10 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KomunikasiIstilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communications berasal dari bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama; sama disini artinya sama makna atau sama arti (Effendi, 2007:9). Menurut Harold Laswell cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: who (siapa), says what (mengatakan apa), in which channel (dengan saluran apa), to whom (kepada siapa), with what effect (dengan pengaruh bagaimana) (Mulyana, 2005:62). Jadi berdasarkan paradigm Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.
Jika kita berada dalam situasi komunikasi, maka kita memiliki kesamaan terhadap orang lain, seperti kesamaan bahasa atau kesamaan arti simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi. Seperti yang dinamakan Wilbur Schramm yaitu frame of reference atau dapat diartikan sebagai kerangka acuan, yaitu paduan pengalaman dan pengertian. Selain itu Schramm juga mengatakan bahwa field of experience atau bidang pengalaman merupakan faktor yang sangat penting untuk terjadinya komunikasi. Apabila pengalaman komunikator tidak sama dengan bidang pengalaman komunikan, maka timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain dan situasi akan menjadi tidak komunikatif.
Study Joseph A. DeVito, dalam bukunya Communicology,
membagi komunikasi menjadi empat macam bagian yaitu komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik, dan komunikasi massa (Cangara, 2006:29). Komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar,
11 heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat di terima secara serentak dan sesaat (Rakhmat, 2005:189).
Sedangkan menurut Bittner (Ardianto, 2004:3) komunikasi massa yakni pesan yang di komunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang (mass communication is messages communication through a mass medium to a large number of people). Jadi pada dasarnya komunikasi massa bertujuna untuk mempengaruhi orang lain menggunakan berbagai media yang ada. Studi tentang media massa termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan yang lebih luas berkenaan dengan komunikasi manusia. Bidang ilmu pengetahuan yang luas tersebut dapat dibagi menurut beberapa pembagian. Salah satunya berdasarkan peringkat organisasi sosial yang merupakan tempat berlangsungnya komunikasi. Dari perspektif tersebut, komunikasi mencakup sejumlah masalah dan prioritas tertentu, serta memiliki serangkaian kenyataan dan teori tersendiri. Komunikasi massa hanya merupakan salah satu proses komunikasi yang berlangsung pada peringkat masyarakat luas yang identifikasinya ditentukan oleh ciri khas institusionalnya (gabungan antara tujuan, organisasi, dan kegiatan yang sebenarnya).
2.1.1 Globalisasi budaya dan terbentuknya budaya media
Globalisasi merupakan proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan saling mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Globalisasi juga dapat di artikan sebagai penyusun ruang dan waktu, dimana jarak dalam interaksi untuk motif-motif apapun menjadi tidak berarti.
Menurut Wijendaru, globalisasi yang terjadi sejak akhir abad ke-20 mengharuskan masyarakat dunia bersiap-siap menerima masuknya pengaruh budaya barat terhadap seluruh aspek kehidupan. Aspek kebudayaan menjadi isu penting
12 globalisasi karena budaya pop (film, musik, pakaian, dan sebagainya) mengusung nilai-nilai dan ideologi barat seperti pleasure, hiburan, gaya hidup modern (Muharrominingsih, 2006:49). Berbicara mengenai globalisasi yang hanya
menekankan bahwa Amerikanisasi, sepertinya hanya
merupakan wacana perdebatan lama. Di Asia khususnya, masyarakat mulai bosan dengan budaya popular Amerika yang notabene bertahun-tahun menguasai pasar, sehingga muncullah budaya global alternatif yang tidak di dominasi oleh budaya luar tetapi mulai menyisipkan budaya-budaya ketimuran atau budaya Asia.
Munculnya budaya global alternatif ini disebabkan kelemahan pada asumsi-asumsi imperialisme budaya seperti tidak melakukan analisis dinamika yang terjadi pada tingkat individu. Peneliti imperialsime budaya memang lebih menekankan diri pada unsur unsur makro. Morley juga mengkritik model awal imperialisme budaya karena hanya
mempertimbangkan secara eksklusif arus komunikasi
internasional searah dari Amerika ke seluruh belahan dunia lain. Contoh nyata saat ini, banyak terdapat counter flow exporter program televisi dari pelbagai belahan dunia (Baddrudin, 2006:77).
Korea merupakan salah satu contoh sukses exporter program televisi, khususnya wilayah Asia, bahkan sudah merambah ke wilayah Eropa dan Amerika. Tidak bisa dipungkiri, Korea pada abad ke 21 dapat dikatakan berhasil menjadi saingan berat Hollywood dan Bollywood dalam melebarkan sayap budayanya ke seluruh dunia internasional melalui tayangan hiburannya seperti film, drama, dan musik.
13 Budaya pop Korea dengan segala kemajuan yang dialaminya tetap mengemas nilai-nilai Asia didalamnya. Hal inilah yang menjadi daya Tarik tersendiri, terutama bagi masyarakat Asia yang merasa ada kedekatan tersendiri saat menyaksikannya. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang semakin memudarkan nilai-nilai budaya tradisional, tayangan Korea secara konsisten menampilkan budaya Korea dan Asia, seperti sopan santun, penghormatan kepada orang yang lebih tua, pengabdian pada keluarga, nilai kolektivitas atau kebersamaan, serta nilai kesakralan cinta dam pernikahan. Nilai-nilai ini ditampilkan secara unik dalam situasi kehidupan sehari-hari masyarakat Korea modern yang telah mengalami kemajuan teknologi dan ekonomi yang pesat.
Didalam wilayah yang telah lama didominasi oleh budaya popular dari Hollywood, budaya pop dari Seoul ini menjadi fenomena yang unik dan mengejutkan. Para jurnalis dari berbagai media dari berbagai belahan dunia kini ramai membicarakan fenomena ini. Sementara para akademisi dan peneliti mulai membuat teori-teori ilmiah yang digunakan untuk menjelaskan gelombang tersebut. Memang tidak terduga, Korea Selatan yang pada satu dasawarsa lalu tidak terpengaruh dalam bidang industri budaya populer dan bahkan berposisi marginal dalam bidang tersebut, kini telah berhasil menjadi salah satu negara cultural exporter di Asia. Korea telah mejadi sebuah negara dengan industri budaya yang kuat, mampu mengekspor produk-produk budaya populernya ke luar negeri dan menyebarkan pengaruh kultural.
Tidak bias dipungkiri media menjadi pelaku utama globalisasi budaya. Sebuah budaya media telah hadir, dimana citra, suara, dan lensa mampu menghasilkan bahan yang
14 digunakan orang untuk membangun identitas pribadi., seperti yang diungkapkan Kellner dalam bukunya Budaya Media:
“Radio, televisi, film dan berbagai bentuk produk lain dari industri budaya memberikan contoh tentang makna dari menjadi seorang pria atau wanita, dari kesuksesan atau kegagalan, berkuasa atau tidak berkuasa. Budaya juga memberikan bahan yang digunakan orang banyak untuk membangun naluri tentang kelas mereka, tentang etnis dan ras, berkebangsaan, seksualitas, tentang kita dan mereka. Budaya media membentuk apa yang dianggap baik atau buruk, positif atau negatif, bermoral atau hidup biadap” (Kellner, 2010)
Budaya media merupakan sebuah ketergantungan terhadap media. Media menempati posisi primer dalam kehidupan manusia. Orang menghabiskan banyak waktu mendengarkan radio, menonton televisi, pergi menonton bioskop, menikmati musik, membaca majalah dan koran, serta bentuk-bentuk budaya media yang lainnya. Maka budaya media yang mendominasi kehidupan sehari-hari sebagai latar belakang yang selalu hadir dan menggoda kita.
2.1.2 Media massa dan penggemar budaya pop Korea
Kehidupan masyarakat diawal abad ke 21 diwarnai dengan beragam cara manusia menerima dan menggunakan teknologi. Salah satu bentuk teknologi yang mewarnai kehidupan manusia dimasa sekarang adalah bentuk-bentuk beragam alat yang dapat menjaring komunikasi antar manusia diseluruh dunia yaitu media massa. Kehadiran media massa sangat erat kaitanya dengan penyebaran budaya, karena melalui media massa lah orang-orang kreatif punya tempat yang tepat.
15 menyebarkan karya kreatif dari manusia seperti karya sastra, musik, dan film (Vivian, 2008:505).
Budaya pop yang di produksi secara massa dan dipublikasikan melalui media massa yang didalamnya bersembunyi kepentingan-kepentingan kaum kapitalis maupun pemerintah disebut budaya massa. Pertumbuhan budaya ini berarti memberi ruang yang makin sempit bagi segala jenis kebudayaan yang tidak dapat menghasilkan uang, yang tidak dapat diproduksi secara massa (Strinati, 2007:12). Media massa memiliki peranan penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. Hal ini tampak dalam salah satu fungsi yang dijalankan media massa yaitu fungsi transmisi, dimana media massa digunakan sebagai alat untuk mengirim warisan sosial seperti budaya. Melalui fungsi transmisi, media dapat mewariskan norma dan nilai tertentu dari suatu masyarakat ke masyarakat lain.
Menurut Dominick, sebagai konsekuensi dari fungsi transmisi ini, media massa memiliki kemampuan untuk menjalankan peran ideologis dengan menampilkan nilai-nilai tertentu sehingga menjadi nilai yang dominan. Fungsi ini dikenal sebagai fungsi sosialisasi yang merujuk pada cara orang mengadopsi perilaku dan nilai dari sebuah kelompok (Setiowati, 2008:537).
Budaya pop Korea yang marak di Indonesia pada mulanya ditujukan untuk menyaingi impor budaya luar ke dalam Korea serta menambah pendapatan ekonomi negara, namun karena pasar Asia ternyata potensial sejalan dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia, maka penyebaran budaya pop Korea ini menjadi sarana untuk melanggengkan kapitalisme Korea. Dengan semakin banyaknya penikmat
16 budaya pop Korea, maka akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Korea sendiri. Hal inilah yang dimanfaatkan kapitalis untuk memproduksi budaya Korea secara massal di berbagai wilayah termasuk Indonesia. Penyebaran budaya pop Korea yang begitu pesat merupakan andil besar bagi para pemegang modal (kapitalis) dan pemerintah Korea sendiri. Para pemegang modal membiayai produksi misalnya tayangan hiburan Korea dan penyebarluasannya. Sementara pemerintah sendiri mendukung dengan pemberian modal bantuan bagi produksi tayangan tersebut. Hal ini dilakukan untuk melanggengkan ideologi Korea melalui tayangan hiburan agar Korea dapat dengan mudah diterima di mata dunia.
2.1.3 Ciri-ciri budaya Populer
Ciri-ciri budaya populer; Tren, sebuah budaya yang menjadi trend dan diikuti atau disukai banyak orang berpotensi menjadi budaya populer; Keseragaman bentuk, sebuah ciptaan manusia yang menjaadi tren akhirnya diikuti oleh banyak copycat-penjiplak. Karya tersebut dapat menjadi pionir bagi karya-karya lain yang berciri sama, sebagai contoh genre musik pop (diambil dari kata popular) adalah genre musik yang notasi nada tidak terlalu kompleks, lirik lagunya sederhana dan mudah dinikmati dan diadopsi oleh khalayak, hal ini mengarah pada tren; Durabilitas, sebuah budaya populer akan dilihat berdasarkan durabilitas menghadapi waktu, pionir budaya populer yang dapat mempertahankan dirinya bila pesaing yang kemudian muncul tidak dapat menyaingi keunikan dirinya, akan bertahan-tahan seperti merek Coca-cola yang sudah ada berpuluh-puluh tahun; Profitabilitas, dari sisi ekonomi, budaya populer berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar bagi
17
industry yang mendukungnya.
(http://www.slideshare.net/andreyuda/media-dan-budaya-populer)
2.2 Penelitian terdahulu
Penelitian tentang analisa gaya hidup anak muda yang meniru budaya pop Korea, sudah banyak dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu berada pada tema yang sama, yaitu mengenai pengaruh budaya Korean Wave terhadap perubahan budaya remaja. Pada bagian ini, peneliti berupaya mereview tiga sumber.
Pertama, Jurnal penelitian berjudul Analisa Gaya Hidup Remaja Dalam Mengimitasi Budaya Pop Korea Melalui Televisi (Studi Pada siswa SMA Negeri 9, Manado) yang dilakukan oleh Olivia M. Kaparang (2013), mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sam Ratulangi. Penelitian ini menjelaskan bahwa proses perkembangan dan pengimitasian remaja terhadap budaya pop Korea semakin meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi dan informasi melalui media massa khususnya televisi.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Modelling. Inti dari teori ini adalah permodelan (modeling), dan permodelan inilah yang merupakan salah satu langkah penting dari pembelajaran terpadu. Pertama-tama seseorang akan melakukan pengamatan akan sikap, perilaku, dan hasil dari perilaku orang lain tersebut yang kemudian akan ia tiru (imitasi) sehingga orang tersebut akan dijadikan role model bagi dirinya.
Proses pengimitasian para remaja ini, memperlihatkan terjadinya sebuah pergeseran kekaguman terhadap budaya sendiri. Nampak dengan jelas proses pergeseran budaya. Orang tua tidak mampu mengarahkan mereka untuk tetap mengagumi dan mengimitasi budaya sendiri melainkan
18 mengizinkan anak-anak mereka mengimitasi budaya pop Korea dengan cara berpakaian serta bergaya Korea.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah, dalam penelitian ini penulis ingin lebih spesifik dengan remaja yang meniru menggunakan fashion, kosmetik atau skin care ala Korea.
Kedua, Jurnal penelitian yang berjudul Bentuk Budaya Populer dan Konstruksi Perilaku Konsumen: Studi Terhadap Remaja yang dilakukan oleh Melly Ridharyanthi (2014), seorang lulusan mahasiswa Jurusan Media dan Komunikasi Universitas Kebangsaan Malaysia. Dalam penelitiannya, Ia menjelaskan bahwa perkembangan budaya Korean Wave telah di bantu oleh media massa yang menyampaikan informasi apapun ke seluruh dunia dengan cepat. Produk budaya Korea seperti musik, drama dan film (produk pertelevisian), makanan, fashion, dan gaya hidup di expos ke seluruh dunia sebagai bentuk globalisasi budaya populer. Segala bentuk informasi mengenai budaya Korea dengan mudah diakses oleh masyarakat khususnya para remaja.
Dalam penelitian ini, Melly mengungkapkan telah terjadi pergeseran jati diri dan terkonstruknya remaja akibat konsumsi budaya Korean Wave melalui media massa. Remaja menjadikan media massa sebagai pemuas rasa ingin tahu secara terus-menerus- telah membentuk suatu kegiatan konsumsi tertentu dan telah terkonstruksi prilaku terhadap pengaruh budaya Korean Wave.
Ketiga, Analisis Pengaruh Musik Korea Populer Terhadap Gaya Hidup dikalangan Remaja, penelitian yang dilakukan oleh Amalio Izzati dan Ade Armando (2014) mahasiswa Program Studi Periklanan, Jurusan komunikasi Universitas Indonesia. Penelitian ini juga menjelaskan
bagaimana pengaruh budaya Korean Wave terhadap budaya remaja,
19 pengaruh musik pop Korea sebagai produk dari Korean Wave dalam mengubah gaya hidup remaja.
Amalia dan Ade dalam penelitiannya menjelaskan bahwa produk budaya Korea yaitu musik pop Korea telah merubah gaya hidup remaja. Konsumsi terhadap musk dapat terjadi dalam berbagai kemungkinan, tidak hanya sebatas mendengarkan, tetapi juga menyukai latar belakang penyanyinya sehingga menciptakan sikap fanatik terhadap idola dan rela melakukan apapun untuk terlihat seperti idolanya. Konsumsi musik Korea melalui media massa telah menjadikan remaja sangat menyukai dan lebih menyukai musik pop Korea ini.
Mereka mulai berpenampilan seperti artis-artis Korea yang dilihatnya dalam video klip, atau saat membawakan lagu di atas panggung, tidak hanya itu make-up, fashion, dan sampai rela mengabiskan waktu dan uang demi meng up-date kegiatan idola.
Dari ketiga review di atas, juga terdapat beberapa kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti di dalam skripsi ini; tetapi tentu terdapat beberapa perbedaan. Penelitian yang akan dilakukan lewat skripsi ini akan lebih spesifik, yaitu membahas mengenai Analisa gaya hidup remaja yang meniru penggunaan fashion dan kosmetik atau skin care hasil dari budaya pop Korea, yang dalam batasan penelitian pada remaja dalam komunitas Maranatha Youthteen di kota Ungaran.
2.3 Gaya Hidup
Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang mengenakannya dan menggambarkan seberapa besar nilai moral orang tersebut dalam masyarakat di sekitarnya. Definisi gaya hidup ini sendiri dikemukakan oleh Plummer sebagai berikut:
“Gaya hidup adalah cara hidup individu yang di identifikasi oleh bagaimana orang menhabiskan waktu mereka (aktifitas), apa yang mereka
20 anggap penting dalam hidupnya (ketertarikan) dan apa yang mereka pikirkan tentang dunia sekitarnya.” (Plummer, 1983)”
Jadi gaya hidup dapat dikatakan sebagai suatu pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktifitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya.
Gaya hidup tentu tidak bisa lepas dari konsumerisme. Dengan menjalankan gaya hidup, berarti kita telah mengkonsumsi produk-produk yang menunjang gaya hidup atau yang sering disebut konsumeritis. Dalam konstruksi gaya hidup konsumerisme penggemar budaya pop Korea dapat dilihat sebagai sub-kultur mereka memiliki serangkaian nilai dan praktik budaya eksklusif bersama, yang berada diluar masyarakat dominan.
Menurut Chaney (dalam Subandy, 1997), ada beberapa bentuk gaya hidup, antara lain:
2.3.1 IndustriGaya Hidup
Dalam abad gaya hidup, penampilan-diri itu justru mengalami estetisisasi, "estetisisasi kehidupan sehari-hari" dan bahkan tubuh/diri pun justru mengalami estetisisasi tubuh. Tubuh/diri dan kehidupan sehari-hari pun menjadi sebuah proyek, benih penyemaian gaya hidup. "Kamu bergaya maka kamu ada!" adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk melukiskan kegandrungan manusia modern akan gaya. Itulah sebabnya industri gaya hidup untuk sebagian besar adalah industri penampilan.
2.3.2 Iklan Gaya Hidup
Dalam masyarakat mutakhir, berbagai perusahaan (korporasi), para politisi, individu-individu semuanya terobsesi dengan citra. Di dalam era globalisasi informasi seperti sekarang ini, yang berperan besar dalam membentuk budaya
21 citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture) adalah gempuran iklan yang menawarkan gaya visual yang kadang-kadang mempesona dan memabukkan. Iklan merepresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus (subtle) arti pentingnya citra diri untuk tampil di muka publik. Iklan juga perlahan tapi pasti mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat.
2.3.3 Public Relations dan Journalisme Gaya Hidup
Pemikiran mutakhir dalam dunia promosi sampai pada kesimpulan bahwa dalam budaya berbasis-selebriti (celebrity based-culture), para selebriti membantu dalam pembentukan identitas dari para konsumen kontemporer. Dalam budaya konsumen, identitas menjadi suatu sandaran "aksesori fashion". Wajah generasi baru yang dikenal sebagai anak-anak Z-Generation, menjadi seperti sekarang ini dianggap terbentuk melalui identitas yang diilhami selebriti (celebrity-inspired identity), cara mereka berselancar di dunia maya (Internet), cara mereka gonta-ganti busana untuk jalan-jalan. Ini berarti bahwa selebriti dan citra mereka digunakan momen demi momen untuk membantu konsumen dalam parade identitas. 2.3.4 Gaya Hidup Mandiri
Kemandirian adalah mampu hidup tanpa bergantung mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan. Nalar adalah alat untuk menyusun strategi. Bertanggung jawab maksudnya melakukan perubahan secara sadar dan memahami betuk setiap resiko yang akan terjadi serta siap menanggung resiko dan dengan kedisiplinan akan terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan
22 gaya hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan merdeka untuk menentukan pilihannya secara bertanggung jawab, serta menimbulkan inovasiinovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian tersebut.
2.3.5 Gaya Hidup Hedonis
Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk mencari kesenangan hidup, seperti lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak bermain, senang pada keramaian kota, senang membeli barang mahal yang disenanginya, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dari suatu gaya hidup dapat berupa gaya hidup dari suatu penampilan melalui media iklan, modeling dari artis yang di idolakan, gaya hidup yang hanya mengejar kenikmatan semata sampai dengan gaya hidup mandiri yang menuntut penalaran dan tanggung jawab dalam pola perilakunya.
Menurut pendapat Amstrong (dalam Nugraheni, 2003), gaya hidup seseorang dapat dilihat dari perilaku yang dilakukan oleh individu seperti kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan atau mempergunakan barang-barang dan jasa, termasuk didalamnya proses pengambilan keputusan pada penentuan kegiatan-kegiatan tersebut. Lebih lanjut Amstrong menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang ada 2 faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang berasal dari luar (eksternal). Faktor internal yaitu sikap, pengalaman, dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif, dan persepsi sedangkan faktor eksternal
23 terdiri dari kelompok referensi, keluarga, kelas sosial, dan kebudayaan.
2.4 Imitasi
Imitasi secara sederhana menurut Tarde (dalam Gerungan, 2010) adalah contoh-mencontoh, tiru-meniru, ikut-mengikut. Dalam kehidupan nyata, imitasi ini berkaitan dengan kehidupan sosial, sehingga tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa seluruh kehidupan sosial itu terinternalisasi dalam diri anak berdasarkan faktor imitasi. Secara umum imitasi adalah proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain melalui sikap, penampilan gaya hidup, bahkan apa saja yang dimiliki oleh orang lain (Sasmita, 2011). Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan imitasi adalah dorongan untuk meniru orang lain dengan mencontoh atau melihat individu lain melakukan sesuatu, baik dalam wujud penampilan, sikap, tingkah laku dan gaya hidup pihak yang ditiru.
Menurut Choros dalam Hurley ada beberapa syarat tertentu yang mempengaruhi perilaku imitasi, diantaranya:
a. Menaruh minat kepada suatu hal yang akan diimitasi (ditiru). Minat adalah syarat dasar dari tiap individu untuk bisa melakukan imitasi. Mustahil melakukan imitasi kepada suatu objek yang tidak kita senangi.
b. Mengagumi pada hal-hal yang diimitasi. Makna dari
mengagumi adalah suatu langkah yang umumnya lebih tinggi tingkatannya bila dibandingkan dengan hanya menyukai.
c. Harus ada penghargaan sosial yang akan menjadi model.
Dimaksudkan agar imitasi yang diperoleh dapat
mendatangkan penghargaan sosial di dalam lingkungannya.
d. Individu yang akan melakukan imitasi maka harus memiliki
24 Banyak faktor – faktor pendukung mengapa seseorang berperilaku imitasi, (Slamet 2009). Menyatakan alasan terjadinya perilaku imitasi, yaitu:
• Perilaku imitasi itu terjadi karena adanya tokoh idola yang
dijadikan sebagai model untuk ditiru: manusia
mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang dia sukai sehingga memunculkan minat yang besar untuk meniru tokoh yang ia idola kan.
• Keterpesonaan atau kekaguman akan tokoh yang di
idolakan : setiap orang memiliki tokoh yang dikagumi, saat manusia mulai mengidentifikasi tokoh yang ia suka, maka itu semua berasal dari kekaguman. Contoh : dalam hal ini misalnya seorang remaja mengagumi Boyband Idola Kpop BTS, selain memiliki wajah yang tampan dan menarik, mereka juga menginspirasi melalui lagu-lagu yang diciptakan dan dibawakan, mereka juga memiliki kepribadian yang baik saat tidak berada di panggung sehingga remaja ini mengaguminya.
• Kepuasan untuk menjadikan diri seperti tokoh yang di idolakan : ini adalah salah satu tahap yang tinggi dalam proses peniruan, yaitu adanya gejala hedonisme ( pemuasaan diri di luar batas) untuk memenuhi kepuasaan diri seseorang saat meniru totalitas dari tokoh yang di idolakan.
2.5 Remaja
Begitu banyak definisi mengenai remaja. Suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja, yang secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja
25 pertengahan, 18-21 tahun: masa remaja akhir, … (F.J. Monks, Knoers, Siti Rahayu Haditono, 2001:262).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Pustaka Sinar Harapan menyebutkan bahwa remaja 1. Dikatakan kepada anak wanita yang mulai haid dan anak laki-laki yang sudah akil balig; dewasa 2. Dewasa ini yang dimaksud: anak laki-laki atau wanita antara anak-anak dan dewasa pada usia puber seperti siswa-siswa SMP; 3. Muda (J.S. Badudu, 1994:1152). Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12-24 tahun. Menurut Depkes RI adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Menurut BKKBN adalah 10-19 tahun (Widyastuti dkk., 2009)
2.6 Teori Cultural Studies
Teori ini sebenarnya mengkaji berbagai kebudayaan dan praktek
budaya serta kaitannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah
mengungkapkan hubungan kekuasaan serta mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi berbagai bentuk kebudayaan (sosial-politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum dan lain-lain). Cultural studies tidak hanya merupakan studi tentang budaya yang merupakan entitas tersendiri yang terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Tujuannya adalah memahami budaya dalam segala bentuk kompleksnya dan menganalisis konteks sosial dan politik tempat budaya tersebut berasal. Media massa sekarang ini cenderung memilih hal hegemoni, dalam hal ini memaksa seseorang secara halus, dan memaksa seseorang lewat alam bawah sadar. Hegemoni budaya berarti kontrol sebuah kelompok atas kelompok lainnya melalui budaya. Hall menyatakan bahwa fungsi utama dari sebuah percakapan adalah membuat atau memaknai sebuah makna. Ketika pesan dikirimkan kepada masyarakat, maka khalayak akan menerima dan membandingkan pesan-pesan tersebut dengan makna sebelumnya yang telah disimpan dalam ingatan. Hal ini disebut dengan
26 decoding. Proses decoding mendapat perhatian dalam cultural studies karena menentukan arti pesan bagi seseorang.
Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian KOREAN WAVE
BUDAYA POP KOREA
Produk Budaya pop Korea
Fashion
Kosmetik (make up) skin care
Remaja di komunitas Maranatha Youthteen
Ungaran
Cultural studies theory
Analisa Gaya Hidup Imitasi Remaja Dalam Komunitas
Maranatha Youthteen Di Ungaran
27 Kerangka berpikir dalam penelitian ini berawal dari pengamatan mengenai semakin maraknya budaya pop Korea di Indonesia. Seiring pergerakan arus globalisasi, perkembangan dan penyebaran suatu budaya sebagai produk, paham dan gaya baru, bahkan identitas, dapat dengan mudah menyebar ke seluruh penjuru wilayah yang diinginkan melalui media. Menyebarnya produk Korea, berikut budaya dan gaya hidup yang dibawanya, disebut dengan Hallyu atau Korean Wave. Dalam Korean wave ini terdapat produk budaya populer, yaitu fashion dan kosmetik atau skin care. Dalam menganalisa gaya hidup remaja dalam komunitas
Maranatha Youthteen ini digunakan teori cultural studies untuk
mengetahui bagaimana penyampaian pesan berkontribusi mengubah gaya hidup seseorang sehingga dapat di ketahui bagaimana terjadinya proses gaya hidup imitasi pada remaja.