• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 Alasan Pelayanan Publik Indonesia Kurang Memuaskan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6 Alasan Pelayanan Publik Indonesia Kurang Memuaskan"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

6 Alasan Pelayanan Publik Indonesia

Kurang Memuaskan

Oleh RezNovianto pada 17-07-2012. Dibaca 3100 kali.

Pelayanan publik di Indonesia diatur di UU No.25 Tahun 2009. Dari penjelasan di UU tersebut, bisa disimpulkan bahwa sejatinya Pelayanan Publik adalah produk dari Birokrasi di Republik ini, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mari kita lihat teorinya. Birokrasi (bahasa inggrisbureaucracy) pertama kali dicetuskan oleh Max Weber.

“Ohh, yang pembalap F-1 itu ya, om Hansip..??! Waah, hebat ya.. udah pembalap, ganteng, terkenal, kaya, pintar lagi…”

“C’mon mannn.. I’m fast..!! I don’t have enough time to think about something like that..!!”

Bukan.. bukan yang pembalap F-1 itu. Kalau itu namanya Mark Webber. Yang dimaksud disini adalah Max Weber (1864-1920), beliau seorang sosiolog, filsuf, dan ahli ilmu politik dan ekonomi berkebangsaan Jerman. Suatu hari, entah dapat wangsit darimana, Om Weber mencetuskan sebuah ide mengenai gambaran tipe ideal dari administrasi publik dan pemerintah. Ketika itu, dari hasil penerawangannya, birokratisasi adalah cara yang paling efisien dan rasional dalam pengorganisasian.

(2)

Sejatinya, Birokrasi adalah sebuah konsep yang bagus. Tapi sayangnya, implementasinya di Republik kita tercinta ini masih jauh dari harapan. Aturannya manis, tapi implementasinya sadis.

Tri Tuntutan Rakyat jaman reformasi

Melihat fenomena menyedihkan ini, para hansip kami lantas mencoba mengumpulkan fakta dan menganalisis data untuk mencari tahu penyebab buruknya pelayanan publik di birokrasi kita. Dan sebagai elemen masyarakat yang ingin ikut berperan dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik, kami para hansip juga menyertakan sedikit solusi buah pemikiran kami untuk setiap masalah yang ada.

Sebelumnya, kami ingin berpesan bahwa artikel ini dibuat berdasarkan opini berdasar beberapa fakta saja, dan tidak ada maksud untuk memojokkan atau menjatuhkan pihak-pihak tertentu, terutama teman2 PNS muda yang kami tahu masih ideal tapi belum punya cukup power untuk mengubah keadaan. Peace, mas bro, kami semua mengerti keadaanmu dan justru mendukungmu sepenuh hati.

Tanpa berlama-lama lagi, Inilah dia..

1. Kurangnya Sosialisasi Peraturan

Seperti kata Om Weber, dalam birokrasi, semua tindakan diambil atas dasar peraturan tertulis. Ya, di Indonesia, semua urusan sebenarnya sudah ada peraturannya, tapi sayangnya, peraturan-peraturan itu kurang disosialisasikan. Jadi kita seperti buta saat mencoba mencari tahu tentang sesuatu, seperti masuk ke dalam labirin.

(3)

Jauh di dalam sana, ada juga minotaur penjaga yang siap melumat pantat bau Anda.

Informasi mengenai kejelasan mengenai peraturan dan prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) yang berlaku masih sangat kurang. Padahal, ini sangat penting, terutama di pos-pos pelayanan masyarakat yang strategis. Misalnya perihal pengurusan administrasi kependudukan, seperti KTP, Sertifikat Tanah, Paspor, atau Surat Nikah (Maaf buat para Jomblo Lapuk Putus asa, mungkin bagi kalian pengurusan surat nikah belum

strategis. Tapi percayalah, suatu saat kalian akan membutuhkannya).

Lebih rumit dari cara pikirnya Marzuki Alie

Akibatnya, informasi yang sampai ke masyarakat umum menjadi terbatas dan terkesan simpang-siur. Banyak masyarakat yang tidak tahu mengenai prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) suatu layanan. Celakanya, hal ini lantas dimanfaatkan oleh segelintir oknum tidak bertanggung jawab atau orang-orang oportunis yang duduk di birokrasi, untuk menjalankan “aksi”-nya demi keuntungan pribadi. Bagaimana modusnya..?!

PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA YANG BELUM

MAKSIMAL

Kesehatan mahal harganya, kata – kata itu memang benar di Negara ini, Gambaran pelayanan kesehatan di Indonesia memang buruk pada akhir – akhir ini dan dapat disimpulkan orang yang mempunyai banyak uanglah yang dapat berobat dan orang yang tergolong miskin susah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemerintah.

Akses pelayanan kesehatan dapat dengan mudah dinikmati oleh kalangan berduit tak hanya dari dalam negeri saja bahkan sampai ke luar negeri.dan berbanding terbalik dengan

(4)

mereka yang mengalami kesusahan dalam mendapatkan hak mereka untuk mendapat pengobatan yang layak karena terbentur masalah biaya.

Contoh nyata yang baru – baru ini adalah calon pasien meninggal karena terlambat mendapatkan pertolongan medis karena prosedur rumah sakit yang berbelit – belit, hanya karena terhambat untuk melunasi administrasi rumah sakit, atau contoh lain adalah seorang bayi yang baru dilahirkan di tahan di rumah sakit dan tidak boleh di bawa pulang karena orang tua si bayi belum dapat melunasi semua biaya persalinan.

Hal tersebut sangat membuat kita merasa heran, dan beranggapan ini bukan pelayanan kesehatan melainkan suatu praktik untuk mencari keuntungan diatas penderitaan orang lain,dan citra seorang dokter juga ikut menjadi buruk karena hal ini, pekerjaan yang dianggap mulia tetapi menjadi bisnis oleh mereka pada saat ini.

Dari contoh diatas menggambarkan buruknya pelayanan kesehatan di Negara kita ini, meskipun pemerintah memberikan subsidi bagi mereka yang kurang mampu berupa ASKES atau asuransi kesehatan tetap saja masih dipersulit dengan hal – hal lain. Dan mengindifikasikan bahwa pelayanan kesehatan bukan lagi menjadi pelayanan social tetapi menjadi lahan bisnis bagi mereka yang menjalankan praktik ini.

Untuk menyelesaikan masalah ini pemerintah harusnya harus cepat, tanggap dan aktif menuntaskan masalah ini, langkah awal adalah :

 Menambah unit pelayanan kesehatan bagi masyarakat berupa puskesmas, rumah sakit,dll

 Menambah tenaga medis dan tersebar di seluruh Indonesia bukan hanya di kota saja tetapi di

pedesaan juga.

 Menambah dan meperbaharui alat alat yang digunakan di unit pelayanan kesehatan

 Melakukan pengawasan yang menyeluruh dan rutin terhadap instansi – instansi terkait baik

negeri ataupun swasta guna mencegah timbulnya praktik – praktik yang dapat menimbulkan pelayanan itu diperjualbelikan.

 Mempermudah akses masyarakat yang kurang mampu dalam hal ekonomi dengan menambah

sarana yang khusus diperuntukan bagi mereka.

Strategi dan Sasaran Utama Pembangunan Kesehatan

Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah. Dalam melaksanakan pembangunan kesehatan ditengah beban dan permasalahan kesehatan yang semakin pelik, dibutuhkan strategi jitu untuk menghadapinya. Dalam mengatasi masalah kesehatan dapat digunakan beberapa strategi utama, antara lain:

1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat. Sasaran utama strategi ini adalah seluruh desa menjadi desa siaga, seluruh masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat serta seluruh keluarga sadar gizi.

2. Meningkatkan akses masyarakat tehadap pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Sasaran utama strategi ini adalah ; Setiap orang miskin mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu; setipa bayi, anak, dan kelompok masyarakat risiko tinggi terlindungi dari penyakit; di setiap desa tersedia SDM kesehatan yang kompeten; di setiap desa tersedia cukup obat esensial dan alat kesehatan dasar; setiap Puskesmas dan jaringannya dapat menjangkau dan dijangkau seluruh masyarakat di wilayah kerjanya; pelayanan kesehatan di setiap rumah sakit, Puskesmas dan jaringannya memenuhi standar mutu.

(5)

3. Meningkatkan sistem surveillans, monitoring dan informasi kesehatan. Sasaran utama dari strategi ini adalah : setiap kejadian penyakit terlaporkan secara cepat kepada desa/lurah untuk kemudian diteruskan ke instansi kesehatan terdekat; setiap kejadian luar biasa (KLB) dan wabah penyakit tertanggulangi secara cepat dan tepat sehingga tidak menimbulkan dampak kesehatan masyarakat; semua ketersediaan farmasi, makanan dan perbekalan kesehatan memenuhi syarat; terkendalinya pencemaran lingkungan sesuai dengan standar kesehatan; dan berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence based di seluruh Indonesia.

4. Meningkatkan pembiayaan kesehatan.

Sasaran utama dari strategi ini adalah : pembangunan kesehatan memperoleh prioritas penganggaran pemerintah pusat dan daerah; anggaran kesehatan pemerintah diutamakan untuk upaya pencegahan dan promosi kesehatan; dan terciptanya sistem jaminan pembiayaan kesehatan terutama bagi rakyat miskin.

Yes, contohnya ini.

Di beberapa tempat, untuk mengurus perpanjangan KTP saja bisa makan waktu 1 minggu bahkan lebih. Wow. Butuh waktu selama itukah untuk mencetak satu kartu..?! Wadepug..!! Selain itu banyak ditemui “pungutan” tambahan di luar tarif resmi yang berlaku. Misalnya tarif resminya Rp7.500, tapi masyarakat dipungut Rp15.000. Ini bukan soal itung-itungan Rp7.500 kelebihannya, tapi soal tegasnya penerapan peraturan dan etika birokrasi. Sungguh memalukan. Err..Lagipula, kalau mau dihitung-hitung, misalnya dalam sebulan ada 3.000 orang yang ngurus KTP, jadi lumayan juga tuh.. Rp22.500.000. Itu baru sebulan, kalau setahun, 2 tahun, 5 tahun.. woow..woow.

(6)

Dikit-dikit lama-lama jadi bukit..

Well, itu hanyalah sebuah contoh kecil. Di areal pelayanan publik yang lain juga banyak ditemui penyimpangan

serupa, dengan modus yang beragam. Bahkan mungkin dengan nominal penyimpangan yang lebih besar. Masalahnya, kesimpang-siuran dan ke-abu-abu-an peraturan ini terkesan malah dibiarkan, dengan “tujuan” agar masih tersisa “celah” untuk bisa dimanfaatkan demi keuntungan pribadi, yang ujung-ujungnya bermuara ke……

Yes!

“Ohh…gitu ya Om Hansip. Jadi, apa solusinya nih..??”

Kalau menurut kami, di jaman internet ini, bagusnya ada sebuah situs resmi dari pemerintah yang memuat semua peraturan mengenai segala bentuk pelayanan publik. Jadi masyarakat bisa mencari informasi dengan lebih mudah. Kemudian, sebagai langkah nyata, gencarkan sosialisasi peraturan ke masyarakat, baik dalam bentuk sosialisasi langsung, maupun menggunakan perantara media cetak.

(7)

Perbanyak Sosialisasi langsung ke masyarakat

Dan yang paling oke untuk mengantisipasi ada “orang dalam” yang iseng mempermainkan aturan demi keuntungan pribadi, tempelkan saja banner kutipan peraturan itu besar-besar di lokasi pelayanan. Dijamin ampuh.

Yang begini niihhh.. Mantap..!!

Oh, ya, biar gak salah paham, ini foto lama lo. Kalau pengen tahu tarif SIM yang terbaru, lihat di Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 2010.

2. Kinerja Pegawai Rendah

Sudah jadi rahasia umum kan, kalau etos kerja pegawai pelayanan publik kita buruk. Ini termasuk masalah kedisiplinan yang rendah, attitude dalam memberikan pelayanan yang kurang baik, maupun kurang tegasnya sanksi bagi pegawai yang berkinerja buruk. Ya, disini kita sedang membicarakan tentang tidak ramah saat memberikan pelayanan, tidak tepat waktu, lambat, kebanyakan ngobrol, sering bolos kantor untuk belanja di pasar, dan lain sebagainya.

(8)

Ini bukan kami yang bikin, lho..

Jadi bagaimana pelayanan publik bisa maksimal kalau pegawai-nya tidak disipilin, berkinerja rendah, dan tidak takut berbuat kesalahan karena tidak adanya sanksi yang tegas. Sebagai contoh mudah, soal sering ngaret-nya jam buka pos pelayanan (apapun itu), yang mengakibatkan antrean panjang. Masyarakat jadi korban.

“Sabar ya bapak-ibu, petugasnya sedang sarapan sambil ngopi..”

Tim hansip kami lantas mencoba melakukan observasi mengapa hal ini bisa terjadi. Melalui tekhnik wawancara langsung dengan beberapa pegawai, sebagian besar mengemukakan rendahnya penghasilan sebagai alasan rendahnya kinerja mereka. Well, pernyataan ini mungkin bersifat debatable. Karena ukuran besar-kecil penghasilan sangat relatif. Sebagai contoh, buat Om Ical, mungkin Rp15.000.000 perbulan itu sangat kecil, tapi rakyat jelata seperti kita jelas akan langsung manggut-manggut tanpa pikir panjang kalau ditawari pekerjaan dengan bayaran sebesar itu.

(9)

Bahkan walaupun pekerjaannya seperti ini...

Kami lebih tertarik untuk mencoba membuat hipotesis sendiri, mengapa etos kerja pegawai kita rendah. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, kami lantas mengambil kesimpulan, bahwa penyebabnya adalah belum diterapkannya sistem Reward and Punishment. Dalam bahasa kami, biasa disebut PGPS, Pinter Goblok Penghasilan Sama.

“Buat apa gue kerja giat kalau sama aja bayarannya sama Mamath, yang sering bolos ngantor..?!” Bunga (bukan nama sebenarnya), seorang pegawai kecamatan, 27 tahun.

Got the point..?! Ya, dalam setiap benak pegawai tidak ada motivasi untuk bekerja lebih giat, karena ituuseless.

Tentu saja, juga tidak ada rasa takut untuk berbuat kesalahan, karena tidak ada punishment(hukuman/sanksi) yang tegas. Hal ini hampir tidak ditemui di sektor swasta, karena hampir semua perusahaan swasta telah menerapkan sistem Reward and Punishment. Adanya bonus tentu akan memotivasi karyawan untuk bekerja lebih keras bagai kuda.

Diiming2i reward dan terus dicambuki, dijamin kerja keras

Jadi, kalau boleh saran, bagi instansi yang belum menerapkannya, kami sangat merekomendasikan untuk mulai mengkaji penerapan sistem Reward and Punishment. Beri iming-iming bonus/tunjangan/penghargaan untuk pegawai yang berprestasi. Jangan lupa tetapkan sanksi tegas bagi pegawai yang berkinerja buruk seperti pemotongan gaji/tunjangan, penurunan pangkat, pencopotan jabatan, mutasi ke daerah terpencil, atau kalau mau lebih ampuh, tetapkan hukuman yang sadis, seperti hukuman cambuk, atau hukuman mengenakan ban lengan bermotif Hello Kitty.

(10)

Iming2 reward and punishment yang ternyata efektif

Kalau sistem Reward and Punishment sudah berjalan dengan baik, dijamin semua pegawai akan berlomba-lomba bekerja maksimal dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, demi meraih bonus yang sudah dijanjikan. Percayalah, sebenarnya segala sesuatunya ujung-ujungnya duit. Kalau ada yang Halal, mengapa harus ambil yang haram. Owyeaahh..!!

3. Penempatan pegawai yang kurang tepat

Sarjana Tekhnik Kimia jadi pegawai administrasi, Sarjana Hukum jadi pranata komputer, Sarjana IT jadi front officer, Sarjana Pertanian jadi kepala dinas kependudukan dan catatan sipil. Carut marut rekrutmen dan penempatan pegawai di Republik kita tercinta ini sudah cerita lama. Menyedihkan memang, tapi itulah kenyataannya.

Simpel aja. Bagaimana mungkin kita mengharapkan kinerja maksimal dari seseorang, ketika yang bersangkutan diberi pekerjaan yang kurang/tidak sesuai dengan bidang keahliannya..?! Ini seperti menyuruh Bambang Pamungkas main Tenis. Gak nyambung, manis…

(11)

“Main Tenis ternyata susah yooo...”

Saran kami untuk persoalan ini sih sederhana, atur ulang penempatan pegawai. Data ulang latar belakang akademis dan keahlian masing-masing pegawai, dan tempatkan mereka di posisi/jabatan yang sesuai dengan keahlian/kompetensinya. Serahkan setiap urusan pada ahlinya (Editor’s note : Tidak ada maksud kampanye di

kalimat ini. Suer. Belum ada cagub yang memberi biaya publikasi sampai sekarang). Biar nyambung, gitu lo Mbang..

“Lu kira main Tenis gampang, Mbang..!! Niihh.. makan smash guweehh...”

4. Menjamurnya praktek Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme

Yang ini sebenarnya tidak perlu dibahas sih. Semua juga sudah tahu kalau yang satu ini emang sudah menjadi penyakit yang mewabah di semua lini pemerintahan di Indonesia. Sepertinya kami tak perlu lagi membahasnya lebih mendalam disini. Terlalu banyak yang harus dibahas kalau sudah bicara persoalan korupsi di negara ini.

Dalam kesempatan ini, kami tertarik untuk menyorot korupsi dari sisi lain, yaitu dari sisi melemahkan kinerja birokrasi, yang dalam hal ini, akan berimbas pada buruknya pelayanan publik. Lemahnya penindakan korupsi,

(12)

membuat para pejabat dan pegawai korup bebas merajalela menggerogoti sistem dari dalam. Hal ini kemudian mebuat para pegawai yang bersih, jujur, dan berintegritas tinggi mengalami demoralisasi tingkat akut. Semangat kerja menurun, karena merasa prestasinya tertutupi dengan borok Korupsi di instansinya. Hasilnya, yang bobrok makin bobrok, yang jujur dan bersih menjadi “malas” untuk bertindak karena kerusakan sistem telah akut. Habis sudah.

Solusinya..?! Ya..seperti yang sudah sering digembar-gemborkan banyak pihak, lah. Berantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Gantung Koruptor..!! Hidup Sandra Dewi..!! (Ehh…..maaf,keceplosan..)

5. Maraknya Suap/Gratifikasi

Sebenarnya, sesuai UU No.31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Korupsi, suap/gratifikasi/uang pelicin/sogok-menyogok atau whatever they named it, termasuk dalam ranah Korupsi. Tapi kami memutuskan untuk membuatnya menjadi point tersendiri karena…errr.. menarik untuk dibahas.

(13)

Well, soal maraknya suap/gratifikasi/blablabla ini, kita tidak bisa menimpakan semua kesalahan kepada oknum

birokrat nakal yang suka mencari celah. Gak bakal ada yang jual kalau gak ada yang beli. Sama seperti fenomena prostitusi di negara kita ini. Gak bakal ada pelacur kalau gak ada om-om genit mata keranjang berkantung tebal gak takut dosa yang suka jajan.

Sebenarnya tidak ada urgensi buat kami untuk menampilkan gambar ini, yaah.. anggap saja buat “penyejuk mata” Demikian juga dengan birokrasi dan pelayanan publik. Tidak bakal ada istilah “wani piro” atau KUHP (Kasih Uang Habis Perkara) kalau emang gak ada “pelanggannya”. Siapa? Ya masyarakat itu sendiri.

Selalu saja ada segelintir orang yang mencoba untuk “bypass” segala prosedur baku agar urusannya bisa selesai lebih cepat dan mudah. And nowadays, tidak ada bentuk iming-iming yang lebih sakti daripada uang. Sama seperti prostitusi, ketika masih sepi dibiarkan dan tidak ditindak, awalnya hanya beberapa ciblek mangkal di pinggir jalan, lama-lama jadi lokalisasi. Pun demikian, praktek suap-menyuap ini mulanya sedikit dan terselubung, lama-lama menjadi marak, dan kemudian malah menjadi semacam “Industri Baru” yang lantas juga ikut melibatkan oknum-oknum lain di luar birokrasi, yang lantas beken dengan nama “Calo”.

Akibatnya, ya seperti sekarang ini. Urusan yang ada duitnya akan lebih didahulukan. Celakanya, karena sudah menjadi “Industri”, permintaan mengalir terus, tanpa henti. Jadi, maaf beribu maaf bagi yang gak punya duit, anda harus bersedia antre dan sabar lebih lama, err… atau datang aja besok lagi.. eh, atau minggu depan aja lah yaa… toh anda miskin kan, jadi udah terlatih dong buat sabar.. gak pa-pa kaannn.. jangan marah yaa.. kan orang miskin dilarang menuntut.. okesip..

Solusinya..?? Tindak tegas tuh oknum-oknum yang masih suka minta disuapin. Ketatkan pengawasan, dan beri sanksi tegas buat yang terbukti menerima suap. Di sisi lain, beri juga sanksi bagi masyarakat yang mencoba melakukan suap, meski cuma sedikit. Berantas mulai dari yang kecil, biar gak membesar dan menggurita.

(14)

Masa’ kalah sama anak kecil..??!

6. Kurangnya komitmen untuk berubah?

Oke, jadi sampai sekarang kita sudah membahas 5 penyebab buruknya pelayanan publik di Republik kita tercinta ini. Sayangnya, saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air, hal-hal tersebut akan terus terjadi, kalau para birokrat kita tidak punya komitmen untuk berubah, ke arah yang lebih baik.

Yup, kurangnya komitmen untuk berubah adalah faktor penyebab no.6 menurut kami. Padahal beragam solusi dan saran sudah banyak dirumuskan. Tapi implementasinya kok gak maksimal. Dari penerawangan ngawur kami, sepertinya masih banyak pihak yang gak mau sistem berjalan baik.

Mengapa..?! Yah, kalau sistem berjalan dengan baik, maka “celah-celah” yang biasanya dipakai untuk mengeruk duit negara akan makin mengecil, dan bukan mustahil akan tertutup rapat. Kalau udah begini, tikus-tikus itu tidak lagi bisa berpesta pora. Tentu mereka gak mau dong, sumber pendapatan yang bakal mereka pakai buat beli Mobil mewah dan jalan-jalan ke Hongkong menguap begitu saja.

Ciieee... Yang lagi apes kena razia..

Kalau sistem berjalan dengan baik, maka tidak akan ada lagi sarapan-ngopi-baca koran sampai jam 10 pagi, Tidak akan ada lagi jalan-jalan belanja baju di jam kerja. Tidak akan ada lagi buka facebook dan main Texas Hold’em Poker seharian penuh.

Menyedihkan memang; salah 1 alasan mengapa mereka enggan untuk berubah mungkin disebabkan karena.. yaah, gak ada nilai lebih yang didapatkan kalau mereka berubah. Yang ada sumber pendapatan (ilegal) hilang, kerja santai-santai hilang, “langganan” hilang.

(15)

“Jadi bagusnya gimana ya, Om Hansip..?! Biar semuanya punya komitmen untuk berubah gitu..?!”

Well, kami nggak tahu. Diskusi bareng-bareng mungkin? Lakukan riset, panggil konsultan kek, atau kalau

perlu studi banding ke Jerman lah, kan ada anggarannya, sekalian bisa jalan-jalan. Atau bisa juga membiayai kami untuk melakukan riset, dijamin kami akan meriset dan meronda sekuat tenaga.

“Ah jangan bercanda dong Bos Hansip.. Kami lagi sibuk berdebat ngurusin masalah Om Roy nih, gak sempet mikirin yang beginian. Bantulah cari solusi, yang simpel-simpel aja.. Ntar kalo berhasil saya kasih amplop deh..”

Serius bro? Mau kita kalau gitu!

Seriously, tidak ada yang mengerti cara apa yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Solusi klise lagi

barangkali? Diberi kenaikan penghasilan? Biar birokrat kita tuh semangat untuk berubah? Diikutkan simulasi alam kubur ? Biar pada takut dosa? Biar inget neraka? Sepertinya semua sudah dilakukan, ya, tapi masih belum ada hasilnya.

Benahi penegakan hukum? Biar yang salah pada ditangkepin, biar pada kapok, jadi yang belum ketahuan pada takut, terus berubah?

Ah entahlah, mikirin ginian cuma bikin pusing.. Udahan dulu yaa.. mau ngeronda lagi nihh…

===**===

Sekali lagi, kami tidak berniat memojokkan pihak-pihak tertentu. Artikel ini dibuat berdasarkan opini berdasar beberapa fakta saja, dan sekali lagi tidak ada maksud untuk memojokkan atau menjatuhkan pihak-pihak tertentu, terutama teman2 PNS muda yang kami tahu masih ideal tapi belum punya cukup power untuk mengubah keadaan. Sekali lagi, kami justru mendukungmu sepenuh hati.

(16)

Karena kami.. Cinta Indonesia..!!

Akhir kata, kami para Hansip cuma bisa menyarankan wahai Bapak-Ibu birokrat dan anggota dewan yang terhormat, sadarilah ini. Dengarlah jeritan hati rakyat, yang minta diperhatikan. Berubah.. mari kita semuanya berubah menjadi lebih baik. Tak perlu saling tunjuk.. seperti kata Bro AA.Gym, 3M, Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal kecil, Mulai dari sekarang. Kalo semua pihak berkomitmen untuk berubah, kami yakin, semuanya akan menjadi lebih baik.

Karena kami.. Cinta Indonesia..!!

Merdeka…!!

RezNovianto nggak suka menunggu. Apalagi menunggu satu minggu hanya untuk memperpanjang KTP. Kalau kalian ada kendala dalam pengurusan Surat Nikah dan Kartu Keluarga bisa menghubunginya di twitter atau facebook.

Racauan lain dari Rez bisa disimak di http://reznovianto.co.cc/

Jangan lupa :

untuk mendapatkan informasi seru dan lelucon kampoeng LANGSUNG di newsfeed, timeline, atau email Anda.

Ingin menulis racauan gila bersama kami? Kunjungi tautan ini atau kirim email keboshansip@theposkamling.com

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka

(17)

memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.

Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.Oleh karena saya membuat makalah ini dengan judul “ Pelayanan Publik Pemerintahan Daerah” ,dan diharapkan agar kita lebih memahami tentang Pelayanan Publik Daerah tersebut.

1.2 Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis memiliki tujuan sebagai berikut. 1. Mengetahui tentang peranan dan kebijakan pelayanan publik dalam desentralisasi

pemerintah.

2. Mengetahui tentang paradigma pelayanan publik pemerintah daerah.

3. Mengetahui tentang perubahan kualitas pelayanan publik pemerintah daerah.

1.3 Rumusan Masalah

Penulis mengambil masalah ini dengan rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana peranan dan kebijakan pelayanan publik dalam desentralisasi pemerintah daerah?

2. Bagaimanakah paradigma pelayanan publik pemerintah daerah? 3. Bagaimanakah kualitas pelayanan publik pemerintah daerah?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas dan juga merupakan salah satu unsur yang mendorong perubahan kualitas Pemerintahan Daerah. Bagaimanapun kecilnya suatu negara, negara tarsebut tetap akan membagi–bagi pemerintahan menjadi sistem yang lebih kecil (Pemerintahan Daerah) untuk memudahkan pelimpahan tugas dan wewenang. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang–undang, dengan memandang dan mengingati dasar

(18)

permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak–hak asal–usul dalam daerah yang bersifat istimewa. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan–pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utilitas dan lainnya.

Sejak diberlakukan penerapan UU No. 22 Tahun 1999 telah terjadi pergeseran model pemerintahan daerah dari yang semula menganut model efesiensi struktural ke arah model demokrasi. Penerapan model demokrasi mengandung arti bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah menuntut adanya partisipasi dan kemandirian masyarakat daerah (lokal) tanpa mengabaikan prinsip persatuan Negara bangsa. Desentralisasi (devolusi) dan dekonsentrasi merupakan keniscayaan dalam oraganisasi negara bangsa yang hubungannya bersifat kontinum, artinya dianutnya desentralisasi tidak perlu meninggalkan sentralisasi

Dengan demikian, pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai regulator (rule government) harus mengubah pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnyagood

governance, dalam menjalankan pelayanan publik, Pemerintah Daerah juga harus

memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat, untuk mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, akuntabilitas dan keadilan. Konsepsi Pelayanan Publik, berhubungan dengan bagaimana meningkatkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dan/atau pemerintahan daerah menjalankan fungsi pelayanan, dalam kontek pendekatan ekonomi, menyediakan kebutuhan pokok (dasar) bagi seluruh masyarakat.

Bersamaan dengan arus globalisasi yang memberikan peluang sekaligus tantangan bagi perbaikan ekonomi, mendorong pemerintah untuk kembali memahami arti pentingnya suatu kualitas pelayanan serta pentingnya dilakukan perbaikan mutu pelayanan. Penyediaan pelayanan pemerintah yang berkualitas, akan memacu potensi sosial ekonomi masyarakat yang merupakan bagian dari demokratisasi ekonomi. Penyediaan pelayanan publik yang bermutu merupakan salah satu alat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang semakin berkurang, akibat krisis ekonomi yang terus menerus berkelanjutan pada saat ini. Hal tersebut menjadikan pemberian pelayanan publik yang berkualitas kepada masayarakat menjadi semakin penting untuk dilaksanakan.

BAB III PEMBAHASAN 3.1. Permasalahan Pelayanan Publik

(19)

Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan.

Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain:

a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.

b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.

c. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.

d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.

e. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.

f. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu

g. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.

Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empathy dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat.

Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.

(20)

Tuntutan masyarakat pada era desentralisasi terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Penetapan Standar Pelayanan. Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.

2. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP). Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:

• Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus; • Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang

berlaku;

• Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;

• Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan;

• Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan;

• Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas;

3. Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan. Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;

(21)

4. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan. Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan; Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara privateuntuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain:contracting out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum. Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi.

Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.

3.3. Desentralisasi

Kasus - Kasus Federalisme yang Bertentangan dengan Desentralisasi

 Di Kanada, pemerintah Federal dapat membatalkan Undang-Undang yang dibuat oleh pemerintah propinsi, dan bahkan menginstruksikan Letnan Gubernur untuk menundanya.

 Konstitusi di bekas negara Uni Soviet menentukan bahwa satu-satunya yang berhak melakukan amandemen terhadap konstitusi adalah Pemerintah Pusat. Bahkan kekuasaan Pemerintah Pusat sangat besar dibandingkan dengan yang dimiliki atau yang menjadi haknya pemerintah Negara Bagian di negara itu.

KESIMPULAN

Penerapan model demokrasi dalam sistem Pemerintahan Daerah yang sekarang diterapkan belum mencapai hasil yang diharapkan. Perilaku birokrasi dan kinerja Pemerintah Daerah belum dapat mewujudkan keinginan dan pilihan publik untuk memperoleh jasa pelayanan yang memuaskan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini dapat dilakukan dengan berbagai strategi, diantaranya : perluasan institusional dan mekanisme pasar, penerapan manejemen publik modern, dan perluasan makna demokrasi.

Upaya ini dapat terwujud apabila terdapat konsistensi dari sikap Pemerintah Daerah bahwa keberadaannya adalah semata-mata mewakili kepentingan masyarakat di daerahnya, otonomi adalah diberikan kepada masyarakat. Sehingga keberadannya

(22)

harus memberikan pelayanan yang berkualitas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang memiliki otonomi tersebut. Perangkat birokrasi yang ada baru dapat memberikan pelayanan publik yang berkualitas apabila kinerjanya selalu didasarkan pada nilai-nilai etika pelayanan publik. Kualitas pelayanan publik secara umum ditentukan oleh beberapa aspek, yaitu : sistem, kelembagaan, sumber daya manusia, dan keuangan. Dalam hal ini pemerintah harus benar-benar memenuhi keempat aspek tersebut, karena dengan begitu, masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus. 2003. Reformasi Pelayanan Publik: Apa yang harus dilakukan?, Policy Brief. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

Atep Adya Brata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Gramedia.

Lembaga Administrasi Negara. 2003. Jakarta: Penyusunan Standar Pelayanan Publik. LAN.

← Hello world!

Contoh Makalah Optimalisasi Pelayanan Publik

Posted on Juli 8, 2011

BAB I

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN ADMINISTRASI PUBLIK

Menurut Wikipedia, ilmu administrasi publik adalah suatu bahasan ilmu sosial yang mempelajari tiga elemen penting dalam kehidupan bernegara yang meliputi lembaga

legislatif, yudikatif, dan eksekutif serta hal- hal yang berkaitan dengan publik yang meliputi kebijakan publik, tujuan negara, dan etika yang mengatur penyelenggara negara. Lokus adalah tempat yang menggambarkan di mana ilmu tersebut berada. Dalam hal ini lokus dari ilmu administrasi publik adalah: kepentingan publik (publik interest) dan urusan publik (publik affair). Sedangkan fokus adalah apa yang menjadi pembahasan penting dalam mempelajari ilmu administrasi publik. Yang menjadi fokus dari ilmu administrasi publik adalah teori organisasi dan ilmu manajemen.

Administrasi Publik atau dulu dikenal dengan Administrasi Negara pada dasarnya adalah sebuah bentuk kerjasama administratif yang dikerjakan oleh 2 orang atau lebih demi

mencapai tujuan bersama. Goal dari administrasi publik itu sendiri adalah Publik Service atau Pelayanan Publik. Administrasi publik memiliki kajian ilmu tentang Politik, Hukum, Sosial serta Manajemen. Salah satu tugas dari Administrasi Publik adalah pembuat kebijakan atau Policy Maker yang dikenal dengan Kebijakan Publik. Artinya para administrator ini membuat suatu kebijakan dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di Publik ( masyarakat ).

Pengertian Administrasi publik menurut para ahli

Beberapa pakar negarawan yang mendefinisikan administrasi publik banyak sekali, di antaranya :

(23)

sasaran kebijaksanaan pemerintah, termasuk proses formal dan kegiatan-kegiatan DPR, fungsi-fungsi yang berlaku dalam lingkungan pengadilan dan kegiatan-kegiatan dari lembaga militer.

 Dwight Waldo: Publik Administration is the organization and management of men and materials to achieve the purposes of government (Administrasi Publik adalah organisasi dan manajemen dari orang-orang dan bahan-bahan untuk mencapai tujuan pemerintah).

 Soesilo Zauhar (Dosen Ilmu Administrasi Publik, Universitas Brawijaya ): Administrasi negara/ publik adalah proses kerjasama yang berlaku dalam organisasi publik dalam rangka memberikan pelayanan publik.

 Administrasi publik, seperti yang dirumuskan oleh Pfiffner dan Presthus (1953), adalah sebuah disiplin ilmu yang terutama mengkaji cara-cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai politik. Hal tersebut sejalan dengan gagasan awal Wilson dalam Shafritz dan Hyde (1992) yang dianggap sebagai orang yang membidani lahirnya ilmu administrasi publik modern di Amerika Serikat.

 Wilson mengemukakan bahwa disiplin administrasi publik merupakan produk

perkembangan dari ilmu politik. Namun Wilson mengusulkan adanya pemisahan disiplin administrasi dari ilmu politik. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi. Sejak itu, selama satu abad lebih, administrasi publik baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus berkembang.

 Kajian tentang administrasi publik tidak terlepas dari organisasi pemerintah dalam penanganan masalah-masalah publik. Bellone (1982:1) berpendapat bahwa the discipline of public administration is predicated on the study of organization. Teori organisasi, hipotesis tentang perilaku manusia dalam organisasi pemerintahan yang kompleks dan teori

administrasi serta hipotesis tentang perilaku manusia dalam kelompok kerja, merupakan dasar dalam teori administrasi publik. Hingga dapat dijelaskan bahwa administrasi publik berbicara tentang perilaku manusia dalam organisasi pemerintah. Bahkan Shafritz dan Russell (2005:5) mengemukakan bahwa it is easy to define administration if you are content with being simplistic: it is governmnet in action – the management of public affairs on the implementation of publik policies.

B. KAITAN ADMINISTRASI PUBLIK DENGAN PELAYANAN PUBLIK

Pelayanan publik merupakan salah satu bidang yang dikaji oleh Ilmu Administrasi publik, karena seperti diketahui bahwa lokus dari ilmu administrasi publik adalah kepentingan publik (public interest) dan urusan publik (public affair). Dalam upaya pelaksanaan pelayanan publik. Tugas Administrasi Publik Adalah memberikan pelayanan yang baik terhadap kepentingan rakyat dan masyarakat kehendak rakyat. Bukanlah sebaliknya rakyat yang

mengabdi kepada kepentingan administrasi publik. Untuk membangun pelayanan publik yang berorientasi kepada kepentingan publik maka dibutuhkan administrasi atau birokrasi yang profesional. Lewat upaya penataan administrasi yang baik, pastinya akan berakibat baik pula terhadap pelayanan yang diberikan. Oleh sebab itu, maka administrasi publik sangat

berkaitan erat dengan pelayanan publik.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PELAYANAN PUBLIK

Menurut Lonsdale (1994), pengertian dari pelayanan publik ialah segala sesuatu yang disediakan oleh pemerintah atau swasta karena umumnya masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, kecuali secara kolektif dalam rangka memenuhi kesejahteraan sosial

(24)

seluruh masyarakat. Sedangkan pengertian pelayanan publik menurut undang-undang no.25 pertahun 2009 ialah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang , jasa dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Secara luas istilah Pelayanan Publik dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan dan obyek obyek tertentu yang secara khusus dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umum (the general publik) atau memberikan dukungan terhadap upaya meningkatkan kenikmatan dan kemudahan (comfort and conveniences) bagi seluruh masyarakat. Di dalam hukum administrasi negara Indonesia, istilah “pelayanan publik” diartikan sebagai:

”segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum maupun sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Pelayanan publik oleh Kepmenpan No. 63/2003 terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu :

 Kelompok Pelayanan Administratif : yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen formal yang dibutuhkan oleh publik. Beberapa jenis pelayanan publik yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari pelayanan administrasi misalnya penerbitan dokumen yang berkaitan dengan:

 Status kependudukan atau kewarganegaraan (misalnya: Kartu Tanda Penduduk, pasport, akta nikah, akta kelahiran, akta kematian, dll.);

 Status kepemilikan (misalnya: Sertifikat Hak Atas Tanah, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, dll.);

 Status kompetensi (misalnya: Surat Ijin Mengemudi, Ijin Mendirikan Bangunan, Surat Ijin Usaha, dll.).

 Kelompok Pelayanan Barang : yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik. Hal ini berkaitan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh negara selaku pelaku usaha, yang kewenangannya dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (misalnya penyediaan air minum/air bersih, penyediaan listrik, penyediaan jaringan telekomunikasi, dll.).

 Kelompok Pelayanan Jasa: yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang dibutuhkan oleh publik (misalnya: pelayanan pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, penyelenggaraan post, dll.).

Ruang lingkup penyelenggaraan pelayanan publik dewasa ini semakin meluas dan menyentuh tidak saja pemenuhan atau penegakan hak-hak dasar manusia, seperti pendidikan, sandang, pangan, perumahan, pekerjaan yang layak, jaminan kesehatan, lingkungan hidup yang sehat, dan lain sebagainya, akan tetapi juga menyangkut hal-hal yang langsung menyentuh

kehidupan masyarakat sehari-hari, seperti perijinan, identitas status, penyaluran kebutuhan bahan pokok, transportasi, telekomunikasi, dan sebagainya.

Dalam pelayanan publik, ada asas-asas yang digunakan agar penyelenggaraan pelayanan publik dapat berjalan dengan baik. Asas-asas tersebut adalah prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan dalam pengorganisasian, acuan kerja, serta pedoman penilaian-kinerja bagi setiap lembaga penyelenggara pelayanan publik. Asas-asas yang dapat dikategorikan sebagai asas-asas umum administrasi publik yang baik (general principles of good administration) ini harus bersifat umum dan adaptif terhadap keunikan jenis-jenis pelayanan yang mungkin diselenggarakan secara publik. Bersifat umum karena asas-asas ini secara langsung

menyentuh hakekat pelayanan publik sebagai wujud dari upaya pelaksanaan tugas pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak dan/atau tugas pelaksanaan perintah

peraturan perundang-undangan. Bersifat adaptif, karena asas-asas ini harus dapat berfungsi sebagai acuan dalam setiap kegiatan administrasi negara yang bersentuhan langsung dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat umum, baik di bidang pelayanan administratif,

(25)

pelayanan jasa, pelayanan barang, ataupun kombinasi dari ketiganya. Asas-asas tersebut adalah :

1. Asas Keterbukaan (openness)

Keterbukaan menjadi salah satu asas utama untuk menjamin bahwa para stakeholders dapat mengandalkan proses pengambilan keputusan, tindakan-tindakan oleh institusi-institusi publik, pengelolaan aktivitas, serta pengelolaan sumber-sumber daya manusia di dalam institusi-institusi pelayanan publik. Keterbukaan (mungkin setara dengan asas transparansi) yang diwujudkan melalui pembinaan komunikasi secara penuh, terinci dan jelas dengan para stakeholders menjadi salah satu prinsip utama dari suatu good governance, termasuk dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

2. Asas Integritas

Integritas mengandung makna “berurusan secara langsung” (straightforward dealings) dan ketuntasan (completeness) dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan publik. Asas moral yang mendasari asas integritas ini terutama adalah kejujuran, obyektivitas dan standar kesantunan yang tinggi, serta tanggung jawab atas penggunaan dana-dana dan sumber daya publik.

3. Asas Akuntabilitas

Asas ini berkenaan dengan proses di mana unit-unit pelayanan publik dan orang-orang yang berfungsi di dalamnya harus bertanggung jawab atas keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang dibuatnya, serta kebersediaan untuk menjalani proses pengawasan baik eksternal (dari masyarakat) maupun internal (dari atasan). Singkatnya, akuntabilitas

melahirkan kewajiban untuk bertanggung jawab atas fungsi dan kewenangan yang secara sah dipercayakan kepada setiap public servant .

4. Asas Legalitas

Berdasarkan asas lawfulness ini, setiap tindakan, pengambilan keputusan, serta pelaksanaan fungsi suatu institusi pelayanan publik harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dijalankan sesuai dengan aturan dan prosedur yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Legalitas di sini seyogyanya diartikan secara luas dan tidak hanya mencakup legalitas formal saja, tetapi juga legalitas dalam arti material/substansial . 5. Asas Non-Diskriminasi dan Perlakuan Yang Sama

Institusi-institusi penyelenggara pelayanan publik harus bekerja atas dasar prinsip pemberian pelayanan yang sama dan setara kepada warga masyarakat, tanpa membedakan gender, ras, agama/kepercayaan, kemampuan fisik, aspirasi politik, dsb. Artinya, perlakuan yang berbeda terhadap suatu kasus yang pada dasarnya sama dengan kasus-kasus lain, harus secara tegas mendapatkan pembenarannya di dalam fakta-fakta khusus yang relevan di dalam kasus tersebut.

6. Asas Proporsionalitas

Asas ini meletakkan kewajiban pada setiap penyelenggaraan pelayanan publik untuk menjamin bahwa beban yang harus ditanggung oleh masyarakat pengguna jasa layanan publik akibat tindakan-tindakan yang diambil oleh institusi pelayanan publik harus berbanding secara proporsional dengan tujuan atau manfaat yang hendak diperoleh oleh warga masyarakat ybs. Asas ini berkaitan erat dengan beban-beban administratif, biaya dan waktu pelayanan yang harus ditanggung oleh masyarakat apabila mereka hendak memperoleh pelayanan publik.

7. Asas Konsistensi

Berdasarkan asas ini, warga masyarakat dan/atau stakeholders layanan publik pada umumnya memperoleh jaminan bahwa institusi-institusi pelayanan publik akan bekerja secara konsisten sesuai pola-kerjanya yang normal dalam perilaku administratifnya. Artinya juga,

(26)

penyimpangan terhadap asas ini (dispensasi, perlakuan khusus, dsb) harus memperoleh pembenarannya secara sah (duly justified).

B. PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA

Pelayanan publik di Indonesia masih rendah. Demikian salah satu kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002.

Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di lapangan masih banyak menunjukkan hal ini. Tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu :

a) pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh hubungan pertemanan, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. b) Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan.

c) Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ini

merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidakpastian tersebut. Optimalisasi pelayanan publik dalam birokrasi pemerintahan memang bukanlah pekerjaan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan mengingat pembaharuan tersebut

menyangkut berbagai aspek yang telah terkultur dalam lingkaran birokrasi pemerintahan kita. Di antara beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang tidak kondusif yang telah lama mewarnai pola pikir birokrat sejak era kolonial dahulu. Prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi kita sangat jauh dari nilai-nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara yang berdaulat. Prosedur pelayanan, misalnya, tidak dibuat untuk mempermudah pelayanan, tetapi lebih untuk melakukan kontrol terhadap perilaku warga sehingga prosedurnya berbelit-belit dan rumit. Tidak hanya itu, mulai masa orde baru hingga kini, eksistensi PNS (ambtennar) merupakan jabatan terhormat yang begitu dihargai tinggi dan diidolakan publik, khususnya jawa. Sehingga filosofi PNS sebagai pelayan publik (publik servant) dalam arti riil menghadapi kendala untuk direalisasikan. Hal ini terbukti dengan sebutan pangreh raja (pemerintah negara) dan pamong praja (pemelihara pemerintahan) untuk pemerintahan yang ada pada masa tersebut yang menunjukkan bahwa mereka siap dilayani bukan siap untuk melayani. Di samping itu, kendala infrastruktur organisasi yang belum mendukung pola pelayanan prima yang

diidolakan. Terlihat dengan belum terbangunnya kaidah-kaidah atau prosedur-prosedur baku pelayanan yang memihak publik serta standar kualitas minimal yang semestinya diketahui publik selaku konsumennya di samping rincian tugas-tugas organisasi pelayanan publik secara komplit. Standard Operating Procedure (SOP) pada masing-masing service provider belum diidentifikasi dan disusun sehingga tujuan pelayanan masih menjadi pertanyaan besar. Akibatnya, pada satu pihak penyedia pelayanan dapat bertindak semaunya tanpa merasa bersalah (guilty feeling) kepada masyarakat.

Secara singkat, permasalahan dalam pelaksanaan pelayanan publik yang terjadi di Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian aparatur

pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum terlihat manifestasinya dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan. Hal ini terbukti dari masih sangat banyaknya keluhan dan ketidakpuasan yang dilontarkan

(27)

pelayanan publik tersebut dapat menjadi pedoman yang efektif, sehingga dapat tercipta kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi para penyelenggara pelayanan publik sendiri maupun bagi masyarakat/anggota masyarakat.

b. Birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang tindih tugas dan kewenangan, yang menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi panjang dan melalui proses yang berbelit-belit, sehingga tidak mustahil memperbesar kemungkinan timbulnya ekonomi biaya tinggi, terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi dan nepotisme, perlakuan diskriminatif, dsb.

c. Rendahnya pengawasan external dari masyarakat (social control) terhadap

penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat dari ketidak jelasan standar dan prosedur pelayanan, serta prosedur peyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik. Karena itu tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial (social pressure) yang memaksa penyelenggara pelayanan publik harus memperbaiki kinerja mereka. Salah satu wujud dari peningkatan kontrol sosial ini, misalnya, melalui pembenahan sistem dan prosedur pelayanan keluhan publik (publik complaints/grievance system & procedure) yang baik. Lebih jauh lagi, penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa peraturan perUUan yang tampaknya

dipersiapkan sebagai „umbrella regulation‟ di bidang pelayanan publik yang berlaku secara nasional, juga sangat sedikit menghadirkan ketentuan-ketentuan yang secara tegas

menetapkan sistem dan standar pelayanan atas keluhan publik (publik complaints, publik grievance standards and procedure).

Beberapa alasan kenapa berbagai masalah tersebut muncul dalam upaya pelaksanaan pelayanan publik adalah :

a. Kegiatan pemerintah bersifat monopoli, tanpa kompetisi tidak akan tercapai efisiensi. b. Lebih mengandalkan kewenangan daripada mekanisme pasar maupun kebutuhan konsumen.

c. Belum adanya akuntabilitas secara lengkap pada kegiatan pemerintahan.

d. Lebih mengutamakan pandangan diri sendiri daripada pandangan konsumen yg dilayaninya.

e. Kesadaran masyarakat sbg konsumen produk pemerintahan masih sangat lemah, sehingga masyarakat lebih banyak berposisi sbg obyek.

C. PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM PELAYANAN PUBLIK

Di negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka dalam mengakses dan menggunakan pelayanan publik, akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut umumnya jauh melebihi kemampuan

pemerintah untuk dapat memenuhinya.

Sebaliknya, pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara, pada kenyataannya hanya sebuah retorika, sebab urusan pelayanan publik yang demikian kompleks, mustahil dapat dikerjakan semua hanya oleh pemerintah.

Menurut Miftah Thoha, pelayanan publik dapat dipahami sebagai suatu usaha oleh seorang/ kelompok orang, atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan dan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu (1991).

Hanya saja, dalam rangka melakukan optimalisasi pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan bukanlah tugas yang mudah mengingat usaha tersebut menyangkut berbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu kemudian peran swasta sangat diharapkan untuk melengkapi pemerintah dalam

menciptakan kualitas pelayanan publik yang optimal.

(28)

pencapaian tujuan besar yaitu Good Governance, dalam konsep Good Governance, peran masyarakat dan sektor swasta menjadi sangat penting karena adanya perubahan paradigma pembangunan dengan meninjau ulang peran pemerintah dalam pembangunan, yang semula berperan sebagai regulator dan pelaku pasar, menjadi bagaimana menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha. Tentu saja hal ini bisa diwujudkan apabila masyarakat dan sektor swasta sendiri sudah memiliki kapabilitas yang memadai.

Hal ini kemudian bisa dipahami bahwa pemerintah, khususnya di negara-negara ketiga, kini tak lagi mendominasi atau memonopoli peran penyediaan pelayanan publik yang bermutu. Maka, konsep ini tentu saja berbeda dengan kondisi yang terjadi pada era sebelum tahun 1970-an dimana pada masa itu konsep demokrasi yang berlaku di berbagai negara masih terkesan otoriter. Beberapa contohnya adalah yang terjadi di Argentina, Brazil, Chile, Filipina, korea selatan, Nigeria, Pakistan, Thailand, Uruguay, Yunani dan sebagainya pada dasawarsa 1960 dan awal 1970-an. (Mas‟oed, 2003).

Lain halnya, Di Indonesia sendiri aroma otoriterianisme sangat kental terasa pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada saat itu, salah satu contohnya adalah terjadinya penataan kembali organisasi perburuhan. Penataan tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga organisasi buruh pada akhirnya tak lebih dari kepanjangan tangan pemerintah orde baru yang merepresentasikan tujuan-tujuan ekonomi dan politik negara orde baru.

Penataan gerakan buruh Indonesia pada masa Orde Baru dibagi ke dalam 3 fase, yaitu fase 1966 hingga 1970-an sebagai fase pelarangan terhadap segala bentuk pengorganisasian serikat buruh, karena hampir semua serikat buruh adalah produk afiliasi partai politik sayap kiri atau yang beraliran komunis.

Fase kedua yang teradi pada awal 1970-an hingga 1990-an adalah pengambilalihan terhadap seluruh kekuatan Serikat buruh di bawah kendali Golkar dan Militer. Pada tahap ini, politik perburuhan Orde Baru berjalan secara relatif moderat dimana serikat buruh diperbolehkan muncul di bawah kendali ketat negara. Politik pengendalian dan pengawasan bahkan berlangsung hingga di tempat kerja dengan mengintervensi proses pemilihan pemimpin serikat buruh, membatasi kenaikan upah, dan menghindari tumbuhnya serikat buruh Krisis Radikal.

Fase ketiga berlangsung pada tahun 1990 hingga 1998 dimana kebijakan ekonomi pasar menjadi kedok pemerintah untuk melanjutkan eksploitasi atas buruh dengan memperkenalkan konsep Hubungan Industrial Pancasila. Perangkat ini dimaksudkan sebagai instrumen guna memperkuat kontrol negara terhadap buruh yang diselaraskan dengan tuntutan negara terhadap buruh yang diselaraskan dengan tuntutan negara kreditor yang meminta agar pemerintah lebih memperhatikan hak-hak buruh. (Jurnal Sosial Demokrasi, vol 7. No.2 September – Desember 2009).

Berakhirnya era orde baru pada tahun 1998 yang kemudian digantikan oleh orde reformasi, praktis kemudian menyebabkan lahirnya banyak sekali organisasi-organisasi buruh yang menampung kepentingan buruh. Hal ini didukung pula oleh berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintahan Habibie maupun Gus Dur melalui berbagai produk

perundang-undangan. Keberadaan organisasi-organisasi buruh inilah yang selanjutnya bisa diartikan sebagai salah satu elemen swasta (non government) yang berdiri secara independen untuk mewujudkan kesejahteraan kaum buruh dan pekerja melalui kemampuan mengakses pelayanan publik yang ada.

Namun, hal ini bukan pula berarti bahwa selama pemerintahan orde baru, tidak ada sama sekali sektor swasta yang berdiri di luar pemerintahan, sebab sejak tahun 1970-an, mulai muncul komunitas bisnis dan para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Masalah perekonomian yang terjadi pada era 1980-an menghadapkan pemerintahan pada keharusan struktural untuk memberi perhatian lebih besar kepada kelompok bisnis hilir yang

(29)

menghasilkan barang-barang konsumsi untuk pasar domestik maupun internasional. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pengakuan resmi terhadap KADIN pada tahun 1987 sebagai satu-satunya saluran komunikasi antara pemerintah dan pengusaha yang juga melambangkan sikap pemerintah yang akomodatif. KADIN pun kemudian diharapkan bisa menjadi suatu badan yang memperjuangkan dunia usaha dan bukan sekedar organisasi yang dijalankan oleh pemerintah.

Sementara itu, di ranah sosial, lahirnya LSM-LSM di masyarakat yang bergerak di berbagai bidang seperti hukum, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan masyarakat desa dan lain sebagainya juga cukup memberikan sesuatu yang positif bagi masyarakat. Dalam bidang pembangunan misalnya, mereka mampu mengajukan suatu alternatif terhadap program pembangunan yang cenderung sentralistis. Alternatif itu disebut sebagai ”pembangunan partisipatoris”, suatu program pembangunan yang dirancang dengan rakyat sebagai subyek dari proses pembangunan.

Dalam negara yang harus menghadapi krisis ekonomi dunia dan semakin menipisnya sumber daya, LSM dapat menawarkan jasa yang menarik. Mereka dapat membantu pemerintah menyelesaikan masalah-masalah pembangunan masyarakat desa dengan cara memobilisasi sumber daya lokal untuk digunakan secara produktif. Selain itu LSM juga memiliki potensi untuk membangun suatu jaringan internasional yang dapat dimobilisasikan untuk mendukung perjuangan mereka di dalam negeri. Dengan demikian, LSM menjadi salah satu faktor

penting dalam proses pembangunan. (Mas‟oed, 2003).

Selain itu, tentu saja masih ada banyak sekali berbagai contoh peran swasta dalam usaha pencapaian pelayanan publik yang optimal dan mensejahterakan rakyat. Namun, pada intinya peran swasta pada saat ini memiliki fungsi yang sangat strategis baik sebagai agen kontrol terhadap pemerintah maupun sebagai pelengkap fungsi pemerintah yang tidak mampu secara optimal menyediakan fasilitas pelayanan publik di berbagai bidang. Sementara itu, dengan semakin meningkatnya pemahaman masyarakat mengenai demokrasi, maka pemerintah juga tidak lagi memiliki superioritas mutlak untuk mengendalikan keberadaan sektor swasta apalagi melalui tindakan-tindakan represif. Maka dapat disimpulkan, pada titik ini pemerintah tak lagi memegang dominasi atau monopoli penuh terhadap penyelenggaraan perekonomian, politik, sosial, dan pelayanan publik.

Langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik :

Seperti di jelaskan di atas, bahwa perlu diadakan optimalisasi dalam pelayanan publik oleh pemerintah dan swasta sehingga nantinya dapat tercipta kesejahteraan yang seperti

diharapkan, hal tersebut dapat dilakukan dengan :

o Membangun budaya melayani di kalangan birokrasi (lihat semangat yang terkandung di dalam UU Nomor 22/1999 maupun UU Nomor 32/2004).

o Membangun keasadaran bahwa fungsi utama pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan pada masyarakat, bukan lagi sebagai promotor pembangunan seperti pada era UU Nomor 5 Tahun 1974.

o Membangun kesadaran masyarakat sbg konsumen.

o Memperkuat unit-unit organisasi yang berhadapan langsung dengan masyarakat (dinas, kecamatan, kelurahan).

o Memperkuat dan meningkatkan kualitas orang-orang yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat (front line officer).

o Mengembangkan unit-unit organisasi pelayanan agar dekat dengan konsumen (konsep “close to the customers”). Mengembangkan sistem pelayanan “one stop service” dan atau “one roof system” yang sesungguhnya.

o Mengadakan survey kepuasan pelanggan secara periodik.

(30)

dari masyarakat yang dilayani.

o Mengembangkan pendekatan “publik choice” sehingga kebutuhan dan keinginan masyarakat yang beraneka ragam dapat terpenuhi dengan tetap mempertimbangkan aspek keadilan.

o Mengembangkan sistem insentif yang menarik bagi unit-unit yang berhasil memuaskan pelanggan.

o Menciptakan standar pelayanan umum.

o Memberikan “reward and punishment” yang seimbang.

o Mengadakan kompetisi pelayanan untuk instansi yang memberikan pelayanan sejenis.

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

Penyakit dalam pelayanan publik dan sistem birokrasi, seperti pungli, korupsi, kolusi, nepotisme, diskriminasi pelayanan, proseduralisme dan berbagai macam kegiatan yang tidak efektif dan efisien, Telah mengakibatkan terpuruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintahan kita. Hal ini akan dapat memperparah keadaan apabila tidak ada peningkatan keseriusan dalam penangannya. Lebih kurang inilah yang terjadi saat sekarang ini. Peran pemerintah dan swasta sangat di butuhkan demi terciptanya kenyamanan dalam pelayanan masyarakat.

B. SARAN

Pemerintah seharusnya lebih berfungsi mengarahkan ketimbang mengayuh, memberi wewenang ketimbang melayani, menyuktikkan persaingan (kompetisi) dalam pemberian pelayanan, digerakkan oleh misi bukan peraturan, berorientasi pada hasil (outcome) bukan masukan (income), berorientasi pada pelanggan bukan pada birokrasi, menghasilkan ketimbang membelanjakan, mencegah ketimbang mengobati, desentralisasi dan pemerintah berorientasi pasar, seharusnya diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam melakukan pelayanan tersebut, harus diadakan langkah- langkah seperti di bawah ini agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu :

a. Kesederhanaan pelayanan.

b. Kejelasan dan kepastian pelayanan. c. Keamanandan kenyamanan pelayanan. d. Keterbukaan informasi.

e. Efisiensi dalam mengurus pelayanan. f. Ekonomis.

g. Keadilan.

h. Dan ketepatan waktu pelayanan.

Dalam Keputusan MENPAN nomor 81 / 1993 dijelaskan sendi-sendi pelayanan prima, hal ini haruslah di pedomani secara baik agar langkah-langkah yang telah terjadwalkan tersebut tidak mengalami kegagalan atau kurang dalam pencapaiannya. Sendi-sendi tersebut adalah : a) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur / tata cara pelayanan diselanggarakan secara mudah, lancar, cepat tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. b) Kejelasan dari kepastian; adanya kejelasan dan kepastian mengenai:

o Prosedur / tata cara pelayanan umum.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

a. Berdasarkan analisa AHP dan analisa level risiko, terdapat faktor-faktor risiko dalam proses yang mempengaruhi kinerja waktu proyek.. Dengan mengetahui faktor-faktor risiko

[r]

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai data untuk penelitian selanjutnya memperkaya riset keperawatan di Indonesia, sehingga dapat mengembangkan ilmu

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan rahmat serta Rosulullah Muhammad SAW yang senantiasa memberikan syafaat kepada umatnya

Gambar di atas menunjukkan bahwa kerja kompresor pada sistem Low stage dan pada sistem High stage terhadap varisi beban pendinginan yang diberikan pada sistem

Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wacana bagi pembaca mengenai pengaruh kebijakan dividen dan siklus hidup perusahaan secara

Bantalan adalah elemen mesin yang mampu menumpu poros berbeban, sehingga putaran atau gerakan bolak- baliknya dapat berlangsung secara halus, aman dan tahan lama. Bantalan

dan panitera membuat laporan masing-masing ini yang bisa saya kerjakan ini yang belum dikerjakan begitu saya minta terima kasih pada teka teka teki pengawas Namun