• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sosiolinguistik

Dalam penelitian ini, penulis mengetengahkan kajian yang berkait erat terhadap penelitian kebahasaan yaitu tentang Sosiolinguistik. Mengingat banyaknya cakupan pembahasan tentang sosiolinguistik, maka penulis kemudian mengkhususkan kajian pada Variasi Bahasa untuk selanjutnya dikerucutkan dengan pembahasan tentang alih kode dan campur kode. Sosiolinguistik adalah ilmu antar disiplin antara Sosiologi dan Linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan erat (Chaer, 1995: 2). Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat, mulai dari bagaimana masyarakat tersebut terjadi, berlangsung dan sampai pada bagaimana masyarakat tersebut tetap ada. Linguistik merupakan bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau dengan kata lain ilmu yang mengambil bahasa sebagai obyek kajiannya. Dari pengertian dua ilmu empiris tersebut, Sosiolinguistik berarti pula bidang ilmu yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa tersebut dalam masyarakat. Penggunaan bahasa dalam kehidupan masyarakat sangat beragam. Keragaman tersebut dipengaruhi beragam dan kompleksnya sebuah masyarakat. Dengan kata lain, semakin beragam sebuah masyarakat, maka bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut semakin beragam pula. Keragaman dalam masyarakat berupa

(2)

beragamnya latar belakang dari penutur, beragamnya kondisi dan situasi saat bahasa itu digunakan, beragamnya lawan bicara, beragam suku, budaya, dan lain-lain. Karena fenomena inilah kemudian sosiolinguistik juga berarti kajian tentang bahasa dan pemakaiannya dalam konteks sosial dan kebudayaan (Chaer, 1995: 6).

Trudgill dalam bukunya Sociolinguistics: An Introduction (1974) menyampaikan bahwa sosiolinguistik merupakan bagian dari Linguistik yang terfokus pada bahasa sebagai fenomena sosial dan budaya. Dengan demikian semakin jelas bahwa berbagai fenomena dalam masyarakat baik sosial maupun budaya, berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan pada masyarakat tersebut. Bahasa akan sangat beragam sejalan dengan berbagai fenomena dalam kehidupan masyarakat.

Dari beberapa pengertian sosiolinguistik tersebut di atas, pada prinsipnya sosiolinguistik merupakan bidang ilmu yang mempelajari tentang bahasa dikaitkan dengan kehidupan manusia dalam masyarakat (Hudson, 1980: 22-23). Dalam hal ini, bahasa akan ditemukan beragam sesuai dengan keragaman dalam suatu masyarkat. dengan demikian keragaman sosial berpengaruh terhadap beragamnya suatu bahasa.

Setiap bidang ilmu yang dipelajari pasti memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Sosiolinguistik tentu juga memiliki banyak manfaat, mengingat ilmu ini mempelajari tentang bahasa yang digunakan manusia dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia orang lain. Sosiolinguistik menjelaskan tentang

(3)

aturan-aturan berbahasa dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan demikian kita dapat mengetahui bahasa mana yang akan kita pergunakan pada kondisi atau situasi tertentu.

Selain manfaat dalam kehidupan praktis sehari-hari, sosiolinguistik juga bermanfaat dalam dunia pendidikan terutama kebahasaan. Pengetahuan kita terhadap kosa kata, kelompok kata, jenis kata, dll. tidak akan sempurna jika kita tidak mengetahui bagaimana kata-kata disusun untuk dapat dipergunakan dalam kehidupan, khususnya dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian, sosiolinguistik penting artinya dalam upaya memahami orang lain sehingga tidak menimbulkan misunderstanding atau salah persepsi. Selain itu gagasan kita juga dapat dengan mudah disampaikan, apabila kita benar-benar memahami bagaimana kebahasaan dalam kehidupan sosial.

Penelitian sosiolinguistik pertama yang berlangsung di California, Los Angeles (1964), dikatakan ada tujuh dimensi yang merupakan masalah dalam Sosiolinguistik. Ketujuh dimensi tersebut muncul berkait dengan adanya fenomena penggunaan suatu bahasa yang syarat dengan latar belakang penutur, pendengar dan setting saat bahasa tersebut digunakan. Dimensi tersebut adalah sebagai berikut :

a. Identitas sosial penutur. Dalam hal ini, kita dapat melihat identitas penutur setelah mengetahui siapakah si penutur dan bagaimana hubungannya dengan pendengar. Misalnya kita sudah mengetahui bahwa penutur adalah seorang

(4)

pengacara, kita selanjutnya perlu mengetahui dengan siapa dia bertutur dan dalam hubungan sebagai apa. Apakah si pengacara bertutur dengan hakim, terdakwa, pedagang buah, istri, anak maupun sahabatnya. Identitas penutur akan menyebabkan perbedaan bahasa yang digunakan.

b. Identitas sosial pendengar. Identitas ini dapat berupa pengemis, keluarga, guru, murid, dan lain-lain. Saat kita bertutur dengan mertua akan berbeda dengan saat kita bertutur dengan anak atau murid kita. Identitas pendengar yang hanya satu orang atau banyak orang juga berpengaruh terhadap kode tutur yang digunakan.

c. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi. Pilihan kode dan gaya dalam bertutur akan sangat berbeda tergantung di mana peristiwa tutur terjadi. Bahasa yang penutur gunakan di lapangan bola tentu berbeda dengan saat kita di masjid atau istana negara.

d. Analisis diakronik dan sinkronik dari dialek-dialek sosial berupa deskripsi pola-pola dialek-dialek sosial tersebut, pada masa tertentu maupun yang tak terbatas. Misalnya bahasa yang digunakan pada satu masa yang sekarang sudah tidak digunakan lagi, atau adanya beberapa penutur yang berasal dari kelas sosial tertentu dalam masyarakat.

e. Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap bentuk perilaku ujaran. Jika kita berasal dari satu kalangan sosial menengah ke atas, tentu kita memiliki standar tidak tertulis dalam menilai orang lain. Berdasar penilaian itu tentu akan berpengaruh terhadap bahasa atau penuturan yang digunakan.

(5)

f. Tingkatan variasi atau linguistik, artinya bahwa sehubungan dengan beragamnya suatu masyarakat, maka alat komunikasi berupa kode-kode juga akan bervariasi. Variasi bahasa tersebut juga akan memiliki fungsi sosial masing-masing. Misalnya jika kita berada di sebuah komunitas dengan dialek tertentu, tentu kita akan mencoba menyesuaikan sehingga fungsi sosial kita muncul melalui bahasa yang kita pergunakan.

g. Penerapan praktis dan penelitian. Dimensi ini perlu diketengahkan, mengingat bahasa akan selau dinamis seiring dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Misalnya kita perlu meneliti konflik suatu daerah yang dipicu oleh perbedaan bahasa atau adanya pembakuan bahasa yang perlu kita pelajari dalam pelajaran di sekolah.

Dengan mempelajari pada tujuh dimensi tersebut di atas, maka pembelajaran kita tentang sosiolinguistik sudah dianggap ideal. Hal ini disebabkan, dimensi-dimensi tersebut merupakan sari dari pembahasan kita tentang sosiolinguistik.

B. Variasi Bahasa

Manusia sebagai pemakai bahasa bersifat dinamis. Selain itu antara satu manusia dengan manusia lain juga berbeda. Perbedaan tersebut juga disertai dengan beragamnya suku, budaya, adat, dll. Banyaknya perbedaan tersebut, mengakibatkan beragamnya bahasa seperti terlihat dari banyaknya variasi-variasi bahasa. Bahasa memiliki dua aspek dasar, yaitu bentuk (berupa bunyi, tulisan dan

(6)

tulisan) dan makna (berupa leksikal, fungsional dan struktural). Kita akan menemukan bahwa bahasa dalam bentuk dan maknanya menunjukkan perbedaan besar maupun kecil antara pengungkapan yang satu dengan pengungkapan yang lain. Perbedaan-perbedaan bentuk bahasa itulah yang kemudian disebut variasi bahasa (Nababan, 1984 : 13).

Sarana komunikasi terutama berupa media cetak adalah salah satu indikasi tiadanya batasan jarak dan waktu. Oleh karena itu, untuk menghadapi globalisasi tersebut dibutuhkan kemampuan menguasai bahasa internasional, yang saat ini banyak digunakan adalah bahasa Inggris. Penguasaan bahasa Inggris juga akan mendorong manusia Indonesia untuk lebih mempelajari adat kebiasaan, budaya dan bahasa Inggris yang pada gilirannya juga akan menggunakan bahasa itu sendiri. Lebih lanjut, seseorang dituntut untuk memahami, menerima dan menyampaikan gagasannya dari dan kepada orang yang berlainan bahasa. Sehingga diharapkan mampu menguasai bahasa yang berbeda.

(7)

Dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari bahasa yang kita gunakan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi. Belum lagi bahasa yang digunakan oleh orang-orang di sekitar kita. Sehingga, jika dapat di buat suatu data maka variasi bahasa yang digunakan akan berjuta-juta. Salah satu fokus pembelajaran dari sosiolinguistik adalah pemahaman tentang variasi bahasa. Variasi bahasa adalah bahasa yang digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam satu masyarakat bahasa. Anggota suatu masyarakat bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai status sosial dan berbagai latar belakang budaya yang tidak sama (Chaer, 1994: 56).

Dalam variasi atau ragam bahasa ada dua pandangan, yaitu dilihat dari akibat adanya keberagaman sosial penutur dan keragaman fungsi bahasa tersebut. Dalam sebuah masyarakat homogen (baik adat, status sosial, etnik, dll) maka tidak terdapat variasi bahasa yang sangat mencolok. Pandangan lain adalah bahwa ragam atau variasi bahasa sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan yang beraneka ragam (Chaer, 1994: 81).

Menurut Hartman dan Stork (1972) variasi bahasa dibedakan lagi berdasarkan kriteria label geografi dan sosial penutur, medium yang digunakan serta pokok pembicaraan. Variasi bahasa yang muncul berdasar kriteria ini seperti bahasa masyarakat di suatu daerah dengan daerah lain yang dibatasi gunung, atau pembicaraan antara buruh dengan dosen yang kurang interaktif karena latar belakang yang berbeda.

(8)

Berbeda dengan Hartman dan Stork, Halliday (1970, 1990) secara lebih sederhana membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakaian, yang disebut dialek, dan pemakaian yang disebut register. Pada prinsipnya dialek merupakan variasi bahasa berkait dengan siapa penutur bahasa tersebut. Sedang register merupakan pemakaian bahasa dalam bidang tertentu, sehingga bahasa yang digunakan mempunyai ciri khusus dibandingkan dengan bahasa pada bidang yang lain.

Variasi bahasa berdasarkan pemakainya dibedakan dalam beberapa hal yang antara lain idiolek, dialek, sosiolek, fungsiolek, dan kronolek. Idiolek merupakan kekhasan penggunaan bahasa oleh seseorang. Pada istilah ini ditonjolkan bahwa sistim bahasa atau idiolek setiap orang menunjukkan besar kecilnya perbedaan dari idiolek orang lain, meskipun idiolek-idiolek tersebut dapat digolongkan sebagai satu bahasa. Idiolek yang menunjukkan persamaan dengan idiolek lain dapat digolongkan dalam satu kumpulan kategori yang disebut dialek. Atau dengan kata lain, dialek berarti variasi tutur yang keberadaan dan perbedaan bentuknya ditentukan oleh latar belakang dari mana si penutur berasal (Soepomo, 2003: 223). Persamaan yang disebabkan oleh berdekatannya letak geografi memungkinkan terjadinya komunikasi yang sering antara penutur-penutur idiolek tersebut. Jika penutur-penutur-penutur-penutur idiolek tersebut termasuk dalam satu kelompok masyarakat yang sama dan antarkomunikasinya disebabkan oleh kedekatan sosial, maka kategori bahasa mereka disebut sosiolek. Sedangkan fungsiolek adalah variasi bahasa yang berhubungan dengan situasi berbahasa dan

(9)

tingkat formalitasnya yang dalam penggunaan bahasanya ditentukan oleh fungsi berbahasa itu. Kronolek dianalogikan sebagai ragam bahasa yang dihasilkan oleh perubahan bahasa sehubungan dengan perkembangan waktu, jika perbedaan itu masih dapat dianggap perbedaan ragam dalam satu bahasa (Nababan, 1984 : 4).

Masih mengenai ragam bahasa, variasi bahasa berdasarkan pemakaiannya menurut Chaer digolongkan menjadi dua yaitu variasi bahasa tinggi. Yaitu bahasa yang dipergunakan dalam situasi resmi seperti pidato kenegaraan, bahasa pengantar dalam pendidikan, khotbah, surat menyurat resmi dan buku-buku pelajaran. Variasi bahasa tinggi ini harus dipelajari melalui pendidikan formal disekolah. Variasi bahasa yang kedua, masih menurut Chaer, adalah variasi bahasa rendah. Yaitu variasi yang dipergunakan dalam situasi tidak formal seperti situasi dirumah, warung, jalanan dan penggunaan dalam surat-menyurat pribadi atau catatan untuk diri sendiri yang dipelajari langsung dalam masyarakat umum (1994 : 62). Adanya perbedaan-perbedaan variasi bahasa tinggi dan variasi bahasa rendah oleh Ferguson disebut diglosia.

Dengan beragamnya pandangan tentang penyebab bervariasinya bahasa, jelas bahwa banyak faktor yang mempengaruhi bahasa tersebut. Namun demikian dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa merupakan satu bahasan dalam ilmu bahasa yang dikaitkan dengan pendistribusiannya dalam kehidupan sosial.

(10)

Pemakaian dua bahasa atau lebih dalam satu gejala bahasa disebut kedwibahasaan atau bilingualisme. Dalam pengertian ini, timbul kesan bahwa bilingualisme bisa terjadi dalam sistem tuturan atau komunikasi secara lisan maupun tulisan. Dalam komunikasi lisan, pemakaian dua bahasa ini tercermin melalui ucapan-ucapan bermakna yang sempurna (Haugen, 1956: 6, Mc Langhlin, 1984: 8). Selanjutnya, Alwasilah (1986: 124) mengutip dari Webster’s New Collegiate Dictionary menyatakan bahwa kedwibahasaan adalah perihal pemakaian dua bahasa lisan secara terus menerus (the constant oral use of two language) (1981:108).

Nababan dan Soetomo cenderung mengasosiasikan bahwa kedwibahaan terkait erat dengan aktivitas berbahasa lisan. Menurut Nababan (1984:27) bilingualisme adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain, sedangkan Soetomo (1985) mengartikan bahwa kedwibahasaan merupakan kemampuan mengeluarkan ucapan-ucapan yang berarti dalam bahasa lain. Namun, kesempurnaan dalam pemakaian dua bahasa secara bergantian dan terus menerus seperti dipaparkan Haugen diatas, hanya bisa terjadi apabila penutur sudah begitu fasih dalam penguasaan kedua bahasa tersebut. Ada beberapa ahli sosiolinguistik menganggap bahwa maksud dan tujuan penggunaan dua bahasa sangat beranekaragam dan berbeda dari satu orang ke orang lain bergantung pada topik, penyimak dan konteksnya.

Sedangkan kedwibahasaan dalam bahasa tulisan tidak begitu spesifik diulas oleh para ahli bahasa. Namun, pada dasarnya yang mereka kemukakan

(11)

sudah bisa dimengerti bahwa bilingualisme dapat berlangsung pula dalam bentuk bahasa tulisan. Menurut Mackey dalam Fishman yang dikutip Alwasilah (1985: 125) menyatakan bahwa kedwibahasaan merupakan pemakaian secara bergantian dua bahasa atau lebih.

Kesimpulannya, bahwa sebenarnya kedwibahasaan tidak mutlak sebagai penguasaan dua bahasa secara sempurna. Sehingga penguasaan secara sempurna atas dua bahasa yang berbeda sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi.

Orang yang memiliki kemampuan menggunakan dua bahasa atau lebih disebut dengan dwibahasawan. Pada masa sekarang, sangat lazim ditemui orang atau masyarakat yang berdwibahasa. Hal ini disebabkan kedwibahasaan sudah merupakan gejala diseluruh dunia. Selain itu, kedwibahasaan telah ada semenjak bahasa muncul dalam sejarah peradaban manusia. Sehingga sangat mungkin jika dewasa ini tidak ada kelompok bahasa yang terasing dari kelompok bahasa yang lain, apalagi dengan adanya kontak bahasa diantara penutur bahasa yang berbeda tersebut (Kamarudin, 1989:4).

Menurut Nababan (1984:27) dwibahasawan adalah seseorang yang dapat menggunakan dua bahasa, sedangkan ahli bahasa yang lain memberikan pengertian dwibahasawan sebagai berikut :

Kebiasaan untuk memakai dua bahasa atau lebih secara bergilir disebut kedwibahasaan dan pembicara yang mempunyai kebiasaan menggunakan kedua bahasa tersebut disebut dwibahasawan (Samsuri, 1978;55).

(12)

Menurut MacNamara (1967) melalui Guntur Tarigan, mendefinisikan dwibahasawan adalah orang yang memiliki paling sedikit keterampilan dasar berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, menulis) dalam bahasa kedua (L2/second language) sampai taraf minimal. Seorang dwibahasawan yang menguasai bahasa asing dan bahasa nasional atau menguasai bahasa daerah dan bahasa nasional penguasaannya tidak selalu sama baiknya atau sempurna, baik dalam tuturan lisan maupun tulisan. Menurut Haugen, persyaratan bahwa seseorang dwibahasa harus mempunyai kemampuan untuk menguasai dua atau lebih bahasa dengan sama atau hampir sama fasihnya tentu sulit untuk dipenuhi oleh seseorang, karena sebesar apapun penguasaan bahasa kedua (L2/second language) tidak akan pernah sama dengan penutur aslinya (native speaker). Adapun yang dimaksud penguasaan bahasa disini adalah seseorang bisa memahami makna yang terkandung dalam ujaran yang disampikan oleh lawan bicara. Hal ini tentunya menunjukkan kenyataan bahwa penguasaan suatu bahasa yang bukan bahasa ibu tidak akan pernah sama dengan kadar bahasa pertamanya.

D. Kode

Manusia Indonesia pada umumnya saat ini dipastikan mampu menguasai dua bahasa atau lebih. Walaupun bahasa yang dikuasai adalah berupa bahasa daerah, bahasa nasional, ataupun bahasa asing baik secara aktif maupun pasif. Dalam suatu komunikasi silang atau komunikasi dua arah maupun komunikasi satu arah, seorang penutur dua bahasa akan sering mengucapkan dua bahasa yang

(13)

dikuasainya secara bergantian baik sengaja maupun tidak sengaja. Fenomena ini bisa disebut sebagai gejala alih kode (code switching) atau campur kode (code mixing). Selanjutnya yang penulis maksudkan disini adalah penguasaan atas bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

1. Pengertian Kode

Kode merupakan varian-varian suatu bahasa. Banyak pendapat mengenai arti kode menurut para ahli bahasa. Antara lain menurut Soepomo (1976: 3) kode diartikan sebagai suatu bentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat. Kode sebagai salah satu sistim yang dipergunakan sebagai komunikasi juga dikemukakan oleh Wardhaugh (1986 : 86) :

“in contrast, the neutral term code can be used to refer to any kind of system that two or more people employ for communication. (it can actually be used for a system used by a single person, as when someone devises a private code to protect certain secrets)”.

Kridalaksana mendefinisikan kode sebagai sebuah sistem bahasa dalam masyarakat, lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu dan variasi tertentu dalam bahasa (Kridalaksana, 1982 : 27). Sedangkan menurut teori Bernstein yang dikutip Alwasilah menyatakan bahwa suatu kode bahasa secara fundamental berfungsi sebagai suatu perangkat aturan untuk menyatakan dan mengatur

(14)

bentuk-bentuk hubungan sosial. Atau dengan istilah lain, bahwa kesuksesan suatu hubungan sosial dari anggota masyarakat ujaran dan kemudian mendapat keistimewaan sosial dalam sosialisasinya adalah tergantung pada derajat organisasi (pengaturan) pesan-pesan linguistiknya (Alwasilah, 1989 : 96).

Dari berbagai pendapat diatas, dapat penulis simpulkan bahwa kode mempunyai ciri tersendiri yang membedakan kode satu dengan kode lainnya. Setiap bahasa memiliki beberapa kode, dan jumlah kode dari bahasa yang satu dengan bahasa lainnya berbeda. Semakin kompleks pemakaian bahasa akan semakin banyak pula kode yang dimilikinya (Soepomo, 1976 : 3). Sehingga penelitian tentang hubungan kode (alih kode dan campur kode) dengan dwibahasawan adalah menyangkut pada penggunaan bahasa yang mereka kuasai.

2.

Alih Kode (Code Switching)

Alih kode tidak akan terdapat dalam masyarakat ekabahasa, sebab menurut Di Pietro dalam Kamarudin, “the use of more than one language by communicants in the execution of a speech act”. Jadi dari pernyataan ini dapat diambil pengertian bahwa alih kode terjadi dalam suatu tuturan yang menggunakan lebih dari satu bahasa (1989 : 59). Menurut Dell Hymes, alih kode merupakan istilah umum untuk menyebutkan penggantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari suatu bahasa, atau

(15)

bahkan beberapa gaya dari satu ragam bahasa. Alih kode diasanya terjadi pada masyarakat dwi bahasa atau multibahasa. Tetapi menurut Soewito alih kode adalah peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi, alih kode dapat berupa alih dialek (dalam satu bahasa), alih tutur, maupun alih ragam (Soewito, 1983 : 68).

Namun pada dasarnya alih kode merupakan salah satu contoh percampuran variasi-variasi bahasa yang banyak terjadi, dimana seorang penutur menggunakan variasi-variasi bahasa yang berbeda dalam waktu yang berbeda pula. Atau dapat disebut, alih kode adalah suatu bentuk kontak bahasa sebagai bagian dari kontak budaya. Menurut beberapa ahli bahasa, alih kode adalah suatu tindak bahasa yang aktif dan kreatif yang dilakukan oleh seorang penutur dwibahasa. Peralihan yang dilakukan dwibahasawan ini berlangsung dalam tuturan yang cepat, yang hanya bisa terjadi jika penutur benar-benar fasih dalam dua bahasa. Hal ini didasari oleh pendapat Dulay, Heidy, Marina Burt, dan Krashen :

“Code switching, too, is an active and creative process of incorporating material from both of a bilingual’s language into communicative acts. It involves the rapid and momentary shifting from one language into another”(1982 : 114).

Akan tetapi, tindakan melakukan alih kode justru dapat diartikan bahwa penutur kurang begitu menguasai pemakaian struktur kedua bahasa. Jika terlalu sering menggunakan alih kode akan memberikan kesan bahwa penutur kurang bisa mengendalikan pemakaian sistim struktural dari kedua

(16)

bahasa dan mencampurkannya tanpa memperhatikan kaidah berbahasa dari kedua bahasa tersebut. Sehingga perlu adanya kaidah-kaidah rumit yang harus ditaati dan dipatuhi oleh penutur dwibahasa apabila akan beralih dari satu sistem gramatikal ke sistem gramatikal yang lain.

3.

Campur Kode (Code Mixing)

Di dalam masyarakat yang multilingual, campur kode merupakan suatu aspek ketergantungan bahasa yang sering terjadi. Menurut Soewito, dalam campur kode ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Maksud peranan disini adalah siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi adalah apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Jadi ada hubungn yang erat antara identitas penutur dengan bahasa yang digunakannya (Soewito, 1983 : 75). Hal yang perlu diperhatikan dalam mencermati perbedaan antara alih kode dengan campur kode adalah bahwa alih kode diasumsikan sebagai pengalihan suatu kode ke kode lain yang berhubungan dengan faktor tertentu dalam situasi tutur. Yaitu penutur dan lawan tutur, jenis komunikasi berhadapan langsung, tulisan atau telepon, topik pembicaraan, tujuan penutur berbicara, waktu dan tempat pembicaraan, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam campur kode, hal-hal tersebut bukan merupakan suatu persyaratan mutlak (Nababan, 1978 : 125).

(17)

Menurut Holmes (1992 : 51) dalam campur kode peralihan hanya terjadi pada kalimat, artinya mencakup percampuran-percampuran unsur-unsur kalimat tersebut.

”Switches only occur wthin sentences at points where the grammars of both languages match each other. So you could only switch between an adjective and noun if both languages used the same order for that adjective and noun”.

Percampuran unsur-unsur kalimat itu melibatkan juga grammar/tata bahasa yang bersistem sama dari dua bahasa yang dikuasai penutur. Dicontohkan oleh Holmes dalam kata sifat dan kata benda yang tersusun dalam sebuah klausa seperti :

English : big house French : grande maison

Ada kemungkinan campuran menjadi big maison atau grande house. Sehingga campur kode lebih dapat diartikan sebagai percampuran unit-unit bahasa satu ke bahasa lain. Percampuran bahasa ini menghasilkan bentuk-bentuk komunikasi linguistik yang baru. Akan sangat berbeda dengan contoh :

English : red boat French : bateau rouge

Pola suku katanya berlawanan, sehingga percampuran tidak dimungkinkan terjadi.

Menurut Kachru (1978 : 32) bahwa berbagai bentuk campur kode berkisar antara kata dan frasa dengan berbagai variasinya. Variasi tersebut berbentuk baster, ungkapan dan kata ulang. Pendapat para ahli dan pembahasan mengenai campur kode sebenarnya tidak jauh berbeda dengan

(18)

pembahasan mengenai alih kode. Maksudnya bahwa ragam bahasa atau bahkan unsur-unsur bahasa adalah obyek utama dari kedua gejala bahasa tersebut. Namun seperti pendapat Nababan diatas, bahwa keduanya harus dibedakan. Campur kode tidak memerlukan syarat-syarat tertentu (seperti kehadiran orang ketiga serta pengaruh waktu dan tempat) yang mengharuskan penutur melakukan percampuran. Nababan juga mempertegas pernyatannya ini dengan mengatakan bahwa campur kode hanya bisa terjadi dalam situasi tidak formal atau situasi yang santai.

4. Penyebab Terjadinya Alih Kode dan Campur Kode 4.1. Penyebab Terjadinya Alih Kode

Pergantian kode hanya akan terjadi pada seseorang yang bisa atau menguasai lebih dari dua bahasa. Menurut Trudgill :

“Code switching is switching from one language variety to another when situation demands (1976 : 86).

Jadi alih kode terjadi apabila ada situasi yang menghendaki. Maksud situasi disini adalah faktor-faktor yang ada seperti suasana hati, keinginan untuk mendidik lawan bicara, hadirnya orang ketiga, penutur yang tidak menguasai kode yang dipakai atau dan sedang mempelajarinya, pengaruh kalimat/kode yang terucap yang macamnya lain dengan kode semula, dan lain sebagainya

(19)

(Soepomo, 1976 : 13). Juga menurut Janet Holmes, bahwa apabila perubahan kode itu sangat jelas, maka hal tersebut dapat disebut alih kode. Peralihan suatu kode ke kode lain terjadi karena keinginan penutur sendiri sebagai akibat dari perubahan suasana percakapan. Alih kode juga disebabkan oleh tidak adanya kata yang tepat untuk digunakan mengungkapkan sesuatu dalam bahasa pertama oleh seorang penutur ke bahasa kedua, sehingga kemudian ia menggunakan bahasa lain yang dikuasai. Juga menurut Istiati Soetomo :

“...alih kode tidak hanya berasal dari satu-dua faktor tertentu saja, tetapi juga bermacam-macam faktor yang sangat kompleks dan saling kait-mengkait. Semua faktor itu dapat diperhatikan secara seksama. Jika diterapkan teori Talcott-Persons untuk menanggapi perilaku ini, faktor-faktor yang mempengaruhinya ternyata dapat diungkapkan dengan lebih cermat dan jelas. Dengan demikian, teori Talcott-Persons ini memberikan kemampuan lebih besar untuk memilah-milah faktor penyebab gejala tuturan seperti alih kode itu” (1992 : 29).

Menurut Soepomo (1976 : 34), alih kode dikelompokkan dalam dua golongan pokok, yaitu :

1. Alih kode sementara, yaitu pergantian kode karena kehadiran orang ketiga dan terdiri maksimal beberapa kalimat.

Contohnya, ketika A dan B sedang terlibat percakapan menggunakan bahasa X. Kemudian muncul C yang tidak mampu berbahasa X, sedangkan ketiganya mampu berbahasa Y. Maka A dan B kemudian beralih ke bahasa Y, agar C juga dapat mengikuti percakapan yang sedang berlangsung.

(20)

2. Alih kode permanen, biasanya berarti adanya pergantian sikap relasi terhadap orang kedua secara sadar.

Sedangkan oleh Soewito (1983 : 68), alih kode dibagi kedalam tipe-tipe sebagai berikut :

1. Alih kode intern, yaitu yang terjadi antara variasi dalam suatu bahasa asli. Contohnya penggunaan bahasa Indonesia menggunakan dialek Betawi, kemudian beralih ke dialek Jawa.

2. Alih kode ekstern, terjadi pada variasi bahasa asli dengan bahasa asing dan terbatas pada pengguna dwibahasa dan multibahasa.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih kode terdapat dalam pernyataan Hymes dalam Soewito yang terangkum dalam akronim SPEAKING yang dijelaskan sebagai : Setting and Scene (tempat dan suasana), Participants (lawan bicara), Ends (tujuan dan maksud perbincangan), Act sequences (sikap), Key (latarbelakang pembicaraan), Instrumentalities (sarana), Norms (aturan berbahasa), dan Genres (yang berhubungan dengan jenis kelamin).

4.2. Penyebab Terjadinya Campur Kode

Sedangkan campur kode sangat berbeda dengan alih kode dalam hal proses terjadinya, penulis akan mencoba memaparkan faktor penyebab campur kode. Menurut Holmes, campur kode terjadi karena penutur kurang begitu menguasai kedua bahasa yang dimilikinya secara baik.

(21)

“Code mixing suggests the speaker is mixing up code indiscrimanately or perhaps because of incompetence, whereas the switches are very well-motivated in relation to the symbolic or social meaning of the two codes” (1992 : 50).

Campur kode sebenarnya adalah suatu keadaan bahasa dimana orang mencampur dua atau lebih ragam bahasa dalam suatu tindakan berbahasa tanpa ada suatu dalam situasi berbahasa tersebut yang menuntut adanya pencampuran, dengan kata lain campur kode terjadi karena kebiasaan seorang penutur mencampur dua atau lebih ragam bahasa dalam situasi informal. Ia juga tidak menolak terjadinya campur kode dalam suasana tertentu. Masih menurut Nababan, campur kode terjadi dalam situasi informal atau tidak resmi. Namun jika dalam situasi formal masih muncul campur kode, hal ini dimungkinkan karena tidak adanya ungkapan dari bahasa asing, atau bahkan mungkin dalam hal tertentu penutur ingin memamerkan “kedudukannya” atau “keterpelajaran”nya (Nababan, 1982 : 32).

Menurut Soewito dan Kachru, tipe campur kode ada dua yaitu ; tipe campur kode yang dilatarbelakangi attitude atau sikap dan tipe campur kode yang dilatarbelakangi kebahasaan atau linguistic. Masih menurut Kachru (1978 : 37) dan Soewito (1978 : 77) bahwa campur kode menunjukkan beberapa kesan yang dapat diambil dari diri penutur berupa :

1. Identifikasi Peranan

Hal ini dapat diukur dengan melihat keadaan sosial, registral dan edukasional.

(22)

2. Identifikasi Ragam

Hal ini ditentukan oleh bahasa, yang mana penutur yang melakukan campur kode akan menempatkan dirinya ke dalam status sosial tertentu. 3. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan

Campur kode menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain, dan sikap serta hubungan orang lain terhadap penutur tersebut. Misalnya untuk menunjukkan keakraban.

Campur kode terjadi karena hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk dan fungsi bahasa. Artinya, penutur yang mempunyai latarbelakang sosial tertentu cenderung memilih bentuk campur kode untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Bentuk dukungan tersebut maksudnya jika campur kode menggunakan unsur-unsur bahasa Inggris, akan memberi kesan bahwa penutur adalah orang yang modern, berpendidikan tinggi, dan mempunyai hubungan luas. Campur kode menggunakan unsur bahasa daerah menunjukkan bahwa penutur cukup kuat rasa kedaerahannya atau ingin menonjolkan kekhasan daerahnya.

Dari sejumlah pendapat dari para ahli tersebut, penulis menyimpulkan bahwa alih kode terjadi dalam suasana mendadak ketika suatu tuturan atau percakapan sedang terjadi. Keadaan ini terjadi karena tempat dan suasana serta obyek pembicaraan berubah, munculnya orang ketiga, dan adanya tujuan tertentu pergantian kode oleh penuturnya. Dalam campur kode, penulis beranggapan bahwa penutur sudah terbiasa bertutur dalam dua bahasa atau

(23)

multi bahasa yang dikuasainya. Terlepas dari apakah penutur menguasai atau tidak struktur bahasa-bahasa tersebut.

E. Sekilas tentang Penulis Gayeng Semarang

Dalam sebuah penerbitan pers atau media cetak, selain disajikan tulisan-tulisan berita baik politik, hukum, olah raga, pendidikan, budaya, dan sosial, juga disajikan rubrik. Rubrik ini berupa kolom yang yang hadir setiap hari, mingguan, atau bulanan. Seperti halnya harian umum Suara Merdeka menyajikan rubrik Gayeng Semarang yang diisi oleh para kolumnis yang handal dengan menyoroti permasalahn kehidupan sehari-hari. Bahasa yang digunakan pun lugas dan mudah difahami. Kumpulan rubrik Gayeng Semarang yang penulis teliti antara lain memuat tulisan dari kolumnis :

1. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH.

Beliau lahir di Banyumas pada tanggal 15 Desember 1930. Tokoh yang berkecimpung didunia akademis ini adalah profesor hukum di Universitas Diponegoro Semarang, pengajar pada Ilmu Kepolisian pada program Pasca Sarjana Universitas Indonesia dan juga sebagai Dewan Pendidikan Tinggi di Departemen Pendidikan. Bapak empat anak ini menempuh pendidikan pada master hukum Universitas Diponegoro pada tahun 1960, University California at Berkeley tahun 1972 dan doktor ilmu hukum Universitas Diponegoro Semarang tahun 1979. Sekarang beliau sudah pensiun dan memiliki sebutan Profesor Emeritus Sosiologi.

(24)

2. Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc.

Beliau dilahirkan di Purbalingga tanggal 9 Juni 1944. Beliau mengenyam pendidikan sebagai Sarjana Teknik Arsitektur di Universitas Gajah Mada Yogyakarta tahun 1969, pasca sarjana Town Planning University of Wales Institute of Science and Technology, Cardiff, UK tahun 1978. Pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Diponegoro Semarang dan Ketua Forum Rektor Jawa Tengah. Saat ini jabatan beliau adalah Ketua DP2K Kota Semarang dan Ketua Dewan Kesenian Provinsi Jawa Tengah. Berbagai penghargaan lokal, daerah hingga nasional pernah diterimanya.

3. Prof. Dr. Abu Su’ud.

Lahir di Tegal pada tanggal 27 juli 1938. Tokoh yang aktif di berbagai lembaga seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia ini pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang sampai masa bakti tahun 2007. Beliau lulus sebagai Sarjana Pendidikan Sejarah/Budaya dari IKIP Bandung pada tahun 1964, Doktor Pendidikan Studi Sosial IKIP Bandung tahun 1986, dan guru besar Pendidikan Sejarah tahun 1991.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang PU Cipta Karya diharapkan Kabupaten dapat menggerakkan semua sumber daya yang ada untuk

Pustakawan dan Guru Pustakawan Perpustakaan Sekolah harus dapat memahami secara baik apa yang menjadi tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan pada Sekolah Dasar, Sekolah

(1) Yang  dimaksud  dengan  Surat  Perjanjian  Kerja  Sama  ini  adalah  perjanjian  dimana  PIHAK  KESATU  mengikat  PIHAK  KEDUA    sebagaimana  pula  PIHAK 

Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia, Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan, Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Sistem Pengendalian Internal Terhadap Kualitas

1) Diisi dengan nama jabatan yang menandatangani keputusan. 2) Diisi dengan nomor keputusan. 3) Diisi dengan nama pihak yang merugikan, disertai jabatan NIP bagi Pegawai

52 Penyediaan Peralatan dan Perlengkapan Kantor, 26273163 Belanja Modal Peralatan dan Mesin-Pengadaan Komputer APBDP Karo (Kab.).

Rata- rata rasa nori pada penyaringan rumput laut 90% adalah 5,9 dengan rasa hampir sama dengan penyaringan 100% yaitu rasa yang tidak terasa asin dan agak

Penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah wawasan seorang penulis sebagai seorang mahasiswa, selain itu penelitian ini sebagai informasi pengetahuan mengenai