• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai-Nilai HAM Dalam Piagam Madinah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Nilai-Nilai HAM Dalam Piagam Madinah"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Nilai-Nilai HAM Dalam Piagam Madinah

Oleh: Riyanta*

Abstrak

Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. dan umat Islam, selama lebih kurang 13 tahun di Mekah terhitung sejak pengangkatan Muhammad saw. sebagai Rasul, belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat Islam menjadi satu komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrah ke Madinah, kota yang sebelumnya disebut Yasrib. Kalau di Mekah mereka sebelumnya merupakan umat yang lemah dan tertindas, di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri.

Tak lama setelah hijrah ke Madinah, Muhammad saw. membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang dihuni oleh beberapa macam golongan. Piagam politik itulah yang kemudian populer disebut Piagam Madinah. Piagam yang terdiri dari 47 pasal tersebut ternyata hanya mengandung 28 pasal yang secara implisit memuat nilai-nilai HAM. Kendati demikian, adanya nilai-nilai HAM dalam Piagam Madinah menunjukkan kemampuan Rasul saw. dan masyarakatnya dalam melakukan kontekstualisasi ajaran Islam, khususnya dalam bidang hukum ketatanegaraan Islam dengan realitas tempat dan zamannya.

A. Pendahuluan

Kesadaran tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di kalangan masyarakat luas masih merupakan masalah. Yakni, hak-hak itu merupakan suatu hal yang masih belum dipahami oleh semua orang dan karena itu juga belum mampu menimbulkan kesadaran.1

Mengapa hal itu terjadi, nampaknya banyak faktor yang mempengaruhi. Salah satunya, kurangnya informasi tentang HAM pada masyarakat dan rendahnya penegakan HAM dalam sistem hukum negara.2

Namun jika diingat bahwa masalah kesadaran HAM sesungguhnya lebih merupakan suatu pandangan atau nilai hidup dan komitmen pribadi. Maka

*Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

1Eggi Sudjana, HAM , Demokrasi dan Lingkungan Hidup Prespektif Islam (ttp.: Yayasan As-Syahidah, 1998), p. vii.

(2)

penghayatan batin yang mendalam kepada hak-hak asasi manusia tidak akan terjadi jika ia tidak dihayati sebagai nilai dan pandangan hidup.

Karenanya sistem kepercayaan dan ideologi, termasuk di antaranya agama-agama menjadi faktor yang penting dalam memberikan pemahaman, penerimaan, dan penghayatan HAM. Untuk memperoleh keteguhan komitmen pribadi kepadanya perlu dicari akarnya dalam sistem ideologi nasional yang diakui syah dan diterima oleh semua masyarakat, juga oleh agama.3

Islam sebagai suatu sistem ajaran tentang kehidupan di dunia dan di akhirat dikenal sebagai agama yang menyeluruh (komprehensif). Ajaran Islam banyak mengandung prinsip-prinsip hak asasi manusia.4 Sejarah

kemunculan Islam sebagai sebuah agama yang diwahyukan kepada masyarakat Arab di mana hak asasi manusia sama sekali diinjak-injak, menarik untuk ditelaah.

Islam sebagai sebuah konsep hukum menempatkan manusia kepada kedudukan yang sejajar dengan manusia lainnya. Kehadiran Islam di muka bumi sebagai pemberi kasih sayang bagi seluruh umat manusia. Karenanya kemerdekaan individu diakui oleh Islam sebagai sesuatu yang asasi. Namun sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kemanusiaannya dengan baik tanpa berada di tengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu. Maka dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Tetapi dengan adanya kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan pribadi lainnya.

Agar kemerdekaan manusia dapat terjamin maka perlu dibuat suatu aturan dalam masyarakat yang mewakili kepentingan masing-masing kelompok masyarakat, tentunya dengan memperhatikan latar belakang sosial dan budaya masyarakat setempat. Hal ini pernah dicontohkan Nabi Muhammad saw. dalam pembentukan masyarakat baru, yang kemudian menjelma menjadi suatu negara dan pemerintahan, ditandai dengan pembuatan perjanjian tertulis pada tahun 622 Masehi, antara Nabi dan kelompok masyarakat yang ada di Madinah. Perjanjian tertulis itu disebut

Sahifah, dan lebih terkenal dengan sebutan Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Ia memuat undang-undang untuk mengatur

3Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Ketatanegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), p. 169.

4Hasbi ash-Shidieqi, Hukum Antar Golongan dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), p. 16.

(3)

kehidupan sosial politik bersama kaum muslim dan bukan muslim yang menerima dan mengakui Nabi sebagai pemimpinnya. Yang di dalamnya diatur tentang HAM.5

B. Konsepsi HAM dalam Islam

Ajaran Islam memiliki “konsep” atau “pengertian yang diabstrakkan”6 tentang HAM karena ditemukan banyak pendapat. Oleh

karenanya “konsepsi” atau “pengertian” atau “paham”7 HAM menurut

Islam adalah hak yang tidak semata-mata berupa aturan yang dibuat oleh manusia dalam menjaga tatanan bermasyarakat yang adil dan berperikemanusiaan, tetapi lebih dari itu merupakan sesuatu yang melekat pada diri manusia sejak dilahirkan (fitrah manusia).

Sebagaimana dijelaskan di awal, Islam menempatkan manusia pada kedudukan yang sejajar dengan manusia lainnya. Hanya iman yang bersangkutan yang membedakan dirinya dari yang lain. Menurut ajaran Islam, pebedaan seseorang dengan orang lainnya terjadi bukan karena haknya sebagai seorang manusia, melainkan disebabkan oleh keimanan dan kesalehannya. Adanya perbedaan itu tidak harus membedakan manusia secara sosial ( Q. S. Al-Hujurat (49): 13).

Ayat tersebut turun ketika terjadi peristiwa penaklukan kota Makkah. Pada saat itu Bilal naik ke atas punggung Ka’ bah dan mengumandangkan azan, sebagian masyarakat pada saat itu mencemooh Bilal, karena ia dianggap sebagai budak hitam. Maka turunlah ayat ini, yang sekaligus menerangkan bahwa agama Islam tidak mengenal diskriminasi.8

Menurut Marcel A. Boisard: hak-hak dan kewajiban-kewajiban, larangan-larangan dan perintah-perintah dalam Islam semuanya bersifat agama. Terkesan bahwa hubungan timbal balik harus tegas oleh karena hukum yang diwahyukan itu berlaku untuk segala keadaan. Namun menurutnya hukum Islam juga melihat dari segi individual dan kolektif,

5Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, (Jakarta: UI Press, 1995), p. 2.

6Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), p. 550.

7Ibid, p. 550.

8Jalaluddin as-Suyuti, Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul, alih bahasa Abdul Mujieb (ttp.: Darul Ihya, 1986), p. 543.

(4)

yaitu adanya gerak keseimbangan antara hak perorangan dengan keharusan sesuatu untuk kebaikan masyarakat. Artinya hak perorangan akan bersentuhan satu sama lain, oleh karenanya perlu adanya aturan bagi kebaikan bersama yaitu dengan jalan memperlakukan hukum yang diwahyukan secara tepat.9

Hak manusia dalam Islam harus tetap berada di bawah hukum yang diwahyukan, artinya otonomi pribadi seseorang merupakan sesuatu yang diberikan oleh Allah swt. Oleh karenanya pemenuhan hak individu dalam rangka melakukan ibadah kepada Allah swt.

Kemerdekaan pemenuhan hak individu dalam batas pengabdian kepada Allah swt. akan menetapkan nilai seseorang. Hak-hak manusia atau leluhurnya hanya merupakan akibat yang tidak langsung. Kualitas manusia yang paling tinggi adalah kemerdekaan dalam persamaan. Kemahakuasaan Allah swt. mengakibatkan pembebasan manusia dari manusia. Dengan menyembah kepada Allah swt. secara eksklusif langsung tanpa perantara, akan nampak kebesaran seorang manusia dan terjaminlah martabatnya.

Dengan demikian, dalam Islam, hak-hak seorang manusia adalah hasil dari kewajiban-kewajiban yang ditetapkan terhadap orang-orang lain oleh agama. Nilai yang timbul dari konsepsi manusia dengan Tuhan dan hubungan-hubungan yang harus dilakukan dengan-Nya telah menjadikan manusia sadar kepada rasa persamaan yang mutlak antara manusia. Karenannya al-Maududi berpendapat, bahwa hukum Islam memberi empat macam hak atas manusia, yaitu hak Tuhan, hak atas dirinya sendiri, hak terhadap orang lain, dan hak atas sesuatu yang diberikan Tuhan.10

Secara singkat dijelaskan oleh A.K Brohi, bahwa dalam totalitas Islam, kewajiban manusia kepada Allah mencakup juga kewajibannya kepada setiap individu yang lain. Maka

secara paradoks hak-hak setiap individu itu dilindungi oleh segala kewajiban di bawah hukum Ilahi. Sebagaimana suatu negara secara bersama-sama dengan rakyat harus tunduk kepada hukum, berarti negara juga harus melindungi hak-hak individual.11

9Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, alih bahasa HM. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), p. 108.

10Abu A’la al-Maududi, Menuju Pengertian Islam,alih bahasa Amiruddin Djamil (Bandung: Sulita, 1967), p. 114.

11Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, alih bahasa Abdul Rochim (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), p. 54.

(5)

Ini secara jelas menunjukan bahwa menurut pandangan Islam, konsep HAM bukan hasil evolusi apapun dari pemikiran manusia, namun merupakan hasil dari wahyu Ilahi yang telah diturunkan melalui para Nabi dan Rasul dari sejak permulaan eksistensi manusia di atas bumi. Dengan kata lain, menurut Islam, HAM merupakan bagian dari hakikat manusia yang paling intrinsik, maka sejarah pertumbuhan konsep-konsepnya dan perjuangan penegakannya sekaligus menyatu dengan sejarah manusia dan kemanusiaan itu sendiri semenjak dikenalnya peradaban.12

Sejumlah sejarawan Islam telah membuktikan bahwa kehadiran Muhammad sebagai pembawa ajaran Islam terakhir merupakan pembebasan manusia dari pelbagai bentuk penindasan hak asasi manusia. Tradisi budaya jahiliyah yang melegitimasi perbudakan, diskriminasi rasial, deskriminasi terhadap wanita atas nama iman dalam suatu keyakinan yang keliru (seperti keyakinan terhadap latta dan uzza) dikikis oleh Islam.

Dalam hal ini Hasbi ash-Shiddieqy sebagaimana dikutip Ahmad Syafi’i Ma’arif, menjelaskan prinsip dasar tentang HAM dalam Islam, yaitu: Pertama, hak hidup dan keselamatan diri, serta hak untuk memperoleh perlindungan diri, kehormatan dan harta. Kedua, hak merdeka beragama dan menganut sesutu paham. Ketiga, hak mempunyai hak milik dan fungsi sosial dari hak milik itu tanpa ada diskriminasi. Keempat, hak memilih pekerjaan yang sesuai bagi kemanusiaan. Kelima, hak kemerdekaan berpikir, mengeluarkan pendapat, dan hak memperoleh pengajaran dan pendidikan.13

Menurut Nurcholis Madjid, masalah HAM di Barat adalah masalah baru, justru, dalam Islam jauh lebih lama. Secara historis sejarah HAM, terutama dalam bentuk humanisme, dimulai di Barat karena berkenalan dengan Islam. Hal ini dibuktikan dengan pidato ilmiah seorang tokoh bernama Giovani Pico Della Mirandola, di depan para pemimpin gereja, tentang harkat dan martabat manusia.14

Lebih jauh Nurcholis Madjid berpendapat bahwa masalah HAM bukan suatu end result atau hasil akhir, tetapi suatu proses yang panjang sekali. Karena orang-orang Barat pada jaman modern memiliki

12Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paradina, 1995), p. 208.

13Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, p. 169 – 173.

14Nurcholish Madjid, Hak Asasi Manusia, Pluralisme Agama dan Integrasi Nasional (Surabaya: PKSK, 1997), p. 59.

(6)

metodologi yang sangat unggul, maka elaborasinya menjadi sangat baik, melalui proses panjang.15

Perkembangan sejarah HAM dalam Islam pada akhir-akhir ini, dapat dilihat dalam berbagai upaya sebagian ahli, sarjana, pemuka agama atau intelektual Muslim dimulai sejak pertemuan Abu Dhabi pada tahun 1977 yang menghasilkan apa yang disebut sebagai “Deklarasi Islam Universal Tentang Hak Asasi Manusia” (Islamic Universal Declaration of Human Rights, IUDHR) pada awal tahun 80-an. Ini merupakan suatu rumusan ajaran Islam yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia dan dapat menjadi sebuah referensi bagi negara-negara lain dalam merealisasikan perlindungan Hak Asasi Manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, ajaran Islam memiliki konsepsi tentang HAM, yaitu sesuatu yang melekat pada diri manusia sejak ia lahir (fitrah manusia) yang memiliki nilai-nilai universal seperti persamaan dan kebebasan dengan berbagai aspeknya. Dan Syari’ah sebagai sistem hukum yang praktis bila ingin menjadi hukum Islam yang modern tidak dapat mengesampingkan konsep hak-hak asasi manusia mutakhir saat ini.

C. Kedudukan Piagam Madinah Sebagai Konstitusi Negara

Muhammad saw. dapat menempatkan diri sebagai pemimpin di Madinah, di tengah-tengah berbagai suku yang mengakuinya sebagai pemimpin masyarakat. Islam ditanamkannya sebagai satu kesatuan agama dan politik. Ia berhasil menciptakan sebuah negara di bawah satu naungan kepemimpinan, sebagai suatu perwujudan dari gagasan besar, berupa prinsip kehidupan nasional di Arabia. Ia mampu menjadikan Islam sebagai agama yang menghasilkan rekonsiliasi.16

Masyarakat di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw. di Madinah itu dapat disebut sebagai negara dan beliau sebagai kepala negaranya, sedangkan undang-undangnya adalah Sahifah.17 Para ahli

memberikan nama-nama yang berbeda kepadanya. Dari

15Ibid, p. 59.

16Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam, (Jakrta: Widjaya, 1985), p. 31 – 33.

17Nourouzzaman Shiddieqi, Piagam Madinah (Yogyakarta: Mentari Masa, 1994), p. 1.

(7)

pendapat mereka ada yang mengistilahkan “perjanjian” (treaty), karena Nabi membuat perjanjian persahabatan antara Muhajirin dengan Ansar sebagai komunitas Islam disatu pihak dan antara kaum Muslimin dengan kaum Yahudi serta sekutu-sekutu mereka di pihak lain agar mereka terhindar dari pertentangan suku serta bersama-sama mempertahankan keamanan kota Madinah dari serangan musuh untuk hidup berdampingan secara damai sebagai inti dari persahabatan.

Disebut “piagam” (charter),18 karena isinya mengakui kebebasan

hak beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan terwujud dalam kehidupan mereka, mengatur kewajiban-kewajiban kemasyarakatan semua golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua warga dan prinsip-prinsipnya untuk menghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan yang tidak baik. Disebut “konstitusi” (constitution)19 karena di dalamnya

terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah yang majemuk tersebut.

Baik disebut sebagai “perjanjian”, “piagam”, maupun “konstitusi”, bentuk dan muatan sahifah itu tidak menyimpang dari pengertian ketiga istilah tersebut. Dilihat dari pengertian treaty, sahifah itu adalah dokumen perjanjian dari beberapa golongan, Mujahirin, Ansar, Yahudi, dan sekutunya bersama Nabi. Kemudian dilihat dari pengertian

constitution, ia juga memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental. Artinya, kandungan sahifah itu dapat mencakup semua pengertian ketiga istilah tersebut. Sebab, ia adalah dokumen perjanjian persahabatan antara Mujahirin-Ansar-Yahudi dan sekutunya bersama Nabi yang menjamin hak-hak mereka, menetapkan kewajiban-kewajiban mereka dan memuat prinsip-prinsip pemerintahan di bawah pimpinan Nabi.

Konstitusi, menurut Budiardjo, adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa. Di dalamnya terdapat berbagai aturan pokok yang berkaitan

18Piagam adalah surat resmi atau dokumen yang berisi pernyataan pemberian hak-hak. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia..., p. 765.

19Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan, dalam Ibid, p. 21.

(8)

dengan kedaulatan, pembagian kekuasaan, lembaga-lembaga negara, cita-cita dan ideologi negara, masalah ekonomi, dan sebagainya.20

Sedangkan menurut Sen & Das dalam bukunya Studies In Modern Constitutions menyatakan, suatu konstitusi bertujuan untuk menetapkan badan-badan kekuasaan dalam negara, suatu konstitusi bertujuan untuk menetapkan badan-badan kekuasaan dalam negara, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bhandari dalam bukunya Principles Of Politics

mengemukakan unsur-unsur yang lebih luas, yaitu ketentuan tentang hak-hak manusia yang harus dijamin oleh negara, organisasi pemerintahan dan kedaulatan serta pembagian kekuasaan. Sa’ad Usfour dalam bukunya al-Qanun al-Dusturi membagi empat unsur, yaitu ketetapan tentang lembaga-lembaga negara, tentang administrasi pemerintahan, tentang badan-badan pengadilan, dan tentang cara pembentukan bangsa yang mendukung negara.21 Unsur-unsur yang lebih luas dikemukakan oleh Budiardjo, yaitu

ketentuan tentang organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tentang hak asasi manusia, tentang prosedur mengubah undang-undang dasar, tentang cita-cita rakyat dan asas-asas idoelogi negara.22

Dari keterangan tentang pengertian konstitusi dan unsur-unsur atau ciri-cirinya yang dikemukakan di atas, maka suatu konstitusi adalah himpunan peraturan-peraturan pokok mengenai penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu masyarakat yang berkaitan dengan organisasi negara, kedaulatan negara dan pembagian kekuasaan antara badan legisatif, eksekutif, dan yudikatif, hak-hak dan kewajiban rakyat dan pemerintah di bidang-bidang sosial, politik, ekonomi, agama dan budaya, cita-cita dan ideologi negara dan sebagainya.

Berdasarkan kongklusi itu, maka harus diakui bahwa Piagam Madinah tidak dapat memenuhinya secara paripurna. Sebab, di dalamnya tidak ditemui penjelasan tentang pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi ia menetapkan adanya pemegang hukum tertinggi. Namun demikian, ia dapat disebut sebagai konstitusi, karena ciri-ciri lain dapat ia penuhi, yaitu: ia dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintahan masyarakat Madinah sebagai suatu umat,

20Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), p. 107.

21Dikutip dari Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad saw. Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), p. 109-111.

(9)

adanya kedaulatan negara yang dipegang oleh Nabi, dan adanya ketetapan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental, yaitu mengetahui kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah, mengakui hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka. Sebagai himpunan peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat Madinah ia bercita-cita mewujudkan persatuan dan kesatuan semua golongan menjadi satu umat dan hidup berdampingan secara damai sebagai satu umat yang bermoral, menjunjung tinggi hukum dan keadilan atas dasar iman dan takwa.

D. Pasal - pasal tentang HAM dalam Piagam Madinah

Sebagaimana telah dijelaskan di awal, pada hakekatnya HAM terdiri atas dua hak dasar yang fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak asasi manusia yang lainnya atau tanpa hak dasar ini hak asasi manusia lainnya sulit ditegakkan.23 Oleh karenannya pembahasan pasal-pasal HAM, juga

mengacu pada dua hak dasar tersebut, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan.

1. Hak Persamaan

Masyarakat Arab sebelum Islam terdiri dari berbagai kabilah. Setiap kabilah membanggakan asabiyyah (kefanatikan kepada keluarga, suku dan golongan) dan nasab (asal keturunan) sehingga mereka terjerumus ke dalam pertentangan, kekacauan politik, dan sosial. Masyarakat mereka yang berdasarkan asabiyyah itu tidak mengenal adanya persamaan antara sesama manusia. Satu kabilah dengan kabilah lainnya tidak saling melindungi. Suatu kabilah adalah musuh bagi yang lainnya yang harus dilenyapkan, karena setiap kabilah menganggap dirinya lebih unggul dari kabilah lainnya. Setiap kabilah sibuk dengan urusannya sendiri, tanpa ada kepedulian sosial terhadap kabilah lainnya.24

Tampaknya Nabi Muhammad melihat bahwa sistem kehidupan bermasyarakat demikian tidak manusiawi. Maka ketika beliau berhijrah ke Madinah dan kemudian membuat perjanjian tertulis, beliau menetapkan

23Baharuddin Lopa, al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Dhana Bhakti Primayasa, 1996), p. 1.

24Muhammad Hussain Haekal, Hayat Muhammad, alih bahasa Ali Audah (Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 1998), p. 14-15.

(10)

seluruh penduduk Madinah memperoleh status yang sama atau persamaan dalam kehidupan sosial.

Ketetapan Piagam Madinah tentang hak persamaan status sosial ini dapat dilihat pada Pasal 16 dan 46. Ketetapan ini berkaitan dengan kemaslahatan umum yang menjamin hak-hak istimewa mereka sebagaimana hak dan kewajiban yang dimiliki oleh kaum muslimin. Sebab, hak persamaan dalam Islam adalah pengakuan hak-hak yang sama antara kaum muslimin dan bukan muslimin. Ketetapan tersebut di samping bersifat umum juga bersifat khusus, yaitu persamaan akan hak hidup, hak keamanan jiwa, hak perlindungan baik laki-laki maupun perempuan, dan baik golongan Islam maupun non-Islam.

Persamaan yang mencakup berbagai aspek kehidupan dapat dirujuk pada ketetapan lain. Persamaan dari unsur kemanusiaan tampak dalam ketetapan yang menyatakan seluruh penduduk Madinah adalah umat yang satu atau umat-umat yang mempunyai status sama dalam kehidupan sosial dan memiliki persamaan hak dalam kebebasan memilih agama sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 25, 35 dan 36.

Ketetapan persamaan hak membela diri diatur dalam Pasal 36, persamaan hak mengatur ekonomi masing-masing dan dalam memberikan nasihat dan saran untuk kebaikan diatur dalam Pasal 37 dan persamaan tanggung jawab mempertahankan keamanan kota diatur dalam Pasal 44.

Hak-hak tersebut adalah hak-hak manusia yang paling dasar yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Pengakuan akan hak-hak ini berarti pengakuan terhadap persamaan semua golongan.

Dengan begitu Piagam Madinah tidak mengenal kategori dikotomi di antara manusia. Golongan Islam dan penduduk lain sama-sama diakui hak-hak sipilnya, tidak satu golongan pun yang diistimewakan.

2. Hak Kebebasan

Hak-hak persamaan yang dikemukakan di atas menghendaki pula adanya kebebasan-kebebasan. Sebab, jika setiap orang atau golongan tidak memperoleh kebebasan-kebebasan, maka hak-hak tersebut tidak akan terwujud nyata dalam kehidupan masyarakat. Karena kebebasan merupakan salah satu hak dasar hidup setiap orang dan merupakan pengakuan seseorang atau kelompok atas persamaan dan kemuliaan harkat kemanusiaan orang lain. Kebebasan semakin dibutuhkan oleh setiap orang yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari golongan yang beraneka ragam baik dari segi etnis, kultur, agama, keyakinan maupun

(11)

ekonomi. Bila kebebasan dibelenggu, maka yang akan terjadi adalah penindasan satu golongan terhadap golongan lain. Kebebasan membuat setiap orang atau golongan merasa terangkat eksistensinya dan dihargai harkat kemanusiaannya di tengah-tengah kemajemukan umat.

Karena itu, prinsip kebebasan mutlak perlu dikembangkan dan dijamin pelaksanaannya guna terjaminnya keutuhan masyarakat pluralistik. Kebebasan-kebebasan yang dibutuhkan manusia adalah kebebasan beragama, kebebasan dari perbudakan, kebebasan dari kekurangan, kebebasan dari rasa takut, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan bergerak, kebebasan dari penganiayaan, dan lain-lain.25 Di dalam Piagam

Madinah juga terdapat ketetapan-ketetapan mengenai kebebasan yang diperuntukan bagi segenap penduduk Madinah.26

Pertama, kebebasan melakukan adat kebiasaan yang baik. Golongan Mujahirin dari Quraisy tetap berpegang pada adat kebiasaan baik mereka, mengambil dan membayar diat (tebusan) di antara mereka, dan menebus tawanan-tawanan mereka menurut kebiasaan baik (ma’ruf) dan adil (al-qist) di antara mereka yang mukmin, ini dapat dilihat pada Pasal 2.

Banu ‘Auf tetap berpegang pada kebiasaan baik mereka mengambil dan membayar diat mereka seperti yang berlaku dahulu dan setiap golongan dari mereka menebus tawannannya menurut kebiasaan yang baik dan adil di antara orang-orang mukmin sebagaimana dijelaskan Pasal 3. Ketentuan yang sama berlaku bagi Banu Sa’idat pada Pasal 4, Banu al-Haris pada Pasal 5, Banu Jusyam pada Pasal 6, Banu an-Najjar pada Pasal 7, Banu ‘Amar bin ’ Auf pada Pasal 8, Banu al-Nabit pada Pasal 9, Banu al-Aus pada Pasal 10.

Ketetapan-ketetapan tersebut menunjukan bahwa kebiasaan mereka dalam mengambil dan membayar diat dan menebus tawanan yang sudah berlaku sebelum Islam tidak dihapuskan. Ini berarti bahwa Nabi mengakuinya sebagai sesuatu yang baik dalam menyelesaikan perselisihan di antara mereka dalam kasus pembunuhan. Karena, kebiasaan tersebut merupakan salah satu cara dan bentuk penghargaan terhadap martabat manusia bagi yang terbunuh atau tertawan, walaupun nilai manusia tidak

25Harun Nasution dan Bahtiar Effendi (penyunting), Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), p. xi

(12)

dapat diukur dengan uang atau harta benda. Karena itu, mereka boleh meneruskan kebiasaan tersebut menurut adat kebiasaan yang adil.

Kedua, kebebasan dari kekurangan. Hal ini dapat dilihat pada Piagam Madinah yang menyatakan bahwa orang-orang mukmin tidak boleh membiarkan seseorang di antara mereka menanggung beban utang dan beban keluarga yang harus diberi nafkah, tetapi memberinya bantuan dengan cara yang baik dalam menebus tawanan atau membayar diat. Ini sebagai cerminan setiap orang terbebas dari kemiskinan, dapat dilihat pada Pasal 11.

Ketiga, kebebasan dari penganiayaan dan menuntut balas. Ini dipahami dari ketetapan Piagam Madinah yang menyatakan, bahwa kaum Yahudi yang mengikuti kesepakatan Piagam Madinah berhak mendapat perlindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan atas mereka dan tidak pula ditolong orang yang menjadi musuh mereka, pada Pasal 16. Dan bahwa tidak ada orang yang boleh menghalangi seseorang menuntut haknya (balas) karena dilukai, pada Pasal 36.

Dengan ketetapan ini, seluruh penduduk Madinah mendapat hak jaminan keamanan dan hak kebebasan dari penganiayaan. Demikan pula kaum Yahudi sebagai anggauta umat yang sama. Bahkan kaum muslimin tidak akan membantu orang-orang yang memusuhi mereka. Mereka dijamin tidak akan mendapat penganiayaan dari siapapun. Setiap individu dari penduduk Madinah juga mempunyai kebebasan untuk menuntut haknya, seperti bila ia dilukai, mempunyai hak untuk menuntut balas atau menuntut denda dan ganti rugi secara baik dan adil.

Keempat, kebebasan dari rasa takut. Piagam menyatakan, bahwa siapa saja yang keluar dari kota Madinah atau tetap tinggal (di dalamnya) ia akan aman kecuali orang yang berbuat zalim dan dosa, pada Pasal 47. Ketetapan ini merupakan pengakuan hak atas hidup dan keselamatan diri, hak atas perlindungan diri, hak atas kebebasan dan keamanan diri pribadi setiap penduduk Madinah. Setiap warga negara yang keluar masuk dari dan ke kota itu maupun yang tinggal di dalamnya, keamanannya dijamin. Tidak ada tindakan kejahatan dan penganiayaan atasnya.

Kelima, kebebasan berpendapat. Hak ini dinyatakan dalam Piagam Madinah secara jelas pada Pasal 37 dan Pasal 23 bila terjadi perbedaan pendapat. Dua ketetapan ini mengisyaratkan adanya jaminan kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat bagi penduduk Madinah. Undang-Undang mengakuinya sebagai hak setiap individu. Artinya, pasal-pasal tersebut memberikan hak kebebasan kepada penduduk Madinah tanpa

(13)

kecuali untuk mengutarakan pendapat dan boleh berbeda pendapat dengan Nabi dalam masalah-masalah kemasyarakatan yang belum ada ketentuan dari wahyu, tapi bagi warga negara muslim tidak boleh berbeda pendapat dengan Nabi dalam masalah-masalah akidah dan syari’at yang jelas ketetapannya, sedangkan warga negara yang tidak muslim boleh berbeda pendapat dengan Nabi baik dalam masalah syari’at, keyakinan, maupun masalah kemasyarakatan.

Keenam, kebebasan beragama. Penetapan hak ini di dalam Piagam Madinah tampaknya menjadi jawaban nyata terhadap situasi sosial penduduk Madinah, yakni adanya keragaman komunitas agama dan keyakinan di kota itu. Karena persoalan agama merupakan masalah keyakinan, maka tidak seorangpun boleh memaksakan suatu keyakinan pada siapa pun. Untuk itu Piagam Madinah mengundangkan hak kebebasan beragama, yang secara teknis sering dikaitkan dengan kemerdekaan dan kebebasan beragama.

Manusia mempunyai kebebasan untuk memilih keyakinan atau ideologi mana saja. Kebebasan ini harus dihormati dan dilindungi oleh orang lain. Semangat seperti inilah yang tercantum dalam Piagam Madinah yang menyatakan bahwa kaum Yahudi tetap berpegang pada agama mereka dan orang-orang mukmin pun tetap berpegang pada agama mereka, pada Pasal 25. Hal yang sama berlaku bagi Yahudi Bani an-Najjar, pada Pasal 26, Yahudi Bani al-Haris pada Pasal 27, Yahudi Bani Sa’idat pada Pasal 28, Yahudi Bani Jusyam pada Pasal 29, Yahudi Bani Aus pada Pasal 30, Yahudi Bani Tsa’labat pada Pasal 31, Bani Tsa’labat pada Pasal 32, Yahudi Bani Syuthaibat pada Pasal 33, Mawali Tsa’labat pada Pasal 34, orang-orang dekat atau teman kepercayaan kaum Yahudi pada Pasal 35.

Karena Piagam Madinah adalah konstitusi negara Madinah, maka ketetapan tersebut mengandung makna dan fungsi strategis di mana kebebasan melaksanakan ajaran dan keyakinan bagi komunitas-komunitas agama dan keyakinan yang ada di Madinah dijamin secara konstitusional. Artinya kebebasan beragama dijamin oleh negara dan undang-undang. Muhammad saw., dalam kapasitasnya sebagai Nabi dan kepala Negara, tidak memaksa mereka yang belum muslim untuk menerima Islam. Bahkan beliau menciptakan kerukunan antar komunitas agama dan keyakinan yang ada. Dalam kaitan ini, Fazlur Rahman menyatakan, Piagam itu telah memberi jaminan kebebasan beragama bagi orang Yahudi

(14)

sebagai komunitas dan mewujudkan kerja sama seerat mungkin dengan sesama kaum muslimin.27

Dengan demikian, ketetapan tersebut mengakui eksistensi komunitas-komunitas agama, menjamin kemerdekaan dan kebebasan dalam melaksanakan ajaran agamanya dan menghormati hak kebebasan personal bagi setiap orang dalam memilih agama dan keyakinan yang dikehendakinya. Bahkan orang yang tidak memilih suatu agama harus dihormati.28

Setiap orang dan pemerintah wajib melindungi dan menghormati hak orang lain dalam menganut suatu agama dan keyakinannya. Tidak seorang pun mempunyai hak memaksakan agama dan keyakinan kepada orang lain. Masalah agama adalah masalah keyakinan dan penerimaannya harus atas dasar kerelaan.

Muhammad Husein Haykal menyatakan bahwa hak kebebasan beragama yang diundangkan dalam Piagam Madinah telah membuka babakan baru dalam kehidupan berpolitik dan peradaban dunia saat itu. Artinya pengakuan hak asasi manusia baik melalui ketentuan wahyu maupun ketetapan Piagam Madinah, pertama dalam sejarah kemanusiaan.

E. Kesimpulan

Piagam Madinah dilihat dari kondisi zaman terbentuknya merupakan naskah politik umat Islam yang baru dan sangat maju serta menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Tetapi bila dibandingkan dengan kondisi saat ini masih sangat jauh dari jawaban kebutuhan akan HAM. Karena, pasal-pasal tentang HAM pada Piagam Madinah masih sangat kurang, ia hanya membuat 28 pasal dari 47 pasal, yaitu pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10, yang memuat tentang kebebasan melakukan kebiasaan yang baik. Pasal 11, tentang kebebasan dari kekurangan atau kemiskinan. Pasal 16 dan 46 tentang kebebasan dari penganiayaan dan hak menuntut balas yang sekaligus memuat tentang persamaan tentang status sosial. Pasal 23 dan 37, tentang kebebasan berpendapat dan berbeda pendapat. Pasal 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34 dan 35, yang memuat tentang kebebasan memilih agama dan keyakinannya. Pasal 36, tentang kebebasan menuntut

27Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), p. 13.

28Djohan Effendi (penyunting), Pergolakan Pemikiran Islam Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta: LP3S, 1981), p. 178 – 179.

(15)

balas dari penganiayaan, karena adanya persamaan kedudukan dalam hukum. Pasal 44, tentang persamaan tanggung jawab dalam mempertahankan keamanan kota Madinah. Pasal 47, tentang kebebasan dari rasa takut, sebagai bentuk dari jaminan keamanan bagi warga Madinah. Dan isinya masih jauh dari jawaban akan kebutuhan HAM pada saat ini.

Adanya nilai-nilai HAM pada Piagam Madinah, menunjukkan kemampuan Rasul dan masyarakatnya dalam melakukan kontekstualisasi hukum Islam, khususnya dalam bidang hukum ketatanegaraan Islam dengan realitas tempat dan zamannya.

(16)

Daftar Pustaka

Ahmad, Zainal Abidin, Piagam Nabi Muhammad saw. Konstitusi Negara Tertulis Yang Pertama Di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Arnold, Thomas W. Dakwah Islam, alih bahasa H.A. Nawawi Rambe,

Jakarta: Wijaya, 1985.

Boisard, Marcel A. Humanisme dalam Islam, alih bahasa H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang , 1980.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1986. Departemen Agama Ripublik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya,

Jakarta: Proyek Pengembangan dan Penterjemahan al-Qur’an Deparetemen Agama, 1984.

Effendi, Djohan, dan Ismed Natsir, PergolakanPemikiran Islam Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3S, 1995.

Haekal, Muhammad Hussain, Hayat Muhammad, alih bahasa Ali Audah, Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 1998.

Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, alih bahasa Abdul Rochim C.N., Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Lopa, Baharuddin, al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1996.

Maarif, Ahmad Syafii, Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3S, 1996.

Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995. _________,HAM Pluralisme Agama Dan Integrasi Nasional: Antara Konsepsi

dan Aktualisasi, HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya: PKSK, 1997.

Maududi, S. Abdul Ala Maududi, Menuju Pengertian Islam, alih bahasa Amiruddin Jamil, Bandung: Sulita, 1967.

Nasution, Harun dan Bahtiar Efendi (penyunting), Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,1987.

Rahman, Fazlur, Islam, Alih bahasa Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1984.

Setiardja, A. Gunawan, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Shiddieqi, Hasbi ash-, Hukum Antar Golongan dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.

Shiddiqi, Nourouzzaman, Piagam Madinah, Yogyakarta: Mentari Masa, 1994.

(17)

Sudjana, Eggi, HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup Prespektif Islam, ttp.: Yayasan as-Syahidah, 1998.

Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan UUD 1945, Jakarta: UI Press, 1995. As-Suyuti, Lubaabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul, ttp.: Darul Ihya, 1986.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Referensi

Dokumen terkait

Materi agama Islam mengacu pada standar kompetensi untuk TK dan RA. Materi- materi tersebut disampaikan dengan beberapa metode yaitu, praktek langsung, hafalan, dan

Namun demikian, responden masih mengharapkan akan terjadi peningkatan jumlah tabungan untuk 6 bulan mendatang sebagaimana tercermin pada kenaikan indeks jumlah tabungan 6 bulan

Pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat kita lihat dari perjalanan hidupnya yang kental dengan tradisi keilmuan dan juga pada buah karyanya yang tertuan

Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Ahli Madya pada Program Studi Diploma 3 Perpajakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis

No. Berdasarkan data hasil penelitian tingkat kepuasan masyarakat untuk tiap-tiap unsur pelayanan dihitung berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis alternatif diterima, yang berarti terdapat perbedaan signifikan antara kinerja portofolio optimal saham syariah Indonesia dan

Terdapat tiga penaksir produk untuk rata-rata populasi pada sampling acak sederhana dalam pembahasan ini dengan menggunakan beberapa informasi tambahan yaitu

Penaksir yang dibahas merupakan tiga penaksir rasio-cum-produk untuk rata-rata populasi dengan menggunakan koefisien korelasi pada sampling acak sederhana yaitu penaksir