• Tidak ada hasil yang ditemukan

39

Bekali dengan Ilmu

Kokohnya pondasi iman seseorang, tidak akan berarti banyak tanpa dibekali dengan ilmu yang memadai. Iman adalah dasar pijakan seseorang melangkah dan menjalani kehidupan ini. Sedangkan ilmu adalah cahaya yang akan menerangi langkah seseorang menapaki jalan kehidupan ini menuju tujuan akhirnya.

“Law laa al-„ilm lakaana an-naasu ka al-bahaaim”, kalaulah bukan karena ilmu, niscaya manusia seperti binatang. Demikian bunyi sebuah ungkapan hikmah dalam bahasa Arab, yang menunjukkan betapa pentingnya ilmu bagi kehidupan manusia.

Memang, pada kenyataannya perbedaan paling mendasar antara manusia dengan makhluk Allah yang lain terletak pada anugerah akal yang diberikan Allah kepada manusia. Ini yang menjadi ciri khas manusia dibanding binatang. Binatang tidak diberi akal, hanya diberi nafsu serta insting (naluri), sehingga binatang tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang halal dan mana yang haram.

Di sisi lain, selain dilengkapi dengan akal, manusia juga diberi nafsu. Hal ini juga yang membedakan manusia dengan malaikat. Malaikat hanya diberi akal tetapi tidak diberi nafsu. Sehingga pantas saja malaikat selalu tunduk kepada perintah Allah dan tidak pernah melanggar larangan-Nya.

Kenyataan berbeda terjadi pada manusia. Dengan memiliki dua perangkat berupa akal dan nafsu, maka manusia dapat menjadi lebih mulia dari malaikat, karena dia menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan mengendalikan nafsunya di bawah bimbingan akal, tetapi juga mungkin bisa menjadi lebih rendah dari binatang, ketika nafsunya yang mengendalikan akalnya.

40

Satu lagi perangkat yang Allah anugerahkan kepada manusia untuk menjalani hidup di dunia ini sebagai khalifah-Nya, yakni hati. Hati ini akan menjadi penyeimbang antara akal dan nafsu. Hati ini sesungguhnya yang menentukan setiap langkah serta tindakan manusia. Meski, kadang-kadang, hati yang sudah dibutakan oleh nafsu tidak akan bisa berbuat banyak. Seseorang akan menyadari kesalahannya dengan hati yang jernih, ketika sudah merasakan dampak buruk dari perilaku serta tidakan yang dilakukannya.

Di sinilah posisi akal berperan. Mereka yang menggunakan akalnya dengan baik, membekali diri dengan ilmu pengetahuan yang memadai, akan berpikir beberapa kali jauh ke depan sebelum melakukan suatu tindakan. ―Fakkir qabla an ta‟zima”, berpikirlah sebelum bertindak, demikian petuah bijak menganjurkan.

Betapa banyak manusia yang meratap menyesali perbuatannya di kemudian hari, setelah melakukan tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan. Bahkan, betapa banyak yang akhirnya mendekam di penjara karena melakukan tindak kejahatan atau kriminal. Hal ini terjadi, karena mereka tidak menggunakan akal pikirannya dengan baik sebelum bertindak. Penyesalan selalu datang terlambat. Sesal kemudian tiada berguna.

Di sinilah pentingnya ilmu. Dengan ilmu, seseorang menjadi lebih hati-hati dalam bertindak, dengan ilmu pula seseorang akan menjadi lebih bijak dan berpikir jauh ke depan sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu.

Iqra’: Wahyu Pertama yang Mencerahkan

Bagi umat Islam, perintah untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan sudah didengungkan sejak empat belas abad yang lalu, tepatnya ketika wahyu pertama turun kepada Rasulullah Saw.

―Iqra‟!”, bacalah! Inilah seruan pertama yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. melalu malaikat Jibril a.s. Dalam sejumlah riwayat hadis sahih dijelaskan bahwa ketika Jibril a.s. memerintahkan Nabi yang ummi (tidak bisa baca-tulis) untuk membaca,

41

secara jujur Nabi mengakui bahwa dirinya tidak bisa membaca. Kemudian Jibril a.s memeluk erat tubuh Nabi dan kembali memerintahkan Nabi untuk membaca. Nabi kemudian tetap mengatakan bahwa dirinya tidak bisa membaca. Hal ini terjadi berulang hingga tiga kali.

Syeikh Muhammad Abduh dalam Tafsirnya Al-Manar menjelaskan bahwa atas kuasa (Qudrat) Allah, melalui malaikat Jibril, Nabi diyakinkan bahwa sejak saat itu, beliau yang ummi, diberi kemampuan untuk dapat membaca.

Senada dengan pendapat Abduh, Musthafa al-Maraghi, yang juga merupakan murid dari Syekh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa arti Iqra yaitu Allah menjadikan engkau (Muhammad Saw) bisa membaca dengan kehendak-Nya yang tadinya engkau tidak bisa membaca.

Selangkapnya bunyi teks ayat tersebut adalah sebagai berikut:



















































“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. Al-‗Alaq: 1-5)

Dalam pandangan penulis, rangkaian ayat pada wahyu pertama yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. tersebut merupakan wahyu yang sangat mencerahkan.

Betapa tidak, masyarakat Arab (baca: Makkah) Pra Islam ketika itu, yang disebut para sejarawan sebagai masyarakat jahiliyah, masyarakat yang diliputi dengan kebodohan, baik secara akidah, ibadah maupun ilmu pengetahuan, disadarkan dengan seruan wahyu pertama

42

yang mengajak mereka untuk melepaskan diri dari belenggu kebodohan (kejahiliyahan).

Sejarawan Muslim kenamaan, Al-Thabari, serta sejarawan lainnya memperkirakan, pada saat itu hanya ada 17 orang yang melek huruf. Memang, masyarakat Arab pada waktu itu, menganggap belajar baca-tulis adalah suatu hal yang sia-sia dan hanya buang-buang waktu saja. Kondisi demikian ini yang pada gilirannya menyebabkan mereka berpikir sempit.

Di sinilah wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi menemukan relevansi dan momentumnya.

Perintah Iqra pada ayat tersebut, dimaknai oleh para ulama tafsir dengan beragam pengertian, diantaranya: membaca, menghimpun, menelaah, mendalami, meneliti dan menyampaikan.

Selanjutnya, perintah membaca dalam ayat tersebut disandarkan atas nama Tuhan. ―Iqra bismi Rabbika‖, bacalah dengan nama Tuhanmu. Makna dari perintah ini adalah bahwa segala aktivitas yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan pada khususnya, seperti: membaca, memahami, mengkaji dan meneliti, serta aktivitas kehidupan pada umumnya, harus disandarkan dan diarahkan kepada Allah Swt. Apa pun aktivitas kita, aktif maupun pasif, harus selalu diniatkan untuk menggapai ridla Allah Swt., demikian penjelasan mantan Syekh Al Azhar, Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Al-Qur‟an fi Syahril Qur‟an.

Perintah Iqra pada ayat tersebut diungkapkan dua kali, yaitu pada ayat pertama dan kedua. Menurut al-Maraghi, perintah Iqra tersebut diulang, karena membaca tidak akan bisa merasuk ke dalam jiwa, serta tidak dapat dipahami maknanya melainkan setelah berulang-ulang dan dibiasakan.

M. Quraish Shihab menegaskan bahwa wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik (dengan nama Allah), dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.

43

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna perintah Iqra' adalah: bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak.

Adapun mengenai pengulangan kalimat perintah Iqra‟ yang disebutkan dua kali dalam rangkaian ayat tersebut, menurut M. Quraish Shihab, bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung kalimat Iqra' wa rabbuka al-akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).

Membuka Jendela Dunia

―Membaca, membuka jendela dunia‖, demikian ungkapan yang sering kita dengar berkaitan dengan pentingnya aktivitas membaca.

Ada sebuah ungkapan bijak dalam bahasa Arab yang berbunyi: “Khairu jaliisin fi al-zamaani kitaabun”, sebaik-baik teman di setiap saat adalah buku. Sebuah ungkapan sederhana, namun sarat makna jika dikaji lebih jauh.

Kita semua mafhum bahwa buku merupakan sumber informasi, lautan ilmu dan samudera pengetahuan. Dengan meyelaminya, kita akan mendapatkan hal-hal baru, yang mungkin tidak pernah kita ketahui sebelumnya selama ini.

Buku ibarat belantara pengetahuan tak berujung, lautan ilmu tak bertepi dan mayapada informasi tak berkesudahan. Siapa saja yang bisa masuk menjelajah ke dalamnya, akan menemukan mutiara terpendam yang tak ternilai. Dan, ketika mutiara itu sudah ditemukan, siapa saja akan merasa ingin selalu mencari mutiara-mutiara lainnya yang masih terpendam di balik lembaran-lembaran berjuta-juta buku lainnya.

44

Melalui buku, kepribadian seseorang terbentuk. Melalui buku pula, peradaban suatu bangsa akan tercipta. Bisa dipastikan, masyarakat suatu bangsa yang mencintai buku, menjadikannya sebagai menu wajib yang selalu menyertai dalam aktifitas kesehariannya, membudayakan aktifitas membaca di setiap saat, akan tampil sebagai bangsa dengan tingkat peradaban yang tinggi.

Sebaliknya, masyarakat sebuah bangsa yang tidak menaruh perhatian pada buku, menganggap buku sebagai hal yang remeh-temeh, tidak membudayakan aktifitas membaca, maka bisa dipastikan, bangsa tersebut akan menjadi bangsa terbelakang, ketinggalan informasi, gagap pengetahuan dan miskin peradaban.

Demikian halnya dengan kualitas individu setiap orang. Seseorang yang peduli terhadap ilmu pengetahuan, tanggap akan pentingnya informasi, akan membekali dirinya dengan aktivitas membaca. Dia selalu merasa haus ilmu dan informasi. Dia akan menyediakan waktu khusus untuk aktivitas membaca ini. Dia juga akan menyediakan dana khusus untuk membeli buku, majalah, surat kabar dan segala hal yang berkaitan dengan sumber informasi. Orang-orang seperti inilah yang akan terus bertahan hidup di tengah pusaran arus modernisasi dan globalisasi. Kualitas intelektualnya menjadikan mereka siap menghadapi tantangan zaman. Mereka ini selalu aktual dengan kondisi zaman, bahkan mungkin kualitas intelektual yang dimilikinya jauh melampaui zamannya.

Di sisi lain, ada orang-orang yang selalu jauh tertinggal dari kondisi zaman. Mereka adalah orang-orang yang tidak tanggap terhadap informasi, tidak peduli dengan ilmu pengetahuan. Mereka tidak pernah meluangkan waktu untuk membaca. Kehidupan yang dijalaninya statis, jalan di tempat, bahkan mundur beberapa langkah ke belakang. Zaman yang terus bergerak maju dengan sangat cepat, tidak mereka imbangi dengan peningkatan kualitas mental dan intelektual. Mereka gagap teknologi, informasi dan konteks kekinian. Mereka ini bagaikan makhluk asing yang hidup di zaman pra sejarah.

45

Singkatnya, dengan membaca, mempelajari dan mengkaji segala hal yang ada di sekeliling kita, sebagaimana pesan wahyu pertama di atas, maka akan terbukalah misteri alam ini, akan tersingkap segala rahasia yang sebelumnya tidak pernah kita ketahui. Inilah hakekat dari membaca yang sesungguhnya. Membaca, membuka jendela dunia.

 Mencerahkan Pikiran, Memperluas Cakrawala

Bagi anda yang rajin mengunjungi toko buku terbesar di Indonesia, yang memiliki jaringan luas di seluruh pelosok nusantara ini, tentu tidak asing dengan istilah ―enlightening minds expanding horizons”. Ya, itu adalah tagline dari Gramedia Bookstore.

Jika diterjemahkan secara bebas, maka arti kalimat tersebut adalah ―Mencerahkan Pikiran, Memperluas Cakrwala‖. Sebuah ungkapan singkat namun sarat makna jika kita kaji lebih jauh.

Membaca adalah aktivitas yang akan menjadikan seseorang menyadari betapa dunia ini begitu luas. Betapa ilmu pengetahuan di jagad raya ini tak bertepi dan tak berkesudahan. Semakin seseorang rajin membaca, semakin dia menyadari betapa bodohnya dia. Semakin seseorang menyadari kebodohannya, semakin pudarlah keangkuhan dan kesombongannya. Pada gilirannya, semakin seseorang rajin membaca, semakin tercerahkan pikirannya, semakin luas wawasannya, semakin kaya pengalamannya. Selanjutnya, semakin intensnya aktivitas membaca, semakin menjadikan seseorang bersikap dewasa, serta semakin bijak perilakunya.

Kenyataan berbeda akan kita jumpai pada orang yang malas membaca. Semakin seseorang malas membaca, semakin merasa pintar dia, semakin tampak kesomobongannya. Padahal, hakekatnya, ibarat kata pepatah, ―tong kosong nyaring bunyinya‖, atau ―air beriak tanda tak dalam‖. Merasa pintar dan sombong justru menunjukkan kebodohannya. Sok pintar dan sombong itu adalah cara seseorang untuk menutupi kekurangannya.

46

―Bagaikan katak di dalam tempurung‖, demikian ungkap pepatah lainnya. Dunia yang begitu luasnya tidak pernah disadarinya, karena si katak hanya hidup di dalam ruang sempit, dibatasi oleh tempurung. Jadi dia beranggapan bahwa kehidupan ini hanya seluas tempurung yang membatasinya itu. Padahal, kehidupan di luar sana sungguh luas dan tak terbatas.

Aktivitas membaca akan menjadikan seseorang tercerahkan pikirannya serta terbuka wawasannya. Dengan membaca, seseorang juga akan luas cakrawalanya, kaya pengalamannya, serta tumbuh kedewasaannya.

Bagi seorang muslim, membaca seharusnya menjadi aktivitas harian. Karena, seperti yang disebutkan di awal tulisan ini, bahwa wahyu yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca. Iqra! Bacalah! carilah pengetahuan, gali informasi, perkaya diri dengan ilmu, lepaskan diri dari belenggu kebodohan!

Tafsir bebas dari wahyu pertama tersebut adalah bahwa seolah-olah Allah menyeru kepada setiap manusia: ―Hai manusia, janganlah kamu menjadi orang yang bodoh dan tidak berpengetahuan. Jadilah kalian semua orang-orang yang berilmu. Karena dengan ilmu pengetahuan, maka kalian akan menjadi mulia dan terhormat!‖

―Bacalah dengan nama Tuhanmu!‖, artinya belajarlah beragam ilmu pengetahuan dengan jalan membaca dengan didasari keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Sehingga ilmu yang kelak didapatkan bisa memberi manfaat bagi diri sendiri dan juga orang lain.

Khususnya bagi umat Islam. Hendakanya membaca al-Qur‘an setiap hari disertai terjemahnya. Pahami isinya, hayati maknanya, kemudian praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Al-Qur‘an adalah bacaan mulia. Di dalamnya terkandung beraneka macam ilmu pengetahuan. Lembar demi lembar al-Qur‘an akan menghadirkan beragam ilmu serta pelajaran bagi umat manusia. Dari mulai sejarah kehidupan umat-umat terdahulu, kehidupan dan perjuangan para nabi dan rasul dalam menegakkan ajaran tauhid, kisah-kisah penuh hikmah dari orang-orang saleh, pelajaran berharga dari

47

mereka yang membangkang dan berakhir dengan kehancuran, beraneka ragam ilmu pengetahuan alam; tentang bumi, langit, gunung, lautan juga angkasa raya serta planet-planet di tata surya kita.

Al-Qur‘an juga menjelaskan kepada kita tentang masalah hukum, baik yang berkaitan dengan hukum ibadah ritual-individual, maupun ibahadah sosial berupa mua‘amalah, hubungan antar manusia. Al-Qur‘an juga berbicara tentang masalah akhlak, jiwa manusia (psikologi), dan juga tentang masalah sosial, budaya, ekonomi, politik, hingga masalah kesehatan. Tidak lupa juga al-Qur‘an berbicara tentang masa depan, dari mulia kiamat, kondisi di alam kubur (barzakh), hari kebangkitan (yaum al-ba‟ts), hari perhitungan (yaum al-hisab), surga dan neraka, hingga keadaan di akhirat nanti. Kesemua hal tersebut dijelaskan dalam al-Qur‘an. Maka tepatlah jika al-Qur‘an kemudian disebut dengan istilah kitab petunjuk (al-huda), penawar (asy-syifa‟), nasihat (al-mau‟izah), penjelas (al-bayan), mulia (al-majid), dan istilah-istilah lainnya sesuai dengan fungsi dan peran al-Qur‘an dalam kehidupan ini.

Dengan membaca al-Qur‘an serta memahami maknanya, seseorang akan mendapatkan petunjuk dalam menjalani hidup dan kehidupan ini, serta ketenangan batin dan ketentraman jiwa.

Tidak cuma membaca al-Qur‘an, bahkan sekedar mendengarnya saja pun dapat melahirkan ketenangan batin serta ketentraman jiwa pendengarnya. Hal ini sebagaimana dibuktikan oleh sejumlah penelitian ilmiah baru-baru ini.

Adalah Dr. Al-Qadhi, peneliti dari Amerika Serikat, melalui penelitian ilmiahnya yang panjang di klinik besar Florida, AS, berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Al-Quran seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun tidak, dapat merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar.

Lebih lanjut menurut Dr. Al-Qadhi, pengaruh umum yang dirasakan oleh orang-orang yang menjadi objek penelitiannya, setelah mereka mendengarkan bacaan al-Qur‘an adalah penurunan depresi, kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, serta menangkal berbagai macam penyakit.

48

Penelitian dokter ahli jiwa ini ditunjang dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik.

Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit. (Dikutip dari indonesiarayanews.com)

Jauh sebelum penelitian terbaru tentang efek bacaan al-Qur‘an tersebut, dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan pada Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984 silam, disimpulkan bahwa Al-Quran terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang mendengarkannya.

Penelitian lain tentang manfaat membaca al-Qur‘an, seperti dilansir oleh indonesiarayanews.com, dilakukan oleh Muhammad Salim yang dipublikasikan Universitas Boston. Objek penelitiannya adalah 5 orang sukarelawan yang terdiri dari 3 pria dan 2 wanita. Kelima orang tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa Arab dan mereka pun tidak diberi tahu bahwa yang akan diperdengarkannya yaitu, Al-Qur‘an.

Penelitian yang dilakukan sebanyak 210 kali ini terbagi dua sesi, yakni membacakan Al-Quran dengan tartil dan membacakan bahasa Arab yang bukan dari Al-Quran. Dari riset tersebut, responden mendapatkan ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan bacaan Al-Quran dan mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur‘an.

Suatu karunia yang sangat besar bagi umat Islam dengan memiliki pedoman hidup, yakni al-Qur‘an. Disamping membacanya adalah ibadah yang bernilai pahala, memahami maknanya, serta menagamalkan isinya, akan menghadirkan ketenangan jiwa dan keberkahan hidup.

Membaca, mendengar, menghayati serta mengamalkan nilai-nilai ajaran al-Qur‘an dapat meningkatkan kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ), serta spiritual (SQ).

49  Posisi Mulia Ilmuwan (Ulama)

Ada sebuah kalimat hikmah (bijak) yang menyebutkan, “al-„alimu kabirun wa in kana shaghiran, wa al-jahilu shagirun wa in kana syaiykhan. Orang yang berilmu itu besar, mulia kedudukannya, meskipun usianya masih muda. Sedangkan orang yang tidak berilmu (bodoh) itu kecil dan rendah kedudukannya, meskipun usianya sudah tua.

Dalam Q.S. Al-Mujadilah: 11, Allah Swt. menegaskan bahwa posisi seorang ilmuwan--- dalam bahasa agama sering disebut dengan istilah ulama--- yang dilandasi dengan pondasi keimanan yang kuat sangat tinggi dan mulia di sisi Allah.





























“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Betapa mulia dan tingginya derajat orang-orang mukmin yang berilmu, hingga Allah pun menyebutkan dalam firman-Nya ini.

Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, dan menempatkan posisi ilmuwan pada tingkatan yang utama. Sejumlah ayat al-Qur‘an dan hadits menegaskan hal itu.



















"Katakanlah: “Apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?"‖ (QS. Az Zumar:9).













"Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?"” (QS. Al An'am:50).

50











"Katakanlah: “Apakah sama kegelapan dengan cahaya?"” (Ar Ra'd:16).

Pertanyaan retorik dalam rangkaian ayat-ayat tersebut memiliki satu jawaban yang pasti: Tentu tidak sama antara orang berilmu dan tidak, antara orang buta dan melihat, antara gelap dan cahaya.

Ibnul Qayyim Jawziyah rahimahullah dalam Miftah Dar al-Sa‟adah menjelaskan bahwa Allah Swt. menafikan unsur kesamaan antara ulama dengan selain mereka, sebagaimana Allah menafikan unsur kesamaan antara penduduk surga dan penduduk neraka. Dalam Q.S. Az- Zumar:9 dikatakan,



















“Katakan, tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.”

Dalam Q.S. al-Hasyr: 20 Allah menegaskan,























“Tidak sama antara penduduk neraka dan penduduk surga”.

Hal ini menunjukkan tingginya posisi ulama dan kemuliaan mereka.

Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah Saw juga menegaskan, “Ulama adalah pewaris para Nabi”. (HR. Tirmidzi). Menurut Al-Hafidz Ibn Hajar al-‗Asqalani, hadis ini dikuatkan oleh ayat yang berbunyi,

















51

―Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.‖ (Q.S. Fathir: 32).

Yang dimaksud dengan kalimat orang-orang yang Kami pilih dalam ayat tersebut adalah para ulama.

Kemuliaan lainnya dari ulama adalah bahwa mereka merupakan hamba-hamba Allah yang selalu takut kepada-Nya. Dan ini menjadi ciri khas orang-orang yang berilmu. Q.S. Fathir: 28 menjelaskan hal tersebut,















―Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama‖.

Adapun pada kenyataannya, banyak di antara orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, tetapi perilaku mereka justru jauh dari rasa takut kepada Allah, maka sesungguhnya mereka itu, menurut para ulama, bukanlah ilmuwan atau ulama yang sebenarnya. Bahkan, Imam al-Ghazali, menyebut para ulama yang sikapnya justru jauh dari nilai-nilai ajaran agama, jauh dari rasa takut kepada Allah dengan istilah „ulama su‟ (ulama jahat).

Imam al-Ghazali dalam Ihya‟ „Ulumuddin membagi ulama menjadi dua kategori, yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia adalah ulama yang ‗menjual‘ ilmunya untuk ‗membeli‘ kenikmatan duniawi. Sedangkan ulama akhirat adalah ulama yang ‗menanam‘ ilmunya untuk ‗menuai‘ kebahagiaan akhirat. Dunia dalam pandangan ulama akhirat hanya sebagai alat (wasilah), bukan tujuan. Klasifikasi ulama ini tampaknya merujuk pada satu hadis Nabi Saw: “Manusia yang paling berat azabnya di akhirat adalah ulama yang tidak bermanfaat ilmunya” (HR. al-Thabrani).

52

Berdasarkan hadis tersebut di atas, maka lahirlah istilah ulama su‘ (ulama jahat), yakni ulama yang terpedaya dan terlena oleh kenikmatan duniawi sesaat, seperti Bal‘am bin Ba‘ura, seorang ulama

Dokumen terkait