam tubuh. Fenotipe dari endotel bervariasi tergantung dari struktur dan fungsi pembuluh darah di lokasi yang berbeda (Aird, 2007). Sebagai contoh antara glomerulus dan kapiler peritubulus, fungsi endotel sangat berbeda karena fungsi glomerulus dan peritubulus sangat berbeda. Karena itu integritas dari lapisan endotel sangat penting dalam mempertahankan fungsi vaskular. Sebagai contoh dalam pengontrolan tonus vasomotor dan permeabilitas. Walaupun terdapat perbedaan fungsi endotel dalam kompartemen pembuluh darah yang berbeda, tetapi umumnya endotel mampu mensintesis dan mensekresikan berbagai faktor yang mempengaruhi tonus dan pertahanan pembuluh darah (Fliser, 2011). Endotel memproduksi berbagai faktor relaksasi, yang paling utama
dan banyak dikenal adalah nitric oxide (NO). Nitric oxide adalah gas pokok yang menstimulasi relaksasi dan menghambat proliferasi otot polos pembuluh darah, mencegah perlekatan dan migrasi leukosit ke dinding arteri, dan mencegah adhesi dan agregasi platelet ke endotel. Prostacyclin endothelium-derived hyperpolarizing factor juga merupakan vasorelaksan yang penting, yang nantinya berperan sebagai vasodilator pada hipertensi resisten (Fliser, 2011).
2.3.3.9 Disfungsi endotel
Disfungsi endotel/Endothelial cell dysfunction (ECD) adalah ketidakmampuan dari sel endotel untuk mengatur beberapa atau semua fungsinya. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan antara (Ding dan Triggle, 2005):
a. faktor relaksasi dan konstriksi
b. mediator prokoagulan dan antikoagulan
c. vascular growth-inhibiting and growth-promoting substances.
Disfungsi endotel bisa diduga dengan pemeriksaan secara tidak langsung, yaitu dengan memeriksa berbagai marker atau petanda antara lain melalui pemeriksaan flow-mediated vasodilation setelah dilakukan iskemia transien (Correti, 2002) dan evaluasi terhadap perubahan resistensi vaskuler pada arteri besar maupun kecil setelah diberikan rangsangan fisiologis. Cara ini pada dasarnya menganalisis kapasitas pengeluaran NO oleh endotel setelah berbagai stimulus. Pemeriksaan indirek untuk estimasi dari disfungsi endotel yang lain adalah dengan melakukan pengukuran permeabilitas vaskuler dari makromolekul (Vervoort, 1999), pengukuran faktor vasoaktif (vasokontriktor/vasodilator) yaitu NO, EDHF, endotelin-1, ROS, angiotensin-II (Bassenge dan Zanzinger, 1992;
Fliser, 2011), aktifitas protrombin prokoagulan, dan marker inflamasi (VCAM-1, ICAM-1 dan E-selectin) (Hwang, 1997), dan pemeriksaan sitokin (IL-1beta, IL-6 dan TNF-alfa), serta pemeriksaan CRP (Spranger, 2003; Pradhan, 2001).
Disfungsi endotel akan menyebabkan berbagai komplikasi antara lain meningkatkan ekspresi dari molekul adhesi, sehingga menyebabkan peningkatan adhesi dari lekosit ke sel endotel dan akhirnya mengaktifkan status prokoagulan, aktivasi trombosit dan faktor pembeku, menghambat pengeluaran NO. Hal ini akan menyebabkan ketidaksempurnaan dari pertumbuhan pembuluh darah dan remodelling di dalam dinding pembuluh darah (Fliser, 2011).
Penelitian yang luas pada ECD umumnya meneliti mekanisme yang bertanggung jawab terhadap penurunan bioafailibitas dari NO, dimana akan menyebabkan penuruan dari produksi NO atau peningkatan dari degradasi NO.
Karena luasnya permukaan tubuh endotel memiliki peranan yang penting pada penyakit hipertensi dan diabetes. Pada penyakit ini endotel bisa mengalami perubahan stuktur dan fungsi sehingga menyebabkan kehilangan peranannya sebagai barier proteksi. Disfungsi endotel pada awalnya menyebabkan aterosclerosis dan gambaran yang utama dari kondisi ini adalah kerusakan dari bioavailabilitas dari NO. Jika berlangsung lama disfungsi endotel akan menyebabkan terjadinya apoptosis, yang pada akhirnya akan menyebabkan disintegrasi dari struktur maupun fungsi endotel. Hal ini akan menyebabkan aktivasi dari lekosit dan trombosit dan menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah (Hansson, 2005).
2.3.3.10 Disfungsi endotel pada PGK
Pada pasien CKD terjadi disfungsi endotel tapi mekanismenya belum sepenuhnya diketahui. Ada tiga mekanisme potensial yang berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi endotel yaitu : adanya stres oksidatif, defisiensi L-arginin dan ADMA (Martens dan Edwards, 2011).
Salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotel yang banyak diteliti adalah stres oksidatif. Stres oksidatif adalah adanya gangguan dari keseimbangan antara produksi radikal bebas dan ekskresinya oleh antioksidan endogen (Guzik dan Harrison, 2006). Stres oksidatif menyebabkan terjadinya gangguan jalur NO pada sel endotel dan akhirnya menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Stres oksidatif sering ditemukan pada pasien dengan gangguan ginjal sedang sampai berat (Oberg, 2004) dan juga pada pasien yang menjalani hemodialisis (Yilmaz, 2006). Mekanisme terjadinya disfungsi endotel melalui stres oksidatif pasien PGK terutama terjadi melalui jalur eNOS dan NO (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Skema mekanisme reactive oxygen species (ROS) menurunkan NO (Martens dan Edrwads, 2011)
Defisiensi L-arginin merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi endotel pada pasien PGK. L-arginin diperlukan pada
sintesis NO. L-arginin disintesis terutama di tubulus proksimal ginjal dan sintesis ini menurun dengan menurunnya massa ginjal. Gambar 2.3 Menunjukkan mekanisme potensial terjadinya defisiensi L-arginin pada pasien PGK.
Gambar 2.3 Mekanisme potensial defisiensi L-arginin pada PGK (Martens dan Edrwads, 2011)
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi endotel pada pasien PGK terbentuknya inhibitor NOS endogen yaitu ADMA dan NMMA (Kielstein, 2005, Baylis, 2006). Produksi ADMA 10 kali lipat dari L-NMMA dan meningkat pada pasien PGK. Kadar plasma ADMA merupakan predictor dari progression menjadi gagal ginjal pada pasien PGK. ADMA diklasifikasikan sebagai toksin uremik dan ADMA juga dihubungkan dengan terganggunya fungsi endotel. ADMA adalah suatu kompetitor inhibitor dari eNOS.
Disfungsi endotel pada pasien PGK memiliki 2 peranan penting, pertama DE merupakan tahap yang penting dalam perkembangan CVD, kedua DE pada kapiler glomerulus menyebabkan progresivitas dari PGK. Pada pasien PGK
hubungan antara ECD pada pembuluh darah perifer dan pembuluh darah ginjal belum diteliti lebih jauh. Walaupun banyak penelitian meneliti mengenai bioavaibilitas dari NO pada PGK, tetapi belum banyak yang meneliti keseimbangan antara vasokonstriktor dan vasodilator pada PGK (Fliser, 2011). Pada Gambar 2.4 di bawah terlihat mekanisme penurunan NO karena peningkatan dari assymetric N G, NG - dimethylarginine pada pasien dengan penyakit ginjal kronik.
Gambar 2.4
Mekanisme dari penurunan nitric oxide karena peningkatan dari assymetric N G, NG - dimethylarginine pada chronic kidney disease (Sibal et al., 2010)
2.4 Disfungsi Endotel pada Pasien Hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita PGK stadium V atau GGK.
Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik (Landry dan Oliver, 2006). Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UFatau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler, namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik (HID) atau intradialytic hypertension (Agarwal dan Light, 2010; Agarwal et al., 2008).
Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah nitric oxide (NO) suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA) yang merupakan inhibitor endogen dari nitric oxide synthase dan endothelin-1 (ET-1) suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah khususnya termasuk kejadian HID (Locatelli et al., 2010).
Aktivitas dari sel endotel mungkin juga berperan penting di dalam variasi tekanan darah saat HD. Perubahan volume cairan saat HD dan cetusan hormonal menyebabkan produksi faktor-faktor yang terlibat di dalam kontrol tekanan darah di dalam sel endotel (Raj et al., 2002; Flythe et al., 2011). Substansi vasoaktif yang paling penting adalah nitric oxide (NO) suatu vasodilator otot polos, asymmetric dimethylarginine (ADMA), suatu inhibitor endogen dari sintesis NO,
dan endothelin-1 (ET-1) suatu vasokonstriktor. Substansi ini mempunyai efek penting pada aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah (Locatelli et al., 2010).
Penelitian–penelitian yang baru menunjukkan adanya peranan dari disfungsi endotel dalam terjadinya ketidakstabilan hemodinamik saat HD (Morris et al., 2001). Disfungsi endotel dapat menyebabkan perubahan dalam tekanan darah selama HD, termasuk HID atau hipotensi (Raj et al., 2002). Perubahan ini berhubungan dengan interaksi antara endotel, sistem saraf simpatis dan pengontrolan dari resistensi vaskular perifer (Locatelli et al., 2010).
Pada penelitian pasien PGK yang mengalami hipotensi saat HD, HID dan tekanan darah stabil saat HD didapatkan penurunan kadar ADMA yang mirip sebelum dan sesudah HD pada ketiga kelompok pasien tadi. Kadar NO tidak berhubungan dengan perubahan tekanan darah saat HD. Sebaliknya kadar ET-1 menurun setelah dialisis pada kelompok pasien dengan hipotensi dan meningkat pada kelompok pasien dengan HID (Raj et al., 2002).
Penelitian lain terhadap 30 pasien yang prone HID dengan kontrol didapatkan hasil yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Terdapat perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 setelah HD antara kelompok kontrol dan kasus. Pada akhir HD pasien dengan HID terjadi peningkatan yang bermakna dari ET-1 dan penurunan yang bermakna dari rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan pasien kontrol (Chou et al., 2006). Penelitian lain juga menemukan ET-1 meningkat secara bermakna pada pasien dengan HID (Shafei et al., 2008).
Penemuan-penemuan ini mengindikasikan bahwa interaksi antara NO, ADMA dan ET-1 memiliki peranan dalam mengontrol tekanan darah dan
resistensi vaskular perifer, dan mungkin terlibat didalam konsep dari HID (Bussemarker et al., 2002). Tidak ada data yang menunjukkan efek dari disfungsi endotel pada pasien HID. Di bawah ini akan dibahas mengenai petanda ECD yaitu NO, ADMA dan ET-1.
2.4.1 Nitric oxide
Nitric oxide adalah antagonis natural dari katekolamin. Nitric oxide merupakan agen yang labil, sangat aktif dengan masa hidup yang pendek. Nitric oxide disintesis oleh enzim Nitric Oxide Synthase (NOS), dikeluarkan oleh sel endotel ke sirkulasi (Fliser et al., 2003).
Pada penelitian in vitro didapatkan bahwa aktivitas NOS meningkat saat darah diekspose pada membran dialiser. Kondisi uremia dilaporkan menghambat sintesa NO. Aktivitas NOS juga berkurang dengan adanya ADMA (Shafei et al., 2008; Xiao et al., 2001).
Nitric oxide dibentuk di berbagai lokasi, produksi lokal menentukan aktifitas fisiologisnya. Pada PGK terjadi disfungsi endotel yang ditandai dengan menurunnya produksi NO oleh endotel. Ada berbagai mekanisme terjadinya penurunan NO pada gangguan ginjal seperti defisiensi L-arginin, peningkatan NOS inhibitor seperti ADMA, dan menurunnya aktifitas dari enzim NOS. Berikut ini skema dari pembentukan NO dan berbagai mekanisme yang menyebabkan defisiensi NO pada PGK (Baylis, 2008).
Gambar 2.5
Skema biosintesis nitric oxide (NO) dan berbagai mekanisme yang mungkin menyebabkan defisiensi NO (Baylis, 2008)
2.4.2 Asymmetric dimethylarginine (ADMA)
Asymmetric Dimethylarginine adalah inhibitor kompetitif endogen dari NOS. ADMA menurunkan produksi dari NO, menyebabkan meningkatnya resistensi perifer dan meningkatnya tekanan darah. Pada PGK terjadi akumulasi ADMA. Konsentrasi ADMA dalam plasma berbanding terbalik dengan GFR. Peningkatan kadar ADMA dihubungkan dengan disfungsi endotel dan sebagai prediktor progresivitas PGK dan kematian pada pasien dengan PGK. Penelitian epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara ADMA dan hipertensi, hiperkolesterol, dan DM. Adanya disfungsi endotel unumnya ditandai dengan penurunan bioavaibilitas NO (Abedini et al., 2010).
Gambar 2.6 di bawah ini menunjukkan skema produksi dan degradasi ADMA (Baylis, 2008).
Gambar 2.6
Biochemical pathway produksi dan degradasi ADMA (Baylis, 2008)
2.4.3 Endothelin-1 (ET-1)
Endothelin-1 pertama kali ditemukan oleh Yanasigawa pada tahun 1988. Endothelin-1 di produksi oleh sel endotel, merupakan famili peptida yang terdiri dari 21 asam amino. Endothelin 1 merupakan vasokonstriktor endogen yang paling kuat dan predominan pada sistem kardiovaskular. Aktifitas ET-1 terjadi melalui ikatan dengan reseptor. Ada 2 jenis reseptor, yaitu ETAR (Endothelin A Receptor) dan ETBR (Endothelin B Receptor). Reseptor ET-1 tersebar pada berbagai jaringan dan sel. Di dalam pembuluh darah ETAR dan ETBR terletak di dalam otot polos pembuluh darah, menyebabkan efek vasokonstriksi pembuluh darah. ETBRS juga ditemukan ditemukan dalam sel endotel pembuluh darah, diaktifasi terutama oleh NO menyebabkan vasodilatasi. Sebagai tambahan ETBRS
mempunyai peran penting dalam ekskresi ET-1 di sirkulasi. Waktu paruh plasma dari ET-1 adalah 1 menit, dengan pengeluaran melaui reseptor dan bukan reseptor. ET-1 berikatan dengan reseptor ETBR dan mengalami internalisasi dan degradasi.
Pengeluaran yang lain adalah melalui sirkulasi paru, limpa dan ginjal. Penurunan jumlah maupun blokade dari resoptor ETBR akan menurunkan ekskresi dari ET-1, sehingga meningkatkan jumlah dari ET-1 tanpa peningkatan produksinya (Dhaun et al., 2008).
Dalam pembuluh darah yang normal, ET-1 mempertahankan tonus vaskular melalui ETAR, dengan keseimbangan aktifitas ETAR menyebabkan vasodilatasi. Jika ada gangguan pembuluh darah ET-1 memicu hipertensi dan penyakit kardiovaskular melalui berbagai mekanisme. Pada ginjal yang sehat, ETBR memegang peranan dalam tonus vasodilatasi, ETAR mempunyai sedikit peran dalam tonus pembuluh darah ginjal. Peningkatan aliran darah dalam medula dan efek langsung dari ETBR menyebabkan natriuresis dan diuresis. Pada PGK, ETAR menyebabkan vasokonstriksi renal menyebabkan retensi air dan garam sehingga mengakibatkan hipertensi. Pada orang sehat insulin merangsang pengeluaran dari ET-1 dan NO. Pada resistensi insulin terjadi gangguan pengeluaran NO, tetapi produksi ET -1 meningkat. Selengkapnya dapat di lihat pada Gambar 2.7 di bawah ini (Dhaun et al., 2008; Shafei et al., 2008).
Gambar 2.7
Peranan ET-1 pada hipertensi, data dari penelitian pada manusia (Dhaun et al., 2008)
Sistem ET-1 secara luas berperan dalam CVD dan PGK. Endothelin-1 berperan dalam patogenesis hipertensi dan kekakuan pembuluh darah, dan merupakan faktor risiko yang baru pada penyakit kardiovaskular (McIntyre, 2009). Endothelin-1 berperan dalam terjadinya disfungsi endotel dan aterosklerosis (Dhaun et al., 2008).
Gambar 2.8
Peranan Endothelin 1 pada PGK dan CVD. Ilustrasi oleh Josh Gramling-Gramling Medical Illustration (Dhaun et al., 2006)
Sebagai respon terhadap UF saat HD, rangsangan hormonal dan mekanis, sel endotel mensintesis dan mengeluarkan faktor humoral yang berperan terhadap homeostasis tekanan darah (Mc Gregor et al., 2003). Ketidakseimbangan endothelial-derived hormone seperti NO suatu vasodilator otot polos, dan ET-1, suatu vasokonstriktor bisa menyebabkan hipotensi ataupun hipertensi saat HD (Inrig, 2010a).
Berbagai mekanisme bertanggung jawab terhadap meningkatnya produksi dari ET-1 pada PGK. Sintesis ET-1 oleh ginjal dipicu oleh sitokin, growthfactor, kemokin, faktor vasoaktif, hormon dan reactive oxygen species (ROS), kolesterol dan substansi lainnya. Intake protein berlebihan merangsang tubulus proksimalis memproduksi ET-1, suatu kondisi yang sangat penting dalam progresi penyakit
ginjal. Gambar 2.9 di bawah ini menunjukkan pengaturan produksi ET-1 pada pembuluh darah dan ginjal (Kohan, 2010).
Gambar 2.9
Pengaturan produksi ET-1 di dalam pembuluh darah dan ginjal (Kohan, 2010)
Endothelin-1 bisa menginduksi terjadinya memberikan efek ke pembuluh darah dan sel ginjal menyebabkan terjadinya hipertensi dan penyakit ginjal kronik, dapat dilihat pada Gambar 2.10 di bawah ini:
Gambar 2.10
Efek ET-1 pada pembuluh darah dan sel ginjal menyebabkan hipertensi, aterosklerosis dan CKD (Kohan, 2010)
Endothelin–1 bisa menginduksi kehilangan nefron dari podosit. Diet tinggi protein melalui induksi asidosis metabolik menyebabkan penurunan LFG pada tikus dengan penurunan massa ginjal. Diet tinggi protein menyebabkan kerusakan tubulointerstitial. Penelitian yang terbaru menemukan bahwa kromogranin A yang dikeluarkan oleh saraf simpatis dan sel kromafin merangsang sel glomerulus mengeluarkan ET-1 dan menurunkan LFG (Kohan, 2010).
2.5. Penanganan Hipertensi Intradialitik
Penanganan dari HID dapat dilihat pada Gambar 2.11 di bawah ini.
Gambar 2.11
Algoritma Penanganan HID Berdasarkan Derajat Hipertensi (Chazot dan Jean, 2010)
Penanganan pertama terhadap HID adalah membatasi peningkatan berat badan antar dialisis dan menurunkan secara bertahap berat badan kering. Hal ini bisa dicapai melalui konseling melalui diet, pembatasan konsumsi garam dan UF yang agresif saat HD. Penentuan cairan yang akan ditarik saat HD memerlukan panduan dengan alat yang non invasif seperti bioimpedance, inferior vena cava ultrasonography, atau monitor volume darah (Peixoto, 2007). Penarikan cairan ini harus hati-hati untuk menghindari instabilitas hemodinamik. Diperlukan HD yang lebih lama dan sering untuk untuk menghindari komplikasi dari UF yang berlebihan saat HD. Secara teori memperpanjang waktu dialisis dan penentuan
UFR yang tepat sangat diperlukan dalam penanganan HID (Chazot dan Jean, 2010; Weir dan Jones, 2010).
Penambahan sodium saat HD akan meningkatkan plasma refilling yang akan meningkatkan COP, oleh karena itu peresepan cairan dialisat yang tinggi sodium harus dihindari. Begitu juga peresepan dialisat yang tinggi kalsium akan meningkatkan resistensi perifer dan COP sehingga harus dihindari (Inrig, 2010a).
Beberapa obat disarankan dalam penanganan HID untuk mencegah krisis hipertensi antara lain calcium channel blockers (CCB) tetapi keamanan obat ini pada kondisi HID belum diteliti (Chazot dan Jean, 2010). Minoxidil, merupakan vasodilator yang kuat juga dapat diberikan pada kondisi ini. Obat ini bekerja dengan efek pada c AMP, menghasilkan vasodilatasi dengan cara relaksasi langsung otot polos arteriolar. Walaupun minoxidil diindikasikan pada HID, tetapi obat ini sangat jarang digunakan (Rizzioli et al., 2009). Obat obat anti hipertensi seperti ace inhibitor sudah digunakan dalam penanganan HID, obat ini tidak difiltrasi saat HD sehingga bisa digunakan untuk pasien HID (Inrig, 2010b)
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Berdasarkan kajian kepustakaan di atas maka dapat dibuat kerangka berpikir sebagai berikut: Pada pasien HD yang menjalani HD reguler sering terjadi volume overloaded, kelebihan cairan dalam tubuh ini akan dikeluarkan saat HD melalui preses ultrafiltrasi (UF). UF yang berlebihan saat HD bisa meninbulkan komplikasi saat HD, yaitu HID. Ultrafiltrasi ini mempengaruhi keseimbangan antara NO, ET-1, dan ADMA. Ultrafiltrasi yang berlebihan saat HD akan menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis, aktivasi RAAS, peningkatan COP sehingga bisa menyebabkan kenaikan tekanan darah saat HD. Hipertensi intradialisis juga dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu perubahan elektrolit saat HD, antara lain natrium, kalium dan kalsium. Faktor lain yang ikut berperan dalam terjadinya HID adalah eliminasi obat antihipertensi saat HD, terapi eritropoeitin, penyakit kardiovaskuler dan DM. Hubungan antara volume overloaded, perubahan elektrolit saat HD, eliminasi obat antihipertensi saat HD, terapi eritropoeitin dan kejadian HID sudah diteliti sebelumnya. Peranan besarnya volume UF saat HD dan HID sampai saat ini belum diketahui. Belakangan ini penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara disfungsi endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi endotel pada pasien dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Belum diketahui apakah ada peranan dari UF yang berlebihan saat HD dengan disfungsi endotel. Pada
penelitian ini kami ingin meneliti mengenai peranan UF yang berlebih saat HD dan HID melalui keterlibatan NO, ADMA dan ET-1.
3.2 Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antar variabel. Hubungan ini mencerminkan fenomena yang akan dicari jawabannya melalui penelitian. Manifestasi konsep adalah variabel, sehingga menjadi lebih konkret dan dapat diukur. Pada penelitian ini dicari hubungan antara besarnya UF saat hemodialisis dengan kejadian HID. Penelitian ini terfokus pada peran UF saat HD sebagai faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian HID melalui perubahan kadar ET-1, ADMA dan NO serum. Peningkatan kadar ET-1 serum, peningkatan kadar ADMA serum dan penurunan kadar NO serum merupakan petanda dari disfungsi endotel.
Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat kerangka konsep penelitian sebagai berikut:
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis-hipotesis penelitian disusun berdasarkan kajian pustaka secara deduktif dan konsep dasar penelitian yang diwujudkan dalam suatu kerangka konsep penelitian di atas. Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara terhadap masalah-masalah penelitian dan dirumuskan seperti di bawah ini:
1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
ULTRAFILTRASI BERLEBIH SAAT HD NO ↓, ADMA ↑, ET-1 ↑ HIPERTENSI INTRADIALITIK (HID) • Dialisat • Mesin HD • Membran dialiser • Umur • Jenis Kelamin • Kadar Hb • Obat-obat antihipertensi • Kadar Na, K, Ca serum • Terapi eritropoetin
2. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
3. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.
4. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum. 5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan
meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum.
6. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian kasus-kontrol digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara UF saat HD terhadap kejadian HID, dan hubungan antara perubahan ET-1, NO dan ADMA pre dan post HD dengan besarnya UF yang dilakukan saat HD. Pasien PGK stadium V yang menjalani HD reguler yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi, dilakukan pemeriksaan NO, ET-1, ADMA sebelum dan sesudah tindakan satu sesi HD. Untuk menentukan kasus dan kontrol seluruh sampel diikuti secara prospektif sebanyak 6 kali sesi HD. Setiap HD dilakukan pencatatan UF yang dilakukan. Ultrafiltrasi dicatat dari 6 sesi HD berturutan dan dicari rata-ratanya. Tekanan darah pre HD, selama HD dan post HD selama 6 sesi HD dicatat. Sampel kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kasus dan kontrol. Kelompok kasus yaitu kelompok penyandang HD reguler yang mengalami HID, dan kelompok kontrol yaitu kelompok penyandang HD reguler yang tidak mengalami kejadian HID. Hipertensi intradialitik didefinisikan bila terjadi peningkatan tekanan darah sistolik sesudah HD ≥ 10 mmHg dibandingkan dengan TDS pre HD, pada minimal 4 dari 6 sesi HD berturut-turut. Faktor risiko, yaitu adanya disfungsi endotel yang ditandai dengan peningkatan ET-1 atau peningkatan ADMA atau penurunan NO post HD, serta volume UF saat HD ditelusuri dan dianalisis secara retrospektif. Rancangan penelitian digambarkan (Gambar 4.1) sebagai berikut:
Gambar 4.1
Rancangan Penelitian Kasus- Kontrol
Penelitian dimulai dengan mengidentifikasikan sampel penelitian, pada HD yang pertama dilakukan pemeriksaan laboratorium dan fisik pre dan post HD. Sampel kemudian diikuti secara prospektif selama 6 kali HD berturut-turut. Setelah HD yang ke enam ditentukan kelompok dengan efek (kelompok kasus) dan mencari subjek yang tidak mengalami efek (kelompok kontrol). Yang dimaksud dengan efek positif adalah kejadian hipertensi intradialitik yang didefinisikan dengan peningkatan tekanan darah sistolik lebih sesudah HD ≥ 10 mmHg dibandingkan dengan TDS sebelum HD, pada minimal 4 kali dari 6 sesi HD berturut-turut. Faktor risiko positif adalah peningkatan ET-1, peningkatan ADMA-1, penurunan NO dan UF yang berlebih (> 4,8% BB) saat hemodialisis. Faktor risiko dianalisis secara retrospepektif pada kedua kelompok kemudian dibandingkan. HD 6 kali berturut-turut ( dicatat UF dan TD saat HD) Sampel Penyandang HD reguler HD
( lab. pre, dan post HD: ET-1, ADMA, NO) Faktor Risiko (+) Faktor Risiko (+) Faktor Risiko (-) Faktor Risiko (-) Kasus HID (+) Kontrol HID (-) Analisis secara Retrospektif Penelitian
dimulai dari sini Penentuan kasus dan kontrol
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Unit Hemodialis, RSUP Sanglah Denpasar. Pemeriksaan bahan penelitian dilakukan di laboratorium yang terakreditasi. Dengan menggunakan protokol penelitian diperkirakan memerlukan waktu sekitar 6 bulan untuk mencapai jumlah sampel pemeriksaan, analisis dan penulisan.
4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi penelitian
a. Populasi target (target population) penelitian ini adalah semua penyandang HD reguler yang menjalani HD di Unit HD rumah sakit di Bali.
b. Populasi terjangkau (accessible population) penelitian ini adalah semua penyandang HD reguler yang menjalani HD di RSUP Sanglah Denpasar. c. Sampel (intended sampling) adalah sampel yang dipilih dengan teknik
consecutive sampling dari populasi terjangkau penelitian.
d. Subjek yang benar-benar diteliti (actual study subjects) adalah subjek yang benar-benar mau ikut penelitian dan mengisi formulir informed consent.
4.3.2 Kriteria inklusi
Penderita GGK berumur antara 18-60 tahun yang menjalani HD reguler di unit HD di Denpasar.
a. Penderita adalah penduduk suku bangsa Indonesia serta bersikap kooperatif. b. Penderita dalam kondisi stabil, dan sudah menjalani HD reguler minimal 3
c. Penderita sudah mencapai berat badan kering yang ditentukan oleh dokter konsultan ginjal dan hipertensi.
4.3.3 Kriteria eksklusi:
a. Penyakit gagal jantung tak terkompensasi. b. Anemia berat.
c. Sepsis d. Keganasan e. Diabetes mellitus
4.3.4 Sampel
Adalah semua penyandang HD reguler di unit HD di RSUP Sanglah Denpasar, suku bangsa Indonesia, berumur antara 18-60 tahun. Sudah menjalani HD minimal 3 bulan, dalam kondisi stabil serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.3.5 Besaran sampel
Besaran sampel ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Madiyono dkk., 2010) 1. ADMA zα = 1,96; Zβ = 0,842; (X1-X2) = 0,5; s = 0,75 n = 35 2 2 1 ) ( ) ( 2 2 1 − + = = X X s z z n n α β
Pada penelitian ini direncanakan power sebesar 80%, yaitu Zα = 1,96; Zβ = 0,842; (X1-X2) = 0,5; simpang baku (s) = 0,75. Maka jumlah sampel yang diperlukan untuk pemeriksaan ADMA adalah 35 sampel.
2. NO
zα = 1,96; Zβ = 0,842; (X1-X2) = 0,5; s = 0,75 n = 63
Pada penelitian ini direncanakan power sebesar 80%, yaitu Zα = 1,96; Zβ = 0,842; (X1-X2) = 4; simpang baku (s) = 8. Maka jumlah sampel yang diperlukan untuk pemeriksaan NO adalah 63 sampel.
3. Endothelin-1 α = 1,96 OR = 3 P1 = OR x P2 / ((1-P2) + (ORxP2)) = 0,6 P2 = 0,4 n = 110
Ditetapkan zα =1,96, sehingga besarnya dan rasio odds yang diperkirakan sebesar 3 dengan rasio kelompok HID terhadap kontrol =1, proporsi Endothelin-1 yang meningkat sebesar 0,4 sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 110 orang. 2 2 1 ) ( ) ( 2 2 1 − + = = X X s z z n n α β 2 2 2 1 1 2 )] 1 [ln( ]} / / 1 / /[ 1 { e P Q P Q z n − + = α