• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKONSTRUKSI TARI BEDHAYA ENDHOL-ENDHOL OLEH GUSTI KANJENG RATU WANDANSARI DI KRATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REKONSTRUKSI TARI BEDHAYA ENDHOL-ENDHOL OLEH GUSTI KANJENG RATU WANDANSARI DI KRATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

REKONSTRUKSI TARI BEDHAYA ENDHOL-ENDHOL

OLEH GUSTI KANJENG RATU WANDANSARI

DI KRATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT

Kezia Putri Herawati Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta

Jl. Ki Hadjar Dewantara No. 19 Kentingan, Jebres, Surakarta, 57126 Email:putrikezia1@gmail.com

Nanik Sri Prihatini ISI Surakarta

ABSTRAK

Tari Bedhaya Endhol-Endhol diciptakan oleh I.S.K.S Paku Buwono X khusus ditarikan oleh putri-putri raja. Setelah I.S.K.S Paku Buwono X wafat tari ini sudah tidak pernah dipentaskan lagi, sehingga bentuk dan tekniknya sudah tidak nampak. Akhirnya muncul gagasan dari para pemangku adat yang dipimpin oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari untuk merekonstruksi tari Bedhaya Endhol- Endhol. Berdasarkan fenomena tersebut maka diungkap bagaimana proses dan hasil rekonstruksi tari Bedhaya Endhol-Endhol oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari. Konsep revitalisasi Sri Rochana Widyastutiningrum dan konsep aspek-aspek dasar koreografi Sumandiyo Hadi pun digunakan untuk mengetahui proses dan bentuk tari Bedhaya Endhol-Endhol hasil rekonstruksi. Hasil yang diperoleh bahwa proses tersebut mencakup ide dan latar belakang, proses penggalian yang terdiri atas penggalian gendhing, penggalian gerak, serta tempuk gendhing. Kemudian di dalamnya terjadi proses interpretasi mengenai semua komponen yang membentuk tari Bedhaya Endhol-Endhol. Bentuk tari Bedhaya Endhol-Endhol hasil rekonstruksi mencakup aspek (1) Deskripsi tari, (2) Gerak Tari, (3) Pola Lantai, (4) Musik Tari, (5) Judul Tari, (6) Tema Tari, (7) Jumlah dan Jenis Kelamin, (8) Rias dan Busana, (9) Ruang Tari, (10) tata Cahaya. Hasil rekonstruksi tari Bedhaya Endhol-Endhol oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari telah mengembalikan kembali tari Bedhaya Endhol-Endhol yang sempat ditinggalkan, meskipun belum dapat mewujudkan konsep tari Bedhaya Endhol-Endhol yang menitikberatkan pada karakter bocah.

Kata kunci: Rekonstruksi, Bedhaya Endhol-Endhol, Gusti Kanjeng Ratu Wandansari.

ABSTRACT

Bedhaya Endhol-Endhol dance was created by I.S.K.S Paku Buwono X. It is specially run by the princesses. After I.S.K.S Paku Buwono X died, the dance has never been staged again, so its form and technique have not been seen. Finally, there came the idea of the traditional actors led by Lord Kanjeng Ratu Wandansari to reconstruct Bedhaya Endhol-Endhol dance. Based on this phenomenon, it is revealed how the process and result of Bedhaya Endhol-Endhol dance reconstruction by Gusti Kanjeng Ratu Wandansari. The concept of revitalization by Sri Rochana Widyastutiningrum and the concepts of the basic aspects of Sumandiyo Hadi’s choreography were also used to determine the process and form of Bedhaya Endhol-Endhol dance reconstruc-tion. The results obtained include the idea and the background, the excavation process consisting of excavat-ing gendhexcavat-ing, motion excavation, and tempuk gendhing. Then there is a process of interpretation of all the components that make up Bedhaya Endhol-Endhol dance. The form of reconstructed Bedhaya Endhol-Endhol dance is covering the aspects (1) Dance description, (2) Dance movements, (3) Floor pattern, (4) Dance music, (5) Dance title, (6) Dance theme and gender, (8) Make-up and Clothing, (9) Dance Room, (10) Lighting. The reconstruction of Bedhaya Endhol-Endhol dance by Gusti Kanjeng Ratu Wandansari has restored Bedhaya Endhol dance that had been abandoned, although it has not been able to realize the Bedhaya Endhol-Endhol dance concept that emphasizes the character of the child.

(2)

A. Pengantar

Bedhaya merupakan sebuah tari klasik yang lahir dengan filosofi yang tinggi. Tarian bedhaya

diciptakan oleh para raja Mataram. Bedhaya ditarikan oleh sembilan penari perempuan dan disajikan di dalam lingkup kerajaan. Bedhaya-bedhaya yang lahir merupakan bentuk tari yang mengkiblat pada tari Bedhaya Ketawang. Bedhaya-bedhaya yang lahir tersebut memiliki makna simbolis kebatinan manusia dengan ajaran-ajaran nilai-nilai kehidupan yang baik untuk kembali kepada-Nya (GKR. Wandansari, Wawancara:15 Januari 2015).

Bedhaya yang lahir setelah Bedhaya Ketawang memiliki maksud dan tujuan tersendiri dalam penciptaannya. Bedhaya-bedhaya yang lahir setelahnya, diciptakan oleh raja-raja Mataram baru sesuai maksud dan tujuan masing- masing. Menurut Gusti Kanjeng Ratu Wandansari, bedhaya yang dimiliki Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terdapat 12 bedhaya selain Bedhaya Ketawang.

Bedhaya-bedhaya tersebut terlahir menurut gendhing

dan sindenan yang telah ada sebelumnya. Tari-tari

bedhaya tersebut yaitu Bedhaya Pangkur, Bedhaya Sinom, Bedhaya Sukoharjo, Bedhaya Mangunharjo, Bedhaya Gandrung Manis, Bedhaya Dorodasih, Bedhaya Ela-Ela, Bedhaya Endhol-Endhol, Bedhaya Tejanata, Bedhaya Kabor, Bedhaya Miyanggong, dan Bedhaya Tolu. Bedhaya-bedhaya ini lahir pada masa pemerintahan Paku Buwono ke II hingga ke XI (GKR. Wandansari, Wawancara:15 Januari 2015).

Pemerintahan Susuhunan Paku Buwono II hingga Paku Buwono XIII, memiliki pengaruh terhadap keberadaan tari bedhaya yang ada di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Adanya peralihan kekuasaan mempengaruhi keadaan yang dapat membuat tari bedhaya mengalami berbagai kondisi baik maupun buruk. Sampai saat ini beberapa tari

bedhaya yang masih sering ditampilkan yaitu Bedhaya Sukoharjo, Bedhaya Pangkur, Bedhaya Durodasih,dan Bedhaya Ela-Ela. Sementara

bedhaya-bedhaya yang lain jarang bahkan dapat dinyatakan sudah tidak pernah disajikan dalam acara-acara di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Salah satu bedhaya yang tidak pernah dipentaskan adalah tari Bedhaya Endhol-Endhol (Sri Mulyani, Wawancara:21 November 2014).

Bedhaya Endhol-Endhol merupakan bedhaya

yang diciptakan oleh Susuhunan Paku Buwono X. Tari Bedhaya Endhol-Endhol khusus ditarikan putri raja yang masih berusia kanak-kanak atau remaja. Tari tersebut ditampilkan untuk menyambut tamu yang

datang ke Kraton Surakarta (Ensiklopedi Budaya Jawa, 2000:108). Tari Bedhaya Endhol-Endhol lahir sekitar tahun 1893-1939 karena pada tahun itulah Paku Buwono X bertahta. Hal tersebut ditegaskan oleh Darsiti dalam buku yang berjudul Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Darsiti menuliskan bahwa pemerintahan Paku Buwono X dimulai pada tahun 1893 dan berakhir pada tahun 1939 (Darsiti, 1989: 65).

Bedhaya Endhol-Endhol m em iliki

kekhususan di antara bedhaya-bedhaya yang lain. Jika bedhaya yang lain biasanya ditarikan oleh seorang perempuan yang bukan keturunan raja atau para abdi dalem bedhaya, maka Bedhaya Endhol-Endhol ditarikan oleh para putri raja. Jika bedhaya

yang lain ditarikan oleh gadis yang sudah matang atau dewasa, maka pada tari Bedhaya Endhol-Endhol ditarikan oleh para penari yang belum pernah m engalam i datang bulan (A.M Herm ein, Wawancara:14 April 2016).

Pernikahan putri Paku Buwono X dengan Paku Alam VII juga memiliki sejarah cerita mengenai hidupnya Bedhaya Endhol-Endhol. Salah satu mahar atau hadiah perkawinan antara Paku Alam VII dengan Putri Paku Buwono X adalah sebuah tarian bedhaya

yaitu Bedhaya Tejanata. Dengan diajarkannya sebuah tarian yang di bawa dari Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ke Pura Paku Alaman, mempengaruhi beberapa tarian yang dimiliki oleh Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ikut menjadi materi tari-tarian di Pura Paku Alaman Yogyakarta. Pada saat permaisuri dari Paku Alam VII masih hidup beberapa tarian gaya Surakarta ikut diajarkan diantaranya Bedhaya Tejanata, Bedhaya Pangkur dan beberapa tarian lainnya termasuk Bedhaya Endhol- Endhol. Terbukti bahwa Bedhaya Endhol-Endhol pernah di pentaskan di Bangsal Pura Paku Alaman pada tanggal 14 November 1987 (Kusmayati, 1988: 71).

Seiring waktu tari Bedhaya Endhol-Endhol juga mengalami kemunduran bersamaan dengan para pelakunya. Pernah dilakukan penataan kembali pada tahun 1988 sampai 1993. Terakhir Bedhaya Endhol-Endhol ditarikan sekitar tahun 1994 yang ditarikan oleh anak-anak kecil di Bangsal Sewatama Pura Paku Alam an Yogyakarta (A.M Herm ien, Wawancara:18 April 2016).

Bedhaya Endhol-Endhol sering dipentaskan saat Paku Buwono X bertahta. Namun setelah Susuhunan Paku Buwono X wafat, tari ini mengalami kemerosotan hingga jarang dan akhirnya tidak pernah dipentaskan di Kraton Kasunanan Surakarta

(3)

Hadiningrat. Menurut Sri Mulyani selaku lurah bedhaya, saat ini tari Bedhaya Endhol-Endhol memang sudah tidak pernah ditarikan. Bahkan pada kepemimpinan Paku Buwono XI hingga saat Sri Mulyani mulai menari pada kepemimpinan Paku Buwono XII, dia tidak mengenal tari Bedhaya Endhol-Endhol karena belum pernah diajarkan (Sri Mulyani, Wawancara:21 November 2014).

Sejak Paku Buwono X wafat dan digantikan oleh Paku Buwono XI, kemudian semenjak permaisuri Paku Alam VII wafat dan di teruskan oleh anak-anaknya, Bedhaya Endhol-Endhol mengalami kemerosotan hingga jarang ditarikan. Sampai saat ini pada Pemerintahan Paku Buwono XIII, Bedhaya Endhol-Endhol sudah tidak pernah dipentaskan oleh Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Melihat fenomena yang terjadi pada Bedhaya Endhol-Endhol yang telah mengalami kepunahan, membuat pengkaji tertarik untuk melihat lebih dalam data-data dan peninggalan yang masih tersisa. Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah penataan kembali atau rekonstruksi baik dari dalam maupun luar Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Setelah melakukan pengamatan awal dan wawancara kepada beberapa orang yang terkait erat dengan tarian ini, pengkaji mendapatkan informasi bahwa para pemangku adat di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berencana untuk merekonstruksi tari Bedhaya Endhol-Endhol. Salah satu pemangku adat yaitu Gusti Kanjeng Ratu Wandansari, sehingga dari Gusti Kanjeng Ratu W andansari ide dan proses rekonstruksi dilaksanakan.

Rekonstruksi tari Bedhaya Endhol-Endhol adalah upaya mewujudkan kembali tari Bedhaya Endhol-Endhol baru dengan melihat data-data tersisa dari masa lampau untuk disajikan di masa kini. Data tersebut yaitu gendhing dan cakepan sindhen yang menjadi data utama untuk merekonstruksi tari Bedhaya Endhol-Endhol. Catatan gendhing Bedhaya Endhol-Endhol tersimpan dalam buku Gendhing dan Sindhenan Bedhaya Srimpi oleh Martopangrawit. Selain gendhing juga dijumpai data-data tertulis dari para pelaku, keturunan-keturunan raja, dan para abdi dalem yang ada pada masa kepemimpinan Paku Buwono X.

Tari Bedhaya Endhol-Endhol m emiliki keunikannya dibandingkan dengan bedhaya yang lain, sehingga sangat ironi apabila tarian ini ditinggalkan begitu saja. Apalagi tari ini lahir dari pusat kebudayaan yang menjadi kiblat dari tari yang berkembang di luar tembok kraton. Munculnya

gagasan rekonstruksi tari Bedhaya Endhol-Endhol dapat diketahu proses dan hasil rekonstruksi. Hal ini berm anfaat untuk dapat m em berikan sumbangan konseptual dan material tentang bentuk rekonstruksi tari Bedhaya Endhol-Endhol di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Selain itu membantu pelestarian budaya yang dimiliki Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan menjadikan Bedhaya Endhol- Endhol sebagai sajian baru.

B. Proses Rekonstruksi Tari Bedhaya Endhol-endhol

1. Ide dan Latar Belakang Rekonstruksi

Keprihatinan Gusti Kanjeng Ratu Wandansari melihat kondisi saat ini berbeda dengan ketika ia berlatih dahulu. Para penari bedhaya yang merupakan abdi dalem tidak lagi bertempat tinggal di Keputren, karena sekarang sulit mencari penari yang mau tinggal di kraton. Jumlah penari yang ada saat ini pun cukup sulit untuk mengharuskan mereka mengingat semua tari, padahal jadwal latihan rutin setiap hari Selasa, Sabtu, dan Minggu. Hal tersebut dikarenakan latihan tidak maksimal dan materi tari yang dilatihkan melulu yang digunakan untuk pertunjukan saja.

Kenyataan tersebut lambat laun membuat perbendaharaan tari semakin terkikis. Banyak tari yang semakin lama semakin tidak ada lagi yang menghafal. Ditambah kesibukan Gusti Kanjeng Ratu Wandansari dan usia yang menua mengakibatkan ingatannya terhadap hafalan tari semakin berkurang. Sem entara sem ua tari yang ada tidak ada pendokumentasian berbentuk video. Oleh karena itu Gusti Kanjeng Ratu Wandansari sebagai bentuk pelestarian mengadakan rekonstruksi tari yang telah mati, revitalisasi tari yang sudah mengalami kemunduran, dan publikasi disertai dokumentasi untuk keperluan dan kepentingan yang akan datang.

Gusti Kanjeng Ratu W andansari

mengungkapkan bahwa tarian yang ia sukai akan ditarikan terus-menerus saat berlatih, sedangkan tarian yang kurang disukai jarang dilatihkan karena tidak selalu ditarikannya (GKR W andansari, Wawancara:22 Februari 2016). Kecenderungan ini terbawa hingga pada pemerintahan Paku Buwono XII. Terbukti dari kebiasaan Gusti Kanjeng Ratu Wandansari dan para penari abdi dalem bedhaya

saat ini. Para penari hanya berlatih saat akan pentas. Tari yang dipentaskan pun melulu yang dilatih

(4)

dan dihafalkan yaitu tari padat dengan struktur tidak utuh.

Mirisnya penari hanya menghafal bentuk padatnya saja namun tidak mampu menarikan secara utuh tariannya. Hal ini menguatkan alasan harus diadakannya pelestarian yang lebih mendalam terhadap tarian-tarian kraton khususnya bedhaya. Gusti Kanjeng Ratu Wandansari mengungkapkan perlu diadakan pendokumentasian untuk generasi mendatang sebagai panduan dalam menari.

Gusti Kanjeng Ratu Wandansari bersama para pemangku adat beserta ahli gendhing Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yaitu Kanjeng Saptono dan para penari kemudian melakukan proses pengalian-pengalian kembali. Gusti Kanjeng Ratu Wandansari mengatakan bahwa kegiatan rekonstruksi dan revitalisasi memang akan dilakukan secara terus menerus dan bertahap terhadap semua tari yang ada di Kraton Kasunanan Surakarta. Hal ini dikarenakan kepentingan akan tari-tarian di waktu yang akan datang akan berbeda baik fungsi dan kegunaannya. Demikian pendokumentasi-an tari dilakukan dari proses rekontruksi.

Salah satu tari yang direkonstruksi yaitu tari Bedhaya Endhol-Endhol. Dalam merekonstruksi Bedhaya Endhol-Endhol Gusti Kanjeng Ratu Wandansari melibatkan semua komponen dari para ahli tari, ahli gedhing, abdi dalem penari, dan abdi dalem niyaga. Pengumpulan data dan penuangan serta segala sesuatu dalam melakukan penggalian sehingga dapat dipublikasikan kembali sebagai tari Bedhaya Endhol-Endhol yang utuh.

Rekonstruksi yang dilakukan berupaya mengembalikan tari Bedhaya Endhol-Endhol seperti pada bentuk aslinya. Mengingat tari ini khusus diciptakan untuk anak-anak dengan karakter bocah, maka Gusti Kanjeng Ratu Wandansari menggunakan konsep bocahi ini dalam pijakan merekonstruksi. Konsep yang digunakan sebagai ide penggarapan adalah bedhaya dengan karakter bocah yang memiliki sifat lugu dan sederhana di dalam geraknya.

2. Proses Tahapan Rekontruksi

Rekonstruksi tari merupakan usaha dalam rangka mengadakan kembali sebuah bentuk tari yang sudah tidak ada menjadi sajian utuh dengan proses-proses yang dilakukan meliputi penggalian terhadap data-data yang ada dan reinterpretasi. Rekonstruksi merupakan salah satu usaha dalam merevitalisasi tari. Sesuai dengan tulisan dalam buku Revitalisasi Tari Gaya Surakarta oleh Sri Rochana Widyastutiningrum yang menuliskan mengenai proses revitalisasi yang

di dalamnya terdapat rekonstruksi tari adalah sebagai berikut. Revitalisasi sebagai salah satu upaya pengembangan tari gaya Surakarta, dilakukan dengan beberapa kegiatan diantaranya: penggalian, rekonstruksi, reinterpretasi, dan reaktualisasi tari, yang pada dasarnya bertujuan untuk menghidupkan kem bali, m elestarikan, m engaktualkan, dan membuat tari gaya Surakarta lebih berharga (Widyastutiningrum, 2012: 25-26).

Sesuai dengan tulisan di atas, kegiatan rekonstruksi yang dilakukan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari bertujuan untuk melestarikan dan membuat tari itu lebih berharga. Tahap yang dilakukan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari dalam proses rekonstruksi menitikberatkan pada penggalian dan reinterpretasi dengan berbekal keahlian dan kepekaan terhadap tari-tarian kraton. a. Penggalian Gendhing Endhol-Endhol

Penggalian gendhing merupakan bagian pertama yang dilakukan dalam rekonstruksi ini.

Gendhing yang ada di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat baik iringan dari sebuah tarian atau yang berdiri sendiri sebagai gendhing, telah terselamatkan dengan adanya pembukuan oleh Martapangrawit dengan judul Gendhing dan Sindhenan Bedhaya Srimpi. Sehingga begitu notasi ditabuh kembali akan didapat gendhing secara utuh yang dapat disuarakan. Berbeda dengan bentuk tarian yang akan hilang susunannya jika tidak pernah ditarikan dan didokumentasi sebelumnya. Demikian persiapan pertam a yang dilakukan Gusti Kanjeng Ratu Wandansari adalah memerintahkan untuk gendhing

Bedhaya Endhol-Endhol ditabuh kembali, direkam, dan dicari net jogetannya. Atas pimpinan Kanjeng Saptono gendhing Bedhaya Endhol-Endhol dapat di

gendhingkan atau dibunyikan kembali.

Gendhing Bedhaya Endhol-Endhol dibunyikan kembali dengan cara klenengan atau tanpa tarian bersamaan kegiatan siaran rutin yang dilakukan oleh Radio Republik Indonesia di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Perekaman dilakukan pada tanggal 1 Agustus 2015 di Bangsal Smarakata. Gendhing direkam dan kemudian dilakukan pemutaran secara berulang-ulang untuk memahami dan merasakan gendhing.

Sebelum melakukan penggalian bentuk tari, Gusti Kanjeng Ratu W andansari m elakukan interpetasi terhadap bentuk gendhing dan cakepan. Hal ini dilakukan dengan cara gendhing disuarakan berkali-kali untuk mencari rasa dan net yang pas dikolaborasikan dengan gerak. Lamanya gendhing

(5)

tidak dibubuhi tari pun menyebabkan gendhing yang ditabuh menyerupai klenengan dalam dinamika yang tercipta.

Beberapa kali niyaga menabuh notasi Bedhaya Endhol-endhol namun hasil yang didapat belum sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari. Hasil rekaman gendhing

terlalu lembut dan nglelet sehingga sulit untuk ditarikan atau diisi dengan sekaran gerak tari. Begitu pun dengan gendhingnya seseg dan leletnya dirasa belum sesuai. Perekaman pun kembali dilakukan hingga tiga kali hanya untuk mencari kesesuaian antara gendhing dan tari. Hal ini mengingat tari Bedhaya Endhol-Endhol merupakan bentuk tari

bedhaya anak-anak, sehingga Gusti Kanjeng Ratu Wandansari menginginkan rasa gendhing tidak seperti biasanya tari bedhaya yang lembut dan pelan dinamikanya. Berpijak dari tari bedhaya yang dahulunya diperuntukkan untuk anak-anak, maka Gusti Kanjeng Ratu Wandansari menginginkan

gendhing iringan tarinya lebih cepat dalam dinamika atau temponya.

Persiapan dan pendalaman gendhing oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari dilakukan pada bulan Agustus 2015 hingga bulan Februari 2016. Setelah mendapat gendhing yang net sesuai karakter anak-anak, Gusti Kanjeng Ratu W andansari melakukan pendalaman gendhing. Pada pendalaman

gendhing diperlukan pemikiran dan penghayatan untuk menghasilkan iringan tari Bedhaya Endhol-Endhol yang merupakan tari bedhaya untuk bocah.

b. Penggalian Gerak Tari Bedhaya Endhol-Endhol Berbekal hasil interpretasi gendhing Endhol-Endhol, Gusti Kanjeng Ratu Wandansari melakukan penggalian gerak. Penggalian gerak dilakukan dari pemutaran gendhing secara berulang-ulang dan melibatkan proses penghayatan guna mendapat gambaran gerak. Di dalamnya meliputi menghitung jumlah gongan dan melakukan analisis struktur

gendhing dimana gendhing harus lembut dan seseg

sehingga dapat menyusun gerak-gerak dengan baik. Setelah benar-benar memahami gendhing, Gusti Kanjeng Ratu W andansari m elakukan penggalian gerak dengan cara menginterpretasi. Berpaku pada pengertiannya serta bertanya kepada kakak-kakaknya yang pernah menjumpai ataupun menarikannya. Dikarenakan tidak ada data yang dapat ditem ukan, m aka Gusti Kanjeng Ratu Wandansari berpaku pada beberapa hal.

Pertam a, tari Bedhaya Endhol-Endhol merupakan tarian yang diperuntukkan untuk anak-anak, maka Gusti Kanjeng Ratu Wandansari memiliki pem ikiran bahwa gerak-gerak yang tersusun cenderung pada gerak sederhana. Kesederhanaan tersebut tanpa meninggalkan patokan-patokan dan struktur tari bedhaya di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kedua, tidak ditemukannya video ataupun deskripsi yang dapat membantu terkait tari Bedhaya Endhol-Endhol, maka Gusti Kanjeng Ratu Wandansari melakukan reinterpretasi melalui ingatan kakak-kakaknya yang pernah menarikannya.

Berbekal kemampuan Gusti Kanjeng Ratu Wandansari dalam menghafal semua tari yang dimiliki Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, maka semua sekaran tari ia hafal dengan baik. Hafalan tersebut juga dibantu para kakak perempuannya yang sedikit mengingat, kemudian dengan cekatan Gusti Kanjeng Ratu Wandansari merangkai satu demi satu

sekaran menurut masukan-masukan dari sang kakak.

Kepekaan gendhing dan kemampuan tari merupakan modal utama yang dimiliki Gusti Kanjeng Ratu Wandansari dalam menyusun tari Bedhaya Endhol-Endhol. Pola-pola tari bedhaya telah dikuasai oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari di luar kepala. Hal ini tentu membuat proses penggalian gerak dan interpretasi mudah dilakukan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari sehingga sentuhan antara gendhing dan gerak tari menjadi selaras.

Gerak demi gerak dirangkai dalam satu kesatuan. Kemudahan dalam merangkai gerak ini karena tari bedhaya memiliki struktur yang sama hanya berbeda pada sekaran intinya saja. Awalnya Gusti Kanjeng Ratu Wandansari mempersiapkan gerak-geraknya, kemudian mulai menyusun dan memadukan dengan gendhing. Proses tersebut dilakukan dengan cara mengundang beberapa penari dan mengajarkanya secara langsung, sehingga para penari dapat ikut menari, menghafal, dan memberi masukan sesuai atau tidaknya gerak yang tersusun. Kegiatan penuangan dilakukan Gusti Kanjeng Ratu Wandansari kepada penari guna mendapatkan masukan dari penari. Selain itu penari juga dapat mengingat atas tarian yang telah disusun oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari. Kegiatan ini dilakukan di kediaman rumah Gusti Kanjeng Ratu Wandansari di daerah Kota Barat Badran Surakarta pada tanggal 19, 21, dan 28 Februari 2016. Dari proses penuangan dalam rangka penggalian gerak telah didapatkan hasil awal tari Bedhaya Endhol-Endhol yang diiringi oleh kaset rekaman.

(6)

Pengkaji telah mengikuti kegiatan penuangan tari Bedhaya Endhol-Endhol. Pengkaji pun melihat, mengetahui, dan merasakan secara langsung bagaim ana Gusti Kanjeng Ratu W andansari menuangkan gerak demi gerak kepada beberapa penari. Pengkaji juga melihat bagaimana Gusti Kanjeng Ratu Wandansari menginterpretasikan gerak sehingga terealisasi tari Bedhaya Endhol-Endhol secara utuh.

c. Tempuk Gendhing

Setelah tahap-tahap dari proses penggalian

gendhing dan gerak dilakukan, selanjutnya dilakukan proses tempuk gendhing. Proses ini pun melalui tahapan sebagai berikut.

Pertama adalah penuangan yang dilakukan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari terhadap para

abdi dalem penari bedhaya senior. Penuangan dilakukan melalui latihan beberapa jam sebelum

tempuk gendhing dan saat tempuk gendhing. Dalam proses latihan tempuk gendhing, Gusti Kanjeng Ratu Wandansari memiliki cara tersendiri. Pertama Gusti memberikan perintah kepada para abdi dalem terpilih untuk datang terlebih dahulu sebelum tempuk gendhing terlaksana. Kegiatan ini untuk mengajarkan dan m engingat-ingat gerak-gerak yang telah diajarkan saat penggalian gerak. Beberapa waktu kemudian jadwal latihan para semua abdi dalem

dilakukan dengan berpatokan para senior yang telah berlatih sebelumnya.

Latihan dalam rangka penuangan tari Bedhaya Endhol-Endhol di Kraton dilakukan di Bangsal Smarakata setiap hari Minggu siang sebanyak 15 kali latihan dari bulan Februari 2016 sampai bulan Juni 2016. Latihan diperuntukkan semua penari baik yang telah senior maupun junior dan para kerabat kraton yang biasa mengikuti latihan setiap Minggu siang. Namun begitu Gusti Kanjeng Ratu Wandansari tetap mempersiapkan sembilan penari untuk m em peragakan dalam rangka pendokumentasian dalam rekonstruksi ini. Proses

tempuk gendhing diiringi oleh para abdi dalem niyaga

dan para swarawati yang belum terlalu familiar dengan

gendhing Endhol-Endhol. Kata ‘belum familiar’

m aksudnya, walaupun para niyaga telah

membunyikan gendhing Endhol-Endhol sebelumnya, namun mereka juga masih dalam proses pencarian

net gendhing yang diinginkan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari.

Pada tanggal 28 Februari 2016, pukul 13.00 WIB, di Bangsal Smarakarta, pertama kali dilakukan

tempuk gendhing antara hasil penggalian gendhing

dan gerak tari. Hasil yang didapat pada pertemuan pertama adalah bentuk awal dari sembahan pembuka kemudian berdiri pada posisi montor mabur dan sampai pada pola pertama habis kembali pada posisi

jengkeng. Dilanjutkan peralihan ke gendhing

berikutnya. Susunan gerak pada pola pertama adalah

sembahan, laras Endhol-Endhol dengan ngetoni,

pendhapan asta, pendhapan sampur, lumaksana ogek sampur, dan sampai pada akhir bagian pertama yaitu

sembahan. Pada tahap ini penari lain mengikuti senior yang telah belajar sebelumnya bersama Gusti Kanjeng Ratu Wandansari.

Pada proses tempuk gendhing pertama, para

niyaga juga mencari-cari dan menyusun gendhing dari catatan yang ada. Hal ini dikarenakan pada saat berlatih pertama walaupun gendhing sudah beberapa kali direkam masih kurang selaras dan menyatu dengan tarian. Jadi pada saat latihan pertama, para

niyaga juga mengalami pencarian dan belajar untuk mendapat gendhing yang diinginkan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari untuk rekonstruksi tari Bedhaya Endhol- Endhol.

Pada saat proses tempuk gendhing

dilakukan, para penari junior melakukan gerakan tari sesuai contoh para penari senior. Sementara Gusti Kanjeng Ratu W andansari berperan sebagai

pengeprak yang dapat membantu penari dalam peralihan gerak dan sebagai aba-aba kepada para

pengrawit untuk mendapatkan peralihan gendhing. Minggu, 6 Maret 2016 di Bangsal Smarakata pukul 13.00 WIB- 15.00 WIB. Pada proses tempuk gendhing ini menghasilkan bentuk tari Bedhaya Endhol-Endhol bagian pertama yang di ulang dua kali

rambahan. Seperti pada minggu lalu, para penari mengikuti gerak yang dilakukan oleh para penari senior.

Gerak yang sederhana dan sudah dihafal bentuk sekaran geraknya, menjadikan para penari dengan mudah mengikuti struktur pada bagian pertama. Geraknya meliputi sembahan, laras Endhol-Endhol, pendhapan asta, pendhapan sampur, laras tawing, lembehan asta, pendhapan sampur, lumaksana ogek lambung, srisig sampir sampur, pendhapan asta separo, pendhapan sampur separo, srisig, sekaran mangklung usap jangga, lumaksana ngancap, srisig, lembehan jeplak-jeplak wutuh, engkyek wutuh, dan kemudian kembali jengkeng

dengan pola terakhir rakit telu-telu.

Minggu, 13 Maret 2016 di Bangsal Smarakata pukul 13.00-15.00 WIB. Proses yang sama dilakukan Minggu lalu, yaitu dengan mengulang kembali tari yang telah diajarkan dan masih pada bagian pertama

(7)

saja. Bedhaya Endhol-Endhol bagian pertama dilakukan dua kali rambahan. Pada proses Minggu ini para penari dan niyaga sudah dapat menghasilkan keselarasan walaupun belum sesuai keinginan Gusti Kanjeng Ratu wandansari, yaitu tari dengan rasa dan karakter bocah.

Minggu, 20 Maret 2016 di Bangsal Smarakata pukul 13.00-15.00 WIB. Dari proses latihan rutin Minggu ini, dilakukan satu kali rambahan tari Bedhaya Endhol-Endhol. Pada Minggu ini penari mendapat pembenaran gerak dari Gusti Kanjeng Ratu Wandansari. Gerak yang dimaksud adalah bagaimana cara perpindahan dan pemotongan untuk menyambung pada gerak berikutnya. Gusti Kanjeng Ratu Wandansari juga memaparkan bahwa tari Bedhaya Endhol-Endhol menggambarkan karakter anak-anak. Hasil dari Minggu ini yaitu tarian yang

gendhingnya tidak terlalu nglelet.

Minggu, 27 Maret 2016 di Bangsal Smarakata pukul 13.00-15.00 WIB. Latihan rutin dalam rangka rekonstruksi pada minggu ini dilakukan sekali

rambahan pada bagian pertama. Agenda hari ini tidak berjalan dengan lancar dikarenakan banyak penari yang tidak datang. Latihan tetap dijalankan tanpa penari yang lengkap. Hal ini merupakan salah satu hambatan yang biasa terjadi pada setiap proses.

Minggu, 3 April 2016 di Bangsal Smarakata pukul pukul 13.00-15.00 WIB. Agenda latihan seperti biasa dengan latihan sebanyak dua kali rambahan. Pada latihan kali ini, dirasa sudah cukup untuk bagian pertama. Gusti menilai bahwa bagian satu sudah matang antara gerak tari, penari, dan gendhing yang mengiringi tari. Hasil utuh bagian pertama secara menyeluruh dengan tempo sesuai yang diinginkan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari adalah kurang lebih 22 menit.

Minggu, 10 April 2016 di Bangsal Smarakata pukul 13.00-15.00 WIB. Pada minggu ini, bagian pertam a dirasa cukup dan dilanjut dengan pengenalan bagian dua. Seperti sebelumnya yang dilakukan Gusti Kanjeng Ratu Wandansari, pada bagian dua Gusti meminta beberapa penari senior untuk datang dua jam sebelum tempuk gendhing

berlangsung. Dalam penuangan Gusti Kanjeng Ratu W andansari m enyalurkan gerak bagian dua, sehingga pada saat tempuk gendhing para penari lain dapat mengikuti. Sementara Gusti Kanjeng Ratu Wandansari mengeprak untuk mengarahkan tempo dan peralihan gerak.

Minggu, 17 April 2016 di Bangsal Smarakata pukul 13.00-15.00 WIB. Latihan bagian kedua dari Bedhaya Endhol-Endhol dengan hasil gerak bagian

dua tersusun sebagai berikut sembahan, lembehan jeplak-jeplak separo, lembehan jeplak-jeplak wutuh

tiga kali, dan panahan proses jengkeng. Kemudian bagian perangan terdiri dari sebanyak empat kali yang dilakukan berdiri oleh endel ajeg dan batak, dilanjut dengan laras mangklung nangis, kemudian

lembehan jeplak-jeplak wutuh, srisig sampur menuju pada pola blumbangan dengan gerak laras pistulan srisig kembali ke pola rakit telu-telu. Dilanjutkan dengan lembehan wutuh, jengkeng, sembahan, dan di tutup dengan trapsilantaya.

Minggu, 24 April 2016 di Bangsal Smarakata pukul 13.00–15.00 WIB. Latihan biasa dengan melakukan satu rambahan secara utuh dari awal sampai akhir Bedhaya Endhol-Endhol. Karena bagian kedua baru saja didapat, maka pada bagian kedua penari belum dapat melakukan dengan baik. Namun begitu proses berjalan dengan lancar. Para penari junior dapat m engikuti penari senior dalam melakukan gerak.

Minggu, 8 Mei 2016 di Bangsal Smarakata pukul 13.00–15.00 WIB. Kegiatan di Minggu ini merupakan proses pengkayaan, sehingga para penari dapat menghafal dan sedikit demi sedikit merasakan serta menginterpretasikan tari yang dibawakan sesuai yang diinginkan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari yaitu bedhaya yang memiliki karakter lugu bocah. Bagian pertama dan kedua dilakukan sekali rambahan dengan durasi waktu 40 menit.

Minggu, 15 dan 29 Mei 2016 di Bangsal Sm arakata pukul 13.00–15.00 W IB. Latihan berkonsentrasi pada hafalan para penari dan singkronisasi antara gendhing dan rasa penari. Latihan ini diulang-ulang dengan tujuan para penari senior juga dapat segera hafal susunan gerak tari Bedhaya Endhol-Endhol. Begitu juga pada Minggu, 5 dan 12 Juni 2016 di Bangsal Smarakata pukul 13.00-15.00 WIB. Latihan diadakan dengan materi Bedhaya Endhol-Endhol secara utuh seperti pada minggu-minggu sebelumnya dilakukan guna memberi pengkayaan rasa kepada para penari.

Latihan penuangan Bedhaya Endhol-Endhol yang dilakukan rutin setiap hari minggu, tidak berarti mengalami kelancaran begitu saja. Beberapa kali tarian yang telah ditarikan bersama musik gamelan tidak mengalami keselarasan yang diinginkan. Terkadang musik terlalu lambat sehingga penari kesulitan dalam menari. Terkadang pula tarian sudah habis sekarannya namun musik masih belum selesai, begitu sebalikya. Begitu yang terjadi, namun Gusti Kanjeng Ratu Wandansari memiliki beberapa trik sehingga dapat menjadikan tari dan gendhing

(8)

menjadi selaras yaitu dengan menambah sekaran

yang seharusnya dua kali menjadi tiga kali.

Proses demi proses terlaksana, sistem yang diajarkan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari terhadap para penari adalah sistem pembelajaran menirukan. Para penari junior harus mengikuti penari senior yang telah diajarkan sebelumnya oleh Gusti kanjeng Ratu Wandansari. Proses penyelesaian tari Bedhaya Endhol-Endhol bagian pertama dilakukan pada bulan Februari sampai pertengahan Bulan April, sementara pada bagian kedua pada bulan April sampai bulan Juni.

Keseluruhan tari Bedhaya Endhol-Endhol yang telah Gusti Kanjeng Ratu Wandansari ajarkan kepada para penari telah melalui proses yang panjang. Hasil dari proses panjang tersebut yaitu terwujudnya tari Bedhaya Endhol-Endhol secara utuh dengan durasi 41 menit.

3. Interpretasi

Interpretasi merupakan bagaimana seseorang menuangkan sesuatu atas pikirannya terhadap sesuatu objek setelah mengolahnya. Begitu pula interpretasi Gusti Kanjeng Ratu Wandansari ketika menginterpretasikan tari Bedhaya Endhol-Endhol. Interpretasi dilakukan dengan melihat sejarah yang ada m engenai Bedhaya Endhol-Endhol dan kepekaan serta keahlian Gusti menguasai tari-tarian di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Endhol-Endhol merupakan salah satu nama dari tari bedhaya yang dimiliki Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bedhaya ini diciptakan oleh Paku Buwono X. Beberapa sumber yang menuliskan bahwa tari bedhaya ini merupakan ciptaan paku Buwono X diantaranya dalam buku Warna Sari Sistem Budaya Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Dalam buku ini ditulisakan bahwa tari bedhaya Endhol-Endhol diciptakan khusus untuk para putri I.S.K.S Paku Buwono X di Surakarta yang masih kecil. Tarian bermuatan motif-motif yang sederhana. Oleh Permainsuri K.G.P.P.A Paku Alam VII yang berasal dari Surakarta, tari tersebut dikenalkan di Pura Pakualaman (:90).

Ensiklopedi Kebudayaan Jawa juga menuliskan bahwa tari Bedhaya Endhol-Endhol merupakan bedhaya yang diciptakan oleh Sunan Paku Buwono X. Tari Bedhaya Endhol-Endhol khusus untuk ditarikan putri-putri raja yang masih berusia kanak-kanak atau remaja. Tari tersebut ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu yang datang ke Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Ensiklopedi Budaya Jawa, 2000:108).

Sementara berkaitan dengan gendhing tidak ada keterkaitan antara tari dan gendhing. Sesuai pada

cakepan sindhen yang ada pada gendhing, tertulis m engenai cerita asm ara Paku Buwono IV. Ditegaskan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari bahwa setiap gendhing dan tarianya tidak selalu selaras. Begitu dengan Bedhaya Endhol-Endhol yang gendhingnya telah ada sejak Paku Buwono IV, sedangkan tarian tercipta pada pemerintahan Paku Buwono X. (GKR Wandansari, Wawancara:29 Juni 2016). Mengenai keterkaitan gendhing dan tari m erupakan proses penyem purnaan yang sebagaimana merupakan kewajiban raja yang berkuasa. Bahwa raja bertugas untuk selalu menyempurnakan karya raja terdahulu (GPH Poeger, Wawancara:Januari 2017)

Bedhaya Endhol-Endhol merupakan bedhaya

yang dapat dikatakan sebagai bedhaya yang unik dan berbeda dengan bedhaya-bedhaya yang lain. Dari bentuk sajian dan komponen yang lain dapat dilihat bahwa tari Bedhaya Endhol-Endhol merupakan

bedhaya dengan maksud penciptaan yang berbeda. Jika pada umumnya bedhaya merupakan tarian dengan pola gerak yang rumit dan teknik yang susah, maka berbeda dengan Bedhaya Endhol-Endhol.

Bedhaya biasa ditarikan oleh para abdi dalem penari yang tentunya sudah berusia dewasa dan telah melewati fase menstruasi. Namun berbeda dengan Bedhaya Endhol-Endhol yang diciptakan raja khusus putri-putrinya yang masih kanak-kanak.

Dengan begitu Bedhaya Endhol-Endhol ini menggunakan pola-pola gerak sederhana dengan tingkat kerumitan rendah.

Dahulu tari Bedhaya Endhol-Endhol sering dipentaskan untuk menyambut para tamu raja pada masa pemerintahan Paku Buwono X. Ditarikan oleh putri-putrinya yang masih kecil. Berkostum baju

rompen yang biasa disebut kotangan, dengan jarik

sabuk wolo menggunakan hiasan kepala sederhana menggunakan gaya rambut sikat sumelat yang biasa dipakai untuk ampil raja dengan perhiasan lengkap (GKR Galuh Kencana, Wawancara:22 Mei 2016).

Tidak banyak data-data yang temukan mengenai Bedhaya Endhol-Endhol yang ada di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Gendhing

dan sedikit tulisan merupakan data awal yang didapat. Sebab setelah wafatnya Paku Buwono X, tari ini sedikit tergeser dan semakin lama redup dengan berjalannya waktu.

Pernikahan Paku Alaman VII dengan putri Paku Buwono X memberikan sedikit petunjuk adanya tari Bedhaya Endhol-Endhol. Pernikahan ini menjadi

(9)

dampak terhadap tari ini yaitu putri Paku Buwono X menjadikan tari Bedhaya Endhol-Endhol sebagai salah satu materi dalam proses latihan tari-tarian di Pura Paku Alaman Yogyakarta. Seiring waktu tari ini pun mengalami kemunduran, namun pernah ditarikan lagi pada akhir tahun 1987.

Kostum yang digunakan pada pementasan di Pura Paku Alam an merupakan kostum yang mendekati dan pernah ada pada Tari Bedhaya di Kraton Kasunan Surakarta Hadiningrat. Hanya saja berbeda pada bentuk mekak dan menggunakan

jamang. Endhol-Endhol yang ada di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggunakan

kotang dan tidak menggunakan jamang, sesuai dengan dokumen foto yang Gusti Kanjeng Ratu W andansari pernah tem ukan. Ham pir sam a diungkapkan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari bahwa dahulu tari Bedhaya Endhol-Endhol yang pernah ada menggunakan kostum jarik sabuk wolo

dan kotang dengan hiasan kepala sikat sumelat dan berbagai perhiasan yang pernah dipakai oleh kakak-kakak perempuannya.

Gendhing yang digunakan untuk mengiringi tari Bedhaya Endhol-Endhol adalah gendhing

Endhol-Endhol diteruskan dengan Ladrang Manis kemudian suwuk. Dilanjutkan buka celuk kemudian disambung dengan Ketawang Kaum Dhawuk laras pelok patet barang (Martopangrawit, 1983:19). Pada

bedhaya- bedhaya lain, bentuk tari dan cakepan gendhing selaras dengan cerita atau alur tari. Sementara pada Bedhaya Endhol-Endhol susunan geraknya sederhana dan tidak selaras dengan alur ceritanya.

Dari sejarah yang ada, Gusti Kanjeng Ratu Wandansari bercerita bahwa pola-pola gerak tari Bedhaya Endhol-Endhol merupakan bentuk tari yang tersususn dengan gerak atau sekaran yang sifatnya sederhana, mudah, dan memiliki tingkat kerumitan yang rendah. Mengingat tari ini ditarikan oleh anak-anak kecil, Gusti Kanjeng Ratu Wandansari membuat susunan gerak yang digunakan hanya berkisar tentang lembehan atau jeplak-jeplak dan sekaran

yang mudah dihafal untuk seorang anak kecil. Masukan gerak dan berbagi cerita dengan kakak-kakaknya merangsang interpretasi gerak untuk Bedhaya Endhol-Endhol (GKR W andansari, Wawancara:28 Maret 2016).

Mendengar cerita yang dilontarkan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari, semakin dimengerti bahwa interpretasi Gusti Kanjeng Ratu wandansari mengenai Bedhaya Endhol-Endhol yang telah di rekonstruksi tidak jauh berbeda dengan Bedhaya

Endhol-Endhol yang pernah ada sebelumnya. Mengenai gerak- geraknya juga selayaknya mudah dilakukan oleh anak-anak, yaitu gerak yang sederhana dengan tingkat kesulitan rendah tanpa meninggalkan patokan bedhaya.

a. Interpretasi Gerak

Interpretasi gerak yang Gusti Kanjeng Ratu Wandansari lakukan adalah interpretasi yang merujuk pada tari aslinya. Walaupun Gusti Kanjeng Ratu W andansari sendiri belum pernah menarikan Bedhaya Endhol-Endhol, namun pernah dalam ingatannya melihat kakak-kakaknya berlatih tari Bedhaya Endhol- Endhol. Gerak yang digunakan memang gerak sederhana untuk mendapat keaslian tari, namun untuk penari yang digunakan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari memang penari dewasa yaitu para abdi dalem bedhaya.

Disadari oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari bahwa rekonstruksi ini tidak membangun persis dengan bentuk asli yang ditarikan oleh anak kecil. Mengingat mencari dan melatih anak kecil untuk menari saat-saat ini dirasa sangat sulit. Untuk mengembalikan bentuk asli yang ditarikan oleh anak kecil juga sekarang susah dilakukan (GKR Wandansari, Wawancara: 27 Desember 2016).

Gusti Kanjeng Ratu Wandansari memang berusaha menyajikan tari Bedhaya Endhol-Endhol dengan bentuk aslinya yang pernah ada, namun tidak menutup kemungkinan akan bergeser dan berbeda wujud hasilnya. Hal ini dikarenakan keadaan dan situasi saat ini dengan pola pikir yang Gusti Kanjeng Ratu Wandansari miliki.

Sekaran-sekaran yang digunakan terdapat beberapa sekaran yang di dalamnya memiliki filosofi yang menurut Gusti Kanjeng Ratu Wandansari juga termasuk dalam sekaran yang sederhana. Sekaran

-sekaran yang tersusun dalam tari Bedhaya Endhol-Endhol diantaranya adalah sebagai berikut

1) Sekaran Sembahan

Sembahan pertama, selayaknya pada tari-tari yang lain. Gerakan ini memiliki arti bahwa sebagai umat beragama, dalam melakukan segala sesuatu terlebih dahulu manembah supaya didapat kelancaran. Selain kepada sang Maha Esa,

manembah juga ditujukan kepada leluhur, orang tua, dan raja. Hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada awal tari mengajarkan kita untuk selalu

manembah. Disini juga mengajarkan hal kebaikan bahwa sebagai seorang anak manembah kepada Tuhan, orang tua, dan sang raja juga merupakan suatu keharusan. Manembah memang selalu ada

(10)

dalam tari, ini sebagai wujud penanaman budi pekerti kepada anak-anak.

2) Laras Endhol- Endhol

Laras Endhol-Endhol diinterpretasi oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari sebagai gambaran seorang anak yang lugu. Menoleh kesana kemari adalah bentuk gerak yang menggambarkan keluguan. Bentuk geraknya dilakukan dengan tangan kiri trap alis dan tangan kanan menthang sampur.

3) Laras Pendhapan asta

Dari laras ini didapatkan ajaran bahwa seorang anak seharusnya melakukan hal demikian di dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. Selalu menampung segala pengetahuan yang baik dan buruk. Kemudian dapat menyerapnya dan menyaring bahwa yang baik dapat ditiru, dipelajari, dan dikembangkan, sedangkan yang buruk sebaiknya dibuang. Demikianlah ajaran-ajaran yang terkandung di dalam filosofi gerak laras pendhapan asta.

4) Laras Pendhapan Sampur

Interpretasi Gusti Kanjeng Ratu Wandansari pada

sekaran ini bahwa dalam kehidupan sebaiknya selalu andhap asor dan melakukan hal-hal yang baik. Ajaran yang disampaikan kepada anak-anak dalam kehidupan seharusnya andhap asor kepada yang lebih tua dan sesama. Belajar, mencari, dan melakukan hal-hal kebaikan.

5) Laras Lumaksana Ogek Lambung

Di dalam sekaran ini, Gusti Kanjeng Ratu Wandansari menginterpretasikan gerak yang dapat memberikan pesan kepada anak-anak bahwa segala sesuatu yang kita temui dari kehidupan ini perlu ditimbang-timbang, yang baik dan yang buruk. Sehingga kita dapat menentukan kebaikan-kebaikan yang kita pilih dan simpan sebagai bekal untuk kehidupan sehari-hari.

6) Laras Usap Jangga

Pada sekaran ini Gusti Kanjeng Ratu Wandansari menginterpretasikan bahwa ngusapi rereget yang artinya menghilangkan kotoran yang melekat pada manusia. Sekaran ini memberikan gambaran bahwa pada manusia muncul banyak kotoran baik yang disengaja ataupun tidak. Kotoran yang muncul dari hati, pikiran, dan tindakan namun ada baiknya jika setelahnya kita membenahi diri menuju kepada kebaikan dan membasuh atau membersihan semua kotoran yang ada.

7) Laras Lumaksana Ngancap

Dari laras ini Gusti Kanjeng Ratu Wandansari menginterpretasikan mengenai keluguan seorang

anak kecil. Dilihat dari rangkaian geraknya, laras lumaksana ngancap merupakan gerakan yang

tolah-tolah dan gendhag-gedheg memperlihatkan perilaku seorang anak dengan keluguan dan tingkah lakunya, namun begitu seorang anak kecil memiliki ketulusan dan kejujuran dalam bertindak.

8) Laras Jeplak-Jeplak Wutuh

Laras Jeplak-jeplak wutuh adalah sekaran paling dominan pada tari Bedhaya Endhol-Endhol.

Sekaran ini merupakan sekaran yang mudah diingat dan sederhana untuk dikuasai oleh anak-anak. Pada sekaran ini Gusti Kanjeng Ratu Wandansari menjelaskan bahwa makna yang terkandung di dalamnya merupakan sebuah ajaran kehidupan manusia, bahwa dalam hidup lebih baik janganlah berbicara terlalu banyak, namun seperlunya dan dengan baik. Seperti diungkap oleh RT. Pamardi Budaya MTH Sri Mulyani bahwa laras jeplak-jeplak memiliki filosofi ajaran kehidupan sebagai ojo seneng cangkeman yang artinya jangan suka berbicara secara tak beraturan. Lebih halusnya adalah kalau berbicara lebih baiknya disaring terlebih dahulu (MTH Sri Mulyani, Wawancara: 4 Januari 2017).

Lebih menekankan pada sekaran jeplak-jeplak

yang dominan pada tari Bedhaya Endhol-Endhol merupakan salah satu ajaran yang dikandung dan disisipkan yaitu sebuah ajaran hidup. Bahwa di dalam kehidupan baiknya kita tidak banyak berbicara yang tidak berguna. Lebih menyaring perkataan yang akan diucapkan, sehingga apa yang kita bicarakan memiliki makna, tidak melukai orang lain dan menjadi kebaikan bagi kita sendiri dan orang lain yang mendengarkan.

9) Laras Panahan

Panahan adalah salah satu gerak yang biasa ada pada pola bedhaya. Panahan memiliki arti yang sangat luas. Bukan hanya sebagai arti dari sebuah kegiatan memanah. Lebih dari hal memanah dalam gerak panahan di dalamnya terdapat sebuah filosofi bahwa seorang penari bedhaya tidak hanya bertugas sebagai penari. Memanah merupakan gerak yang mengandung arti sebagai ngudi katitisan, lan ngudi keahlian yang bawasanya seorang penari juga merupakan sorang yang harus memiliki keahlian dan wawasan yang luas serta kegesitan.

10) Laras Pistulan

Rekonstruksi Tari Bedhaya Endhol-Endhol berusaha menghadirkan tari dengan karakter anak-anak yang lugu. Laras pistulan yang ada di dalamnya diinterpretasikan sebagai sebuah

(11)

pembelajaran yaitu ajar kaprigelan. Disini laras pistulan tidak diartikan belajar perang, namun lebih diartikan sebagai anak perlu diajarkan atau dibekali oleh sebuah kaprigelan atau ketangkasan dan merupakan bekal yang diajarkan untuk kehidupan mendatang.

11) Laras Engkyek Wutuh

Laras engkyek wutuh merupakan sebuah susunan gerak yang diinterpretasikan sebagai gerak yang memiliki makna atau ajaran mengenai kebijakan dalam mengambil keputusan. Ditambahkan oleh RT. Pamardi Budaya MTH Sri Mulyani bahwa laras engkyek wutuh merupakan sebuah kebijaksanaan. Di dalamnya mengajarkan untuk menimbang kanan dan kiri baik dan buruknya sebuah keputusan yang bijaksana.

12) Laras Nikel Warti dan Jengkeng Sembahan

Dalam susunan gerak ini, merupakan sebuah ajaran dan wajib dilakukan. Dalam laras nikelwarti

yang dilanjutkan sembahan, merupakan makna

dari sebuah ucapan syukur. Manembah

ngaturaken panuwun wilujeng, yang artinya menyembah untuk memberikan ucapan syukur karena segala sesuatu yang dilakukan telah terlaksana tanpa suatu halangan.

Dari sekaran-sekaran yang talah menyatu menjadi satu tarian utuh Bedhaya Endhol-Endhol dan interpretasi yang telah Gusti Kanjeng Ratu Wandansari lakukan, maka gerak-gerak dan makna yang terkandung di dalamnya adalah mengenai ajaran-ajaran tentang kebaikan-kebaikan yang seharusanya manusia lakukan di kehidupannya. Semua mengajarkan tentang kebaikan kepada anak-anak untuk selalu berbuat sesuai norma-norma yang baik dalam kehidupan. b. Interpretasi Gendhing

Interpretasi gendhing terlihat bahwa Gusti Kanjeng Ratu Wandansari memiliki interpretasi sendiri mengenai gendhing pada tari Bedhaya Endhol-Endhol. Gendhing dibuat lebih cepat temponya dibanding gendhing yang telah ada sebelumnya. Dimaksudkan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari supaya tari tidak begitu nglelet, dikarenakan tarian ini merupakan tarian untuk anak-anak. Gendhing yang semula memiliki tempo lambat kemudian dipercepat.

Gendhing Endhol-Endhol tidak mengalami pengurangan ataupun penambahan. Maka Bedhaya Endhol-Endhol yang telah direkonstruksi merupakan

bedhaya dalam bentuk wutuh yang tidak mengalami pemadatan. Gusti Kanjeng Ratu W andansari melakukan interpretasi terhadap seseg dan tidaknya

tempo untuk menjadikan keselarasan antara tari dan

gendhing.

Gendhing Endhol-Endhol memang tidak memiliki keterkaitan terhadap makna dan maksud dari tari Bedhaya Endhol-Endhol. Gendhing hanya berperan sebagai pengiring jalannya tari. Sehingga Gusti Kanjeng Ratu Wandansari tidak melakukan pendalaman terhadap cakepan sindhenan secara mendalam. Yang Gusti Kanjeng Ratu Wandansari lakukan adalah menjadikan gendhing dan tari selaras.

c. Interpretasi Pola Lantai

Pola-pola tari bedhaya sudah Gusti Kanjeng Ratu Wandansari hafal di luar kepala. Ini sangat membantu dalam menginterpretasikan pemikirannya pada saat penuangan kepada bentuk nyata tari Bedhaya Endhol-Endhol. Gusti Kanjeng Ratu W andansari bercerita, bahwa ia berusaha mengembalikan tari Bedhaya Endhol-Endhol seperti pada bentuk aslinya. Namun tidak m enutup kemungkinan bahwa hasil yang diperoleh memiliki perbedaan. Sebab pemikiran yang Gusti Kanjeng Ratu Wandansari lakukan bahwa tari-tarian yang sekarang dibutuhkan beberapa perubahan yang dapat menjadikan tari lebih hidup. Sehingga Gusti Kanjeng Ratu W andansari mem iliki berbagai perubahan dan cara pandang sebagai berikut.

Pola lantai montor mabur yang memiliki filosofi mengenai keseimbangan adalah pola yang dominan digunakan dalam rekonstruksi Bedhaya Endhol- Endhol. Pola ini memiliki ajaran yang sangat dalam mengenai keseimbangan hidup. Sehingga Gusti Kanjeng Ratu Wandansari menyelipkan pesan itu dengan menggunakan pola ini. Hal lain juga sangat m enguntungkan bagi penari jika menggunakan pola ini.

Kemudian pola lantai urut kacang yang mengajarkan mengenai urut tuo, yang artinya berbaris sesuai dengan umur. Ini mengajarkan mengenai menghormati yang lebih tua. Dimana juga seorang yang lebih tua adalah orang yang menjadi panutan untuk orang yang lebih muda. Pada pola urut kacang barisan pertama ditempati oleh batak dan di akhiri oleh boncit.

Pola lantai rakit telu-telu memiliki filosofi mengenai babahan hawa sanga atau sembilan lubang yang ada pada manusia. Juga terkait dengan lambang kesatuan saling terkait.

Dan yang terakhir merupakan pola lantai

blumbangan. Pola lantai blumbangan

menggambarkan mengenai suatu ikatan yang tidak terputus. Sebuah kerukunan dan menggambarkan

(12)

mengenai kehidupaan yang dilambangkan dengan

blumbangan. Sebab dalam blumbangan merupakan tempat di mana air berada yaitu sumber kehidupan.

d. Interpretasi Rias dan Kostum

Interpretasi atas kostum yang digunakan oleh tari Bedhaya Endhol-Endhol berdasarkan pada kostum yang pernah Gusti Kanjeng Ratu Wandansari lihat. Ia melihat f oto kakaknya yang sem pat menarikan Bedhaya Endhol-Endhol waktu masih kecil. Kostum yang digunakan pada dasarnya seperti pada tari- tarian anak di lingkup kraton yaitu jarik sabuk wala, kotang, dan bentuk ram but menggunakan sikat sumelat. Walaupun berdasarkan pada kostum yang pernah ada, namun Gusti kanjeng Ratu Wandansari tidak menggunakan sepenuhnya pada tari yang telah direkonstruksi. Gusti Kanjeng Ratu Wandansari memiliki pemikiran yang berbeda terhadap kostum bersangkutan dengan usia penari.

Perubahan terjadi pada jarik. Jarik yang dulunya menggunakan jarik dengan model sabuk wolo, namun Gusti Kanjeng Ratu Wandansari memilih untuk menggunakan jarik samparan. Dengan berbagai pertimbangan adalah bahwa penari merupakan penari yang telah dewasa, sehingga tidak pantas untuk menggunakan jarik bentuk sabuk wolo. Maka digunakan jarik samparan tanpa merusak bentuk sajian tarinya.

Untuk tata rambut, Bedhaya Endhol-Endhol hasil rekonstruksi tetap menggunakan bentuk aslinya yaitu menggunakan tata rambut sikat sumelat. Tatanan rambut ini tidak memiliki kekurangan dan tetap akan baik jika digunakan oleh orang dewasa. Gusti Kanjeng Ratu Wandansari memilih agar tetap mempertahankan bentuknya. Dengan menggunakan tatanan rambut sikat sumelat, kekhasan anak atau kesan mbocahi juga lebih nampak. Kemudian untuk perhiasan juga menggunakan adat saben, atau yang biasa digunakan untuk tari bedhaya pada umumnya di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Interpretasi mengenai tatanan busana yang sedikit berubah tidak bermaksud untuk merubah bentuk dan makna dari tari. Namun menerapkan pada fungsinya sekarang, yaitu bedhaya yang ditarikan oleh wanita dewasa dan dapat dipentaskan di luar lingkup kraton.

Jadi dari hasil yang Gusti Kanjeng Ratu Wandansari lakukan selama melakukan proses rekonstruksi dapat disimpulkan bahwa, tari Bedhaya Endhol-Endhol yang disusun adalah bedhaya yang mencoba menghadirkan seperti aslinya. Dari garap

gerak dan garap iringan semua telah digarap dengan kesederhanaan yang merujuk pada tarian yang

mbocahi atau anak-anak. Garap gerak yang sederhana, sedikit jenis sekaran, serta tempo iringan yang lebih cepat membuat tarian memiliki rasa

mbocahi. Namun sedikit berbeda dengan pelaku tarinya yang merupakan wanita dewasa bukan lagi anak-anak kecil seperti pada bentuk aslinya.

C. Hasil Rekonstruksi Tari Bedhaya Endhol-endhol Oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari 1. Struktur Tari Bedhaya Endhol-Endhol

Hasil rekonstruksi tari Bedhaya Endhol-Endhol tidak berbeda jauh dengan bedhaya-bedhaya

lain yang ada di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, jika dilihat dari komponen-komponen yang menyusunnya. Bedhaya Endhol-Endhol hadir kembali seperti layaknya tari bedhaya yang pernah ada. Bedhaya Endhol- Endhol terbagi atas tiga bagian yaitu maju beksan, beksan, dan mundur beksan. Rekonstruksi yang telah dilakukan oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari menghasilkan tari ini pada bentuk sajian secara utuh. Proses yang dilakukan melewati berbagai pertimbangan dan interpretasi mendalam yang kemudian menetapkan pada bentuk dan waktu yang telah terwujud menjadi bentuk utuh tari Bedhaya Endhol-Endhol yang berdurasi 41 menit. Hasil rekonstruksi tari Bedhaya Endhol-Endhol oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari yang memakan waktu kurang lebih 11 bulan dari tahap rencana, persiapan, proses, dan hasil hingga dipertunjukan merupakan hasil yang mengklibat pada tari Bedhya Endhol-Endhol yang pernah ada sebelumnya. Namun semua ini tidak lepas dari bekal Gusti Kanjeng Ratu Wandansari yang memiliki pem ikiran dan interpretasi sendiri sehingga mewujudkan tari Bedhaya Endhol-Endhol sebagai berikut.

a. Maju Beksan

Maju beksan adalah bagian pertama pada setiap tari khususnya tari Jawa. Maju beksan terdiri dari lumaksana kapang-kapang menuju posisi tempat di mana penari mempertunjukkan tarian. Maju

beksan dilakukan secara lumaksana kapang-kapang

secara berurutan dengan pola urut kacang. Bentuk tubuh penari berjalan tegap, pandangan lurus ke depan bawah sepajang tiga meter atau di punggung penari yang ada di depannya. Kedua tangan di samping, maju kaki berjalan secara bergantian sesuai

(13)

dengan irama pathetan. Urut kacang dilakukan saat maju beksan memiliki urutan yang pertama sampai kesembilan penari sebagai berikut: endhel ajeg,

batak, apit mlaku ngarep, apit mlaku mburi, gulu, apit meneng, endhel weton, dada, dan boncit. Untuk maju

beksan, gerakan tari hanya terdiri dari lumaksana kapang-kapang diiringi dengan suluk pathetan.

Patethan merupakan suara koor laki-laki diiringi dengan beberapa instrumen gamelan berupa

gendher, gambang, rebab, dan suling. Suluk pathetan mengiringi lumaksana kapang-kapang para penari hingga penari memasuki tempat pertunjukan tari.

Pada tari Bedhaya Endhol-Endhol, maju

beksan dilakukan dengan berjalan dari samping kanan pendhapa menuju ke tempat pertunjukan dengan pola urut kacang yang diawali oleh penari

endhel ajeg, batak, apit mlaku ngarep, apit mlaku mburi, gulu, apit meneng, endhel weton, dada, dan diakhiri oleh boncit. Lumaksana kapang-kapang

diiringi oleh pathetan laras pelog pathet barang. Gerak yang dilakukan adalah berjalan kapang-kapang dengan diiringi pathetan dan sulukan. Semua penari berjalan berurutan membentuk pola montor mabur menghadap ke Utara. Setelah semua penari menempati tempat masing- masing dan berdiam diri, kemudian pengeprak memberikan tanda untuk bersamaan para penari menghadap ke Timur arah para penonton. Pengeprak memberikan tanda kembali kemudian penari melakukan debeg gejug dan proses duduk bersila atau trapsilantaya. Setelah

trapsilantaya maka pathetan juga akan berakhir dan dimulailah buka gendhing Endhol-Endhol.

b. Beksan

Beksan adalah inti dari sebuah sajian tari. Pada beksan tari Bedhaya Endhol-Endhol terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama beksan dengan iringan atau karawitan tari dengan gendhing Endhol-Endhol kalajeng Ladrang Manis dengan jumlah

gongan 16 kali dengan bentuk gendhing ladrang yaitu 32 hitungan dalam setiap gongannya. Bagian kedua dengan gendhing Ketawang Kaum Dhawuk dengan struktur ketawang sebanyak 29 gongan gendhing

Ketawang Kaum Dawuk laras pelok pathet barang

dengan 16 hitungan setiap gongannya.

Pada m asing-m asing gendhing berisi

cakepan sindhenan yang secara tolal berisikan 45

gongan. Beksan secara utuh memakan waktu 41 menit yang terbagi menjadi dua bagian. Pada bagian

beksan sebenarnya gendhing tidak memiliki kaitan terhadap bentuk tari, hanya menjadikan gendhing

sebagai pengiring tari yang membentuk dinamika dan tempo tari.

Bagian yang pertam a diiringi dengan

gendhing Endhol-Endhol dilanjutkan Ladrang Manis sebanyak 16 gongan. Bagian pertama ini terdiri dari beberapa gerak diantaranya sembahan berdiri atau gerak penyambung, laras Endhol-Endhol, pendhapan asta, pendhapan sampur, lumaksana ogek lambung,

lembehan atau pendhapan asta, laras Endhol-Endhol,

sekaran ngancap, srisig, pendhapan asta separo,

pendapan sampur separo, srisig tawing, laras usap jangga, lumaksana ngancap, srisig sampur, jeplak-jeplak wutuh, engkyek kanan kiri wutuh, dan di akhiri dengan laras nikelwarti atau jengkeng.

Pada bagian kedua diiringi dengan gendhing

Ketawang Kaum Dhawuk dengan jumlah gongan 29 kali. Urutan gerak pada bagian kedua diawali dengan berdiri, laras jeplak-jeplak separo, jeplak-jeplak wutuh tiga kali, jeplak-jeplak separo, laras panahan, dan kemudian jengkeng kembali. Hanya batak dan

endel ajeg yang kemudian berdiri melakukan gerakan

perangan yang terdiri dari hoyogan, lembehan wutuh

sebanyak tiga kali, laras mangklung, lembehan wutuh, srisig sampir sampur menuju ke pola lantai

blumbangan. Pada bagian pola blumbangan gerak yang dilakukkan secara berurutan adalah laras pistulan wutuh, srisig sampir menuju pada pola rakit telu-telu, laras jeplak-jeplak wutuh kemudian kembali

jengkeng trapsilantaya.

c. Mundur Beksan

Mundur beksan yaitu keluarnya penari dari tempat pertunjukan tari semenjak posisi trapsilantaya

kemudian berdiri dan kembali pulang menuju tempat persiapan melewati samping kanan pendhapa dengan

jejer urut kacang kembali. Urut-urutan dalam mundur

beksan adalah dimulai dari endel weton, batak, endel ajeg, gulu, boncit, apit mlaku ngarep, dada, apit mlaku mburi, dan diakhiri oleh apit meneng. Selesainya tarian ini ditutup dengan sembahan atau

nyembah terakhir. Dilanjutkan dengan berdiri melakukan gerakan kapang-kapang kembali.

Pada tari Bedhaya Endhol-Endhol hasil rekonstruksi oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari pada mundur beksan menggunakan pola seperti

bedhaya pada umumnya yang menggunakan pola mundur beksan kapang-kapang dan diiringi dengan

pathetan. Seperti halnya pada maju beksan, penari pada mundur beksan melakukan lumaksana kapang-kapang dari pendhapa pementasan menuju ke samping kanan pendhapa. Berbeda dengan saat maju beksan, pada saat mundur beksan urut-urutan

(14)

penari diawali oleh endel ajeg, batak, endel weton,

gulu, boncit, kemudian apit ngarep, dada, apit mlaku mburi, dan apit meneng.

2. Elemen-Elemen Tari Bedhaya Endhol-Endhol

Pada hasil rekonstruksi tari Bedhaya Endhol-Endhol oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari telah terwujud tarian utuh yang dapat dideskripsikan sesuai dengan konsep yang telah ditulis oleh Sumandiyo Hadi sebagai berikut:

a. Deskripsi Tari

Tari Bedhaya Endhol-Endhol hasil rekonstruksi oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari merupakan tari kelompok putri yang terdiri dari sembilan penari putri. Saat ini penari yang menarikan adalah penari bedhaya yang telah dewasa bukan lagi penari anak-anak seperti pada tari Bedhaya Endhol-Endhol yang sebenarnya pernah ada.

Pola gerak yang digunakan pada tari Bedhaya Endhol-Endhol mengacu pada tari Bedhaya Ketawang yang merupakan induk dari bedhaya-bedhaya yang ada di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tapi reinterpretasi dari tari Bedhaya Endhol-Endhol yang pernah ada mewujudkan tari dengan pola-pola gerak yang sederhana yaitu mengulang-ulang gerak lembehan wutuh atau jeplak-jeplak wutuh dan pendhapan sampur serta pendhapan asta. Hal tersebut dikarenakan Bedhaya Endhol-Endhol adalah bedhaya yang tercipta untuk anak-anak.

Tidak ada maksud yang disampaikan oleh tari ini, hanya saja sebagai pakem tari-tari bedhaya yang ada di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, tari

bedhaya adalah sebuah sajian tari yang memiliki estetika tinggi dan filosofi yang mendalam mengenai kehidupan manusia. Bedhaya Endhol-Endhol menggambarkan m engenai sembilan lubang manusia dengan nafsu. Pada bagian perangan

menggambarkan mengenai bagaimana manusia m engalahkan sem ua naf su jahatnya. Juga memberikan ajaran-ajaran baik dalam kehidupan yang seharusnya dilakukan (GKR. Wandansari, Wawancara: 27 Desember 2016).

Begitu pula dengan pola lantai Bedhaya Endhol-Endhol juga mengacu pada pola Bedhaya Ketawang. Namun ada pola yang tidak terdapat di pola Bedhaya Ketawang yaitu pola blumbangan. Selayaknya pada tari bedhaya yang lain, Bedhaya Endhol-Endhol menggunakan pola-pola simetris. Struktur musik tari menggunakan gendhing Endhol-Endhol dilanjutkan dengan Ladrang Manis dan

kemudian Ketawang Kaum Dhawuk. Namun dari

cakepan sindhen dengan tari tidak memiliki tema yang sama, sehingga musik tarinya hanya berfungsi sebagai pembentuk irama atau dinamika.

Rias busana menggunakan kotang warna ungu dengan kain cinden ijo pupus menggunakan tatanan rambut sikat sumelat beserta perhiasan pelengkap lainnya. Sedikit berbeda dengan aslinya yang menggunakan kotang merah muda dan kain yang dibentuk sabuk wolo. Hal ini berkaitan Bedhaya Endhol-Endhol yang sekarang ditarikan oleh wanita dewasa dan dapat ditarikan di luar tembok kraton, sehingga menggunakan kotang yang menjadi aturan dapat digunakan keluar dari tembok kraton.

b. Gerak Tari

Gerak tari Bedhaya Endhol-Endhol meliputi: 1. Motif Gerak

Motif-motif gerak yang tersusun dari susunanan gerak atau koreografi hasil rekonstruksi sebagai berikut:

a) Sembahan

Pada tari Bedhaya Endhol-Endhol sembahan

dilakukan sama dengan bedhaya yang lain.

Sembahan ini memiliki filosofi bahwa dalam m elakukan segala hal diawali dengan

manembah yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, para leluhur yang mengayomi, kepada raja, dan para tamu yang menyaksikan pertunjukan tari. Sembahan dilakukan sebanyak dua kali gongan gendhing ladrang

atau sebanyak 44 hitungan. Nyembah pertama dilakukan gong pertama dalam posisi trapsilo,

sembah kedua dalam posisi jengkeng. b) Laras Endhol-Endhol

Laras Endhol-Endhol merupakan sekaran

pertama setelah berdiri dilakukan secara wutuh

yaitu satu gongan gendhing ladrang sebanyak 32 hitungan. Disebut laras Endhol-Endhol karena tidak ada pada tari bedhaya yang lain. Meskipun sama sekaran ini berbeda jumlah hitungannya. Dimulainya laras Endhol-Endhol maka dimulailah beksan inti. Pada laras ini kedua penari yaitu apit mlaku ngarep dan apit mlaku mburi melakukan pola bergeser yang membentuk pola montor mabur berhadapan.

Laras ini dilakukan satu kali gongan sebanyak 32 hitungan.

Laras Endhol-Endhol dilakukan semua penari, namun berbeda pada dua penari yaitu apit mlaku mburi dan apit mlaku ngarep. Kedua penari ini melakukan gerak transisi dengan

(15)

pergeseran pola lantai dengan gerak yang sama. Dengan perpindahan ini yang semula membentuk pola lantai montor mabur berubah menjadi montor mabur berhadapan.

Gerak ini merupakan gerak perpindahan yang hampir ada di setiap tari bedhaya. Ngetoni

merupakan perpindahan yang kemudian menjadikan pola berhadapan antara tiga penari yaitu endel ajeg, apit mlaku ngarep mburi, dan keenam penari lainnya dalam bentuk montor mabur berhadapan.

c) Pendhapan Asta

Pendhapan asta dilakukan tiga kali pada pola

montor mabur berhadapan, dua kali pada pola

urut kacang. Pendhapan asta secara utuh dilakukan dengan satu gongan gendhing ladrang

sebanyak 32 kali hitungan. Pendhapan asta

muncul dua kali pada bagian pertama dan pada bagian kedua. Pendapan asta juga dilakukan

separo sekaran, seperti pada pola urut kacang. d) Pendhapan Sampur

Pendhapan sampur dilakukan dua kali pada bagian pertama yaitu pada pola montor mabur

berhadapan dan pola urut kacang. Pendhapan sampur dilakukan secara wutuh yaitu satu

gongan dengan jumlah hitungan 32 kali. Pada pola urut kacang pendhapan sampur dilakukan separo sekaran dilanjutkan dengan srisig tawing kiri.

Sekaran pendhapan sampur merupakan gerakan yang ada di tari Bedhaya Ketawang dan juga ada di bedhaya-bedhaya lain. Laras Pendhapan sampur adalah gerak yang dipilih oleh Gusti Kanjeng Ratu Wandansari sebagai

sekaran pokok di Bedhaya Endhol-Endhol. Gerakan ini tidak begitu susah dan memiliki filosofi yang baik untuk diajarkan khususnya kepada anak-anak.

e) Laras Lumaksana Ogek Lambung

Laras lumaksana ogek lambung dilakukan sekali pada pola lantai montor mabur

berhadapan. Laras ini dilakukan dengan sekali

gongan gendhing ladrang sebanyak 32 hitungan.

Laras lumaksana ogek lambung dilakukan tiga kali melangkah hingga gawang jeblos antara

endel ajeg dan batak. Filosofi dari Laras lumaksana ogek lambung adalah mengajarkan mengenai ajaran bagaimana manusia memilih hal baik dan buruk di dalam kehidupannya serta menempatkan kebaikan sebagai pedoman hidup (GKR Wandansari, Wawancara: 4 Januari 2017).

Laras ini digunakan pada Bedhaya Endhol-Endhol dikarenakan memiliki ajaran yang baik, dan perlu diketahui serta diajarkan kepada anak-anak. Gerakan ini sedikit susah namun memiliki kemanisan gerak, sehingga Gusti Kanjeng Ratu Wandansari tetap meletakkan dalam susunan tari Bedhaya Endhol-Endhol.

f) Srisig Sampir Sampur

Srisig sampir sampur merupakan gerakan penghubung pada tari Bedhaya Endhol-Endhol. Gerak penghubung ini dilakukan tiga kali pada bagian pertama dan dua kali pada bagian kedua. Srisig sampir sampur dilakukan untuk perpindahan tempat dengan delapan hitungan. g) Laras Usap Jangga

Laras usap jangga adalah gerak yang dilakukan

wutuh dengan satu gongan gendhing ladrang

berjumlah 32 hitungan. Laras usap jangga

dilakukan satu kali pada bagian pertama yaitu setelah pola urut kacang. Laras usap jangga srisig menjadi pola montor mabur yang kemudian berhadapan antara endel weton, kedua apit dengan keenam penari lainnya. Filosofi dari laras usap jangga adalah ngilangke rereget yang artinya menghilangkan kotoran yang menempel pada tubuh manusia baik kotoran yang datangnya dari jiwa dan luar diri manusia.

h) Srisig Tawing

Gerakan srisig tawing dilakukan sekali pada bagian pertama tari Bedhaya Endhol-Endhol. Gerak ini merupakan gerak transisi yang dilakukan sekali pada saat pola urut kacang

menuju pola lantai montor mabur. Gerak transisi ini dilakukan delapan hitungan dimulai dari delapan ketiga gendhing ladrang.

i) Laras Lumaksana Ngancap

Laras lumaksana ngancap satu sekaran penuh dilakukan satu gongan gendhing ladrang dengan 32 hitungan, pada pola montor mabur

berhadapan, kemudian disambung dengan

srisig sampir sampur. Filosofi laras lumaksana ngancap menggambarkan keluguan seorang anak.

j ) Laras Jeplak-Jeplak Wutuh

Laras jeplak-jeplak wutuh biasa disebut dengan

lembehan wutuh. Laras jeplak-jeplak wutuh

dilakukan satu gongan ladrang 32 hitungan.

Laras jeplak-jeplak wutuh dalam tari Bedhaya Endhol-Endhol hasil rekonstruksi Gusti Kanjeng Ratu Wandansari muncul sekali pada bagian pertama saat pola rakit telu-telu.

Referensi

Dokumen terkait

Sistem yang dibuat ini adalah aplikasi mobile forensik yang dapat mengembalikan data yang telah hilang untuk membantu proses investigasi berbasis sistem operasi

Keywords: Character Education, Culture, Nation degradation Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan secara terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, agar

Berdasarkan hasil penelitian disarankan setiap sekolah, laboratorium biologinya harus memiliki manajemen laboratorium yang baik agar kegiatan praktikum dapat

Menurut Majid (2013:98) Variasi pola interaksi adalah Pola interaksi guru dengan anak didik dalam kegiatan belajar-mengajar sangat beraneka ragam. Interakasi antara guru

(3) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2), uraian tugas Kepala UPTD Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang adalah sebagai

Sebaran para pemenang pertama dalam Apresiasi GTK PAUD dan Dikmas Berprestasi Tingkat Nasional tahun 2016 ini juga terlihat lebih merata, tidak didominasi oleh satu/dua provinsi

Melalui The House Model , diketahui model untuk meningkatkan daya saing pekerja domestik Indonesia dalam lima tahun ke depan (2016- 2021) merupakan visi yang

Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah metode pembelajaran kooperatif tipe STAD ( Student Teams