• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

Ferilia Adiesti

Faktor – Faktor Yang Melatarbelakangi Pemberian PASI Dini Asih Media Yuniarti dan Cut Intan Pamela

Pola Asuh Makan Oleh Ibu Bekerja Dengan Status Gizi Siswa Di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto

Nurul Mawaddah dan Elvin Titiani

Efektifitas Group Discussion Therapy Dalam Menurunkan Stres Remaja Di MTS Pesantren Al-Amin Mojokerto

Anndy Prastya, Respati Suryanto Drajat, Ali Haedar dan Nanik Setijowati

Hubungan Moda Transportasi Dengan Waktu Tanggap/Response Time Pada Pasien Henti Jantung Di Luar Rumah Sakit Yang Dirujuk

Ke IGD RSUD Dr. Iskak Tulungagung

Mukhammad H. Saputra, Hari Basuki N. dan Chatarina U. W. Analisis Sistem Informasi Faktor Risiko Kecelakaan Lalu Lintas

Di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto Abdul Muhith

Hubungan Kondisi Rumah Sehat Dengan Frekuensi Sesak Pada Penderita Tuberkulosis Paru

Di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Ike Prafita Sari

Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Model Asuhan Keperawatan Metode Tim Dengan Implementasinya Di Ruang Bedah Flamboyan

RSUD. Dr. Soetomo Surabaya

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

MAJAPAHIT MOJOKERTO

Jurnal

Kesehatan VOL 8 No. 2

Hlm. 1 - 79 Mojokerto September 2016 ISSN 2085 - 3793

(2)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO

Diterbitkan oleh Bagian Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto sebagai terbitan berkala yang terbit pada bulan Maret dan September menyajikan informasi dan analisis masalah-masalah kesehatan.

Kajian ini bersifat ilmiah sebagai hasil pikiran yang empiric dan teoritis. Untuk itu redaksi bersedia menerima karya ilmiah hasil penelitian, atau artikel termasuk ide-ide pengembangan di bidang kesehatan yang dihasilkan oleh dosen-dosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto. Redaksi berhak menyuntik, menyingkat dan memperbaiki karangan sejauh tidak mengubah isinya. Dilarang memperbanyak, mengutip dan menerjemahkan isi dalam jurnal ini tanpa seijin redaksi.

Pelindung

Ketua Yayasan Kesejahteraan Warga Kesehatan (YKWK)

Penasehat

Ketua Stikes Majapahit

Pemimpin Redaksi

Henry Sudiyanto, S.Kp., M.Kes.

Penyunting

Dr. Abdul Muhith, S.Kep., Ns. Arief Fardiansyah, ST., M.Kes.

Anwar Kholil, S.Pd. M.Pd.

Redaksi Pelaksana

Dwi Helynarti, S.Si., S.KM., M.Kes.

Tata Usaha/ Sirkulasi/ Iklan

Siti Khalimah, SE.

Alamat Redaksi: Kantor P2M Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Jl. Raya Jabon – Gayaman KM. 2 Gayaman Kecamatan Mojoanyar

Kabupaten Mojokerto Telp. (0321) 329915 Fax. (0321) 331736

(3)

Pengantar Redaksi

Program Indonesia sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan merupakan pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019. Berkaitan dengan hal tersebut, pada jurnal volume 8 no 2 tahun 2016 ini mengangkat beberapa topik yang berkaitan dengan arah kebijakan tersebut.

Artikel pertama yang ditulis oleh Ferilia Adiesti dengan judul faktor-faktor yang melatarbelakangi pemberian PASI dini, Faktor yang melatarbelakangi pemberian PASI dini adalah latar belakang budaya setempat yang beranggapan bahwa ASI saja tidak cukup. Alasan ini merupakan alasan utama para ibu untuk tidak memberikan ASI eksklusif. Mulai diberi PASI padahal usia bayi masih dibawah 6 bulan.

Artikel kedua oleh Asih Media Yuniarti dan Cut Intan Pamela tentang pola asuh makan oleh ibu bekerja dengan status gizi siswa di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto, menyatakan bahwa Pola makan yang baik akan mempengaruhi gizi anak, peran orang tua sangat penting dalam mengatur pola makan anak serta mengatur pola asuh. Pola asuh makan yang benar bisa diwujudkan dengan memberikan perhatian yang penuh kasih sayang pada pola makan anak.

Artikel ketiga adalah efektifitas group discussion therapy dalam menurunkan stres remaja di MTS Pesantren Al-Amin Mojokerto oleh Nurul Mawaddah dan Elvin Titiani. Memasuki lingkungan baru di pondok pesantren bagi remaja dapat menjadi sebuah stimulus yang menyebabkan munculnya berbagai permasalahan, salah satunya adalah stres. Hal ini membuat remaja harus mampu menyesuaikan diri agar dapat bertahan dan dapat menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Pondok Pesantren. Kegagalan dalam beradaptasi dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian remaja yang dapat memicu timbulnya perilaku negatif.

Artikel keempat oleh Anndy Prastya, Respati Suryanto Drajat, Ali Haedar dan Nanik Setijowati dengan judul Hubungan Moda Transportasi Dengan Waktu Tanggap/Response Time Pada Pasien Henti Jantung Di Luar Rumah Sakit Yang Dirujuk Ke IGD RSUD Dr. Iskak Tulungagung, menyatakan bahwa Henti jantung merupakan kondisi kegawatdaruratan dari jantung yang sering terjadi. Pada korban dengan henti jantung kemampuan

(4)

untuk mengoptimalkan harapan hidup pasien out of hospital cardiac arrest (OHCA). Penggunaan ambulan sangat menguntungkan untuk mengurangi angka mortalitas pasien OHCA karena memberikan pelayanan cepat dan merujuk ke rumah sakit yang tepat, serta mengurangi waktu respon.

Artikel kelima dengan judul Analisis Sistem Informasi Faktor Risiko Kecelakaan Lalu Lintas Di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto oleh Mukhammad H. Saputra, Hari Basuki N. dan Chatarina U. W. , mengangkat permasalahan tentang Peningkatan jumlah kasus kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya yang berbanding lurus dengan peningkatan masalah transportasi di Indonesia. Kota Mojokerto adalah salah satu kota dengan moblitias yang tinggi. Jumlah kecelakaan yang tercatat selama Januari hingga Februari 2016 terjadi 133 kasus kecelakaan dengan 37 korban meninggal dunia, seorang menderita luka berat, 142 korban mengalami luka ringan. Model pencegahan kecelakaan lalu lintas yang digagas oleh William Haddon Jr. memberikan gambaran bahwa pencegahan kecelakaan lalu lintas dapat dibagi menjadi 3 sekuens waktu dan 3 faktor penyebab yang digabungkan menjadi sebuah matriks, yang dikenal sebagai Haddon’s matriks.

Abdul Muhith dengan artikelnya yang berjudul hubungan kondisi rumah sehat dengan frekuensi sesak pada penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik melakukan penelitian dengan dasar bahwa di Indonesia tuberkulosis paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien tuberkulosis paru di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan China dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien tuberkulosis paru didunia.

Jurnal ini ditutup dengan artikel ketujuh oleh Ike Prafita Sari tentang hubungan pengetahuan perawat tentang model asuhan keperawatan metode tim dengan implementasinya di Ruang Bedah Flamboyan RSUD. Dr. Soetomo Surabaya. Perkembangan dan perubahan model asuhan keperawatan di Rumah Sakit di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang signifikan. Pengetahuan perawat merupakan salah satu faktor utama keberhasilan menjalankan model asuhan keperawatan yang hasil akhirnya diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang profesional.

(5)

DAFTAR ISI

Faktor – Faktor Yang Melatarbelakangi Pemberian PASI Dini

Ferilia Adiesti ... 1 Politekinik Kesehatan Majapahit Mojokerto

Pola Asuh Makan Oleh Ibu Bekerja Dengan Status Gizi Siswa Di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto

Asih Media Yuniarti dan Cut Intan Pamela ... 9 Dosen Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes Majapahit Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Stikes Majapahit

Efektifitas Group Discussion Therapy Dalam Menurunkan Stres Remaja Di MTS Pesantren Al-Amin Mojokerto

Nurul Mawaddah dan Elvin Titiani ... 21 Dosen Keperawatan Jiwa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Stikes Majapahit

Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Stikes Majapahit Hubungan Moda Transportasi Dengan Waktu Tanggap/Response Time Pada Pasien Henti Jantung Di Luar Rumah Sakit Yang Dirujuk Ke IGD RSUD Dr. Iskak Tulungagung

Anndy Prastya, Respati Suryanto Drajat, Ali Haedar

dan Nanik Setijowati ... 31 Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya

Program Studi Kedokteran Spesialis Emergensi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Program Studi Public Health Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

(6)

Analisis Sistem Informasi Faktor Risiko Kecelakaan Lalu Lintas Di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto

Mukhammad H. Saputra, Hari Basuki N. dan Chatarina U. W. .... 47 Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes Majapahit

Departemen Biostatistika Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

Hubungan Kondisi Rumah Sehat Dengan Frekuensi Sesak Pada Penderita Tuberkulosis Paru

Di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik

Abdul Muhith ... 59 Dosen Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Stikes Majapahit

Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Model Asuhan Keperawatan Metode Tim Dengan Implementasinya Di Ruang Bedah Flamboyan RSUD. Dr. Soetomo Surabaya

Ike Prafita Sari... 59 Dosen Program Studi Ners Stikes Majapahit

(7)

FAKTOR – FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI PEMBERIAN PASI DINI

FACTORS WHICH BACHGROUND LACTATION SUBSTITUTE GIVEN EARLY

Ferilia Adiesti

Politekinik Kesehatan Majapahit Mojokerto Korespondensi: f.adiesti_April1986@yahoo.co.id

Abstract

The improvement of lactation substitute usage (mother lactation substitution - PASI) for infant age less than 6 months old will be declining lactation involved. Limited knowledge, social economic and cultural social which supporting that mother's lactation is not enough for babies satisfied the baby rely on lactation substitute given early. This research aims to recognize any factors which background lactation substitute given early. Type of this research is descriptive, by using questionnaire instrument. Sample in this research are all mother who have babies 0-6 months old who give lactation substitute in Polindes Dlanggu area, Dlanggu district, Mojokerto regency as much as 20 respondents. Technique used was total sampling. Collecting data done on October 30th until November 13th, 2010.

Data analysis used in descriptive analysis by calculating frequency and describing in frequency distribution table form. The result of the research indicting that background of the factor of lactation substitute given early, are bad knowledge are about 13 respondents (65%), economy social level as high as 20 respondents (100%), and bad culture social are 13 respondents (65%). Knowledge is most important domain that formed behavior poor knowledge about lactation substitute, high level social economy and working mothers status boosted mothers to give lactation substitute early. Culture social influenced toward mother's behavior who consider her crying baby are unsatisfied baby then make mother to give early lactation substitution. A mother shall improve her knowledge time for giving lactation precisely and exactly, or health workers shall give information or consultation about exclusive lactation and lactation substitute exactly then could sustained lactation involved.

(8)

A. PENDAHULUAN

Masalah pemberian air susu ibu (ASI) masih memprihatinkan. Di Indonesia terutama di daerah perkotaan seperti Jakarta, Makasar, Surabaya, Semarang terlihat adanya penurunan dalam pemberian ASI. Pemberian ASI di daerah perkotaan berkisar 40% dikhawatirkan kejadian ini akan meluas kedaerah pedesaan (Syarif, 2008). Dari laporan Kabupaten/ Kota diketahui cakupan ASI Eksklusif di Jawa Timur tahun 2008 sebesar 44,52% meningkat dibandingkan tahun 2007 (40,77%). Namun cakupan tersebut masih jauh dari target Indonesia sehat 2010 yaitu sebesar 80%.

ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi yang dapat mencegah kematian bayi baru lahir hingga 22 persen (Roesli, 2010). WHO menganjurkan agar selama usia 0-6 bulan bayi hanya diberi ASI sebagai menu utama dan satu-satunya.) Pemberian susu formula juga sudah menjadi tren. Hal ini terbukti di Indonesia tahun 2008 bayi yang diberi susu formula pada usia dibawah 2 tahun sebesar 13% (Hatta, 2008). Hasil penelitian Efendi pada 1997 didapatkan pemberian susu botol setelah umur 2 bulan sebesar 15,8% sedangkan pada bayi umur 1 bulan sebesar 33,3%. Menurut Survey Demogrfi Kesehatan Indonesia (SDKI, 2007) cakupan ASI eksklusif menurun dari 39,5% pada tahun 2002 menjadi 32,3% pada tahun 2007 sedangkan penggunaan susu formula justru meningkat dari 16,7% pada tahun 2002 menjadi 27,9% pada tahun 2007 (Mexitalia, 2009).

Akibat yang timbul karena pemakaian susu formula terlalu dini antara lain infeksi saluran pencernaan, infeksi saluran pernafasan, resiko alergi, serangan asma, menurunkan perkembangan kognitif, obesitas, penyakit jantung, pembuluh darah, diabetes, kanker pada anak, penyakit menahun, infeksi telinga tengah serta beresiko sampai dengan kematian, terutama pada bayi yang sama sekali tidak diberikan ASI sejak lahir (Roesli, 2008).

Beberapa faktor yang melatarbelakangi pemberian PASI dini antara lain yaitu : Faktor ibu (pengetahuan, faktor sosial budaya, sosial ekonomi) Faktor bayi yaitu ketidakmampuan bayi menghisap ASI (Syarif, 2008). Faktor petugas kesehatan yaitu kurangnya pelayanan konseling laktasi, petugas kesehatan belum mendukung program pemberian ASI (Hatta, 2008). Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi pemberian PASI dini.

(9)

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah deskriptif yaitu menggambarkan atau mengidentifikasi secara sistematis mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi pemberian PASI dini. Variabel penelitian meliputi : pengetahuan, sosial ekonomi dan sosial budaya. Populasi semua ibu yang memiliki bayi usia 0 - 6 bulan yang memberikan PASI dini berjumlah 20 orang, teknik sampling total sampling. Lokasi penelitian di Polindes Dlanggu Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto tanggal 30 Oktober – 13 Nopember 2010. Instrumen yang digunakan kuisioner tentang pengetahuan, sosial budaya dan sosial ekonomi. Analisis dengan distribusi frekuensi.

C. HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tentang PASI

No. Pengetahuan Jumlah

Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Sangat baik 0 0

2. Baik 1 5

3. Tidak baik 13 65

4. Sangat tidak baik 6 30

Total 20 100

Dari tabel 1 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden mempunyai pengetahuan tentang PASI tidak baik

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sosial Ekonomi

No. Sosial Ekonomi Jumlah

Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Tinggi (> Rp. 641.000) 20 100 2. Rendah (< Rp. 641.000) 0 0

Total 20 100

Dari tabel 2 menunjukkan bahwa semua responden mempunyai penghasilan yang tinggi (>Rp. 641.000,-).

(10)

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sosial Budaya

No. Sosial Budaya Jumlah

Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Sangat baik 0 0

2. Baik 7 35

3. Tidak baik 13 65

4. Sangat tidak baik 0 0

Total 20 100

Dari tabel 3 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden mempunyai sosial budaya tidak baik sedangkan sisanya baik.

D. PEMBAHASAN

1. Tingkat Pengetahuan yang Melatarbelakangi Pemberian PASI dini

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan tidak baik sebanyak 13 orang (65%). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden tidak mengetahui tentang ASI eksklusif, keistimewaan ASI, cara menyimpan ASI peras, usia pemberian PASI, tujuan dan dampak pemberian PASI, sedangkan yang sudah diketahui oleh ibu tentang definisi ASI dan PASI. Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi dan semakin luas pula pengetahuannya, semakin bertambah usia seseorang akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik, pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi di masa lalu, majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media masa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru, kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk sehingga akan menambah pengetahuan seseorang dan status ekonomi seseorang akan menentukan persediaannya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan

(11)

mempengaruhi pengetahuan. . Rendahnya pengetahuan ibu disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan responden, tentang ASI eksklusif dan keistimewaanya, dampak PASI dini, kurang aktifnya untuk mencari informasi, adanya kepercayaan terhadap mitos, pengalaman responden yang belum cukup, lingkungan responden berada dipedesaan Faktor lain yang mempengaruhi pengetahuan adalah letak atau posisi tempat tinggal. Pengetahuan seseorang akan lebih baik jika berada diperkotaan dari pada dipedesaan. Karena diperkotaan mudah mendapatkan informasi. Berdasarkan hasil penelitian karena daerahnya masih daerah pedesaan, berupa pegunungan, jangkauan transportasi untuk Puskesmas ± 7 km, sarana transportasi yang masih sulit, berupa jalan makadam, frekwensi kunjungan petugas Puskesmas 1 kali dalam satu bulan, sumber informasinya terbatas. Hal itu sesuai pendapat Hurlock (2002) bahwa pengetahuan penduduk pedesaan lebih rendah dibandingkan penduduk perkotaan.

2. Sosial Ekonomi yang Melatarbelakangi Pemberian PASI dini Berdasarkan hasil penelitian, keadaan sosial ekonomi responden dikategorikan tinggi yaitu sebanyak 20 ibu (100%), antara Rp. 700.000,- - Rp.1.700.000,-. Keadaan sosial ekonomi yang mayoritas tinggi ini disebabkan karena ibu yang ikut menunjang penghasilan keluarga dengan cara bekerja. Sebagian besar responden 15 ibu (75%) bekerja menjadi buruh sehingga menuntut responden untuk lebih banyak diluar rumah, maka cenderung memiliki waktu yang sedikit untuk menyusui bayinya akibat kesibukan bekerja. Menurut Sugini Syarif (2008) ibu yang mempunyai sosial ekonomi yang tinggi cenderung memberikan PASI sejak dini pada bayi sedangkan ibu yang mempunyai sosial ekonomi rendah mempunyai peluang 4,6 kali untuk memberikan ASI dibanding ibu dengan sosial ekonomi tinggi. Karena pada ibu yang bekerja kesempatan untuk memberikan ASI menjadi berkurang hal ini yang menyebabkan pemberian PASI dini dilakukan.

Ibu yang bekerja selalu menjaga penampilannya dan ini sesuai yang disampaikan oleh Rosita (2008) adanya mitos bahwa menyusui dapat membuat payudara kendur dan tidak bagus lagi sehingga berpengaruh pada penampilan seseorang. Hal tersebut juga mendorong pemberian PASI dini pada bayi. Karena sebagian besar ibu yang memberikan PASI dini adalah ibu yang bekerja. Sehingga apabila ibu

(12)

bekerja maka ibu akan selalu menjaga penampilannya akibatnya tidak akan memberikan ASI eksklusif pada bayi. Sehingga PASI terlalu dini diberikan untuk mengganti ASI eksklusif. Dengan demikian bertambahnya pendapatan keluarga atau status ekonomi yang tinggi serta lapangan pekerjaan bagi perempuan mendorong ibu untuk memberikan PASI dini.

3. Sosial Budaya yang Melatarbelakangi Pemberian PASI Dini Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sosial budaya ibu tidak baik sebanyak 13 ibu (65%). Menurut ibu jika bayi sudah sering menangis ketika sedang diberi ASI, maka itulah saatnya bayi sudah harus diberikan makanan tambahan dengan tujuan sebagai penenang agar bayi tidak menangis dan tumbuh menjadi besar, dan beranggapan bahwa anaknya tidak cukup kenyang dan rewel bila diberi ASI saja. Hal ini sesuai dengan pendapat (Roesli, 2008), bahwa faktor yang melatarbelakangi pemberian PASI dini adalah latar belakang budaya setempat yang beranggapan bahwa ASI saja tidak cukup. Alasan ini merupakan alasan utama para ibu untuk tidak memberikan ASI eksklusif. Mulai diberi PASI padahal usia bayi masih dibawah 6 bulan. Dari hasil penelitian sebagian besar responden memiliki anak yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 14 (70%). Jenis kelamin dari bayi juga dapat dijadikan tolak ukur dimana ibu banyak beranggapan bahwa bayi laki-laki lebih banyak menyusu dari pada bayi perempuan karena bayi laki-laki lebih banyak kebutuhannya daripada perempuan dan banyak ibu yang memberikan susu formula dengan alasan bayinya belum kenyang dan perlu tambahan susu formula. (Rosita, 2008). Proporsi responden yang memiliki bayi laki-laki lebih besar, sehingga persepsi sebagian besar responden bahwa jenis kelamin bayi laki-laki perlu untuk memberikan tambahan PASI (susu formula). Hal ini melatarbelakangi pemberian PASI dini di wilayah Polindes Krosok Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung.

E. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan

Sesuai dengan hasil penelitian dan pembahasan dari penelitian yang didapat di Wilayah Polindes Krosok Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung mengenai faktor-faktor yang

(13)

melatarbelakangi pemberian PASI dini yaitu faktor pengetahuan, sosial ekonomi dan sosial budaya didapatkan kesimpulan sebagai berikut : a. Bahwa lebih 50% ibu yang memberikan PASI dini mempunyai

pengetahuan yang tidak baik tentang PASI.

b. Bahwa semua ibu yang memberikan PASI dini mempunyai sosial ekonomi yang tinggi.

c. Sebagian besar ibu yang memberikan PASI dini mempunyai sosial budaya yang tidak baik.

2. Saran

a. Bagi Tempat Penelitian, diharapkan dapat meningkatkan pelayanan konseling dan menggalakkan program ASI eksklusif melalui peran serta keluarga sehingga dapat meningkatkan pemberian ASI.

b. Bagi Institusi Pendidikan, hendaknya memikirkan atau melakukan kajian yang inovatif untuk meningkatkan pencapaian target ASI eksklusif di masyarakat misalnya menciptakan cara yang efektif untuk memberikan ASI eksklusif bagi ibu yang bekerja.

c. Bagi Responden, diharapkan aktif mengikuti penyuluhan, untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang waktu pemberian PASI yang benar dan tepat serta resiko pemberian PASI dini sehingga tidak memberikan PASI dini pada bayinya.

d. Bagi peneliti selanjutnya, selanjutnya hendaknya meneliti tentang faktor karakteristik ibu dan lingkungan yang mempengaruhi pemberian PASI dini pada bayi

e. Diharapkan setiap tenaga kesehatan (Bidan) memberikan penyuluhan atau informasi tentang ASI eksklusif, keistimewaan ASI, cara menyimpan ASI peras, usia berapa PASI boleh diberikan, tujuan dan dampak pemberian PASI yang disertai dengan brosur-brosur agar mereka lebih mengerti sehingga dapat menunjang cakupan ASI

DAFTAR PUSTAKA

Akib, Arwin. (2008). Research Bayi Awal Kehidupan. From www.I-comers.com

Hatta, Mutiah. (2008). Research Air Susu Ibu Penting. From www.gizi.com Hidayat, Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Kebidanan Teknis

(14)

Huliana, Mellyna. (2004). Perawatan Ibu Pasca Melahirkan. Jakarta. Puspa Swara.

Hurlock (2002).Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan, Retrieved. At 30 Oktober 2010.

Kelly, Paula. (2002). Bayi Anda Tahun Pertama. Jakarta. Arcan.

Notoadmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta. PT. Rineka Cipta.

Notoadmodjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. PT. Rineka Cipta .

Roesli, Utami. (2005). Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta. Trubus Agriwidiya. Roesli, Utami. (2008). Inisiasi Menyusui Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta

Pustaka budaya

Roesli, Utami. (2010). Pentingnya ASI Untuk Bayi. Majalah IBI Surabaya Solihin. (2005). Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta. FKUI.

Tobing, (2004). Research Langkah-langkah Mendukung Pemberian ASI, Retrieved et September 2010

www.Bascom world.com . (2010). Retrieved et 17 Oktober 2010

www.canbyz.com. (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan. Retrieved et 30 Oktober 2010

www.UMK.com. Perda Jatim (2010). Retrieved. At September

www.world press.com. (2010). Serba-serbi Penyimpanan ASI Peras. Retrieved at Oktober

(15)

POLA ASUH MAKAN OLEH IBU BEKERJA DENGAN STATUS GIZI SISWA DI SDN NGRAME KECAMATAN PUNGGING

KABUPATEN MOJOKERTO Asih Media Yuniarti1 dan Cut Intan Pamela2

1) Dosen Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes Majapahit

korespondensi : art.media79@gmail.com

2) Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes Majapahit

korespondensi :cutintanpamela24@gmail.com Abstrak

Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam bidang gizi yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Secara nasional prevalensi status gizi pada anak umur 5-12 tahun pada kategori normal 70%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola asuh makan oleh ibu yang bekerja dengan status gizi pada siswa di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto. Penelitian ini merupakan study Analitik, dengan rancang bangun cross sectional. Lokasi penelitian ini di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto dan dilakukan mulai bulan April hingga Agustus 2016. Sampel penelitian berjumlah 31 siswa dan diambil dengan teknik Proportionate Stratified Random Sampling. Data pola asuh makan diambil dengan menggunakan kuesioner sedangkan status gizi didapatkan dengan melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan kemudian disesuaikan dengan usia. Data dianalisis menggunakan uji Rank Spearman. Hasil penelitian didapatkan bahwa bahwa 57,9% dari 19 anak yang mendapat pola asuh makan cukup baik memiliki status gizi normal, nilai probabilitas = 0,032 (Rs = 0,386 ; P < 0,05), sehingga H1

diterima yang artinya terdapat hubungan antara pola asuh makan oleh ibu bekerja dengan status gizi pada siswa di SDN Ngrame. Pola makan yang baik akan mempengaruhi gizi anak, peran orang tua sangat penting dalam mengatur pola makan anak serta mengatur pola asuh. Pola asuh makan yang benar bisa diwujudkan dengan memberikan perhatian yang penuh kasih sayang pada pola makan anak.

(16)

Abstract

Indonesia still faces major challenges in the field of nutrition, namely malnutrition and over nutrition. Nationally, the prevalence of nutritional status in children aged 5-12 years in the category of normal 70%. The purpose of this study was to determine the relationship of parenting style of child-feeding by worked mothers with nutritional status of students in SDN Ngrame Pungging District of Mojokerto. This research was an analytical study with cross sectional design. The location of this study in SDN Ngrame Pungging District of Mojokerto and carried out from April to August 2016. The samples was include 31 students and taken with Proportionate Stratified Random Sampling technique. Data were taken using a questionnaire to parenting stlye of child-feeding while nutritional status was obtained by measuring the weight and height then adjusted for age. Data was analyze with Rank Spearman test. The results showed that 57,9% of 19 respondents who have a good parenting style of child-feeding had normal nutritional status, obtained probability value = 0,032 (Rs = 0,386 ; P < 0,05) so that H1 is accepted, which means there was a relationship

between parenting style of child-feeding by worked mother with child nutritional status of students at SDN Ngrame. A good diet will affect children's nutrition, the role of parents is very important in regulating the diet of children and organize parenting. Correct diet parenting can be reached by gave attention to dietary pattern.

Keyword : Parenting style of child-feeding, Nutrional Status, children’s nutritions

A. PENDAHULUAN

Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam bidang gizi yaitu gizi kurang dan gizi lebih, status gizi anak sekolah dasar merupakan gambaran apa yang dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama. Masalah gizi dapat berupa masalah gizi makro dan masalah gizi mikro. Salah satu kelompok masyarakat yang memerlukan perhatian dalam konsumsi makanan dan zat gizi adalah anak usia sekolah (Limpeleh, 2014).

Anak yang berusia sekolah (6-12 tahun) jika mendapatkan asupan gizi yang baik akan mengalami tumbuh kembang yang optimal. Sebaliknya anak-anak yang mengalami kecacatan permanen akibat tidak mendapatkan asupan gizi yang memadai seharusnya bisa dicegah (Soetjiningsih, 2012).

(17)

Taras (2005) dalam Pahlevi (2011) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan pada masa sekolah akan mengalami proses percepatan pada umur 10-12 tahun, dimana pertambahan berat badan per tahunnya sampai 2,5kg.

Status gizi anak sekolah diukur berdasarkan umur (U), berat badan (BB), dan tinggi badan (TB). Berdasarkan standar baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan berdasarkan nilai Zscore TB/U dan IMT/U (Riskesdas, 2013). Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2013). Status gizi sangat dipengaruhi oleh pola makan seseorang. Pola makan (dietary pattern) adalah cara yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial. Pola makan pada anak usia sekolah dasar tidak bisa lepas dari peran ibu dalam melakukan pola asuh makan (Mustika, 2015).

Menurut Jelliffe dalam Alatas (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi terdiri dari penyebab langsung yaitu asupan makanan serta penyakit infeksi yang mungkin diderita, dan tidak langsung yaitu pola pengasuhan anak, ketahanan pangan keluarga serta pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan. Pola pengasuhan berhubungan dengan status gizi anak adalah pola asuh makan.

Menurut data Riskesdas tahun 2013, secara nasional prevalensi status gizi pada anak umur 5-12 tahun pada kurus menurut (IMT/U) sebesar 11,2%, terdiri dari 4% sangat kurus dan 7,2% kurus. Prevalensi pendek pada anak umur 5-12 tahun secara nasional adalah 30,7 persen (12,3% sangat pendek dan 18,4% pendek). Sedangkan di Jawa timur prevalensi kurus menurut (IMT/U) pada anak umur 5-12 tahun adalah <11,2% yang terdiri dari kurus <7,2% dan sangat kurus <4%, dan prevalensi pendek pada anak umur 5-12 tahun adalah <30,7 persen yang terdiri dari <12,3% sangat pendek dan <18,4% pendek.

Sebuah studi anak pada dua generasi mengatakan bahwa saat ini pada anak cenderung terjadi peningkatan hampir 50% menjadi obesitas apabila ibunya bekerja. Ibu yang tidak bekerja relatif akan memiliki waktu yang lebih banyak untuk berinteraksi dengan anak-anaknya. Ibu yang tidak bekerja dapat mengatur pola makan anak-anak mereka, sehingga anak-anak mendapat makanan yang sehat dan bergizi. (Sari, 2011).

(18)

SDN Ngrame bertempat di jalan raya Mojosari-Krian, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto. Daerah ini merupakan wilayah industri, pekerjaan masyarakat sekitar yaitu sebagai pekerja pabrik. Perempuan yang bekerja di pabrik memiliki waktu yang terbatas untuk keluarganya terutama untuk memperhatikan anak-anaknya dalam menyediakan makanan.

Berdasar studi pendahuluan yang dilakukan pada 07 Mei 2016 terhadap 10 siswa yang ibunya bekerja terdapat 2 siswa mengalami gizi kurang bila dilihat secara fisik.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pola asuh makan oleh ibu bekerja dengan status gizi siswa di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika kolerasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2012).

Penelitian ini dilaksanakan di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto pada bulan April - Agustus 2016. Populasinya seluruh siswa kelas 4, 5, dan 6 SDN Ngrame yang ibunya bekerja di perusahaan sebanyak 34 anak. Teknik pengambilan sampel yang digunakan proportionate stratified random sampling dengan besar sampel 31 anak.

Variabel Independen dalam penelitian ini adalah pola asuh makan ibu bekerja sedangkan variabel dependennya adalah status gizi siswa. Hipotesis pada penelitian ini adalah Ada hubungan antara pola asuh makan oleh ibu yang bekerja dengan status gizi pada siswa di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto.

Data pola asuh makan pada ibu bekerja diperoleh melalui kuisioner sedangkan untuk mengetahui status gizi siswa dilakukan cara melakukan pengukuran langsung terhadap berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang kemudian disesuaikan dengan usia. Analisis data yang digunakan uji Spearman Rank.

(19)

C. HASIL PENELITIAN 1. Data Umum

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden

Karakteristik n % Total (%) Kelas a. 4 9 29 31 b. 5 13 42 (100) c. 6 9 29 Jenis Kelamin a. Laki-Laki 15 48,4 31 b. Perempuan 16 51,6 (100) Pengasuh di Rumah a. Ada 21 67,8 31 b. Tidak Ada 10 32,2 (100) Pendidikan Ibu a. SD 2 6,5 31 b. SMP 14 45,2 (100) c. SMA 15 48,4 2. Data Khusus

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pola Asuh Makan oleh Ibu Bekerja dan Status Gizi pada Siswa di SDN Ngrame

Kriteria n % Total

(%) Pola Asuh Makan

oleh Ibu Bekerja

a. Baik 15 16,1 31

b. Cukup 19 61,3 (100)

c. Kurang 7 22,6

Status Gizi Siswa

a. Normal 17 54,8 31

b. Perempuan 11 38,7 (100)

(20)

Tabel 3. Tabulasi Silang Hubungan Pola Asuh Makan oleh Ibu Bekerja dengan Status Gizi Siswa di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto

Pola Asuh Makan Oleh Ibu Bekerja

Status Gizi Total

Normal Gemuk Kurus

n % n % n % n % Baik Cukup baik Kurang baik 4 11 2 80 57,9 28,6 1 8 3 20 42,1 42,8 0 0 2 0 0 28,6 5 19 7 100 100 100 P value = 0,032 < α = 0,05 D. PEMBAHASAN

1. Pola Asuh Makan oleh Ibu Bekerja

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendapat pola asuh makan yang cukup baik oleh ibu bekerja. Penelitian McIntosh dan Bauer (2006) dalam Mustika (2015), menunjukkan bahwa ibu yang tidak bekerja lebih mampu untuk mengatur pola makan anak mereka, sehingga anak-anak mendapat makanan yang sehat dan bergizi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mustika (2015), juga menunjukkan bahwa pola asuh makan ibu yang tidak bekerja lebih baik dari pola asuh makan oleh ibu bekerja. Namun demikian, untuk dapat berinteraksi dengan anak, tidak dilihat dari berapa lama waktu yang dimiliki ibu, akan tetapi lebih pada kualitas waktunya.

Pola asuh pemberian makan adalah praktik pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua atau pengasuh kepada anaknya berkaitan dengan pemberian makanan dengan tujuan memenuhi kebutuhan gizi kelangsungan hidup, bertumbuh dan berkembang (Emiralda, 2006). Salah satu hambatan ibu bekerja adalah hambatan sosial yang menyatakan kesulitan dalam membagi waktu untuk keluarga (Handayani dan Artini, 2009).

Ibu yang bekerja akan memiliki keterbatasan waktu untuk berinteraksi dengan anak-anaknya karena sebagian besar waktunya dihabiskan di luar rumah sehingga dapat mempengaruhi pola asuh makan pada anak mereka.

Hasil wawancara berdasar lembar kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendapat nilai baik pada poin

(21)

pernyataan yang berkaitan dengan pemberian makanan oleh ibu mereka, hal ini dikarenakan ibu mereka tetap menyediakan dan menyusun menu makanan sendiri di rumah sebelum berangkat bekerja, hanya saja kurang dalam melakukan pengawasan mengenai apa yang dikonsumsi oleh anak ketika ibu mereka tidak di rumah.

2. Status Gizi pada Siswa

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki status gizi normal. Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Status ini merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004 dalam Alatas 2011). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Muliadi, 2007 dalam Noviyanti, 2016). Status gizi optimal adalah suatu keadaan dimana terdapat keseimbangan antara asupan dengan kebutuhan zat gizi yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari (Soekirman, 2000 dalam Mustika 2015).

Responden dalam penelitian ini sebagian besar responden yaitu 67,8% (21 anak) tinggal bersama pengasuh (nenek) ketika ibu mereka bekerja di luar rumah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak yang tinggal dengan pengasuh memiliki status gizi normal. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharsa (2014) yang menyatakan bahwa status gizi anak oleh ibu bekerja terdapat peluang 2 kalil lebih besar untuk berstatus gizi lebih. Status pekerjaan ibu dapat mempengaruhi perilaku makan pada anak, Ibu bekerja sebagian waktunya akan tersita, sehingga perannya dalam melakukan pengawasan dapat digantikan oleh orang lain, hal tersebut dapat mempengaruhi terhadap status gizi anak.

Pendidikan ibu juga berkaitan status gizi anak dalam penelitian ini, sebagian besar responden yang memiliki ibu dengan pendidikan terakhir SMP status gizinya adalah gemuk. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mustika (2015) terkait pola asuh makan antara ibu bekerja dan tidak bekerja dan faktor yang mempengaruhi status gizi anak usia sekolah dasar, yang menyatakan bahwa pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak usia sekolah dasar. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Galani (2014)

(22)

yang menyatakan bahwa pendidikan ibu memiliki pengaruh terhadap status gizi anak. Hasil ini dapat dibuktikan dari hasil wawancara pada poin penyataan pemberian makanan hampir setengah responden oleh ibu yang memiliki pendidikan SMA dalam waktu tertentu ibu mereka membuatkan makanan tambahan seperti bubur kacang hijau, kolak pisang, dll.

Suhardjo (1986) dalam Mustika (2015) status gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga, pekerjaan ayah, status pekerjaan ibu, besar keluarga. Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga, penyusunan makan keluarga dan perawatan kesehatan anak. Himawan (2006) dalam Mustika (2015), menyatakan bahwa ibu yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah dalam menerima berbagai informasi gizi dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, hal ini akan menambah wawasan pengetahuan ibu tentang gizi. Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik dan pengalaman yang lebih banyak dalam menyediakan makanan akan memiliki cara yang bervariasi dalam menyajikan makanan bagi anaknya, sehingga konsumsi makanan yang diperlukan keluarga lebih terjamin dan kesehatan keluarga menjadi lebih baik (Mardiana, 2006 dalam Mustika 2015).

Pendidikan yang dimiliki ibu merupakan bekal yang baik untuk pemenuhan gizi dalam keluarga. Pengetahuan mengenai gizi yang baik dapat mendorong ibu lebih memperhatikan asupan makanan yang dikonsumsi, sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi anak. Pemahaman mengenai gizi dapat mendorong ibu lebih bervariasi dalam menyediakan makanan. Penelitian ini menunjukkan berdasar hasil wawancara sebagian besar responden mengkonsumsi makanan yang berbeda tiap harinya dengan menu yang bervariasi, dan juga tidak jarang ibu mereka menyediakan makanan jajanan dan buah-buahan di rumah.

3. Hubungan Pola Asuh Makan oleh Ibu Bekerja dengan Status Gizi pada Siswa

Tabel 3 diatas memperlihatkan bahwa sebagian besar siswa yang mendapat pola asuh makan cukup baik memiliki status gizi normal. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa pola asuh makan berhubungan positif dan signifikan dengan status gizi siswa

(23)

(r = 0,386 ; P < 0,05). Kondisi ini bermakna bahwa semakin baik skor pola asuh makan maka semakin baik pula status gizi siswa.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Cica Yulia (2008) terkait pola asuh makan dan kesehatan yang di berikan oleh para wanita pemetik teh di kebun Malabar, yang menyatakan bahwa pola asuh makan berhubungan positif dengan status gizi anak. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kumala (2013), bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pola pemberian makan dengan status gizi anak.

Moehji (2003) dalam Leliana (2008) menyebutkan ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi atau memperburuk keadaan gizi pada anak usia sekolah dasar. Faktor yang pertama yaitu pada usia ini anak sudah dapat memilih dan menentukan makanan yang disukai atau tidak, dalam hal ini seringkali anak memilih makanan yang salah, terlebih jika orangtua tidak memberi petunjuk atau bimbingan pada anak. Faktor yang kedua adalah kebiasaan anak untuk jajan. Jika jajanan yang dibeli merupakan makanan yang bersih dan bergizi tentulah tidak menjadi masalah. Namun pada kenyataannya jajanan yang mereka beli merupakan makanan yang disukai saja. Makanan yang manis dan gurih menjadi pilihan anak-anak seusia ini pada umumnya. Faktor terakhir yang dapat memperburuk keadaan gizi anak adalah malas makan di rumah dengan alasan sudah terlalu lelah bermain di sekolah.

Sekarang banyak dijumpai anak yang jarang makan bersama keluarga dikarenakan orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sehingga waktu makan bersama keluarga tidak rutin dilaksanakan. Akibatnya status gizi anaknya tidak terkontrol dengan baik (Khomsan, 2010). Pola makan yang baik akan mempengaruhi gizi anak, peran orang tua sangat penting dalam mengatur pola makan anak serta mengatur pola asuh. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang penuh kasih sayang pada anak, memberinya waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga.

Dampak dari pola asuh makan yang salah adalah anak menjadi manja, gizi buruk, anak tidak bisa menentukan makanan yang terbaik untuk dirinya, dan terganggunya perkembangan anak.

(24)

Sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan bahwa pola asuh makan yang salah mengakibatkan anak mempunyai perilaku makan yang salah (Georgy, 2010 dalam Astuti 2014). Orang tua yang salah dalam memberikan pola asuh yang baik akan mengakibatkan anak obesitas (Hughes, 2008 Astuti 2014). Orang tua yang memberikan pola asuh makan yang salah maka akan menyebabkan gizi kurang pada anak (Astuti, 2014).

Soekirman dalam Mustika (2015) menyatakan bahwa ibu yang bekerja tidak dapat mengatur pola makan anak, membiarkan anak mereka makan makanan yang tidak sehat, sehingga akan berpengaruh terhadap kesehatan anak-anak mereka.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang memiliki status gizi gemuk dan kurus disebabkan karena mendapat pola asuh makan yang cukup baik dan kurang baik. Hasil ini bila dilihat berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu mereka tidak mengontrol makanan apa saja yang mereka konsumsi. Ibu mereka menghidangkan menu makanan di rumah, namun tidak mengawasi dan memantau makanan apa saja yang mereka konsumsi karena keterbatasan waktu yang dimiliki ibu. Hampir seluruh responden disediakan sarapan pagi dan dibawakan bekal oleh ibu mereka, namun ibu juga memberikan uang saku dengan memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak terkait apa yang mereka beli di sekolah. Secara tidak langsung hal ini dapat mempengaruhi status gizi anak.

E. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan

Pola asuh makan oleh ibu bekerja pada siswa di SDN Ngrame sebagian besar adalah cukup baik dan sebagian besar berstatus gizi normal. Terdapat hubungan antara pola asuh makan oleh ibu bekerja dengan status gizi pada siswa di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto.

2. Saran

Pihak sekolah diharapkan rutin memantau perkembangan status gizi siswa sesuai dengan usia mereka melalui kegiatan Upaya Kesehatan Sekolah (UKS), menghimbau kepada siswa untuk selalu sarapan pagi di rumah sebelum berangkat sekolah. Diharapkan kepada

(25)

orang tua terutama pada ibu bekerja agar tetap bisa memperhatikan perilaku makan anak lebih selektif dalam memberikan uang saku dan memantau apa saja yang dibeli oleh anak.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. (2013). Penilaian Status Gizi Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Alatas, S. S (2009). Status Gizi Anak Usia Sekolah 97-12 Tahun) dan Hubungannya dengan Tingkat Asupan Kalsium Harian di Yayasan Kampungkids Pejaten Jakarta Selatan Tahun 2009. Universitas Indonesia.

Astuti, W. T. (2014). Hubungan Pola Asuh Pemberian Makan dan Perilaku Makan Anak dengan Kejadian Obesitas pada Anak Prasekolah Di Kota Magelang. Tesis. Uneversitas Gadjah Mada.

Khomsan, A. (2010). Teknik pengukuran pengetahuan gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Kumala, M. (2013). Hubungan Pola Pemberian Makan dengan Status Gizi Anak Usia Toddler (1-3 Tahun) di Posyandu Kelurahan Sidomulyo Godean Sleman. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah.

Limpeleh, F. V. (2015). Hubungan Antara Asupan Energi Dengan Status Gizi Anak Usia Sekolah Di Kompleks Pasar 45 Kota Manado. fkm.unsrat.ac.id/wp-content/uploads/2015/02/JURNAL-FITRI-1.pdf.

Leiliana, Ito. (2008). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Suplemen Makanan pada Anak Sekolah kelas IV dan V SD Islam Al-Husna Bekasi Selatan Tahun 2008. Skripsi. FKM UI.

Mustika, T. D. (2015). Pola Asuh Makan Antara Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja dan Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Usia Sekolah Dasar (Kasus Di Desa Tingkis, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban).e-journal Volume 4, No 1, Tahun 2015, Edisi Yudisium Maret hal 162-166.

Notoadmodjo, S. (2012). Metodologi Pneleitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Noviyanti, dkk. (2016). Hubungan Status Gizi Terhadap Usia Menarche Siswi Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Kismoyoso Ngemplak Boyolali. “KOSALA” JIK. Vol. 4 No. 1 Maret 2016.

(26)

Pahlevi, A. E. (2012). “Determinan Status Gizi pada Siswa Sekolah Dasar”. Jurnal Kesehatan Masyarakat. KEMAS 7 (2) (2012) 122-126. http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas diakses pada 27 April 2016

Riskesdas. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Soetjiningsih. (2012). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC.

Suharsa dan Sahnaz. (2014). Status Gizi Lebih dan Faktor-faktor lain yang Berhubungan pada Siswa Sekolah Dasar Islam Tirtayasa Kelas IV dan V di Kota Serang Tahun 2014. Universitas Mathlaul Anwar.

(27)

EFEKTIFITAS GROUP DISCUSSION THERAPY DALAM

MENURUNKAN STRES REMAJA DI MTS PESANTREN AL – AMIN MOJOKERTO

Nurul Mawaddah1 dan Elvin Titiani2

1) Dosen Keperawatan Jiwa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan

Stikes Majapahit

2) Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Stikes Majapahit

Abstrak

Memasuki lingkungan baru di pondok pesantren bagi remaja dapat menjadi sebuah stimulus yang menyebabkan munculnya berbagai permasalahan, salah satunya adalah stres. Hal ini membuat remaja harus mampu menyesuaikan diri agar dapat bertahan dan dapat menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Pondok Pesantren. Kegagalan dalam beradaptasi dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian remaja yang dapat memicu timbulnya perilaku negatif. Pemberian Group Discussion Therapy digunakan untuk menurunkan stres dengan memberi pemahaman tentang masalah yang dihadapi remaja melalui kegiatan kelompok untuk membantu pemecahan masalah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas group discussion therapy terhadap stres remaja di MTs. Pesantren Al – Amin Mojokerto. Desain penelitian menggunakan quasi eksperimental pre-post test with control group. Teknik pengambilan sampel menggunakan Simple Random Sampling dengan jumlah sampel 22 remaja yang mengalami stress yang terdiri dari 11 remaja diberikan group discussion therapy sebanyak 3 sesi dengan durasi 90 menit setiap sesinya dan 11 remaja sebagai kontrol. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah Perceived Scale Stress. Pengambilan data dilakukan sebelum dan sesudah pemberian terapi kemudian membandingkan hasil antara kedua kelompok. Hasil analisis statistik menunjukkan penurunan skor stres pada kelompok remaja yang mendapatkan group discussion therapy lebih tinggi secara bermakna (p-value < 0,05) dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kata Kunci : Stres, remaja, group discussion therapy

(28)

Abstract

Entering the new environment at the boarding school for adolescents can become a stimulus that causes a variety of problems, one of which is stress. This makes the adolescents should be able to adapt in order to survive and be able to complete his education at the School boarding school. Failure to adapt could affect the development of adolescent personality that can lead to negative behaviors. Giving Discussion Group Therapy is used to reduce stress by giving an understanding of the issues facing youth through group activities to help solving the problem. This study aims to determine the effectiveness of therapy group discussion on adolescents stress in MTs. Pesantren Al - Amin Mojokerto. Quasi experimental study design using pre-post test with control group. The sampling technique was proportionate stratified random sampling and found the number of respondents 22 adolescents who experience stress consisted of 11 adolescents are given as many as three focus group therapy sessions with a duration of 90 minutes per session and 11 adolescents as a control. The instrument used in this study is the Perceived Stress Scale. Data were collected before and after therapy and then compare the results between the two groups. Statistical analysis showed a decrease in stress scores in the group of adolescents who received therapy focus group was significantly higher (p-value <0.05) compared with the control group.

Keywords : Group discussion therapy, stress, adolescents.

A. PENDAHULUAN

Sekolah pondok pesantren merupakan salah satu jenis pondok pesantren modern yang menggabungkan pengajaran agama dengan pengetahuan umum dan menggunakan sistem pengajaran modern dengan jadwal yang teratur. Kewajiban untuk tinggal di pondok pesantren menuntut remaja santri untuk menyesuaikan diri terhadap segala aktivitas, budaya dan kebiasaan yang ada di lingkungan pesantren. Memasuki lingkungan baru bagi remaja dapat menjadi sebuah stimulus yang menyebabkan munculnya berbagai permasalahan pada masa awal sekolah, salah satunya adalah stres. Hal ini membuat remaja santri harus mampu menyesuaikan diri agar dapat bertahan dan dapat menyelesaikan pendidikannya di lingkungan Pondok Pesantren.

(29)

Stres merupakan gangguan pada tubuh dan pikiran yang di sebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, baik di pengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan (Lestari, 2015). Menurut Hawari (2009) stres dapat disebabkan karena faktor biologis, faktor psikologis dan faktor lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal individu.

Stres yang terjadi pada remaja santri di lingkungan pesantren dapat disebabkan karena latar belakang yang berbeda, baik daerah asal, ekonomi, bahasa, serta tingkatan umur terutama santri yang berusia remaja. Lingkungan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan lingkungan yang ditemui santri sebelumnya. (Pritaningrum & Hendriani, 2013). Keadaan di asrama dengan peraturan dan kondisi yang berbeda dengan di rumah dapat menjadi sumber tekanan (stressor) sehingga dapat menyebabkan stres. Akibat buruk stres adalah kelelahan hingga mengakibatkan turunnya produktivitas dalam belajar maupun aktivitas pribadi (Pritaningrum & Hendriani, 2013).

Santri baru di Pondok Pesantren Al –Amin Mojokerto sebagian besar masih berada pada tahap remaja awal yang menempuh pendidikan di MTs. Pesantren Al –Amin Mojokerto. Pengurus sekolah pesantren ini menjelaskan bahwa masih banyak santri yang mengalami masalah dalam penyesuaian diri terutama pada tahun pertama, sehingga hampir setiap tahun selalu ada santri yang keluar sebelum lulus atau tetap bertahan dalam kondisi terpaksa sehingga santri menunjukkan perilaku negatif dan prestasi akademik yang rendah. Hal ini sesuai dengan hasil studi Yuniar dkk. (2005) yang menunjukkan bahwa setiap tahunnya 5-10% dari santri baru di Pondok Pesantren Modern mengalami masalah dalam melakukan proses penyesuaian diri, seperti tidak mampu mengikuti pelajaran, tidak bisa tinggal di asrama karena tidak bisa hidup terpisah dengan orang tua, melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan pondok dan sebagainya.

Group Discussion Therapy (GDT) merupakan salah satu intervensi dalam menejemen stres yang dapat diberikan pada remaja santri dengan tujuan untuk meningkatkan koping individu melalui pendekatan kelompok. Group Discussion Therapy ini dikembangkan dari konsep teori Group Therapy dan Stress Management (Chinaveh, 2013). Group therapy adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi dalam pemecahan masalah interpersonal (Yosep, 2014) serta

(30)

untuk mendapatkan dukungan dari teman sebaya (Muhith, 2015). Hasil studi yang dilakukan oleh Prawitasari (2009) menunjukkan bahwa diskusi kelompok dapat menurunkan stres santri di pondok pesantren. Selain itu studi yang dilakukan oleh Chinaveh (2013) menunjukkan bahwa intervensi Stress Management yang dilakukan secara kelompok dapat menurunkan level stres dan meningkatkan respon koping remaja di Iranian. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas pemberian Group Discussion Therapy terhadap stres remaja santri di MTs. Pesantren Al-Amin Mojokerto.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimental dengan pendekatan pre-post test with control group. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja santri di MTs. Pesantren Al Amin Mojokerto kelas 7 dengan kriteria bertempat tinggal di pondok dan mendapatkan skor stres PSS diatas 30 (≥ 60%) yaitu diperoleh sebanyak 22 remaja. Sampel diambil dengan teknik Simple Random Sampling yang dibagi menjadi 2 kelompok, 11 remaja sebagai kelompok intervensi dan 11 remaja sebagai kelompok kontrol.

Instrumen yang digunakan untuk mengukur stres remaja santri menggunakan kuesioner yang merupakan modifikasi dari instrumen Perceived Stress Scale (PSS) oleh Smith et al. (2014) dan telah dilakukan uji validitas menggunakan Korelasi Pearson Product Moment dengan r hasil lebih besar dari r tabel (0,632) serta uji reliabilitas dengan menggunakan Chronbach’s Alfa sebesar 0,857.

Kelompok intervensi diberikan Group Discussion Therapy sebanyak 3 sesi yang meliputi : sesi pertama Introduction dan Assesment, sesi kedua discussion of stress managemet, dan sesi ketiga Evaluation dan Feedback group discussion therapy. Setiap sesi dilakukan 1 kali pertemuan setiap minggu selama 60-90 menit setiap sesinya. Sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan Group Discussion Therapy. Dua minggu setelah pelaksanaan terapi dilakukan post-test dengan menggunakan kuesioner PSS kemudian peneliti membandingkan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan nilai pre test dan post test yang telah diperoleh.

(31)

C. HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini ditampilkan dalam bentuk analisa univariat yang digunakan untuk menganalisis variabel-variabel yang ada secara deskriptif serta analisa bivariat yang digunakan untuk mengetahui efektifitas pemberian Group Discussion Therapy pada stres remaja santri baik pada kelompok intervensi maupun kelompo kontrol, dengan terlebih dahulu melakukan uji normalitas data masing-masing variabel dan diperoleh sebaran data normal dengan nilai Shaphiro Wilk > 0,05 (ρ > α). Data yang diperoleh kemudian dianalisa menggunakan analisis statistik yang akan diuraikan pada tabel.

Hipotesis 1 : ada perbedaan skor stres pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan SST. Tabel 1. Analisis Skor Stres Remaja Santri Sebelum dan Sesudah

diberikan GDT pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi

Variabel Test Mean Mean

Difference t

p value Stres kontrol Pre 35,5 0,1 0,3 0,756

Post 35,6

Stres intervensi Pre 35,2 4,6 5,4 0,0001 Post 30,5

Hasil analisis statistik dengan uji dependen sample t-test diperoleh pada kelompok intervensi nilai ρ value < α maka Ho ditolak. Secara statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna skor stres pada kelompok intervensi sesudah diberikan GDT. Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan ρ value > α maka Ho diterima. Secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna skor stres pada kelompok kontrol.

Hipotesis 2 : ada perbedaan perubahan skor stres remaja santri antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

(32)

Tabel 2. Analisis Perbedaan Perubahan skor stres remaja santri pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi Sesudah Diberikan GDT Variabel Jenis Kelompok N Mean Mean Difference p value Stres Remaja Kontrol 1

1

35,6 5,1 0,042 Intervensi 1

1

30,5

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji independent sample T-Test diperoleh nilai p = 0,042. Karena nilai p < 0,05 maka secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan pada skor stres remaja antara yang diberikan group discussion therapy dengan yang tidak diberikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa group discussion therapy dapat menurunkan skor stres pada remaja santri.

D. PEMBAHASAN

Hasil analisis statistik untuk kelompok kontrol menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor stres remaja sebelum dan sesudah diberikan GDT. Hal ini ditunjukkan secara bermakna berdasarkan uji statistik, yaitu dengan nilai p sebesar 0,756 berada di atas nilai alpha (α = 0,05). Sedangkan pada kelompok intervensi terdapat penurunan skor stres antara sebelum dan sesudah diberikan GDT. Hal ini ditunjukkan dengan uji statistik dengan nilai p sebesar 0,000 (α < 0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara skor stres sebelum dan sesudah pemberian terapi group discussion therapy. Selain itu juga didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan skor stres antara kelompok kontrol dna kelompok intervensi dengan nilai p sebesar 0,042 (α < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk menurunkan skor stres pada remaja santri dibutuhkan intervensi atau terapi khusus sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan remaja tahap awal. Dalam penelitian ini peneliti memberikan group discussion therapy pada remaja.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Prawitasari (2009) bahwa diskusi kelompok dapat menurunkan stres santri di pondok pesantren. hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan

(33)

oleh Rohma (2006) yang menunjukkan bahwa diskusi kelompok dapat menurunkan tingkat stres pada mahasiswa.

Stres merupakan reaksi subjektif yang negatif sebagai hasil penilaian individu terhadap kejadian yang menegangkan dan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasinya (Hasan, 2008). Perubahan lingkungan akan membuat para santri mengalami perubahan dan penyesuaian terhadap lingkungan baru yang ditempatinya, sehingga akan dapat mengalami berbagai permasalahan yang pada akhirnya akan membuat mereka stres. Pada umumnya permasalahan yang muncul berawal dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial di tempat baru. Dari hasil wawancara dengan beberapa santri baru didapatkan bahwa permasalahan yang sering dirasakan adalah hambatan penyesuaian diri, kesulitan bergaul, sulit berkomunikasi dengan teman, maupun dengan lingkungan tempat tinggal. Selain itu beberapa santri mengungkapkan permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan sosial yaitu mulai dari permasalahan dengan teman, tetangga, dan masyarakat disekitar pondok pesantren dikarenakan mereka harus bergaul dengan orang lain yang berbeda adat istiadat dilingkungan tempat tinggalnya. Disamping itu juga terdapat beberapa santri yang mengalami permasalahan dengan peraturan dari pondok pesantren yang harus ditaati, sehingga membuat mereka merasa berbeda dengan kondisi yang dialami sebelum mengikuti kegiatan di pondok pesantren.

Adanya pengaruh yang signifikan dapat disebabkan karena dengan pemberian Group discussion therapy dapat menurunkan stres remaja dengan menciptakan pengalaman yang menyenangkan dalam berinteraksi. Intervensi ini diberikan dengan tujuan untuk mengubah perilaku negatif dengan perilaku positif dengan cara mengkaji perasaan, sikap dan cara berfikir individu tersebut dengan bantuan kelompok. Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu satu sama lain untuk menemukan cara menyelesaikan masalah. Kelompok juga merupakan laboratorium tempat mencoba dan menemukan hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan perilaku yang adaptif. Anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan dihargai eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain (Keliat & Akemat, 2010).

Selain itu Peran teman sebaya bagi remaja santri juga sangat berpengaruh dalam memberikan dukungan sosial bagi sesamanya. Hal ini sesuai dengan hasil studi Handono & Bashori (2013) menunjukkan adanya ada hubungan negatif antara penyesuaian diri dan dukungan sosial dengan

(34)

stres lingkungan. Semakin tinggi penyesuaian diri dan dukungan sosial maka semakin rendah stres lingkungan dan semakin rendah penyesuaian diri dan dukungan sosial maka semakin tinggi stres lingkungan.

Pemberian group discussion therapy pada kelompok intervensi ini dilaksanakan melalui empat tahapan dalam proses setiap sesi terapi yang dilakukan, yakni 1) Modelling, yaitu terapis melakukan demonstrasi tindakan terhadap keterampilan yang akan dilakukan, 2) Role Playing, yaitu tahap bermain peran dimana remaja mendapat kesempatan untuk memerankan kemampuan yang telah dilakukan yang sering dialami sesuai topik yang diperankan oleh terapis, 3) Performence feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik yang diberikan segera setelah remaja mencoba memerankan seberapa baik menjalankan latihan, serta 4) Transfer Training, yakni tahap pemindahan keterampilan yang diperoleh remaja ke dalam praktik sehari-hari (Stuart, 2013).

Selain itu, waktu pelaksanaan kegiatan post test yang dilakukan 2 minggu setelah kegiatan terapi juga menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil secara signifikan. Dalam penelitian ini post test dilaksanakan 2 minggu setelah sesi terakhir. Tujuannya untuk mengendapkan informasi yang telah diterima sehingga dapat menjadi persepsi baru pada remaja bagaimana cara mengatasi stres yang telah diajarkan dalam terapi dan juga supaya responden tidak menggunakan jawaban pada saat pre test. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2010) bahwa jarak waktu antara tes yang pertama dan tes yang kedua sebaiknya antara 15 sampai dengan 20 hari.

Program group discussion therapy pada penelitian ini mengacu pada konsep stress management yang dikembangkan dari hasil studi Chinaveh (2013) dengan menggunakan pendekatan group therapy. Hasil studi ini menunjukkan bahwa intervensi Stress Management yang dilakukan secara kelompok dapat menurunkan level stres dan meningkatkan respon koping remaja di Iranian.

Program ini terdiri dari 3 sesi yaitu 1) Sesi pertama Introduction dan Assesment. 2) Sesi kedua Discussion of Stress Management yaitu mendiskusikan cara mengatasi masalah stres yang dihadapi remaja di pondok pesantren dengan menggunakan manajemen stres. Program menejemen stres dalam sesi ini berupa pemberian latihan relaksasi (nafas dalam dan relaksasi otot progresif) dan juga latihan keterampilan koqnitif (restrukturisasi koqnitif atau menilai masalah secara positif) yang

(35)

merupakan salah satu intervensi dalam menejemen stres yang dikembangkan oleh Chinaveh (2013). Sesi ketiga : evaluation dan feedback. Pada sesi ini terapis mengevaluasi perasaan remaja setelah menyelesaikan setiap sesi, mengevaluasi kemampuan yang telah dicapai oleh remaja dan memberi tindak lanjut terkait keterampilan yang harus dilatih.

E. PENUTUP 1. Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian group discussion therapy dapat menurunkan skore stres pada remaja santri dibandingkan yang tidak diberikan group discussion therapy. Hasil ini dibuktikan dengan adanya penurunan skor stres sebelum dan sesudah pemberian group discussion therapy pada kelompok intervensi.

2. Saran

Untuk hasil yang maksimal agar koping remaja menjadi efektif dan adaptif, dukungan dari lingkungan pesantren dan keluarga sangat diperlukan untuk memotivasi responden dalam menerapkan ketrampilan-ketrampilan tersebut. Selain itu pengurus pesantren dapat membantu santri agar mampu menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan pesantren untuk meningkatkan kesehatan jiwa santri, antara lain dengan memfasilitasi dalam kegiatan kelompok tentang masalah-masalah yang dialami selama berada dipesantren serta memberikan program kegiatan yang bertahap. Pada peneliti selanjutnya dapat dilakukan penelitian pada tingkat individu maupun kombinasi terapi dengan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Chinaveh, M. (2013). The Effectiveness of Multiple Stress Management Intervention on the Level of Stress, and Coping Responses Among Iranian Students. Social and Behavioral Sciences, 84, 593 – 600. Handono, O. T., & Bashori., K. (2013). Hubungan Antara Penyesuaian Diri

Dan Dukungan Sosial Terhadap Stres Lingkungan Pada Santri Baru. Jurnal Fakultas Psikologi, 1(2). Pages 79-89.

Hasan, A.B. (2008). Pengantar Psikologi Kesehatan Islami. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada

Hawari, D. (2009). Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta : FK Universitas. Indonesia.

Gambar

Tabel 1.  Distribusi  Frekuensi  Responden  Berdasarkan  Tingkat  Pengetahuan Tentang   PASI
Tabel 3.  Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sosial Budaya
Tabel 1.  Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
Tabel  3.  Tabulasi  Silang  Hubungan  Pola  Asuh  Makan  oleh  Ibu  Bekerja  dengan  Status  Gizi  Siswa  di  SDN  Ngrame  Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar3.1 Efektivitas Pendidikan Kesehatan Tentang Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan Terhadap Sikap Masyarakat Dalam Penanganan Korban Kecelakaan Lalu Lintas

PENGADAAN OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN ( BELANJA JASA PELAYANAN KESEHATAN – JASA SARANA ) DI DINAS KESEHATAN KOTA MOJOKERTO TAHUN 2013(Lelang Ulang ) dengan nilai total HPS

VERIFIKASI DATA D3 - CALON DYS TAHUN 2016 GELOMBANG 201602 PT Pengusul (PTU): SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN JAYAKARTA.. Halaman: 1 Tampilkan

jumlah korban mati, luka berat atau luka yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada suatu ruas jalan, persimpangan atau suatu wilayah per tahun.. Kecelakaan

Analisis kondisi kesehatan warga di Rumah usiawan, UPT Dinas Sosial, Kab Mojokerto, Panti Werdha “Mojopahit”, Jl Raya Brangkal No 862, Sooko, Mojokerto,

Salabudin (2011) Pengendara Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas Sepeda Motor di Kota Yogyakarta Tahun 2010, Tesis, Universitas Gadjah Mada..

VI Program pembinaan mutu pelayanan kesehatan Kota Mojokerto Prosentase penduduk yang mendapatkan jaminan kesehatan saat dibutuhkan 97% 12.372.650.000 Program pembinaan

Di Kota Padang Panjang sering terjadi kecelakaan lalu lintas, mulai dari kecelakaan ringan hingga kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa yang disebabkan oleh berbagai macam faktor,