• Tidak ada hasil yang ditemukan

78

Wujudkan dengan Amal

Iman yang kokoh, ilmu yang memadai, masih belum berarti apa-apa jika tidak disertai dengan amal berupa tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Jika dirumuskan, maka akan tergambar seperti ini: (Iman +

Ilmu) – Amal = 0. Betapapun teguhnya keimanan seseorang, ditambah

penguasaan ilmu pengetahuan yang tinggi, tidak akan memberikan dampak apa pun, serta tidak akan bernilai apa pun jika minus amal alias tidak ada wujud nyata dalam kehidupan sehari-hari yang dijalaninya.

Iman dan ilmu selalu dikaitkan dengan amal. Sejumlah ayat al-Qur‘an dan juga Hadis menegaskan betapa eratnya hubungan antara iman dan amal saleh. Pun betapa eratnya jalinan antara ilmu dan amal.

Di dalam al-Qur‘an, Allah Swt selalu menyandingkan kalimat amanu dan „amilu ash-shalihat. Iman dan amal saleh menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Hal ini dapat dilihat, misalnya pada Q.S. al-‗Ashr: 1-3,



































“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan

mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya

menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”

79

Hal senada disebutkan dalam Q.S. At-Taghabun: 9,











































“….dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal

saleh, niscaya Allah akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan

memasukkannya ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang besar.”

Demikian jug terdapat dalam Q.S. Al-Kahfi: 88,





























“Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, Maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami".

Selain beberapa ayat yang penulis sebutkan di atas, masih banyak lagi ayat lain, yang menyandingkan antara iman dan amal saleh sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Rasulullah Saw, dalam sebuah kesempatan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Umar pernah menyatakan, “Tidak diterima iman tanpa amal dan amal tanpa iman”.

Dari beberapa keterangan ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa hubungan antara iman dan amal sangat erat satu sama lain, tidak bisa dipisahkan. Iman menuntut bukti nyata berupa amal, sedangkan amal hanya akan bernilai di hadapan Allah jika didasari oleh iman.

80

Amal: Bukti Iman

Pengertian iman menurut kesepakatan para ulama, sebagaimana disebutkan Al-Hafizh Ibn Rajab dalam kitabnya Jami‟ „Ilmi wa al-Hikam, adalah: “membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan”.

Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa ada tiga hal yang saling berkait kelindan berkenaan dengan masalah iman. Pertama, hati meyakini dan membenarkan. Kedua, lisan mengucapkan. Dan ketiga, anggota badan mengamalkan.

Tidak dikatakan iman, jika hanya meyakini dalam hati serta mengucapkan dengan lisan, tetapi tidak mengamalkannya dalam tindakan nyata.

Iman menuntut bukti. Dan bukti iman adalah amal. Sejumlah riwayat hadis menegaskan hal tersebut.

Rasulullah Saw menyatakan, “Tidak disebut beriman salah seorang di antara kalian, sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam hadits lain disebutkan, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits lain juga menegaskan, Rasulullah Saw mengingatkan, “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya mengubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)

Sejumlah hadis yang penulis kutip di atas, menunjukkan bahwa iman seseorang hanya akan bermakna dan bernilai jika disertai dengan perbuatan atau amal. Hanya omong kosong dan bualan belaka ketika seseorang mengaku beriman, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, tidak terlihat sama sekali bukti keimanannya berupa amal saleh.

81

Ciri seorang mukmin sejati, seperti dijelaskan dalam beberapa hadits tersebut adalah tercermin jelas dalam sikap dan perilaku kesehariannya.

Hubungan yang dia bangun dengan sesama manusia, baik kepada saudara, kerabat, tetangga maupun tamu sangat baik dan harmonis. Ketika ada saudara yang meminta bantuannya, dia tidak sungkan untuk mengulurkan tangannya. Hidup bertetangga dan bermasyarakat yang dijalaninya selalu terlihat damai, karena saling menghormati. Ketika ada tamu datang berkunjung ke rumahnya, dia sangat menghormati dan memuliakannya. Dan ketika melihat ada kemungkaran di sekitarnya, dia akan segera tanggap untuk mengubahnya.

Para sahabat Nabi memberikan teladan yang sangat baik berkaitan dengan masalah amal yang menunjukkan bukti keimanan ini. Sahabat Abu Thalhah al-Anshari, misalnya. Ketika ia mendengar Rasulullah saw menerima wahyu Q.S Ali- Imran: 92 yang menyatakan,

































“Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menginfaq-kan sebagian harta yang kamu cintai…”, sejurus kemudian ia mendatangi Rasulullah Saw dan menyerahkan kebun kurma yang sangat dicintainya.

Begitu juga halnya dengan Abu Dahdah al-Anshari, yang memiliki kebun yang berisi 600 pohon kurma. Ketika ia mendengar bahwa telah turun wahyu,



































82

“Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah? Maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan berlipat ganda‖, maka ia langsung mendatangi Rasulullah saw. untuk menyerahkan kebun miliknya untuk di‘pinjam‘kan kepada Allah.

Inilah di antara bukti nyata keimanan seseorang. Iman yang dia yakini dalam hati, dia nyatakan dalam ucapan, diwujudkan dalam tindakan nyata berupa amal saleh.

Amal: Buah Ilmu

“Ilmu tanpa amal, ibarat pohon tak berbuah”. Kalimat hikmah ini sangat tepat menggambarkan kondisi seseorang yang memiliki ilmu, tetapi tidak ada manfaat dari ilmu yang dimilikinya. Ia tidak beramal dengan ilmunya itu. Bahkan, bisa jadi ilmu yang dimilikinya tidak memberikan hidayah baginya.

Padahal Rasulullah Saw, secara tegas mengingatkan,

Barangsiapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah hidayahnya,

niscaya ia akan bertambah jauh dari Allah Swt.

Ya, seseorang yang memiliki ilmu, tetapi tidak bertambah baik perilakunya, tidak semakin taat ibadahnya, tidak lebih rajin amaliyahnya, maka ia justru akan semakin jauh dari Allah.

Inilah salah satu makna dari ungkapan di atas, bahwa ilmu tanpa amal bagikan pohon tak berbuah.

Sedangkan seseorang yang berilmu, kemudian dia beramal dengan ilmu yang dimilikinya, maka dia akan diberi ilmu oleh Allah, yang belum pernah diketahui sebelumnya. Hal ini seperti ditegaskan dalam sebuah hadis yang bersumber dari Anas bin Malik, “Barangsiapa mengamalkan apa-apa yang ia ketahui, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya.”

Pengertian lain tentang makna ungkapan bijak tersebut adalah, jika seseorang yang memiliki ilmu, kemudian dia hanya asyik dengan dirinya sendiri, tidak pernah mau untuk berbagi ilmu kepada orang lain, enggan untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain, maka ilmu yang

83

dimilikinya ibarat pohon yang rindang, namun tidak menghasilkan buah, yang bisa memberi manfaat kepada orang lain.

Kualitas ilmu seseorang justru akan semakin baik dan meningkat, ketika ia iringi dengan ketulusan berbagi ilmu dengan orang lain. Ilmu akan berkembang ketika diajarkan kepada orang lain. Sebaliknya, ilmu akan mandeg ketika hanya dimiliki sendiri.

Ilmu harus diamalkan. Ilmu yang diamalkan ibarat pohon yang rindang dengan buah yang lebat, sehingga bisa memberi manfaat kepada sesama manusia.

Setelah kita memahami tentang pentingnya seseorang yang berilmu untuk bermal dengan ilmunya, maka hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa seseorang harus beramal dengan ilmu. Artinya, dalam hal apa pun, baik masalah ibadah maupun muamalah, seseorang harus mendasarinya dengan ilmu. Ibadah tanpa ilmu hanya akan menyesatkan pelakunya. Pun bermuamalah tanpa ilmu, hanya akan menimbulkan kesalahpahaman.

Dengan demikian, maka amal seseorang harus dilandasi dengan ilmu. Amal tanpa ilmu hanya akan melahirkan kesia-siaan belaka. Di sinilah pentingnya seseorang untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas intelektualnya.

Proses pencarian ilmu pengetahuan ini tidak dibatasi ruang dan waktu, bahkan usia. Kapan pun, di mana pun, dan usia berapa pun seseorang harus terus meng‘update‘ dirinya dengan ilmu pengetahuan. Tanpa memperbarui ilmu pengetahuan, seseorang akan tertinggal dan menjadi manusia yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman.

MLM Pahala

Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk (kebaikan), maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang

84

mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).

Dalam dunia Multi Level Marketing (MLM), kita mengenal istilah Upline dan Downline. Upline biasanya merujuk kepada individu yang mensponsori individu lain (downline) bergabung dalam satu jaringan yang sama. Adapun downline adalah individu atau sekelompok orang yang menjadi anggota suatu jaringan melalui afiliasi upline tersebut.

Upline akan terus mendapat aliran keuntungan atau komisi, ketika para downlinenya bekerja menjalankan bisnis yang telah dibangun bersama itu, tanpa mengurangi jatah keuntungan atau komisi yang didapatkan oleh downline. Pun Upline tidak akan mendapat apa-apa, ketika para downlinenya diam tidak bergerak menjalankan bisnisnya.

Ilustrasi ini terasa tepat untuk menjelaskan maksud hadis di atas. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut dijelaskan, bahwa seseorang yang menjadi sponsor dalam hal kebaikan, kemudian diikuti oleh orang lain, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala-pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka.

Inilah yang penulis istilahkan dengan MLM pahala. Sang sponsor akan terus mendapat aliran pahala dari amal saleh yang dilakukan oleh orang lain, yang telah mengikuti jejaknya, sebagai penggerak dan sponsor utama dalam melakukan amal saleh pertama kali. Dan itu akan terus berlanjut, meski si sponsor utama sudah meninggal dunia.

Sungguh, suatu nikmat tak terhingga, ketika seseorang tetap mendapat passive income berupa aliran pahala ke rekening amalnya, karena kebaikan yang pernah dilakukannya dan kemudian diikuti oleh orang lain sepeniggalnya.

Sebaliknya, seseorang yang menjadi sponsor kejahatan, dan kemudian kejahatan yang dilakukannya itu diikuti oleh orang lain, maka dia akan mendapatkan aliran dosa, seperti dosa orang-orang yang melakukannya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun, meskipun dia sudah meninggal dunia.

85

Dalam hadits lain, Rasulullah Saw menegaskan, “Apabila seseorang meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariah (amal yang pahalanya selalu mengalir), ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya.”(HR. Muslim).

Dari keterangan hadits di atas dapat dipahami, bahwa Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita cara terbaik untuk berinvestasi amal, yang akan terus kita nikmati hasil dari amal tersebut, meskipun kita telah meninggal dunia. Pertama, sedekah; kedua, memiliki ilmu yang bermanfaat; dan ketiga, memiliki anak saleh yang selalu mendoakan kita.

Sedekah adalah cara efektif agar kita terus menerus mendapat limpahan pahala, meskipun kita telah meninggal dunia. Ketika kita bersedekah untuk pembangunan masjid, musholla atau madrasah, misalnya, maka setiap ada orang yang melaksanakan shalat di masjid atau musholla tersebut, setiap ada siswa atau santri yang belajar di madrasah tersebut, kita akan terus mendapat aliran pahala dari sedekah kita.

Demikian halnya dengan ilmu yang bermanfaat. Jika selama hidup di dunia ini kita mengajarkan ilmu pengetahuan kepada orang lain, kepada para santri, para siswa, para mahasiswa, kepada masyarakat, kemudian mereka mendapat manfaat dari ilmu yang kita ajarkan, maka aliran pahala pun akan terus kita terima, meskipun kita telah meninggalkan dunia ini.

Hal yang sama juga terjadi kepada kita, jika kita memiliki anak yang saleh, yang setiap saat mendoakan kita. Maka, ketika kelak kita kembali ke haribaan Allah, kita akan tetap mendapat pahala dari anak saleh yang kita tinggalkan itu.

Betapa indahnya ajaran Islam. Bahkan, ketika seseorang sudah tidak ada di dunia ini, ia masih tetap dapat menikmati hasi usahanya berupa amal saleh yang dilakukannya ketika masih hidup di dunia. Sungguh Allah Maha Adil. Sungguh Allah tidak akan menyia-nyiakan amal hamba-Nya.

86

Amal yang Mewujud (Tajassum al-A’mal)

Dalam buku The Road to Allah, Jalaluddin Rakhmat mengungkapkan macam-macam perwujudan amal (tajassum al-a‟mal).

Pertama, amal-amal kita akan membentuk jati diri kita. Amal-amal buruk akan membentuk jati diri yang buruk. Sebaliknya, Amal-amal-Amal-amal baik akan membentuk jati diri yang baik. Seseorang yang terbiasa melakukan perbuatan buruk, seperti mendendam, memfitnah, dengki, membunuh, menganiaya, akan jatuh pada jati diri kebinatangan. Dan kelak, ia akan dibangkitkan dalam wujud jati dirinya itu.

Kedua, amal-amal kita akan diciptakan Tuhan dalam wujud makhluk yang menyertai kita; sejak alam kubur hingga dibangkitkan pada hari kiamat nanti. Amal saleh akan mewujud sebagai sosok yang rupawan, indah dan harum. Kehadirannya akan membuat kita bahagia. Sedangkan amal buruk akan mewujud sebagai sosok yang menakutkan, kotor dan bau. Kehadirannya membuat kita ketakutan.

Ketiga, amal-amal kita akan berwujud dalam bentuk dampak atau akibat. Amal saleh akan muncul dalam akibat-akibat yang baik, dan sebaliknya, amal-amal buruk akan menimbulkan berdampak buruk.

Setiap manusia akan melihat amalnya masing-masing kelak di akhirat. Mungkin juga dampak dari amalnya sudah dirasakan ketika di dunia, seperti pengertian tajassum al-a‟mal yang terakhir. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Zalzalah: 7-8 yang menyebutkan,





























“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”.

87

Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa jati diri kita, teman setia kita kelak di alam kubur, serta hal-hal yang terjadi pada kita adalah akibat dari amal-amal kita.

Amal saleh akan membentuk karakter pribadi yang baik, menciptakan teman setia yang baik dan indah di alam barzakh, serta menimbulkan dampak yang baik dalam kehidupan kita. Sedangkan amal buruk akan membentuk karakter pribadi yang buruk, menciptakan teman yang buruk dan menakutkan di alam kubur, serta mengakibatkan dampak buruk bagi kehidupan kita.

Jika sudah jelas demikian kenyataannya, masihkah kita memilih untuk melakukan tindakan (amal) buruk? Jawaban atas pertanyaan tersebut ada pada diri kita masing-masing. Secara tegas al-Qur‘an sudah menyatakan, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Fushshilat: 34-35,











...



























“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan…. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa pada hakekatnya kita memiliki dua macam mata: mata lahir (bashar) dan mata batin (bashirah). Dengan mata lahir, kita hanya akan melihat bentuk lahiriah, tampilan fisik diri kita dan orang lain di sekitar kita. Ia bukan jati diri kita atau jadi diri orang lain di sekitar kita. Sedangkan dengan mata batin, kita dapat melihat jati diri kita dan jati diri orang lain yang sebenarnya.

Dalam istilah Imam Al-Ghazali, dengan bashar kita hanya melihat khalq (fisik, jasmani), sedangkan dengan bashirah kita dapat melihat khuluq (wujud ruhani).

88

Dalam pandangan kasat mata atau secara lahir, bisa jadi kita melihat diri kita atau orang-orang di sekitar kita tampil begitu memesona, tampan dan cantik, tetapi secara hakiki dengan pandangan batin, bisa jadi kita dan orang-orang di sekiling kita tak ubahnya binatang buas yang menakutkan. Dalam alam lahir, mungkin tubuh kita menebarkan aroma harum parfum yang kita pakai, tetapi sangat mungkin di alam batin hanya bau busuk bangkai yang meliputi diri kita. Tubuh kita tampak gagah, tegap dan utuh di alam lahir, bisa jadi di alam batin, hanya seonggok kerangka yang terkoyak-koyak.

Demikianlah, dalam pandangan batiniah, jati diri kita adalah wujud dari amal yang kita lakukan.

Dengan Amal Hidup Menjadi Berkah

Sekedar bertanya, apa sih yang kita cari dari hidup ini? Limpahan materi, popularitas atau status sosial yang tinggi di masyarakat? Atau semuanya? Jika jawabannya: Ya, maka pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah kesemua itu menjamin hadirnya kebahagiaan dan keberkahan hidup? Jawaban atas pertanyaan ini adalah: Belum tentu.

Hemat penulis, yang kita cari dalam hidup ini adalah kebahagiaan dan keberkahan hidup. Dan kebahagiaan serta keberkahan hidup hanya akan kita dapatkan dengan cara melakukan aktivitas (baca: amal) yang diridlai Allah Swt.

Apalah artinya harta berlimpah, popularitas menjulang, status sosial tinggi, tetapi kesemuanya diperoleh dengan cara-cara yang dilarang Allah. Meski kita merasakan kesenangan, tetapi bersifat sementara dan semu. Kesenangan seperti ini hanya akan berujung penderitaan dan kesengsaraan.

Kebahagiaan hakiki dan keberkahan sejati hanya akan didapatkan oleh orang-orang yang melakukan aktivitas positif, yang dalam bahasa agama disebut amal saleh dengan mengindahkan aturan-aturan Allah.

Hidup kita, ketika sudah didasari dengan pondasi iman yang kokoh, dibekali dengan ilmu pengetahuan yang memadai, akan menjadi

89

berkah ketika diwujudkan dengan amal saleh berupa tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Kekayaan yang hanya dinikmati oleh diri sendiri dan keluarga saja, misalnya, tidak akan menghadirkan kebahagiaan apalagi keberkahan. Kekayaan yang akan menghadirkan kebahagiaan dan keberkahan hidup adalah, ketika orang lain di sekitar kita ikut merasakan kebahagiaan dari limpahan materi yang kita miliki.

Popularitas serta status sosial yang akan melahirkan kebahagiaan dan keberkahan hidup adalah, ketika kita mampu membantu orang lain dengan popularitas serta status sosil yang kita miliki.

Intinya, segala yang melingkupi kehidupan kita, baik berupa kelimpahan materi, popularitas maupun status sosial, hanya akan bermakna dan bernilai jika orang-orang di sekeliling kita ikut merasakan manfaatnya. Semakin besar manfaat yang diperoleh orang lain dari apa yang kita miliki, semakin bermakna hidup kita. Semakin banyak umat manusia yang menjadi lebih baik kehidupannya karena kehadiran kita dengan segala fasilitas yang kita miliki, semakin bahagia dan berkah kehidupan kita. Singkatnya, dengan amal nyata hidup kita menjadi berkah.

90

Dokumen terkait