• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARAKTERISTIK BUAH MANGGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARAKTERISTIK BUAH MANGGA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

KARAKTERISTIK BUAH MANGGA

Mangga berasal dari sekitar perbatasan India dengan Burma dan menyebar ke Asia Tenggara semenjak 1500 tahun yang lalu. Nama buah ini berasal dari Malayalam maanga dan dipadankan dalam bahasa Indonesia menjadi mangga. Kata ini dibawa ke Eropa oleh orang-orang Portugis dan diserap menjadi manga (bahasa Portugis), mango (bahasa Inggris) dan lain-lain. Nama ilmiahnya yaitu Mangifera indica L. yang mengandung arti: “(pohon) yang berbuah mangga, berasal dari India”.

Klasifikasi ilmiah dari buah mangga yaitu:

Kingdom : Plantae Filum : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Anacardiaceae Genus : Mangifera

Spesies : Mangifera indica L.

Pohon mangga termasuk tumbuhan tingkat tinggi yang struktur batangnya (habitus) termasuk kelompok arboreus, yaitu tumbuhan berkayu yang mempunyai tinggi batang lebih dari 5 m. Tinggi pohon mangga bisa mencapai 10-40 m (Wikipedia, 2011).

Bunga mangga merupakan bunga majemuk yang berkarang dalam malai bercabang banyak di ujung ranting. Karangan bunga biasanya berbulu, tetapi sebagian ada juga yang gundul, kuning kehijauan, dan panjang mencapai 40 cm. Bunga majemuk ini terdiri dari sumbu utama yang mempunyai banyak cabang utama. Setiap cabang utama ini mempunyai banyak cabang-cabang, yakni cabang kedua. Ada kemungkinan cabang bunga kedua ini mempunyai suatu kelompok yang terdiri dari 3 bunga atau mempunyai cabang tiga. Setiap kelompok tiga bunga terdiri dari tiga kuntum bunga dan setiap kuntum bertangkai pendek dengan daun kecil. Jumlah bunga pada setiap bunga majemuk bisa mencapai 1000-6000. Bunga-bunga dalam karangan berkelamin campuran, ada yang jantan dan ada pula yang hermafrodit (berkelamin dua). Besarnya bunga lebih kurang 6-8 mm. Bunga jantan lebih banyak daripada bunga hermafrodit, dan jumlah bunga hermafrodit inilah yang menentukan terbentuknya buah. Persentase bunga hermafrodit bermacam-macam, tergantung dari varietasnya, yaitu antara 1.25% - 77.9%, sementara bunga yang mempunyai bakal buah normal kira-kira 5 - 10%. Pembungaan pada tanaman mangga terjadi 1 ½ - 2 bulan sesudah musim kering dimulai. Waktu yang diperlukan pembungaan dan pembuahan kurang lebih 4 bulan kering dan selama waktu tersebut ada 15 hari hujan merata. Curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman mangga adalah kurang dari 60 mm/bulan dengan 4 – 6 bulan kering (Wikipedia, 2011).

Buah mangga terdiri tiga bagian utama yaitu kulit, daging dan biji. Sekitar 11 - 18% dari berat mangga utuh terdiri dari kulit. Berat biji berkisar 14 - 22% dari berat utuh mangga. Sedangkan daging buah mempunyai berat 60 - 70% dari berat keseluruhan mangga (Pracaya, 1990). Panjang buah kira-kira 2.5 - 30 cm. Pada bagian ujung buah, ada bagian yang runcing yang disebut paruh. Di atas paruh ada bagian yang membengkok yang disebut sinus, yang dilanjutkan ke bagian perut. Bagian belakang buah mangga disebut punggung (Pracaya, 1985).

(2)

Mangga mempunyai kulit buah agak tebal berbintik-bintik kelenjar, berwarna hijau, kekuningan atau kemerahan bila masak. Ciri-ciri daging buah masak yaitu berwarna merah jingga, kuning atau krem, berserabut atau tidak, manis sampai masam dengan banyak air, berbau kuat sampai lemah, penebalan lapisan ‘bedak’, pemunculan bintik coklat pada 2/3 lebih bagian panjang buah dan menghasilkan nada tinggi jika buah diketuk dengan jari. Biji berwarna putih, gepeng memanjang tertutup endokarp yang tebal, mengayu dan berserat.

Pati yang terakumulasi selama proses pematangan buah ternyata kadarnya berkurang tajam pada saat buah matang, dimana ukuran granula pati yang ada di dalam kloroplas mengecil (Seymour

et al., 1993). Hilangnya pati diiringi dengan kenaikan kadar amilase setelah proses pematangan

selesai. Sebagai akibat hidrolisis pati, maka kadar gula juga meningkat selama pematangan, dimana gula yang terbentuk adalah fruktosa, glukosa dan sukrosa yang menggantikan monosakarida. Pada kebanyakan varietas mangga ternyata fruktosa ditemukan paling dominan. Seymour et al. (1993) menyatakan bahwa kadar TPT buah mangga yang mendekati tingkat kematangan akan semakin meningkat. Dengan meningkatnya kadar gula maka meningkat pula rasa manis pada buah mangga.

Pracaya (1990) menyatakan bahwa waktu berbunga buah mangga di pulau Jawa lebih kurang terjadi pada bulan Juli-Agustus, sedangkan musim panen terjadi pada bulan September-Desember. Pracaya (1985) juga menyatakan buah mangga sudah dapat dikatakan tua jika telah berumur > 79 hari, karena telah mencapai tingkat perkembangan maksimal dan proses pematangan yang sempurna.

Terdapat perbedaan karakteristik fisik dan kimia untuk tiap jenis buah mangga. Hasil analisa sebuah penelitian mengenai karakteristik beberapa varietas mangga lokal dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisa proksimat pada beberapa varietas buah mangga masak Varietas Kadar air

(%) TSS (oBrix) TAT (oBrix) Vit. C (mg/100 g) Total gula (%)

Rasio gula dan asam Gedong 82.86 16.00 0.12 7.21 17.28 144.71 Arumanis 81.05 14.77 0.89 2.32 17.42 19.57 Manalagi 81.90 16.20 0.63 4.29 17.36 27.56 Cengkir 84.30 14.93 0.26 5.08 16.04 61.71 Golek 85.38 13.90 0.11 4.52 17.87 162.50

Sumber: Yulianingsih dan Laksmi (1988)

Mangga merupakan buah klimakterik dengan umur simpan 6 – 8 hari pada suhu kamar yaitu 25±2oC dan RH 85±5% (Jagatiani et al. 1988). Menurut Yuniarti dan Suhardi (1989) buah mangga golek yang dipanen pada umur 92 hari setelah pembungaan akan mencapai tingkat kematangan optimal setelah disimpan 8 hari pada suhu kamar. Broto et al. (1989) menyatakan bahwa mangga arumanis rata-rata terjadi pematangan secara penuh setelah pemanenan pada hari ke-8 pada kondisi suhu kamar 23-25oC dan RH 70-80%. Mangga cengkir yang dipanen pada stadia ketuaan komersil hanya tahan simpan selama 8 hari (Pratikno dan Sosrodiharjo, 1989).

Mangga terutama dihasilkan oleh negara-negara India, Tiongkok, Meksiko, Thailand, Pakistan, Indonesia, Brasil, Filipina, dan Bangladesh. Total produksi dunia di tahun 1980-an sekitar 15 juta ton, namun hanya sekitar 90.000 ton (1985) yang diperdagangkan di tingkat dunia. Artinya, sebagian besar mangga dikonsumsi secara lokal. Sementara itu pasar utama mangga adalah Asia Tenggara, Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Singapura, Hong Kong dan Jepang merupakan pengimpor yang terbesar di Asia. Gambaran produksi mangga tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 2.

(3)

Tabel 2. Sepuluh produsen mangga terbesar pada tahun 2007

No Negara Produksi (ton) Catatan

1. India 13.501.000 F 2. China 3.752.000 F 3. Meksiko 2.050.000 F 4. Thailand 1.800.000 F 5. Pakistan 1.719.180 F 6. Indonesia 1.620.000 F 7. Brasil 1.546.000 F 8. Filipina 975.000 F 9. Nigeria 734.000 F 10. Vietnam 370.000 F Tingkat dunia 33.445.279 A Keterangan: F = Perkiraan FAO

A = data gabungan (resmi, tak resmi, dan atau hasil perhitungan)

Sumber: Food and Agricultural Organization of United Nations: Economic And Social Department: The Statistical Division.

Salah satu varietas buah mangga yang banyak disukai untuk dikonsumsi ialah mangga arumanis (Gambar 1). Bentuk buahnya gemuk terkesan banyak daging buahnya, berparuh sedikit, dan ujungnya meruncing. Pangkal buah berwarna merah orange keunguan, sedangkan bagian lainnya berwarna hijau kebiruan. Mangga ini memiliki kulit yang tidak begitu tebal, berbintik kelenjar berwarna keputihan, jika tua terkesan mengkilap. Daging buahnya tebal, berwarna kuning kemerah-merahan, dagingnya lembut, sedikit berserat, dan tidak begitu banyak mengandung air. Rasanya manis segar, tetapi pada bagian ujungnya terkadang sedikit asam. Bijinya kecil, lonjong pipih, dan panjangnya antara 12-14 cm. Panjang buahnya berkisar 13~16 cm, dan rata-rata berat per buah berkisar 450 g. Mampu berbuah maksimal, bisa mencapai 60 kg/pohon (Agrobuah, 2011).

Gambar 1. Buah mangga varietas arumanis Sumber: agrobuah.com

(4)

B.

PENGERINGAN OSMOTIK

Osmosis merupakan suatu proses dimana suatu liquid dapat melewati suatu membran semipermeabel secara langsung. Apabila terdapat dua larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut yang berbeda dipisahkan oleh suatu membran semipermeabel, maka akan terjadi perpindahan air dari larutan hipotonik (larutan dengan konsetrasi zat terlarut yang lebih rendah) ke larutan hipertonik (larutan dengan konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi). Misalnya yang terjadi dalam kasus dua buah liquid yang dipisahkan dengan suatu membran semipermeabel (Gambar 2) dimana pada salah satu kaki berisi pelarut murni misalnya air sebagai larutan hipotonik, dan satu kaki yang lain berisi larutan gula sebagai larutan hipertonik.

Gambar 2. Proses osmosis dua liquid

Pori dalam membran semipermeabel terlalu kecil untuk dapat dilewati oleh molekul zat terlarut misalnya gula, tetapi cukup besar untuk dilewati molekul air. Molekul air dari larutan maupun dari pelarut murni secara random dapat melewati membran semipermeabel. Akan tetapi laju pergerakan molekul air dari air-larutan dengan laju pergerakan molekul air dari larutan-air ditentukan oleh besarnya entropi dan tekanan yang diaplikasikan ke salah satu kaki. Karena entropi larutan adalah lebih besar dibandingkan dengan entropi pelarut murni maka secara spontan laju molekul air yang melewati air-larutan akan lebih cepat dibandingkan dengan laju molekul air dari larutan-air. Oleh sebab itu bila kita membiarkan kedua larutan untuk selang waktu tertentu maka ketinggian permukaan larutan pada salah satu kaki akan mengalami kenaikan. Proses ini akan terus berlangsung sampai ketinggian “h” mencapai tinggi tertentu dimana pada ketinggian tersebut tekanan larutan memiliki tekanan yang dapat menyeimbangkan laju pergerakan molekul air dari larutan-air dan air-larutan. Tekanan inilah yang disebut sebagai tekanan osmotik.

Gambar 3. Pergerakan air karena perbedaan tekanan osmotik Sumber : belajarkimia.com Membran semipermeabel Larutan gula Pelarut murni (air)

aliran air dari larutan hipotonik ke larutan hipertonik

(5)

Proses osmosis dapat juga diaplikasikan pada proses pengeringan pangan. Meningkatkan kualitas produk makanan yang diawetkan, memberikan kisaran kadar air dan zat terlarut bahan yang diinginkan untuk proses pengolahan selanjutnya, meminimalisasi stress pada bahan akibat panas dan mengurangi input energi pada pengeringan konvensional merupakan beberapa keuntungan dari pengeringan osmotik dalam proses stabilisasi konvensional (Chottanom et al., 2005). Pengeringan osmotik dilakukan dengan menciptakan lapisan semipermeabel dengan cara merendam produk ke dalam larutan gula, larutan garam, sorbitol, gliserol, dan sebagainya sebelum proses pengeringan. Proses ini biasa dilakukan dalam pembuatan produk pangan semi basah. Selanjutnya produk dikeringkan dengan penjemuran atau pengeringan buatan. Proses pengeringan osmosis dapat digunakan untuk perlakuan pengeringan awal yang dapat menurunkan kadar air bahan sampai 50% dari kadar air awal bahan (Karathanos et al., 1995). Metode pengeringan osmotik dikombinasikan dengan pengeringan udara terbukti mampu menghasilkan buah kering awet dengan kadar air sekitar 14%, sehingga kerusakan kimiawi, biologis dan enzimatis dapat dihindari. Perendaman irisan daging buah mangga kweni dalam larutan gula 60 oBrix selama 10 jam, kemudian dikeringkan pada suhu 55 oC dan kelembaban 60% selama 9 jam menghasilkan manisan mangga kweni kering, berpenampilan menarik, warna kuning merata, manis, dan memiliki kadar air optimum yaitu 14.41% (Broto, 2003).

Pengeringan osmotik melibatkan dua aliran material yang berlawanan arah dan terjadi secara simultan, yaitu keluarnya air dari jaringan produk ke larutan osmotik dan aliran padatan terlarut dari larutan osmotik ke dalam jaringan produk. Laju kehilangan air dari jaringan produk dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu, komposisi dan konsentrasi larutan osmotik, fase kontak, karakteristik produk, perlakuan awal terhadap produk, ukuran dan bentuk geometri produk, tingkat pengadukan, dan lamanya proses pengeringan (Khan et al., 2008).

Suhu memberikan pengaruh positif (sebanding) dengan kehilangan air dan kenaikan padatan pada buah mangga dengan perlakuan pengeringan osmotik. Pada buah nanas yang telah dilakukan pengeringan osmotik selama 6 jam, dengan suhu 30, 40 and 50 ºC dalam larutan hipertonik (60% sukrosa), menunjukkan bahwa penurunan kadar air nanas mempunyai fungsi linier terhadap suhu perendaman. Makin tinggi suhu, makin turun kadar air nanas, kadar sukrosa dalam buah makin tinggi (Ramalo dan Mascheroni, 2005).

Jenis dan konsentrasi larutan osmotik sangat mempengaruhi laju pengeringan dan mutu yang dihasilkan. Karathanos et al. (1995) menemukan bahwa larutan glukosa dengan konsentrasi 45% memberikan laju kehilangan air yang paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi larutan 30% dan 15%. Kalsium klorida umumnya digunakan pada konsentrasi 0.5 – 1.0% sebagai tambahan pada bahan osmosis yang sebenarnya, terutama untuk menguatkan struktur jaringan sayuran atau buah-buahan. Natrium klorida sangat cepat menghasilkan efek pengeringan osmosis, tetapi mempunyai kelemahan yaitu molekul NaCl cepat mempenetrasi bahan dan mengubah rasa. Akibat adanya perubahan organoleptik, maka disarankan untuk menggunakan konsentrasi 10% bagi sayuran, dan 1 - 3% sebagai tambahan pada media osmosis utama untuk mengeringkan buah-buahan. Larutan NaCl juga telah ditemukan mempunyai efek inhibitor terhadap aktifitas polyphenol oksidase (Lenart, 1996). Sukrosa dianggap merupakan bahan osmosis yang terbaik, kehadiran sukrosa pada permukaan bahan yang dikeringkan membantu menghalangi kontak dengan oksigen yang berakibat terhadap penurunan laju pencoklatan enzimatik (enzymatic browning). Sukrosa lebih dapat diterima jika ditinjau dari segi rasa, tetapi rasa manis dapat tidak cocok digunakan bagi sayur-sayuran. Maltodekstrin dan sirup pati dianjurkan untuk menurunkan kadar air sayur-sayuran dan buah-buahan terutama jika efek kemanisan yang diakibatkan oleh sukrosa pada produk akhir tidak diinginkan.

Monteiro et al. (2003) melakukan pengeringan osmotik pada potongan buah mangga untuk memperoleh kondisi perlakuan dengan rasio kinerja pengeringan yang maksimum. Rasio kinerja

(6)

maksimum diperoleh pada kondisi suhu larutan 46 oC dan konsentrasi larutan 65.5 oBrix untuk sampel yang tidak dilapisi alginat. Untuk sampel yang dilapisi alginat, rasio kinerja maksimum diperoleh pada perlakuan suhu larutan 44 oC dan konsentrasi larutan 65.5 oBrix. Rasio kinerja maksimum yang diperoleh masing-masing perlakuan tersebut yaitu 5.16 dan 9.51, sehingga pemberian alginat pada sampel dapat meningkatkan kehilangan air dan menurunkan pemasukan padatan terlarut pada sampel.

C.

EDIBLE COATING

Polimer biodegradable adalah molekul-molekul besar yang dapat dihancurkan atau diurai mikroorganisme, khususnya bakteri dan jamur. Salah satu metode yang sedang dikembangkan adalah kemasan edible, yaitu kemasan yang dapat dimakan, antara lain dengan teknik coating (lapisan). Teknik ini sering disebut sebagai edible film dan/atau edible coating. Coating diaplikasikan dan dibentuk secara langsung pada produk yang dikemas. Sedangkan film dibentuk menyerupai lapisan tipis terlebih dahulu, kemudian diaplikasikan ke produk makanan yang dikemas.

Edible film / coating merupakan lapisan tipis dan kontinyu, terbuat dari bahan-bahan yang

dapat dimakan, dengan melapisi komponen makanan atau diletakkan di antara komponen makanan. Lapisan ini berfungsi sebagai penahan (barrier) yang baik untuk perpindahan massa (kelembaban, lipid, cahaya, zat terlarut, gas O2 dan CO2,sebagai bahan tambahan, serta dapat mencegah hilangnya

senyawa-senyawa volatile pada aroma atau rasa khas suatu produk pangan. Sehingga kemasan edible

film/coating harus memiliki sifat diantaranya: (1) Menahan kehilangan kelembaban produk.

(2) Memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu.

(3) Mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk memepertahankan warna pigmen alami dan gizi.

(4) Menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan.

Aplikasi edible film/coating dapat digunakan pada potongan buah atau sayuran dengan cara pencelupan, pembuihan, penyemprotan, penetesan, dan penetesan terkendali. Cara aplikasinya tergantung pada jumlah, ukuran, sifat produk dan hasil yang diinginkan. Bahan dasar pembuatan

edible film/coating dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu hidrokoloid (protein,

polisakarida, turunan selulosa, alginat, pektin, dan pati), lipida (asam lemak, wax, asilgliserol), serta campuran (hidrokoloid dan lemak).

Edible film/coating dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinan penggunaannya dan jenis film yang sesuai, yang dapat dilihat pada Tabel 3.

(7)

Penggunaan Jenis edible film/coating yang sesuai

Menghambat penyerapan uap air Lipida, komposit

Menghambat penyerapan gas Hidrokoloid, lipida, atau komposit

Menghambat penyerapan minyak dan lemak Hidrokoloid

Menghambat penyerapan zat-zat larut Hidrokoloid, lipida, atau komposit Meningkatkan kekuatan struktur atau memberi

kemudahan penanganan

Hidrokoloid, lipida, atau komposit

Menahan zat-zat volatile Hidrokoloid, lipida, atau komposit

Pembawa bahan tambahan makanan Hidrokoloid, lipida, atau komposit Sumber : Donhowe dan Fennema (1994) dalam Krochta et al. (1994)

Salah satu jenis edible coating ialah kitosan. Kitosan merupakan bahan pelapis berupa polisakarida yang berasal dari limbah pengolahan udang (Crustaceae). Misalnya limbah padat pengolahan yang terdiri atas kulit, kaki dan kepala, dapat mencapai hingga 40% dari total produksi udang. Untuk memperoleh kitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) dan pemisahan mineral (demineralisasi), sedangkan untuk mendapatkan kitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi dengan menggunakan basa kuat NaOH atau KOH. Dalam chitosan terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan cairan tubuh manusia. Zat itu merupakan satu-satunya selulosa yang dapat dimakan, mempunyai muatan positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu, zat ini mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun. Kitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pengawet makanan, karena

kitosan memiliki polikation bermuatan positif sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba

(Wardaniati, 2009) dan mampu berikatan dengan senyawa-senyawa yang bermuatan negatif seperti protein, polisakarida, asam nukleat, logam berat dan lain-lain (Murtini dkk, 2008). Selain itu, molekul kitosan memiliki gugus N yang mampu membentuk senyawa amino yang merupakan komponen pembentukan protein dan memiliki atom H pada gugus amina yang memudahkan kitosan berinteraksi dengan air melalui ikatan hidrogen (Rochima, 2009).

Kitosan tidak larut di dalam air, alkali pekat, alkohol dan aseton, tetapi larut dalam asam lemah seperti asetat dan formiat. Asam organik seperti asam hidroklorida dan asam netral dapat melarutkan kitosan pada pH tertentu dalam keadaan hangat dan pengadukan lama, tetapi hanya sampai derajat terbatas. Kitosan diketahui mempunyai kemampuan untuk membentuk gel, film dan fiber, karena berat molekulnya yang tinggi dan solubilitasnya dalam larutan asam encer. Kitosan telah digunakan secara luas di industri makanan, kosmetik, kesehatan, farmasi dan pertanian serta pada pengolahan air limbah. Di industri makanan, kitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet, penstabil warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, tambahan makanan hewan dan sebagainya. Berikut ini disajikan spesifikasi kitosan niaga pada Tabel 4.

(8)

Tabel 4. Spesifikasi kitosan niaga

Parameter Ciri

Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk

Kadar air ≤ 10.0 %

Kadar abu ≤ 2.0 %

Warna larutan Tidak berwarna

N-deasetilasi ≥ 70.0 %

Kelas viskositas (cps) - Rendah - Medium

- Tinggi pelarut organik - Sangat tinggi

< 200 200 – 799 800 – 2000 >2000

Sumber: Purwatiningsih S et al., 2009

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kitosan mempunyai potensi yang cukup baik sebagai pelapis pada benih dan buah-buahan misalnya pada tomat (El-Ghaouth et al., 1992). Sifat lain kitosan adalah dapat menginduksi enzim chitinase pada jaringan tanaman yaitu enzim yang dapat mendegradasi kitin yang merupakan penyusun dinding sel fungi (Baldwin, 1994). Nisperos-Carriedo

et al. (1994) menyatakan bahwa pelapis dari karbohidrat dapat menyerap uap air. Oleh karena itu,

penghambatan transpirasi dari dalam ke luar buah tergantung pada tinggi rendahnya konsentrasi kitosan yang digunakan.

Gambar

Tabel 1. Hasil analisa proksimat pada beberapa varietas buah mangga masak  Varietas  Kadar air
Tabel 2. Sepuluh produsen mangga terbesar pada tahun 2007
Tabel 4. Spesifikasi kitosan niaga

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun gula sendiri mampu untuk memberi stabilitas mikroorganisme pada suatu produk makanan jika diberikan dalam konsentrasi yang cukup (di atas 70% padatan terlarut

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi, sumber zat gizi yang terdapat pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi sehingga tidak menimbulkan

Untuk itu hendaknya ransum yang digunakan mengandung susunan zat makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, yakni kandungan energi yang tinggi, kualitas protein

Buah yang memiliki kadar air tinggi dengan sistem penggorengan ini akan dapat digoreng dengan baik sehingga menghasilkan produk dengan tekstur dan flavor yang diinginkan

Pencemaran air adalah memasuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke

Kualitas dari suatu produk atau jasa adalah kelayakan atau kecocokan dari produk atau jasa tersebut untuk memenuhi kegunaannya sehingga sesuai dengan yang diinginkan oleh

pangan dan untuk memperbaiki karakter pangan agar memiliki kualitas yang meningkat (Hartono, Rudi 2005). Zat adiktif makanan adalah bahan yang ditambahkan dan

Perunut dengan isotop radioaktif 32 P yang tergabung dalam larutan senyawa H3PO4, dalam hal ini dipakai untuk menentukan atau mencirikan kadar zat makanan unsur