• Tidak ada hasil yang ditemukan

Naskah Buku: 5 Langkah Menuju Sukses Dunia-Akhirat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Naskah Buku: 5 Langkah Menuju Sukses Dunia-Akhirat"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

1

Naskah Buku:

5 Langkah Menuju Sukses Dunia-Akhirat

Pengantar Penulis:

Menyiapkan Mental Sukses Langkah Pertama:

Perkokoh Pondasi Iman

 Menyatunya hati, lisan dan tindakan

 Karakter Seorang Mukmin

 Bergetar Hatinya karena Asma Allah

 Bertambah Imannya karena Ayat-ayat Allah

 Berserah Diri Hanya kepada Allah

 Mendirikan Shalat

 Membiasakan sedekah

 Mukmin itu Menakjubkan!

 Engkau Beriman, Maka Engkau Diuji

 Dengan Iman Hidup Menjadi Terarah

Langkah Kedua:

Bekali dengan Ilmu

 Iqra‘: Wahyu Pertama yang Mencerahkan

 Membuka Jendela Dunia

 Mencerahkan Pikiran Memperluas Cakrawala

 Posisi Mulia Ilmuwan (Ulama)

 Investasi Tak Kenal Rugi

 Selama Hayat di Kandung Badan

 Demi Pena dan Apa yang Mereka Tulis

 Menulis: Investasi Dunia-Akhirat

 Kaya Ilmu, Kaya Hati, Kaya Harta

 Menabur Pengetahuan Menuai Pahala

 Menyejarah Bersama Karya

(2)

2

Langkah Ketiga:

Wujudkan dengan Amal

 Amal: Bukti Iman

 Amal: Buah Ilmu

 MLM Pahala

 Amal yang Mewujud (Tajassum al-A‟mal)

 Dengan Amal Hidup Menjadi Berkah

Langkah Keempat:

Hiasi dengan Ikhlas

 Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe

 Tanamkan Ruh Ikhlas dalam Diri

 Siapakah Al-Mukhlashin ?

 Iblis Pun Tak Berkutik

 Dengan Ikhlas Hidup Terasa Lepas

Langkah Kelima:

Sempurnakan dengan Istiqamah

 Istiqamah: Sebaik-baik Amal

 Istiqamah Hati, Lisan dan Tindakan

 Dan Malaikat pun Turun

 Sedikit demi Sedikit, Terus Menerus

 Dengan Istiqamah Hidup Lebih Bermakna

Sampai Ke Tujuan:

Sukses Dunia-Akhirat

(3)

3

Pengantar Penulis Menyiapkan Mental Sukses

“Man „arafa bu‟da al-safari ista‟adda”, orang yang tahu jauhnya suatu perjalanan akan mempersiapkan diri, demikian bunyi sebuah kalimat hikmah dalam bahasa Arab. Sebuah ungkapan singkat namun sarat makna.

Sebuah ilustrasi sederhana ingin penulis sampaikan di sini. Jika kita hendak melakukan sebuah perjalanan ke luar kota, misalnya, tentu kita akan mempersiapkan bekal untuk perjalanan tersebut. Kita akan menghitung berapa biaya transportasi pulang-pergi dari tempat tinggal kita menuju ke kota tujuan, dan juga sebaliknya. Kita juga akan menyiapkan dana untuk biaya hidup selama di kota tujuan, serta segala hal yang perlu kita persiapkan selama di sana. Lazimnya, demi kenyamanan dalam perjalanan, kita akan membawa bekal lebih dari cukup. Kita akan membawa uang, tidak sekedar untuk ongkos pulang-pergi dan biaya hidup di sana secara pas-pasan, karena kita tidak tahu hal-hal tak terduga yang mungkin terjadi selama perjalanan. Maka, semakin banyak bekal yang kita bawa, semakin tenang dan nyaman perjalanan yang kita lakukan.

Apa makna dari ilustrasi sederhana yang saya sampaikan tersebut? Secara singkat dapat disimpulkan bahwa, jika untuk perjalanan yang kita ketahui jarak tempuh serta lamanya kita berada di sana saja kita persiapkan dengan begitu matangnya, apalagi untuk sebuah perjalanan hidup di dunia yang tidak kita ketahui sampai kapan kita akan hidup di dunia ini, lebih-lebih kita tidak pernah tahu berapa lama perjalanan di akhirat kelak, dari mulai kita masuk ke liang kubur hingga kita dibangkitkan, sampai kemudian kita diadili di hadapan Allah dan ditempatkan di tempat yang sesuai dengan amal kita?

(4)

4

Inilah pertanyaan yang harus terus menerus kita ajukan pada diri kita masing-masing. Kita harus menyiapkan bekal untuk perjalanan hidup di dunia ini, lebih-lebih perjalanan ke akhirat kelak. Dan yang lebih penting lagi, kita harus menyiapkan mental untuk sukses-bahagia hidup di dunia ini dan di akhirat kelak.

Menyiapkan mental dalam segala hal itu penting. Karena dengan kesiapan mental yang baik, maka hal terburuk sekali pun akan dapat disikapi dengan tenang.

Berkaitan dengan menyiapkan mental sukses hidup di dunia dan akhirat, penulis ingin menegaskan bahwa sebelum kita melangkah lebih lanjut untuk meraih cita-cita hidup sukses-bahagia dunia-akhirat, maka yang pertama dan paling utama dipersiapkan adalah mental kita. Karena, tanpa kesiapan mental, maka apa pun yang kita dapatkan, alih-alih memberi nilai positif pada diri kita, justru bisa menjadi bumerang bagi diri kita sendiri.

Sebagai contoh, seseorang yang tidak siap mental menjadi orang kaya, misalnya, maka ketika kekayaan datang kepadanya, dia akan gagap menghadapi kenyataan yang ada. Bisa jadi kendaraan yang dinaikinya berharga ratusan juta atau mungkin miliaran rupiah, tetapi mental pengendaranya tidak lebih baik dari sopir angkot yang biasa ugal-ugalan di jalan. Pakaian yang dikenakannya bermerek, tetapi perilakunya seperti preman pasar. Rumah yang ditempatinya sangat mewah, tetapi tidak ada aura kedamaian terpancar dari dalam rumah tersebut. Inilah tipikal manusia modern dewasa ini. Secara lahiriah ingin kelihatan wah, tetapi secara batiniah tidak siap mental. Tampilan luar kelihatan memesona, tetapi sesungguhnya di balik tampilan luar itu, tersimpan keburukan yang menyedihkan.

Untuk itu, persiapan mental untuk sukses dunia-akhirat itu sangat penting. Seseorang yang siap mental untuk sukses, maka dia sudah mengantisipasi jika suatu ketika kesuksesan benar-benar hadir dalam hidupnya. Dia tidak akan menjadi tinggi hati karena kelimpahan materi, pun tidak menjadi jumawa ketika berilmu pengetahuan luas, juga tidak angkuh ketika jabatan prestisius dapat direngkuh. Meski karirnya

(5)

5

menjulang tinggi, tetapi dia tetap rendah hati. Meski kesuksesan hidup berhasil digapai, dia tidak lupa diri. Meski telah ‗menyentuh‘ langit, tetapi kaki tetap menginjak bumi. Inilah tipikal manusia yang siap mental untuk sukses hidup di dunia.

Demikian juga halnya seseorang yang siap mental untuk sukses akhirat. Dia tidak akan pernah merasa hebat, meski ibadahnya dahsyat. Dia tidak menjadi sok suci meski akhlaknya terpuji. Dia tidak bangga diri meski banyak orang memberi sanjung puji. Singkatnya, dia tidak pernah merasa menjadi orang yang baik amalnya. Dia selalu merasa menjadi orang yang penuh dosa, sedikit amalnya, dan kurang dekat dengan Tuhannya. Sehingga dia akan terus menerus berusaha untuk memperbaiki dirinya. Inilah kualitas mental orang yang siap sukses akhirat. Baginya, biarlah Tuhan yang menilai dan memberi apresiasi atas amal ibadah yang dia lakukan. Dia tidak peduli apakah orang akan memuji atau mencaci. Yang terpenting baginya adalah ridla Ilahi.

Buku “Success Ways to Excellent Life (5 Langkah Menuju Sukses Dunia-Akhirat)” ini merupakan salah satu upaya penulis untuk mengajak kita semua menyiapkan mental untuk sukses dalam menjalani hidup di dunia ini dan di akhirat nanti.

Melalui karya sederhana ini, dengan dipandu wahyu Ilahi serta teladan Nabi, disertai kisah penuh hikmah dan inspirasi, penulis mengajak kita semua untuk menapaki langkah demi langkah menujuk kesuksesan dan kebahagiaan abadi.

Penulis memetakan lima langkah, yang insya Allah akan mengantarkan kita semua menuju sukses dalam menjalani kehidupan di dunia ini dan di akhirat kelak.

Kelima langkah tersebut adalah: Memperkokoh pondasi iman, membekali diri dengan ilmu, mewujudkan dengan amal, menghiasi dengan ikhlas, dan menyempurnakan dengan istiqamah.

Dengan menapaki langkah demi langkah tersebut, menjadikan hidup lebih terarah, mudah, berkah, lepas dan lebih bermakna. Dan yang paling penting, kelima langkah tersebut, semoga mengantarkan kita

(6)

6

semua menuju sukses-bahagia-berkah dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.

Penulis sadar sepenuh hati bahwa karya sederhana ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik, saran, komentar, tanggapan ataupun kesan terhadap buku ini sangat saya harapkan. Pembaca dapat menyampaikan testimoni terhadap buku ini melalui email: didijunaedi_hz@yahoo.com, atau melalui kotak pesan (inbox) di akun facebook saya: Didi Junaedi.

Akhirnya, penulis ucapkan: Selamat menapaki langkah demi langkah menuju sukses dunia-akhirat.

Brebes, 9 September 2013

Didi Junaedi

(7)

7

(8)

8

Perkokoh Pondasi Iman

Mengawali pembahasan tentang iman, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Pertanyaan ini ditujukan kepada saya secara pribadi dan juga pembaca sekalian. Apa yang mendasari kita sehingga mau melakukan aktivitas ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji serta ibadah-ibadah lainnya? Lalu apa pula alasan kita sehingga rela menyediakan waktu untuk sholat, berlapar-lapar puasa, mengeluarkan uang untuk berzakat dan membayar biaya perjalanan ibadah haji yang tidak sedikit jumlahnya?

Dengan hati dan pikiran yang jernih, maka kita akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sebuah jawaban: Iman. Ya, karena iman kita mau menjalankan ibadah. Karena iman pula kita rela mengalokasikan waktu khusus untuk sholat, tahan berlapar-lapar puasa, tidak sayang mengeluarkan harta kita dalam jumlah besar untuk berzakat dan menunaikan ibadah haji. Imanlah yang mendasari itu semua. Iman menjadi motivasi terbesar bagi seseorang dalam menjalankan aktivitas ibadah.

Pertanyaannya kemudian, apa sebenarnya pengertian iman? Mengapa kekuatannya begitu dahsyat sehingga mampu menggerakkan seseorang untuk melakukan aktivitas ibadah di tengah godaan dunia yang begitu menyilaukan?Mari kita sama-sama cari jawabannya.

Menyatunya hati, lisan dan tindakan

Jika kita merujuk pada beberapa kitab tauhid, maka akan kita dapati keterangan bahwa pengertian iman secara bahasa adalah: membenarkan, menampakkan kekhusyuan dan iqrar (pernyataan atau pengakuan). Adapun pengertian iman secara istilah adalah: ―Membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, melaksanakan dengan perbuatan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.‖

(9)

9

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam konsep iman, ada tiga hal penting yang saling terkait erat satu sama lain, yaitu; hati, lisan dan perbuatan (amal). Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika salah satu saja dari ketiga hal tersebut hilang, maka tidak sempurna iman seseorang. Bahkan, pendapat yang lebih keras mengatakan bahwa tidak disebut beriman seseorang, jika salah satu dari ketiga aspek iman itu hilang dalam dirinya.

Iman adalah menyatunya hati, lisan dan tindakan. Iman adalah sinergi antara keyakinan dalam hati, pengikraran dengan lisan dan pembuktian dengan perbuatan. Iman merupakan bentuk ketaatan, baik bathin maupun zhahir. Singkatnya, iman adalah keteguhan hati dalam memegang prinsip keyakinan, yang terwujud melalui sikap berupa pengakuan secara lisan dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Demikianlah pemahaman mayoritas ulama salafush shalih. Dalam al-Qur-an, ketika Allah menyebut kata iman hampir selalu diiringi dengan amal shalih.

























"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah Surga Firdaus menjadi tempat tinggal." (Q.S. Al-Kahfi: 107).

Dalam ayat lain ditegaskan,





































"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasehati supaya menetapi kesabaran." (Q.S. Al-Ashr: 1-3).

(10)

10 Allah Swt juga berfirman,



























"Dan itulah surga yang diwariskan kepada kalian disebabkan amal-amal yang dahulu kalian kerjakan." (Q.S. Az-zukhruf: 72).

Intinya, iman dan amal shalih itu saling terkait, tidak pernah terpisah antara satu dengan lainnya. Iman tanpa amal, ibarat pohon tak berbuah. Iman tanpa amal hanyalah sebuah kemunafikan. Sedangkan amal tanpa iman, sia-sia belaka.

Allah sangat membenci orang yang hati, ucapan dan tindakannya tidak sejalan. Allah sangat murka kepada orang yang lain di bibir, lain di hati, lain pula di tindakan.











“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S. Ash-Shaff: 3)

Dalam ayat lain ditegaskan,





























“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambah penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Q.S. Al-Baqarah: 10)

Orang-orang yang beriman akan selalu menjaga hati, lisan dan tindakannya agar terus tertuju hanya kepada Allah semata. Orang-orang yang beriman yakin betul akan janji Allah berupa kebahagiaan di akhirat berupa surga bagi mereka yang tetap konsisten menjaga keimanannya. Orang –orang yang beriman juga percaya sepenuh hati bahwa kelak, dengan amal shalih yang dikerjakannya mereka dapat berjumpa dengan

(11)

11

Allah Swt. Inilah Kebahagiaan yang sesungguhnya dan sangat dinantikan oleh setiap mukmin.

Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi setiap mukmin selain berjumpa dengan Allah Swt. Inilah alasan yang mendasari kenapa orang-orang mukmin rela menyediakan waktu untuk sholat, berlapar-lapar puasa, mengeluarkan uang untuk berzakat dan membayar biaya perjalanan ibadah haji yang tidak sedikit jumlahnya, serta ibadah-ibadah lainnya.

Kekuatan iman yang terhunjam di dalam hati sanubari seorang mukmin begitu dahsyat sehingga mampu menembus batas-batas logika. Tak ada yang bisa menghalanginya untuk beribadah kepada Allah. Bahkan seluruh aktivitas hidupnya dipersembahkan hanya untuk Allah Swt.



























―Katakanlah: ―Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah bagi Allah, Tuhan semesta alam. " (Q.S. Al-An'am: 162)

Energi iman mampu menjadikan seseorang teguh memegang prinsip serta keyakinan, tegar dalam menghadapi segala bentuk ujian hidup, serta mampu mengalahkan semua yang menjadi penghalang seseorang merengkuh cita-cita mulianya, yakni mendapatkan ridla Allah Swt.

Inilah hakekat iman yang sesungguhnya. Iman yang tidak sekedar basa-basi belaka. Iman yang tertancap dan mengakar dalam hati seseorang, iman yang setegar batu karang di dasar lautan. Mudah-mudahan kita semua dapat memilikinya.

(12)

12

Karakter Seorang Mukmin













































































“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah bergetar hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rizki (nikmat) yang mulia.” (Q.S. Al-Anfal: 2-4)

Pernahkah kita tergetar hatinya ketika nama Allah disebut? Apakah kita merasa bertambah imannya ketika mendengar ayat-ayat Allah dilantunkan? Sudahkah kita berserah diri (tawakkal) hanya kepada Allah? Sudahkah kita mendirikan shalat? Senangkah kita berbagi kebahagiaan dengan bersedekah kepada orang lain?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah parameter keimanan kita. Jika hati kita bergetar ketika disebut nama Allah, jika iman kita bertambah ketika mendengarkan ayat-ayat Allah, jika kita hanya berserah diri kepada Allah, jika kita selalu mendirikan shalat, jika kita senang berbagi kebahagiaan dengan orang lain dengan cara bersedekah, maka kita benar-benar menjadi seorang mukmin sejati seperti disebut dalam rangkaian ayat di atas.

(13)

13

Tetapi sebaliknya, jika hati kita tidak tergetar sedikit pun ketika nama Allah di sebut, jika iman kita cenderung ajeg, biasa-biasa saja ketika ayat-ayat Allah dikumandangkan, jika kita tidak berserah diri kepada Allah, bahkan cenderung meyakini selain Allah sebagai tempat meminta, berlindung dan berharap, jika kita enggan mendirikan shalat, malas dan tidak mau berbagi kebahagiaan dengan orang lain, maka kualitas keimanan kita benar-benar dipertanyakan. Layakkah kita disebut mukmin. Pantaskah kita mengaku sebagai orang yang beriman?

Bergetar Hatinya karena Asma Allah

Setiap kali nama Allah disebut, maka saat itu hati orang-orang mukmin akan begetar mendengarnya. Ibarat sang pencinta yang selalu rindu pada kekasih yang dicintainya dan berharap selalu bertemu dengannya, maka ketika nama sang kekasih disebut bergetarlah hatinya, seolah-olah sang kekasih hati berada di dekatnya.

Begitu pula gambaran seorang mukmin yang selalu rindu pada Allah Swt. Ketika asma Allah disebut, hatinya akan bergetar hebat, jantungnya berdegup kencang, dan perasaannya sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Ia betul-betul menikmati indahnya asma Allah. Ia akan segera menyambutnya dengan penuh suka cita.

Ketika azan berkumandang, misalnya, seorang mukmin akan merasa terpanggil untuk memenuhi seruan mulia tersebut. Karena dalam lantunan azan terdapat asma Allah yang begitu indah dan mampu menggetarkan hatinya. Ia akan bergegas menyucikan dirinya dengan berwudlu agar bisa segera ‗berjumpa‘ dengan Tuhannya. Ia tidak akan berlama-lama menunggu sampai azan selesai. Ia sudah tidak sabar untuk menikmati kesyahduan dan keskhusyuan berkomunikasi dengan Allah Swt., Sang Kekasih hatinya.

Dalam kehidupan sehari-hari, seorang mukmin selalu takjub dan terpesona sekaligus tergetar jiwanya ketika mendengar asma Allah diucapkan.

(14)

14

Suatu ketika, Amirul Mukminin Umar Ibn al-Khaththab berjalan sendirian menyusuri padang rumput. Dari kejauhan terlihat sekawanan kambing dengan seorang penggembala di dekatnya. Umar menghampiri penggembala tersebut dengan tujuan ingin menguji seberapa besar keimanan sang penggembala itu.

Beberapa saat kemudian, terjadilah dialog antara Umar dengan sang penggembala. ―Wahai anak muda, bolehkah saya membeli seekor kambing yang sedang kau gembalakan ini?‖ tanya Umar.

―Maaf Tuan, kambing-kambing ini milik majikan saya. Silakan Tuan bertemu langsung dengan majikan saya jika ingin membeli kambing tersebut. Saya siap mengantar Tuan menemui majikan saya‖, jawab si penggembala.

―Oh, tidak usah, saya ingin beli sekarang. Jumlah kambingya kan cukup banyak. Bagaimana kalau saya beli satu sekor, terus uangnya buat kamu. Bilang saja sama majikan kamu kalau ada srigala yang memangsa seekor kambing miliknya. Lagian, majikan kamu kan tidak tahu‖, bujuk Umar.

―Maaf Tuan, memang majikan saya tidak tahu, tapi di mana Allah? Apakah Dia tidak melihatnya. Saya takut berbuat dosa. Karena Allah Maha Melihat.‖ Jawab si penggembala dengan tegas.

Umar pun terkejut, seketika hatinya bergetar, jantungnya berdegup kencang mendengar asma Allah disebut. Dia yang semula bermaksud menguji keimanan sang penggembala, justru kini tidak bisa berkata-kata selain merasakan goncangan hebat dalam dirinya. Dia pun semakin yakin, jika asma Allah disebut dengan penuh keyakinan dan keikhlasan hati akan mampu menggetarkan hati dan jiwa seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah.

Bertambah Imannya karena Ayat-ayat Allah

Kita semua mafhum bahwa kualitas keimanan seseorang dapat bertambah dan berkurang sesuai kondisi yang melingkupinya. Menurut beberapa keterangan ayat ataupun hadis dinyatakan bahwa iman dapat

(15)

15

bertambah dan berkurang. Iman dapat bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Beberapa ayat ataupun hadis dimaksud adalah sebagai berikut:















































"Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira." (QS. at-Taubah : 124)









































"Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)..." (QS. al-Fath : 4)













" Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya." (QS. al Muddatstsir : 31)

Rasulullah Saw bersabda, ―Iman itu lebih dari tujuh puluh atau lebih dari enampuluh. Yang paling utama adalah perkataan: “Laa Ilaaha Illa Allah” dan yang terendah adalah membersihkan gangguan dari jalanan dan rasa malu adalah satu cabang dari iman.‖ (HR. Al-Bukhari- Muslim)

(16)

16

Dari keterangan hadis ini, jelaslah bahwa iman memiliki cabang-cabang, ada yang tertinggi dan ada yang terendah . Cabang-cabang iman ini bertingkat-tingkat dan memiliki derajat keutamaan yang berbeda, sebagiannya lebih utama dari lainnya. Oleh karena itu Imam At-Tirmidzi memuat bab dalam sunannya: ―Bab Kesempurnaan, bertambah dan berkurangnya iman‖.

Ketika menjelaskan hadis ini, para ulama hadis menyatakan bahwa hadis ini secara tegas dan jelas menunjukkan iman itu bertambah dan berkurang sesuai dengan tingkat pelaksanaan ajaran Islam yang dilakukan oleh seseorang.

Disadari bersama bahwa dalam menjalankan syariat Islam, setiap orang berbeda beda kualitasnya. Ada yang mengamalkan syariat dengan penuh ketulusan, betapa pun beratnya amalan tersebut. Ada yang mengamalkannya dengan terus berusaha memperbaiki kualitas amalannya.Pun ada yang mengamalkan ala kadarnya, yang penting sudah menggugurkan kewajiban.

Pertanyaannya kemudian adalah: Apa yang menyebabkan iman itu bertambah, serta apa pula yang menyebabkan iman itu berkurang?

Dari sejumlah literatur tentang masalah akidah, hemat penulis, ada dua hal utama yang mempengaruhi fluktuasi keimanan kita. Pertama, faktor internal, yaitu yang berasal dari dalam diri kita; dan kedua, faktor eksternal, yaitu yang berasal dari luar diri kita.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi bertambah dan berkurangnya keimanan sesorang adalah sebagai berikut:

Pertama, faktor internal. Keinginan kuat dalam diri seseorang untuk meningkatkan kualitas keimanan, menjadi faktor utama bertambahnya iman seseorang. Seseorang yang sadar bahwa dirinya masih memiliki kadar keimanan yang sangat minim, akan berusaha meningkatkan kualitas keimanannya dengan beragam cara. Dia akan semakin mendekatkan dirinya kepada Allah melalu serangkaian aktivitas ibadah. Dia juga akan terus menambah wawasannya tentang masalah keimanan (akidah), ibadah, muamalah melalui majelis-majelis ilmu, melalui bacaan, melalui diskusi keagamaan dan lain sebagainya. Intinya,

(17)

17

ada kemauan yang kuat yang berasal dari dalam dirinya untuk meningkatkan kualitas keimanannya. Sebaliknya, hilangnya semangat atau ruh kesadaran dalam diri bahwa imannya harus terus dipupuk, menjadikan seseorang abai dan tidak peduli dengan kualitas keimanannya. Walhasil, baginya tidak penting apakah yang dilakukannya sesuai atau justru melanggar aturan agama. Perkara halal haram itu nomor sekian, yang penting terpenuhi segala cita-citanya. Dia juga tidak tertarik untuk menambah pengetahuannya tentang agama. Intinya, tidak ada niatan sedikit pun dalam dirinya untuk meningkatkan kualitas keimanannya.

Kedua, faktor eksternal. Lingkungan sosial tempat seseorang tinggal, teman-teman sepergaulan, baik di rumah, di tempat kerja, maupun di komunitasnya akan sangat mempengaruhi kualitas keimanannya. Ketika seseorang tinggal di lingkungan yang agamis, relijius, taat pada ajaran agama, maka kemungkinan bertambahnya keimanan sangatlah besar. Teman sekantor, rekan sepergaulan, serta komunitas yang baik dan peduli terhadap ajaran agama akan sangat berpengaruh kepada kualitas keimanan seseorang. Sebaliknya, lingkungan yang buruk, teman yang tidak peduli terhadap ajaran agama, serta komunitas yang jauh dari nilai-nilai agama akan menjadikan seseorang hanyut dan terbawa arus untuk abai terhadap aturan agama. Walhasil, keimanan yang ada dalam dirinya pun kian hari kian menyusut.

Dalam Q.S. Al-Anfal ayat 2 disebutkan bahwa di antara ciri orang-orang yang beriman adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah bertambah imannya. Maksud ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdurrahman As-Sa‘di dalam kitab tafsirnya, Taisir al-Karim al-Rahman adalah bahwa seorang mukmin, ketika dibacakan ayat-ayat al-Qur‘an akan memperhatikan dengan seksama, menghadirkan hatinya untuk mentadaburi maknanya, mengingat kealpaannya dan berjanji dalam dirinya untuk selalu berbuat baik (amal shalih), maka pada saat itulah ia bertambah imannya. Inilah hakekat dari bertambahnya keimanan karena ayat-ayat Allah.

(18)

18

Berserah Diri Hanya kepada Allah

Kita semua maklum bahwa banyak hal yang mewarnai perjalanan hidup kita. Suatu ketika kita merasa bahagia, tetapi di saat yang lain kita merasa menderita. Kadang kita diliputi kegembiraan, tetapi tidak jarang pula kita dihinggapi kesedihan. Bahagia dan derita, gembira dan sedih adalah dua sisi kehidupan yang akan selalu hadir menyertai kita, kapan, dan di mana pun kita berada.

Di saat bahagia hadir, mungkin semuanya akan terasa baik-baik saja. Di saat gembira menyapa, semua keadaan terasa berjalan sesuai yang kita inginkan. Tetapi begitu derita dan duka menghampiri hidup kita, semua terasa gelap, langit seakan runtuh, bumi seolah berhenti berputar. Kita merasa sepi di tengah keramaian, sendiri di tengah hiruk pikuk kehidupan, terasing dalam pusaran jagat manusia yang hilir mudik silih berganti.

Di saat-saat seperti inilah, ketika kesedihan, kekecewaan serta kesengsaraan menyelimuti kehidupan kita, kita butuh tempat untuk bersandar, mengadu dan memohon pertolongan agar seluruh persoalan hidup segera menemui jalan keluar.

Ironisnya, tidak setiap kita menempuh jalan serta cara yang tepat untuk menghalau dan menghilangkan kesedihan serta kesusahan hidup yang tengah kita alami. Ada di antara saudara-saudara kita yang ketika ditimpa kemalangan hidup justru mengambil ‗jalur alternatif‘ dengan menempuh cara-cara yang seringkali tidak rasional, tidak mencerminkan sikap orang yang beragama. Mereka lebih memilih dukun, paranormal dan sejenisnya sebagai tempat mengadu dan meminta pertolongan, atau pergi ke tempat-tempat hiburan, menghabiskan malam dengan ditemani beberapa botol minuman, dengan dalih menghilangkan beban hidup.

Padahal agama sudah mengajarkan kepada kita solusi terbaik menghadapi segala persoalan hidup. Ya, dengan mengadukan, menyandarkan, memohon dan menyerahkan segala problematika hidup ini kepada Allah Swt. disertai ikhtiar tiada henti, niscaya semua persoalan hidup yang membebani kita akan mendapat jalan keluarnya.

(19)

19

Berserah diri atau dalam bahasa agama disebut tawakkal adalah kunci utama untuk membuka pintu pertolongan sekaligus melapangkan jalan keluar atas setiap persoalan yang kita hadapi. Bukankah Al-Qur‘an mengajarkan kepada kita untuk mengabdikan seluruh aktivitas kehidupan yang kita jalani hanya kepada Allah Swt semata? Bukankah Allah sangat senang kepada hamba-hamba-Nya yang berserah diri kepada-Nya?

Beberapa keterangan ayat suci menegaskan hal tersebut. QS. Al-An‘am: 162 menegaskan:



























―Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

Dalam Q.S. Ali Imran: 159 Allah Swt. Juga menyatakan:















“Kemudian apabila kamu telah membuat tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang–orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Rasullullah Saw bersabda : ―Akan masuk surga dari umatku tujuh puluh ribu orang tanpa hisab dan siksa, mereka adalah orang orang yang tidak minta ruqyah, tidak menyandarkan kesialan kepada burung dan sejenisnya, tidak berobat dengan besi panas dan mereka bertawakal kepada Rabb mereka.” ( H.R. Muslim ).

Beberapa keterangan dari al-Qur‘an dan Hadits di atas menegaskan bahwa kita diperintahkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dalam segala urusan, dalam segala kondisi.

(20)

20

Pertanyaannya kemudian, apa sebenarnya pengertian tawakal? Bagaimana konsep tawakal yang benar menurut ajaran Islam?

Secara bahasa, tawakal berasal dari Bahasa Arab ―tawakkala‖ yang berarti: bersandar, berserah diri, mewakilkan.

Adapun secara istilah, tawakal biasa dipahami dengan penyerahan sesuatu kepada Allah atau menggantungkan urusan diri kepada Allah setelah berikhtiar.

Menurut Imam Al Ghazali, tawakal adalah: ”menyandarkan diri kepada Allah SWT dalam menghadapi setiap kepentingan, bersandar kepada Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati ketika ditimpa bencana, dengan jiwa yang tenang dan hati yang tentram.”

Kisah berikut mungkin akan memperjelas pengertian serta konsep tawakal yang benar menurut ajaran Islam.

Suatu ketika, ada seseorang yang datang ke masjid dengan membawa unta. Sesampainya di halaman masjid, unta tersebut dibiarkan saja tanpa diikat. Lalu, Nabi Saw. bertanya, ―mengapa tidak kamu ikat untamu itu?‖ Orang tersebut menjawab, ‖aku telah bertawakal kepada Allah.‖ Lalu Nabi Saw bersabda: ‖Ikatlah terlebih dahulu (untamu), setelah itu bertawakallah‖.

Dari kisah tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa pengertian tawakal menurut ajaran Islam adalah penyerahan diri atas segala urusan kepada Allah, setelah sebelumnya didahului ikhtiar.

Dengan demikian konsep yang benar tentang tawakal adalah berserah diri kepada Allah dalam setiap urusan, ketika seluruh daya dan upaya telah dikerahkan melalui proses ikhtiar.

Orang yang bertawakal, harus mengembalikan masalah yang dihadapinya kepada Allah setelah benar-benar berikhtiar. Ia berserah diri karena memang semua usaha sudah dilakukan secara maksimal. Apapun hasil akhir dari ikhtiar yang telah dilakukannya, akan diterimanya dengan sikap tawakal.

(21)

21

Orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan yang sungguh-sungguh dalam bertawakal kepada Allah tentu akan selalu berusaha bersikap atau berprilaku takwa. Jika dia Istiqamah dalam ketakwaannya, pasti Allah akan memberikan jalan keluar dan mencukupkan keperluannya.

Ironisnya, banyak orang yang keliru memahami konsep tawakal. Mereka mengira bahwa tawakal itu adalah pasrah bongkokan, menyerahkan semua urusannya kepada Allah, tanpa diiringi dengan ikhtiar. Sehingga, banyak dari mereka yang menginginkan hidup berkecukupan secara ekonomi, tetapi tidak mau bekerja. Ada yang ingin menguasai suatu cabang ilmu tertentu, tetapi tidak mau belajar, hanya mengharap wangsit dari langit. Dan ada pula yang terus menerus berharap mendapatkan jodoh yang baik, sesuai dengan kriterianya, tetapi tidak ada usaha untuk mendapatkannya. Ini semua adalah pemahaman yang salah.

Mereka salah memahami ayat yang menyatakan,









―Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.‖ (Q.S. al-Thalaq: 3)

Dalam ayat ini Allah berjanji akan memberikan kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal, termasuk dalam hal rizki. Apakah kemudian seseorang yang berdiam diri, tidak ada usaha untuk menjemput rizki, tidak bekerja, lalu tiba-tiba memperoleh rizki dari langit? Apakah orang yang berharap mendapat jodoh tetapi tidak pernah berusaha mendapatkannya akan menemukan jodohnya? Tentu tidak demikian. Orang yang ingin terpenuhi kebutuhannya harus bekerja, sama halnya orang yang ingin punya istri atau suami tentu harus berusaha untuk mendapatkannya. Jadi, Allah memberikan rizki kepada seseorang jika dia mau berusaha mencarinya dengan kerja keras. Pun demikian

(22)

22

halnya, Allah akan memberikan jodoh kepada seseorang jika dia mau berusaha untuk mendapatkannya.

Rasulullah Saw. bersabda, “Andaikan kalian tawakal kepada Allah dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi dengan perut kosong dan pulang sore dengan perut kenyang”. (HR. al-Tirmidzi)

Hadis ini menerangkan bahwa binatang saja, dalam hal ini burung, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya harus pergi dari sarangnya di pagi hari, dan baru kembali ke sarangnya di sore hari. Burung tidak tinggal diam di sarang menunggu makanan datang dari langit. Dia berusaha untuk menjemput rizki Allah. Dan Allah pun memberikan rizki kepadanya. Apalagi manusia, yang dikarunia akal dan kelebihan lainnya, tentu harus lebih giat lagi usaha untuk mendapatkan rizki dari Allah. Tidak mungkin hanya dengan berdiam diri di rumah tanpa ada usaha untuk mencari atau menjemput rizki, Allah akan menurunkannya dari langit. Sesuatu yang mustahil terjadi. Allah akan menghargai kerja keras hambanya dalam mencari dan menjemput rizki-Nya.

Inilah sesungguhnya konsep tawakal yang benar menurut ajaran Islam. Usaha maksimal disertai doa, kemudian hasil akhir diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Inilah tawakkal. Singkatnya, ikhtiar adalah awal perjalanan, sementara tawakkal adalah akhir dari perjalanan.

Dengan demikian, tawakal adalah salah satu bentuk berpikir positif yang diajarkan Islam. Sesuai hukum alam, pikiran positif akan menghasilkan sesuatu yang positif pula.

Berikut saya sebutkan beberapa dampak positif yang dihasilkan oleh sikap tawakal:

1. Perwujudan dari keimanan dan kepasrahan kepada Allah SWT. 2. Menguatkan jiwa dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. 3. Mendatangkan ketenangan jiwa.

4. Melahirkan kepuasan batin.

(23)

23

Mendirikan Shalat

Perbedaan mendasar antara orang mukmin dengan orang kafir adalah shalat. Jika seseorang meninggalkannya, maka dia telah kafir. Demikian disebutkan dalam sebuah hadits Nabi Saw.

Dalam Q.S. Al-Anfal ayat 3 yang penulis sebut di awal tulisan ini, secara jelas Allah menunjukkan bahwa diantara ciri seorang mukmin yang sesungguhnya adalah mendirikan shalat.

Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa maksud dari mendirikan shalat pada ayat ini adalah melaksanakan shalat baik secara lahir maupun batin. Secara lahir, yakni dengan memenuhi syarat dan rukun shalat, melaksanakannya dengan penuh khusyu dari awal hingga akhir shalat. Adapun secara batin maknanya adalah ada dampak positif dari ibadah shalat yang dilakukan, yakni mampu mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar.

Dengan demikian, ibadah shalat yang dilakukan seorang mukmin tidak sekedar menggugurkan kewajiban, tetapi memberi makna yang sangat dalam, yakni mampu memberi pengaruh positif dalam kehidupan sehari-hari yang dijalaninya.

Mari kita sejenak melihat kenyataan yang ada. Banyak di antara kita, atau mungkin diri kita sendiri, yang begitu rajin menjalankan shalat, tetapi tidak ada dampak sedikit pun dari shalat yang mereka atau kita lakukan.

Setiap saat panggilan suara adzan berkumandang, banyak di antara kita yang bergegas untuk memenuhi panggilan tersebut. Kita bersegera menemui sang Khalik untuk beraudiensi dan berkomunikasi dengan-Nya. Tetapi setelah shalat usai dikerjakan. Tidak sedikit di antara kita yang juga bergegas dan bersegera memenuhi panggilan nafsu duniawi kita, panggilan hasrat materi kita, yang tidak jarang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai shalat yang kita kerjakan.

Ketika berada di dalam masjid, di tempat-tempat ibadah, di majelis-majelis ilmu, kita terlihat begitu khusyu dan serius menjalankan ibadah, mengkaji ilmu agama, mendengarkan tausiyah dari para ustadz. Tetapi begitu kita berada di luar masjid, jauh dari tempat ibadah, tidak

(24)

24

berada di majelis ilmu, begitu mudahnya kita melakukan perbuatan yang jauh dari nilai-nilai agama, bahkan melanggar aturan agama.

Bagaimana sikap, perilaku dan ucapan kita ketika berada di pasar, di kantor, di jalan, di tempat-tempat umum, apakah sudah mencerminkan nilai-nilai ibadah shalat kita? Hanya kita yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah cerminan dari kualitas keimanan kita. Seberapa besar tingkat keimanan kita, bisa diukur setidaknya dari perilaku, sikap serta ucapan kita dalam kehidupan sehari-hari. Jika perilaku, sikap serta ucapan kita menunjukkan nilai-nilai ibadah shalat yang kita lakukan, maka berarti kita sudah benar-benar mendirikan shalat. Tetapi jika tidak, maka kita belum menjadi mukmin yang sesungguhnya.

Membiasakan sedekah

Ciri khas seorang mukmin sejati lainnya, yang termaktub dalam Dalam Q.S. Al-Anfal ayat 3 tersebut adalah kebiasaannya untuk menyalurkan sebagian rezeki yang dimilikinya di jalan Allah. Kebiasaan berinfak untuk kepentingan agama dan sosial menjadi ciri khas seorang mukmin sejati. Berbagi kebahagiaan dengan orang lain, berupa memberi sedekah kepada orang yang membutuhkan, seperti fakir miskin serta anak-anak yatim adalah salah satu sikap mulia seorang mukmin sejati.

Dalam Q.S. Ali Imran: 133-134 disebutkan bahwa di antara ciri orang bertakwa (muttaqin) adalah orang yang gemar berinfak, bersedekah di jalan Allah, berbagi rezeki dengan orang-orang yang membutuhkan, baik di saat lapang maupun sempit.

Allah Swt memberikan kelimpahan pahala bagi orang-orang yang mau menafkahkan hartanya di jalan Allah. Dalam Q.S. Al-Baqarah: 261 Allah Swt menegaskan,

























































(25)

25

“Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir: seratus biji. Allah melipat gandakan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas karunia-Nya dan Maha Mengetahui.”

Kebiasaan sedekah ini akan menjadikan seseorang jauh dari sikap kikir dan tamak. Dia akan selalu mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Dia tidak akan merasa bahwa harta kekayaan yang dimilikinya adalah murni miliknya. Dia sadar sepenuhnya bahwa semua yang dimilikinya hanyalah titipan Allah yang bersifat sementara, yang suatu saat bisa saja hilang dan pasti akan dia tinggalkan. Dia akan menjaga amanat Allah itu dengan sebaik-baiknya, sehingga kelak ketika dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah, dengan penuh percaya diri dia akan mempertanggung jawabkan amanat yang telah diembankan kepadanya.

Dalam banyak riwayat hadits juga disebutkan bahwa sedekah adalah cara paling ampuh untuk melindungi diri kita dari segala mara bahaya yang setiap saat dapat menimpa kita. Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah Saw menyatakan, “Sesungguhnya sedekah itu dapat memadamkan kemarahan Allah dan menolak ketentuan yang buruk.” (HR. Tirmidzi)

Penulis ingin berbagi sebuah kisah nyata berkaitan dengan masalah sedekah ini, yang dampaknya seperti disebutkan hadis di atas, yaitu mampu menolak ketentuan yang buruk.

Kisah nyata ini terjadi sekitar dua tahun yang lalu, tepatnya pada akhir ramadhan. Dalam kisah yang akan penulis ceritakan nanti, terlihat jelas bahwa sedekah mampu mengubah takdir, menyembuhkan penyakit yang menurut perhitungan medis sudah tidak dapat diobati sama sekali.

Adalah tetangga penulis, sebut saja namanya Hj. Hamidah. Beliau sudah menderita sakit yang cukup parah, yaitu kanker otak studium tiga. Beliau sudah berobat ke sana ke mari, dari satu rumah sakit ke rumah

(26)

26

sakit lain. Dan terakhir, beliau dirawat cukup intensif di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta.

Setelah melalui perawatan di rumah sakit tersebut selama beberapa bulan. Alih-alih membaik, justru kondisi penyakit Hj. Hamidah semakin parah. Dari hasil pemeriksaan dokter, disimpulkan bahwa kondisi kanker yang diderita beliau sudah menjalar ke seluruh tubuh. Dokter hanya mengatakan kepada anggota keluarga yang mendampinginya bahwa secara medis, sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Kemudian dokter menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada keluarga pasien. Apakah tetap mau dirawat dengan hasil pemeriksaan yang sudah dijelaskan, ataukah mau dibawa pulang.

Kemudian pihak keluarga pasien pun bermusyawarah. Hasil dari musyawarah tersebut menyatakan bahwa lebih baih baik tetap dirawat di rumah sakit, dengan penanganan dokter, sambil mencari solusi alternatif lainnya.

Di tengah kondisi yang demikian kritis, ternyata ada inisiatif dari pasien, yang masih bisa berkomunikasi dengan anggota keluarga yang mendampinginya. Beliau, yang kebetulan adalah orang kaya dan memiliki beberapa hektar sawah di kampungnya, berniat untuk mewakafkan satu hektar sawahnya untuk diberikan kepada sebuah lembaga pendidikan Islam di daerahnya.

Akhirnya, pihak keluarga yang tengah mendampingi pasien di Jakarta menghubungi keluarga yang ada di kampung dan menceritakan maksud baik sang pasien.

Singkat cerita, pihak keluarga di kampung kemudian mengumpulkan pengurus lembaga pendidikan tersebut dengan maksud menyerahkan sawah dari Hj. Hamidah untuk diwakafkan.

Setelah proses ijab kabul atau serah terima dari pihak keluarga kepada pengurus lembaga pendidikan tersebut selesai. Kemudian pihak keluarga menghubungi kerabat yang ada di rumah sakit untuk menginformasikan bahwa proses serah terima wakaf sudah dilaksanakan.

(27)

27

Dari sinilah kemudian sebuah keajaiban terjadi. Sungguh janji Allah itu benar adanya. Sehari berselang dari proses serah terima wakaf tersebut, ketika diadakan pemeriksaan kembali oleh dokter yang menangani Hj. Hamidah, hasil yang didapatkan sungguh di luar dugaan. Dokter menyampaikan hasil pemeriksaan kepada pihak keluarga dan pasien dengan takjub dan hampir-hampir tidak percaya. Karena, sehari sebelumnya hasil pemeriksaan menunjukkan kanker ganas pasien sudah menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi, sekarang hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tidak didapatkan penyakit apa pun dalam tubuh pasien. Subhanallah.

Dokter yang masih terheran-heran dengan hasil tersebut kemudian melakukan pemeriksaan ulang yang lebih intensif lagi hingga beberapa kali. Dan hasil yang didapatkan tetap sama, yaitu kondisi fisik pasien sangat normal, tidak didapati penyakit apa pun dalam tubuhnya.

Dengan rasa penasaran yang sangat tinggi, akhirnya dokter pun menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang telah dilakukan pasien atau pihak keluarga hingga bisa seperti ini. Akhirnya, pihak keluarga pun menceritakan bahwa kemarin baru saja pasien mewakafkan satu hektar sawahnya dikampung untuk sebuah lembaga pendidikan Islam. Dari penjelasan pihak keluarga tersebut, sang dokter pun mafhum bahwa keajaiban yang terjadi pada pasien karena wakaf atau sedekah dalam jumlah besar yang telah dikeluarkannya.

Dari kisah nyata tersebut, jelaslah bahwa sedekah merupakan salah satu cara yang dapat kita lakukan untuk mengubah takdir. Sungguh Allah tidak pernah ingkar janji.

Sedekah juga merupakan salah satu wujud rasa empati serta kepedulian terhadap sesama manusia (hablun min al-nas). Dan Allah sangat mencintai hamba-Nya yang mau berbuat baik dan menolong sesama.

Rasulullah Saw. bersabda, “Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim) Dalam kalimat lain Rasulullah Saw juga pernah menyampaikan,

(28)

28

“Sayangilah yang ada di bumi, maka yang di langit akan menyayangimu.” (HR. Bukhari)

Salah satu wujud kasih sayang kita kepada sesama adalah dengan kesediaan kita bersedekah kepada orang-orang yang membutuhkan. Yakinlah, bahwa sedekah yang kita berikan kepada mereka, yakni orang-orang yang membutuhkan, selain dapat menghadirkan kasih sayang Allah, juga secara psikologis dapat menjadikan kita lebih bahagia.

Haidar Bagir dalam buku Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan mengungkapkan sebuah kisah menarik, berupa percobaan sosial yang dilakukan oleh Oprah Winfrey, seorang host ternama yang menjadi pemandu acara ―Oprah Show‖. Dia mengumpulkan sekitar 100 orang untuk melakukan sebuah percobaan tentang dampak berbagi (sedekah). Mereka diminta menabung sebagian uang yang biasa digunakan untuk rekreasi. Tabungan tersebut kemudian diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Beberapa bulan kemudian, 100 orang tersebut dikumpulkan dan ditanya, apakah ada yang berubah dalam kehidupan mereka? Jawabannya, mereka merasakan bahwa hidup mereka lebih bahagia setelah berbagi dengan orang lain.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa berbagi rezeki, memberi bantuan, serta menolong orang lain akan melahirkan kebahagiaan dalam diri kita.

Hal ini sesuai dengan anjuran Rasulullah Saw. Suatu ketika Rasulullah saw ditanya, "Amal apakah yang paling utama?" Beliau menjawab, "Memasukkan rasa bahagia pada seorang Mukmin, kamu menghilangkan rasa laparnya, menutupi ketelanjangannya, dan memenuhi kebutuhannya. (HR. Thabrani)

Dengan demikian, mukmin sejati adalah mereka yang senang memberi pertolongan yang membutuhkan, mengulurkan bantuan kepada mereka yang tengah dihimpit persoalan, memberi kemudahan kepada mereka yang sedang ditimpa kesulitan, serta menghadirkan kedamaian kepada mereka yang tengah dilanda kemalangan. Intinya, mukmin sejati

(29)

29

adalah mereka yang selalu menghadirkan rasa bahagia kepada orang lain.

Mukmin itu Menakjubkan!

Suatu ketika Rasulullah Saw menyatakan, “Sungguh menakjubkan kondisi orang beriman! Semua urusannya baik. Dan yang demikian tidak dapat dirasakan oleh siapa pun selain orang beriman. Jika ia memperoleh kebahagiaan, maka ia bersyukur. Bersyukur itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesulitan, maka ia bersabar. Dan bersabar itu baik baginya.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan, ada dua hal yang menjadikan seorang mukmin itu menakjubkan. Dan dua hal itu tidak dimiliki oleh selain mukmin. Kedua hal tersebut adalah: syukur dan sabar.

Ya, syukur dan sabar adalah kata kunci yang menjadikan seorang mukmin istimewa di hadapan Allah Swt. Dalam sejumlah ayat-Nya, Allah Swt berulang kali menyebut dua sikap ini sebagai kunci kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dalam Q.S Ibrahim: 7 Allah Swt. menegaskan,



























“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat)

kepada-Mu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”

Pada ayat tersebut, sikap syukur menjadi kunci kebahagiaan, yaitu berupa ditambahnya nikmat Allah. Seorang mukmin adalah orang yang pandai bersyukur atas nikmat Allah. Dia tidak pernah mengeluh, apalagi mempertanyakan keadilan Allah tentang nikmat. Dia selalu bersyukur dalam segala kondisi. Dia sadar betul bahwa apa yang diberikan Allah kepadanya adalah yang terbaik menurut Allah.

(30)

30

Dalam QS. Al-Baqarah: 172 disebutkan,



































“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.

Pada ayat ini, Allah Swt. menunjukkan bahwa salah satu bukti kesungguhan seorang hamba menyembah Allah adalah dengan bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepadanya.

Rasulullah Saw, dalam salah satu hadisnya menyatakan, “Setiap perbuatan baik yang tidak dimulai dengan memuji Allah, maka tidak sempurnalah perbuatan itu.” (HR. Abu Dawud)

Dari beberapa keterangan ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa syukur adalah cara paling efektif untuk meraih kebahagiaan hidup berupa kelimpahan nikmat serta karunia-Nya. Syukur juga menjadi bukti nyata kesungguhan seorang hamba beribadah serta mengabdi kepada Allah.

Adapun berkaitan dengan sabar, yang juga merupakan ciri seorang mukmin sejati, sejumlah ayat dan hadis menjelaskannya dengan gamblang.

Dalam Al-Qur‘an banyak ayat yang berbicara mengenai kesabaran. setidaknya ada 103 kali kata sabar disebut dalam Al-Qur‘an, Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sabar bagi seorang mukmin di hadapan Allah Swt.

Di dalam Q.S. Al-Baqarah: 153 Allah Swt menyatakan,





















“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

(31)

31

Pada ayat 155-157 Q.S. Al-Baqarah diberitakan kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.





















































































“...Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Dalam ayat lain di Q.S. Al-Baqarah: 177, Allah Swt memuji orang-orang yang sabar:





































“…dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 177)

Berkaitan dengan masalah sabar ini, Rasulullah Saw menegaskan dalam sejumlah hadisnya. “…Dan kesabaran merupakan cahaya yang terang…” (HR. Muslim). Dalam hadis lain disebutkan, “…dan tidaklah

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil simulasi, dianalisa nilai bilangan Froude aliran serta waktu tinggal efektif dan luas efektif kolam fakultatif untuk melihat kehadiran daerah mati.. Hasil

dan n %u %u&u &u. ;ntu& itu< &ami menghara,&an &e&urangan dan masih !auh dari &esem,urnaan.. #alah satu su% sistem &esehatan nasional

"Maukah kuceritakan kepadamu tentang amalmu terbaik dan paling bersih dalam pandangan Allah swt, serta orang yang tertinggi derajatnya di antaramu, yang lebih baik

Dengan menggunakan transformasi koordinat: (x, y, z) → (r, θ, z), diperoleh hubungan antara integral lipat tiga pada koordinat bidang dan koordinat tabung sebagai

Sampel penelitian ini adalah tanaman Sargassum sp. yang dibudidayakan di dalam rakit yang berbeda.. menggunakan dua sistem budidaya yaitu rakit lepas dasar yang diikat

Pada hari ini, Rabu tanggal 4 Februari 20L5, saya yang dengan Keputusan Rektor Universitas Negeri Malang Nomor 2.2.39lUN}2lKPl2OL5 tanggal 2 Februari 20t5, dosen yang

 Karena pertemuan sebelumnya sudah di share video pembelajaran tentang lingkaran maka guru menegaskan point-point penting rumus yang akan dipakai dan proses menyelesaikan..

Hal tersebut terbukti bahwa banyak dari orang tua belum punya banyak pengalaman dalam melakukan praktik pencegahan cedera pada anak karena merupakan pengalaman pertama