• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Komunikasi

1. Prinsip Dasar Komunikasi

Komunikasi adalah proses pengopoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Proses komunikasi yang menggunakan stimulus atau respon dalam bentuk bahasa baik lisan maupun tulisan selanjutnya disebut komunikasi verbal. Sedangkan apabila proses komunikasi tersebut menggunakan simbol-simbol disebut kmunikasi non-verbal (Setiawati, 2008).

2. Bentuk-bentuk Komunikasi

Agar proses komunikasi kesehatan efektif dan terarah, dapat dilakukan melalui bentuk-bentuk komunikasi antara lain : komunikasi interpersonal, yaitu salah satu bentuk komunikasi yang paling efektif, karena antara komunikan dan komunikator dapat langsung tatap muka, sehingga stimulus yakni pesan atau informasi yang disampaikan oleh komunikan, langsung dapat direspon atau ditanggapi pada saat itu juga. Komunikasi terapeutik termasuk dari komunikai interpersonal. Bentuk komunikasi yang lain adalh komunikasi masa, komunikasi ini menggunakan saluran (media) massa, atau berkomunikasi melalui media masa. Komunikasi melalui media masa kurang efektif dibanding dengan komunikasi interpersonal (Notoatmodjo, 2003).

(2)

B. Komunikasi Terapeutik 1. Pengertian

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi. Seorang penolong atau perawat dapat membantu klien mengatasi masalah yang dihadapinya melalui komunikasi (Suryani, 2005). Menurut Purwanto (1994), komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi profesional yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan seorang perawat dengan teknik-teknik tertentu yang mempunyai efek penyembuhan. Komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk membina hubungan saling percaya terhadap pasien dan pemberian informasi yang akurat kepada pasien.

2. Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik

Menurut Suryani (2005) ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami dalam membangun dan mempertahankan hubungan yang terapeutik. a.Pertama, hubungan perawat dengan klien adalah hubungan terapeutik yang saling menguntungkan. hubungan ini didasarkan pada prinsip ”humanity of nurse and clients”. Kualitas hubungan perawat-klien ditentukan oleh bagaimana perawat mendefenisikan dirinya sebagai manusia. Hubungan perawat dengan klien tidak hanya sekedar hubungan seorang penolong dengan kliennya tapi lebih dari itu, yaitu hubungan antar manusia yang bermartabat.

(3)

Kedua, perawat harus menghargai keunikan klien. Tiap individu mempunyai karakter yang berbeda-beda. Karena itu perawat perlu memahami perasaan dan prilaku klien dengan melihat perbedaan latar belakang keluarga, budaya, dan keunikan setiap individu.

Ketiga, semua komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi maupun penerima pesan, dalam hal ini perawat harus mampu menjaga harga dirinya dan harga diri klien.

Keempat, komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya harus dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan memberikan alternatif pemecahan masalah. hubungan saling percaya antara perawat dan klien adalah kunci dari komunikasi terapeutik

3. Tujuan Komunikasi Terapeutik

Menurut Purwanto (1994), tujuan komunikasi terapeutik adalah, membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan, mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif serta mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.

4. Tahapan Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik tidak sama dengan komunikasi sosial. Komunikasi sosial tidak memiliki tujuan yang spesifik dan pelaksanaan komunikasi ini terjadi begitu saja. Sedangkan terapeutik berfungsi untuk mencapai kesembuhan pasien melalui perubahan dalam diri pasien. Karena itu pelaksanaan komunikasi terapeutik harus direncanakan dan terstruktur dengan baik. Menurut Struart, G. W (1998) Struktur dalam proses komunikasi

(4)

terapeutik terdiri dari dari empat tahap yaitu tahap prainteraksi, tahap perkenanlan atau orientasi, tahap kerja dan tahap terminasi. Pada setiap tahap terdapat tugas atau kegiatan perawat yang harus diselesaikan

Pada tahap Pra-Interaksi, dimulai sebelum perawat bertemu dengan pasien. Perawat terlebih dahulu menggali kemampuan yang dimiliki sebelum kontak/berhubungan dengan klien termasuk kondisi kecemasan yang menyelimuti diri perawat sehingga terdapat dua unsur yang perlu dipersiapkan dan dipelajari pada tahap prainteraksi yaitu unsur diri sendiri dan unsur dari klien. Menurut Nasir et al (2009) dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang dipelajari dari diri sendiri adalah Pengetahuan yang dimiliki yang terkait dengan penyakit dan masalah klien, kecemasan dan kekalutan diri, analisis kekuatan diri, dan waktu pertemuan baik saat pertemuan maupun lama pertemuan. Sedangkan, hal-hal yang perlu dipelajari dari unsur klien adalah perilaku klien dalam menghadapi penyakitnya, adat istiadat, dan tingkat pengetahuan.

Pada tahap perkenalan atau orientasi, perawat memulai kegiatan yang pertama kali dimana perawat bertemu pertama kali dengan klien. Kegiatan yang dilakukan adalah memperkenalkan diri kepada klien dan keluarga bahwa saat ini yang menjadi perawat adalah dirinya. Menurut Suryani (2006), Tugas perawat pada tahap perkenalan adalah pertama, membina hubungan rasa saling percaya dengan menunjukan penerimaan dan komunikasi terbuka. Penting bagi perawat untuk mempertahankan hubungan saling percaya agar klien dan perawat ada keterbukaan dan saling menutup-nutupi. Kedua, memodifikasi lingkungan yang kondusif dengan peka terhadap respon klien

(5)

dan menunjukan penerimaan, serta membantu klien mengekspresikan perasaan dan pikirannya.

Menurut Nasir et al (2009), Perawat dituntut mampu membuat suasana tidak terlalu formal sehingga suasana tidak terkesan tegang dan tidak bersifat menginterograsi. Lingkungan yang kondusif membantu klien bisa berpikir jernih dan mengutarakan keluhan yang diderita secara terbuka, lengkap sistematis, dan objektif. Tugas perawat yang ketiga pada tahap perkenalan adalah membuat kontrak dengan klien. Menurut Suryani (2006) Kontrak harus disetujui bersama dengan klien antara lain, tempat, waktu pertemuan, dan topik pembicaraan. Dan, tugas yang keempat pada tahap ini, perawat menggali keluhan-keluhan yang dirasakan oleh klien dan divalidasi dengan tanda dan gejala yang lain, maka dari itu perawat perlu mendenarkan secara aktif untuk mengumpulkan data tersebut.

Perawat dituntut memiliki keahlian yang tinggi dalam menstimulasi klien maupun keluarga agar mampu mengungkapkan keluhan yang dirasakan secara lengkap dan sistematis serta objektif. Keahlian yang harus dimiliki perawat adalah terkait dengan teknik komunikasi agar klien mengungkapkan keluhannya dengan sebenarnya tanpa dututup-tutupi ataupun diada-adakan sehingga mengacaukan rencana tindakan keperawatan.

Pada Tahap Kerja, biasanya merupakan tahap yang paling lama diantara tahap-tahap lain. Pada tahap ini, perawat dan klien bertemu untuk menyelesaikan masalah dan membentuk hubungan yang saling menguntungkan secara profesional, yaitu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tugas perawat pada fase ini adalah memenuhi kebutuhan dan mengembangkan pola-pola adaptif klien, memberi bantuan yang dibutuhkan

(6)

pasien, mendiskusikan dengan klien teknik-teknik untuk mencapai tujuan. Selain sebagai pemberi pelayanan, peran perawat sebagai pengajar dan konselor sangat diperlukan pada fase ini. Peran ini meliputi upaya meningkatkan motivasi klien untuk mempelajari dan melaksanakan aktivitas peningkatan kesehatan, untuk mengikuti program pengobatan dokter, dan untuk mengekspresikan perasaan/pengalaman yang berhubungan dengan masalah kesehatan dan kebutuhan perawatan yang terbentuk, contohnya memberikan pengajaran tentang diet yang harus dipatuhi pasien dengan hemodialisa. Interaksi yang memuaskan akan menciptakan situasi suasana yang meningkatkan integritas klien dengan meminimalkan ketakutan, kecemasan, ketidakpercayaan, dan tekanan pada klien (Tamsuri, 2005)

Tahap terakhir pada komunikasi terapeutik adalah tahap terminasi. Tahap terminasi dimulai ketika klien dan perawat memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan klien. Menurut Tamsuri (2005), tahap terminasi dibagi menjadi dua yaitu terminasi hubungan yang temporer, terjadi ketika perawat dan klien harus berpisah pada akhir shift perawat, sementara terminasi scara permanen dilakukan ketika klien telah sembuh (tujuan telah tercapai) atau dipindah ke unit lain atau ketika perawat pindah ke unit lain sehingga tidak memungkinan lagi pertemuan dengan klien dalam situasi profesional. Tugas perawat pada tahap ini menurut Suryani (2005) adalah mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan, menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan dan membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya.

(7)

5. Hal-hal yang Harus diperhatikan Perawat dalam Komunikasi Terapeutik.

Dalam melakukan komunikasi terapeutik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan perawat, antara lain sikap perawat dalam melakukan hubungan, materi hubungan dan teknik komunikasi terapeutik.

Seorang perawat perlu memperhatikan sikap tertentu untuk melakukan komunikasi terapeutik. Egan dalam Kozier (1983) mengidentifikasi lima sikap atau cara menghadirkan diri secara fisik untuk memfasilitasi komunikasi terapeutik, yaitu Berhadapan, posisi berhadapan menunjukan/memberi isyarat ”saya siap untuk anda”. Posisi yang tidak lurus menghadap wajah klien menunjukan keterlibatan yang kurang. Mempertahankan kontak mata, kontak mata sejajar menunjukan perawat menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. Membungkuk ke arah klien, posisi membungkuk ke arah klien memberi makna ada keinginan untuk mengatakan atau mendengarkan sesuatu. Mempertahankan postur terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukan keterbukaan untuk berkomunikasi.

Jarak yang terbentuk antara perawat dan klien menunjukan juga keintiman dan keterbukaan sikap dalam hubungan yang terbentuk antara perawat dan klien. Hall dalam kozier (1995) menyatakan bahwa hubungan intim berjarak dari nol (kontak tubuh) sampai 45 cm. Hubungan personal memiliki jarak antar individu antara 45-120 cm, hubungan sosial dalam jarak antara 1,2-3,6 meter, dan hubungan publik dengan jarak antarpersonal lebih dari 3,6 meter.

(8)

Lebih jauh, keintiman juga tercermin dari sentuhan tubuh, kemampuan merasakan bau tubuh, dan kehangatan suhu tubuh individu lain, serta frekuensi dan kualitas kontak mata terbentuk. Dan sikap yang yang terakhir yaitu rileks, sikap rileks menciptakan iklim kondusif bagi klien untuk tetap melakukan komunikasi dan memungkinkan pengembangan komunikasi. Situasi yang rileks tercipta melalui posisi tubuh yang digunakan selama komunikasi, intonasi pembicaraan, dan penggunaan kata-kata yang tepat atau mengandung humor. Pemilihan kata juga penting untuk menimbulkan kesan rileks bagi klien. Situasi rileks penting bagi klien untuk meningkatkan kepercayaan dan keterbukaan diri dengan perawat tetap mempertahankan kesan profesional.

Saat melakukan hubungan terapeutik, materi hubungan juga harus diperhatikan perawat. Materi dalam komunikasi terapeutik diorientasikan untuk mencapai tujuan hubungan. Isi (content) komunikasi yang dilakukan antara perawat dan klien dilakukan sesuai kontrak yang telah dibuat antara klien dan perawat sehingga nilai-nilai hubungan profesional tetap terjaga (Tamsuri, 2005).

Kemudian yang tidak kalah pentingnya harus diperhatikan adalah komunikasi terapeutik Sebagaimana penjelasan bahwa hubungan yang terbentuk antara perawat dan klien selalu memerlukan komunikasi dan mengacu pada pemahaman bahwa komunikasi merupakan salah satu sarana untuk membina hubungan profesional antara perawat dan klien, penting kiranya seorang perawat memiliki keterampilan berkomunikasi supaya komunikasi yang dilakukan berguna untuk mempertahankan hubungan perawat-klien, mempengaruhi prilaku klien menuju pola-pola kesehatan,

(9)

miningkatkan integritas klien, dan akhirnya menimbulkan efek mengatasi masalah klien (Tamsuri, 2005).

6. Teknik-teknik komunikasi Terapeutik

Tiap klien tidak sama oleh karena itu diperlukan penerapan teknik berkomunikasi yang berbeda pula. Berikut ini adalah teknik komunikasi berdasarkan referensi dari Tamsuri (2005)

a. Diam, yaitu tenang, tidak melakukan pembicaraan selama beberapa detik atau menit

b. Mendengar adalah proses aktif penerimaan informasi dan penelaah reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima

c. Menghadirkan topik pembicaraan yang umum adalah dengan menggunakan pernyataan atau pertanyaan yang mendorong klien untuk berbicara, memilih topik pembicaraan dan memfasilitasi kelanjutan pembicaraan.

d. Menspesifikan adalah membuat pernyataan yang lebih spesifik dan tentatif

e. Menggunakan pertanyaan terbuka adalah menanyakan sesuatu yang bersifat luas, yang memberi klien kesempatan untuk mengeksplorasi (mengungkapkan, klarifikasi, menggambarkan, membandingkan, atau mengilustasikan)

f. Sentuhan adalah melakukan kontak fisik untuk meningkatkan kepedulian

(10)

g. Mengecek persepsi atau memvalidasi adalah metode yang sama dengan klarifikasi, tetapi pengecekan dilakukan terhadap kata-kata khusus yang disampaikan klien

h. Menawarkan diri adalah menawarkan kehadiran, perhatian, dan pemahaman tentang sesuatu

i. Memberi informasi adalah memberi informasi faktual secara spesifik tentang klien walaupun tidak diminta. Apabila tidak mengetahui informasi yang dimaksud, perawat menyatakan ketidaktahuannya dan menanyakan orang yang dapat dihubungi untuk mendapatkan informasi.

j. Menyatakan kembali dan menyimpulkan adalah secara aktif mendengarkan pesan utama yang disampaikan klien dan kemudian menyampaikan kembali pikiran dan perasaan itu dengan menggunakan kata-kata serupa.

k. Mengklarifikasi adalah metode membuat inti seluruh pesan dari pernyataan klien lebih dimengerti. Klarifikasi dapat dilakukan bila perawat tidak dapat menyatakan kembali. Perawat dapat melakukan klarifikasi dengan menyatakan kembali pesan dasar/meminta klien mengulang atau meyatakan kembali pesan yang disampaikan

l. Refleksi adalah mengembalikan ide, perasaan, pertanyaan kepada klien untuk memungkinkan eksplorasi ide dan perasaan mereka terhadap situasi.

m. Menyimpulkan dan merencanakan adalah menyatakan poin utama dalam diskusi untuk mengklarifikasi hal-hal relevan yang perlu didiskusikan. Teknik ini berguna pada akhir wawancara atau

(11)

mengevaluasi penguasaan klien terhadap program pengajaran kesehatan. Teknik ini sering digunakan pada pendahuluan untuk menentukan rencana perawatan berikutnya.

n. Menyatakan realitas adalah membantu klien membedakan antara yang nyata dan yang tidak nyata

o. Pengakuan adalah memberi komentar dengan teknik tidak menghakimi terhadap perubahan perilaku seseorang atau usaha yang telah dilakukan

p. Klarifikasi waktu adalah membantu klien mengklarifikasi waktu atau kejadian, situasi, kejadian dan hubungan antara peristiwa dan waktu. q. Memfokuskan adalah membantu klien mengembangkan topik yang

penting. Penting bagi perawat untuk menunggu klien beberapa saat tentang tema apa yang mereka sampaikan (perhatikan) sebelum memfokuskan pembicaraan.

7. Komunikasi Terapeutik Pada Ibu Melahirkan

Langkah – langkah komunikasi terapeutik kebidanan pada ibu melahirkan a. Menjalin hubungan yang mengenakkan (rapport) dalam klien.

b. Bidan menerima klien apa adanya dan memberikan dorongan verbal yang positif.

c. Kehadiran

Merupakan bentuk tindakan yang meliputi mengatasi semua kekacauan/ kebingungan, memberikan perhatian total pada klien. Dalam hal ini pendampingan klien difokuskan secara fisik dan pisikologis.

(12)

d. Mendengarkan

Bidan selalu mendengarkan dan memperhatikan keluhan klien. e. Sentuhan dalam Pendampingan Klien yang bersalin

f. Bidan memberi rasa nyaman dan dapat membantu relaksasi, misalnya ketika kontraksi pasien merasa kesakitan, bidan memberikan sentuhan pada daerah pinggang klien sehingga pasien merasa nyaman.

g. Memberikan Informasi Tentang Kemajuan Persalinan

Merupakan upaya untuk memberi rasa percaya diri klien, bahwa klien dapat menyelesaikan persalinannya.

h. Memandu Persalinan dengan memandu

Misalnya bidan menganjurkan kepada klien untuk meneran pada saat his berlangsung.

i. Mengadakan kontak fisik dengan klien

Misalnya menyeka keringat mengipasi, memeluh klien, menggosok punggung klien.

j. Memberikan pujian kepada klien atas usaha yang telah dilakukannya Misalnya Bidan mengatakan : “ Bagus Ibu, pintar sekali menerannya” k. Memberikan ucapan selamat kepada klien atas kelahiran bayinya dan

mengatakan ikut berbahagia. C. Nyeri

1. Pengertian Nyeri

Menurut Smeltzer, Suzanne C, (2001) nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak

(13)

proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun.

2. Intensitas Nyeri

Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada Skala verbal tidak ada nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri hebat, nyeri sangat hebat, nyeri paling hebat.

Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi di sepanjang rentang tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan "tidak ada" atau "tidak nyeri," sedangkan ujung kanan biasanya menandakan "berat" atau "nyeri yang paling buruk." Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakan sepanjang garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis dari "tidak ada nyeri" diukur dan ditulis dalam centimeter.Dalam kasus ini pasien dapat ditanya: "Pada skala dari nol sampai dengan sepuluh, nol 'tidak ada nyeri' dan sepuluh 'nyeri paling buruk yang dapat terjadi,' seberapa berat nyeri yang anda rasakan saat ini?" Pasien biasanya dapat berespons tanpa kesulitan. Jika mungkin, perawat dapat menunjukkan kepada pasien bagaimana skala nyeri bekerja sebelum nyeri terjadi (Smeltzer, 2002).

(14)

D. Nyeri Persalinan

1. Pengertian Nyeri Persalinan

Nyeri persalianan merupakan rasa sakit yang ditimbulkan saat persalinan mulai berlangsung yang dimulai dari kala I persalinan, rasa sakit terjadi karena adanya aktifitas besar di dalam tubuh ibu guna mengeluarkan bayi, semua ini terasa menyakitkan bagi ibu. Rasa sakit kontraksi dimulai dari bagian bawah perut, mungkin juga menyebar ke kaki, rasa sakit dimulai seperti sedikit tertusuk, lalu mencapai puncak. Sebahagian ibu merasakannya seperti kram haid yang parah. Ada juga yang merasakannya seperti gangguan saluran pencernaan atau mulas diare. Kejadian itu terjadi ketika otot-otot rahim berkontraksi untuk mendorong bayi keluar dari dalam rahim ibu ( Danuatmaja, 2004).

Nyeri merupakan kondisi perasaan yang tidak menyenangkan. Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun. Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Bare dan Smeltzer, 2001). Menurut Telfer (1997), nyeri merupakan fenomena multifaktorial, yang subjektif, personal, dan kompleks yang dipengaruhi oleh faktor psikologis, biologis, sosial budaya, dan ekonomi (Fraser, D. M., dan Cooper, M. A., 2009).

(15)

2. Fisiologi Persalinan

Rasa nyeri pada kala I disebabkan oleh munculnya kontraksi otot-otot uterus, peregangan serviks pada waktu membuka, iskemia rahim (penurunan aliran darah sehingga oksigen lokal mengalami defisit) akibat kontraksi arteri miometrium. Impuls nyeri ditransmisikan oleh segmen saraf spinalis T11-12 dan saraf-saraf asesori torakal bawah serta saraf simpatik lumbar atas. Saraf-saraf ini berasal dari korpus uterus dan serviks. Ketidaknyamanan dari perubahan serviks dan iskemia uterus adalah nyeri viseral yang berlokasi di bawah abdomen menyebar ke daerah lumbar punggung dan menurun ke paha. Biasanya nyeri dirasakan pada saat kontraksi saja dan hilang pada saat relaksasi. Nyeri bersifat lokal seperti kram, sensasi sobek dan sensasi panas yang disebabkan karena distensi dan laserasi serviks, vagina dan jaringan perineum.

Setiap wanita memiliki reaksi yang berbeda-beda dalam menghadapi persalinan. Respon ini sifatnya sangat individual dan tergantung pada kepribadian, kondisi ekonomi serta tingkat pemahaman pasien, latar belakang kultural, keluarga serta pendidikan dan pengalaman sebelumnya. Wanita yang menjalani persalinan normal dengan pendidikan dan persiapan yang baik, perawatan preventif yang cermat, dukungan serta pendampingan oleh bidan yang kompeten dan dengan analgesia yang tepat waktu serta indikasinya, cenderung untuk memberikan pengalaman persalinan yang ”baik” (Hellen Farrer, 1996).

Rasa nyeri memiliki 3 komponen: a. Stimulus-Penyebab nyeri

(16)

c. Reaksi-bagaimana seseorang menginterpretasikan nyeri dan bereaksi terhadap nyeri tersebut.

Rasa nyeri persalinan dapat dikurangi baik itu menggunakan metode farmakologik maupun nonfarmakologik yang mana terkait dengan 3 tujuan dasar pengurangan nyeri dalam persalinan yaitu mengurangi perasaan nyeri dan tegang, sementara pasien dalam keadaan terjaga seperti yang dikehendakinya, menjaga agar pasien dan janinnya sedapat mungkin terbebas dari efek depresif yang ditimbulkan oleh obat serta yang ketiga adalah mencapai tujuan ini tanpa mengganggu kontraksi otot rahim (Hellen Farrer, 1996).

3. Klasifikasi Nyeri

Nyeri secara umum terdiri dari nyeri akut dan nyeri kronis. (a) Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang, tidak melebihi 6 bulan, dan ditandai adanya peningkatan tegangan otot dan cemas, (b) Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan – lahan biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih dari 6 bulan meliputi nyeri terminal, sindrom nyeri kronis dan psikosomatik.

Selain klasifikasi nyeri di atas, terdapat jenis nyeri yang spesifik, di antaranya (a) Nyeri somatic dan visceral yaitu bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit (supervisial) pada otot dan tulang. Nyeri somatic dan visceral berbeda karakteristiknya terutama kualitas nyeri, lokalisasi, sebab-sebabnya, dan gejala yang menyertainya, (b) Nyeri menjalar (Referrent pain) dimana nyeri terasa pada daerah lain daripada yang mendapat ransang, misalnya pada serangan jantung akan mengeluh nyeri yang menjalar kebawah lengan kiri sedangkan jaringan yang rusak terjadi pada miokardium, (c) Nyeri

(17)

psikogenik yaitu nyeri yang tidak diketahui secara fisik, biasanya timbul dari pikiran pasien atau psikologis, (d) Nyeri phantom dari ektremitas yaitu nyeri pada salah satu ekstremitas yang telah diamputasi, (e) Nyeri neurologis yang timbul dalam berbagai bentuk, dimana neuralgia adalah nyeri yang tajam (Bare, B. G., dan Smeltzer, S. C., 2001)

4. Penatalaksaan Nyeri

Rasa sakit yang dialami ibu selama proses persalinan sangat bervariasi tingkatannya. Untuk itu perlu dukungan selama persalinan untuk mengurangi rasa nyeri selama proses persalinan. Penny simpkin (2007) mengatakan cara untuk mengurangi rasa sakit ini ialah : mengurangi sakit langsung dari sumbernya, memberikan ransangan alternatif yang kuat, mengurangi reaksi mental negatif, emosional dan fisik ibu terhadap rasa sakit. Pendekatan pengurangan rasa nyeri persalinan dapat dilakukan dengan pendekatan farmakologis dan nonfarmakologis.

Manajemen secara farmakologis adalah dengan pemberian obat-obatan sedangkan nonfarmakogis tanpa obat-obatan. Cara farmakologis adalah dengan pemberian obat-obatan analgesia yang bisa disuntikan melalui infus intravena yaitu saraf yang mengantar nyeri selama persalinan. Tindakan farmakologis masih menimbulkan pertentangan karena pemberian obat selama persalinan dapat menembus sawar plasenta, sehingga dapat berefek pada aktifitas rahim. Efek obat yang diberikan kepada ibu terhadap bayi dapat secara langsung maupun tidak langsung(Mander, 2005).

Manajemen secara nonfarmakologis sangat penting karena tidak membahayakan bagi ibu maupun janin, tidak memperlambat persalinan jika diberikan kontrol nyeri yang kuat, dan tidak mempunyai efek alergi maupun

(18)

efek obat. Banyak teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri selama kala I meliputi, relaksasi, akupresur, kompres dingin atau hangat, terapi musik, hidroterapi dan masase (Mander, 2005).

Gambar

Gambar 2.1. Skala Nyeri Wong

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan Dengan Peneliti Penelitian ini memfokuskan pada komunikasi terapeutik antara perawat dan pasien, sedangkan penelitian peneliti memfokuskan komunikasi

Komunikasi perawat-klien adalah proses pengiriman atau pertukaran informasi dan pesan dari perawat ke pasien atau sebaliknya baik secara verbal maupun non verbal

Hal ini menjadi tanggung jawab account executive kepada klien atau pemasang iklan, dan yang tidak kalah pentingnya seorang account executive bertanggung jawab

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan motivasi intrinsik dengan penerapan komunikasi terapeutik oleh perawat pada pasien rawat inap kelas III RSUD

Komunikasi dalam keperawatan disebut juga dengan komunikasi terapeutik, yang merupakan komunikasi yang dilakukan perawat pada saat melakukan intervensi keperawatan sehingga

Pada fase ini perawat dapat menunjukkan sikap caring dengan memberikan informasi yang dibutuhkan klien, melakukan tindakan yang sesuai dan menggunakan teknik komunikasi

Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik. Tahap ini perawat bekerja sama dengan pasien untuk mengatasi masalah yang dihadapi

2.5 Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan Kecemasan Saat Hospitalisasi Rawat inap atau hospitalisasi pada anak dapat menimbulkan kecemasan, ketakutan dan cemas pada semua