• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Proeko Falma Bab 1-3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Proeko Falma Bab 1-3"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KULIAH LAPANGAN PROYEK EKOLOGI BI-3102

ANALISIS EKOSISTEM KAWASAN PANTAI SUKAMADE TAMAN

NASIONAL MERU BETIRI

Tanggal Kuliah Lapangan: 30 Oktober – 4 November 2010 Tanggal Pengumpulan Laporan : 23 November 2010

Disusun oleh: Falma Kemalasari 10608038 Kelompok 9 Asisten Tejo Bawono

PROGRAM STUDI BIOLOGI SEKOLAH ILMU TEKNOLOGI HAYATI

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG BANDUNG

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, banyak terjadi perubahan pada berbagai ekosistem di Indonesia. Beberapa perubahan tersebut disebabkan oleh kejadian yang alami, misalnya akibat bencana alam seperti gunung meletus,dsb. Beberapa perubahan ekosistem lainnya terjadi akibat kegiatan manusia, seperti penebangan pohon, pembukaan hutan untuk pembuatan ladang, pencurian spesies-spesies dilindungi, dsb. Perubahan ekosistem dapat mengakibatkan banyak hal. Berkurangnya keanekaragaman hayati, berubahnya struktur suatu komunitas, perubahan fungsi – fungsi ekologi, hingga hilangnya beberapa spesies akibat dominansi spesies lain serta berbagai permasalahn lingkungan merupakan contoh dampak perubahan ekosistem. Berbagai usaha mulai dilakukan guna menanggulangi akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada ekosistem tersebut, salah satunya dengan penetapan berbagai lokasi tertentu sebagai kawasan taman nasional dan hutan lindung. Menurut UU no. 5 tahun 1990, tentang konservasi sumber daya alam dan hayati dan ekosistemnya, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli, dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional merupakan bentuk pengelolaan dalam menjalankan peran konservasi sebagai pendukung usaha pelestarian lingkungan.

Taman Nasional Meru Betiri adalah salah satu taman nasional yang ada di Indonesia. Taman nasional ini dikenal sebagai hutan tropis dataran rendah di Propinsi Jawa Timur bagian Selatan, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati tersebut meliputi kekayaan flora dengan berbagai jenis tumbuhan yang bermanfaat sebagai obat, habitat fauna serta sebagai obyek dan daya tarik wisata alam. Adapun Pantai Sukamade dan pantai Sukamade di kawasan TNMB. Pantai Rajegwesi yang masih alami bersebelahan dengan bukit, karang, dan kampung nelayan. Dalam sejarahnya, dahulu di pantai ini terdapat perkampungan besar, namun terjadinya tsunami tahun 1994 menghancurkan perkampungan tersebut dan merubah fungsi lahannya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-V/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional, Taman Nasional Meru Betiri mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan TNMB dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan

(3)

perundang-undangan yang berlaku. Berbagai nilai yang terdapat dalam taman nasional seperti perkonservasian fungsi hidrologi, potensi flora fauna, dan potensi obyek dan daya tarik wisata alam, sangat besar manfaatnya bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, taman nasional dengan besarnya keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya menjalankan berbagai fungsi ekologis, antara lain adalah sebagai penyimpanan cadangan karbon dalam bentuk biomassa. Hutan memegang peranan penting dalam hal emisi gas rumah kaca. Di satu sisi, deforestasi hutan dapat meningkatkan emisi karbon dioksida, di sisi lain, hutan juga dapat menyerap karbon dioksida tersebut sehingga menekan laju emisi karbon dioksida dari berbagai sumber. Menurut Boer dan Gintings (1998), pada tahun 1990, emisi CO2 dari sektor kehutanan mencapai 339 Gt CO2 diimbangi dengan tingkat penyerapan CO2 mencapai 686 Gt CO2. Hal ini menunjukkan bahwa Taman Nasional Meru Betiri, yang wilayahnya berupa hutan hujan tropis dengan keanekaragaman tinggi, berpotensi untuk menjadi wilayah yang dialokasikan sebagai tempat cadangan karbon serta dikonservasi sebagai usaha penyerapan emisi karbon dioksida dalam menanggulangi pemanasan global. Selain itu, Taman Nasional Meru Betiri juga menjadi habitat bagi berbagai spesies, baik spesies budidaya maupun spesies endemik.

Area Pantai Sukamade pada taman nasional ini merupakan tempat berbagai spesies penyu mendarat untuk bertelur. Hingga saat ini, pantai Sukamade di Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi tersebut merupakan satu-satunya pantai di Jawa Timur yang menjadi tempat bertelurnya empat dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia. Berdasarkan fakta kondisi populasi penyu yang semakin berkurang, lokasi bertelur yang semakin terbuka dan tidak aman, serta jumlah produksi telur yang semakin menurun, upaya-upaya penyelamatan perlu dilakukan. Upaya tersebut antara lain dengan melindungi telur penyu di alam dan melepaskan tukik kembali ke laut. Upaya penyelamatan ini harus berkelanjutan meskipun biaya yang disediakan dalam kegiatan ini cukup besar. Salah satu upaya penyelamatan tersebut telah dilakukan oleh Unit Pengelolaan Konservasi Penyu Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Provinsi Jawa Timur.

Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan Meru Betiri turut menjalankan peran dan fungsi dalam usaha pengkonservasian penyu. Upaya – upaya yang dilakukan dalam program konservasi tersebut dengan mengamankan telur-telur penyu dari pencurian dan meningkatkan peluang hidup tukik pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan populasi penyu – penyu tersebut di alam.

Begitu banyak dan penting peranan yang dimiliki oleh Taman Nasional Meru Betiri dengan berbagai ekosistem terintegrasi. Atas dasar hal – hal tersebut, penulis mengadakan

(4)

penelitian terkait kondisi ekosistem di wilayah Taman Nasional Meru Betiri dengan cakupan penelitian meliputi cadangan karbon berdasarkan biomassa, vegetasi hutan, komunitas burung, serangga, dan mamalia, serta kondisi mikroklimat di beberapa ekosistem dan mengemukakan judul “ Analisis Ekosistem Kawasan Pantai Sukamade Taman Nasional Meru Betiri”.

1.2 Tujuan

1.2.1 Mengestimasi kandungan stok karbon yang terkandung dalam tanaman dan tanah di wilayah Taman Nasional Meru Betiri

1.2.2 Menganalisis vegetasi Taman Nasional Meru Betiri dengan metode kuarter 1.2.3 Menganalisis komunitas burung Taman Nasional Meru Betiri dengan metode

point

1.2.4 Mengestimasi populasi mamalia Taman Nasional Meru Betiri dengan metode life trap

1.2.5 Menentukan kelimpahan dan menganalisis keanekaragaman serangga malam Taman Nasional Meru Betiri dengan metode light trap

1.2.6 Mengamati kondisi ekosistem estuari dan upaya konservasi penyu di area Pantai Sukamade Taman Nasional Meru Betiri

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik ekosistem hutan dataran rendah, estuari dan mangrove 2.1.1. Ekosistem hutan dataran rendah

Hutan dataran rendah merupakan hutan yang tumbuh di wilayah dataran dengan ketinggian 0 - 1200 m. (Farb, Peter.1982). Berdasarkan klasifikasi Smith (1990), hutan hujan tropis memiliki ciri rata-rata suhu tahunan yang tinggi (26° C), kelembaban udara yang cukup tinggi (80%), rata-rata curah hujan tahunan yang tinggi, dan tingkat keanekaragaman flora yang tinggi. Stratifikasi vegetasi pada hutan tropis dataran rendah juga sangat beragam hingga dapat mencapai lima stratum. Ada karakteristik tertentu yang dimiliki oleh masing – masing vegetasi yang membedakan satu vegetasi dengan vegetasi lainnya. Dua karakteristik utama yang membedakan hutan dataran rendah dengan bioma terestrial lainnya antara lain adalah tingginya kerapatan jenis pohon, besarnya nilai keanekaragaman, dan status konservasi tumbuhannya yang hampir sebagian besar dikategorikan jarang ditemui secara lokal (Clark et al., 1999). Hutan dataran rendah adalah hutan yang tumbuh dan terdapat di daerah yang tidak pernah tergenangi air. Komposisi jenis dan keanekaragaman tumbuhan di hutan tergantung pada beberapa faktor lingkungan seperti kelembaban, nutrisi, cahaya matahari, topografi, batuan induk, karateristik tanah, struktur kanopi dan sejarah tataguna lahan (Hutchincson et al., 1999). Kondisi hutan dataran rendah di daerah tropis mendukung tumbuhnya berbagai jenis spesies sehingga memungkinkan hutan tersebut memiliki nilai keanekaragaman yang tinggi.Vegetasi pohon yang biasa hidup di ekosistem ini adalah jati, sengon,dan meranti.

(6)

Gambar 1 Hutan Dataran rendah

(sumber : http://tnalaspurwo.org/index.php/webpage/)

Di dalam kanopi hutan, terutama di hutan dataran rendah, banyak terjadi hubungan timbal balik antara hewan invertebrate dan vertebrata. Beberapa tumbuhan, yang disebut Myrmecophytes, menyediakan tempat perlindungan untuk semut di dalam organ yang dimodifikasi.

2.1.2. Ekosistem estuari

Estuari adalah bagian dari ekosistem perairan yang merupakan percampuran antara air laut dan air tawar yang berasal dari sungai, sumber air tawar lainnya (saluran air tawar dan genangan air tawar). Lingkungan estuari merupakan peralihan antara darat dan laut yang sangat di pengaruhi oleh pasang surutnya air, seperti halnya pantai, namun umumnya terlindung dari pengaruh gelombang laut. Lingkungan estuari umumnya merupakan pantai tertutup atau semi terbuka yang terlindung oleh pulau-pulau kecil, terumbu karang dan bahkan gundukan pasir dan tanah liat. Tidak terlalu sulit untuk menetukan batas lingkungan estuari dalam suatu kawasan tertentu. Hanya dengan melihat sumber air tawar yang ada di sekitar pantai dan juga dengan mengukur salinitas perairan tersebut maka dapat ditentukan apakah wilayah tersebut merupakan ekosistem estuari atau bukan karena perairan estuari memiliki salinitas yang lebih rendah dari lautan dan lebih tinggi dari air tawar. Kisaran salinitasnya berada antara 5 – 25 ppm (Kaswadji, 2001).

(7)

Lingkungan estuari merupakan kawasan yang sangat penting bagi berbagai hewan dan tumbuhan, terutama yang habitatnya di area dengan karakteristik khusus seperti estuari. Pada daerah-daerah tropis, lingkungan estuari pada umumnya di tumbuhi oleh tumbuhan khas yang di sebut Mangrove. Estuari merupakan sebuah ekosistem dengan salinitas yang cukup tinggi. Hewan-hewan yang hidup pada lingkungan perairan ini adalah Hewan-hewan yang mampu beradaptasi dengan kisaran salinitas tersebut. Walaupun kondisi salinitasnya tergolong tinggi, lingkungan perairan estuari merupakan lingkungan yang sangat kaya akan nutrien yang menjadi unsur penting bagi pertumbuhan fitoplankton. Karena kawasan ini sangat kaya akan unsur hara, estuari di kenal dengan sebutan daerah pembesaran (nursery ground) bagi berbagai ikan, invertebrata seperti Crustacean, Bivalve, Echinodermata, maupun annelida. Terlihat juga ikan-ikan dengan ekonomis penting seperti siganus, baronang, serta sunu yang menjadikan daerah estuari sebagai daerah pemijahan dan pembesaran.

Pada wilayah bumi yang mengalami iklim subtropis sampai daerah dingin, fungsi estuari bukan hanya sebagai daerah pembesaran bagi berjuta hewan penting, bahkan menjadi titik daerah bagi jutaan jenis burung pantai. Kawasan estuari ini di gunakan sebagai daerah persinggahan untuk beristirahat bagi perjalanan panjang jutaan burung dalam mencari daerah yang ideal untuk perkembanganya. Disamping itu juga di gunakan oleh sebagian besar mamalia dan hewan-hewan lainnya untuk mencari makan. Keistimewaan lingkungan perairan estuari lainnya adalah sebagai penyaring dari berjuta bahan buangan cair yang bersumber dari daratan. Sebagai kawasan yang sangat dekat dengan daerah hunian penduduk, daerah estuari umumnya di jadikan daerah buangan bagi limbah-limbah cair (kita tidak membahas limbah padat di sini yang benar-benar merusak sebagian besar

(8)

lingkunagn estuary). Limbah cair ini mengandung banyak unsur diantaranya nutrisi dan bahan-bahan kimia lainnya. Dalam kisaran yang dapat di tolelir, Kawasan estuary umumnya bertindak sebagai penyaring dari limbah cair ini, mengendapkan partikel-partikel beracun dan menyisakan badan air yang lebih bersih. Inipun dengan kondisi dimana terjadi suplai yang terus-menerus dari air sungai dan laut yang cenderung lebih bersih dan mentralkan sebagaian besar bahan polutan yang masuk ke daerah estuari tersebut (Kaswadji, 2001). .

Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar seperti pada ekosistem estuari akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan lingkungan yang bervariasi, antara lain:

1. Tempat bertemunya arus air tawar dengan arus pasang-surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya;

2. Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut;

3. Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya

4. Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut.

Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi air terdapat tiga tipe estuaria: 1. Estuaria berstratifikasi sempurna/nyata atau estuaria baji garam,

dicirikan oleh adanya batas yang jelas antara air tawar dan air asin. Estuaria tipe ini ditemukan di daerah-daerah dimana aliran air tawar dari sungai besar lebih dominan dari pada intrusi air asin dari laut yang dipengaruhi oleh pasang-surut.

(9)

2. Estuaria berstratifikasi sebagian/parsial merupakan tipe yang paling umum dijumpai. Pada estuaria ini, aliran air tawar dari sungai seimbang dengan air laut yang masuk melalui arus pasang. Pencampuran air dapat terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara berkala oleh aksi pasang-surut.

3. Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal. Estuaria tipe ini dijumpai di lokasi-lokasi dimana arus pasang-surut sangat dominan dan kuat, sehingga air estuaria tercampur sempurna dan tidak terdapat stratifikasi.

Perpaduan antara beberapa sifat fisik estuaria mempunyai peranan yang penting terhadap kehidupan biota estuaria. Beberapa sifat fisik yang penting adalah sebagai berikut:

1. Salinitas

Estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, terutama bergantung pada masukan air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang-surut. Variasi ini menciptakan kondisi yang menekan bagi organisme, tapi mendukung kehidupan biota yang padat dan juga menangkal predator dari laut yang pada umumnya tidak menyukai perairan dengan salinitas yang rendah.

2. Substrat

Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang berasal dari sedimen yang dibawa melalui air tawar (sungai) dan air laut. Sebagian besar partikel lumpur estuaria bersifat organik, sehingga substrat ini kaya akan bahan organik. Bahan organik ini menjadi cadangan makanan yang penting bagi organisme estuaria.

3. Sirkulasi air

Selang waktu mengalirnya air dari sungai ke dalam estuaria dan masuknya air laut melalui arus pasang-surut menciptakan suatu gerakan dan transport air yang bermanfaat bagi biota estuaria, khususnya plankton yang hidup tersuspensi dalam air.

4. Pasang-surut

Arus pasang-surut berperan penting sebagai pengangkut zat hara dan plankton. Di samping itu arus ini juga berperan untuk mengencerkan dan menggelontorkan limbah yang sampai di estuaria

(10)

5. Penyimpanan zat hara

Peranan estuaria sebagai penyimpan zat hara sangat besar. Pohon mangrove dan lamun serta ganggang lainnya dapat mengkonversi zat hara dan menyimpannya sebagai bahan organik yang akan digunakan kemudian oleh organisme hewani

Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting sebagai berikut: 1. Sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi

pasang-surut (tidal circulation).

2. Penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan (ikan, udang...) yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground).

3. Sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang.

2.1.3. Ekosistem mangrove

Hutan mangrove merupakan ekosistem kompleks yang terdiri atas flora dan fauna daerah pantai yang hidup di habitat antara batas air pasang dan surut. Mangrove merupakan ekosistem yang spesifik karena pada umumnya hanya dijumpai pada pantai yang berombak relatif kecil atau bahkan terlindung dari ombak di sepanjang delta dan estuari yang dipengaruhi oleh masukan air dan lumpur dari daratan. Ekosistem ini berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut, dan angin topan. Tanaman mangrove berperan juga sebagai buffer dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus..

Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang

(11)

digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen,2000).

Hutan mangrove tumbuh subur dan tersebar luas di daerah delta yang dialiri aliran sungai besar dengan muara yang lebar. Di pantai yang tidak ada sungainya, daerah ekosistem mangrove relatif sempit. Karakteristik utama dari hutan mangrove ini adalah toleransinya yang tinggi terhadap kadar garam dan kemampuannya berkembang di daratan bersalinitas tinggi dimana tanaman biasa tidak dapat tumbuh. (Anonim, 2008)

Pada umumnya kondisi-kondisi fisik mangrove sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan hutan mangrove. Jika kondisi fisik ini berada dalam keadaan normal, maka mangrove dapat hidup dengan baik, namun apabila terjadi gangguan,maka akan menimbulkan ganguan bagi ekosistem mangrove, misalkan jika aliran air tawar dari permukaan terhambat masuk ke hutan mangrove, maka salinitas di dalam hutan mangrove akan meningkat. (Reid, 1961)

Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok, yaitu kelompok fauna ekosistem daratan (terestial) yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove. Komunitas tersebut terdiri atas insekta, ular, primata, dan burung, sedangkan kelompok fauna ekosistem perairan (akuatik) terdiri atas dua tipe, yaitu yang hidup di kolom air terutama berbagai jenis ikan dan udang, yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang, dan berbagai jenis invertebrata lainnya. Fungsi dan manfaat hutan mangrove secara umum adalah sebagai peredam gelombang dan angin, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen, penghasil sejumlah detritus, penghasil kayu untuk bahan konstruksi dan kayu bakar, pemasok larva ikan, dan juga dapat dijadikan sebagai tempat pariwisata. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hutan

(12)

mangrove. Antara lain tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, h utan payau dan hutan bakau.

Ekosistem mangrove terbentuk dari unsur-unsur :

a. Spesies pohon dan semak yang benar-benar memiliki habitat terbatas di lingkungan mangrove (exclusive mangrove)

b. Spesies pohon dan semak yang mampu hidup di lingkungan mangrove dan di luar lingkungan mangrove (non-exclusive mangrove)

c. Berbagai biota yang hidupnya berasosiasi dengan lingkungan mangrove, baik biota yang keberadaannya bersifat menetap, sekedar singgah mencari makan maupun biota yang keberadaannya jarang ditemukan di lingkungan mangrove

d. Berbagai proses yang terjadi di ekosistem mangrove untuk mempertahankan keberadaan ekosistem mangrove itu sendiri

e. Hamparan lumpur yang berada di batas hutan sebenarnya dengan laut f. Sumber daya manusia yang berada di sekitar ekosistem mangrove

g. Hutan mangrove dapat ditemukan di pesisir pantai wilayah tropis sampai sub tropis, terutama pada pantai yang landai, dangkal, terlindung dari gelombang besar dan muara sungai.

Secara umum hutan mangrove dapat berkembang dengan baik pada habitat dengan ciri-ciri sebagai berikut :

a. Jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir, dengan bahan bentukan berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang/koral

b. Habitat tergenang air laut secara berkala, dengan frekuensi sering (harian) atau hanya saat pasang purnama saja. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove

c. Menerima pasokan air tawar yang cukup, baik berasal dari sungai, mata air maupun air tanah yang berguna untuk menurunkan kadar garam dan menambah pasokan unsur hara dan lumpur

d. Berair payau (2-22 ‰) sampai dengan asin yang bisa mencapai salinitas 38 ‰ Secara umum hutan mangrove memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. Tidak dipengaruhi oleh iklim, tetapi dipengaruhi oleh pasang surut air laut (tergenang air laut pada saat pasang dan bebas genangan air laut pada saat surut)

(13)

b. Tumbuh membentuk jalur sepanjang garis pantai atau sungai dengan substrat anaerob berupa lempung (firm clay soil), gambut (peat), berpasir (sandy soil) dan tanah koral

c. Struktur tajuk tegakan hanya memiliki satu lapisan tajuk (berstratum tunggal). Komposisi jenis dapat homogen (hanya satu jenis) atau heterogen (lebih dari satu jenis). Jenis-jenis kayu yang terdapat pada areal yang masih berhutan dapat berbeda antara satu tempat dengan lainnya, tergantung pada kondisi tanahnya, intensitas genangan pasang surut air laut dan tingkat salinitas

d. Penyebaran jenis membentuk zonasi. Zona paling luar berhadapan langsung dengan laut pada umumnya ditumbuhi oleh jenis-jenis Avicennia spp dan Sonneratia spp (tumbuh pada lumpur yang dalam, kaya bahan organik). Zona pertengahan antara laut dan daratan pada umumnya didominasi oleh jenis-jenis Rhizophoraspp. Sedangkan zona terluar dekat dengan daratan pada umumnya didominasi oleh jenis-jenis Brugieraspp.

Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove

Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove antara lain adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :

1. Fungsi ekologis :

• pelindung garis pantai dari abrasi,

• mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, • mencegah intrusi air laut ke daratan,

• tempat berpijah aneka biota laut,

• tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga,

• sebagai pengatur iklim mikro. 2. Fungsi ekonomis :

• penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan),

• penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna),

• penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung, • pariwisata, penelitian, dan pendidikan.

(14)

I.1 Biologi dan konservasi penyu

Penyu termasuk reptili yang memiliki habitat di laut. Penyu memiliki tempurung yang menutupi bagian badannya, sedangkan bagian punggung diselubungi oleh karapak. Perbedaan penyu dengan kura-kura ialah pada bagian rongga di dalam tempurung, kura – kura memiliki rongga di dalam tempurungnya, sehingga ketika terdapat ancaman kura – kura dapat melindungi anggota tubuhnya dengan memasukkan kepala dan keemat kakinya ke dalam rongga di tempurungnya. Sedangkan penyu tidak memiliki rongga tersebut ( Prihanta, 2007 ).

Penyu pada sebagian besar usianya hidup di laut dan hanya mendarat pada waktu – waktu tertentu saja, seperti untuk bertelur. Laut yang merupakan habitat dari penyu mempunyai ciri – ciri air yang bersih dan dingin seperti air pada samudera. Laut dalam merupakan daerah yang disukai penyu. Daerah pantai dangkal, kurang dari 200 meter,dan berbatu merupakan tempat paling tepat bagi penyu dalam mencari makan. Pada daerah dengan kedalaman kurang dari 200 meter banyak terdapat rumput – rumputan dan jenis ganggang di mana jenis ganggang tersebut merupakan makanan pokok bagi penyu. Pada kedalaman tersebut biasanya ditemukan ikan kecil, udang, molusca, spon. Hampir sebagian besar dari penyu mempunyai sifat omnivora, tapi sebagian lain bersifat karnivora dan herbivora sehingga daerah tersebut cocok untuk penyu mencari makan ( Prihanta, 2007 ).

Reproduksi penyu adalah proses regenerasi yang dilakukan penyu dewasa jantan dan betina melalui tahapan perkawinan, peneluran sampai menghasilkan generasi baru (tukik). reproduksi penyu dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Perkawinan

Penyu melakukan perkawinan dengan cara penyu jantan bertengger di atas punggung penyu betina. Tidak banyak regenerasi yang dihasilkan seekor penyu, dari ratusan butir telur

yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling banyak 1–3% yang berhasil mencapai dewasa. Penyu melakukan perkawinan di dalam air laut, terkecuali pada kasus penyu tempayan yang akan melakukan perkawinan meski dalam penangkaran apabila telah tiba masa kawin. Pada waktu akan kawin, alat kelamin penyu jantan yang berbentuk ekor akan memanjang ke belakang sambil berenang mengikuti kemana penyu betina berenang. Penyu jantan kemudian naik ke punggung betina untuk melakukan perkawinan. Selama perkawinan berlangsung, penyu jantan menggunakan kuku kaki depan untuk menjepit tubuh penyu betina agar tidak mudah lepas. Kedua penyu yang sedang kawin tersebut timbul tenggelam di

(15)

permukaan air dalam waktu cukup lama, bisa mencapai 6 jam lebih. (Yayasan Alam Lestari, 2000). Setiap jenis penyu melakukan kopulasi di daerah sub-tidal pada saat menjelang sore hari atau pada matahari baru terbit. Setelah 2-3 kali melakukan kopulasi, beberapa minggu kemudian penyubetina akan mencari daerah peneluran yang cocok sepanjang pantai yang diinginkan.

Musim bertelur penyu terjadi sepanjang tahun, tiap penyu akan bertelur sekitar 4 sampai 6 kali setiap tahun dengan interval masa peneluran selama 12 sampai 14 hari. Meskipun demikian, pada musim-musim tertentu, biasanya selama 2 sampai 5 bulan dalam setahun terjadi produksi telur melimpah. Di Indonesia produksi paling melimpah terjadi pada musim kemarau, yaitu antara bulan Juli dan Oktober (Prihanta, 2007 ). Penentuan jenis kelamin penyu dapat dilihat dari ukuran kepala dan ekor. Penyu janttan mempunyai unuran kepala yang lebih kecil dibandingkan dnegan penyu betina. Penyu betina memiliki ekor yang lebih pendek dan agak besar apabial dibandingkan dengan penyu jantan.

b. Perilaku Peneluran

Ketika akan bertelur penyu akan naik ke pantai. Hanya penyu betina yang datang ke daerah peneluran, sedangkan penyu jantan berada di daerah sub-tidal. Penyu bertelur dengan tingkah laku yang berbeda sesuai dengan spesies masing-masing. Setiap spesies penyu memiliki waktu peneluran yang berbeda satu sama lain. Lama antara peneluran yang satu dengan peneluran berikutnya dipengaruhi oleh suhu air laut. Semakin tinggi suhu air laut, maka interval peneluran cenderung makin pendek. Sebaliknya semakin rendah suhu air laut, maka interval peneluran cenderung makin panjang. Tahapan bertelur pada berbagai jenis penyu umumnya berpola sama.

c. Pertumbuhan Embrio

Telur yang baru keluar dari perut penyu betina diliputi lendir, berbentuk bulat seperti bola pingpong, agak lembek dan kenyal. Pertumbuhan embrio sangat dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu antara 24–33 0C, dan akan mati apabila di luar kisaran suhu tersebut. Kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan embrio sampai penetasan, antara lain:

• Suhu pasir

Semakin tinggi suhu pasir, maka telur akan lebih cepat menetas. Penelitian terhadap telur penyu hijau yang ditempatkan pada suhu pasir berbeda menunjukkan bahwa telur yang terdapat padasuhu pasir 320C menetas dalam waktu 50 hari, sedangkan telur pada suhu pasir 24 0C menetas dalam waktu lebih dari 80 hari.

(16)

Diameter telur sangat dipengaruhi oleh kandungan air dalam pasir. Makin banyak penyerapan air oleh telur dari pasir menyebabkan pertumbuhan embrio makin besar yang berakibat diameter telur menjadi bertambah besar. Sebaliknya, pasir yang kering akan menyerap air dari telur karena kandungan garam dalam pasir lebih tinggi. Akibatnya embrio dalam telur tidak akan berkembang dan mati.

• Kandungan oksigen

Oksigen sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan embrio. Air hujan yang menyerap ke dalam sarang ternyata dapat menghalangi penyerapan oksigen oleh telur, akibatnya embrio akan mati.

d) Proses penetasan

Embrio dalam telur akan tumbuh menjadi tukik mirip dengan induknya, masa inkubasi yang dilewati kurang lebih 2 bulan. Jenis kelamin tukik semasa inkubasi sangat dipengaruhi oleh suhu.

e) Tukik menuju laut

Tukik menetas setelah sekitar 7-12 minggu. Kelompok tukik memerlukan waktu dua hari atau lebih untuk mencapai permukaan pasir, biasanya pada malam hari. Untuk menemukan arah ke laut tukik berpatokan pada arah yang paling terang serta menggunakan topografi garis horison di sekitarnya. Begitu mencapai laut tukik menggunakan berbagai kombinasi petunjuk (arah gelombang, arus dan medan magnet) untuk orientasi ke daerah lepas pantai yang lebih dalam. Kegiatan tukik melewati pantai dan berenang menjauh adalah upaya untuk merekam petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk menemukan jalan pulang saat mereka akan kawin. Saat tukik sudah berada di laut diduga memasuki kawasan dimana arus-arus laut bertemu. Tukik-tukik tersebut menggunakan rumput-rumput laut yang mengapung, benda apung lain yang terperangkap oleh arus laut serta hewan-hewan laut kecil sebagai makanan. Tukik jarang terlihat lagi hingga karapasnya mencapai ukuran 20-40 cm dengan usia sekitar 5-10 tahun setelah menetas.

m (Sumber: ãSeaPics.com)

Habitat Bertelur Penyu

Pasir merupakan tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu bertelur. Habitat peneluran bagi setiap penyu memiliki kekhasan. Umumnya tempat pilihan bertelur merupakan pantai yang luas dan landai serta terletak di atas bagian pantai. Rata-rata kemiringan 30 derajat di pantai bagian atas. Jenis tanaman atau formasi vegetasi pantai yang biasanya terdapat di sepanjang

(17)

daerah peneluran penyu secara umum dari daerah pantai ke arah daratan adalah sebagai berikut:

a) Tanaman Pioner

b) Zonasi jenis-jenis tanaman yang terdiri dari Hibiscus tiliaceus, Gynura procumbens, dan lainnya

c) Zonasi jenis-jenis tanaman seperti Hernandia peltata, Terminalia catappa, Cycas rumphii, dan lainnya

d) Zonasi terdalam dari formasi hutan pantai Callophyllum inophyllum, Canavalia ensiformis, Cynodon dactylon, dan lainnya.

Secara keseluruhan, terdapat 7 spesies penyu di dunia yaitu Penyu Agar/Penyu pulau (Green)- Chelonia mydas., Penyu Belimbing Leatherback (Dhermochelys coriacea), Penyu Karah/ Penyu Sisik,Hawksbill (Eretmochelys imbricata), Penyu Lekang, Olive Ridley (Lepidochelys olivacea), Penyu Lekang kempii (Lepidochelys kempii), Penyu Pipih, Flatback (Natator depressus), Penyu Tempayan (Caretta caretta, L). Di Indonesia terdapat enam dari ketujuh spesies penyu yang ada. Spesies yang tidak terdapat di Indonesia adalah

Lepidochelys kempii (Sukotjo, 1997; Ismu,1997). a. Penyu Hijau

Penyu hijau merupakan anggota Famili Chelonioidea, Marga Chelonia dengan nama jenis Chelonia mydas. Penyu hijau memiliki nama lokal penyu daging. Penyu ini tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, dan masih dapat ditemukan dalam jumlah yang besar, seperti di Pantai Pangumbahan Jawa Barat dan Kepulauan Derawan Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Penyu hijau termasuk dalam 6 jenis penyu yang dilindungi sejak PP No. 7/1999 rentang pengawetan Tumbuhan dan Satwa dikeluarkan. Penyu hijau dapat dengan mudah dibedakan dengan penyu lain karena memiliki sepasang sisik di depan matanya sedangkan jenis lain memiliki lebih dari dua pasang. Penyu hijau memiliki panjang lebih 3 kaki s/d 5 kaki dengan berat mencapai 871 pounds. Memiliki cakar yang tajam pada kaki depannya. Interval bertelur antara 2-3 tahun Sekali musim dapat 3-5 kali bertelur dengan jarak sekitar 12 hari. Sekali bertelur dapat menghasilkan 115 butir, masa inkubasi sekitar 60 hari. Ketika penyu hijau masih muda makan berbagai jenis biota laut seperti

(18)

cacing laut, udang remis, rumput laut juga alga. Ketika tubuhnya mencapai ukuran 20-30 cm, penyu hijau berubah menjadi herbivora dan makanan utamanya adalah rumput laut.

b. Penyu Belimbing

Penyu belimbing merupakan anggota Famili Dermochelidae, Marga Dermochelysdengan nama jenis Dermochelys coriacea. Penyu belimbing merupakan jenis penyu yangpaling mudah dikenali oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh keadaan morfologi tubuhyang berukuran paling besar dibandingkan penyu yang lain (seperti Chelonia mydas danEretmochelys imbricata). . Berat penyu ini dapat mencapai 1 ton dengan panjang dari ujung ekor sampai moncongnya lebih dari 215 cm, sementara jenis penyu yang lainnya sekitar 100 cm. Prithcard (1971) telah menghitung berat rata-rata penyu belimbing sekitar 300-600 kg dan dengan panjang tubuh rata-rata sekitar 160-180 cm. Bentuk kepala dari penyu belimbing kecil, bulat dan tanpa adanya sisik-sisik seperti halnya penyu yang lain. Penyu belimbing berukuran sekitar lebar17 sampai 22,3 % dari seluruh panjang karapas; mempunyai paruh yang lemah, tetapi berbentuk tajam, tidak punya permukaan penghancur/pelumat makanan. Bentuk tubuh penyu jantan dewasa lebih pipih dibandingkan dengan penyu betina, plastron mempunyai cekungan ke dalam, pinggul menyempit dan orseletnya tidak sedalam pada penyu betina. Warna karapas penyu dewasa kehitam-hitaman atau coklat tua. Di bagian atas dengan bercak-bercak putih dan putih dengan bercak hitam di bagian bawahPenyu belimbing dikenal oleh beberapa masyarakat dengan sebutan penyu raksasa, kantong atau mabo. Daerah peneluran penyu belimbing dapat ditemukan di pantai barat Sumatera; selatan Jawa: dan daerah tertutup di Nusa Tenggar. Lokasi peneluran penyu belimbing tersebar di Indonesia terletak di Pantai Jamursba Medi, Sorong Irian Jaya dan merupakan pantai peneluran penyu belimbing terbesar ketiga di kawasan Indo-Pasifik. Penyu ini dilindungi sejak tahun 1987 berdasarkan keputusan Menteri Pertanian no. 327/Kpts/Um/5/1978.

(19)

c. Penyu Lekang

Penyu lekang merupakan anggota Famili Cheloniidae, Marga Lepidochelys dengan nama jenis Lepidochelys olivacea. Di Indonesia selain dikenal dengan nama penyu lekang. Penyu ini juga populer dengan nama penyu abu-abu. Pemberian nama tersebut didasarkan pada warna cangkang penyu dewasa yaitu abu-abu. Tubuh bagian atas penyu ditutup oleh karapas dan bagian bawah ditutup plastron. Kedua bagian tersebut disusun oleh sisik-sisik dengan lapisan zat tanduk yang keras. Ciri khas karapaks penyu lekang dewasa selain berdasarkan bentuk karapas yang lebar dan tidak terlalu cembung, juga berdasarkan jumlah sisik costal (rusuk) yang terletak di kedua sisi tubuh. Warna karapas penyu dewasa keabu-abuan dan plastron berwarna krem atau keputih-putihan. Anak penyu yang baru keluar dari telur (tukik), dalam keadaan basah berwarna hitam, dan dalam keadaan kering berwarna abu-abu gelap. Penyu lekang adalah hewan yang bersifat karnivora fakultatif, artinya hewan yang dapat mengkonsumsi hanya satu jenis makanan dalam suatu periode yang panjang. Tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya sifat herbivora pada penyu lekang. Hal ini terbukti dari ditemukannya berbagai jenis tumbuhan laut setelah diadakan analisa lambung. Penyu Lekang, yang juga dikenal dengan nama lokal slengkrah atau Ridel. Penyu Lekang ditemukan di beberapa wilayah Indonesia, wilayah penetasannya antara lain di sumatera; Alas Purwo, Jawa Timur; Paloh, Kalimantan Barat; dan Nusa Tenggara Timur (Salm dan Halim, 1984; Kitchener, 1996). Penyu lekang dilindungi sejak tahun 1980 berdasarkan keputusan menteri Pertanian No. 716/Kpts-Um/10/1980.

d. Penyu Tempayan

Penyu tempayan merupakan anggota Famili Cheloniidae, Marga Caretta dengan nama jenis Caretta caretta. Penyu ini dapat mudah dibedakan dari jenis penyu lainnya karena memiliki kepala nampak relative besar dibandingkan dengan jenis penyu lainnya. Penyu dewasa memiliki berat lebih dari 350 pounds dan memiliki karapak berwarna merah kecoklatan

(20)

dengan plastron coklat sampai kuning, panjang karapak berkisar 82-105 cm. interval bertelur antara 2-3 tahun, bulan-bulan bertelur antara Mei sampai dengan September satu kali musim dapat bertelur 4-7 kali. Jumlah telur dapat mencapai 100-126 dengan masa inkubasi 60 hari. Penyu tempayan memiliki rahang yang kuat untuk menghancurkan kulit kerang. Penyu Tempayan, yang dikenal dengan nama penyu karet atau penyu bromo, bersifat karnivora dengan makanan utama kerang-kerangan, kepiting, bulu babi, dan ubur-ubur; penyu ini jarang ditemukan di Indonesia, namun daerah penelurannya masih dapat ditemukan di Provinsi Maluku, dan di perairan Taman Nasional Lut Taka Bona Rate, Sulawesi Selatan. Penyu tempayan dilindungi sejak tahun 1980 berdasarkan Keputusan menteri Pertanian no. 176/Kpts/Um/10/1980.

e. Penyu Sisik

Penyu sisik merupakan anggota Famili Cheloniidae, Marga Eretmochelys dengan nama jenis Eretmochelys imbricatae. Penyu ini sangat berbeda dengan yang lain karena memiliki karapak yang nampak bersisik dengan susunan bertumpuk-tumpuk seperti susunan genting. Sisik berwarna hitam mengkilat, orang-orang membunuhya dengan tujuan mendapatkan sisiknya yang indah untuk digunakan sebagai barang perhiasan. Merupakan penyu dengan ukuran terkecil dengan panjang sekitar 76-91 cm dengan berat 40-60 kg. Memiliki kepala menyempit dengan mulut seperti paruh burung. Penyu sisik bertelur dengan interval 2-3 tahun dengan 2-4 kali bertelur dalam satu musim dengan jarak 15 hari. Jumlah telur yang dihasilkan mencapai 160 butir alam satu kali peneluran. Dengan masa inkubasi sekitar 60 hari. Paruh penyu sisik agak runcing sehingga memungkinkan mampu menjangkau makanan yang berada di celah-celah karang sponge dan anemone. Mereka juga memakan udang dan cumi-cumi. Penyu sisik dikenal dengan nama lokal Fonu loka, Penyu genteng, Penyu kembang, Penyu katungkera dan Wau. Penyu sisik bersifat karnivora dengan makanan utama sponge, karang lunak, dan kerang-kerangan. Populasi penyu ini mengalami penurunan drastis, namun masih bertelur di beberapa

(21)

wilayah Indonesia. Wilayah penelurannya terdapat di Anambas dan Natuna, Kepulauan Riau; Lima Momperang; Pasemut,Belitung; Kepulauan Segamat-Lampung; selatan Ujung Pandang; Bira-Birahan, dan Kepulauan Derawan di Kalimantan Timur. Di Kepulauan Seribu-DKI Jakarta, penyu sisik bertelur di P. Peteloran Timur, P. Peteloran Barat, P. Penjaliran timur, P. Penjaliran Barat serta Gosong rengat hampir sepanjang tahun, dengan puncaknya pada bulan Februari-April Penyu ini dilindungi berdasarkan Keputusan menteri Kehutanan no. 882/Kpt-II/1992.

f. Penyu Pipih

Penyu pipih merupakan anggota Famili Cheloniidae, Marga Natator dengan nama jenis Natator depessus. Penyu pipih dewasa dapat mencapai berat 198 pounds dengan ukuran panjang 39 inci. Mudah dikenali dari bentuknya yang sangat pipih dibanding penyu lain. Banyak ditemukan di karang-karang dan di padang lamun (rumput laut), bertelur 4 kali dalam semusim dengan jumlah sekitar 50 butir namun dengan ukuran yang relative besar. Jenis ini karnivora sekaligus herbivora. Penyu pipih memakan timun laut, ubur-ubur, kerang-kerangan, udang, dan invertebrata lainnya. Penyu ini berada di perairan Indonesia hanya untuk mencari makan dan melakukan peneluran di Australia. Penyu jenis ini sering ditemukan mencari makan di perairan Irian jaya, tetapi belum pernah ditemukan bertelur di wilayah tersebut. Penyu ini dilindungi sejak tahun 1992 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan no. 882/Kpts- I/1992.

g. Penyu Kempi

Penyu merupakan anggota Famili Cheloniidae, Marga Lepidochelys dengan nama jenis Lepidochelys kempii. Penyu kempi merupakan penyu paling langka di dunia, denganukuran paling kecil. Ukuran penyu dewasa dengan panjang 62-70 cm dengan berat 35-45 kg. karapak berwarna abu-abu dengan plastron berwarna kuning, penyu ini memiliki cakar yang kuat. Bertelur tiap tahun dengan 2 kali bertelur dalam satu musim, jumlah telur mencapai 10 butir dengan masa inkubasi sekitar 55

(22)

hari. Bulan bertelur antara April sampai dengan Juni. Seperti halnya penyu tempayan, mereka juga karnivora. Mereka juga memakan kepiting, kerang, udang dan kerang remis.

Konservasi Penyu

Secara internasional, penyu masuk ke dalam ‘red list’ di IUCN dan Appendix I CITES yang berarti keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius. Oleh karena itu, upaya konservasi penyu merupakan program penting dan mendesak untuk melindungi dan menyelamatkan populasi penyu, terutama di Indonesia karena di Indonesia terdapat 6 dari 7 spesies penyu yang masih ada saat ini yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimanaCaretta caretta dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi Indonesia (Limpus et al. 1992, Charuchinda et al. 2002).Pergeseran fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan habitat pantai dan ruaya pakan, kematian penyu akibat kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman predator merupakan faktor-faktor penyebab penurunan populasi penyu. Selain itu, karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang (terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) dan untuk mencapai kondisi “stabil” (kelimpahan populasi konstan selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup lama sekitar 30–40 tahun, maka sudah seharusnya pelestarian terhadap satwa langka ini menjadi hal yang mendesak. Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis penyu di Indonesia diberikan status dilindungi oleh Negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Konservasi penyu secara internasional mulai bergaung saat The First World Conference on the Conservation of Turtles di Washington DC, 26 sampai 30 Nopember 1979. Konferensi tersebut dihadiri sekitar 300 orang ahli ekologi penyu, biologi satwa, biologi perikanan dan konservasionis yang membahas lebih dari 60 paper dan melakukan analisa dalam menyelamatkan populasi setiap spesies yang hidup di masing- masing negara (Nuitja, 2006). Sejauh ini berbagai kebijakan terkait pengelolaan penyu sudah cukup banyak dilakukan, baik oleh Departemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, maupun Departemen Kelautan dan Perikanan.

(23)
(24)

BAB III METODOLOGI

3.1. Deskripsi Area Studi

3.1.1. Letak Geografis Taman Nasional Meru Betiri

(25)

Gambar 3 Peta Area Taman Nasional Meru Betiri (Sumber: www.googleearth.com, 2010)

Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) secara geografis terletak pada 113o58’38” – 113o58’30” BT dan 8o 20’48” – 8o 33’48” LS. Taman nasional ini berada di Provinsi Jawa Timur, dan berbatasan dengan kawasan-kawasan berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan kawasan PT. Perkebunan Treblasala dan Perum Perhutani RPH Curahtakir.

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi dan kawasan PTPN XII Sumberjambe.

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Curahnongko, Andongrejo,Sanenrejo Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember, kawasan PTPN XII Kalisanen PTPN XII Kota Blater dan Perum Perhutani RPH Sabrang.

Taman Nasional Meru Betiri luas kawasannya mencakup dua kabupaten sekaligus di Jawa Timur, yaitu Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Oleh karena itu, letak administratif pemerintahnya pun, TNMB dibagi menjadi dua yaitu kawasan taman nasional seluas 37.626 ha terletak dibagian barat yaitu Kabupaten Jember dan kawasan taman nasional bagian timur termasuk Kabupaten Banyuwangi dengan luas 20.374 ha. Luas seluruh kawasan TNMB adalah 58.000 Ha, terdiri atas 57.155 Ha luas daratan dan 845 Ha perairan. Kawasan ini juga meliputi dua perkebunan besar, yaitu perkebunan milik PT. Sukamade Baru dan milik PT. Bandealit. Kini, luas total awasan Taman Nasional Meru Betiri menjadi 58. 000 ha yang terdiri dari daratan 55.000 ha, dan lautan 845 Ha yang dikelola dibawah Balai Taman Meru Betiri (Anonim 3, 2010). Kawasan TNMB termasuk hutan hujan tropis dengan formasi hutan bervariasi yang terbagi ke dalam tiga (3) tipe ekosistem yaitu ekosistem hutan pantai, ekosistem payau dan ekosistem hutan hujan dataran rendah. Keadaan hutannya selalu hijau dan terdiri dari jenis pohon yang beraneka ragam serta bercampur jenis bambu yang tersebar di seluruh areal ini.

1.Ekosistem Pantai

Ekosistem ini dapat dijumpai di sekitar Bandealit, Teluk Sukamade dan Meru. Vegetasi yang ada terdiri dari dua formasi yaitu formasi Pescaprae dan formasi Baringtonia. Formasi Pescaprae terdiri dari tumbuhan yang tumbuh rendah dan kebanyakan terdiri dari jenis herba,

(26)

sebagian tumbuh menjalar. Jenis yang paling banyak adalah Ubi Pantai (Ipomoea pescaprae) dan Rumput Lari-Lari (Spinifex squarosus). Formasi Baringtonia terdiri dari Keben (Baringtonia asiatica), Nyamplung (Calophyllum inophyllum), Waru (Hibiscus tiliaceus), Ketapang (Terminalia catappa), Pandan (Pandanus tectorius) dan lain-lain (Departemen kehutanan, 2008).

2. Ekosistem Payau / Mangrove

Ekosistem ini dapat dijumpai di bagian timur Teluk Rajegwesi yang merupakan Muara Sungai Lembu dan Karang Tambak, Teluk Meru dan Sukamade yang tersusun atas vegetasi hutan yang tumbuh di garis pasang surut. Jenis-jenis yang mendominasi adalah bakau-bakauan (Rhizophora sp), Api-Api (Avicenia sp) dan Tancang (Bruguiera sp). Semua jenis pohon yang terdapat dalam tipe vegetasi ini mempunyai pembentukan akar yang spesifik. Di muara Sungai Sukamade terdapat Nipah (Nypa fruticans) yang baik formasinya (Departemen kehutanan, 2008).

3. Hutan Hujan TropikaSebagian besar kawasan hutan TNMB merupakan tipe vegetasi hutan hujan tropika dataran rendah. Pada tipe ekosistem ini juga tumbuh banyak jenis epifit, seperti anggrek dan paku-pakuan serta liana. Jenis tumbuhan yang banyak dijumpai diantaranya jenis Walangan (Pterospermum diversifolium), Winong (Tetrameles nudiflora), Gondang (Ficus variegata), Budengan (Diospyros cauliflora), Pancal Kidang (Aglaia variegata), Rau (Dracontomelon mangiferum), Glintungan (Bischoffia javanica), Ledoyo (Dysoxylum amoroides), Randu Agung (Gossampinus heptaphylla), Nyampuh (Litsea sp), serta Rotan Warak (Plectocomia elongata) dan lainnya (Departemen kehutanan, 2008).

3.1.2. Topografi

Kondisi topografi kawasan Taman Nasional Meru Betiri secara umum adalah bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung. Ketinggian wilayahnya sangat bervariasi, mulai dari dataran pantai sampai dengan ketinggian 1.223 meter di atas permukaan Iaut. Di bagian selatan, topografinya cenderung berbukit-bukit dan makin ke arah pantai keadaan yang bergelombang. Pada beberapa tempat, laut berbatasan langsung dengan tebing-tebing yang curam.

Daerah pantai berpasir terletak dari arah timur ke barat kawasan taman nasional ini. Antara lain Pantai Sukamade, Pantai Permisan, Pantai Meru dan Pantai Bandealit.

(27)

Sedangkan daerah dataran yang lebih landai terletak di sekitar Teluk Rajegwesi. Sungai yang terdapat di kawasan TNMB antara lain Sungai Sukamade dan Sungai Meru yang berair sepanjang tahun. Pada bagian barat TNMB terdapat Sungai Bandealit dan Sungai Permisan yang merupakan sumber air minum bagi satwa yang hidup di kawasan Meru Betiri. (Pusat Konservasi Alam Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2006).

3.1.3. Tanah dan Iklim

Menurut John Seidenticker dkk. (1976), Taman Nasional Meru Betiri sedikitnya memiliki 3 (tiga) jenis tanah yaitu tanah aluvial, regosol, dan latosol. Tanah alluvial umumnya dijumpai di daerah tembah dan dataran rendah sampai daerah pantai, sedangkan tanah regosol dan latosol umumnya dapat ditemukan di lereng dan puncak gunung. Tanah di bagian selatan merupakan campuran tanah Mediteran Kuning dan yang kurang subur, sedangkan di bagian utara tanahnya subur karena mengandung batuan vulkanik (Pusat Konservasi Alam Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi, 2006)

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, bagian utara dan tengah TNMB dikategorikan ke dalam tipe iklim B, yaitu daerah tanpa musim kering dan hutan huujan tropika yang selalu hijau. Sedangkan bagian lainnya termasuk tipe iklim C, yaitu daerah dengan musim kering nyata dan merupakan peralihan hutan tropika ke hutan musim. Curah hujan rata-rata di TNMB ini adalah berkisar antara 2.300 sampai dengan 4.000 mm/tahun dengan kelembapan 65 – 80% (Komarayanti, 2007). Curah hujan di kawasan TNMB banyak dipengaruhi oleh banyaknya angin muson, dimana pada bulan November sampai bulan Maret angin bertiup dari arah barat yang mengakibatkan turun hujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi pada April sampai bulan Oktober. Kawasan Taman Nasional Meru Betiri merupakan titik terbasah di Pulau Jawa. Pada musim kemarau saja dapat terjadi banjir karena tingginya curah hujan yaitu pada bulan Juni hingga Agustus.

3.1.4. Zonasi

Berdasarkan SK Ditjen PKA nomor: 185/Kpts/DJV/1999 13 Desember 1999, ditetapkan sistem zonasi pada Taman Nasional Meru Betiri:

(28)

a. Zona Inti

Zona Inti seluas 27.915 Ha terletak di bagian timur dan sebagian bagian barat kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Zona ini mutlak dilindungi, didalamnya tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktifitas manusia. Kegiatan yang diperbolehkan pada zona ini hanya yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian. Pada zona ini meliputi 620 ha hutan pantai, 23,870 ha hutan hujan tropis, dan 3.425 ha Hutan Bambu.

b. Zona Rimba

Zona Rimba seluas 22.622 Ha terletak di bagian barat dan sebagian kecil bagian selatan kawasan TNMB. Pada zona ini dapat dilakukan kegiatan sebagaimana kegiatan pada zona inti dan kegiatan wisata alam yang terbatas

(29)

c. Zona Pemanfaatan

Zona Pemanfaatan Intensif seluas 1.285 Ha terletak di Resort Bandealit (Pantai Bandealit), Resort Sukamade (Pantai Sukamade), dan Resort Sarongan (Pantai Rajegwesi, Teluk Hijau dan Teluk Damai) di kawasan TNMB.

d. Zona Rehabilitasi

Zona rehabilitasi seluas 4.023 Ha terletak di bagian utara dan sebagian kecil bagian timur kawasan TNMB, dimana pada zona ini dapat dilakukan kegiatan rehabilitasi kawasan yang sudah rusak akibat perambahan. Kawasan ini merupakan eks hutan tanaman Jati (Tectona grandis).

e. Zona Penyangga

Zona penyangga seluas 2.155 Ha. terletak di areal bekas perkebunan PT. Bandealit Kabupaten Jember dan PT. Sukamade Baru, Kabupaten Banyuwangi. Zona ini adalah zona yang dikelola secara khusus dimana merupakan bagian dari sistem pengelolaan taman nasional, bertujuan untuk mengakomodir kepentingan perlindungan dan pelestarian Taman Nasional, wisata alam dan wisata agro (Anonim 4, 2010).

3.1.5. Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri

Pantai Sukamade yang memiliki panjang berkisar antara 2,8 km dengan lebar intertidal berkisar 22-52 m dan supratidal berkisar antara 16- 32 m. Bencana tsunami pada tahun 1997 menyebabkan Pantai Sukamade mengalami penyusutan panjang pantai sehingga terjadi abrasi. Penyebab lain penyusutan panjang pantai ini adalah meluasnya muara sungai yang berhubungan ke laut. Bentuk pantai yang semula datar karena terjadi penumpukan pasir menjadi landai sampai agak curam. Perubahan kemiringan pantai ini disebabkan karena terjadinya pemindahan massa pasir oleh ombak. Kemiringan Pantai Sukamade sebesar 5–17 derajat membuat pantai ini sering dijadikan penyu sebagai tepat bertelur (Pusat Konservasi Alam Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2006).

b i k i n l a p o r a n i t u d i a w a l i d e n g a n m i n u m k o p i , b i s m i l l a h , d a n c o v e r , d i a k h i r i d e n g a n b i n g u n g d a n t i d u r . b i k i n l a p o r a n i t u d i a w a l i d e n g a n m i n u m k o p i , b i s m i l l a h , d a n c o v e r , d i a k h i r i d e n g a n b i n g u n g d a n t i d u r .

(30)

3.2. Metode Kerja

3.2.1. Pengukuran Kondisi Ekosistem 3.2.1.1. Estimasi Stok Karbon

Estimasi karbon adalah jumlah C yang tersimpan dalam setiap penggunaan lahan tanaman, serasah dan tanah. Dalam ekosistem, CO2 di udara diserap oleh tubuh tanaman lalu diubah dalam bentuk lain dan disimpan dalam bentuk biomassa, nekromassa, dan bahan organik tanah. Oleh karena itu, untuk mengukur banyaknya kadar CO2 di udara yang diserap oleh tanaman dapat dilakukan dengan mengukur biomassa suatu lahan.

Pengukuran C yang tersimpan ini dapat dilakukan dengan metode destruktif (pengrusakan tanaman), ataupun metode non destruktif (tanpa pengrusakan tanaman). Estimasi stok karbon dapat dilakukan dengan metode pencuplikan plot bertingkat. Berikut merupakan desain plot brtingkat:

Gambar 4 . Desain Plot Bertingkat

Plot bertingkat dibagi menjadi 2 plot ukuran berbeda, yaitu plot besar dan plot kecil atau disebut sub plot. Plot yang pertma akali dibuat saat melakukan perhitungan stok karbon pada suatu lahan, adalah sub plot. Plot ini memiliki ukuran yaitu 4 x 25 meter. Tali rafia dibentangkan pada masing-masing sisi plot untuk menandai batasan sub plot. Kemudian, bila di dalam sub plot terdapat pohon yang batangnya memiliki

20 x 4 x 25 b i k i n l a p o r a n i t u d i a w a l i d e n g a n m i n u m k o p i , b i s m i l l a h , d a n c o v e r , d i a k h i r i d e n g a n b i n g u n g d a n t i d u r . b i k i n l a p o r a n i t u d i a w a l i d e n g a n m i n u m k o p i , b i s m i l l a h , d a n c o v e r , d i a k h i r i d e n g a n b i n g u n g d a n t i d u r .

(31)

DBH >30 cm, maka plot diperbesar ukurannya menjadi plot besar dengan ukuran 20 x 50 m. Seluruh pohon dalam plot dan sub plot kemudian diukur DBH (Diameter at Breast High)-nya menggunakan meteran. Pohon dengan DBH antara 5-30 cm diukur di dalam sub plot (4 x 25 m), sedangkan pohon dengan DBH > 30 cm diukur dalam plot besar (20 x 50 m). Analisis data stok karbon dari pengukuran DBH digunakan rumus :

Kemudian setelah itu, dilakukan pula pencuplikan core sampler di dalam sub plot sebanyak 3x untuk diuji kandungan bulk density di laboratorium. Stok karbon dalam tanah dapat diestimasi dari nilai konsentrasi karbon dan bulk density tanah:

(MacDicken, 1997).

3.2.1.2. Analisis Vegetasi dengan Metode Kuarter

Metode kuarter merupakan salah satu metode analisis vegetasi yang berbasis pada jarak tanpa menggunakan plot. Metode analisis vegetasi berbasis jarak ini merupakan metode analisis vegetasi yang area samplinngnya sapat bervariasi namun

b i k i n l a p o r a n i t u d i a w a l i d e n g a n m i n u m k o p i , b i s m i l l a h , d a n c o v e r , d i a k h i r i d e n g a n b i n g u n g d a n t i d u r . b i k i n l a p o r a n i t u d i a w a l i d e n g a n m i n u m k o p i , b i s m i l l a h , d a n c o v e r , d i a k h i r i d e n g a n b i n g u n g d a n t i d u r .

(32)

dengan jumlah sampel yang telah ditentukan sebelumnya (Newton, 2007). Dalam metode kuarter ini, titik-titik pengamatan dibuat dan disebar secara acak ataupun sistematis sebanyak empat titik pengamatan, yang kemudian masing-masing titik diberi tanda. Setiap titik pengamatan masing-masing dibagi menjadi empat kuadran yang sesuai dengan arah mata angin, yakni utara, selatan, barat, dan timur. Di dalam setiap kuadran, pohon yang berada paling dekat dari titik pusat pengamatan dan memiliki diameter ≥ 10 cm diukur jaraknya dari titik pusat pengamatan ke spesies, dan diukur diameter serta tingginya. Diagram metode kuarter dapat digambar sebagai berikut:

Gambar . Diagram Metode Kuarter (Sumber:

http://people.hws.edu/mitchell/PCQM.jpg)

Pengerjaan metode kuarter hanya berupa titik sehingga sering juga metode ini dilakukan tanpa plot. Metode ini sering dipakai untuk analisis vegetasi berbentuk hutan atau vegetasi kompleks lainnya. Sama halnya dengan metode analisis yang menggunakan plot (metode kuadrat), dalam memperoleh nilai penting harus terlebih dahulu dihitung kerapatan, dominasi, dan frekuensinya.

3.2.1.3. Analisis Komunitas Burung

Teknik pengamatan burung dengan metode titik hitung (point count) dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan burung. Teknik tersebut merupakan studi komunitas burung yang paling sering digunakan oleh pengamat. Kelemahan dari metode tersebut adalah tidak menggambarkan pola

(33)

pergerakan burung. Metode ini dilakukan dengan berjalan ke suatu tempat tertentu, memberi tanda kemudian selanjutnya mencatat semua burung yang ditemukan dalam jangka waktu tertentu, misalnya selama satu jam. Selama pengamatan, keberadaan burung dan habitatnya merupakan hal penting untuk diamati. Jika terlihat adanya gerakan burung atau terdengar suara burung, maka posisi burung dicari dengan bantuan binokuler. Setelah posisi burung tersebut ditemukan, burung kemudian diamati ciri-cirinya dan dibuatkan sketsa kasarnya, serta dicatat pula kondisi sekitar, seperti tempat dan waktu pengamatan.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan tersebut, identifikasi jenis burung dapat dilakukan. Dalam mengidentifikasi burung, informasi yang dibutuhkan antara lain adalah penampilan tubuh, suara, perilaku dan tempat hidup burung. Oleh karena itu, catatan yang rinci disertai sketsa tentang burung yang ditemukan merupakan sarana penting dalam identifikasi lebih lanjut terutama bagi burung-burung yang tidak dapat dikenal langsung di lapangan (MacKinnon, 1993).

Metode yang digunakan dalam kuliah lapangan ini untuk menentukan kelimpahan burung pada suatu daerah adalah metode tingkat pertemuan (encounter rate). Data pada metode ini berupa jumlah individu setiap jenis yang teramati serta lama pengamatan. Penghitungan tingkat pertemuan dilakukan dengan membagi jumlah burung yang tercatat dengan jumlah pengamatan, dengan demikian akan didapatkan jumlah burung per jam untuk setiap jenis. Data tingkat pertemuan dapat dibagi dalam beberapa kategori urutan kelimpahan sederhana. Berikut ini skala urutan kelimpahan sederhana pada metode tingkat pertemuan.

Tabel 1 . Skala Urutan Kelimpahan pada Metode Encounter Rate (Sumber : MacKinnon, 1997)

Nilai kelimpahan (jumlah

individu/ 100 jam)

Skala urutan Kategori kelimpahan

<0,1 1 Jarang

0,1-0,2 2 Tidak umum

2,1-10 3 Sering

10,1-40 4 Umum

(34)

3.2.1.4. Estimasi Populasi Mamalia Kecil dengan Metode Life Trap

Mamalia kecil merupakan salah satu bagian dari komunitas yang kompleks karena mamalia kecil, seperti tikus dan tupai merupakan sumber makanan bagi predator muda. Oleh karena itu, keberadaan mamalia kecil ini dapat menjadi penentu keberlangsungan tingkatan trofik di atasnya. Selain itu, jumlah dan komposisi mamalia kecil di dalam suatu komunitas dapat menggambarkan secara umum suatu struktur dari suatu komunitas. Dengan menaksir populasi mamalia kecil, dapat diketahui secara umum bagaimana struktur komunitas di daerah tersebut sehingga dapat menjadi pembahasan seperti penurunan keberadaan karnivora besar yang semakin menurun jumlahnya.

Untuk pencuplikan mamalia kecil ordo Rodentia dan Insektivora, digunakan metode removal method dengan menggunakan perangkap hidup atau life trap. Metode removal method ini merupakan metode pencuplikan ynag hasil tangkapannya dihilangkan sementara dari habitatnya sementara pencuplikan selanjutnya berlangsung. Life trap ini merupakan perangkap jebak dengan menggunakan selai kacang. Umumnya, perangkap ini diletakkan pada semak belukar atau menyesuaikan dengan tujuan daerah pencuplikan. Pada kuliah lapangan ini, life trap diletakkan lantai hutan. Sebelum life trap digunakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan perangkap ini, yaitu:

1. Mengecek mekanisme kerja dari perangkap. Seperti apa mekanisme perangkap tersebut membuka, menutup, dan bagaimana perangkap terpicu. Serta apakah mekanisme kerja dari perangkap dalam kondisi baik atau rusak.

2. Memastikan bahwa perangkap telah bebas dari bau manusia. Oleh karena itu, selama proses transportasi dan pemindahan, perangkap dimasukkan dalam kantung plastik. Begitu juga saat pemasangan perangkap di lokasi, penggunaan sarung tangan plastik menjadi wajib digunakan. Hal ini dilakukan agar perangkap terhindar dari bau manusi yang akan sangat peka terdeteksi oleh mamalia, sehingga dapat mengacaukan pengamatan.

(35)

3. Selalu siapkan kantung plastik yang baru untuk umpan baru, umpan bekas, dan sarung tangan.

4. Memastikan bahwa perangkap tidak hilang terbawa oleh satwa dengan cara mengikatkan perangkap dengan tali rafia pada pasak.

Metode ini digunakan untuk menginventarisasi mamalia kecil di lantai hutan, seperti tikus. Karena perangkap yang digunakan merupakan perangkap life trap, satwa yang tertangkap tidak akan mati.

Gambar 5 . Life trap (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Dalam kuliah lapangan ini, perangkap yang digunakan adalah sebanyak lima buah. Perangkap diberi umpan yaitu selai kacang yang dioleskan pada kapas. Kemudian, perangkap diletakkan setiap 10 m pada suatu transek garis lurus sepanjang 50 meter mengarah ke dalam hutan dari tepi jalan. Pemasangan perangkap dilakukan dimulai dari titik terjauh dari tepi jalan (hutan) menuju ke arah jalan. Setelah memestikan perangkap telah siap digunakan, maka perangkap ditinggalkan dengan kondisi sekitar yang tidak terganggu. Serasah yang ada di sekitar perangkap dikembalikan pada keadaan awal.

Setelah pemasangan perangkap life trap di lapangan, dilakukan pengecekan terhadap perangkap, dan pemindahan hasil tangkapan apabila ada mamalia yang terperangkap. Kemudian perangkap dapat digunakan kembali namun sebelumnya umpan yang lama diganti dengan umpan baru. Hasil tangkapan yang diperoleh kemudian dicatat, lalu diidentifikasi.

(36)

Analisis data penangkapan mamalia kecil dapat dilakukan dengan berbagai metode analisa. Salah satunya adalah dengan metode pendek. Metode pendek menggunakan rumus sebagai berikut :

(Y1 = jumlah individu tertangkap periode 1 ; Y2 = jumlah individu tertangkap periode 2)

Adapun metode linear yaitu metode paling akurat dengan menaksir populasi dengan rumus :

Nilai a da b diketahui dari regresi grafik, seperti pada metode grafik.

3.2.1.5. Kelimpahan dan Keanekaragaman Serangga Malam dengan Metode Light Trap

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengumpulkan sampel serangga. Salah satunya adalah metode light trap. Yaitu metode yang merupakan jenis perangkap untuk menangkap serangga, khususnya serangga malam. Light trap prinsipnya adalah menggunakan ketertarikan dan kesensitivan serangga terhadap cahaya pada malam hari untuk menangkapnya. Perangkap ini menggunakan blacklight yang memancarkan sinar UV-A pada panjang gelombang 320-400 nanometer yang cukup efektif dalam menarik serangga. Biasanya, perangkap ini diletakkan di atas wadah seperti ember, dengan dinding pembatas transparan yang ditempatkan di dekat pusat blacklight. Kemudian, light trap yang telah lengkap dengan ember ditempatkan menggantung di atas pohon yang disekitarnya tidak ada

(37)

sumber cahaya lain. Sehingga, saaat serangga datang menuju sumber cahaya, serangga kemudian akan menabrak dinding pembatas, lalu terjatuh ke dalam ember melewati corong. Corong ini berfungsi untuk menghalangi serangga yang telah masuk untuk keluar lagi. Sementara itu, di dalam wadah telah disediakan agen pembunuh (killing agent) seperti etil asetat atau amonium karbonat. Agen pembunuh ini akan menghilangkan tegangan pada permukaan, sehingga serangga yang masuk ke dalamnya akan langsung tenggelam dan mati.

Gambar 6 . Light trap yang telah terpasang (Sumber : Dokumentasi pribadi)

Jumlah serangga yang berhasil ditangkap oleh perangkap ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah: sumber cahaya buatan yang digunakan, kondisi iklim serta cuaca, dan stimulus-stimulus alami lainnya. Selain itu, dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lingkungan seperti temperatur dan kelembapan, serta penempatan perangkap. Penempatan light trap secara vertikal harus diatur sesuai dengan serangga pada ketinggian mana yang dijadikan sebagai target jebak.

3.2.2. Pengamatan Kondisi Ekosistem 3.2.2.1. Ekosistem Mangrove

Struktur vegetasi mangrove merupakan bentuk representasi dari zonasi, tahapan suksesi yang terjadi, keberadaan jenis, pertumbuhan, dan aktivitas primer, mortalitas, kelulushidupan, serta penyebaran propagul pada beberapa bentuk tegakan

(38)

yakni semal, pancang, dan pohon (McGowan. 2006). Jenis vegetasi mangrove sendiri dibagi menjadi dua komponen utama yaitu mangrove mayor dan mangrove minor. Mangrove mayor adalah jenis vegetasi mangrove yang spesifik tumbuh pada kondisi dengan salinitas tinggi, sementara vegetasi mangrove minor dapat tumbuh diluar kondisi lingkungan yang bersalinitas.

Kondisi existing ekosistem mangrove dapat diketahui dengan melakukan pengamatan secara visual untuk mengetahui keanekaragaman jenis mangrove yang ada. Dilakukan pula pengamatan dan pecatatan biota lain yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove.

Pada TNMB, ekosistem ini dapat dijumpai di bagian timur Teluk Rajegwesi yang merupakan Muara Sungai Lembu dan Karang Tambak, Teluk Meru dan Sukamade. Jenis-jenis yang mendominasi adalah jenis bakau-bakauan (Rhizophora sp), Api-Api (Avicenia sp) dan Tancang (Bruguiera sp). Sedangkan di muara Sungai Sukamade terdapat Nipah (Nypa fruticans) yang baik formasinya.

3.2.2.2. Ekosistem Estuari

Kondisi existing estuari dapat diketahui dengan melakukan pengamatan visual karakteristik habitat, pengukuran berbagai parameter fisika-kimia lingkungan dan juga dengan pencuplikan biota perairan. Ikan adalah salah satu biota perairan yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi exsisting perairan. Metode pencupilikan ikan dilakukan dengan pemasangan jaring (gill net). Hasil tangkapan yang didapat menunjukukkan hasil tangkapan dalam sekali periode penangkapan dan dapat menggambarkan frekuensi penangkapan yang memiliki hubungan dengan kepadatan ikan pada periode waktu tersebut.

Metode penangkapan ikan yang digunakan adalah dengan cara pemasangan gill net . Gill net dipasang pada interval waktu tertentu (misalnya satu malam) dan selanjutnya hasil tangkapan diidentifikasi, dihitung kelimpahan dan keanekaragamannya hingga tingkat famili. Pengukuran parameter fisika-kimia perairan dilakukan setiap interval jarak tertentu dari arah yang paling hilir menuju ke arah hulu perairan.

(39)

Gambar 7. Gill net untuk menangkap ikan

(Sumber : http://www.seagrant.umn.edu/fisheries/img/bottom_gill_net_sm.gif)

3.2.2.3. Penyu

Salah satu hal yang membuat Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) spesial dari taman nasional lainnya adalah karena TNMB ini merupakan taman nasional yang sering ditempati sebagai tempat bertelurnya 4 dari 7 jenis penyu laut yang masih hidup di dunia. Jenis penyu bertelur di kawasan taman nasional ini antara lain adalah Chelonia mydas (penyu hijau), Eretmochelys imbricata (penyu sisik), Lepidochelys olivacea (penyu lekang), dan Dermochelys coriacea (penyu belimbing)

Pengamatan penyu dilakukan untuk mengetahui jenis penyu yang mendarat di pantai untuk bertelur dengan mengaati morfologinya. Selain itu juga dilakukan perhitungan jumlah induk penyu dan jumlah telur serta mangamati perilaku saat penyu bertelur.

Identifikasi jenis penyu dapat dilakukan berdasarkan pada hal-hal berikut: a. Bentuk luar (morfologi)

b. Tanda-tanda khusus pada karapas (jumlah, bentuk, dan pola, serta warna)

c. Jejak dan ukuran sarang (diameter dan kedalaman sarang) serta kebiasaan bertelur d. Pilihan habitat peneluran

Gambar

Gambar 1 Hutan Dataran rendah
Gambar 2 . Taman Nasional Meru Betiri (Sumber: http://merubetiri.com )
Gambar 4 . Desain Plot Bertingkat
Gambar . Diagram Metode Kuarter (Sumber:
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis daya klasifikasi ini menunjukkan bahwa model dalam penelitian ini merupakan model prediksi yang tepat untuk perusahaan yang tidak memiliki kepemilikan manajerial

Sebelum berdirinya ITRC ada beberapa organisasi karet internasional yang telah berdiri sebagaimana pada tahun 1979 didirakan organisasi karet internasional yaitu

Penelitian ini bertujuan untuk I) menganalisa ada atau tidaknya hubungan antara pajak daerah, retribusi daerah, Jaba BUMD I hasil kekayaan daerah yang

Untuk mencegah agar tidak terjadi dampak - dampak yang lebih parah maka ada beberapa cara pengobatan yang dapat dilakukan diantaranya adalah terapi operatif yaitu

Nilai perolehan kembali (% recovery) dan presisi asam salisilat dapat dilihat pada Tabel 2.. Berkala Ilmiah Kimia Farmasi, Vol.2 No. Dari hasil analisis, tablet A dan B

- Bila kultur darah negative tidak ada tanda sepsis setelah 48 jam dan tidak ada gejala yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit bayi bisa dipulangkan7. - beri tahu

Hasil penelitian yang dilakukan sama dengan teori Saifuddin yang menyatakan mioma uteri lebih sering ditemukan pada wanita nullipara atau wanita yang kurang subur

Simpulan penelitian yang diperoleh adalah menunjukkan, Rata-rata pengetahuan santri terhadap pencegahan penyakit scabies sebelum penyuluhan adalah 11,26 sedangkan