• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Islam Kontemporer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dinamika Islam Kontemporer"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER

I.

PENDAHULUAN

Sejak masa klasik, dinamika pemikiran dan gerakan islam selalu

dipengaruhi oleh konfigurasi politik penguasa. Artinya ada peemikiran dan

gerakan menjadi”mazhab” penguasa dans ebaliknya, ada yang dilarang

bahkan dibrangkus dega menjaga “stabilitas”. Mengamati dinamika

pemikiran dan gerakan islam di Indonesia sangat menarik karena ada

sejumlah paradoks dan gesekan yang cukup tajam terutama pasca reformasi

sehingga dengan bergulirya era reformasi membutuhkan pembacaan ulang

terhadap pemikiran dan gerakan islam indonesia, karena berbagai pemikiran

dan gerakan islam yang pada mulanya terbungkam oleh kekuatan orde baru

kembali muncul dan berusaha membangkitkan kembali romantisme masa

lalu. Dari sinilah muncul berbagai kekuatan pemikiran dan gerakan islam,

baik islam politik maupun islam kultural sehingga membentuk farien yang

sangat beragam. Berbagai farian pemikiran dan gerakan keislaman

diindonesia sebenarnya bisa ditelusuri akar-akarnya secara jelas sehingga

dapat dipetakkan menjadi dua arus peikiran yang sangat dominan yakni

literalisme dan liberalisme

Pemahaman islam literal dan gejala fundamentalisme islam cenderug

menafikkan plruralisme pemahaman keagamaan dan pruralisme agama.

II.

RUMUSAN MASALAH

a.

Post modernisme dan Modernisme

b.

Islam liberal

c.

Islam Kultural dan Islam Struktural

d.

Postradionalisme Islam

e.

Jihad dan Terorisme

III.

PEMBAHASAN

a.

Modernisme dan Post Modernisme

1.

Modernisme

Istilah “modern” berasal dari bahasa latin “modo”, yang berarti yang

kini “just now”. Meskipun istilah ini sudah muncul pada akhir abad ke-5, yang

(2)

digunakan untuk membedakan keadaan orang Kristen dan orang Romawi

dari masa pagan yang telah lewat. Namun istilah ini kemudian lebih

digunakan untuk menunjuk periode sejarah setelah abad pertengahan, yakni

dari tahun 1450 sampai sekarang ini.

Dari istilah – istilah “modern”, sebagaimana yang telah disebutkan

diatas itulah, lahir istilah-istilah lain, seperti : “modernisme”, modernitas dan

modernisasi. Meskipun istilah itu mempunyai arti yang berbeda-beda ,

karena berasal dari akar kata yang sama, maka pengertian yang

dikandungnya tidak bisa lepas dari kakar kata yang dimaksud yaitu

“modern”.

Istilah “modernism” misalnya, oleh Ahmed, dengan merujuk pada

Oxford English Dictionary, didefinisikan sebagai “pandangan atau metode

modern, khususnya kecenderungan untuk menyesuaikan tradisi, dalam

masalah agama,agar harmonis dengan pemikiran modern. Modernism

diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya

pada sains, perencanaan, sekularisme, dan kemajuan. Keinginan untuk

simetri dan tertib, keinginan akan keseimbangan dan otoritas, juga menjadi

karakternya. Periode ini ditandai oleh keyakinannya terhadap masa depan,

sebuah keyakinan bahwa utopia bisa dicapai, bahwa ada sebuah tata dunia

yang mungkin. Mesin, proyek industry besar, besi, baja dan listrik, semuanya

dianggap dapat digunakan manusia untuk mencapai tujuan ini. Gerakan

menuju industrialisasi, dan kepercayaan pada yang fisik, membentuk

ideology yang menekankan materialism sebagai pola hidup. Sementara

modernitas dipahami sebagai efek dari modernisasi.

1

[1]

Di Indonesia, modernisasi direspon positif oleh Norcholis Majid,

menurut dia modernisasi indetik atau hampir identik dengan rasionalisasi.

Modernisasi melibatkan proses pemeriksaan secara seksama pemikiran serta

1[1] Drs. Sholihan, M.Ag, Modernitas dan Postmodernitas Agama, Semarang:

(3)

pola aksi lama yang tidak rasional, dan menggantikannya dengann

pemikiran dan pola aksi baru yang rasional.

2

[2]

2.

Post modernisme

Setelah modernism tampil dalam sejarah sebagai kekuatan progresif yang

menjanjikan pembebasan manusia dari belenggu keterbelakangan dan

irrasionalitas. Akan tetapi dalam beberapa decade terakhir ini, “proyek”

modernism yang demikian hebat itu diggugat oleh sebuah gerakan yang

kemudian diikenal dengan “post modernisme” dan dinilai gagal mencapai

sasarannya. Sebagai gerakan cultural-intelektual, postmodernisme sendiri

sudah muncul pada tahun 1960 an, yang bermula dari bidang seni arsitektur

dan kemudian merambah ke dalam bidang-bidang lain, baik itu sastra, ilmu

social, gaya hidup, filsafat, bahkan juga agama. Gerakam Postmodernisme

ini lahir di Eropa dan menjalar ke Amerika, serta keseluruh dunia bagai

luapan air yang tak terbendung.

Post modernism demikian cepat merambah pada semua bidang

kehidupan, termasuk bidang keagamaan. Sesuai watak epistemologis

postmodernisme yang ingin merangkul berbagai macam narasi yang ada,

maka agama dalam perspektik postmodernisme dicoba diangkat, baik

sebagai bagian dari kecenderungan sejarah kontemporer, maupun sebagai

bagian dari legitimasi epistemologis dalam mencari kebenaran setelah

sekian lama menjadi kebenaran yang terlupakan dalam paradigm pemikiran

modern sebagai kecenderungan sejarah, postmodernisme telah melupakan

dimensi yang teramat penting dalam kehidupan manusia, yakni dimensi

spiritual. Oleh karena itu untuk keluar dari lingkaran krisis tersebut, manusia

mencoba kembali kepada hikmah spiritual yang terdapat dalam semua

agama yang otentik.

3

[3]

b.

Islam liberal

2[2] Ibid, hlm. 49.

(4)

Pengertia mengena islam liberal sebagai arus baru gerakan islam diindonesia

mengacu pada penelitian yang dirumusa oleh nurkhalik ridwan mengenai

islam libera rogresif. Menurut ridwa, islam lbera bisa dirumukan dengan dua

hal.

1.

Klompok pembaru muslim yang memsahkan masalah publiks sebagai hal

yang perlu dimusawarahkan denga komutas bangsa sementara masalah

praktik ritual diserahkan pada masing-masing pihak.

2.

Islam liberal progresif yang berporos pada pandangan bahwa syari’ah masih

perlu ditafsir ulang, yang perlu dibedakan islam sebagai din yang univesal

dalam cita-cita etik dan moralnya.

3.

Konteks politik, yaitu naiknya neorevivalisme, dan fundamentalisme dalam

kontestansi pemikiran dan politik yang berhasil melepaskan diri dari jerat

marginalisme dan melibatkan diri kedalam pusaran pergulatan politik

demokrasi.

4.

Konteks kultural yaitu derasnya arus pemikiran lewat berbagai media.

Islam secara lughawi bermakna pasrah, tunduk, kepada Tuhan (Allah) dan

terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dalam hal

ini Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah AWT, Islam

sebenarnya membebaskan manusia atau makhluk lainnya. Bisa disimpulkan

Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.

Kemunculan istilah Islam liberal ini, menurut Luthfi, mulai dipopulerkan

tahun 1950 an. Tapi mulai berkembang pesat terutama di Indonesia tahun

1980 an yaitu oleh tokoh utama dan sumber rujukan “utama” komunitas

atau jaringan Islam liberal, Nur Cholis Majid. Meski Nur Cholis sendiri

menyatakan tidak pernah menggunakan istilah Islam liberal untuk

menegmbangkan gagasan pemikiran Islamnya.

Karena itu Islam liberal sebenarnya tidak beda dengan gagasan-gagasan

Islam yang dikembangkan oleh Nur Cholis Majid an kelompoknya yaitu

kelompok islam yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam

(secara formal oleh negara). Kelompok yang getol perjuangan sekularisasi,

emansipasi wanita, menyamarkan agama Islam dengan agama lain

(pluralism theologis), memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya.

(5)

Selanjuttnya Luthfi menjelaskan tentang agenda-agenda Islam liberal “

saya melihat paling tidak ada empat agenda utama yang menjadi paying

bagi persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaharu dan intelektual

islam selama ini. Yakni agenda politik, agenda toleransi agama, agenda

emansipasi wanita dan agenda kebebasan berekspresi. Kaum muslimin

dituntut melihat keemat agenda ini dari perspektif mereka sendiri, dan

bukan dari perspektif masa silam yang lebih banyak memunculkan

kontradiksi ketimbang penyelesaian yang lebih baik.

Islam liberal juga “mendewakan modernitas” jika terjadi konflik antara

ajaran Islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan

menurut mereka bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali

ajaran tersebut. Disinilah inti dari sikap dan doktrin “ Islam Liberal” kata

Luthfi.

4

[4]

c.

Islam Kultural dan Islam Struktural

1.

Islam Kultural

Kata kultural yang berada dibelakang kata islam berasal dari bahasa

ingris, culture yang berarti kesopanan, kebudayaan dan pemeliharaan. Teori

lain mengtakan bahwa kata culture ini berasal dari bahasa latin cultura yang

artinya memelihara atau megerjakan, mengolah.

Dari beberapa teori definisi kebudayaan tersebut diatas, dapat diketahui

bahwa kebudayaan adalah sega bentuk hasil kreativitas manusia dengan

menggunakan segala daya dan kemampuan yang dimilikinya dalam rangka

mewujudkan kehidupannya yang sejahtera.

Dengan diketahui bersama, bahwa dalam agama islam antara agama dan

kebudayaan sungguhpun sumbernya berbeda, tapi saling mempengaruhi.

Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi dengan perantara

malaikat jibril untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam mencapai

kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhuwawi. Sedangkan kebudayaan

ialah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh

kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi.

(6)

Munculnya Islam cultural agak mudah dimengerti apabila kita

memperhatikan ruang lingkup ajaran Islam yang tidak hanya mencakup

masalah keagamaan seperti teologi, ibadah dan akhlak, melainkan jugga

mencakup masalah keduniaan seperti masalah perekonomian, pertahanan

keamanan dan lain-lain. Jika pada aspek keagamaan peran Allah dan Rasul

lah yang dominan. Pada aspek keduniaan peran manusialah yang paling

dominan.

Dalam pengalamannya di lapangan, Islam cultural mengalami

pengembangan pengertian dari apa yang dikemukakan di atas. Islam cultural

selanjutnya muncul dalam bentuk sikap yang lebih menunjukkan

inklusissivitas. Yaitu sikap yang tidak mempermasalahkan bentuk atau

symbol dari suatu pengamalan agama, tetapi yang lebih penting tujuan dan

missi dari pengamalan teersebut. Dalam hubungannya ini kita menjumpai

ajaran tentang dzikir ini terkadang mewujud dalam menyebut nama Allah

sekian ratus kali dengan menggunakan alat semacam tasbih, ada yang

menggunakan batu, ada yang dengan memasang tulisan kaligarafi pada

dinding rumah dan sebagainya.

2.

Islam Struktural

Struktur adalah sebuah gambaran yang mendasar dan kadang tidak

berwujud, yang mencakup pengenalan, observasi, sifat dasar, dan stabilitas

dari pola-pola dan hubungan antar banyak satuan terkecil di dalamnya

Dari istilah – istilah “struktural”, sebagaimana yang telah

disebutkandiatas itulah, lahir istilah lain, seperti : strukturalisme.

Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa

semua masyarakat dan kebudyaan memiliki suatu struktur yang sama dan

tetap strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang

mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan

mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.

Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual

obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak

terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur

sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan

(7)

melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik

antara unsur-unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040)

Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu

dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan

dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan

tetapi introduksi metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan

menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada

status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040).

d.

Post tradisionalisme

Sebenarnya sulit untuk merumuskan definisi yang bisa menjelaskan

seluruh kompleksitas post tradisionalisme. Marzuki Wahid mendefinisikan

post tradisionalisme adalah suatu gerakan melompat tradisi yang tidak lain

adalah upaya pembaharuan tradisi yang tidak lain adalah upaya

pembaharuan tradisi secara terus-menerus dalam rangka berdialog dengan

modernitas sehingga menghasilkan tradisi baru (new tradition) yang sama

sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya.

Sebagai gerakan yang berhasrat untuk melahirkan tradisi baru post

tradisionalisme merupakan gerakan yang lahir dengan poroses yang panjang

dan berakar pada pemikir-pemikir pencerahan tempo dulu.

Dari geneologi intelektual inilah, post tradisionalisme islam melewati

fase-fase awal pembentukan hingga perumusan metodologi dan praksis sosisl

politik. Fase pertama merupakan fase pembentukan dan pengkayaan ide

baik dalam pemikiran maupun aksi politik. Pada fase ini muncul beberapa

perdebatan gagasan seperti nasionalisme, pribumisasi, sekularisas,

feminisme dan hak asasi manusia (al-huquq al-insaniyah al-asasiyah), dan

sebagainya.

Sedangkan perumusan metodologi post tradisionalisme Islam

menghasilkan paradigm baru pemikiran Islam yang dirumuskan sebagai

kritik nalar (naqd al-aql) maupun telaah kontemporer (qira’ah muashirah)

terhadap tradisi. Muhammad Abid Al-Jabiri, Muhammad Arkoun, dan Nashir

Hamid Abu Zaid merupakan sederet nama yang berusaha melakukan

rekontruksi metodologis bagi post tradisionalisme.

(8)

Sebagai gerakan, post tradisionalisme Islam di Indonesia kemudian

menjadi kontruksi intelektualisme yang berpijak dari dinamika budaya likal

Indonesia dan bukan tekanan dari luar yang berinteraksi secara terbuka

dengan berbagai jenis kelompok masyarakat seperti buruh, petani, LSM, dan

gerakan feminism yang kemudian membawa gerakan ini tidak hanya

bersinggungan dengan tradisi Islam, tetapi juga pemikiran-pemikiran

kontemporer baik dari tradisi liberal, radikal, sosialis Marxia, Post

Strukturalis, dan Post Modernis juga gerakan feminism dan civil society

(Ahmad Baso 2001).

Post tradisionalisme Islam berpandangan bahwa sesungguhnya tidak

mungkin melakukan rekontruksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang

sejarah yang kosong, artinya betapapun kita teramat bersemangat untuk

melampaui Zaman yang sering disebut sebagai kemunduran umat Islam, kita

mesti mengaku bahwa khazanah pemikiran dan kebudayaan yang kita miliki

adalah kekayaan yang sangat berharga untuk dikembangkan sebagai entry

point merumuskan tradisi baru.

5

[5]

Perlu diketahui, pengertian post tradisionalisme Islam tentang tradisi

berbeda dengan pemahaman kaum Neomodernisme Islam yang membaca

tradisi melalui optic Al-qur’an dan Hadits yang diadakan transenden, turun

dari langit, lengkap dan mencakup segala hal. Singkatnya bukan sebagai

bagian dari dinamika sejarah yang berubah-ubah. Dalam pengertian inilah

kita diperkenalkan dengan kenyataan tradisi Islam yang historis yang

sifatnya membumi.

Berkaitan dengan upaya merekontruksi tradisi sebagai mana ditunjukkan

Zuhairi Miswari (2001) post tradisionalisme Islam terbagi kedalam tiga sayap

(aliran). Pertama, sayap eklektis (al-qiraah al-intiqaiyah). Sayap ini

menghendaki adanya kolaborasi antara orisinalitas (al-ashalah) dan

5[5] M. Muhsin Jamil, M.A, Pergulatan Islam Liberal Versus Islam Literal, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2005, hlm.123.

(9)

modernitas (al-mu’asharah) dalam rangka membangun “teori analisis

tradisi” juga menyingkap rasionalitas dan irrasionalitas dalam tradisi.

Kedua, sayap revolusioner (al-qira’ah at-tatswiriyah), sayap ini

berkehendak untuk mengajukan proyek pemikiran baru yang mencerminkan

revolusi dan liberalisasi pemikiran keagamaan. Sayap kedua ini sebagaimana

diwakili Hasan Hanafi mengusulkan tiga cara dalam tradisi dan pembaharuan

yaitu menganalisi pembentukan dan latar belakang tradisi dan mencermati

bagaimana tradisi tersebut berlawanan dengan kemaslahatan umum.

Adapun sayap ketiga adalah sayap dekontruktif (al-qiraah al-tafkiyah).

Sayap ini berusaha membongkar tradisi secara komperehensif sehingga

menyentuh ranah metodologis. Sayap ini mengkaji tradisi berdasarkan

epistemology modern seperti post struktualisme dan post modernism.

6

[6]

e.

Jihad dan Terorisme

Jihad adalah prinsip utama dalam akidah Islam, istilah itu sendiri

secara harfiah berarti berusaha keras, tekun bekerja, berjuang,

mempertahankan. Dalam banyak hal, jihad berarti etika kerja yang kuat

secara spiritual dan material di dalam Islam. Kesalehan, pengetahuan,

kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidaklah dimunginkan tanpa

jihad, yaitu tanpa kerja keras berkesinambungan dan tekun. Oleh karena itu,

membersihkan diri dari kesombongan dan kerendahan, menuntut ilmu,

meyembuhkan orang yang sakit, memberi makan kaum papa, menegakkan

kebenaran dan keadilan, bahkan dengan resiko pribadi yang besar,

semuanya adalah bentuk Jihad.

Al-qur’an menunjukkan istiah jihad untuk merujuk pada tindakan keras

untuk mewujudkan tujuan Tuhan di muka bumi ini, yang mencakup semua

aktivitas diatas. Nabi Muhammad berulang-ulang mengajarkan bahwa

bentuk jihad terbesar adalah memerangi hasrat rendah manusia atau

menyampaikan kebenaran di hadapan kekuasaan yang menindas dan

menderita sebagai konsekuensi berbicara seperti itu. Dengan logika yang

sama, berusaha sekuat tenaga dan bekerja keras dalam perang, asalkan

perang tersebut adil dan baik, juga termasuk jihad.

(10)

Namun, tak bisa ditolak juga bahwa khususnya di era modern,

pernyataan-pernyataan dan perilaku muslim telah menjadi konsep kian

membeingungkan dan bahkan kacau balau. Jihad, khususnya seperti

terpotret di media barat dan sebagaimana dimanfaatkan oleh para teroris,

acap kali dikait-kaitkan dengan ide perang suci terhadap kaum kafir yang

disebar luaskan atas nama Tuhan, dan sering kali disamakan dengan citra

paling vulgar mengenai intoleransi agama. Yang terburuk, isu terorisme telah

merusak reputasi agama terbesar kedua di dunia ini.

7

[7]

IV.

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan berjalannya

waktu dan perkembangnya zaman, islampun mengalami perkembangan

dengan munculnya gerakan – gerakan seperti Post Modernisme dan Neo

Modernisme Islam, Islam Liberal, Islam Kultural, Post Tradionalisme Islam,

menunjukkan adanya perkembangan keberagaman dalam pemikiran para

cendekiawan muslim baik yang tradisonal maupun modern/ kontemporer.

Inilah dinamika dalam Islam yang harus disikapi dengan inklusif dan

bijaksana.

V.

PENUTUP

Demikian makalah yang dapat kami buat. Kekurangan pastilah ada karena

manusia tempatnya salah, dan segala kesempurnaan hanyalah milik Allah

SWT semata. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan, guna

memperbaikan pembuatan makalah dikemudian hari untuk menjadi yang

lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami pada khusunya dan

bagi khalayak pada umumnya. Amien...Amin...Amin Ya Robbal ‘alamin...

DAFTAR PUSTAKA

7[7] Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi

(11)

Jamil, M. Muhsin, MA. Membongkar Mitos Menegakkan Nalar Pergulatan Islam

Liberal Versus Islam Literal. Semarang : Pustaka Belajar. 2005

Abdullah, M. Yatmin MA. Studi Islam Kontemporer. Jakarta : Sinar Grafika Offset.

2006

Nata, Abuddin, MA. Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia. Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada. 2001

Diposkan oleh Fadlilah Murwati di 4/26/2013 11:13:00 PM

(12)

DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER

BAB I

PENDAHULUAN

Hukum islam dan dinamika masyarakat sering dipersepsikan sebagai dua hal yang sangat

berbeda dan bahkan dikatakan saling betentangan. Dalam satu sudut pandanghukum islam

merupakan suatu hokum yang tidak akan mungkin mengalami perubahan, karena berdasarkan

wahyu Allah yang bersifat qadim. Setiap qadim bersifat statis tidak berubah.

Hukum selain berfungsi sebagai pengatur kehidupan masyarakat atau social control, juga

berfungsi sebagai pembentuk masyarakat atau social Enginering, kedua fungsi itu juga terdapat

pada hokum islan. Diharapkan kedua fungsi ini dapat mengatur kehidupan masyarakat

sejalansejalan dengan perkembangan zaman kontemporer ini.

Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika pergumulan hokum islam dengan dinamika

masyarakat kontemporer selalu menimbulkan pertanyaan ulang terhadap produk-produk

pemikiran ulama terdahulu, terutama jika dikaitkan dengan spectrum masalah dewasa ini yang

semakin kompleks dan luas.

a)

Hukum Islam

Secara etimologis, kata hokum berakar pada kata atau hruf arab, yang berarti menolak.

Adapun secara terminologis, ulama usul mendefinisikan hokum dengan titisan Allah yang

berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun

larangan, sedangkan ulama fikih mengartikan dengan efek yang dikehendaki oleh titah Allah dari

perbuatan manusia, seperti wajib, sunnah, dan haram.

Bertolak dengan pendapat Amir Syarifuddin dan T.M. Hasbi Ash Shiddieqy itu, maka

dapat dikemukakan bahwa hokum islam pada hakekatnya mempunyai muatan hokum syara dan

hokum fiqh, karena bersumber dari syariat, tetapi ia juga merupakan hasil ijtihad manusia.

Dengan kata lain, bahwa syariat islam yang diterjemahkan sebagai hokum islam adalah

didasarkan pada pengertian syariat dalam arti sempit, sebab makna yang terkandung dalam

syariat (secara luas) mencakup aspek akhlak dan hukum. Sedangkan jika hokum islam

dimaksudkan terjemahan dari fikih islam, maka hokum islam dimaksudkan adalah hasil ijtihad

yang ijtihad yang nilai kebenarannya bersifat zany,tidak termasuk didalamnya nilai hokum islam

dalam pengertiannya yang bersifat qat’iy.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa hokum islam pada dasarnya mencakup

hokum syara dan hukum fiqih karena ia bersumber dari wahyu(Al-qur’an dan Sunnah), serta

merupakan hasil kreaktifitas akal manusia terhadap wahyu itu. Sehingga hukum islam memiliki

dimensi ilahiyah yang transenden, dan dimensi insaniyah yang profane.

b)

Dinamika Masyarakat periode kontemporer

Pada dua tahap yang disebutkan pertama, agama masih dianggap mempunyai pengaruh

dominan dalam struktur masyarakat sehingga jika terjadi peristiwa apa saja, semuanya

dikembalikan dan direkonsiliasikan kepada agama. Dalam tahapan demikian pola pemikiran

masyarakat masih sangat sederhana

Agama kemudian dianggap kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat, setelah

masyarakat mengalami kemajuan dibidang pemikiran sebagai buah dari paham rasionalisme,

yang ditandai dengan kemjuan dibidang keilmuan dan teknologi. Dilihat dari perspektif filsafat

(13)

sejarah kontemplatif, konsep Effat al shaqawi dalam kitab Falsafah al Hadharah al islamiyah,

proeses perkembangan masyarakat seperti yang digambar comte merupakan proses gerak maju

ke depan.

Secara sederhana globalisasi diartikan sebagai salah satu titik perhatian, meskipun ia

terdiri dari beberapa Negara yang terpisah dan dihuni oleh beberapa kelompok manusia yang

berbeda bangsa, bahasa dan agama.

Penagruh ini bisa dalam bentuk positif (manfaat) dengan menguntungkan kehidupan

manusia dan ada pula dalam bentuk negative dengan arti merugikan.

Demikianlah hukum islam meyesuaikan dirinya dengan berbagai macam keadaan.

Hokum islam karena daya lentur yang terdapat padanya, mampu mengakomodasi perubahan

zaman dan dinamika masyarakat.

BAB II

PEMBAHASAN

A.

Post Modernisme dan Neodernisme

Postmodernisme secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme. Yang muncul

pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk

menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern. Federico de Onis sekitar tahun

1930-an menggunakan dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari

modernisme.

Istilah ‘’pos’’ menurut kubu Postmodermisme, adalah kematian modernisme yang

mengusung klaim kesatuan representasi, humainisme, antroposentrisme, dan linirietas sejarah

guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, anthihumanisme, dan diskontuinitas.

Pada awalnya gerakan modernisme lahir dari gerakan ‘’rasionalisai’’ dan kebebasan

ijtihad agama. Gerakan ini kemudian menginspirasi berdirinya Muhammadiyah di Indonesia, dan

gerakan modernisme lahir di Indonesia sabagai respon modernitas barat.

Sedangkan, Gerakan Neomodernisme berkembang pada akhir 19 dan awal 1970-an,

terutama di kalangan mahasiswa yang berlatar belakang tradisional. Komunitas mahasiswa ini

merupakan generasi pertama dari muslim tradisional yang memiliki akses pada pendidikan tinggi

dengan takaran yang signifikan berkat ekspansi pendidikan yang berlangsung pasca kolonial di

Indonesia. Untuk memperluas wawasan keilmuannya, di antara mereka terlibat di puncak

organisasi mahasiswa yang berorientasi modern (HMI).

Awalnya, gerakan yang mereka lancarkan merujuk pada gerakan pembaruan pemikiran

Islam. Namun, gerakan itu akhirnya lebih dikenal sebagai neomodernisme, dengan mengikuti

paradigma gerakan pembaruan modern Fazlur Rahman.

Gerakan Neomodernisme memperoleh ketenaran secara mengesankan setelah keluarnya

statemen Nurcholish Madjid dalam seminar tunggal pada bulan Januari l970 yang intinya

menengarai tanda-tanda hampir matinya pemikiran kaum pembaru, sehingga perlu dilakukan

pembaruan pemikiran. Nurcholish Madjid pada waktu itu menggunakan terma desakralisasi dan

sekularisasi dalam papernya sehingga dengan mudah menyulut kritik bernada kemarahan dari

berbagai pihak. Kritik itu terurama datang dari tokoh-tokoh modernis senior yang terusik oleh

(14)

kritikan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa gerakan intelektual para senior telah

mandek dan perlu direformasi.

Para modernis senior ini menuduh pemikiran Nurcholish Madjid sebagai bid’ah.

Berbagai kritikan ini justru membuat popularitas pemikiran Nurcholish Madjid semakin

meningkat. Bisa dikatakan, munculnya gerakan pembaruan yang berporos pada Nurcholish

Madjid telah menandai permulaan fase penyebaran ide pembaruan dalam komunitas umat Islam,

juga penyebaran ide-ide pembaruan dan kecenderungan pemahaman liberal dalam Islam.

Gagasan ini dalam perkembangannya diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia dan

mampu mengubah sikap-sikap sosial yang cukup mendasar.

Penyebaran gerakan neomodernisme Islam di Indonesia semakin meluas antara lain

berkat bergabungnya para intelektual muslim lain seperti Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Dawam

Rahardjo, Syu’bah Asa, dan Utomo Dananjaya. Abdurrahman Wahid sekembalinya dari studi di

Timur Tengah secara cepat beraliansi dengan gerakan itu. Sebagai konsekuensinya, beberapa

perhimpunan pemuda di bawah NU dan kebanyakan ulama yang sering bertukar ide dengan

Abdurrahman Wahid secara kuat dipengaruhi oleh pemikiran neomodernis.

Fakror-faktor pembentukan neomodenisme yang pokok adalah hilangnya perasaan

inferiority complex di kalangan umat Islam, khususnya bagi Nurcholish Madjid dan

Abdurrahman Wahid terhadap Barat. Sebagai generasi yang tidak mengalami perang

kemerdekaan dan tidak mengalami diskriminasi dari kalangan elite Eropa semasa kolonialisme,

membuat mereka memiliki kepercayaan diri.

B.

Islam Liberal

Ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar kontradiksi dalam peristilahan

(contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat mengidentifikasikan Islam dengan

unsur-unsurnya yang eksotik. Kepercayaan Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana

diungkapkan Voltaire dalam tulisannya, "Mahomet, or Fanatism". Islam juga disamakan dengan

kezaliman, seperti diungkapkan Mountesqieu sebagai "Kezaliman Timur", atau definisi yang

diberikan Francis Bacon "Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai

sopan-santun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni; sebagaimana terjadi di Turki."

latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa

keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh

Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu

dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut

saja sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi

juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi

al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi

sampai abad ke-17.

Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam

dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn

Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu

kekhalifahan yang ideal--yang pada masanya sudah tidak ada lagi--dan pemerintahan "sekular"

yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga

(15)

berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang

diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity).

Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan

modernis-liberalis ini, yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis Islam,

khususnya seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka perihal:

Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan akan adanya aspek

historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga, pentingnya secara kontinu untuk

membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama;

keempat, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan

pendidikan; dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan

non-Muslim.

C.

Islam Kultural dan Struktural

Islam kultural dalam pandangan umum adalah Islam yang mewujudkan dirinya secara

substantif dalam lembaga-lembaga kebudayaan dan peradaban Islam lainnya; pendeknya, Islam

minus politik. Dalam pemahaman umum, Islam kultural adalah Islam dakwah, Islam pendidikan,

Islam seni, dan seterusnya. Sebaliknya, Islam politik adalah Islam yang muncul atau ditampilkan

sebagai kerangka atau basis ideologi politik, yang kemudian menjelma dalam bentuk partai

politik (cf. Gulalp 1999). Lebih tegas lagi Islam politik adalah Islam yang berusaha diwujudkan

dan diaktualisasikan dalam kekuasaan atau kelembagaan politik resmi, khususnya pada bidang

eksekutif dan legislatif. Memakai kerangka sejarawan MGS Hodgson, Islam politik adalah

Islamdom, Islam yang mengejawantah dalam kekuasaan politik (political power)

Islam Kultural sebut Nurcholish Madjid, adalah ide yang menempatkan agama sehingga

berperan utama sebagai sumber nilai dan pedoman perilaku etika dan budaya dalam kehidupan

berbangsa, sehingga Islam bisa diterima oleh siapapun baik internal maupun eksternal.

Gagasan Islam Kultural awalnya adalah untuk menjawab kebuntuan akses politik umat

Islam Indonesia yang ditutup oleh rezim tiran Orde Baru. Bagi Orde Baru, Islam politik adalah

ancaman bagi stabilitas politik yang telah dibangun sebelumnya, oleh kerana itu, cara yang

paling efektif dengan melakukan tekanan-tekanan politik, seperti melarang rehabilitasi Partai

Masyumi (Lukmanl Hakiem, 1993). Melihat kondisi tersebut, generasi muda pasca M. Natsir,

mencoba untuk merumuskan kembali relasi negara dan Islam dengan suasana lebih dialogis.

Sehingga dirumuskan lah Islam kultural, sebagai anti tesis Islam struktural atau Islam politik.

Sedangkan, yang dimaksud dengan Islam structural, adalah penyelengaraan Negara yang

berorientasi pada syariat islam. Islam structural itu semata-mata berburu pada kekuasaan, apalagi

dengan menghalalkan segala macam cara, melainkan menjadi Negara sebagai lapangan

perjuangan dan pengabdian untuk menegakkan yang benar dan mencegah yang mungkar.

D.

Postradisionalisme Islam

Sejak tahun 1950, tampak bahwa Islam tradisional dan pemimpin-pemimpin tradisional

telah siap menghadapi tekanan dari elemen-elemen modern. Pada periode ini aktivitas partai

politik telah berjalan sealur dengan garis-garis Barat modern. Beberapa ulama jebolan pesantren

telah menempuh berbagai pendidikan modern. Para pemimpin Islam tradisional sampai tahun

1950 telah berhimpun dengan organisasi kelompok muslim modern yang bernama Masyumi.

Mereka sebelumnya telah berpengalaman dalam menjalin satu kekuatan dan bergandengan

(16)

tangan dalam wadah Persatuan Islam ketika menghadapi pendudukan Jepang dan sama-sama

berjuang demi kemerdekaan. Persatuan politik mereka dalam Masyumi pecah pada tahun 1952

dengan keluarnya NU dan memunculkan NU sebagai partai politik independen.

Sejak saat itu, muncul babak baru dalam peta pemikiran keagamaan yang tegas-tegas

memolarisasi pemikiran keagamaan di Indonesia dalam dua kutub, yaitu tradisionalisme dan

modernisme. Meskipun demikian, perlu dikemukakan bahwa pernah muncul dari kalangan

tradisionalisme seorang tokoh bernama Kiai Wahid Hasyim, yang sebelum meninggal dalam

kecelakaan mobil 1953 mampu membangun komunikasi antara modemisme dan tradisionalisme.

Salah satu bidang garapan pokok dari kelompok modernisme di Indonesia adalah

memperluas semaksimal mungkin kegiatan pendidikan bagi rakyat. Salah satu organisasi dari

kalangan modernis seperti Muhammadiyah mempunyai kebanggaan sejarah atas pembangunan

sekolah-sekolah dan perluasan kesempatan pendidikan ketika berbagai kesulitan menimpa

bangsa. Sampai tahun 1970-an, beberapa intelektual modernis di Indonesia telah memperoleh

pendidikan Islam klasik tentang Bahasa Arab, Al-Quran, dan hukum-hukum klasik dari pakar. Di

antara mereka ada sejumlah nama yang sudah akrab dengan pandangan modern dan berbagai

pemikiran ilmiah seperti Muhammad Natsir, Deliar Noer, Mukti Ali dan Harun Nasution.

Babak baru menandai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia ketika para

alumni pesantren dari lingkungan pesantren (tradisional) pada tahun 1960-an mulai memasuki

dunia pendidikan modern di Barat. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid adalah generasi

pertama yang berada dalam tepian dua tradisi keilmuan ini. Lingkungan keilmuan Islam klasik

dan Modern (Barat) secara bersama-sama membawa pengaruh kuat bagi keduanya.

Dalam konteks pembaruan ini, sumbangan sistem IAIN dalam mereformasi Islam

benar-benar penting. Pembentukan IAIN, yang diawali dengan IAIN Syarif Hidayatullah di Ciputat

Jakarta dan IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1960, secara tidak langsung memberi kesempatan

pertama bagi mayoritas keluaran pesantren untuk menempuh studi di jenjang perguruan tinggi.

Sejak tahun 1960-an IAIN tetap mempertahankan ketertutupannya dengan model al-Azhar.

Secara pelan-pelan, proses perubahan nampak dengan transformasi IAIN menjadi lembaga yang

mengombinasikan kajian Islam tradisional dengan pendekatan-pendekatan kajian modern.

Dengan masuknya Harun Nasution di IAIN Syarif Hidayatullah dan Mukti Ali di IAIN Sunan

Kalijaga pada akhir tahun I960-an, membawa pengaruh progresif di kalangan mahasiswa dengan

mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis termasuk terhadap dasar-dasar keimanan serta

menggunakan pendekatan kritis dalam kajian keislaman.

Sebagai generasi tua, merekalah yang membukakan jalan bagi generasi muda

pemikir-pemikir Islam untuk tampil ke depan. Abdurrrahman Wahid dan Nurcholish Madjid sebagai

representasi utama dari generasi muda itu. Nurcholish Madjid yang lahir pada tahun 1939 dan

Abdurrahman Wahid yang lahir pada tahun 1940 adalah orang-orang yang tengah memasuki usia

remaja saat Soeharto muncul sebagai penguasa.

1.

Postradisionalisme Islam di Kalangan Muda NU

Beberapa dekade terakhir ini muncul fenomena baru di kalangan Nahdlatul Ulama yaitu

tentang pembaruan wacana, yang sebelumnya hampir tidak pernah terjadi dalam organisasi ini.

Pembaruan tersebut mencakup beberapa aspek, diantaranya adalah tentang gagasan dan

(17)

pemikiran, keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan global. Kebanyakan

gerakan pembaruan ini dimotori oleh anak-anak muda Nahdlatul Ulama yang kemudian

seringkali disebut sebagai kalangan muda Nahdlatul Ulama (Sholeh, 2004). Mereka menganggap

bahwa wacana yang ada pada Nahdlatul Ulama yang cenderung tradisional dianggap sudah tidak

sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Kemudian kalangan muda ini menawarkan

gagasan-gagasan baru yang seringkali disebut dengan post-tradisionalisme.

Kalangan muda NU beberapa tahun terakhir mempunyai kesadaran kritis akan eksistensi

NU terhadap pola perubahan zaman, sehingga mereka memandang perlu adanya suatu gerakan

pembaruan terhadap kultur NU yang selama ini melekat. Gerakan pembaruan ini meliputi tiga

hal (Riyadi, 2007). Pertama, tentang masalah kemandegan berfikir (jumud). Realitas yang terjadi

bahwa ternyata perubahan zaman semakin cepat terjadi dari hari ke hari, sehingga memaksa

kalangan muda NU untuk berpikir ulang terhadap pola pemikiran yang diadopsi oleh NU.

Pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang hanya

bersandar pada teks-teks tradisional (kitab kuning) dirasa oleh kalangan muda NU tidak lagi

mampu berbicara banyak terhadap realitas yang terus berkembang saat ini, perlu ada suatu

rumusan baru mengenai pemecahan masalah tersebut. Sehingga menurut mereka, perumusan

metode baru (ijtihad) perlu dilakukan untuk keluar dari kungkungan kejumudan yang selama ini

melekat di NU.

Kedua, partisipasi NU dalam dunia politik praktis. Terjerumusnya NU dalam dunia

politik praktis banyak menyebabkan tujuan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang

berorientasi pada pengembangan potensi ummat terbengkalai. Dari kondisi inilah, kalangan

muda NU prihatin terhadap terjerumusnya NU dalam pusaran politik praktis dan mereka

mencoba untuk menggeser gerakan politik praktis NU ini ke gerakan Islam kultural,

sebagaimana misi awal pendirian organisasi ini. Ketiga, permasalahan pengelolaan

keorganisasian. Pola hubungan patron-client yang kuat antara ulama dengan masyarakat, dimana

ulama berperan sebagai patron dan masyarakat berperan sebagai client, menjadikan organisasi ini

lemah dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Pengelolaan NU yang lebih bersifat

tradisional perlu diganti dengan sistem yang lebih modern, karena basis massa yang sangat besar

akan sulit menunjukkan eksistensinya jika hanya dikelola dengan pola-pola tradisional.

Lebih lanjut, seringkali NU dipahami sebagai organisasi tradisional dengan stereotype

yang cenderung negatif, diantaranya adalah organisasi yang ekslusif, organisasi yang tidak

pernah beranjak dari kitab-kitab yang mu’tabar (al-kutub al-mu’tabaroh) , organisasi yang dalam

praktik keagamaannya seringali mengadopsi tradisi lokal serta basis komunitas yang mayoritas

berasal dari kalangan pedesaan (Riyadi, 2007). Pemahaman dalam beragama bagi kalangan NU

seringkali berpijak dan berangkat dari teks yang sangat disakralkan dan teks mempunyai otoritas

yang tinggi dikarenakan model pemahaman yang ada di NU selalu merujuk pada kitab-kitab

ulama terdahulu. Bahtsul masa’il merupakan salah satu contoh betapa teks sangat dijunjung

tinggi dalam model pemahaman dalam organisasi ini.

Tradisi dalam kamus besar bahasa Indonesia mempunyai dua arti yaitu adat kebiasaan

turun temurun yang masih dijalankan masyarakat dan penilaian atau anggapan bahwa cara-cara

yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Sedangkan penjelasan Muhammad

Abed Al-Jabiri tentang tradisi terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) tradisi maknawi (al-turats

(18)

seperti monumen dan benda-benda masa lalu, 3) tradisi kebudayaan, yaitu segala sesuatu yang

kita miliki dari masa lalu kita, 4) tradisi kemanusiaan universal, yakni segala sesuatu yang hadir

di tengah kita, namun berasal dari masa lalu orang lain.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata tradisional diartikan sebagai sikap, cara

berpikir, dan bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan secara turun

temurun. Islam tradisional seperti yang ada di Indonesia mempunyai ciri-ciri seperti berikut:

pertama, sangat terikat dengan pemikiran Islam tradisional, yaitu pemikiran Islam yang masih

terikat kuat dengan pikiran ulama ahli fiqh, hadits, tasawuf, tafsir, dan tauhid yang hidup antara

abad ke tujuh hingga abad ke tiga belas. Kedua, kebanyakan basis massa dari penganut

tradisionalisme Islam tinggal pada wilayah pedesaan dengan latar belakang pendidikan

pesantren. Ketiga, keterikatan mereka pada paham ahlussunah wal jama’ah.

Jika tradisional dapat diartikan sebagai sikap, cara berpikir, dan bertindak yang selalu

berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan secara turun temurun, maka tradisionalisme

dapat diartikan dengan paham atau ajaran yang didadasarkan atas tradisi. Jika kita kaitkan

dengan Islam, maka tradisionalisme Islam dapat diartikan sebagai praktik-praktik keagamaan

maupun pemikiran dalam Islam yang dilakukan masyarakat secara turun temurun. Sedangkan

post-tradisionalisme secara etimologi bisa diartikan pasca tradisionalisme. Meskipun kata post

disini bisa diartikan dengan melampaui, melewati dan bahkan meninggalkan tradisi, tetapi yang

menjadi inti dari post tradisionalisme disini adalah mentransformasikan dan merevitalisasi

terhadap tradisi, bukan untuk meninggalkan tradisi. Maka demikian, dalam diri

postradisionalisme terkandung nilai-nilai kontinuitas dan perubahan.

Maka dari uraian diatas, peneliti melihat bahwa postradisionalisme merupakan salah satu

modal sosial bagi warga NU dalam menggapai perubahan. Dan dari sini penilitian ini akan

mencoba menlusuri sampai sejauh mana postradisionalisme befungsi sebagai modal sosial bagi

NU untuk melakukan perubahan.

E.

Jihad dan Terorisme

Menurut Ibnu Faris dalam bukunya mu’jam “Al-maqasy fi Al-lughah”, semua kata yang

terdiri dari huruf J, H, D, pada awalnya mengandung arti kesulitan ata kesukaran dan yang mirip

dengannya.

Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti ‘’letih atau sukar’’. Jihad memang sulit

dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal menuntut

kemampuan dan harus dilakukan sebesar kemampuan. Dari kata yang sama tersusun ucapan

“Jahida Bir Rojul”, yang artinya “ seseorang sedang mengalami ujian”.

Jihad adalah merupakan ruh dan spirit utama bagi keseluruhan perjuangan Islam. Jihad

merupakan inti daripada semangat islamyang mengantarkan islam menjadi Al-Furqan

(benar-benar tampil beda) dari Jahiliah.

Maka setiap muslim harus berusaha melibatkan dirinya dalam jihad sesuai dengan

kemampuan dan tuntunannya, berjihad dapat kita aplikasikan dalam beberapa hal,seperti:

1)

Berjihad memerangi hawa nafsu, amarah yang suka menyimpangkan manusia dari perbuatan

(19)

2)

Berjihad memerangi kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat islam dalam pentas

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

3)

Berjihad dalam memerangi segala bentuk ancaman yang membahayakan kemudahan umat,

seperti ancaman masyarakat, dll.

4)

Berjihad memerangi keterpurukan umat, baik dari segi intelektual maupun muammalah.

5)

Berjihad mengantisipasi serta mengimbangi tipu daya politik dan diplomasi kaum kafir dalam

uapaya memurtadkan umat islam, menjauhkan umat dari ajaran islam, dan memecah belahkan

umat islam agar mudah menjadi santapan mereka.

Setiap pribadi muslim yang menghendaki kesempurnaan dalam berislam, harus memiliki

program dakwahdan semangat jihad bagi dirinya sendiri dan keluarga. Dia harus bersemangat

mengupayakan perbaikan keislamannya dari hari kehari, sehingga mencapai nilai HAQQA

TUQATIH (Sebenar-benarnya takwa).

Sedangkan Terorisme dan Radikalisme meruapakan fenomena umum yang tersebar

diseluruh dunia, bukan hanya di dunia islam semata, sebagaimana yang dituduh oleh sebagian

kalangan.

Pengetahuan yang benar tentang islam bentuk Radikalisme maupun Terorisme, Etos kasih

saying mrupaka salah satu sebagian penting dalam islam, karena itu setiap surat dalam al-quran

selalu dimuat dengan kalimat” dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha

penyayang”, ya, betapa kasih saying Allah begitu luas, mencakup sgala sesuatu serta seluruh

manusia yang berusaha keras mewujudkan keadilan dan perdamaian.

Dialog antar agama selain mampu mengatasi berbagai persoalan negative seperti ateisme

narkoba, dan fanatisme, ternyata juga mampu memberikan konstribusi efektif demi mencegah

terjadinya pertengkaran-pertengkaran yang mungkin terjadi.

Persoalan-persoalan tersebut berikut persoalan sampingan lainnya, menuntut kerja keras

kita dalam mencari jalan keluar yang memadai, karena bagaimanapun, hal ini menyangkut

kepentingan seluruh dunia.

Apabila kita ingin menyelenggarakan dialog antar agmayang efektif, kita tidak boleh lagi

menghidupkan memori-memori kebencian dan permusuhan yang diwariskan oleh masa silam

dalam ingatan kita sebagai penggantinya, kita harus membangun pemikiran positif yang bergerak

kea rah pembangunan pemikiran positif yang bergerak kearah pembangunan masa depan baru

yang lebih cerah dan mampu membuat dunia menikmati perdamaian.

BAB III

PENUTUP

Islam sebagai dinamika historis menunjukkan kekayaan luar biasa. Di tengah dinamika

historis memang perlu ditegaskan kembali esensi-esensi teologis pokok, seperti tauhid Allah

SWT, kenabian Muhammad, i’jaz Alquran, dan sebagainya. Namun, dinamika historis tersebut

juga dapat menjadi bahan dasar penting bagi sintesis-sintesis Islam untuk menjawab tantangan

zaman.

(20)

Dinamika historis memang menuntut penghadiran berbagai respons Islam terhadap

situasi lingkungannya yang terus berubah. Karena itu, kaum Muslimin dan umat-umat lainnya,

dalam dinamika sejarah bisa menyaksikan terjadinya kesinambungan dan konvergensi di tengah

perubahan. Semua perubahan yang positif dan kontributif bagi peradaban Islam terjadi berkat

keterbukaan dan kesediaan kaum Muslimin sendiri menyerap berbagai hal positif di luar tradisi

mereka.

Karena itu, pengakuan pada berbagai tradisi di luar Islam dan kaum Muslimin sendiri

merupakan sebuah keniscayaan. Pengakuan tersebut bahkan merupakan prasyarat krusial bagi

setiap masyarakat yang berkeinginan dan berusaha merespons secara tepat berbagai perubahan

yang tidak bisa dielakkan manusia dan peradabannya di masa kini dan mendatang. Dalam

perspektif ini, sejarah Islam dan kaum Muslimin pada dasarnya merupakan usaha-usaha tak

pernah berhenti bagi kaum Muslimin sendiri untuk memahami cita-cita Alquran guna selanjutnya

mewujudkannya ke dalam realitas kehidupan.

Namun, perubahan-perubahan yang luas dan berdampak panjang juga menimbulkan

kecemasan bagi sebagian kaum Muslimin. Dan ini mendorong mereka untuk kembali kepada apa

yang mereka sebut sebagai ‘Islam otentik’ yang ironisnya justru tertutup dan menegasikan

berbagai hal di luar Islam, yang mereka pandang sebagai ancaman terhadap ‘Islam otentik’.

Cara pandang seperti ini jelas sangat kontraproduktif karena dalam kerangka itu, Islam

dipandang hanya sebagai doktrin teologis dan doktrinal abstrak, yang jauh dari persentuhan dan

realitas historis. Pandangan dan konsepsi inilah yang akhirnya mengantarkan kaum Muslim ke

dalam situasi dan kondisi statis, yang mengakibatkan terjadinya ‘fragmentasi’ sosial dan

intelektual. Jadinya upaya-upaya memperbaiki keadaan dan kenestapaan kaum Muslimin dewasa

ini lebih didorong formula-formula ideologis-religius yang cenderung simplistik daripada

rumusan-rumusan atas kajian berbagai realitas sosio-historis konkret.

Padahal, salah satu distingsi Islam, seperti ditegaskan kembali melalui Konferensi

Alexandria, adalah keterbukaan yang mampu tidak hanya mengakomodasi berbagai fenomena

dan produk peradaban lain yang bermanfaat bagi kemajuan peradaban manusia secara

keseluruhan, tetapi juga dapat hidup berdampingan secara kreatif dengan peradaban-peradaban

lain.

Hidup berdampingan secara damai (creative co-existence), jelas bisa dicapai hanya jika

para representasi peradaban-peradaban yang dominan mau meninggalkan pandangan-pandangan

yang memecah belah tentang ‘keunggulan kultural’ (cultural triumphalism). Triumphalism

adalah pernyataan sepihak dari pendukung kultural manapun yang mengklaim bahwa hanya

pihaknya sajalah yang paling unggul di atas segala pihak lain. Triumphalism seperti ini pada

ujungnya hanya akan mengantarkan umat manusia ke dalam ‘perbenturan peradaban-peradaban’,

yang jelas tidak kita hendaki.

(21)

DAFTAR PUSAKA

Barton, Greg, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrrahman Wahid as Intelectual Ulama:

The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist Thought”, dalam Islam

and Christian Muslim, CSIC, Birmington, Vol. 8, No. 3, 1999.

Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam

Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.

Hamzah, Imran dan Anam, Chairul (ed), Abdurrahman Wahid Diadili Kiai-Kiai. Surabaya: PT

Jawa Pos, 1989.

Horikoshi, Hiroko, Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.

Madjid, Nurcholis, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.

Narwoko, J. Dwi – Suyanto, Bagong (ed.), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta:

Prenada Media Group, 2006.

Sodik, Mochammad, Gejolak Santri Kota Aktivis Muda NU Merambah Jalan Lain. Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2000.

Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban, Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog

Peradaban, dan Dialog Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.

www.hidayatullah.com

(22)

Dinamika Islama Kontemporer

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah

Sepeninggal Rosulullah SAW umat Islam menjadi terpecah belah dan berusaha mendirikan aliran–aliran Islam yang beraneka ragam dengan segala pembenaran ideologi yang mereka yakini. Kemunculan mereka disebabkan karena sudah tidak adanya tempat bertanya tentang Islam dengan segala permasalahan dan solusi pemecahannya. Masing-masing mempunyai ideologi serta pemahaman tentang Islam yang berbeda–beda. Klaim sebagai ahluss sunah wal-jamaah, yang merupakan satu-satunya golongan Islam yang dijamin masuk surga oleh Rosulullah SAW dalam hadist sohihnya pun mereka sematkan dilabel mereka masing-masing. Aliran Khawarij, Muktazilah, Syiah, dan Jabariyah adalah segelintir contoh aliran yang pernah ada dan mewarnai corak Islam di Timur Tengah (Arab khususnya) yang merupakan tempat lahirnya Agama Islam.

Keberagaman pemahaman tentang Islam inilah yang menimbulkan konflik diantara aliran–aliran Islam tersebut. Bentuk konflik yang terjadi di masa lalu rupanya tetap ada di zaman yang serba kontemporer saat ini, dan memunculkan beraneka ragam pola pikir dan ideologi yang kemudian melahirkan konsep Islam yang ingin bebas menggunakan akal untuk memecahkan sebuah permasalan Islam, dan aliran ini biasa disebut dengan Liberalisme. Ada pula beberapa aliran Islam yang ingin mengembalikan Islam versi pemahaman mereka ke dalam bentuk aslinya seperti yang tersurat dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadist, dan aliran ini diindentikkan dengan istilah fundamentalisme. Dalam masa kontemporer ini, fundamentalisme memberikan kesan yang memaksa kepada umat Islam yang lain untuk bisa sepaham dengan dia. Mereka mengesahkan cara-cara kekerasan dalam memperingatkan umat Islam yang lain apabila mereka menyimpang dari ajaran Islam. Di Timur Tengah setidaknya ada beberapa organisasi dan pergerakan yang mengusung paham ini, di antaranya adalah Gerakan Wahabbiah, Ikhwanul Muslimin, dan lain sebagainya yang menginginkan pemurnian kembali Agama Islam. Gairah umat Islam di era kontemporer untuk menegakkan kembali panji Islam disalahartikan oleh sebagian umat Islam. Gerakan fundamentalisme negatif dan radikalisme secara tidak langsung pun telah mereka usung. Aksi teror, perusakan, dan tuduhan pengkafiran merupakan bukti eksistensi keberadaan

(23)

gerakan fundamentalisme dan radikalisme. Pemahaman tentang akan makna jihad juga tak luput dari penafsiran mereka, jihad pun dimaknai mereka dengan membunuh orang-orang yang tak sepaham dengan mereka. Terorisme merupakan buah karya dari adanya gerakan fundamentalisme dan radikalisme. Radikalisme dijadikan sebagai sebuah solusi untuk mewujudkan cita cita mereka.

Di sisi lain ada juga umat Islam yang tampil dengan wajah arif dan bijaksana, dimana kultur begitu besar mempengaruhi paham keagamaan ini. Islam inilah yang banyak mewarnai mayoritas umat Islam di Indonesia. Ada pula corak Islam yang sudah terstruktur dengan baik melalui sebuah oganisasi-organisasi Islam atau masuk dalam sebuah perpolitikan di sebuah negara, mereka lebih bersifat moderat dan progresif.

Bercermin pada wacana di atas sangat menarik jika kami menyajikan sebuah makalah yang dapat memberikan sedikit kajian keilmuan dan wawasan kepada mahasiswa yang biasa berpikir kritis dalam sebuah diskusi keislaman. Selanjutnya permasalahan ini akan kami bahas dan jabarkan lebih luas dalam bab pembahasan.

B. Rumusan masalah

Adapun beberapa hal yang akan kami bahas dalam makah ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaiman sejarah tumbuhnya liberalisme, fundamentalisme, radikalisme di

Indonesia dan sepak terjangnya?

2) Bagaimana kiprah dan peranan Islam Kultural dan Islam struktural yang ada di

Indonesia?

3) Apakah makna sesungguhnya dari Jihad dan Terorissme dalam agama Islam? I. PEMBAHASAN

A. Gerakan Liberalisme

Secara etimologi, liberalisme adalah derivasi dari kata liberty (dalam bahasa Inggris) atau liberte (dalam bahas Prancis) yang berarti “bebas”. Adapun secara terminologi, para peneliti mengemukakan bahwa liberalisme adalah terminologi yang cukup sulit didefinisikan. Hal itu karena konsep liberalisme yang terbentuk tidak hanya di bahas dalam satu generasi saja, akan tetapi dengan munculnya berbagai pemikiran tokoh yang tentunya satu sama lain saling berbeda dalam memberikan pengertian tentang liberalisme.

Liberalisme sebenarnya merupakan bukan hal yang sama sekali baru dalam konteks kajian keislaman di Indonesia. Sebenarnya dalam masa Orde Baru

(24)

gerakan-gerakan ini sudah ada, tetapi pada masa Orde Baru pengistilahan gerakan-gerakan Islam belum serta merta bersanding pada sebuah gerakan Islam. Hal itu disebabkan karena gerakan keislaman pada waktu itu mendapat pengawasan yang ketat dari pemerintah. Karena menurut pemerintah, gerakan ini dapat memunculkan gerakan separatisme yang dapat membahayakan kedaulatan negara. Belum adanya kebebasan dalam berpikir dan berpendapat dalam rezim Orde Baru membuat gerakan-gerakan ini seperti diibaratkan ikan yang berada dalam sebuah akuarium besar yang selalu mendapatkan pengawasan dari empunya rumah.

Liberalisme sendiri merupakan paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan tata pemikiran yang berlandaskan pada kebebasan manusia. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Dan ini berarti bahwa liberalisme adalah paham pemikiran yang optimistis tentang manusia. Dari pengertian liberalisme ini maka terlihat dua agenda besar yang di perjuangkannya, yaitu; mengandalkan rasio dan besar kesadaran individu, dan mengandalkan pembangunan mandiri masyarakat tanpa intervensi berlebihan dari Negara. Dua agenda besar ini digulirkan dalam wacana Hak Asasi Manusia (HAM) dan

masyarakat sipil (civil society)[8[1]

1. Akar Pemikiran Liberalisme[9[2]]

Akar pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from

restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas

dari pengawasan gereja dan raja. Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia. Ideologi Barat itu juga dapat dinamai dengan istilah kapitalisme atau demokrasi. Jika istilah kapitalisme lebih digunakan untuk menamai sistem 8[[1] ].Rahman, “Pengertian Liberalisme” dalam , http://www.itsfetriyannorrahman.co.cc., diakses 3 November 2012.

9[[2]]. Shidiq Al-jawi, “Akar Sejarah Pemikiran Liberal yang Menyesatkan”, dalam http://iskud.wordpress, diakses tanggal 15 November 2012.

(25)

ekonominya, istilah demokrasi sering digunakan untuk menamai sistem politik atau pemerintahannya. Namun monopoli istilah demokrasi untuk ideologi Barat ini sebenarnya kurang tepat, karena demokrasi juga diserukan oleh ideologi sosialisme-komunisme dengan nama “demokrasi rakyat”, yakni bentuk khusus demokrasi yang menjalankan fungsi diktatur yang protelar.

Walhasil, ideologi Barat memang mempunyai banyak nama, bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Namun, yang lebih penting adalah memahami akar pemikiran liberal yang menjadi pondasi bagi seluruh struktur bangunan ideologi Barat.

Secara tidak langsung liberalisme di Barat juga mempengaruhi gerakan pemikiran liberalisme yang ada di Indonesia. Diakui atau tidak karena banyak mengadopsi pemikiran dari barat inilah yang menyebabkan sebagian umat islam yang fundamentalisme sekuat tenaga melawan pergerakan pemikiran liberal ini.

Liberalisme dalam Islam, menurut kelompok Islam Progresif adalah keinginan menjembatani antara masa lalu dengan masa sekarang. Jembatannya adalah melakukan penafsiran-penafsiran ulang sehingga Islam menjadi agama yang hidup. Karena kita hidup dalam situasi yang dinamis dan selalu berubah, sehingga agar agama tetap relevan, menurut mereka, diperlukan cara pandang baru atau tafsir baru dalam melihat dan memahami agama. Tafsir yang dimaksud adalah tafsir yang membebaskan, yaitu tafsir yang akan dijadikan pisau analisin untuk melihat problem kemanusiaan, mempertimbangkan budaya, menghilangkan ketergantungan pada sebuah fase sejarah tertentu dan menjadikan doktrin agama

sebagai sebuah etis untuk melakukan perubahan. [1 0[ 3 ] ]

2 . Liberalisme di Indonesia

Kemunculan liberalisme di Indoneisa menurut beberapa pengamat muncul karena adanya gelombang reformasi yang membuka kerangka berpikir dan berpendapat yang sebebas-bebasnya. Efek dari semangat reformasi inilah muncul berbagai macam organisasi dan pergerakan yang berwajah fundamental dan berwajah liberal. Gerakan fundamen yang menjamur di Indonesia membuktikan eksisistensinya sebagai organisasi yang seakan meneriakkan “Islamku yang paling benar” dan yang lain adalah tidak benar dan perlu diluruskan. Arogansi berlebihan 10[[3]] Abdul A’la, dari Neomodernisme ke Islam Liberal Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003), hal 47

(26)

ditunjukkan oleh kelompok fundamen. Kelompok ini cenderung anti-barat, Islam yang mengadopsi gaya barat oleh kelompok fundamen dianggap telah jauh menyimpang dari ajaran Islam. Kelompok ini juga cenderung menyimpulkan hukum Islam dari segi tekstual yang berasal dari Al-quran dan tidak boleh menafsirkan kembali Al-quran dengan menggunakan akal. Karena menurut kelompok fundamen akal mempunyai segala keterbatasan.

Selama ini ada kecenderungan di kalangan umat Islam untuk menonjolkan Islam sebagai entitas yang unik dan terpisah dari kebudayaaan atau peradaban lain. Akibatnya, hilang penghargaan terhadap apapun yang dianggap sebagai asing. Bahkan penolakan yang berlebihan dalam bentuk anarki dan kekerasan seringkali terjadi terhadap segala hal yang dianggap berasal dari luar Islam. Padahal, kenyataan sejarah umat Islam justru menunjukkan bahwa apa yang sering disebut dengan ‘peradaban Islam’ sungguhnya merupakan produk dari berbagai

kebudayaan.[11[4]]

Kemunculan gerakan dan pemikiran fundamen yang seolah memaksakan ajarannya kepada masyarakat membuat gerah para penggagas Islam liberal di Indonesia. Sebagian orang dengan berani membuat sebuah kajian pemikiran yang terbilang nyleneh dan kontroversial sebagai bentuk perlawanan gerakan pemikiran yang fundamen. Kemudian munculah sebuah gerakan pemikiran yang bernuansakan liberal dan cenderung membela kaum minoritas. JIL adalah gerakan pemikiran pertama yang mengusung paham liberal dalam konteks kajian pemikiran keislaman di Indonesia. Di Indonesia gerakan liberal telah terakomodasi di dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). Walaupun kemunculan JIL dimotori oleh salah satu tokoh muda NU yaitu Ulil Abshor Abdala, namun kemunculannya mengundang banyak kontroversi, bahkan oleh sebagian organisasi Islam yang fundamen diantaranya FPI, JIL dianggap telah melakukan “onani” pemikiran Islam yang seenaknya sendiri mengelurkan fatwa yang jelas bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadist. Oleh Sebagian petinggi NU (Nahdlotul Ulama), JIL juga dianggap paham sesat, pendapat dan pernyataan tokoh JIL dianggap telah menyimpang dari ajaran pokok islam.

Bahkan secara eksplisit, muktamar NU di Solo mengambil satu keputusan kontroversial bahwa NU dengan segala kelengkapan strukturnya mesti dibersihkan dari unsur Islam Liberal. NU harus suci dari orang-orang yang berpaham Islam Iiberal. Islam liberal adalah adalah paham sesat dan menyesatkan sehingga tidak 11[[4] ]. Muhamad Ali, TEOLOGI PLURALIS-MULTIKULTURAL: menghargai kemajemukan menjalin kebersamaan ( Jakarta:Buku Kompas, 2003 ) hal. 81

(27)

perlu masuk dalam NU. Disinyalir keputusan dari muktamar NU di Solo yang menyatakan JIL adalah paham sesat menyesatkan jelas sangat terlihat unsur politisnya.

JIL yang merupakan pengusung Islam Liberal di Indonesia, keberadaanya tumbuh sebagai sebuah penggeliatan pemikiran para tokoh muda dari berbagai organisasi yang ingin menampilkan Islam yang humanis dan tidak selalu membatasi individu seperti yang diusung Islam fundamen. Karena menurut JIL Islam adalah agama yang tidak pernah mempersulit umatnya dalam keadaan apapun.

JIL seperti dijelaskan dalam situsnya yaitu islamlib.com, memberikan sebuah pengertian bahwa Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam

dengan landasan sebagai berikut:[12[5]]

a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.

Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).

b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.

Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.

c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.

Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.

d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut tersebut juga membuktikan bahwa budaya yang berkembang dalam masyarakat tidak harus tunduk dalam ekspresi hukum Islam (corak Arab), melainkan hukum Islam

politik, sedangkan Bungkarno di Indonesia memisahkan antara agama dan negara secara “lunak”, dalam arti proses politik demokratis dapat membuka corak Islam pada

Azra,   Azyumardi,  Jaringan  Ulama Timur  Tengah  dan  Kepulauan  Nusantara  Abad  XVII  dan  XVIII:  Melacak  Akar‐akar  Pembaruan  Pemikiran  Islam  di 

Politik Islam kontemporer selain menampilkan beragam pandangan dari para tokoh atau aliran yang hadir dalam kurun mutakhir, juga membahas isu-isu yang juga

Hal tersebut tersebut juga membuktikan bahwa budaya yang berkembang dalam masyarakat tidak harus tunduk dalam ekspresi hukum Islam (corak Arab), melainkan hukum Islam haruslah

Hukum Islam di tengah-tengah masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan yang lebih penting dibanding dua corak hukum lainnya, hukum positif dan hukum adat, tapi

Gerakan dakwah salafiyyah merupakan gerakan dakwah yang lahir dari kebangkitan Islam di Timur Tengah. Kebanyakan orang-orang dan penulis serta peneliti aliran-aliran dalam

Konflik ideologis antara Sunni dengan Syiah yang melibatkan dua negara yang memiliki pengaruh besar di kawasan Timur Tengah, yakni Arab Saudi dan Iran misalnya, telah