• Tidak ada hasil yang ditemukan

91

Hiasi dengan Ikhlas

















...



“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Alllah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena menjalankan agama…”

Keimanan yang menghunjam kuat ke dalam lubuk hati yang paling dalam, dibekali dengan ilmu yang tinggi, ditambah amal yang hebat, bisa saja hilang tak berbekas, jika tidak dihiasi dengan sikap ikhlas.

Ya, kata kunci untuk seluruh aktivitas hidup kita yang diorientasikan untuk ibadah kepada Allah Swt, hanya akan bermakna dan bernilai di hadapan-Nya, jika disertai ketulusan hati dan keikhlasan jiwa.

“Inti amal dan penentu diterima-tidaknya suatu amal di sisi Allah adalah ketulusan niat pelakunya atau sering disebut dengan ikhlas. Amal tanpa ikhlas bagaikan kelapa tanpa isi, raga tanpa nyawa, pohon tanpa buah, awan tanpa hujan, anak tanpa garis keturunan, dan benih yang tidak tumbuh.” (Syekh Abu Thalib al-Makki)

Ikhlas dalam pengertiannya yang umum adalah melakukan segala aktivitas (amal) ibadah tanpa pamrih, tidak berharap apa-apa selain ridla Allah. Konsentrasi ibadahnya hanya ditujukan kepad Allah semata, tidak yang lainnya. Parameternya adalah ketulusan niat dari sebelum, selama, dan sesudah kita beramal. Konsistensi ketulusan niat harus melingkupi ketiga aspek ini, tidak hanya salah satunya. (Pembahasan tentang pengertian ikhlas yang lebih luas bisa pembaca dapatkan pada buku penulis berjudul ―Agar Allah Selalu Menolongmu! Melihat Sisi Baik dari Setiap Ujian”)

92

Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe

Dalam falsafah Jawa ada istilah Sepi ing pamrih rame ing gawe. Makna tersirat dari ungkapan sepi ing pamrih adalah bahwa ketika kita melakukan sesuatu hendaklah didasari oleh ketulusan niat, keikhlasan hati, bukan karena ada pamrih atau keinginan mendapatkan balasan atau pujian dari orang lain. Adapun kalimat rame ing gawe, maknanya adalah terus melakukan amal saleh dengan penuh semangat, kapan pun dan di mana pun. Jika ditarik ke dalam ajaran Islam, maka ungkapan tersebut bisa disejajarkan dengan istilah ikhlas. Yakni melakukan amal dengan tulus hanya mengharap ridla Allah semata, bukan yang lain.

Dengan demikian, jika digabungkan kedua kalimat tersebut, yakni sepi ing pamrih rame ing gawe, makna filosofisnya adalah seseorang hendaknya mengawali segala aktivitas (amal)-nya dengan niat yang tulus, hati yang ikhlas tanpa berharap apa pun dari orang lain, baik itu berupa pujian atau balasan atas kebaikan yang dilakukannya. Dia hanya mengharap ridla Allah semata. Dan dia, dengan didasari ketulusan niat dan keikhlasan hatinya itu, terus menerus berbuat baik, beramal saleh, kapan pun, dalam kondisi apa pun, dan di mana pun dia berada.

Di dalam Q.S. Al-Zalzalah: 7, Allah Swt menegaskan,















“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.”

Dalam Q.S. At-Taubah: 120 juga ditegaskan,















“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”

93

Orang-orang yang ikhlas menghayati betul makna ayat-ayat yang menerangkan balasan atau pahala orang-orang yang berbuat baik. Mereka haqqul yaqin, bahwa Allah pasti melihat dan membalas amalnya, meski orang lain tidak ada yang tahu, atau tidak mau tahu dengan apa yang dikerjakannya. Mereka tidak ingin amal yang dilakukannya berakhir sia-sia, tidak mendapat apa-apa dari Allah, jika mereka hanya mengharap pujian dan balasan orang lain di dunia ini. Mereka memahami betul makna ayat dalam Q.S. Asy-Syura: 20,















































“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat”.

Tanamkan Ruh Ikhlas dalam Diri

Sebelum memulai aktivitas (amal), maka yang pertama harus kita perhatikan adalah nawaitu atau niat kita. Karena, hasil akhir dari amal kita tersebut tergantung niat yang kita pancangkan sejak awal. Niat yang tulus, ikhlas karena Allah semata, maka balasannya adalah pahala berlipat yang telah Allah janjikan dan sediakan. Sebaliknya, jika niat dari awal sudah bukan karena Allah, maka meskipun amal yang kita lakukan positif, kita tidak akan mendapatkan apa pun dari Allah, bahkan bisa jadi karena amal itu diniatkan untuk selain Allah, maka alih-alih berbuah pahala justru akan menyeret kita ke dalam neraka. Na‟udzu billahi min dzalika.

Berikut penulis kutipkan sebuah hadis tentang amal positif yang dilakukan tiga orang, yang alih-alih mendapat balasan berupa pahala dari Allah, tetapi justru mengantarkan mereka ke neraka.

94

Dalam Kitab Shahih Muslim, diriwayatkan tentang tiga orang yang kelak pada hari kiamat akan disidangkan di hadapan pengadilan Allah Swt. Kepada orang pertama Allah bertanya, ―Apa yang kamu lakukan di dunia?‖ Orang tersebut menjawab, ―Aku membaca al-Quran.‖ Allah berfirman, ―Kamu bohong. Kamu membaca al-Quran agar dikatakan bahwa kamu seorang Qari‟, ahli baca al-Quran. Kemudian orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka. Kepada orang kedua Allah bertanya hal yang sama, kemudian ia menjawab, ―Aku menginfakkan dan menyedekahkan hartaku di jalan Allah.‖ Allah berfirman, ―Kamu bohong. Kamu berinfak dan bersedekah supaya kamu disebut sebagai dermawan.‖ Ia juga diseret dan dilemparkan ke neraka. Kepada orang ketiga, Allah mengajukan pertanyaan yang sama. Ia menjawab, ―Aku berjihad (berperang) di jalan-Mu.‖ Allah berfirman, ―Kamu bohong. Kamu berperang supaya dianggap sebagai pemberani.‖ Ia pun diseret dan di lemparkan ke neraka.

Dari riwayat hadis di atas, dapat diambil sebuah pelajaran berharga, bawah dari ketiga orang tersebut, meski masing-masing menjalankan perintah Allah, berupa ibadah yang sangat mulia, tetapi karena tidak didasari oleh keikhlasan niat karena Allah (lillahi ta‟ala), maka alih-alih ibadah yang dilakukannya berbuah pahala, justru mengantarkan mereka ke dalam neraka. Na‟udzu billahi min dzalika.

Untuk menghindari hal tersebut, maka hendaknya kita menanamkan ruh ikhlas dalam diri, sebelum memulai amal ibadah. Karena tanpa didasari ruh ikhlas, maka segala aktivitas ibadah yang kita lakukan akan berakhir dengan kesia-siaan bahkan berujung penderitaan yang berkepanjangan di akhirat nanti.

Alkisah ada dua orang santri yang berasal dari satu kampung dan tengah menikmati liburan panjang di kampung halamannya. Ahmad, sebut saja demikian, santri yang satu ini adalah tipikal santri yang tekun, rajin, jujur dan penuh ketulusan. Selama libur, dia membantu ayahnya memanen singkong di kebunnya. Singkong hasil kebunnya sebagian besar dijual ke pasar dan sebagian lainnya dibagikan ke tetangganya.

95

Dan tak lupa, Ahmad menyisakan singkong untuk diberikan kepada Pak Kyai ketika kembali ke pesantren nanti.

Di sisi lain, Andi, santri lainnya yang satu kampung dengan Ahmad menghabiskan masa liburnya dengan bermain. Tak pernah sedikit pun membantu usaha orang tuanya. Maklum, sebagai anak orang kaya, Andi sejak kecil biasa dimanja. Seluruh permintaannya selalu dituruti. Walhasil, dia tumbuh menjadi anak yang manja, tidak pernah mau peduli dengan jerih payah kedua orang tuanya dalam membangun usaha yang telah menghidupinya selama ini.

Singkat cerita, masa liburan pun usai. Semua santri kembali ke pesantren, tak terkecuali Ahmad dan Andi. Setibanya di pesantren, Ahmad langsung menemui Pak Kyai untuk bersilaturahmi sekaligus mengantarkan singkong hasil panen di kebun orang tuanya. Pak Kyai tampak senang menerima oleh-oleh dari Ahmad. Setelah mengucapkan terima kasih, kemudian beliau masuk ke dalam menemui istrinya dan menanyakan apakah ada makanan atau yang lainnya untuk membalas pemberian Ahmad. Istri Pak Kyai mengatakan bahwa tidak ada makanan atau apa pun untuk membalas pemberian Ahmad. Hanya ada seekor kambing di kandang belakang rumah. Tanpa pikir panjang, Pak Kyai kemudian mengambil kambing tersebut untuk diberikan kepada Ahmad sebagai balasan atas oleh-oleh berupa singkong yang dibawa Ahmad dari kampungnya.

Mendapat pemberian berupa seekor kambing dari Pak Kyai, Ahmad pun senang tak terkira. Sembari mengucapkan terima kasih, Ahmad pamit untuk kembali melakukan kegiatan di pesantren.

Di tengah perjalanan, Ahmad bertemu dengan Andi, teman sekampungnya yang juga baru datang di pesantren. Andi heran melihat Ahmad membawa seekor kambing. Dia pun menanyakan dari mana ia mendapatkan kambing tersebut. Ahmad kemudian menceritakan bahwa dirinya baru saja bersilaturahmi kepada Pak Kyai dengan membawa oleh-oleh berupa singkong hasil panen di kebun orang tuanya. Kemudian ketika mau pulang, Pak Kyai membawa oleh-oleh berupa kambing.

96

Setelah pertemuan tersebut, terbesit sebuah ide di benak Andi. Dia akan bersilaturahmi ke rumah Pak Kyai dengan membawa oleh-oleh yang lebih mahal dari Ahmad. Dia berpikir bahwa Ahmad yang hanya datang membawa singkong saja ketika pulang dibawakan oleh-oleh berupa kambing. Apalagi kalau dia datang membawa oleh-oleh yang lebih enak dan lebih mahal dari singkong. Akhirnya, Andi memutuskan untuk membawa durian ketika silaturahmi kepada Pak Kyai nanti.

Sehari berselang, Andi pun bersilatruahmi kepada Pak Kyai dengan membawa durian. Setelah bertemu Pak Kyai dan menyerahkan durian sebagai oleh-olehnya, Andi pun pamit untuk kembali ke pondok. Sebelum pulang, Pak Kyai meminta Andi untuk menuggu sebentar karena ada oleh-oleh yang akan diberikan Pak Kyai. Mendengar kata oleh-oleh, terbayang di benak Andi bahwa dia pasti akan mendapatkan balasan yang jauh lebih besar dan lebih berharga daripada yang diberikan Pak Kyai kepada Ahmad.

Setelah menunggu beberapa saat, Pak Kyai pun keluar dengan membawa singkong untuk diberikan kepada Andi. Betapa kagetnya Andi ketika melihat yang diberikan Pak Kyai kepadanya adalah singkong. Andi pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Pak Kyai perihal tersebut. Dia menanyakan, kenapa Ahmad yang datang membawa singkong, ketika pulang diberi oleh-oleh berupa kambing, sementara dirinya yang datang membawa durian, ketika pulang diberi oleh-oleh berupa singkong. Pak Kyai pun menjelaskan bahwa ketika Ahmad datang dan membawa singkong, di rumah tidak ada makanan lain untuk diberikan kepada Ahmad sebagai balasan. Hanya ada seekor kambing di kandang belakang rumah. Sementara ketika Andi datang membawa durian, di rumah sudah tidak ada lagi kambing dan makanan lain selain singkong yang kemarin dibawa Ahmad.

Dari kisah tersebut dapat kita ambil sebuah pelajaran berharga, bahwa hasil dari sebuah amal atau perbuatan itu tergantung pada niat dan keikhlasan pelakunya.

97

Ilustrasi kisah di atas, hanya menggambarkan balasan sebuah perbuatan ketika di dunia. Adapun balasan amal serta perbuatan di akhirat tentu lebih adil lagi. Karena Allah Mahamengetahui niat dari para hamba-Nya.

Siapakah Al-Mukhlashin ?

Di dalam al-Qur‘an terdapat dua istilah yang menggambarkan kondisi orang-orang yang ikhlas. Pertama, al-Mukhlishun; dan kedua,

al-Mukhlashun.

Kata mukhlish dan mukhlash berasal dari akar kata yang sama, yaitu akhlasha-yukhlisu, berarti tulus, jernih, bersih, dan murni. Dari akar kata tersebut lahir kata mukhlish, jamaknya al-mukhlishun, berarti orang yang setulus-tulusnya mengikhlaskan diri di dalam upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah Swt. Perkataan, pikiran, dan segenap tindakanya hanya tertuju kepada Allah Swt.

Dari kata akhlasha juga lahir kata mukhlash, jamaknya al-mukhlasin, berarti orang yang mencapai puncak keikhlasan sehingga bukan dirinya lagi yang berusaha menjadi orang ikhlas (mukhlishin) tetapi Allah Swt yang proaktif untuk memberikan keihlasan. Jika mukhlis masih sadar kalau dirinya berada pada posisi ikhlas, sedangkan mukhlash sudah tidak sadar kalau dirinya sedang berada dalam posisi ikhlas. Keikhlasan sudah merupakan bagian dari habit dan kehidupan sehari-harinya.

Seorang mukhlish masih sadar akan keikhlasannya. Pada posisi ini masih riskan untuk diperdaya provokasi iblis karena masih menyadari dirinya berbuat ikhlas. Sedangkan mukhlash, iblis sudah menyerah dan tidak bisa lagi berhasil mengganggunya karena langsung di back up oleh Allah Swt.

Demikian penjelasan Prof. Nasaruddin Umar tentang perbedaan makna al-Mukhlishin dan al-Mukhlashin, yang penulis kutip dari situs:www.pustakaafaf.com

98

Dari keterangan ini, jelaslah bahwa untuk mencapai derajat ikhlas, seseorang harus berusaha semaksimal mungkin menghilangkan segala hasrat serta keinginan yang bersifat materi-duniawi ketika melakukan amal-ibadah. Ketika seseorang sudah mampu menafikan segala keinginan duniawi berupa pujian ataupun balasan dari manusia pada saat melakukan amal saleh, ia akan mencapai posisi mukhlish.

Pada saat mencapai posisi mukhlish ini, seseorang masih belum bisa terbebas dari godaan iblis yang berusaha menggelincirkan keikhlasannya itu. Karena, pada saat itu ia masih menyadari posisi keikhlasannya. Maka, upaya selanjutnya agar ia bisa naik menuju maqam mukhlash adalah terus-menerus memohon perlindungan kepada Allah, seraya terus menerus melakukan amal saleh, tanpa berharap apa pun kecuali ridla Allah, sehingga pada gilirannya Allah akan memback up-nya, melindunginya dari bujuk rayu iblis yang berusaha menghancurkan keikhlasannya.

Iblis Pun Tak Berkutik

Dalam Q.S. Al-Hijr: 39-42 digambarkan dialog antara Allah dengan Iblis,





































































Iblis berkata: " Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlash (terpilih) di antara mereka". Allah berfirman: "Ini adalah jalan yang lurus (menuju) kepada-Ku.” Sesungguhnya kamu (iblis) tidak kuasa

99

atas hamba-hamba-Ku, kecuali mereka yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang sesat.”

Dari dialog antara Allah Swt dengan Iblis la‘natullah ‗alaihi yang direkam oleh rangkaian ayat al-Qur‘an di atas, tergambar jelas bahwa Iblis bersumpah untuk menyesatkan seluruh umat manusia. Ia akan menjadikan kejahatan tampak indah di mata manusia. Ia akan mengelabui manusia dengan bujuk rayunya agar manusia mengikuti jalan sesatnya. Sebagian besar manusia akan mengiikuti bujuk rayu Iblis tersebut, kecuali hamba-hamba Allah yang Mukhlashin. Yaitu, mereka yang sudah mencapai derajat (maqam) ikhlas yang sangat tinggi. Mereka ini tidak akan bisa diperdaya oleh godaan serta bujuk rayu Iblis. Iblis tidak akan berkutik, tidak bisa berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang penuh ketulusan hati, keikhlasan jiwa, yang hanya mengharap ridla Allah semata atas segala amal yang dilakukannya.

Alkisah, dahulu ada seorang ulama yang begitu gigihnya memerangi segala bentuk kemusyrikan. Dia tidak pernah berkompromi dengan siapa saja yang melakukan aktivitas yang dianggapnya syirik atau menyekutukan Allah.

Suatu waktu, ketika ulama tersebut tengah berjalan-jalan melewati suatu perkampungan, dia melihat kerumunan orang yang mengelilingi sebuah pohon besar. Dia amati dari jauh, ternyata orang-orang yang berada di sekeliling pohon besar tersebut sedang menengadah, layaknya orang yang sedang berdoa. Sementara di bawah pohon tersebut banyak sekali terdapat sesaji berupa makanan dengan berbagai jenis dan macamnya. Sang ulama langsung mengambil sebuah kesimpulan bahwa orang-orang tersebut tengah berbuat syirik, yaitu melakukan aktivitas pemujaan dan permohonan kepada pohon tersebut. Hatinya berontak, tidak rela melihat orang-orang berbuat kemusyrikan. Satu-satunya cara untuk menghilangkan kemusyrikan tersebut adalah dengan menebang pohon itu, demikian gumamnya dalam batin. Dia pun segera pulang ke rumah untuk mengambil kapak guna menebang pohon tersebut.

100

Setelah mendapat kapak, sang ulama kembali ke tempat tersebut. Hari sudah mulai gelap. Orang-orang yang tadi berkerumun sudah kembali ke rumah masing-masing. Inilah saat yang tepat untuk menebang pohon kemusyrikan itu, demikian ucapnya dalam batin. Tanpa pikir panjang, ulama itupun mulai menebang pohon kemusyrikan itu. Ketika dia tengah menebang pohon tersebut, muncullah sosok iblis penunggu pohon tersebut mencegahnya, ―tunggu dulu, jangan ditebang pohon ini‖. Sang ulama pun terkejut, ―siapa kamu?‖ tanya sang ulama. ―Akulah penunggu pohon ini‖, jawab si iblis. ―Jangan kau halangi aku menebang pohon ini. Pohon ini adalah sumber kemusyrikan‖, bentak sang ulama. Karena si iblis tetap melarangnya, maka terjadilah pertarungan sengit antara keduanya. Dengan ijin Allah, karena keikhlasan niat sang ulama, iblis itupun kalah dan bertekuk lutut kepada sang ulama.

Kisah tersebut penulis kutip dari buku penulis berjudul ―Agar Allah Selalu Menolongmu; Melihat Sisi Baik dari Setiap Ujian” pada sub bab ikhlas tanpa batas.

Dengan Ikhlas Hidup Terasa Lepas

Kita tentu sering mendengar keluhan orang-orang di sekitar kita, atau mungkin diri kita sendiri, tentang beratnya menjalani kehidupan ini. Kondisi ekonomi yang sulit, harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak tinggi seiring dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), biaya pendidikan dan kesehatan yang mahal, serta berbagai persoalan kehidupan lainnya yang semakin menambah penderitaan.

Ya, hidup memang terasa susah, jika kita menghadapinya dengan keluh kesah. Hidup pun akan terasa berat jika iman dalam diri ini tidak kuat. Hidup akan terasa sulit menghimpit jika cara pandang kita terhadap hidup ini terlalu sempit. Sebaliknya, hidup akan terasa mudah jika kita menjalaninya dengan penuh gairah. Hidup akan terasa nikmat jika iman dan ilmu kita kuat. Hidup akan terasa bebas dan lepas jika kita menghadapinya dengan ikhlas.

101

Ikhlas dalam menjalani hidup, dengan pengertian bahwa kita sadar sepenuhnya, ada yang Mahamengatur kehidupan ini, yaitu Allah Swt. Kita berhak untuk menyusun rencana sesuai dengan keinginan kita, tetapi jangan lupa, ada yang Mahamemutuskan, Mahamenentukan apakah rencana kita bisa berjalan dengan sukses ataukah tidak. Dialah yang Mahamengetahui yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya, Dialah Allah Swt.

Mungkin dalam pandangan kita, rencana yang sudah kita susun secara matang adalah yang terbaik buat kita, dan pasti sukses. Tetapi, jika tidak ada ijin dari Yang Mahamenentukan, Mahamemutuskan, yakni Allah Swt, maka rencana yang sudah kita susun secara matang tersebut sangat mungkin gagal berantakan.









































“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”, demikian diungkapkan dalam Q.S. Al-Baqarah: 216.

Apa yang kita anggap baik, belum tentu baik menurut Allah, bisa jadi itu sesuatu yang buruk bagi kita menurut Allah. Sebaliknya, apa yang kita anggap buruk, bisa jadi itu yang terbaik buat kita menurut Allah.

Dalam buku The Science & Miracle of Zona Ikhlas, Erbe Sentanu, sang penulis buku menguraikan secara apik sisi ilmiah sikap ikhlas disertai keajaiban-keajaiban yang melingkupi pelakunya.

Menurut Erbe Sentanu, sikap ikhlas akan membuat seseorang secara alami lebih powerful. Orang yang secara sadar atau tidak menjadikan ikhlas sebagai strategi hidupnya akan selalu diliputi kedamaian, kebahagiaan, kesuksesan dan kemuliaan. Hal ini terjadi,

102

menurut Erbe Sentanu, karena ketika seseorang ikhlas berserah diri sesungguhnya ia sedang menyelaraskan pikiran dan perasaannya dengan kehendak Ilahi, yang menghasilkan kolaborasi niat yang luar biasa pada level kuantum di zona ikhlas. Saat itu terjadi, kemudahan dari Tuhan yang berupa keajaiban seringkali hadir dengan sendirinya.

Mengutip sejumlah penelitian ilmiah tentang dunia Quantum, yaitu sebuah ‗dunia‘ yang tak berlokasi dan tak mengenal ruang dan waktu, Erbe Sentanu menyimpulkan bahwa zona ikhlas ada di dunia ini, yaitu dunia kuantum. Di zona yang tak berlokasi namun terpadu (unified) ini rasa keterpisahan dan perbedaan semakin tak kentara. Rasa mengalir ini membuat kita lebih inovatif, mudah mendapatkan solusi sekaligus merasakan kebahagiaan. Itulah mengapa, seseorang yang diliputi perasaan ikhlas dalam dirinya akan merasakan kehidupan yang damai, tenang dan bahagia. Lebih dari itu, seseorang yang selalu menjaga perasaan ikhlasnya akan mendapatkan keajaiban-keajaiban dalam hidupnya.

Berikut penulis kutipkan salah satu kisah keajaiban yang dialami seorang pejuang keikhlasan, sebagaimana diungkapkan dalam buku Erbe Sentanu tersebut.

Sebut saja namanya Umi, seorang Janda dengan dua anak asal Ciamis yang mengadu nasib di Jakarta. Pada saat lebaran ia ingin pulang kampung, tetapi ada satu kendala yang dihadapinya, yaitu tidak punya kendaraan pribadi untuk mudik lebaran.

Ia kemudian teringat Pak Herlambang, tetangga kompleksnya yang berkelimpahan harta dan baik orangnya. Ia bermaksud meminjam salah satu mobilnya untuk pulang kampung. Setelah mempertimbangkan secara matang, ia pun menemui pak Herlambang untuk mengutarakan maksudnya tersebut.

Pak Herlambang dengan senang hati meminjamkan mobilnya kepada Umi, bahkan diambilkan mobil yang paling muda tahunnya, dengan harapan tidak ada kendala di perjalanan nanti.

103

Singkat cerita, setelah seminggu di kampung halamannya, Ciamis, Umi pun kembali ke Jakarta. Umi tidak segera mengembalikan mobil pinjamannya itu kepada Pak Herlambang dengan alasan masih kotor. Dia berencana esok hari sebelum dikembalikan, anaknya diminta

Dokumen terkait