DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER
I.
PENDAHULUAN
Sejak masa klasik, dinamika pemikiran dan gerakan islam selalu
dipengaruhi oleh konfigurasi politik penguasa. Artinya ada peemikiran dan
gerakan menjadi”mazhab” penguasa dans ebaliknya, ada yang dilarang
bahkan dibrangkus dega menjaga “stabilitas”. Mengamati dinamika
pemikiran dan gerakan islam di Indonesia sangat menarik karena ada
sejumlah paradoks dan gesekan yang cukup tajam terutama pasca reformasi
sehingga dengan bergulirya era reformasi membutuhkan pembacaan ulang
terhadap pemikiran dan gerakan islam indonesia, karena berbagai pemikiran
dan gerakan islam yang pada mulanya terbungkam oleh kekuatan orde baru
kembali muncul dan berusaha membangkitkan kembali romantisme masa
lalu. Dari sinilah muncul berbagai kekuatan pemikiran dan gerakan islam,
baik islam politik maupun islam kultural sehingga membentuk farien yang
sangat beragam. Berbagai farian pemikiran dan gerakan keislaman
diindonesia sebenarnya bisa ditelusuri akar-akarnya secara jelas sehingga
dapat dipetakkan menjadi dua arus peikiran yang sangat dominan yakni
literalisme dan liberalisme
Pemahaman islam literal dan gejala fundamentalisme islam cenderug
menafikkan plruralisme pemahaman keagamaan dan pruralisme agama.
II.
RUMUSAN MASALAH
a.
Post modernisme dan Modernisme
b.
Islam liberal
c.
Islam Kultural dan Islam Struktural
d.
Postradionalisme Islam
e.
Jihad dan Terorisme
III.
PEMBAHASAN
a.
Modernisme dan Post Modernisme
1.
Modernisme
Istilah “modern” berasal dari bahasa latin “modo”, yang berarti yang
kini “just now”. Meskipun istilah ini sudah muncul pada akhir abad ke-5, yang
digunakan untuk membedakan keadaan orang Kristen dan orang Romawi
dari masa pagan yang telah lewat. Namun istilah ini kemudian lebih
digunakan untuk menunjuk periode sejarah setelah abad pertengahan, yakni
dari tahun 1450 sampai sekarang ini.
Dari istilah – istilah “modern”, sebagaimana yang telah disebutkan
diatas itulah, lahir istilah-istilah lain, seperti : “modernisme”, modernitas dan
modernisasi. Meskipun istilah itu mempunyai arti yang berbeda-beda ,
karena berasal dari akar kata yang sama, maka pengertian yang
dikandungnya tidak bisa lepas dari kakar kata yang dimaksud yaitu
“modern”.
Istilah “modernism” misalnya, oleh Ahmed, dengan merujuk pada
Oxford English Dictionary, didefinisikan sebagai “pandangan atau metode
modern, khususnya kecenderungan untuk menyesuaikan tradisi, dalam
masalah agama,agar harmonis dengan pemikiran modern. Modernism
diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya
pada sains, perencanaan, sekularisme, dan kemajuan. Keinginan untuk
simetri dan tertib, keinginan akan keseimbangan dan otoritas, juga menjadi
karakternya. Periode ini ditandai oleh keyakinannya terhadap masa depan,
sebuah keyakinan bahwa utopia bisa dicapai, bahwa ada sebuah tata dunia
yang mungkin. Mesin, proyek industry besar, besi, baja dan listrik, semuanya
dianggap dapat digunakan manusia untuk mencapai tujuan ini. Gerakan
menuju industrialisasi, dan kepercayaan pada yang fisik, membentuk
ideology yang menekankan materialism sebagai pola hidup. Sementara
modernitas dipahami sebagai efek dari modernisasi.
1[1]
Di Indonesia, modernisasi direspon positif oleh Norcholis Majid,
menurut dia modernisasi indetik atau hampir identik dengan rasionalisasi.
Modernisasi melibatkan proses pemeriksaan secara seksama pemikiran serta
1[1] Drs. Sholihan, M.Ag, Modernitas dan Postmodernitas Agama, Semarang:
pola aksi lama yang tidak rasional, dan menggantikannya dengann
pemikiran dan pola aksi baru yang rasional.
2[2]
2.
Post modernisme
Setelah modernism tampil dalam sejarah sebagai kekuatan progresif yang
menjanjikan pembebasan manusia dari belenggu keterbelakangan dan
irrasionalitas. Akan tetapi dalam beberapa decade terakhir ini, “proyek”
modernism yang demikian hebat itu diggugat oleh sebuah gerakan yang
kemudian diikenal dengan “post modernisme” dan dinilai gagal mencapai
sasarannya. Sebagai gerakan cultural-intelektual, postmodernisme sendiri
sudah muncul pada tahun 1960 an, yang bermula dari bidang seni arsitektur
dan kemudian merambah ke dalam bidang-bidang lain, baik itu sastra, ilmu
social, gaya hidup, filsafat, bahkan juga agama. Gerakam Postmodernisme
ini lahir di Eropa dan menjalar ke Amerika, serta keseluruh dunia bagai
luapan air yang tak terbendung.
Post modernism demikian cepat merambah pada semua bidang
kehidupan, termasuk bidang keagamaan. Sesuai watak epistemologis
postmodernisme yang ingin merangkul berbagai macam narasi yang ada,
maka agama dalam perspektik postmodernisme dicoba diangkat, baik
sebagai bagian dari kecenderungan sejarah kontemporer, maupun sebagai
bagian dari legitimasi epistemologis dalam mencari kebenaran setelah
sekian lama menjadi kebenaran yang terlupakan dalam paradigm pemikiran
modern sebagai kecenderungan sejarah, postmodernisme telah melupakan
dimensi yang teramat penting dalam kehidupan manusia, yakni dimensi
spiritual. Oleh karena itu untuk keluar dari lingkaran krisis tersebut, manusia
mencoba kembali kepada hikmah spiritual yang terdapat dalam semua
agama yang otentik.
3[3]
b.
Islam liberal
2[2] Ibid, hlm. 49.
Pengertia mengena islam liberal sebagai arus baru gerakan islam diindonesia
mengacu pada penelitian yang dirumusa oleh nurkhalik ridwan mengenai
islam libera rogresif. Menurut ridwa, islam lbera bisa dirumukan dengan dua
hal.
1.
Klompok pembaru muslim yang memsahkan masalah publiks sebagai hal
yang perlu dimusawarahkan denga komutas bangsa sementara masalah
praktik ritual diserahkan pada masing-masing pihak.
2.
Islam liberal progresif yang berporos pada pandangan bahwa syari’ah masih
perlu ditafsir ulang, yang perlu dibedakan islam sebagai din yang univesal
dalam cita-cita etik dan moralnya.
3.
Konteks politik, yaitu naiknya neorevivalisme, dan fundamentalisme dalam
kontestansi pemikiran dan politik yang berhasil melepaskan diri dari jerat
marginalisme dan melibatkan diri kedalam pusaran pergulatan politik
demokrasi.
4.
Konteks kultural yaitu derasnya arus pemikiran lewat berbagai media.
Islam secara lughawi bermakna pasrah, tunduk, kepada Tuhan (Allah) dan
terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dalam hal
ini Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah AWT, Islam
sebenarnya membebaskan manusia atau makhluk lainnya. Bisa disimpulkan
Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.
Kemunculan istilah Islam liberal ini, menurut Luthfi, mulai dipopulerkan
tahun 1950 an. Tapi mulai berkembang pesat terutama di Indonesia tahun
1980 an yaitu oleh tokoh utama dan sumber rujukan “utama” komunitas
atau jaringan Islam liberal, Nur Cholis Majid. Meski Nur Cholis sendiri
menyatakan tidak pernah menggunakan istilah Islam liberal untuk
menegmbangkan gagasan pemikiran Islamnya.
Karena itu Islam liberal sebenarnya tidak beda dengan gagasan-gagasan
Islam yang dikembangkan oleh Nur Cholis Majid an kelompoknya yaitu
kelompok islam yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam
(secara formal oleh negara). Kelompok yang getol perjuangan sekularisasi,
emansipasi wanita, menyamarkan agama Islam dengan agama lain
(pluralism theologis), memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya.
Selanjuttnya Luthfi menjelaskan tentang agenda-agenda Islam liberal “
saya melihat paling tidak ada empat agenda utama yang menjadi paying
bagi persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaharu dan intelektual
islam selama ini. Yakni agenda politik, agenda toleransi agama, agenda
emansipasi wanita dan agenda kebebasan berekspresi. Kaum muslimin
dituntut melihat keemat agenda ini dari perspektif mereka sendiri, dan
bukan dari perspektif masa silam yang lebih banyak memunculkan
kontradiksi ketimbang penyelesaian yang lebih baik.
Islam liberal juga “mendewakan modernitas” jika terjadi konflik antara
ajaran Islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan
menurut mereka bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali
ajaran tersebut. Disinilah inti dari sikap dan doktrin “ Islam Liberal” kata
Luthfi.
4[4]
c.
Islam Kultural dan Islam Struktural
1.
Islam Kultural
Kata kultural yang berada dibelakang kata islam berasal dari bahasa
ingris, culture yang berarti kesopanan, kebudayaan dan pemeliharaan. Teori
lain mengtakan bahwa kata culture ini berasal dari bahasa latin cultura yang
artinya memelihara atau megerjakan, mengolah.
Dari beberapa teori definisi kebudayaan tersebut diatas, dapat diketahui
bahwa kebudayaan adalah sega bentuk hasil kreativitas manusia dengan
menggunakan segala daya dan kemampuan yang dimilikinya dalam rangka
mewujudkan kehidupannya yang sejahtera.
Dengan diketahui bersama, bahwa dalam agama islam antara agama dan
kebudayaan sungguhpun sumbernya berbeda, tapi saling mempengaruhi.
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi dengan perantara
malaikat jibril untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam mencapai
kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhuwawi. Sedangkan kebudayaan
ialah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi.
Munculnya Islam cultural agak mudah dimengerti apabila kita
memperhatikan ruang lingkup ajaran Islam yang tidak hanya mencakup
masalah keagamaan seperti teologi, ibadah dan akhlak, melainkan jugga
mencakup masalah keduniaan seperti masalah perekonomian, pertahanan
keamanan dan lain-lain. Jika pada aspek keagamaan peran Allah dan Rasul
lah yang dominan. Pada aspek keduniaan peran manusialah yang paling
dominan.
Dalam pengalamannya di lapangan, Islam cultural mengalami
pengembangan pengertian dari apa yang dikemukakan di atas. Islam cultural
selanjutnya muncul dalam bentuk sikap yang lebih menunjukkan
inklusissivitas. Yaitu sikap yang tidak mempermasalahkan bentuk atau
symbol dari suatu pengamalan agama, tetapi yang lebih penting tujuan dan
missi dari pengamalan teersebut. Dalam hubungannya ini kita menjumpai
ajaran tentang dzikir ini terkadang mewujud dalam menyebut nama Allah
sekian ratus kali dengan menggunakan alat semacam tasbih, ada yang
menggunakan batu, ada yang dengan memasang tulisan kaligarafi pada
dinding rumah dan sebagainya.
2.
Islam Struktural
Struktur adalah sebuah gambaran yang mendasar dan kadang tidak
berwujud, yang mencakup pengenalan, observasi, sifat dasar, dan stabilitas
dari pola-pola dan hubungan antar banyak satuan terkecil di dalamnya
Dari istilah – istilah “struktural”, sebagaimana yang telah
disebutkandiatas itulah, lahir istilah lain, seperti : strukturalisme.
Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa
semua masyarakat dan kebudyaan memiliki suatu struktur yang sama dan
tetap strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang
mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan
mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.
Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual
obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak
terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur
sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan
melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik
antara unsur-unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040)
Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu
dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan
dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan
tetapi introduksi metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan
menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada
status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040).
d.
Post tradisionalisme
Sebenarnya sulit untuk merumuskan definisi yang bisa menjelaskan
seluruh kompleksitas post tradisionalisme. Marzuki Wahid mendefinisikan
post tradisionalisme adalah suatu gerakan melompat tradisi yang tidak lain
adalah upaya pembaharuan tradisi yang tidak lain adalah upaya
pembaharuan tradisi secara terus-menerus dalam rangka berdialog dengan
modernitas sehingga menghasilkan tradisi baru (new tradition) yang sama
sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya.
Sebagai gerakan yang berhasrat untuk melahirkan tradisi baru post
tradisionalisme merupakan gerakan yang lahir dengan poroses yang panjang
dan berakar pada pemikir-pemikir pencerahan tempo dulu.
Dari geneologi intelektual inilah, post tradisionalisme islam melewati
fase-fase awal pembentukan hingga perumusan metodologi dan praksis sosisl
politik. Fase pertama merupakan fase pembentukan dan pengkayaan ide
baik dalam pemikiran maupun aksi politik. Pada fase ini muncul beberapa
perdebatan gagasan seperti nasionalisme, pribumisasi, sekularisas,
feminisme dan hak asasi manusia (al-huquq al-insaniyah al-asasiyah), dan
sebagainya.
Sedangkan perumusan metodologi post tradisionalisme Islam
menghasilkan paradigm baru pemikiran Islam yang dirumuskan sebagai
kritik nalar (naqd al-aql) maupun telaah kontemporer (qira’ah muashirah)
terhadap tradisi. Muhammad Abid Al-Jabiri, Muhammad Arkoun, dan Nashir
Hamid Abu Zaid merupakan sederet nama yang berusaha melakukan
rekontruksi metodologis bagi post tradisionalisme.
Sebagai gerakan, post tradisionalisme Islam di Indonesia kemudian
menjadi kontruksi intelektualisme yang berpijak dari dinamika budaya likal
Indonesia dan bukan tekanan dari luar yang berinteraksi secara terbuka
dengan berbagai jenis kelompok masyarakat seperti buruh, petani, LSM, dan
gerakan feminism yang kemudian membawa gerakan ini tidak hanya
bersinggungan dengan tradisi Islam, tetapi juga pemikiran-pemikiran
kontemporer baik dari tradisi liberal, radikal, sosialis Marxia, Post
Strukturalis, dan Post Modernis juga gerakan feminism dan civil society
(Ahmad Baso 2001).
Post tradisionalisme Islam berpandangan bahwa sesungguhnya tidak
mungkin melakukan rekontruksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang
sejarah yang kosong, artinya betapapun kita teramat bersemangat untuk
melampaui Zaman yang sering disebut sebagai kemunduran umat Islam, kita
mesti mengaku bahwa khazanah pemikiran dan kebudayaan yang kita miliki
adalah kekayaan yang sangat berharga untuk dikembangkan sebagai entry
point merumuskan tradisi baru.
5[5]
Perlu diketahui, pengertian post tradisionalisme Islam tentang tradisi
berbeda dengan pemahaman kaum Neomodernisme Islam yang membaca
tradisi melalui optic Al-qur’an dan Hadits yang diadakan transenden, turun
dari langit, lengkap dan mencakup segala hal. Singkatnya bukan sebagai
bagian dari dinamika sejarah yang berubah-ubah. Dalam pengertian inilah
kita diperkenalkan dengan kenyataan tradisi Islam yang historis yang
sifatnya membumi.
Berkaitan dengan upaya merekontruksi tradisi sebagai mana ditunjukkan
Zuhairi Miswari (2001) post tradisionalisme Islam terbagi kedalam tiga sayap
(aliran). Pertama, sayap eklektis (al-qiraah al-intiqaiyah). Sayap ini
menghendaki adanya kolaborasi antara orisinalitas (al-ashalah) dan
5[5] M. Muhsin Jamil, M.A, Pergulatan Islam Liberal Versus Islam Literal, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005, hlm.123.
modernitas (al-mu’asharah) dalam rangka membangun “teori analisis
tradisi” juga menyingkap rasionalitas dan irrasionalitas dalam tradisi.
Kedua, sayap revolusioner (al-qira’ah at-tatswiriyah), sayap ini
berkehendak untuk mengajukan proyek pemikiran baru yang mencerminkan
revolusi dan liberalisasi pemikiran keagamaan. Sayap kedua ini sebagaimana
diwakili Hasan Hanafi mengusulkan tiga cara dalam tradisi dan pembaharuan
yaitu menganalisi pembentukan dan latar belakang tradisi dan mencermati
bagaimana tradisi tersebut berlawanan dengan kemaslahatan umum.
Adapun sayap ketiga adalah sayap dekontruktif (al-qiraah al-tafkiyah).
Sayap ini berusaha membongkar tradisi secara komperehensif sehingga
menyentuh ranah metodologis. Sayap ini mengkaji tradisi berdasarkan
epistemology modern seperti post struktualisme dan post modernism.
6[6]
e.
Jihad dan Terorisme
Jihad adalah prinsip utama dalam akidah Islam, istilah itu sendiri
secara harfiah berarti berusaha keras, tekun bekerja, berjuang,
mempertahankan. Dalam banyak hal, jihad berarti etika kerja yang kuat
secara spiritual dan material di dalam Islam. Kesalehan, pengetahuan,
kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidaklah dimunginkan tanpa
jihad, yaitu tanpa kerja keras berkesinambungan dan tekun. Oleh karena itu,
membersihkan diri dari kesombongan dan kerendahan, menuntut ilmu,
meyembuhkan orang yang sakit, memberi makan kaum papa, menegakkan
kebenaran dan keadilan, bahkan dengan resiko pribadi yang besar,
semuanya adalah bentuk Jihad.
Al-qur’an menunjukkan istiah jihad untuk merujuk pada tindakan keras
untuk mewujudkan tujuan Tuhan di muka bumi ini, yang mencakup semua
aktivitas diatas. Nabi Muhammad berulang-ulang mengajarkan bahwa
bentuk jihad terbesar adalah memerangi hasrat rendah manusia atau
menyampaikan kebenaran di hadapan kekuasaan yang menindas dan
menderita sebagai konsekuensi berbicara seperti itu. Dengan logika yang
sama, berusaha sekuat tenaga dan bekerja keras dalam perang, asalkan
perang tersebut adil dan baik, juga termasuk jihad.
Namun, tak bisa ditolak juga bahwa khususnya di era modern,
pernyataan-pernyataan dan perilaku muslim telah menjadi konsep kian
membeingungkan dan bahkan kacau balau. Jihad, khususnya seperti
terpotret di media barat dan sebagaimana dimanfaatkan oleh para teroris,
acap kali dikait-kaitkan dengan ide perang suci terhadap kaum kafir yang
disebar luaskan atas nama Tuhan, dan sering kali disamakan dengan citra
paling vulgar mengenai intoleransi agama. Yang terburuk, isu terorisme telah
merusak reputasi agama terbesar kedua di dunia ini.
7[7]
IV.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan berjalannya
waktu dan perkembangnya zaman, islampun mengalami perkembangan
dengan munculnya gerakan – gerakan seperti Post Modernisme dan Neo
Modernisme Islam, Islam Liberal, Islam Kultural, Post Tradionalisme Islam,
menunjukkan adanya perkembangan keberagaman dalam pemikiran para
cendekiawan muslim baik yang tradisonal maupun modern/ kontemporer.
Inilah dinamika dalam Islam yang harus disikapi dengan inklusif dan
bijaksana.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami buat. Kekurangan pastilah ada karena
manusia tempatnya salah, dan segala kesempurnaan hanyalah milik Allah
SWT semata. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan, guna
memperbaikan pembuatan makalah dikemudian hari untuk menjadi yang
lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami pada khusunya dan
bagi khalayak pada umumnya. Amien...Amin...Amin Ya Robbal ‘alamin...
DAFTAR PUSTAKA
7[7] Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi
Jamil, M. Muhsin, MA. Membongkar Mitos Menegakkan Nalar Pergulatan Islam
Liberal Versus Islam Literal. Semarang : Pustaka Belajar. 2005
Abdullah, M. Yatmin MA. Studi Islam Kontemporer. Jakarta : Sinar Grafika Offset.
2006
Nata, Abuddin, MA. Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada. 2001
Diposkan oleh Fadlilah Murwati di 4/26/2013 11:13:00 PM
DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum islam dan dinamika masyarakat sering dipersepsikan sebagai dua hal yang sangat
berbeda dan bahkan dikatakan saling betentangan. Dalam satu sudut pandanghukum islam
merupakan suatu hokum yang tidak akan mungkin mengalami perubahan, karena berdasarkan
wahyu Allah yang bersifat qadim. Setiap qadim bersifat statis tidak berubah.
Hukum selain berfungsi sebagai pengatur kehidupan masyarakat atau social control, juga
berfungsi sebagai pembentuk masyarakat atau social Enginering, kedua fungsi itu juga terdapat
pada hokum islan. Diharapkan kedua fungsi ini dapat mengatur kehidupan masyarakat
sejalansejalan dengan perkembangan zaman kontemporer ini.
Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika pergumulan hokum islam dengan dinamika
masyarakat kontemporer selalu menimbulkan pertanyaan ulang terhadap produk-produk
pemikiran ulama terdahulu, terutama jika dikaitkan dengan spectrum masalah dewasa ini yang
semakin kompleks dan luas.
a)
Hukum Islam
Secara etimologis, kata hokum berakar pada kata atau hruf arab, yang berarti menolak.
Adapun secara terminologis, ulama usul mendefinisikan hokum dengan titisan Allah yang
berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun
larangan, sedangkan ulama fikih mengartikan dengan efek yang dikehendaki oleh titah Allah dari
perbuatan manusia, seperti wajib, sunnah, dan haram.
Bertolak dengan pendapat Amir Syarifuddin dan T.M. Hasbi Ash Shiddieqy itu, maka
dapat dikemukakan bahwa hokum islam pada hakekatnya mempunyai muatan hokum syara dan
hokum fiqh, karena bersumber dari syariat, tetapi ia juga merupakan hasil ijtihad manusia.
Dengan kata lain, bahwa syariat islam yang diterjemahkan sebagai hokum islam adalah
didasarkan pada pengertian syariat dalam arti sempit, sebab makna yang terkandung dalam
syariat (secara luas) mencakup aspek akhlak dan hukum. Sedangkan jika hokum islam
dimaksudkan terjemahan dari fikih islam, maka hokum islam dimaksudkan adalah hasil ijtihad
yang ijtihad yang nilai kebenarannya bersifat zany,tidak termasuk didalamnya nilai hokum islam
dalam pengertiannya yang bersifat qat’iy.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa hokum islam pada dasarnya mencakup
hokum syara dan hukum fiqih karena ia bersumber dari wahyu(Al-qur’an dan Sunnah), serta
merupakan hasil kreaktifitas akal manusia terhadap wahyu itu. Sehingga hukum islam memiliki
dimensi ilahiyah yang transenden, dan dimensi insaniyah yang profane.
b)
Dinamika Masyarakat periode kontemporer
Pada dua tahap yang disebutkan pertama, agama masih dianggap mempunyai pengaruh
dominan dalam struktur masyarakat sehingga jika terjadi peristiwa apa saja, semuanya
dikembalikan dan direkonsiliasikan kepada agama. Dalam tahapan demikian pola pemikiran
masyarakat masih sangat sederhana
Agama kemudian dianggap kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat, setelah
masyarakat mengalami kemajuan dibidang pemikiran sebagai buah dari paham rasionalisme,
yang ditandai dengan kemjuan dibidang keilmuan dan teknologi. Dilihat dari perspektif filsafat
sejarah kontemplatif, konsep Effat al shaqawi dalam kitab Falsafah al Hadharah al islamiyah,
proeses perkembangan masyarakat seperti yang digambar comte merupakan proses gerak maju
ke depan.
Secara sederhana globalisasi diartikan sebagai salah satu titik perhatian, meskipun ia
terdiri dari beberapa Negara yang terpisah dan dihuni oleh beberapa kelompok manusia yang
berbeda bangsa, bahasa dan agama.
Penagruh ini bisa dalam bentuk positif (manfaat) dengan menguntungkan kehidupan
manusia dan ada pula dalam bentuk negative dengan arti merugikan.
Demikianlah hukum islam meyesuaikan dirinya dengan berbagai macam keadaan.
Hokum islam karena daya lentur yang terdapat padanya, mampu mengakomodasi perubahan
zaman dan dinamika masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Post Modernisme dan Neodernisme
Postmodernisme secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme. Yang muncul
pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk
menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern. Federico de Onis sekitar tahun
1930-an menggunakan dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari
modernisme.
Istilah ‘’pos’’ menurut kubu Postmodermisme, adalah kematian modernisme yang
mengusung klaim kesatuan representasi, humainisme, antroposentrisme, dan linirietas sejarah
guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, anthihumanisme, dan diskontuinitas.
Pada awalnya gerakan modernisme lahir dari gerakan ‘’rasionalisai’’ dan kebebasan
ijtihad agama. Gerakan ini kemudian menginspirasi berdirinya Muhammadiyah di Indonesia, dan
gerakan modernisme lahir di Indonesia sabagai respon modernitas barat.
Sedangkan, Gerakan Neomodernisme berkembang pada akhir 19 dan awal 1970-an,
terutama di kalangan mahasiswa yang berlatar belakang tradisional. Komunitas mahasiswa ini
merupakan generasi pertama dari muslim tradisional yang memiliki akses pada pendidikan tinggi
dengan takaran yang signifikan berkat ekspansi pendidikan yang berlangsung pasca kolonial di
Indonesia. Untuk memperluas wawasan keilmuannya, di antara mereka terlibat di puncak
organisasi mahasiswa yang berorientasi modern (HMI).
Awalnya, gerakan yang mereka lancarkan merujuk pada gerakan pembaruan pemikiran
Islam. Namun, gerakan itu akhirnya lebih dikenal sebagai neomodernisme, dengan mengikuti
paradigma gerakan pembaruan modern Fazlur Rahman.
Gerakan Neomodernisme memperoleh ketenaran secara mengesankan setelah keluarnya
statemen Nurcholish Madjid dalam seminar tunggal pada bulan Januari l970 yang intinya
menengarai tanda-tanda hampir matinya pemikiran kaum pembaru, sehingga perlu dilakukan
pembaruan pemikiran. Nurcholish Madjid pada waktu itu menggunakan terma desakralisasi dan
sekularisasi dalam papernya sehingga dengan mudah menyulut kritik bernada kemarahan dari
berbagai pihak. Kritik itu terurama datang dari tokoh-tokoh modernis senior yang terusik oleh
kritikan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa gerakan intelektual para senior telah
mandek dan perlu direformasi.
Para modernis senior ini menuduh pemikiran Nurcholish Madjid sebagai bid’ah.
Berbagai kritikan ini justru membuat popularitas pemikiran Nurcholish Madjid semakin
meningkat. Bisa dikatakan, munculnya gerakan pembaruan yang berporos pada Nurcholish
Madjid telah menandai permulaan fase penyebaran ide pembaruan dalam komunitas umat Islam,
juga penyebaran ide-ide pembaruan dan kecenderungan pemahaman liberal dalam Islam.
Gagasan ini dalam perkembangannya diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia dan
mampu mengubah sikap-sikap sosial yang cukup mendasar.
Penyebaran gerakan neomodernisme Islam di Indonesia semakin meluas antara lain
berkat bergabungnya para intelektual muslim lain seperti Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Dawam
Rahardjo, Syu’bah Asa, dan Utomo Dananjaya. Abdurrahman Wahid sekembalinya dari studi di
Timur Tengah secara cepat beraliansi dengan gerakan itu. Sebagai konsekuensinya, beberapa
perhimpunan pemuda di bawah NU dan kebanyakan ulama yang sering bertukar ide dengan
Abdurrahman Wahid secara kuat dipengaruhi oleh pemikiran neomodernis.
Fakror-faktor pembentukan neomodenisme yang pokok adalah hilangnya perasaan
inferiority complex di kalangan umat Islam, khususnya bagi Nurcholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid terhadap Barat. Sebagai generasi yang tidak mengalami perang
kemerdekaan dan tidak mengalami diskriminasi dari kalangan elite Eropa semasa kolonialisme,
membuat mereka memiliki kepercayaan diri.
B.
Islam Liberal
Ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar kontradiksi dalam peristilahan
(contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat mengidentifikasikan Islam dengan
unsur-unsurnya yang eksotik. Kepercayaan Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana
diungkapkan Voltaire dalam tulisannya, "Mahomet, or Fanatism". Islam juga disamakan dengan
kezaliman, seperti diungkapkan Mountesqieu sebagai "Kezaliman Timur", atau definisi yang
diberikan Francis Bacon "Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai
sopan-santun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni; sebagaimana terjadi di Turki."
latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa
keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh
Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu
dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut
saja sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi
juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi
al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi
sampai abad ke-17.
Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam
dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn
Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu
kekhalifahan yang ideal--yang pada masanya sudah tidak ada lagi--dan pemerintahan "sekular"
yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga
berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang
diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity).
Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan
modernis-liberalis ini, yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis Islam,
khususnya seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka perihal:
Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan akan adanya aspek
historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga, pentingnya secara kontinu untuk
membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama;
keempat, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan
pendidikan; dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan
non-Muslim.
C.
Islam Kultural dan Struktural
Islam kultural dalam pandangan umum adalah Islam yang mewujudkan dirinya secara
substantif dalam lembaga-lembaga kebudayaan dan peradaban Islam lainnya; pendeknya, Islam
minus politik. Dalam pemahaman umum, Islam kultural adalah Islam dakwah, Islam pendidikan,
Islam seni, dan seterusnya. Sebaliknya, Islam politik adalah Islam yang muncul atau ditampilkan
sebagai kerangka atau basis ideologi politik, yang kemudian menjelma dalam bentuk partai
politik (cf. Gulalp 1999). Lebih tegas lagi Islam politik adalah Islam yang berusaha diwujudkan
dan diaktualisasikan dalam kekuasaan atau kelembagaan politik resmi, khususnya pada bidang
eksekutif dan legislatif. Memakai kerangka sejarawan MGS Hodgson, Islam politik adalah
Islamdom, Islam yang mengejawantah dalam kekuasaan politik (political power)
Islam Kultural sebut Nurcholish Madjid, adalah ide yang menempatkan agama sehingga
berperan utama sebagai sumber nilai dan pedoman perilaku etika dan budaya dalam kehidupan
berbangsa, sehingga Islam bisa diterima oleh siapapun baik internal maupun eksternal.
Gagasan Islam Kultural awalnya adalah untuk menjawab kebuntuan akses politik umat
Islam Indonesia yang ditutup oleh rezim tiran Orde Baru. Bagi Orde Baru, Islam politik adalah
ancaman bagi stabilitas politik yang telah dibangun sebelumnya, oleh kerana itu, cara yang
paling efektif dengan melakukan tekanan-tekanan politik, seperti melarang rehabilitasi Partai
Masyumi (Lukmanl Hakiem, 1993). Melihat kondisi tersebut, generasi muda pasca M. Natsir,
mencoba untuk merumuskan kembali relasi negara dan Islam dengan suasana lebih dialogis.
Sehingga dirumuskan lah Islam kultural, sebagai anti tesis Islam struktural atau Islam politik.
Sedangkan, yang dimaksud dengan Islam structural, adalah penyelengaraan Negara yang
berorientasi pada syariat islam. Islam structural itu semata-mata berburu pada kekuasaan, apalagi
dengan menghalalkan segala macam cara, melainkan menjadi Negara sebagai lapangan
perjuangan dan pengabdian untuk menegakkan yang benar dan mencegah yang mungkar.
D.
Postradisionalisme Islam
Sejak tahun 1950, tampak bahwa Islam tradisional dan pemimpin-pemimpin tradisional
telah siap menghadapi tekanan dari elemen-elemen modern. Pada periode ini aktivitas partai
politik telah berjalan sealur dengan garis-garis Barat modern. Beberapa ulama jebolan pesantren
telah menempuh berbagai pendidikan modern. Para pemimpin Islam tradisional sampai tahun
1950 telah berhimpun dengan organisasi kelompok muslim modern yang bernama Masyumi.
Mereka sebelumnya telah berpengalaman dalam menjalin satu kekuatan dan bergandengan
tangan dalam wadah Persatuan Islam ketika menghadapi pendudukan Jepang dan sama-sama
berjuang demi kemerdekaan. Persatuan politik mereka dalam Masyumi pecah pada tahun 1952
dengan keluarnya NU dan memunculkan NU sebagai partai politik independen.
Sejak saat itu, muncul babak baru dalam peta pemikiran keagamaan yang tegas-tegas
memolarisasi pemikiran keagamaan di Indonesia dalam dua kutub, yaitu tradisionalisme dan
modernisme. Meskipun demikian, perlu dikemukakan bahwa pernah muncul dari kalangan
tradisionalisme seorang tokoh bernama Kiai Wahid Hasyim, yang sebelum meninggal dalam
kecelakaan mobil 1953 mampu membangun komunikasi antara modemisme dan tradisionalisme.
Salah satu bidang garapan pokok dari kelompok modernisme di Indonesia adalah
memperluas semaksimal mungkin kegiatan pendidikan bagi rakyat. Salah satu organisasi dari
kalangan modernis seperti Muhammadiyah mempunyai kebanggaan sejarah atas pembangunan
sekolah-sekolah dan perluasan kesempatan pendidikan ketika berbagai kesulitan menimpa
bangsa. Sampai tahun 1970-an, beberapa intelektual modernis di Indonesia telah memperoleh
pendidikan Islam klasik tentang Bahasa Arab, Al-Quran, dan hukum-hukum klasik dari pakar. Di
antara mereka ada sejumlah nama yang sudah akrab dengan pandangan modern dan berbagai
pemikiran ilmiah seperti Muhammad Natsir, Deliar Noer, Mukti Ali dan Harun Nasution.
Babak baru menandai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia ketika para
alumni pesantren dari lingkungan pesantren (tradisional) pada tahun 1960-an mulai memasuki
dunia pendidikan modern di Barat. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid adalah generasi
pertama yang berada dalam tepian dua tradisi keilmuan ini. Lingkungan keilmuan Islam klasik
dan Modern (Barat) secara bersama-sama membawa pengaruh kuat bagi keduanya.
Dalam konteks pembaruan ini, sumbangan sistem IAIN dalam mereformasi Islam
benar-benar penting. Pembentukan IAIN, yang diawali dengan IAIN Syarif Hidayatullah di Ciputat
Jakarta dan IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1960, secara tidak langsung memberi kesempatan
pertama bagi mayoritas keluaran pesantren untuk menempuh studi di jenjang perguruan tinggi.
Sejak tahun 1960-an IAIN tetap mempertahankan ketertutupannya dengan model al-Azhar.
Secara pelan-pelan, proses perubahan nampak dengan transformasi IAIN menjadi lembaga yang
mengombinasikan kajian Islam tradisional dengan pendekatan-pendekatan kajian modern.
Dengan masuknya Harun Nasution di IAIN Syarif Hidayatullah dan Mukti Ali di IAIN Sunan
Kalijaga pada akhir tahun I960-an, membawa pengaruh progresif di kalangan mahasiswa dengan
mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis termasuk terhadap dasar-dasar keimanan serta
menggunakan pendekatan kritis dalam kajian keislaman.
Sebagai generasi tua, merekalah yang membukakan jalan bagi generasi muda
pemikir-pemikir Islam untuk tampil ke depan. Abdurrrahman Wahid dan Nurcholish Madjid sebagai
representasi utama dari generasi muda itu. Nurcholish Madjid yang lahir pada tahun 1939 dan
Abdurrahman Wahid yang lahir pada tahun 1940 adalah orang-orang yang tengah memasuki usia
remaja saat Soeharto muncul sebagai penguasa.
1.
Postradisionalisme Islam di Kalangan Muda NU
Beberapa dekade terakhir ini muncul fenomena baru di kalangan Nahdlatul Ulama yaitu
tentang pembaruan wacana, yang sebelumnya hampir tidak pernah terjadi dalam organisasi ini.
Pembaruan tersebut mencakup beberapa aspek, diantaranya adalah tentang gagasan dan
pemikiran, keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan global. Kebanyakan
gerakan pembaruan ini dimotori oleh anak-anak muda Nahdlatul Ulama yang kemudian
seringkali disebut sebagai kalangan muda Nahdlatul Ulama (Sholeh, 2004). Mereka menganggap
bahwa wacana yang ada pada Nahdlatul Ulama yang cenderung tradisional dianggap sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Kemudian kalangan muda ini menawarkan
gagasan-gagasan baru yang seringkali disebut dengan post-tradisionalisme.
Kalangan muda NU beberapa tahun terakhir mempunyai kesadaran kritis akan eksistensi
NU terhadap pola perubahan zaman, sehingga mereka memandang perlu adanya suatu gerakan
pembaruan terhadap kultur NU yang selama ini melekat. Gerakan pembaruan ini meliputi tiga
hal (Riyadi, 2007). Pertama, tentang masalah kemandegan berfikir (jumud). Realitas yang terjadi
bahwa ternyata perubahan zaman semakin cepat terjadi dari hari ke hari, sehingga memaksa
kalangan muda NU untuk berpikir ulang terhadap pola pemikiran yang diadopsi oleh NU.
Pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang hanya
bersandar pada teks-teks tradisional (kitab kuning) dirasa oleh kalangan muda NU tidak lagi
mampu berbicara banyak terhadap realitas yang terus berkembang saat ini, perlu ada suatu
rumusan baru mengenai pemecahan masalah tersebut. Sehingga menurut mereka, perumusan
metode baru (ijtihad) perlu dilakukan untuk keluar dari kungkungan kejumudan yang selama ini
melekat di NU.
Kedua, partisipasi NU dalam dunia politik praktis. Terjerumusnya NU dalam dunia
politik praktis banyak menyebabkan tujuan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang
berorientasi pada pengembangan potensi ummat terbengkalai. Dari kondisi inilah, kalangan
muda NU prihatin terhadap terjerumusnya NU dalam pusaran politik praktis dan mereka
mencoba untuk menggeser gerakan politik praktis NU ini ke gerakan Islam kultural,
sebagaimana misi awal pendirian organisasi ini. Ketiga, permasalahan pengelolaan
keorganisasian. Pola hubungan patron-client yang kuat antara ulama dengan masyarakat, dimana
ulama berperan sebagai patron dan masyarakat berperan sebagai client, menjadikan organisasi ini
lemah dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Pengelolaan NU yang lebih bersifat
tradisional perlu diganti dengan sistem yang lebih modern, karena basis massa yang sangat besar
akan sulit menunjukkan eksistensinya jika hanya dikelola dengan pola-pola tradisional.
Lebih lanjut, seringkali NU dipahami sebagai organisasi tradisional dengan stereotype
yang cenderung negatif, diantaranya adalah organisasi yang ekslusif, organisasi yang tidak
pernah beranjak dari kitab-kitab yang mu’tabar (al-kutub al-mu’tabaroh) , organisasi yang dalam
praktik keagamaannya seringali mengadopsi tradisi lokal serta basis komunitas yang mayoritas
berasal dari kalangan pedesaan (Riyadi, 2007). Pemahaman dalam beragama bagi kalangan NU
seringkali berpijak dan berangkat dari teks yang sangat disakralkan dan teks mempunyai otoritas
yang tinggi dikarenakan model pemahaman yang ada di NU selalu merujuk pada kitab-kitab
ulama terdahulu. Bahtsul masa’il merupakan salah satu contoh betapa teks sangat dijunjung
tinggi dalam model pemahaman dalam organisasi ini.
Tradisi dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai dua arti yaitu adat kebiasaan
turun temurun yang masih dijalankan masyarakat dan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara
yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Sedangkan penjelasan Muhammad
Abed Al-Jabiri tentang tradisi terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) tradisi maknawi (al-turats
seperti monumen dan benda-benda masa lalu, 3) tradisi kebudayaan, yaitu segala sesuatu yang
kita miliki dari masa lalu kita, 4) tradisi kemanusiaan universal, yakni segala sesuatu yang hadir
di tengah kita, namun berasal dari masa lalu orang lain.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata tradisional diartikan sebagai sikap, cara
berpikir, dan bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan secara turun
temurun. Islam tradisional seperti yang ada di Indonesia mempunyai ciri-ciri seperti berikut:
pertama, sangat terikat dengan pemikiran Islam tradisional, yaitu pemikiran Islam yang masih
terikat kuat dengan pikiran ulama ahli fiqh, hadits, tasawuf, tafsir, dan tauhid yang hidup antara
abad ke tujuh hingga abad ke tiga belas. Kedua, kebanyakan basis massa dari penganut
tradisionalisme Islam tinggal pada wilayah pedesaan dengan latar belakang pendidikan
pesantren. Ketiga, keterikatan mereka pada paham ahlussunah wal jama’ah.
Jika tradisional dapat diartikan sebagai sikap, cara berpikir, dan bertindak yang selalu
berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan secara turun temurun, maka tradisionalisme
dapat diartikan dengan paham atau ajaran yang didadasarkan atas tradisi. Jika kita kaitkan
dengan Islam, maka tradisionalisme Islam dapat diartikan sebagai praktik-praktik keagamaan
maupun pemikiran dalam Islam yang dilakukan masyarakat secara turun temurun. Sedangkan
post-tradisionalisme secara etimologi bisa diartikan pasca tradisionalisme. Meskipun kata post
disini bisa diartikan dengan melampaui, melewati dan bahkan meninggalkan tradisi, tetapi yang
menjadi inti dari post tradisionalisme disini adalah mentransformasikan dan merevitalisasi
terhadap tradisi, bukan untuk meninggalkan tradisi. Maka demikian, dalam diri
postradisionalisme terkandung nilai-nilai kontinuitas dan perubahan.
Maka dari uraian diatas, peneliti melihat bahwa postradisionalisme merupakan salah satu
modal sosial bagi warga NU dalam menggapai perubahan. Dan dari sini penilitian ini akan
mencoba menlusuri sampai sejauh mana postradisionalisme befungsi sebagai modal sosial bagi
NU untuk melakukan perubahan.
E.
Jihad dan Terorisme
Menurut Ibnu Faris dalam bukunya mu’jam “Al-maqasy fi Al-lughah”, semua kata yang
terdiri dari huruf J, H, D, pada awalnya mengandung arti kesulitan ata kesukaran dan yang mirip
dengannya.
Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti ‘’letih atau sukar’’. Jihad memang sulit
dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal menuntut
kemampuan dan harus dilakukan sebesar kemampuan. Dari kata yang sama tersusun ucapan
“Jahida Bir Rojul”, yang artinya “ seseorang sedang mengalami ujian”.
Jihad adalah merupakan ruh dan spirit utama bagi keseluruhan perjuangan Islam. Jihad
merupakan inti daripada semangat islamyang mengantarkan islam menjadi Al-Furqan
(benar-benar tampil beda) dari Jahiliah.
Maka setiap muslim harus berusaha melibatkan dirinya dalam jihad sesuai dengan
kemampuan dan tuntunannya, berjihad dapat kita aplikasikan dalam beberapa hal,seperti:
1)
Berjihad memerangi hawa nafsu, amarah yang suka menyimpangkan manusia dari perbuatan
2)
Berjihad memerangi kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat islam dalam pentas
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
3)
Berjihad dalam memerangi segala bentuk ancaman yang membahayakan kemudahan umat,
seperti ancaman masyarakat, dll.
4)
Berjihad memerangi keterpurukan umat, baik dari segi intelektual maupun muammalah.
5)
Berjihad mengantisipasi serta mengimbangi tipu daya politik dan diplomasi kaum kafir dalam
uapaya memurtadkan umat islam, menjauhkan umat dari ajaran islam, dan memecah belahkan
umat islam agar mudah menjadi santapan mereka.
Setiap pribadi muslim yang menghendaki kesempurnaan dalam berislam, harus memiliki
program dakwahdan semangat jihad bagi dirinya sendiri dan keluarga. Dia harus bersemangat
mengupayakan perbaikan keislamannya dari hari kehari, sehingga mencapai nilai HAQQA
TUQATIH (Sebenar-benarnya takwa).
Sedangkan Terorisme dan Radikalisme meruapakan fenomena umum yang tersebar
diseluruh dunia, bukan hanya di dunia islam semata, sebagaimana yang dituduh oleh sebagian
kalangan.
Pengetahuan yang benar tentang islam bentuk Radikalisme maupun Terorisme, Etos kasih
saying mrupaka salah satu sebagian penting dalam islam, karena itu setiap surat dalam al-quran
selalu dimuat dengan kalimat” dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha
penyayang”, ya, betapa kasih saying Allah begitu luas, mencakup sgala sesuatu serta seluruh
manusia yang berusaha keras mewujudkan keadilan dan perdamaian.
Dialog antar agama selain mampu mengatasi berbagai persoalan negative seperti ateisme
narkoba, dan fanatisme, ternyata juga mampu memberikan konstribusi efektif demi mencegah
terjadinya pertengkaran-pertengkaran yang mungkin terjadi.
Persoalan-persoalan tersebut berikut persoalan sampingan lainnya, menuntut kerja keras
kita dalam mencari jalan keluar yang memadai, karena bagaimanapun, hal ini menyangkut
kepentingan seluruh dunia.
Apabila kita ingin menyelenggarakan dialog antar agmayang efektif, kita tidak boleh lagi
menghidupkan memori-memori kebencian dan permusuhan yang diwariskan oleh masa silam
dalam ingatan kita sebagai penggantinya, kita harus membangun pemikiran positif yang bergerak
kea rah pembangunan pemikiran positif yang bergerak kearah pembangunan masa depan baru
yang lebih cerah dan mampu membuat dunia menikmati perdamaian.
BAB III
PENUTUP
Islam sebagai dinamika historis menunjukkan kekayaan luar biasa. Di tengah dinamika
historis memang perlu ditegaskan kembali esensi-esensi teologis pokok, seperti tauhid Allah
SWT, kenabian Muhammad, i’jaz Alquran, dan sebagainya. Namun, dinamika historis tersebut
juga dapat menjadi bahan dasar penting bagi sintesis-sintesis Islam untuk menjawab tantangan
zaman.
Dinamika historis memang menuntut penghadiran berbagai respons Islam terhadap
situasi lingkungannya yang terus berubah. Karena itu, kaum Muslimin dan umat-umat lainnya,
dalam dinamika sejarah bisa menyaksikan terjadinya kesinambungan dan konvergensi di tengah
perubahan. Semua perubahan yang positif dan kontributif bagi peradaban Islam terjadi berkat
keterbukaan dan kesediaan kaum Muslimin sendiri menyerap berbagai hal positif di luar tradisi
mereka.
Karena itu, pengakuan pada berbagai tradisi di luar Islam dan kaum Muslimin sendiri
merupakan sebuah keniscayaan. Pengakuan tersebut bahkan merupakan prasyarat krusial bagi
setiap masyarakat yang berkeinginan dan berusaha merespons secara tepat berbagai perubahan
yang tidak bisa dielakkan manusia dan peradabannya di masa kini dan mendatang. Dalam
perspektif ini, sejarah Islam dan kaum Muslimin pada dasarnya merupakan usaha-usaha tak
pernah berhenti bagi kaum Muslimin sendiri untuk memahami cita-cita Alquran guna selanjutnya
mewujudkannya ke dalam realitas kehidupan.
Namun, perubahan-perubahan yang luas dan berdampak panjang juga menimbulkan
kecemasan bagi sebagian kaum Muslimin. Dan ini mendorong mereka untuk kembali kepada apa
yang mereka sebut sebagai ‘Islam otentik’ yang ironisnya justru tertutup dan menegasikan
berbagai hal di luar Islam, yang mereka pandang sebagai ancaman terhadap ‘Islam otentik’.
Cara pandang seperti ini jelas sangat kontraproduktif karena dalam kerangka itu, Islam
dipandang hanya sebagai doktrin teologis dan doktrinal abstrak, yang jauh dari persentuhan dan
realitas historis. Pandangan dan konsepsi inilah yang akhirnya mengantarkan kaum Muslim ke
dalam situasi dan kondisi statis, yang mengakibatkan terjadinya ‘fragmentasi’ sosial dan
intelektual. Jadinya upaya-upaya memperbaiki keadaan dan kenestapaan kaum Muslimin dewasa
ini lebih didorong formula-formula ideologis-religius yang cenderung simplistik daripada
rumusan-rumusan atas kajian berbagai realitas sosio-historis konkret.
Padahal, salah satu distingsi Islam, seperti ditegaskan kembali melalui Konferensi
Alexandria, adalah keterbukaan yang mampu tidak hanya mengakomodasi berbagai fenomena
dan produk peradaban lain yang bermanfaat bagi kemajuan peradaban manusia secara
keseluruhan, tetapi juga dapat hidup berdampingan secara kreatif dengan peradaban-peradaban
lain.
Hidup berdampingan secara damai (creative co-existence), jelas bisa dicapai hanya jika
para representasi peradaban-peradaban yang dominan mau meninggalkan pandangan-pandangan
yang memecah belah tentang ‘keunggulan kultural’ (cultural triumphalism). Triumphalism
adalah pernyataan sepihak dari pendukung kultural manapun yang mengklaim bahwa hanya
pihaknya sajalah yang paling unggul di atas segala pihak lain. Triumphalism seperti ini pada
ujungnya hanya akan mengantarkan umat manusia ke dalam ‘perbenturan peradaban-peradaban’,
yang jelas tidak kita hendaki.
DAFTAR PUSAKA
Barton, Greg, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama:
The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, dalam Islam
and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999.
Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam
Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Hamzah, Imran dan Anam, Chairul (ed), Abdurrahman Wahid Diadili Kiai-Kiai. Surabaya: PT
Jawa Pos, 1989.
Horikoshi, Hiroko, Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.
Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.
Narwoko, J. Dwi – Suyanto, Bagong (ed.), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta:
Prenada Media Group, 2006.
Sodik, Mochammad, Gejolak Santri Kota Aktivis Muda NU Merambah Jalan Lain. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2000.
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban, Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog
Peradaban, dan Dialog Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
www.hidayatullah.com
Dinamika Islama Kontemporer
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah
Sepeninggal Rosulullah SAW umat Islam menjadi terpecah belah dan berusaha mendirikan aliran–aliran Islam yang beraneka ragam dengan segala pembenaran ideologi yang mereka yakini. Kemunculan mereka disebabkan karena sudah tidak adanya tempat bertanya tentang Islam dengan segala permasalahan dan solusi pemecahannya. Masing-masing mempunyai ideologi serta pemahaman tentang Islam yang berbeda–beda. Klaim sebagai ahluss sunah wal-jamaah, yang merupakan satu-satunya golongan Islam yang dijamin masuk surga oleh Rosulullah SAW dalam hadist sohihnya pun mereka sematkan dilabel mereka masing-masing. Aliran Khawarij, Muktazilah, Syiah, dan Jabariyah adalah segelintir contoh aliran yang pernah ada dan mewarnai corak Islam di Timur Tengah (Arab khususnya) yang merupakan tempat lahirnya Agama Islam.
Keberagaman pemahaman tentang Islam inilah yang menimbulkan konflik diantara aliran–aliran Islam tersebut. Bentuk konflik yang terjadi di masa lalu rupanya tetap ada di zaman yang serba kontemporer saat ini, dan memunculkan beraneka ragam pola pikir dan ideologi yang kemudian melahirkan konsep Islam yang ingin bebas menggunakan akal untuk memecahkan sebuah permasalan Islam, dan aliran ini biasa disebut dengan Liberalisme. Ada pula beberapa aliran Islam yang ingin mengembalikan Islam versi pemahaman mereka ke dalam bentuk aslinya seperti yang tersurat dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadist, dan aliran ini diindentikkan dengan istilah fundamentalisme. Dalam masa kontemporer ini, fundamentalisme memberikan kesan yang memaksa kepada umat Islam yang lain untuk bisa sepaham dengan dia. Mereka mengesahkan cara-cara kekerasan dalam memperingatkan umat Islam yang lain apabila mereka menyimpang dari ajaran Islam. Di Timur Tengah setidaknya ada beberapa organisasi dan pergerakan yang mengusung paham ini, di antaranya adalah Gerakan Wahabbiah, Ikhwanul Muslimin, dan lain sebagainya yang menginginkan pemurnian kembali Agama Islam. Gairah umat Islam di era kontemporer untuk menegakkan kembali panji Islam disalahartikan oleh sebagian umat Islam. Gerakan fundamentalisme negatif dan radikalisme secara tidak langsung pun telah mereka usung. Aksi teror, perusakan, dan tuduhan pengkafiran merupakan bukti eksistensi keberadaan
gerakan fundamentalisme dan radikalisme. Pemahaman tentang akan makna jihad juga tak luput dari penafsiran mereka, jihad pun dimaknai mereka dengan membunuh orang-orang yang tak sepaham dengan mereka. Terorisme merupakan buah karya dari adanya gerakan fundamentalisme dan radikalisme. Radikalisme dijadikan sebagai sebuah solusi untuk mewujudkan cita cita mereka.
Di sisi lain ada juga umat Islam yang tampil dengan wajah arif dan bijaksana, dimana kultur begitu besar mempengaruhi paham keagamaan ini. Islam inilah yang banyak mewarnai mayoritas umat Islam di Indonesia. Ada pula corak Islam yang sudah terstruktur dengan baik melalui sebuah oganisasi-organisasi Islam atau masuk dalam sebuah perpolitikan di sebuah negara, mereka lebih bersifat moderat dan progresif.
Bercermin pada wacana di atas sangat menarik jika kami menyajikan sebuah makalah yang dapat memberikan sedikit kajian keilmuan dan wawasan kepada mahasiswa yang biasa berpikir kritis dalam sebuah diskusi keislaman. Selanjutnya permasalahan ini akan kami bahas dan jabarkan lebih luas dalam bab pembahasan.
B. Rumusan masalah
Adapun beberapa hal yang akan kami bahas dalam makah ini adalah sebagai berikut:
1) Bagaiman sejarah tumbuhnya liberalisme, fundamentalisme, radikalisme di
Indonesia dan sepak terjangnya?
2) Bagaimana kiprah dan peranan Islam Kultural dan Islam struktural yang ada di
Indonesia?
3) Apakah makna sesungguhnya dari Jihad dan Terorissme dalam agama Islam? I. PEMBAHASAN
A. Gerakan Liberalisme
Secara etimologi, liberalisme adalah derivasi dari kata liberty (dalam bahasa Inggris) atau liberte (dalam bahas Prancis) yang berarti “bebas”. Adapun secara terminologi, para peneliti mengemukakan bahwa liberalisme adalah terminologi yang cukup sulit didefinisikan. Hal itu karena konsep liberalisme yang terbentuk tidak hanya di bahas dalam satu generasi saja, akan tetapi dengan munculnya berbagai pemikiran tokoh yang tentunya satu sama lain saling berbeda dalam memberikan pengertian tentang liberalisme.
Liberalisme sebenarnya merupakan bukan hal yang sama sekali baru dalam konteks kajian keislaman di Indonesia. Sebenarnya dalam masa Orde Baru
gerakan-gerakan ini sudah ada, tetapi pada masa Orde Baru pengistilahan gerakan-gerakan Islam belum serta merta bersanding pada sebuah gerakan Islam. Hal itu disebabkan karena gerakan keislaman pada waktu itu mendapat pengawasan yang ketat dari pemerintah. Karena menurut pemerintah, gerakan ini dapat memunculkan gerakan separatisme yang dapat membahayakan kedaulatan negara. Belum adanya kebebasan dalam berpikir dan berpendapat dalam rezim Orde Baru membuat gerakan-gerakan ini seperti diibaratkan ikan yang berada dalam sebuah akuarium besar yang selalu mendapatkan pengawasan dari empunya rumah.
Liberalisme sendiri merupakan paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan tata pemikiran yang berlandaskan pada kebebasan manusia. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Dan ini berarti bahwa liberalisme adalah paham pemikiran yang optimistis tentang manusia. Dari pengertian liberalisme ini maka terlihat dua agenda besar yang di perjuangkannya, yaitu; mengandalkan rasio dan besar kesadaran individu, dan mengandalkan pembangunan mandiri masyarakat tanpa intervensi berlebihan dari Negara. Dua agenda besar ini digulirkan dalam wacana Hak Asasi Manusia (HAM) dan
masyarakat sipil (civil society)[8[1]
1. Akar Pemikiran Liberalisme[9[2]]
Akar pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from
restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas
dari pengawasan gereja dan raja. Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia. Ideologi Barat itu juga dapat dinamai dengan istilah kapitalisme atau demokrasi. Jika istilah kapitalisme lebih digunakan untuk menamai sistem 8[[1] ].Rahman, “Pengertian Liberalisme” dalam , http://www.itsfetriyannorrahman.co.cc., diakses 3 November 2012.
9[[2]]. Shidiq Al-jawi, “Akar Sejarah Pemikiran Liberal yang Menyesatkan”, dalam http://iskud.wordpress, diakses tanggal 15 November 2012.
ekonominya, istilah demokrasi sering digunakan untuk menamai sistem politik atau pemerintahannya. Namun monopoli istilah demokrasi untuk ideologi Barat ini sebenarnya kurang tepat, karena demokrasi juga diserukan oleh ideologi sosialisme-komunisme dengan nama “demokrasi rakyat”, yakni bentuk khusus demokrasi yang menjalankan fungsi diktatur yang protelar.
Walhasil, ideologi Barat memang mempunyai banyak nama, bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Namun, yang lebih penting adalah memahami akar pemikiran liberal yang menjadi pondasi bagi seluruh struktur bangunan ideologi Barat.
Secara tidak langsung liberalisme di Barat juga mempengaruhi gerakan pemikiran liberalisme yang ada di Indonesia. Diakui atau tidak karena banyak mengadopsi pemikiran dari barat inilah yang menyebabkan sebagian umat islam yang fundamentalisme sekuat tenaga melawan pergerakan pemikiran liberal ini.
Liberalisme dalam Islam, menurut kelompok Islam Progresif adalah keinginan menjembatani antara masa lalu dengan masa sekarang. Jembatannya adalah melakukan penafsiran-penafsiran ulang sehingga Islam menjadi agama yang hidup. Karena kita hidup dalam situasi yang dinamis dan selalu berubah, sehingga agar agama tetap relevan, menurut mereka, diperlukan cara pandang baru atau tafsir baru dalam melihat dan memahami agama. Tafsir yang dimaksud adalah tafsir yang membebaskan, yaitu tafsir yang akan dijadikan pisau analisin untuk melihat problem kemanusiaan, mempertimbangkan budaya, menghilangkan ketergantungan pada sebuah fase sejarah tertentu dan menjadikan doktrin agama
sebagai sebuah etis untuk melakukan perubahan. [1 0[ 3 ] ]
2 . Liberalisme di Indonesia
Kemunculan liberalisme di Indoneisa menurut beberapa pengamat muncul karena adanya gelombang reformasi yang membuka kerangka berpikir dan berpendapat yang sebebas-bebasnya. Efek dari semangat reformasi inilah muncul berbagai macam organisasi dan pergerakan yang berwajah fundamental dan berwajah liberal. Gerakan fundamen yang menjamur di Indonesia membuktikan eksisistensinya sebagai organisasi yang seakan meneriakkan “Islamku yang paling benar” dan yang lain adalah tidak benar dan perlu diluruskan. Arogansi berlebihan 10[[3]] Abdul A’la, dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003), hal 47
ditunjukkan oleh kelompok fundamen. Kelompok ini cenderung anti-barat, Islam yang mengadopsi gaya barat oleh kelompok fundamen dianggap telah jauh menyimpang dari ajaran Islam. Kelompok ini juga cenderung menyimpulkan hukum Islam dari segi tekstual yang berasal dari Al-quran dan tidak boleh menafsirkan kembali Al-quran dengan menggunakan akal. Karena menurut kelompok fundamen akal mempunyai segala keterbatasan.
Selama ini ada kecenderungan di kalangan umat Islam untuk menonjolkan Islam sebagai entitas yang unik dan terpisah dari kebudayaaan atau peradaban lain. Akibatnya, hilang penghargaan terhadap apapun yang dianggap sebagai asing. Bahkan penolakan yang berlebihan dalam bentuk anarki dan kekerasan seringkali terjadi terhadap segala hal yang dianggap berasal dari luar Islam. Padahal, kenyataan sejarah umat Islam justru menunjukkan bahwa apa yang sering disebut dengan ‘peradaban Islam’ sungguhnya merupakan produk dari berbagai
kebudayaan.[11[4]]
Kemunculan gerakan dan pemikiran fundamen yang seolah memaksakan ajarannya kepada masyarakat membuat gerah para penggagas Islam liberal di Indonesia. Sebagian orang dengan berani membuat sebuah kajian pemikiran yang terbilang nyleneh dan kontroversial sebagai bentuk perlawanan gerakan pemikiran yang fundamen. Kemudian munculah sebuah gerakan pemikiran yang bernuansakan liberal dan cenderung membela kaum minoritas. JIL adalah gerakan pemikiran pertama yang mengusung paham liberal dalam konteks kajian pemikiran keislaman di Indonesia. Di Indonesia gerakan liberal telah terakomodasi di dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Walaupun kemunculan JIL dimotori oleh salah satu tokoh muda NU yaitu Ulil Abshor Abdala, namun kemunculannya mengundang banyak kontroversi, bahkan oleh sebagian organisasi Islam yang fundamen diantaranya FPI, JIL dianggap telah melakukan “onani” pemikiran Islam yang seenaknya sendiri mengelurkan fatwa yang jelas bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadist. Oleh Sebagian petinggi NU (Nahdlotul Ulama), JIL juga dianggap paham sesat, pendapat dan pernyataan tokoh JIL dianggap telah menyimpang dari ajaran pokok islam.
Bahkan secara eksplisit, muktamar NU di Solo mengambil satu keputusan kontroversial bahwa NU dengan segala kelengkapan strukturnya mesti dibersihkan dari unsur Islam Liberal. NU harus suci dari orang-orang yang berpaham Islam Iiberal. Islam liberal adalah adalah paham sesat dan menyesatkan sehingga tidak 11[[4] ]. Muhamad Ali, TEOLOGI PLURALIS-MULTIKULTURAL: menghargai kemajemukan menjalin kebersamaan ( Jakarta:Buku Kompas, 2003 ) hal. 81
perlu masuk dalam NU. Disinyalir keputusan dari muktamar NU di Solo yang menyatakan JIL adalah paham sesat menyesatkan jelas sangat terlihat unsur politisnya.
JIL yang merupakan pengusung Islam Liberal di Indonesia, keberadaanya tumbuh sebagai sebuah penggeliatan pemikiran para tokoh muda dari berbagai organisasi yang ingin menampilkan Islam yang humanis dan tidak selalu membatasi individu seperti yang diusung Islam fundamen. Karena menurut JIL Islam adalah agama yang tidak pernah mempersulit umatnya dalam keadaan apapun.
JIL seperti dijelaskan dalam situsnya yaitu islamlib.com, memberikan sebuah pengertian bahwa Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam
dengan landasan sebagai berikut:[12[5]]
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.