• Tidak ada hasil yang ditemukan

106

Sempurnakan dengan Istiqamah

Kehidupan kita akan mencapai puncak kesuksesan dan kebahagiaan ketika memiliki iman yang kuat, ilmu yang hebat, amal yang dahsyat, disertai sikap ikhlas dan disempurnakan dengan istiqamah. Kata terakhir yang penulis sebut akan menjadikan seseorang tetap teguh berada pada jalan kebaikan yang sudah dipilihnya.

Ibnu Manzur dalam Kamus Lisan al-„Arab menjelaskan bahwa secara bahasa (literal), istiqamah bermakna i‟tidal (lurus), istiwaa (lurus dan setimbang).

Imam Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an menerangkan bahwa istiqamah adalah tegak lurus atau konsisten untuk selalu menaati Allah Swt, baik dalam keyakinan, perkataan dan perbuatan, kemudian tetap dalam kondisi semacam itu secara terus-menerus".

Istiqamah dalam pengertian kita biasa dimaknai dengan sikap konsisten, teguh memegang prinsip, terus-menerus, kontinu, berkesinambungan dalam melakukan suatu amal. Dan istiqamah ini menjadi ciri mulia dan bernilainya suatu amal saleh di hadapan Allah Swt. Rasulullah Saw menegaskan, "Amalan yang paling di cintai oleh Allah adalah amalan yang terus-menerus (kontinu) walaupun sedikit." (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis tersebut secara tegas dikatakan bahwa kualitas amal yang sangat dicintai Allah Swt adalah keterjagaannya, kesinambungannya, mudawamah-nya. Amal terbaik adalah yang meskipun sedikit, tetapi dikerjakan dengan istiqamah, terus menerus. Daripada dalam jumlah yang banyak, tetapi hanya sekali waktu saja.

Ilustrasi sederhana tentang hal ini adalah bahwa ketika kita tadarus (membaca) al-Qur‘an, misalnya, maka jauh lebih baik beberapa ayat yang kita baca, tetapi rutin kita lakukan setiap hari, daripada sekali baca 1-2 Juz, kemudian berhenti tidak membacanya lagi di lain waktu.

107

Istiqamah adalah kata kunci yang menunjukkan tingkat keimanan seseorang. Kita mengenal istilah fluktuasi atau pasang surut keimanan. Ada ungkapan yang menyebutkan, “al-iimaanu yaziidu wa yanqushu”, iman itu bisa bertambah dan berkurang. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Untuk menjaga keimanan kita tetap stabil, bahkan bisa naik terus-menerus adalah dengan menjaga sikap istiqamah. Teguh dan tetap pada prinsip dalam berakidah, menjalankan ibadah serta muamalah sesuai dengan koridor syariah.

Istiqamah Hati, Lisan dan Tindakan

Ada tiga hal yang saling terkait erat satu sama lain dalam diri seseorang, yang akan menentukan kualitas imannya. Tiga hal tersebut adalah: Hati, lisan dan tindakan.

Hati adalah bagian tubuh yang paling penting. Setiap orang harus berusaha dengan sungguh-sungguh agar hatinya tetap istiqamah di jalan Allah, jalan yang lurus (ash-shirat al-mustaqim), yakni Islam.

Hati yang sering disebut dengan istilah qalb, mengandung arti bolak-balik. Dengan demikian, hati sangat mudah untuk goyah dan berubah-ubah. Sekali waktu kita begitu semangat menjalankan ibadah, di lain waktu kita bermalas-malasan untuk melaksanakan ibadah. Karena ketidak ajegan hati kita dalam beribadah inilah, sehingga kita dianjurkan untuk selalu berdoa, memohon kepada Allah agar diberi ketetapan hati dalam ketaatan kepada-Nya. Rasulullah Saw senantiasa memperbanyak mengucapkan “Wahai yang membolak- balik hati, tetapkanlah hatiku pada agamamu.” (HR. Tirmidzi)

Jika Rasulullah yang ma‘shum saja terus menerus berdoa memohon kepada Allah agar diberi kemantapan serta ketetapan hati pada ketaatan kepada Allah, apalagi kita yang kualitas keimanannya jauh di bawah Rasulullah Saw.

Dalam sebuah hadisnya Rasulullah Saw juga berpesan, "Ketahuilah bahwa dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka akan menjadi baik semuanya, dan

108

apabila segumpal daging itu buruk, maka akan buruklah semuanya, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Di dalam al-Qur‘an disebutkan duapuluh macam atau jenis hati manusia dengan beragam karakteristiknya. Berikut penulis jelaskan secara singkat keduapuluh macam hati manusia dengan beragam karakteristiknya tersebut menurut al-Qur‘an:

1. Qalbun salim, yaitu hati yang sehat, bersih (selamat). Artinya hati yang sehat, bersih dan selamat dari kekufuran dan kemunafikan. Hati yang ikhlas lillahi ta‟ala. Termaktub dalam Q.S. Asy-Syu‘ara: 89.

ال ِِإ

ْنَم

ىَتَأ

َالل

بْلَقِب

مٌِلَس

, ―...kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”

2. Qalbun munib, yaitu hati yang selalu kembali dan bertaubat kepada Allah. Termaktub di dalam Q.S. Qaf: 33.

ِبٌَْغْلاِب َنَم ْحارلا ًَ ِش َخ ْنام

َءآ َج َو

بْلَقِب

بٌِنُّم

, ―...(yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.”

3. Qalbun mukhbit, yaitu hati yang tunduk dan tenang. Termaktub di dalam Q.S. Al-Haj: 54.

َكِّبار نِم ُّق َحْلا ُهانَأ َمْلِعْلا اوُتوُأ َنٌِذالا َمَلْعٌَِل َو

اوُنِم ْإٌَُف

ِهِب

َتِب ْخُتَف

ُهَل

ْمُهُبوُلُق

, “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al-Qur‟an itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya.”

4. Qalbun wajil, yaitu hati yang takut kepada Allah serta khawatir kalau amalnya tidak diterima Allah, serta tidak selamat dari siksa (api) neraka. Termaktub dalam Q.S. Al-Mukminun: 60.

َنوُت ْإٌُ َنٌِذالا َِو

ا ْوَتاَءآَم

ْمُهُبوُلُق َو

ةَلِج َو

ْمُهانَأ

ِإ

ىَل

ْمِهِّبَر

109

memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang

takut, (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan

kembali kepada Tuhan mereka.”

5. Qalbun taqiy, yaitu hati yang selalu mengagungkan syiar-syiar Allah. Termaktub di dalam Q.S. Al-Hajj: 32.

ِهـاللا َرِئاَعَش ْمِّظَعٌُ نَم َو َكِل ِ َِذ

ِبوُلُقْلا ى َوْقَت نِم اَهانِإَف,

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi‟ar-syi‟ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari

ketakwaan hati.”

6. Qalbun mahdiy, yaitu hati yang ridla dengan ketetapan (qadla) dan takdir (qadar) Allah, serta berserah diri kepada Allah atas segala urusan yang menimpanya. Termaktub dalam Q.S. At-Taghabun: 11.

َصَأآَم

َبا

نِم

ةَبٌ ِصُّم

الِإ

ِنْذِإِب

ِالل

نَم َو

نِم ْإٌُ

ِللاِب

ِدْهٌَ

ُهَبْلَق

ُالل َو

ِّلُكِب

ء ْىَش

مٌِلَع

,

“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

7. Qalbun muthmainun, yaitu hati yang tenang karena mengesakan Allah dan mengingat-Nya. Termaktub dalam Q.S. Ar-Ra‘du: 28.

َنٌِذالا

اوُنَما

ُّنِئَمْطَت َو

مُهُبوُلُق

ِرْكِذِب

ِالل

ِرْكِذِبَلَأ

ِالل

ُّنِئَم ْطَت

ُبوُلُقْلا

, (yaitu)

orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”

8. Qalbun hayy, yaitu hati yang memahami ‗ibrah dari kisah-kisah umat terdahulu yang Allah ceritakan dalam al-Qur‘an. Seperti disebutkan dalam Q.S. Qaf: 37.

َعْماسلا ىَقْلَأ ْوَأ بْلَق ُهَل َناَك نَمِل ى َرْكِذَل َكِلَذ ًِف ان ِِإ

َوُه َو

دٌِهَش

, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”

110

9. Qalbun maridl, yaitu hati yang mengandung penyakit, seperti kemunafikan serta keraguan akan kebenaran. Hati yang di dalamnya terdapat kejahatan serta syahwat kepada yang haram. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah: 10.

مِهِبوُلُق ًِف

ُِ ُض َرام

ُمُهَدا َزَف

ُاالل

اًض َرَم

, “Dalam hati mereka ada penyakit,

lalu Allah menambah penyakitnya itu…”

10. Qalbun a‟ma, yaitu hati yang tidak bisa melihat dan memahami kebenaran serta pelajaran yang telah Allah berikan melalui ayat-ayat-Nya. Seperti disebutkan dalam Q.S. Al-Hajj: 46.

اوُرٌ ِسٌَ ْمَلَف َِأ

ًِف

ِض ْرَلأْا

َنوُكَتَف

ْمُهَل

بوُلُق

َنوُلِق ْعٌَ

آَهِب

ْوَأ

ناَذاَء

َنوُعَم ْسٌَ

اَهِب

اَهانِإَف

ىَم ْعَتَل

ُراَصْبَلأْا

نِكَل َو

ىَم ْعَت

ُبوُلُقْلا

ًِتالا

ًِف

ِروُدُّصلا

, “Maka apakah

mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di

dalam dada.”

11. Qalbun laahiy, yaitu hati yang lalai terhadap al-Qur‘an, karena disibukkan oleh syahwat kepada dunia. Sebagaimana diungkapkan dalam Q.S. Al-Anbiya‘: 3.

ْمُهُبوُلُق ًةٌَِهَل

, “Hati mereka dalam keadaan lalai.”

12. Qalbun aatsim, yaitu hati yang berdosa, karena menyembunyikan persaksian yang benar. Seperti dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah: 283.

َنوُلَم ْعَت اَمِب ُالل َو ُهُبْلَق ُُِمِثاَء ُهانِإَف اَهْمُتْكٌَ نَم َو َةَداَهاشلا اوُمُتْكَت َل َو

ُُِمٌِلَع

, “…Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka

111

sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

13. Qalbun mutakabbir, yaitu hati yang sombong dan enggan mengakui keesaan Allah, tidak taat kepada-Nya, serta banyak berbuat zalim. Seperti ditegaskan dalam Q.S.

ِرٌَْغِب ِالل ِتاٌَاَء ًِف َنوُلِدا َجٌُ َنٌِذالا

ناَطْلُس

ْمُهاَتَأ

َرُبَك

اًتْقَم

َدنِع

ِالل

َدنِع َو

َنٌِذالا

اوُنَماَء

َكِلَذَك

ُعَب ْطٌَ

ُالل

ىَلَع

ِّلُك

ِبْلَق

رِّبَكَتُم

راابَج

, “(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang

sombong dan sewenang-wenang.”

14. Qalbun ghalizh, yaitu hati yang keras dan kasar, yang hilang darinya kelembutan dan kasih sayang. Sebagaimana termaktub dalam Q.S. Ali Imran: 159.

ِبْلَقْلا َظٌِلَغ اًّظَف َتنُك ْوَل َو ْمُهَل َتنِل ِالل َنِّم ةَم ْح َر اَمِب َف

َح ْنِم اوُّضَفنَل

َكِل ْو

, ―Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”

15. Qalbun makhtum, yaitu hati yang tidak bisa mendengar petunjuk dan tidak dapat memahaminya. Seperti ditegaskan dalam Q.S. Al-Jatsiyah: 23.

ىَلَع َمَت َخ َو مْلِع ىَلَع ُالل ُهالَضَأ َو ُها َوَه ُهَهَلِإ َذ َخاتا ِنَم َتٌَْء َرَفَأ

ِهِعْمَس

ِهِبْلَق َو

َلَع َج َو

ىَلَع

ِه ِرَصَب

ًة َواَشِغ

َف

نَم

ِهٌِدْهٌَ

نِم

ِد ْعَب

ِالل

َلَفَأ

َنوُراكَذَت,

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati

112

penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

16. Qalbun qasiy, yaitu hati yang keras membatu, tidak mau beriman. Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al-Maidah: 13.

مِه ِضْقَن اَمِبَف

ْمُهَقاَثٌِّم

ْمُهاانَعَل

اَنْلَع َج َو

ْمُهَبوُلُق

ًةٌَ ِساَق

, “(Tetapi) karena mereka

melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati

mereka keras membatu...”

17. Qalbun ghafil, yaitu hati yang lalai dari mengingat Allah, serta mengikuti hawa nafsunya semata. Seperti ditegaskan dalam Q.S. al-Kahf: 28.

ا ًطُرُف ُهُرْمَأ َناَك َو ُها َوَه َعَباتا َو اَن ِرْكِذ ْنَع ُهَبْلَق اَنْلَف ْغَأ ْنَم ْع ِطُتَل َو

, “…Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami

lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan

adalah keadaannya itu melewati batas.

18. Qalbun aghlaf, yaitu hati yang tertutup, tidak bisa ditembus oleh nasihat serta ajaran Rasulullah Saw. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah: 88.

ًلٌِلَقَف ْمِه ِرْفُكِب ُاالل ُمُهَنَعال لَب فْلُغ اَنُبوُلُق اوُلاَق َو

َنوُنِم ْإٌُاام

, ―Dan mereka berkata: "Hati kami tertutup". Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman.”

19. Qalbun zaigh, yaitu hati yang menyimpang dari kebenaran dan cenderung pada kesesatan. Hal ini termaktub dalam Q.S. Ali ‗Imran: 7.

َءآَغِتْبا َو ِةَنْتِفْلا َءآَغِتْبا ُهْنِم َهَباَشَتاَم َنوُعِباتٌََف ُُِغٌْ َز ْمِهِبوُلُق ًِف َنٌِذالا اام َؤَف

ِهِلٌِوْؤَت

, ―Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong

kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat

yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.”

113

20. Qalbun murib, yaitu hati yang selalu ragu-ragu. Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. At-Taubah: 45.

َنوُنِم ْإٌَُل َنٌِذالا َكُنِذْئَت ْسٌَ َامانِإ

ِللاِب

ِم ْوٌَْلا َو

ِرِخَلأْا

ْتَباَت ْرا َو

ْمُهُبوُلُق

ْمُهَف

ًِف

ْمِهِبٌَْر

َنوُداد َرَتٌَ

,

“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”

Hati adalah raja. Jika hati cenderung kepada kebaikan, maka seluruh anggota tubuh akan mengikuti kata hati. Sebaliknya, ketika hati cenderung kepada kejahatan, seluruh anggota tubuh pun akan mengikutinya. Maka, hati-hatilah dengan hati kita. Mari kita berusaha semaksimal mungkin untuk mengistiqamahkan hati kita dalam kebaikan.

Setelah kita berusaha mengistiqamahkan hati untuk terus berada di jalan Allah, maka langkah selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah mengistiqamahkan lisan untuk tetap pada kebaikan dan kebenaran.

Rasulullah Saw menegaskan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya berkata baik atau diam…”. (HR. Bukhari)

Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa di antara tanda keimanan seseorang adalah menjaga lisan. Pesan Rasulullah Saw dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa hanya ada dua cara untuk menjaga lisan kita, yaitu: Pertama, berkata baik; dan kedua, diam. Pesan sederhana ini mengandung makna yang sangat dalam jika kita kaji lebih jauh.

Seorang mukmin sejati adalah mereka yang selalu menghiasi lisannya dengan ucapan-ucapan yang baik. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah Saw menyatakan bahwa di antara cara untuk mencapai kebahagiaan adalah dengan senantiasa membasahi bibir kita dengan dzikir (lisanun dzakirun).

114

Makna dzikir di sini adalah mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah, seperti mengesakan Allah (la ilaha illallah), mensucikan Allah (subhanallah), memuji Allah (alhamdulillah), mengagungkan Allah (Allahu Akbar), memohon ampun kepada Allah (astaghfirullah) serta kalimat-kalimat thoyyibah lainnya yang dapat mengingatkan kita kepada Allah Swt.

Makna lain dari dzikir, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‘an adalah: al-Qur‘an. Ya, adz-dzikru adalah nama lain dari al-Qur‘an, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. An-Nahl: 44,

ِتاَنِّ يَ بلاِب

ِرُبُّزلاَو

آَنْلَزنَأَو

َكْيَلِإ

َرْكِّذلا

َِّيَّ بُتِل

ِساَّنلِل

َلِّزُ ناَم

ْمِهْيَلِإ

ْمُهَّلَعَلَو

َنوُرَّكَفَ تَ ي

{

44

}

―(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu adz-dzikr (Al-Qur'an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”

Pada ayat sebelumnya, yaitu Q.S. An-Nahl: 43 disebutkan,

































“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui.”

Jika ayat ke-43 surat An-Nahl ini dikaitkan dengan ayat ke-44-nya, maka yang dimaksud dengan 'ahli dzikir' itu adalah ahl al-Qur'an, atau orang yang mengerti dan paham tentang Al-Qur'an, demikian dijelaskan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya.

115

Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Munawi dalam kitabnya Faidh al-Qadir (Syarah al-Jami‟ ash-Shaghir karya Imam As-Suyuthi), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan majelis dzikir adalah : tadabbur al-Qur‘an dan mempelajari agama.

Dari beberapa keterangan di atas, dapat dipahami bahwa makna lain dari dzikir adalah al-Qur‘an. Dengan demikian, maka lisanun dzakirun adalah lisan yang selalu dihiasi dengan bacaan ayat-ayat suci al-Qur‘an.

Seorang mukmin hendaknya istiqamah dalam mengucapkan kalimat-kalimat yang baik (thayyibah) dan juga istiqamah dalam membaca, mempelajari dan memahami serta mengamalkan al-Qur‘an.

Jika tidak bisa mengatakan kalimat-kalimat yang baik, atau jika berkata justru akan membuat sakit hati orang lain, memperkeruh suasana, menimbulkan persoalan di kemudian hari, maka akan lebih baik bagi seorang mukmin untuk diam. Seorang mukmin sejati mengetahui kapan dia berkata-kata dan kapan dia harus diam.

Inilah makna dari istiqamah lisan. Hanya menggunakan lisan untuk kebaikan dan kebenaran, dan menjaganya dari keburukan dan kesalahan.

Dalam sebuah ungkapan bijak disebutkan, lidah tidak bertulang, tetapi tajamnya melebihi pedang. Dalam ungkapan yang lain juga disebutkan, ucapan mampu menembus apa yang tidak dapat ditembus oleh jarum.

Dua ungkapan penuh hikmah tersebut menunjukkan bahwa betapa pentingnya peran ucapan. Ucapan seseorang yang meyejukkan, menentramkan dan mendamaikan akan menghadirkan ketenangan dan keteduhan pada hati orang yang mendengarnya. Sedangkan ucapan yang kasar dan menyakitkan akan melahirkan kegelisahan bahkan kebencian pada hati orang yang mendengarnya.

Al-Qur‘an mengajarkan kepada kita bagaimana sebaiknya kita berkomunikasi dengan orang lain. Apa yang harus kita ucapkan agar orang yang kita ajak bicara itu mampu memahami dengan baik ucapan

116

kita. Lebih dari itu, agar ucapan kita mampu menghadirkan rasa nyaman dan tentram pada diri mereka.

Di dalam al-Qur‘an terdapat beberapa macam istilah ucapan (qaulan). Setidaknya ada enam bentuk ucapan (qaulan) yang diajarkan al-Qur‘an agar komunikasi antara kita dengan orang lain berjalan baik. Berikut penulis jelaskan secara singkat keenam model ucapan (qaulan) tersebut:

1. Qaulan karima, yaitu ucapan yang mulia, yang menghadirkan penghormatan bagi yang diajak bicara. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S Al-Isra‘: 23:

الَ ْىَق اَمُهَل ْلُقَو اَمُهْرَهْنَت َلََو ٍّفُأ اَمُهَل ْلُقَت َلََف

ااميِرَك

, “... janganlah kamu mengatakan „ah‟ kepada mereka (orang tua), jangan pula kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia!”

2. Qaulan ma‟rufa, yaitu ucapan yang baik dan diterima oleh norma-norma yang berlaku di masyarakat. Di samping itu, menurut M. Quraish Shihab, Qaulan ma‟rufa adalah ucapan yang pantas dengan latar belakang dan status seseorang. Seorang pendidik, ustadz, tokoh agama hendakanya bertutur kata yang santun, karena memang pantasnya seperti itu. Hal ini seperti ditegaskan dalm Q.S. Al-Ahzab: 32.

َن ْعَض ْخَت َلَف انُتٌَْقاتا ِنِإ ِءآَسِّنلا َنِّم د َحَؤَك انُت ْسَل ًِِّبانلا َءآَسِناٌَ

ِل ْوَقْلاِب

َعَمْطٌََف

يِذالا

ًِف

ِهِبْلَق

ض َرَم

َنْلُق َو

ًل ْوَق

اًفوُر ْعام

, “Hai isteri-isteri

Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.”

3. Qaulan baligha, yaitu ucapan yang fasih, efektif, tepat sasaran, tidak bertele-tele dan mampu menghunjam dan berbekas dalam hati mereka. Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. an-Nisa‘: 63.

َكِئل ْو ُِأ

117

َنٌِذالا

ُمَلْعٌَ

ُالل

اَم

ًِف

ْمِهِبوُلُق

ْض ِرْعَؤَف

ْمُهْنَع

ْمُه ْظِع َو

لُق َو

ْمُهال

ًِف

َأ

ْمِه ِسُفن

ًل ْوَق

اًغٌِلَب

, “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“

4. Qaulan Sadida, yaitu ucapan yang jelas, terang, benar, baik dari sisi isi atau materi pembicaraannya amaupun dari sisi redaksinya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. An-Nisa: 49.

ْوَل َنٌِذالا َش ْخٌَْل َو

اوُك َرَت

ْنِم

ْمِهِفْلَخ

ًةاٌ ِّرُذ

اًفاَع ِض

اوُفا َخ

ْمِهٌَْلَع

اوُقاتٌَْلَف

َالل

اوُلوُقٌَْل َو

ًل ْوَق

اًدٌِدَس

,

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

5. Qaulan layyina, yaitu ucapan yang lemah lembut, santun, dengan suara yang penuh keramahan sehingga mampu menyentuh hati orang yang diajak bicara. Seperti dijelaskan dalam Q.S. Thaha: 44.

َلوُقَف

ُهَل

ًل ْوَق

اًنٌِّال

ُهالَعال

ُراكَذَتٌَ

ْوَأ

ىَش ْخٌَ

, “Maka berbicaralah kamu

berdua (Musa dan Harun) kepadanya (Fir‟aun) dengan kata-kata

yang lemah-lembut…”

6. Qaulan Maysura, yaitu ucapan yang mudah dimengerti, dipahami dan dicerna oleh orang yang kita ajak bicara. Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al-Isra: 28.

َكِّبار نِّم ةَم ْح َر َءآَغِتْبا ُمُهْنَع انَض ِرْعُت اامِإ َو

اَهوُج ْرَت

لُقَف

ْمُهال

ًل ْوَق

ا ًروُسٌْام

, ”Dan jika kamu berpaling dari mereka

untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang mudah”.

118

Demikianlah al-Qur‘an mengajarkan kepada kita untuk mengucapkan kata-kata yang mulia, baik, benar, mudah dipahami dengan bahasa yang santun dan lemah lembut.

Dengan mengistiqamahkan lisan kita untuk berkata yang mulia, baik, benar, mudah dipahami dengan bahasa yang santun dan lemah lembut inilah, maka kita akan dipandang mulia di sisi Allah dan terhormat di mata manusia.

Selanjutnya, untuk semakin menyempurnakan keimanan dan ketakwaan kita, setelah kita mampu mengistiqamahkan hati dan lisan, maka kita harus berusaha untuk mengistiqamahkan tindakan.

Makna mengistiqamahkan tindakan artinya bahwa kita melakukan aktivitas positif (amal saleh) dengan terus menerus, berkesinambungan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, bahwa sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus-menerus (kontinu) meskipun sedikit.

Membaca al-Qur‘an beberapa ayat, tetapi dilakukan terus-menerus setiap hari, jauh lebih baik dan dicintai Allah daripada membaca al-Qur‘an beberapa juz namun hanya dilakukan sekali waktu dan tidak dilanjutkan pada waktu-waktu lainnya.

Kebiasaan bersedekah yang dilakukan secara rutin, meski dalam jumlah yang tidak besar jauh lebih baik daripada bersedekah dalam jumlah besar dan hanya sekali dilakukan. Pun demikian halnya dengan amalan-amalan positif lainnya, akan jauh lebih bermakna ketika dilakukan secara istiqamah, terus menerus dan berkelanjutan.

Syahdan, ada seorang Tukang tambal ban. Lima tahun yang lalu seringkali terkena penertiban, sebab lapaknnya atau tempat usahanya berada di tepi jalan. Suatu ketika, di pagi hari, ada seorang temannya yang mampir ke tempatnya.

Ketika mereka tengah asyik ngobrol, tiba-tiba seorang pengemis datang meminta diberi sedekah. Si Tukang tambal ban merasa terganggu dengan kehadiran pengemis tersebut. Dia menolaknya, dan pengemis itupun berlalu. Demikian berturut-turut hingga ada beberapa pengemis yang selalu ditolaknya.

119

Kawannya bertanya. "Disini banyak pengemis yang datang ya?.‖ "Wah, kalau dituruti, sehari bisa puluhan orang. Saya selalu menolak mereka. Buat apa mengajari orang malas.‖ Jawab si Tukang tambal itu ketus. Kawannya diam sejenak. Lalu berkomentar, "Kalau boleh saya ngasih saran, sebaiknya jika ada pengemis yang datang, jangan ditolak. Meskipun cuma seratus perak, berikanlah kepadanya!.‖

Si tukang tambal ban tersenyum kecut dan menanggapi dengan sikap dingin. "Pengemis sekarang bukanlah orang yang benar-benar miskin. Di daerahnya, mereka meiliki rumah besar, ternak banyak dan sawah luas. Mengemis dibuat sebagai mata pencaharian. Jika menuruti pengemis, bisa bangkrut aku. Sedangkan sejak pagi tak satupun kendaraan yang berhenti untuk mengisi angin ataupun minta ditambal.‖

Temannya berusaha menasehati dengan bijak,‖berpikir begitu boleh-boleh saja. Tetapi saya tetap yakin bersedekah itu lebih bermanfaat dan menguntungkan diri sendiri. Aku menggemarkan diri bersedekah sudah beberapa tahun lalu.‖

"Kamu berbicara begitu karena memang sudah pantas melakukan sedekah, sebab penghasilanmu besar, punya mobil dan rumah bagus. Sedangkan diriku!? hanyalah seorang tukang tambal ban, tidak lebih dan tidak kurang!‖ tandas si Tukang tambal ban.

"Aku dulu juga seperti dirimu.. Kau tahu kan? Kehidupanku carut marut. Sekarang makan, besok harus hutang ke tetangga. Tetapi aku tidak pernah berhenti bersedekah. Maaf, ini bukan pamer ataupun membanggakan diri, tetapi maksudku berbagi pengalaman denganmu. Setiap ke masjid, aku selalu memasukan uang meskipun hanya recehan. Setiap ada pengemis datang selalu kuberi jika memang masih ada uang, tetapi kalau lagi tidak ada …air minum saja juga sudah sangat senang. Itu kulakukan secara istiqomah, dan sungguh, aku mengalami sebuah kejadian luar biasa. Rejekiku sangat lancar. Setiap ada rencana selalu berhasil, setiap transaksi selalu sukses. Apa saja yang kulakukan selalu membawa berkah hingga kamu lihat sendiri seperti sekarang ini.‖ kata temannya itu menambahkan.

120

Si tukang tambal ban tidak segera menjawab. Dia tampaknya sedang berpikir. Temannya lalu berkata lagi, "memberi sedekah tidak harus kepada pengemis. kamu bisa mengulurkan tanganmu kepada sanak saudara atau siapa saja, asalkan ikhlas.‖

"Benar… dan sedekah yang lebih tinggi harganya ialah ketika dirimu dalam keadaan sempit. Jangan menunggu kaya baru bersedekah. Saat sekarang ini kamu harus memulainya,‖ begitu temannya dengan

Dokumen terkait