RINGKASAN EKSEKUTIF
Pada periode Januari-April 2012 terjadi 2.408 insiden
kekerasan yang mengakibatkan 302 tewas, 2.044
cedera, dan 682 bangunan rusak di sembilan provinsi
yang dipantau dalam program Sistem Pemantauan
Kekerasan Nasional (
National Violence Monitoring
System
-NVMS). Dari total insiden kekerasan
tersebut, 61% berasal dari konflik kekerasan. Jenis
kekerasan lain yang dipantau adalah kriminalitas
(28%), kekerasan dalam rumah tangga/KDRT (8%)
dan kekerasan aparat (4%). Total insiden tahun 2012
menurun sebanyak 6% dibandingkan dengan
rata-rata Januari-April tahun 2006-2008, namun korban
tewas meningkat 13% dan kerusakan bangunan naik
drastis 115%. Meningkatnya korban tewas tahun
2012 terutama disebabkan oleh konflik kekerasan
Pemilukada, sedangkan kerusakan bangunan
sebagian besar berasal dari konflik kekerasan
antar-etnik. Korban cedera paling besar berasal dari insiden
kekerasan terkait demonstrasi menolak rencana
pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak
(BBM).
Konflik kekerasan Pemilukada terjadi di Provinsi
Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) dan Papua. Di
Provinsi NAD terjadi 111 insiden dan di Provinsi Papua
terjadi 8 insiden. Sebagian besar insiden terjadi antara
para pendukung partai politik. Eskalasi kekerasan
menjelang Pemilukada di NAD sudah terjadi sejak
Oktober 2011. Akar konflik tersebut diduga karena
perselisihan antara Gubernur petahana Irwandi Yusuf
dengan Partai Aceh. Pada periode ini dampak yang
tercatat adalah 48 cedera dan 14 bangunan rusak.
Sedangkan di Papua, konflik kekerasan Pemilukada
mengakibatkan 19 tewas, 115 cedera dan 130
bangunan rusak. Konflik kekerasan Pemilukada ini
memerlukan penanganan tegas dari aparat keamanan
agar konsolidasi demokrasi dalam jangka panjang tidak
terganggu. Di sisi lain, partai politik harus memperkuat
fungsinya sebagai agregator kepentingan dan saluran
komunikasi konstituen agar bisa meredam potensi
kekerasan. Kapasitas penyelenggara Pemilukada
Pemantauan Konflik Kekerasan di Indonesia
Catatan Kebijakan
dalam menyelenggarakan dan mengawasi jalannya
Pemilukada perlu ditingkatkan.
Isu lain yang penting pada periode ini adalah sengketa
tanah, yang tercatat menonjol di Provinsi Maluku.
Sengketa tanah terjadi hampir di seluruh wilayah
Maluku sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dalam
satu dekade terakhir saja telah terjadi sebanyak 175
insiden kekerasan yang mengakibatkan 45 tewas,
374 cedera, dan 388 bangunan rusak. Terdapat tiga
akar masalah sengketa tanah yang terus berulang
tersebut yaitu batas wilayah antar-desa/negeri, klaim
kepemilikan adat, tumpang tindihnya wilayah adat
dengan wilayah adminsitratif. Akar masalah tanah ini
perlu segera diselesaikan hingga tuntas karena sering
kali berujung pada kekerasan. Kemampuan lembaga
adat dan pemerintah daerah serta sinergi antara
keduanya perlu ditingkatkan dalam mengelola konflik
dan menyelesaikan masalah tanah. Aparat keamanan
juga harus bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan
sebagai wujud dari penegakan hukum.
Catatan kebijakan ini bertujuan menjelaskan tren
kekerasan yang dipantau pada periode Januari-April
2012 dan mengulas secara detail kedua isu di atas.
Catatan kebijakan ini diharapkan dapat memberi
masukan bagi pengambil kebijakan di tingkat lokal
maupun nasional serta lembaga masyarakat sipil
yang bergerak dalam bidang manajemen konflik.
KALIMANTAN BARAT JABODETABEK NAD SULAWESI TENGAH MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA NTT MALUKU Edisi 01/Juli 2012
Peta Kekerasan di Indonesia (Januari-April 2012)
The Habibie Center didirikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie dan keluarga sebagai organisasi independen,
non-pemerintah dan non-profit sejak tahun 1999. Visi The Habibie Center adalah menciptakan masyarakat demokratis
secara struktural berdasarkan moralitas dan integritas nilai-nilai budaya dan agama. Misi The Habibie Center adalah
pertama, untuk mendirikan masyarakat demokratis secara struktural dan kultural yang mengakui, menghormati dan
mempromosikan hak asasi manusia, melakukan studi dan advokasi isu-isu tentang perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia dan kedua, untuk meningkatkan manajemen
Bagian 1. Pola dan Tren Kekerasan di Sembilan Provinsi Selama Januari-April 2012 terjadi total 2.408 insiden kekerasan yang mengakibatkan 302 tewas, 2.044 cedera, dan 682 bangunan rusak. Pada periode ini, kerusakan bangunan meningkat tajam di Februari. Tren tersebut sebagian besar berasal dari satu insiden di Provinsi Maluku, yaitu bentrokan di Pelauw (Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah). Bentrokan tersebut akibat sengketa penentuan tanggal peresmian rumah adat yang mengakibatkan 300 bangunan rusak. Peningkatan korban cedera pada Maret paling besar disebabkan oleh insiden demonstrasi yang berakhir dengan kekerasan (Gambar 1).
Jika data kekerasan pada periode Januari-April 2012 dibandingkan dengan rata-rata data ViCIS pada periode
yang sama tahun 2006-2008 (Gambar 2)1, maka terjadi
peningkatan korban tewas sebesar 13% dan kerusakan
1 ViCIS (Violent Conflict in Indonesia Study) database tahun 1998-2008. Karena data setelah periode ViCIS tersebut belum tersedia maka data periode 2012 dibandingkan dengan tahun 2006-2008.
bangunan sebesar 115% walaupun jumlah insiden turun 6%. Peningkatan dampak tewas sebagian besar terjadi terkait dengan masalah Pemilukada di Provinsi Papua, sedangkan kerusakan bangunan sebagian besar berasal dari konflik kekerasan di Pelauw, Provinsi Maluku seperti tersebut di atas.
NMVS membagi insiden kekerasan ke dalam empat kategori (lihat Kotak 2. Definisi). Berdasarkan kategori tersebut diperoleh gambaran mengenai jenis-jenis kekerasan beserta dampak yang ditimbulkannya, seperti dalam Tabel 1. Dari tabel tersebut terlihat 61% dari semua insiden kekerasan merupakan insiden yang dilatarbelakangi perselisihan sehingga dikategorikan sebagai konflik. Kecenderungan ini konsisten dengan data pada periode 2006-2008.
Catatan Kebijakan 2 The Habibie Center
2.562 2.408
267 302
1.964 2.044
362 317 274
682
Gambar2.PerbandinganrataͲratainsidendandampakkekerasandi
sembilanprovinsi(JanͲApr2006Ͳ2008dan2012)
RataͲrataJanuariͲApril2006Ͳ2008 JanuariͲApril2012 TotalInsiden Tewas Cedera Pemerkosaan KerusakanBangunan
0 100 200 300 400 500 600 700
Januari Februari Maret April
Gambar 1. Insiden dan dampak kekerasan di sembilan provinsi (Januari-April 2012)
Total insiden Tewas Cedera Kerusakan Bangunan
KOTAK 1: Program Sistem Pemantauan Kekerasan Nasional / National Violence Monitoring System (NVMS)
Catatan Kebijakan ini diterbitkan melalui program NVMS. Program ini diimplementasikan sejak tahun 2012 oleh The
Habibie Center dengan hibah dari The Korea Economic Transitions and Peacebulding Trust Fund. NVMS bertujuan
menyediakan data dan analisis kekerasan yang akurat dan cepat bagi pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia dalam mendukung penyusunan kebijakan dan program dalam bidang konflik yang berbasis data.
Sebagai bagian dari program NVMS, saat ini sedang dibangun database kekerasan untuk mencatat seluruh insiden kekerasan yang terjadi di provinsi sasaran secara reguler. Database ini mencakup sembilan provinsi di Indonesia: Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, NTT dan Jabodetabek. Provinsi-provinsi lain akan ditambahkan hingga pada akhirnya seluruh provinsi dapat dicakup.
Seperti ditunjukkan oleh penelitian-penelitian di bidang konflik sebelumnya, surat kabar lokal di Indonesia merupakan sumber informasi yang paling tepat untuk mengumpulkan data kekerasan secara sistematis dan kontinu. Mengikuti hal itu, NVMS membangun database menggunakan 34 surat kabar lokal di sembilan provinsi sasaran, meski sumber-sumber lain juga dipergunakan secara rutin untuk proses verifikasi. Agar analisis data dapat berjalan maksimal, database menggunakan definisi kekerasan secara luas, yaitu: sebuah tindakan yang mengakibatkan dampak fisik secara langsung. Untuk setiap insiden kekerasan, sejumlah variabel kunci dicatat dalam database, termasuk: tanggal dan lokasi kejadian; dampak fisik terhadap manusia dan harta benda; pemicu dan bentuk kekerasan; aktor yang terlibat dan senjata yang digunakan; serta upaya penghentian kekerasan dan hasilnya. Saat ini portal data sedang dibangun sehingga nantinya database dapat diakses secara gratis oleh publik.
Tabel 1. Insiden dan dampak kekerasan menurut jenis kekerasan di sembilan provinsi (Januari-April 2012)2
Jenis Kekerasan Jumlah
Insiden Jumlah Tewas Jumlah Cedera Jumlah Pemer- kosaan Jumlah Bangunan Rusak Konflik 1.463 160 1.609 1 665 Sumber daya - 72 6 87 0 31 Administratif - 106 8 261 0 43 Politis - 149 24 176 0 153 Identitas - 39 9 86 0 331 Harga diri - 431 49 413 1 25 Main hakim - sendiri 307 36 335 0 36 Tidak jelas - 2 359 28 251 0 46 Kriminalitas 673 70 231 249 15 KDRT 187 52 121 24 1 Kekerasan Aparat 85 20 83 0 1 Total 2.408 302 2.044 274 682
1.a. Konflik kekerasan
Dari semua insiden konflik yang tercatat di dalam database, dua masalah yang paling dominan muncul adalah kekerasan yang dilakukan karena masalah harga diri (29%) dan tindakan main hakim sendiri (21%). Insiden-insiden di dalam kategori masalah harga diri biasanya terjadi ketika individu atau kelompok merasa tersinggung oleh penghinaan atau perselingkuhan dan membalasnya dengan tindak kekerasan. Walaupun lebih sering terjadi secara spontan yang hanya melibatkan individu, insiden kekerasan tersebut juga berpotensi menjadi peristiwa besar yang melibatkan massa dan mengakibatkan dampak kumulatif yang besar. Salah satu contoh, pada bulan Maret terjadi kerusuhan di Kecamatan Abepura, Papua yang berawal dari ketersinggungan salah satu warga yang akhirnya membesar menjadi kerusuhan. Dalam peristiwa itu sekitar 100 warga melakukan penyerangan hingga mengakibatkan 4 cedera, 3 rumah dan 2 motor rusak. Dalam periode ini saja, jumlah korban akibat masalah harga diri ini mencapai 49 orang tewas dan lebih dari 400 orang cedera. Data menunjukkan bahwa masalah ini juga telah terjadi sejak beberapa tahun lalu dan tersebar di 9 provinsi yang dipantau. Kecenderungan ini menimbulkan pertanyaan apakah lembaga informal masih bekerja untuk menyelesaikan perselisihan atau kekerasan dianggap sebagai pilihan termudah.
Di sisi lain persoalan main hakim sendiri mengindikasikan lemahnya proses penegakan hukum formal. Masalah-masalah yang melatarbelakangi insiden-insiden dalam kategori ini dapat dilihat dalam Gambar 3. Selama periode ini, tindakan main hakim sendiri yang sebagian besar berbentuk pengeroyokan oleh massa menyebabkan 36 tewas dan 335 cedera. Kecenderungan main hakim sendiri
2 Sebanyak 359 (25%) insiden konflik kekerasan dikategorikan seba
-gai “tidak jelas” karena masalah yang diperselisihkan oleh kedua pihak
tidak diketahui. Insiden-insiden dalam kelompok ini penting untuk di
-catat karena jumlah dan dampaknya besar.
tidak hanya terkonsentrasi di beberapa lokasi saja tetapi tersebar luas di semua daerah. Apalagi masalah ini tidak hanya muncul akhir-akhir ini saja. Data rata-rata pada periode yang sama tahun 2006-2008 juga menunjukkan kecenderungan serupa di mana terdapat 25 tewas dan 358 cedera akibat tindakan main hakim sendiri. Fenomena main hakim sendiri tersebar di seluruh provinsi yang dipantau tersebut kemungkinan terjadi karena rendahnya kepercayaan pada proses penegakan hukum formal sehingga kekerasan menjadi pilihan. Hal ini diakibatkan oleh akses terhadap layanan hukum yang terbatas, proses yang dianggap berbelit-belit, dan ketidakpuasan terhadap keputusan pengadilan.
Konflik kekerasan terkait identitas3 pada periode ini
tercatat 39 insiden di mana paling sering terjadi dalam 3 Database NVMS mengelompokkan isu identitas berdasarkan afiliasi etnis, agama, geografi, gender, klub olah raga, dan migrasi/perantau/
pengungsi.
KOTAK 2: Definisi
Mengingat luasnya cakupan insiden kekerasan maka
program NVMS menggunakan beberapa definisi penting
untuk membedakan jenis kekerasan, yaitu:
Konflik kekerasan adalah jenis kekerasan yang terjadi karena adanya sengketa yang melatarbelakangi atau diperselisihkan dan pihak tertentu yang menjadi sasaran.
Definisi konflik kekerasan tersebut mencakup
insiden-insiden berskala kecil yang hanya melibatkan beberapa individu dan/atau insiden besar antar-kelompok.
Kriminalitas dengan kekerasan adalah insiden kekerasan yang terjadi tanpa adanya sengketa yang diperselisihkan sebelumnya dan target tertentu.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah seluruh
tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh anggota
keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, di mana
anggota keluarga tersebut tinggal satu atap/satu rumah,
termasuk di dalamnya kekerasan yang dilakukan anggota keluarga terhadap pembantu rumah tangga.
Kekerasan aparat adalah seluruh tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh aparat keamanan formal dalam
merespon tindak kriminalitas. Tindakan tersebut
termasuk kekerasan yang dianggap sesuai dengan atau melebihi wewenang mereka.
Kecelakaan 6% Hutang piutang 8% Pencurian 55% Pengrusakan 2% Penganiayaan/ pembunuhan 26% Narkoba 1% Guna-guna 2%
Gambar 3. Insiden main hakim sendiri berdasarkan masalah di sembilan provinsi (Januari-April 2012)
bentuk kerusuhan dan bentrokan antar-desa (33%). Konflik kekerasan tipe ini mengakibatkan 9 tewas. Karena identitas selalu dikaitkan dengan kelompok, di mana orang-orang dibedakan menjadi bagian atau bukan bagian dari suatu kelompok, maka insiden konflik biasanya melibatkan mobilisasi massa. Walaupun insiden seperti ini relatif jarang terjadi tetapi dampaknya lebih tinggi dibandingkan dengan kategori konflik kekerasan yang lain.
Hal lain yang penting untuk diperhatikan terkait konflik identitas adalah konflik tersebut masih terjadi di wilayah pasca-konflik komunal (1999-2002), yaitu: Maluku dan Sulawesi Tengah. Di Maluku satu insiden bentrokan antar-warga Pelauw pada Februari mengakibatkan 6 tewas, 24 cedera, dan 300 bangunan rusak. Di Sulawesi Tengah rangkaian bentrokan antar-desa terkait identitas mengakibatkan 2 tewas, 43 cedera, dan 23 bangunan rusak. Insiden-insiden seperti ini sulit dihentikan karena sifatnya meluas dan terus berulang. Sebagian insiden yang ditangani oleh aparat keamanan hanya sampai pada tahap menghentikan kekerasan. Namun demikian, belum ada tindak lanjut untuk menyelesaikan akar persoalan oleh pihak-pihak terkait.
Program NVMS juga memantau konflik kekerasan terkait sumber daya yang mencakup kepemilikan dan penggunaan tanah, sumber daya alam/buatan, akses atas pekerjaan, dan pencemaran lingkungan. Pada periode ini sebagian besar (69%) insiden kekerasan tersebut merupakan masalah tanah dan hampir setengahnya terjadi di Provinsi Maluku yang memiliki sejarah panjang sengketa tanah ulayat. Sebagian besar insiden (42%) terkait tanah di provinsi ini adalah bentrokan antar-desa/negeri (desa adat) yang mengakibatkan 3 tewas, 54 cedera dan 19 bangunan rusak.
Jenis konflik kekerasan terkait isu politis mencakup Pemilu/Pemilukada, persaingan atas jabatan, sengketa partai politik, separatisme, dan isu politik internasional. Pada periode ini insiden kekerasan dalam kategori ini paling banyak berasal dari konflik Pemilukada di Provinsi NAD dan Papua. Di Provinsi NAD konflik kekerasan terjadi, baik di Pemilukada tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota, tertinggi dalam bentuk perusakan dan serangan fisik berskala kecil. Di Provinsi NAD terjadi 111 insiden konflik Pemilukada yang mengakibatkan 48 cedera dan
14 bangunan rusak.4 Di Provinsi Papua, meskipun hanya
terjadi 8 insiden, dampak yang ditimbulkan jauh lebih besar, yaitu: 19 tewas, 115 cedera, dan 130 bangunan rusak akibat bentrokan dan kerusuhan. Di Provinsi Papua juga terjadi 8 insiden konflik separatisme. Sebagian besar insiden tersebut terjadi di Kabupaten Puncak Jaya yang mengakibatkan 5 tewas.
Jenis konflik kekerasan terakhir dikelompokkan dalam kategori isu administratif, yang berisi insiden terkait ketidakpuasan atas kebijakan dan layanan publik. Dari
4 Insiden tanggal 1 Januari 2012 mengakibatkan satu tewas dan satu cedera di Seureuke, Aceh Utara. Menurut aparat, insiden tersebut merupakan sengketa antara transmigran dan masyarakat lokal tetapi menurut beberapa lembaga lain, insiden tersebut terkait Pemilukada.
total insiden isu administratif, 24 insiden diantaranya merupakan demonstrasi dengan kekerasan sebagai respon terhadap rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM.
Demonstrasi tersebut mengakibatkan 220 cedera. Jumlah insiden dan korban tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan angka tahun 2005 dan 2008, seperti tampak pada Gambar 4.
Kenaikan jumlah insiden dan korban pada tahun 2012
disebabkan oleh dua hal. Pertama, sosialisasi rencana
mengurangi subsidi BBM tahun 2012 kurang gencar dan terencana. Kelompok oposisi justru jauh lebih intensif melakukan strategi penolakan melalui media-media utama, jalur partai politik, dan mobilisasi massa akar
rumput. Kedua, penanganan demonstrasi terkesan
berlebihan tetapi di sisi lain, aparat justru tidak bertindak tegas terhadap demonstran yang melakukan kekerasan, misalnya: pembakaran dan perusakan fasilitas umum.
1.b. Kriminalitas, KDRT, dan Kekerasan Aparat
Selain konflik kekerasan, NVMS juga memantau kri-minalitas, KDRT, dan kekerasan aparat. Data menunjukkan bahwa dari 673 insiden kriminalitas, sebagian besar diantaranya terjadi dalam bentuk perampokan, yaitu 285 insiden (42%). Sebagian besar (65%) kasus perampokan pada periode ini terjadi di wilayah Jabodetabek. Kasus perampokan di Jabodetabek ini penting untuk diperhatikan karena 30% diantaranya menggunakan senjata api organik. Selain itu, kasus pemerkosaan juga penting untuk diperhatikan. Pada periode ini tercatat 249 korban pemerkosaan, 205 diantaranya adalah perempuan sedangkan sisanya adalah anak-anak. Database juga menunjukkan 187 kasus KDRT, yang mengakibatkan 52
tewas dan 121 cedera.5 Dari jumlah tersebut, 40% korban
tewas dan 70% korban cedera adalah perempuan. Program NVMS mencatat data KDRT dan kekerasan seksual tersebut karena keduanya penting dalam perumusan kebijakan untuk menangani kekerasan sosial.
Data juga menunjukkan bahwa kekerasan aparat
merupakan masalah yang serius. Litbang Kompas (13
Mei 2012) mengeluarkan data kekerasan aparat dalam kategori penganiayaan, penyiksaan, penembakan, dan
5 Jumlah korban pemerkosaan dan KDRT kemungkinan hanya me
-wakili angka minimum karena ada stigma atau keengganan untuk me
-laporkan kejadian tersebut. Ada kemungkinan lembaga-lembaga lain
yang bekerja secara spesifik pada isu tersebut mencatat angka yang
lebih tinggi. Masukan untuk memperbaiki angka tersebut sangat di
-harapkan.
Catatan Kebijakan 4 The Habibie Center
24 16 220 50 100 150 200 250
Gambar4.Jumlahinsidendancederaterkaitrencanapengurangan
subsidiBBMdisembilanprovinsi
(2005, 2008, 2012)
5 11
24 9
0
Tahun2005 Tahun2008 Tahun2012 TotalInsiden TotalCedera
pembunuhan. Secara nasional, tahun 2010 terjadi 195 kasus dan meningkat tajam menjadi 515 kasus pada tahun 2011 secara nasional. Diperkirakan angka nasional tahunan tersebut lebih tinggi karena berdasarkan data NVMS yang hanya merekam periode Januari-April 2012 di sembilan provinsi sudah tercatat 85 kasus yang mengakibatkan 20 tewas dan 83 cedera. Jika dilihat dari persebarannya, 39% insiden kekerasan aparat terjadi di wilayah Jabodetabek, 26% terjadi di Provinsi NAD, dan 19% terjadi di Kalimantan Barat. Sebanyak 85% korban tewas dari kategori ini terjadi karena senjata api, misalnya penembakan terhadap pencuri atau perampok yang mencoba melarikan diri atau melawan ketika hendak ditangkap. Ini mengindikasikan
dua hal, pertama, aparat menghadapi semakin maraknya
penggunaan senjata api oleh pelaku kejahatan; kedua,
lemahnya pengawasan dan evaluasi oleh pimpinan aparat keamanan mengingat insiden yang paling besar justru berada di wilayah pusat kekuasaan. Penembakan oleh aparat bisa jadi memang diperlukan tetapi bisa juga merupakan tindakan yang melebihi wewenang. Hal ini memerlukan penyelidikan independen lebih lanjut.
2. Isu Utama yang perlu diperhatikan 2.a Konflik Pemilukada di NAD dan Papua
Sebagaimana telah disebutkan di Bagian 1, dibandingkan dengan rata-rata Januari-April 2006-2008, terjadi peningkatan total korban tewas sebesar 13%. Peningkatan tersebut sebagian besar berasal dari konflik kekerasan Pemilukada. Jumlah insiden dan dampak terbesar berasal dari provinsi Papua dan NAD. Analisis atas data NVMS menunjukkan adanya lima masalah terkait Pemilukada di
Provinsi NAD dan Papua. Pertama, penolakan terhadap
penyelenggara Pemilukada. Masalah ini ditemukan di Kabupaten Tolikara (Papua) di mana bentrokan terjadi antara pendukung dua kandidat, Usman Wanimbo yang diusung Partai Demokrat/Koalisi dan John Tabo (bupati petahana) dari Partai Golkar. Kubu Tabo menolak pelantikan anggota Panitia Pemilihan Daerah (PPD) pilihan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang dianggap tidak netral. Sementara itu, kubu Wanimbo menolak anggota PPD antar-waktu yang diangkat sebelumnya. Kedua belah pihak akhirnya memobilisasi pendukung yang berujung pada bentrokan sehingga 11 tewas dan 85 cedera. Selain itu, 126 bangunan dirusak dan/atau dibakar termasuk kantor Partai Golkar, kantor Partai Demokrat, kantor BPS, rumah dinas dan Puskesmas. Pada akhirnya Pemilukada ditunda atas dasar kesepakatan antara KPU dan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kabupaten Tolikara.
Kedua, konflik antar-elit. Masalah ini tampak dari konflik Pemilukada di Provinsi NAD yakni perselisihan internal antara Irwandi Yusuf, gubernur terpilih sejak 2006, dengan Partai Aceh yang didirikan oleh Gerakan Aceh Merdeka
(GAM).6 Partai Aceh menghalangi rencana Irwandi
Yusuf mencalonkan diri melalui jalur independen untuk
periode kedua dengan beberapa cara. Pertama, berdalih
6 ICG Report, Februari 2012.
Pasal 256 UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan kandidat independen hanya diperbolehkan
mencalonkan diri sekali pada pemilu pertama. Kedua,
menolak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa calon independen tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Perjanjian Helsinki. Penolakan Partai Aceh diperkuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh (DPRA) yang mengesahkan Qanun (peraturan
daerah) pada akhir Juni 2010 yang melarang calon
independen. Ketiga, berdalih bahwa kekerasan tidak
kondusif bagi pelaksanaan Pemilukada sehingga harus ditunda. Akibatnya, Pemilukada untuk memilih gubernur dan bupati/walikota tertunda hingga empat kali.7 Partai
Aceh yang pada awalnya menolak ikut serta akhirnya bersedia mengikuti Pemilukada setelah proses lobi yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri ditambah keputusan MK bahwa pendaftaran calon gubernur dibuka kembali. Pemilukada akhirnya dilaksanakan pada 9 April 2012 atau dua bulan setelah masa jabatan Irwandi Yusuf berakhir.
Ketiga, kelemahan partai politik dalam memediasi konflik kepentingan. Di Provinsi Papua, hal ini terlihat dalam kasus yang melibatkan Simon Alom dan Elvis Tabuni yang memperebutkan rekomendasi Partai Gerindra sebagai syarat maju ke pemilihan bupati Puncak. Simon mengklaim mendapatkan rekomendasi dari dewan pimpinan pusat (DPP), sementara Elvis mengklaim mendapatkan rekomendasi dari dewan pimpinan cabang (DPC). Masalah muncul ketika KPUD menolak pendaftaran Simon sebagai bakal calon bupati. Masalah ini kemudian meluas menjadi konflik antar-massa pendukung. Selama konflik berlangsung sejak pertengahan tahun 2011, tidak terlihat adanya mediasi oleh partai politik. Sebenarnya pada bulan Agustus 2011, pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan menghimbau partai politik untuk menyelesaikan konflik tersebut (Tribunews.com, 2 Agustus 2011). Akan tetapi hal itu tidak efektif. Konflik tetap berlangsung hingga mengakibatkan
57 tewas (Tempo.co, 8 Februari 2012). Kesamaan antara
kejadian di Puncak dan Tolikara adalah partai politik masih memiliki kelemahan dalam membantu menciptakan iklim berkompetisi secara sehat, diantaranya kurang menjalankan fungsi komunikasi kepada konstituen. Partai politik juga belum mampu menjalankan fungsi pendidikan politik kepada kader yang pada gilirannya berperan
terhadap eskalasi kekerasan. Lemahnya fungsi partai
politik ini diperkuat oleh kondisi sosial masyarakat Papua yang paternalistik dan menjadikan suku sebagai identitas utama sehingga berkontribusi pada tingginya potensi kekerasan dalam Pemilukada.
Keempat, penggunaan intimidasi dan kekerasan sebelum
dan sesudah Pemilukada. Masalah ini terlihat di Provinsi
NAD. Menurut catatan Kompas.com (11 April 2012)
terjadi 14 kali kekerasan dari 14 Oktober 2011 sampai 10 Januari 2012 yang mengakibatkan 12 tewas dan 19 cedera. Kekerasan tersebut berhasil menciptakan kesan
7 10 Oktober 2011, 14 November 2011, 24 Desember 2011, dan 16 Februari 2012.
bahwa kondisi NAD tidak aman untuk melaksanakan Pemilukada. Beberapa contoh kekerasan yang direkam oleh NVMS, misalnya penembakan dan pelemparan bom molotov terhadap rumah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) dan Bupati Aceh Utara, serta penembakan posko salah satu calon bupati Aceh Timur. Analisis terhadap data NVMS menunjukkan bahwa kekerasan terkait isu politis tetap terjadi di wilayah yang di masa konflik besar memiliki tingkat kekerasan tertinggi seperti tampak dalam Gambar 5 dan 6. Wilayah tersebut adalah Lhokseumawe, Aceh Utara, Pidie, Aceh Timur, dan Bireun, yang tercatat 75,6% dari total insiden, 79% dari total cedera dan 35,7% dari total kerusakan bangunan. Kekerasan masih terjadi paska ditetapkannya pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf sebagai pemenang pemilu, misalnya: pemukulan terhadap Irwandi Yusuf dan Ketua DPRA ketika keluar dari ruang pelantikan gubernur NAD (25 Juni 2012). Di hari yang sama terjadi juga insiden penembakan terhadap 2 orang yang diduga sebagai simpatisan Partai Aceh, dan pelemparan granat di rumah mantan Menteri Pertahanan GAM (Kompas, 27 Juni 2012). Beberapa kejadian tersebut mengindikasikan bahwa kekerasan terkait isu politis masih mungkin terjadi lagi di Aceh.
Kelima, tidak optimalnya peran aparat keamanan dan penyelenggara Pemilukada dalam menangani kekerasan dan merespon pengaduan masyarakat. Lambatnya penindakan oleh kepolisian terlihat misalnya dari kasus penembakan di akhir tahun 2011. Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) NAD pada awalnya mengklaim bahwa insiden itu tidak berhubungan dengan Pemilukada tetapi merupakan akibat persaingan bisnis dan kecemburuan penduduk lokal terhadap pendatang. Pernyataan ini secara tidak langsung telah dikoreksi pada tanggal 21 Februari 2012 ketika Kapolda mengatakan bahwa penembakan dilakukan oleh satu kelompok yang sama dan sudah diketahui tetapi Polda menolak mengungkapkannya. Baru pada tanggal 24 Maret 2012, Polda menangkap 6 tersangka. Lambatnya aparat merespon kekerasan dikhawatirkan dapat merusak iklim perdamaian yang sudah membaik sejak 2005. Dalam jangka panjang, pembiaran ini berpotensi mengembalikan kultur politik kekerasan di NAD. Penyelenggara Pemilukada juga dianggap tidak tanggap terhadap pengaduan masyarakat. Forum LSM Aceh dan Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF), misalnya, menyebutkan bahwa terjadi
banyak kecurangan dan intimidasi dalam Pemilukada tetapi tidak ditindaklanjuti oleh penyelenggara Pemilukada. Ini juga mengindikasikan bahwa peran lembaga-lembaga penyelenggara Pemilukada juga tidak berjalan optimal. Hal ini mengundang spekulasi tentang adanya kepentingan politis tertentu yang membuat insiden-insiden kekerasan dan intimidasi dibiarkan terjadi.
Rekomendasi
Kepolisian perlu segera mengungkapkan dan melakukan -
penindakan terhadap kasus-kasus kekerasan berkaitan dengan Pemilukada.
Pemerintah harus menjamin keamanan dan perdamaian -
agar dalam jangka panjang proses demokrasi dapat berjalan dengan baik.
Partai politik harus memperkuat peran dan fungsinya -
sebagai agregator kepentingan, sarana pendidikan politik, dan saluran komunikasi dengan konstituen untuk mereduksi potensi kekerasan.
Institusi penyelenggara Pemilukada perlu meningkatkan -
kapasitasnya dalam menyelenggarakan dan mengawasi Pemilukada, serta menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran dan intimidasi.
2.b Kasus Tanah di Maluku
Pada periode Januari-April 2012 terjadi 24 insiden konflik tanah (33%) dari total insiden konflik kekerasan di Maluku, yang mengakibatkan 3 tewas, 54 cedera, dan 19 bangunan rusak. Data ViCIS juga menunjukkan bahwa pada periode tahun 2002-2011 terjadi 151 insiden kekerasan yang mengakibatkan 42 tewas, 320 cedera, dan 369 bangunan rusak, seperti terlihat dalam Gambar 7. Sebagian besar korban tewas dan kerusakan bangunan pada tahun 2008 berasal hanya dari satu insiden kerusuhan antara warga Saleman dan Horale. Korban cedera pada tahun 2011 paling banyak berasal dari satu insiden bentrokan antara warga Iha dan Luhu.
Seperti ditunjukkan Gambar 8, berdasarkan jumlah insiden di Provinsi Maluku, Kabupaten Maluku Tengah merupakan yang tertinggi diikuti oleh Kota Ambon. Jika dilihat dari dampak keseluruhan, Kabupaten Maluku Tengah juga merupakan wilayah tertinggi, diikuti oleh
Catatan Kebijakan 6 The Habibie Center
BIREUEN ACEH TIMUR PIDIE ACEH UTARA LHOKSEUMAWE 11 13 19 20 22 2 3 4 22 7 0 3 1 1 0
Gambar 6. Insiden dan dampak konflik tertinggi per kabupaten di NAD (Januari-April 2012)
Total insiden Tewas Cedera Kerusakan Bangunan PIDIE BIREUEN ACEHTIMUR ACEHUTARA 728 912 1,318 1.632 628 1,123 1,293 1,657 728 912 1,318 1,632 628 1,123 1,293 1,657 Gambar5.Insidendandampakkonfliktertinggiperkabupaten
diNAD(Januari1998ͲAgustus2005)
ACEHSELATAN PIDIE 681 728 748 628 681 728 748 628
Kabupaten Seram Bagian Barat. Sengketa tanah terjadi baik antar-desa/negeri dengan identitas agama yang sama, misalnya Porto-Haria (Saparua, Maluku Tengah), Mamala-Morela (Leihitu, Maluku Tengah), Hitulama-Hitumessing (Leihitu, Maluku Tengah) maupun antar-desa/negeri yang berbeda identitas agama, misalnya Iha-Luhu (Huamual Belakang, Seram Bagian Barat), Saleman-Horale (Seram Utara, Maluku Tengah), Dian Darat-Letfuan (Kei Kecil, Maluku Tenggara). Konflik tanah tersebut terutama terkait dengan batas wilayah antar-desa/negeri, klaim kepemilikan adat oleh kelompok warga yang berbeda, dan konflik akibat tumpang tindih wilayah adat dengan wilayah administratif.
Jika ditarik ke belakang, sengketa tanah yang berujung pada kekerasan telah terjadi sejak dekade 70-an. Fraassen (dalam Adam, 2010) menyebutkan bahwa tekanan populasi dan melonjaknya harga cengkeh membuat nilai tanah meningkat. Hal tersebut menyebabkan tingginya persaingan sumberdaya alam sehingga berimbas pada meningkatnya sengketa tanah. Pasca konflik komunal tahun 1999-2002, penggunaan senjata api dan bom rakitan menjadi marak. Data ViCIS tahun 2002-2011 menunjukkan bahwa dari 151 insiden konflik tanah, 16% diantaranya menggunakan senjata api organik dan/atau senjata api rakitan dan bom rakitan. Tampaknya, salah satu imbas konflik komunal di Maluku adalah mewariskan pengetahuan dan kemampuan membuat senjata rakitan. Sebagai contoh, aparat juga menemukan senjata api rakitan dan bom rakitan pada bentrokan antara Mamala-Morela tahun 2005.8 Lalu pada tahun 2008 aparat menemukan
selongsong peluru senjata api organik dalam insiden Saleman-Horale. Ada kemungkinan senjata api organik tersebut adalah sisa dari masa konflik komunal yang tidak diserahkan kepada atau luput dari kejaran aparat. Berulangnya konflik tanah di Maluku menuntut penyelesaian yang tuntas. Sebagian besar intervensi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan aparat keamanan tidak hanya sampai pada tingkat menghentikan kekerasan, tetapi telah berlanjut pada usaha membangun perdamaian. Sebagai contoh pemerintah daerah dan aparat keamanan memfasilitasi perjanjian damai, pembangunan tugu perdamaian, dan pos jaga di perbatasan desa Mamala-Morela paska bentrokan 2005. Akan tetapi bentrokan kembali terjadi ketika penjagaan
8 Ambon Ekspres, 25 Nopember 2005.
oleh aparat dihentikan. Tidak efektifnya perjanjian damai juga terlihat dari berulangnya insiden kekerasan di beberapa tempat lain, seperti bentrokan warga Porta dan Haria, Ulath-Sirisori Amalatu, dan Dian Darat-Letvuan (lihat Kotak 3). Dalam kasus konflik Desa Saleman-Horale (2006) pemerintah daerah juga memfasilitasi perjanjian damai. Akan tetapi perjanjian tersebut juga tidak efektif sehingga insiden dengan eskalasi yang lebih besar terjadi lagi tahun 2008. Setelah kejadian terakhir tersebut, dibuat kembali perjanjian damai yang menyebutkan bahwa masalah pidana dan perdata akan diselesaikan secara hukum. Pengadilan tingkat satu dimenangkan oleh Saleman. Akan tetapi, Horale mengalahkan Saleman pada pengadilan tingkat banding. Saat ini, kasus tersebut masih
diproses di Mahkamah Agung.9 Kasus lain yang sampai
ke tingkat Mahkamah Agung adalah sengketa tanah antara Liang-Waai (Wisudo, 2010). Penyelesaian secara hukum mungkin dapat memutuskan pihak yang berhak atas tanah yang disengketakan, meskipun belum tentu menyelesaikan konflik kekerasan.
Akar masalah dari sengketa lahan yang terus berulang tersebut adalah sistem kepemilikan tanah yang tumpang tindih serta akses dan penggunaan tanah yang tidak tertata. Persoalan tumpang tindih antara hukum adat dan hukum nasional telah terlihat dalam banyak produk hukum formal di Indonesia. Dalam Undang-undang (UU) Pokok Agraria Tahun 1960, posisi adat dan kepemilikan adat atas tanah berada di bawah kepentingan nasional yang tersentralisasi. Posisi adat tersebut semakin tersudut lewat undang-undang tentang kehutanan yang membuat 65% wilayah daratan berada di dalam kontrol pemerintah. Ini mengabaikan hak-hak adat untuk kepentingan negara atau swasta. Pada perkembangan selanjutnya, beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah pascareformasi tampaknya memberikan perbaikan atas hak-hak adat atas
sumber daya, termasuk tanah.10
9 Wawancara dengan narasumber di Maluku Tengah, Desember
2010.
10 Misalnya UU No 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah
Hak atas Tanah Komunal, UU No 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang memberikan pengakuan hukum terhadap hak-hak adat untuk mendapat akses ke aset ekonomi, UU No 32/2004 tentang Pemerin-tahan Daerah menegaskan bahwa hukum adat masyarakat dan hak-hak tradisional setempat hanya berlaku apabila mereka dimasukkan dalam peraturan daerah. Terakhir, Rancangan Undang-undang (RUU) Sumber Daya Agraria Tahun 2004 menetapkan bahwa hukum adat bisa menjadi dasar bagi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
20 40 60 80 100 120 140 160 180
Gambar7.Konfliktanahpertahun
diMaluku(Februari2002ͲDesember2011)
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Totalinsiden 7 8 13 8 11 15 32 23 10 24 Tewas 10 5 1 1 1 3 15 1 1 4 Cedera 30 18 23 8 10 27 63 23 5 113 Kerusakanbangunan 35 0 34 43 15 23 158 17 9 35 0 20
SeramBagianBarat Buru MalukuTenggara Tual MalukuTenggaraBarat SeramBagianTimur
Gambar8.Konfliktanahperkabupaten diMaluku(Februari2002ͲDesember2011)
0 100 200 300 400 500 600 MalukuTengah
Ambon
Di Maluku, salah satu respon terhadap perubahan tersebut adalah dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Maluku No. 14 Tahun 2005 yang berisi tentang penggunaan kembali negeri sebagai komunitas adat menggantikan desa administratif. Perda tersebut menyatakan bahwa salah satu syarat agar seseorang bisa mengklaim hak-hak adat adalah memiliki hubungan historis dengan wilayah. Masyarakat yang tidak memenuhi syarat tersebut masuk ke dalam desa administratif. Perda No. 1 tahun 2006 Kabupaten Maluku Tengah menyatakan secara eksplisit bahwa semua tanah dimiliki secara adat. Ini berarti bahwa masyarakat di desa administratif tidak bisa mengklaim hak kepemilikan secara adat (Adam, 2010). Pemerintah daerah Maluku telah menyerukan agar dibuat dan ditetapkan batas antar-desa/negeri sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2006 tentang Pe ne tapan dan Penegasan Batas Desa.Akan tetapi, kebijakan ini sulit diimplementasikan karena tumpang tindihnya wilayah antar-desa/negeri dan wilayah negeri dengan desa administratif. Contoh paling
nyata dari masalah ini bisa dilihat di Kota Ambon, di mana sebagian besar wilayah kota tersebut termasuk dalam
petuanan negeri Soya tetapi di dalamnya terdapat desa dan kelurahan administratif.
Sengketa tanah ini diperumit dengan kedatangan investor perkebunan di tanah-tanah adat yang tidak jelas statusnya secara hukum, seperti yang terjadi di Seram Utara. Salah satu insiden bentrokan antara warga Latea dengan Marihunu pada Agustus 2010 yang mengakibatkan satu tewas dan tiga warga lainnya cedera. Bentrokan tersebut terjadi karena kedua kelompok mengklaim sebagai pemilik tanah yang digunakan oleh investor kelapa sawit. Insiden serupa sangat mungkin terjadi di masa depan karena semakin banyak investor yang masuk ke Provinsi Maluku, di mana status kepemilikan tanah adat sering diperselisihkan.
Di Provinsi Maluku, penyelesaian masalah tanah sangat mendesak untuk mengantisipasi terjadinya konflik kekerasan dengan dampak yang lebih besar. Lembaga adat berperan besar dalam penentuan batas dan menyelesaikan sengketa tanah. Akan tetapi, kemampuan lembaga adat perlu ditingkatkan agar peran mereka lebih optimal. Hal ini penting untuk mengantisipasi meningkatnya potensi konflik tanah di masa depan. Kemampuan pemerintah daerah dan aparat keamanan dalam memediasi perselisihan antar-desa/negeri juga perlu ditingkatkan karena sengketa antar-desa/negeri biasanya tidak bisa diselesaikan oleh tokoh adat dari negeri masing-masing.
Rekomendasi
Meningkatkan kemampuan lembaga adat dan -
pemerintah daerah dalam mengelola konflik dan penyelesaian masalah tanah melalui upaya mediasi untuk mengantisipasi timbulnya kekerasan.
Jika perselisihan berubah menjadi kekerasan maka -
aparat keamanan harus menindak pelaku sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Catatan Kebijakan ini dipublikasikan oleh The Habibie Center secara berkala setiap 4 bulan sekali dengan tujuan menjelaskan tren dan pola baru yang muncul di provinsi sasaran program NVMS. Isi catatan kebijakan ini merupakan pandangan tim NVMS-The Habibie Center. Jika memerlukan informasi lebih lanjut silakan hubungi nvms@habibiecenter.or.id.
The Habibie Center Jl. Kemang Selatan no.98
Jakarta Selatan 12560, Indonesia Telp. 62 21 780 8125 / 62 21 7817211
Fax. 62 21 781 7212 | E-mail: nvms@habibiecenter.or.id
www.habibiecenter.or.id
facebook.com/habibiecenter @habibiecenter
KOTAK 3. Kasus terkait sengketa tanah
(11/1/2012) Maluku Tenggara, Maluku. Warga Desa Dian Darat kembali terlibat bentrok dengan warga Desa Letvuan, Maluku Tenggara, Maluku. Akibat insiden ini 1 orang meninggal dan 28 orang menderita luka-luka. Aparat kepolisian tidak mampu menghentikan bentrokan karena kekurangan personel. Insiden ini
terkait masalah tanah petuanan yang dijadikan pabrik
rumput laut di desa Letvuan.
(07-08/03/2012) Saparua, Maluku Tengah, Maluku.
Terjadi bentrokan antara warga Porto dengan warga Haria. Bentrok tersebut menewaskan 1 orang akibat tembakan, 8 orang luka-luka akibat serpihan bom, dan 5 rumah dibakar massa. Kedua negeri ini sudah sering terlibat bentrok akibat konflik berkepanjangan tentang sengketa batas negeri.
(05/01/2012) Saparua, Maluku Tengah, Maluku. Terjadi
bentrokan antara warga Desa Ulath dengan warga Sirisori Amalatu terkait batas desa. Insiden tersebut mengakibatkan 3 rumah terbakar.