• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN HASIL PENELITIAN MANDIRI PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA MAJIKAN YANG MEMPERDAGANGKAN ANAK BEKERJA SEBAGAI PEMBANTU RUMAH TANGGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "LAPORAN HASIL PENELITIAN MANDIRI PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA MAJIKAN YANG MEMPERDAGANGKAN ANAK BEKERJA SEBAGAI PEMBANTU RUMAH TANGGA"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN HASIL PENELITIAN MANDIRI

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA MAJIKAN YANG

MEMPERDAGANGKAN ANAK BEKERJA SEBAGAI

PEMBANTU RUMAH TANGGA

Oleh :

Galuh Lintang Taslim, S.H., M.Si, M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DR. SOETOMO

Jl. Semolowaru No. 84 Surabaya

(2)

ii c. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum ... d. Analisa Bahan Hukum ...

BAB II PENGATURAN TENTANG PERLINDUNGAN

ANAK DI INDONESIA ... 1. Ruang Lingkup Perlindungan Terhadap Anak .

(3)

BAB III KRITERIA PERBUATAN MELAWAN HUKUM MAJIKAN YANG MEMPERDAGANGKAN ANAK SEBAGAI PEMBANTU RUMAH TANGGA ... 1. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 2. Tindak Pidana Perdagangan Orang ... BAB IV SANKSI YANG BISA DITERAPKAN KEPADA

MAJIKAN YANG MEMPERDAGANGKAN ANAK SEBAGAI PEMBANTU RUMAH TANGGA ... 1. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku yang Melacurkan Anak ... 2. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku yang Melacurkan

Anak ... BAB V PENUTUP... 1. Kesimpulan... 2. Saran... DAFTAR BACAAN

21 21 31

39

39

47 57 57 58

(4)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Permasalahan

Pasal 27 Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, yang berarti bahwa tidak terdapat suatu perbedaan baik ditinjau dari

jenis kelamin maupun status sosial seseorang di hadapan hukum. Perlakuan yang sama dalam bidang hukum tanpa membedakan status sosial nampak adanya suatu perlakuan yang sama antara majikan dengan pembantu rumah tangga dalam lingkup hukum. Perihal pembantu rumah tangga, tidak terdapat suatu pengertian yang jelas, karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembantu rumah tangga. Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur mengenai kenagakerjaan, yang di dalamnya tidak menyinggung mengenai ketenagakerjaan termasuk pembantu rumah tangga.

(5)

daya realitasnya di Indonesia. Pembantu tidak bisa disamakan dengan buruh yang merupakan kelas paling bawah dalam sistem ekonomi dan sosial di Indonesia, kehadirannya secara sosial kaum pembantu ini ibarat udara ia tidak kelihatan tapi bisa dirasakan dan sangat penting. Belum pernah sepanjang sejarahnya pembantu rumah tangga di Indonesia membentuk asosiasi profesi. Pembantu memiliki pengaruh sosial yang luar biasa dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, ini bisa dilihat dari beragam nama yang dinisbahkan pada kaum pembantu ini, dari mulai Babu, Bedinde, Batur, Jongos, Kacung sampai Pembokat. Budaya lokal yang paling banyak memanfaatkan tenaga pembantu adalah Budaya Jawa. Itu tak lepas dari struktur priyayi. Dalam budaya Jawa dikenal istilah Magersari dan Ngenger. Magersari adalah sekelompok masyarakat yang tinggal di lahan milik priyayi kemudian juga bekerja pada Priyayi itu sementara Ngenger adalah bekerja secara ikhlas dan tidak bayar kepada suatu rumah tangga orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi secara martabat, derajat dan pangkat dibanding dirinya.1 Anggapan terjadinya suatu perbedaan derajat dan pangkat inilah sering terdengar pembantu dijadikan sasaran pelampiasan kemarahan, sehingga sering diberitakan pembantu rumah tangga dianiaya dan lain sebagainya bahkan dilacurkan.

Pada perkembangan berikutnya dalam upaya memberikan perlindungan kepada pembantu rumah tangga, pembantu rumah tangga dimasukkan dalam lingkup keluarga dari majikannya, yang nampak dari ketentuan pasal 2 ayat (1) UUKDRT.

1 www.rajawana.com. Saat sekarang pembantu merupakan tenaga kerja yang terabaikan dan

(6)

Kenyataan yang terjadi pembantu rumah tangga yang usianya kurang dari 18 tahun yang semula oleh majikannya diberi pekerjaan untuk mengasuh anak majikan yang kemudian dilacurkan, oleh Penyidik maupun jaksa penuntut umum pelaku (majikan) tersebut dijerat menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat UU No. 23 Tahun 2002) sebagaimana kasus di bawah ini.

(7)

karena Siti Hotimah alias Sinta alias Rini binti Suprayitno tidak betah dan mendapat kabar bahwa Poniyem yang merupakan nenek saksi korban sakit, akhirnya Siti Hotimah alias Sinta alias Rini binti Suprayitno pulang kembali ke Lubuk Linggau, dan sekira bulan Mei 2006 Siti Hotimah alias Sinta alias Rini binti Suprayitno yang sedang main ke rumah Mariana kembali dijemput oleh Huzaimah alias Nani Huzaimah alias Nani binti Dungcik dan saksi Alfian bin Ismail, untuk dipekerjakan kembali di Jambi sebagai pengasuh anak Huzaimah alias Nani, dan saksi korban menyanggupi ajakan Huzaimah alias Nani tersebut, selanjutnya saksi korban langsung pergi bersama Huzaimah alias Nani dan saksi Alfian ke Jambi tanpa ijin terlebih dahulu dengan Poniyem, dan sesampainya Siti Hotimah alias Sinta alias Rini binti Suprayitno di rumah Huzaimah alias Nani di Jl. Syailendra Gg. 8 Rt. 05 Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kota Baru, Kota Jambi Siti Hotimah alias Sinta alias Rini binti Suprayitno tidak dipekerjakan sebagai pengasuh anak melainkan menjadi Wanita Tuna Susila (WTS) di Cafe Leo 88 milik Huzaimah alias Nani.2

Apabila memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa pelaku yang memperlakukan pembantu rumah tangga tersebut dapat dikualifikasikan telah melakukan tindak pidana yaitu melakukan satu tindak pidana naming melanggar beberapa peraturan perundang-undangan di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Penghapusan

(8)

Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Berdasarkan uraian sebagaimana di atas, maka yang dipermasalahkan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana pengaturan tentang perlindungan anak di Indonesia ?

b. Bagaimana kriteria perbuatan melawan hukum majikan yang memperdagangkan anak yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga ? c. Bagaimana sanksi yang bisa diterapkan kepada majikan yang

memperdagangkan anak yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga ? Penelitian berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Majikan yang Memperdagangkan Anak yang Bekerja Sebagai Pembantu Rumah Tangga”, dijelaskan artinya sebagai berikut:

Pertanggungjawaban Pidana menurut Moeljatno dikemukakan sebagai berikut:

Kejahatan atau “rechtsdeliten” adalah perbuatan yang meskipun tidak ditentukan

dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran atau “wetsdeliktern” yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.3

Pelaku tindak pidana dapat dikenakan sanksi pidana jika memenuhi keseluruhan unsur-unsur pidana yang didakwakan dan dapat dipertanggung jawabkan pidana. Sedangkan jika pelaku tidak memenuhi salah satu unsur mengenai

(9)

pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dipidana. Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah:

1) melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana; 2) untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab;

3) mempunyai suatu bentuk kesalahan; 4) tidak adanya alasan pemaaf.4

Majikan adalah orang yang memberi pekerjaan.5 Jadi yang dimaksud majikan adalah dapat berbentuk orang perseorangan yang menjalankan usaha dalam lingkup rumah tangga sebagai miliknya sendiri.

Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2007 menentukan sebagai berikut: Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Pembantu rumah tangga maksudnya orang yang membantu pada suatu keluarga atau rumah tinggal.

4Ibid., h. 164.

5W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h.

(10)

Anak menurut pasal 1 Konvensi Hak-hak Anak menentukan yang dimaksud anak dalam Konvensi ini adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal, sedangkan menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat UU No. 23 Tahun 2002) menentukan: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Pada pasal 47 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa: “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan

belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Dengan demikian

disebut sebagai anak jika usianya kurang dari 18 tahun.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2007, perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

2. Tujuan Penelitian

(11)

b. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang kreteria perbuatan melawan hukum majikan yang memperdagangkan anak bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

c. Untuk menganalisis sanksi yang bisa diterapkan kepada majikan yang memperdagangkan anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Agar dapat memberikan kejelasan dalam pemahaman permasalahan, maka pendekatan terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini, menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu suatu cara pendekatan pemecahan permasalahan dengan berdasarkan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terutama yang berkaitan dengan permasalahan serta menjacari jawaban dari permasalahan tersebut.

Adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah sebagai berikut :

(12)

2) Sumber bahan hukum sekunder yaitu sumber bahan yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mempelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan serta karya ilmiah dari para ahli hukum.

c. Prosedur Pengumpulan dan pengolahan bahan hukum.

Langkah pertama adalah mengumpulkan bahan hukum yang berhubungan dengan praktik perdagangan anak. Bahan tersebut dikelompokkan sesuai dengan permasalahan dan disusun serta ditelaah sehingga dapat menjadi sumber yang dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan rumusan masalah.

Pengolahan bahan hukum menggunakan cara kualitatif dengan melakukan identifikasi dan inventarisasi secara kritis, yang selanjutnya melalui proses klasifikasi akan dianalisis.

d. Analisis bahan hukum.

(13)

12

BAB II

PENGATURAN TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA

1. Ruang Lingkup Perlindungan Terhadap Anak

Perlindungan anak menurut pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 adalah sebagai berikut : “Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan

hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Mengenai perlindungan anak ini, Arif Gosita mengartikan perlindungan anak sebagai berikut : “Hukum perlindungan anak sebagai

hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya”.6

Menyinggung ruang lingkup perlindungan anak, Irma Setyowati Soemitro mengemukakan sebagai berikut :

Ditinjau secara garis besar, maka dapat disebutkan bahwa perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 pengertian, ialah:

a. Perlindungan yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan dalam: 1. bidang hukum publik;

2. bidang hukum keperdataan.

b. Perlindungan yang yang bersifat non yuridis, meliputi: 1. bidang sosial;

2. bidang kesehatan; 3. bidang pendidikan.7

6Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika, Jakarta, 1985, h. 53.

7Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 2001,

(14)

Ruang lingkup perlindungan anak sebagaimana di atas meliputi semua aturan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mempunyai dampak langsung bagi kehidupan anak, karena menyangkut perlindungan secara yuridis maupun non yuridis.

Perlindungan anak yang bersifat yuridis di bidang hukum publik menyangkut hak-hak anak pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, sedangkan bidang hukum perdata berhubungan dengan hak-hak anak sebagai pribadi yaitu hak anak atas kesejahteraan anak. Mengenai perlindungan yang bersifat non yuridis di antaranya bidang sosial berhubungan dengan perlindungan anak untuk bermasyarakat atau bersosial. Bidang kesehatan berhubungan dengan perlindungan atas kesehatan anak baik jasmani maupun rohani serta agama, sedangkan bidang pendidikan meliputi hak anak untuk mendapatkan pengajaran baik secara reguler maupun non reguler.

Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

(15)

tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangaannya secara optimal dan terarah. Menurut Arif Gosita bahwa: “Perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak tersebut. Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diingini dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak”.8

Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan

(16)

sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Hal sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa perlindungan hukum terhadap anak diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, di antaranya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

2. Tindak Pidana Dalam Lingkup UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak

Sebagaimana dikemukakan oleh Sianturi dalam mengartikan tindak pidana berasal dari istilah Belanda “strafbare feid”, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia:

a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum; b. Peristiwa pidana;

c. Perbuatan pidana dan tindak pidana.9

Mengenai “strafbare feid” ini, Moeljatno menggunakan istilah perbuatan

pidana yang diartikan sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut".10 Hal ini berarti bahwa perbuatan yang

9Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Alumni

AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1986, h. 204.

(17)

dilarang disertai dengan sanksi pidana bagi pelakunya adalah yang berkaitan dengan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum dan suatu yang membahayakan kepentingan hukum.

Perihal hukum pidana itu sendiri, Moeljatno mengemukakan:

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan-larangan tersebut;

2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

3) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut.11

Apabila diperhatikan pendapat Moeljatno di atas dapat dijelaskan bahwa perbuatan pidana merupakan salah satu bagian yang dipelajari dalam hukum pidana. Karena hukum pidana tidak hanya memberikan pengertian tentang perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut, melainkan juga mencakup hal berkaitan dengan pengenaan pidana dan cara bagaimana pidana tersebut dapat dilaksanakan. Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatannya, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau perbuatan seseorang. Sedangkan ancaman pidananya atau sanksinya ditujukan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana yang biasanya disebut dengan perkataan

(18)

"barangsiapa" yaitu pelaku perbuatan pidana sebagai subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban dalam bidang hukum.

Barang siapa ditujukan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan kesalahan. Perihal kesalahan dapat dilakukan atas dasar kesengajaan dan karena kelalaiannya. Kesengajaan merupakan perbuatan manusia mempunyai kesalahan, terdapat dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno terdiri dari tiga corak, yaitu:

1) kesengajaan dengan maksud (dolus derictus); 2) kesengajaan sebagai kepastian, keharusan, dan

3) kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).12

Pelaku melakukan perbuatan pidana, baik disebabkan karena

kesengajaan maupun karena kelalaiannya. Dengan sengaja menurut Moeljatno mengemukakan sebagai berikut:

1. Kesengajaan sebagai maksud yakni si pembuat meng-hendaki adanya akibat yang dilarang dari perbuatannya.

2. kesengajaan sebagai kepastian, yaitu si pembuat hanya dapat mencapai tujuan dengan melakukan perbuatan lain dan perbuatan tersebut juga merupakan perbuatan yang dilarang.

3. kesengajaan sebagai kemungkinan, yaitu si pembuat mengetahui adanya kemungkinan terjadinya tindak pidana lain, namun tidak menghalangi maksud dari si pembuat untuk melakukan perbuatannya.13

12Ibid., h. 177.

(19)

Sehubungan dengan kesengajaan sebagai suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, dibedakan antara sifat melawan hukum formal dan sifat melawan hukum yang materiil. Sifat melawan hukum formal, apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukum perbuatan sudah nyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Sedangkan sifat melawan hukum yang materiil berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, di samping undang-undang-undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.14 Sehubungan dengan sifat melawan hukum formal dan meteriil, Moeljatno mengemukakan: Formeel delicht juga disebut delik dengan perumusan formil, yaitu delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang. Materieel delicht juga disebut delik dengan perumusan materiel, yaitu delik yang baru dianggap terlaksana penuh dengan timbulnya akibat yang dilarang.15

14Ibid., h. 130.

(20)

Sehubungan dengan unsur subyekti dalam tindak pidana penipuan ialah “dengan maksud untuk mengutungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum”.16 sedangkan unsur obyektifnya yaitu barang siapa. Kata “barang siapa ini

menunjukkan orang, yang apabila ia memenuhi semua unsur dari tindak pidana penipuan, maka ia dapat disebut sebagai pelaku atau dader dari tindak pidana penipuan tersebut”.17

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 15 UU No. 23 Tahun 2002 mengenai perlindungan khusus terhadap anak disebutkan bahwa perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental.

Perlindungan anak dari perdagangan dan eksploitasi seksual diatur dalam pasal 83 dan 88 UU No. 23 Tahun 2002. Pasal 83 menentukan bahwa ”Setiap orang

yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). Ketentuan pasal

16PAF. Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,

Sinar Baru , Bandunmg, 1988, h. 144.

(21)

83 diperuntukan bagi setiap orang yang terlibat perdagangan atau jual beli anak, menjual anak atau menculik anak untuk dirinya sendiri atau untuk dijual.

Pasal 88 menentukan bahwa ”Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)”. Ketentuan pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002 ditujukan kepada orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak.

(22)

21

BAB III

KRITERIA PERBUATAN MELAWAN HUKUM MAJIKAN YANG

MEMPERDAGANGKAN ANAK YANG BEKERJA SEBAGAI PEMBANTU

RUMAH TANGGA

1. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pasal 1 angka 1 UU KDRT mengartikan kekerasan sebagai berikut:

Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Kekerasan dalam rumah tangga tersebut terjadi tidak lepas adanya dua faktor, yaitu faktor ekstern dan faktor intern. Faktor eksternal. Penyebab eksternal timbulnya tindak kekerasan terhadap pihak isteri berkaitan dengan hubungan kekuasaan suami-isteri dan diskriminasi jender di kalangan masyarakat. Sedangkan faktor internal timbulnya kekerasan terhadap perempuan adalah kondisi psikis dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan. Kekerasan laki-laki terhadap perempuan dikarenakan:

a. sakit mental;

b. pecandu alkohol dan obat bius;

c. penerimaan masyarakat terhadap kekerasan; d. kurangnya komunikasi;

e. penyelewengan seks; f. citra diri yang rendah; g. frustrasi

(23)

i. kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah (pola kebiasaan turunan dari keluarga atau orang tua).18

Memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa, perbuatan kekerasan ditujukan khususnya kepada seseorang perempuan. Tindakan tersebut meliputi kekerasan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Mengenai bentuk-bentuk/Dimensi Kekerasan, mencakup:

(a) kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang, dan atau menyebabkan kematian;

(b) kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya, pada seseorang;

(c) kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual, tanpa persetujuan korban atau di saat korban tidak menghendaki; dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban; dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya;

(d) kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang; dan atau membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi; atau menelantarkan anggota keluarga;

(e) perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang adalah semua perbuatan yang menyebabkan terisolirnya seseorang dari lingkungan sosialnya, (penjelasan: di antaranya larangan ke luar rumah, larangan berkomunikasi dengan orang lain).19

18Fathul Djannah, Kekerasan terhadap Isteri, LkiS, Yogyakarta, 2003, h. 20.

19 Achie Sudiarti Luhulima, Kekerasan Terhadap Perempuan: Tinjauan Psikologi Feministik,

dalam Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif

(24)

Sedangkan Kalyanamitra mengemukakan sebagai berikut: Kekerasan dalam rumah tangga adalah:

- meninju, memukul, menampar, mendorong sampai jatuh, melemparkan sesuatu, menarik rambut, menelikung tangan dan kaki, mencekik, dan bentuk-bentuk lain serangan fisik;

- menggunakan senjata, seperti pisau makan, pisau dapur, dan tongkat; - mengancam melukai isteri/pasangan atau anak-anak;

- merusak barang-barang, seperti mebel, untuk menakut-nakuti; - perbuatan penganiayaan emosional dan mental;

- penganiayaan atau penyerangan seksual;

- mencabut hak isteri/pasangan atas keperluan pokok seperti makanan, uang, berhubungan dengan teman atau keluarga, serta melakukan intimidasi dan isolasi;

- merendahkan atau menghina isteri/pasangan dan membuatnya merasa tidak berarti;

- pembatasan ruang gerak (misalnya, dibatasi pergaulannya).20

Kekerasan fisik menurut Pasal 6 UU KDRT adalah: “Perbuatan yang

mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat”. Sedangkan mengenai luka berat tidak dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 6 UU KDRT, sehingga dianalogikan dengan pengertian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 KUHP, yaitu:

Luka berat berarti:

jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;

tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian;

kehilangan salah satu panca indera; mendapat cacat berat;

menderita sakit lumpuh;

terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

20Kalyana Mitra, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pusat Komunikasi dan Informasi

(25)

Kekerasan psikis menurut Pasal 7 UU KDRT adalah “perbuatan yang meng

-akibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang”. Kekerasan seksual menurut Pasal 8 UU KDRT adalah “setiap perbuatan yang berupa

pelecehan seksual, pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu”.

Kekerasan oleh seorang anggota rumah tangga lain terhadap anggota rumah tangga lainnya merupakan kejahatan hak asasi manusia, kejahatan terhadap eksistensi kemanusiaan, serta merupakan suatu bentuk diskriminasi. Penganiayaan terhadap sesama anggota rumah tangga sering terjadi dalam rumah tangga, padahal anggota rumah tangga mempunyai hak atas rasa aman dan mendapat perlindungan dari ancaman ketakutan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia berdasarkan asas-asas penghormatan terhadap anggota rumah tangga. Kasus kekerasan dalam rumah tangga pada kenyataannya banyak terjadi, namun sistem hukum dan sosial budaya yang ada tidak menjamin perlindungan terhadap anggota rumah tangga sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup dalam lingkup rumah tangga dan korbannya dalam lingkup rumah tangga itu sendiri.

(26)

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah);

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah);

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) Bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Sebagaimana Konsideran huruf c UU No. 23 Tahun 2004, bahwa “korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan”, yang berarti bahwa perempuan

yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat.

Mengenai perlindungan terhadap korban kekerasan dalam keluarga, di dalam UU No. 23 Tahun 2004 diatur mulai dari pasal 16 sampai dengan pasal 38 UU No. 23 Tahun 2004.

(27)

1) bentuk perlindungan terhadap korban, dan 2) permohonan perintah perlindungan.

Bentuk perlindungan terhadap korban diawali dari ketentuan pasal 16 UU No. 23 Tahun 2004 yang menentukan sebagai berikut:

(1) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga,

kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. (2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.

(3) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Pihak kepolisian setelah mendapat laporan ada kekerasan dalam rumah tangga 1 x 24 jam wajib segera memberikan perlindungan sementara kepada korban. Perlindungan sementara diberikan untuk waktu paling lama 7 hari, perlindungan sementara tersebut didasarkan atas penetapan dari pengadilan.

Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan: “Kepolisian wajib memberikan

keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan”. Selama dalam perlindungan sementara tersebut, pihak kepolisian

memberikan keterangan mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan.

Pasal 19 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan: “Kepolisian wajib segera

(28)

sementara, pihak kepolisian dapat mengambil tindakan melakukan penyidikan kepada pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 20 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan:

Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang: a. identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;

b. kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan

c. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.

Kekerasan dalam rumah tangga termasuk kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, sehingga korban perlu mendapatkan perlindungan.

Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan:

Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan advokat wajib :

a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak dan proses peradilan;

b. mendampingi korban di tingkat penyidikan penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau

(29)

relawan pendamping dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

Pasal 26 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan:

(1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa korban KDRT mempunyai hak-hak, di antaranya:

a. Meminta perlindungan kepada individu, kelompok atau lembaga baik swasta maupun negeri di tingkat lokal, nasional maupun internasional;

b. Melakukan upaya hukum melalui institusi pengadilan dan institusi lainnya yang ada di tingkat lokal, nasional maupun internasional;

c. Mendapatkan pelayanan darurat secara cuma-cuma dan pelayanan lainnya dengan mempertimbangkan kondisi korban;

d. Mendapatkan penanganan secara rahasia (kerahasiaan identitas);

e. Mendapatkan informasi dan terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan berkaitan dengan pendampingan dan penanganan kasus;

f. Mendapatkan jaminan atas hak-haknya yang berkaitan dengan statusnya (seperti sebagai pasangan, orang tua, anak, pekerja rumah tangga). Khusus mengenai status sebagai pasangan dalam perkawinan, berkaitan dengann pembagian harta bersama harus diputuskan berdasarkan kontribusi riil masing-masing pihak;

g. Mendapatkan pendampingan secara psikologis dan hukum yang dilakukan oleh pekerja medis dan pengacara di setiap tingkat pemeriksaann dan selama proses peradilan dilaksanakan, dimana pengacara korban KDRT dapat tampil di muka pengadilan;

h. Mendapatkan kompensasi atas kerugian-kerugian yang dialaminya; i. Mendapatkan dispensasi dari tempat kerja untuk pengurusan perkara21

21www.yahoo.com., Point-point Penting dalam Draft RUU anti KDRT, Diakses 4 Mei 2006.

(30)

Selain itu korban KDRT mempunyai hak untuk mendapat pelayanan Darurat maupun pelayanan lainnya yang dapat diperoleh korban. Pelayanan darurat meluputi:

a. Pelayanan medis berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis hasil pemeriksaan (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti);

b. Konseling krisis; c. Informasi hukum;

d. Rumah aman yang memenuhi standar;

e. Sarana transportasi segera dari rumah korban KDRT ke pusat kesehatan, tempat berlindung seperti rumah aman atau ke tempat tinggal alternatif yang sedikitnya dipenuhi oleh instansi terdekat.22

Sedangkan pelayanan lainnya yang diperoleh korban meliputi: a. Penguatan psikologis jangka panjang melalui konseling; b. Penitipan anak;

c. Tunjangan dan pemberdayaan ekonomi biaya pendidikan; d. Bantuan hukum;

e. Rujukan ke instansi-instansi yang dibutuhkan oleh korban KDRT.23 Mengenai permohonan perintah perlindungan, pasal 28 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan: “Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak

diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut”. Pasal 31 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan:

(1) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mem-pertimbangkan untuk:

a. menetapkan suatu kondisi khusus;

b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.

22Ibid.

(31)

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga

Pengadilan yang mengeluarkan penetapan atas permohonan dari pihak kepolisian tersebut, di dalam penetapannya dapat mempertimbangan mengenai kondisi khusus, mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.

Pasal 35 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan:

(1) Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas.

(2) Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.

(3) Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagiamana dimaksud ayat (1) dan ayat (2).

Pihak kepolisian diberi wewenang untuk melakukan penyidikan kepada pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, dapat mengambil tindakan melalui menangkap pelaku dan menahannya untuk pemeriksaan. Hal ini dipertagas oleh Pasal 36 UU No. 23 Tahun 2004 menentukan:

(1) Untuk memberikan perlindungan kepada korban kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan.

(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilan-jutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.

(32)

baik fisik maupun psikis terhadap pembantu rumah tangga. Majikan yang melakukan kekerasan baik fisik maupun psikis dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam UUKDRT.

2. Tindak Pidana Perdagangan Orang

UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang merupakan salah satu bentuk implementasi Protocol Palermo Tahun 2000. Menurut Pasal 3 huruf a Protocol Palermo Tahun 2000 diterjemahkan secara bebas sebagai berikut :

… rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh.

Menurut konsideran UU No. 21 Tahun 2007 bagian menimbang menentukan sebagai berikut:

(33)

Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual.

Perlunya perempuan mendapatkan perlindungan dari tindakan perdagangan dengan pertimbangan bahwa perempuan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh Undang-Undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perdagangan orang khususnya perempuan, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas. Perdagangan perempuan telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Perdagangan orang termasuk tindak pidana, sehingga kepadanya dapat dikenakan sanksi sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007, menentukan:

(34)

Memperhatikan uraian pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 di atas di dalamnya terkandung unsur-unsur:

1) tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan sebagai proses;

2) dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sebagai cara (sarana); 3) memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain

tersebut;

4) dilakukan di dalam negara maupun antar negara;

5) untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi sebagai tujuan.24

Ad. 1. Perekrutan menurut pasal 1 angka 9 UU No. 21 Tahun 2007, adalah “tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya”.

Pengangkutan adalah pembawaan barang-barang (orang-orang).25 Penampungan adalah perbuatan (menampung, menerima, menadah).26 Pengiriman menurut pasal 1 angka 10 UU No. 21 Tahun 2007 adalah

“tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain”.

24Valentina Sagala dan Ellin Rozana, Memberantas Trafiking Perempuan dan Anak, Institut

Perempuan, Bandung, 2007, h. 34-52.

25 Poerwadarminta, Op. Cit., h. 47.

(35)

Pemindahan yaitu seseorang yang diangkut dari satu tempat ke tempat lainnya di mana tidak seorangpun yang dikenalnya, bahasa yang dia tidak mengerti,

tidak mempunyai teman, saudara.27

Penerimaan maksudnya adalah “penyambutan, perbuatan menerima”.28

Ad. 2. Ancaman kekerasan menurut pasal 1 angka 12 UU No. 21 Tahun 2007 adalah “setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan,

gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang”.

Kekerasan menurut pasal 1 angka 11 UU No. 21 Tahun 2007 adalah “setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang”.

Menurut Gelles sebagaimana dikutip dari bukunya Aroma Elmira Martha mendefinisikan kekerasan sebagai: “Seseorang yang melakukan

tindakan pemukulan, menampar, menyiksa, menganiaya ataupun pelemparan benda-benda kepada orang lain yang menjadi pokok persoalan yang menyangkut kekerasan dalam keluarga”.29

27Umu Hilmy, et. all, Penanganan Kasus-kasus Trafiking Berperspektif Gender Oleh

Jaksa dan Hakim, Universitas Negeri Malang, 2006, h. 39.

28Poerwadarminta, Op. cit., h. 1061.

29Aroma Elmira Martha, Perempuan Kekerasan dan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2003,

(36)

Pengertian kekerasan menurut Pasal 16 Rekomendasi Umum No. 19 Perserikatan Bangsa-Bangsa (yang selanjutnya disebut PBB) menyatakan, sebagai berikut :

Kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling berbahaya. Hal ini lazim pada semua masyarakat. Dalam hubungan kekeluargaan di segala umur, perempuan menderita segala macam penderitaan, termasuk pemukulan, perkosaan, bentuk-bentuk lain dari penyerangan seksual, mental yang dilakukan oleh sikap-sikap tradisional. Ketergantungan otonomi, memaksa perempuan untuk bertahan pada hubungan yang didasarkan atas kekerasan-kekerasan. Pencabutan/pengambil-alihan tanggung jawab keluarga oleh laki-laki dapat juga disebut sebagai bentuk kekerasan dan paksaan. Bentuk-bentuk dari kekerasan ini menempatkan perempuan pada resiko kekerasan dan paksaan. Juga menempatkan perempuan pada resiko kesehatan dan menghalangi kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan keluarga dan kehidupan umum atas dasar suatu kesamaan.30

Pendapat sarjana mengenai pengertian kekerasan menjelaskan sebagai berikut :

Terminologi kesehatan, kekerasan dalam rumah tangga sesungguhnya berhubungan dengan ibu rumah tangga atau istri sebagai korban. Istilah kekerasan dalam rumah tangga dalam literatur barat umumnya dipergunakan secara bervariasi, misalnya domestic violence, family violence, wife abuse.

Gelles mendefinisikan kekerasan dalam keluarga (Gamily Violence) sebagai: “Seorang yang melakukan tindakan pemukulan menampar menyiksa, menganiaya ataupun pelemparan benda-benda kepada orang lain yang menjadi pokok persoalan yang menyangkut kekerasan dalam keluarga.”

Penjeratan utang menurut pasal 1 angka 15 UU No. 21 Tahun 2007 adalah “perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau

30 Perserikatan Bangsa Bangsa, Rekomendasi Umum No. 19 tentang Kekerasan Terhadap

(37)

terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang”.

Ad. 3. Menurut protocol Palermo juga menambahkan bahwa persetujuan yang telah diberikan oleh korban perdagangan manusia berkenaan dengan eksploitasi yang menjadi tujuan dari perdagangan tersebut kehilangan relevansinya (tidak lagi berarti), bilamana cara-cara pemaksaan atau penipuan telah digunakan. Ad. 4. Eksploitasi seksual dalam protocol Palermo dapat didefinisikan sebagai:

mereka yang terlibat dalam kegiatan prostitusi, pelayan/pekerja seks, atau menjadi objek kegiatan pornografi yang dikarenakan oleh ancaman pemaksaan, penculikan diperlakukan dengan salah, menjadi orang yang dijual (debt bondage) atau karena menjadi korban penipuan. Sedangkan eksploitasi dengan melacurkan orang lain dapat didefinisikan sebagai : kegiatan untuk memperoleh uang dan keuntungan lain dari kegiatan melacurkan orang lain dalam kegiatan prostitusi/secara seksual. Sedangkan eksploitasi menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 21 Tahun 2007 adalah:

Tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi. Seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil atau immateriil.

(38)

mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan”.

Definisi perdagangan perempuan sebagaimana tertera dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 7 UU No. 21 Tahun 2007 tersebut diatas menunjukkan bahwa perdagangan perempuan diawali dengan perekrutan perempuan dengan segala cara modus operandi dengan memindahtangankan perempuan beserta hak-hak asasinya untuk tujuan komersial yang beragam yang dikenal dengan istilah eksploitasi/eksploitasi seksual sebagai akibatnya. Dalam pengertian rumusan tindak pidana delik perdagangan orang menurut Pasal 1 angka 1 dan angka 7 UU No. 21 Tahun 2007 merupakan rumusan delik formil materiil. Delik rumusan formil materiil merupakan rumusan delik yang diawali dengan perbuatan-perbuatan yang mana dilarang oleh Undang-Undang dan disertai dengan akibat-akibat yang dilarang pula. Perihal perbuatan-perbuatan yang dilarang (rumusan delik formil) diakomodir dalam pengertian perekrutan atau pemindahtanganan. Sedangkan akibat-akibat yang dilarang terakomodasi dalam mengeksploitasi atau situasi yang opresif dan eksploitatif (rumusan delik materiil).

Perihal perdagangan orang dengan perempuan sebagai korban lingkupnya tidak hanya sebatas nasional melainkan juga internasional, sehingga melibatkan warga negara asing. Mengenai hal ini pasal 4 UU No. 21 Tahun 2007 menentukan sebagai berikut:

(39)

Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)..

Dalam pasal 4 UU No. 21 Tahun 2007 terkandung unsur-unsur :

- membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia; - dengan maksud;

- eksploitasi

1) membawa maksudnya mengangkut dari satu tempat ke tempat yang lain.

2) Dengan maksud, berhubungan dengan kesalahan dari pelaku tindak pidana, yang dilakukan karena kesengajaan maupun karena kelalaian.

3) Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

(40)

39

BAB IV

SANKSI YANG BISA DITERAPKAN KEPADA MAJIKAN YANG

MEMPERDAGANGKAN ANAK YANG BEKERJA SEBAGAI

PEMBANTU RUMAH TANGGA

1. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku yang Melacurkan Anak

Pertanggungjawaban pidana diterapkan terhadap pembuat perbuatan pidana

(dader) baik perbuatan kejahatan atas delik dalam hal ini pelaku tindak pidana yaitu Huzaimah. Menurut Moeljatno dikemukakan sebagai berikut: Kejahatan atau “rechtsdeliten” adalah perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang -undang sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran atau “wetsdeliktern

yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.31

Pelaku tindak pidana dalam hal ini Huzaimah dapat dikenakan sanksi pidana jika memenuhi keseluruhan unsur-unsur pidana yang didakwakan yaitu melanggar ketentuan Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai dakwaan primer dan melanggar Pasal 17 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai dakwaan subsider dan pelaku dapat dipertanggung jawabkan pidana. Sedangkan jika pelaku tidak memenuhi

(41)

salah satu unsur mengenai pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dipidana. Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah:

1) Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana; 2) Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab;

3) Mempunyai suatu bentuk kesalahan; 4) Tidak adanya alasan pemaaf.32

Ad. 1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana.Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan melawan hukum wederrechtelijkheid” sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Huzaimah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primer jaksa penuntut umum yaitu melanggar ketentuan Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002.

Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang terdapat pada Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002 merumuskan delik tersebut secara tertulis dan juga tidak tertulis. Jika rumusan delik tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum suatu perbuatan pidana, maka unsur delik tersebut dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat melawan hukum tersebut.33 Perihal sifat melawan hukum dibedakan antara sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum

32Ibid., h. 164.

(42)

materiil. Sifat melawan hukum formil, maksudnya “semua bagian yang tertulis dalam rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana).”34 Sedangkan sifat melawan hukum materiil maksudnya “melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi

oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu.”35

Ad. 2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab. Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur yang diwajibkan guna memenuhi pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, yang menjadi dasar adanya kemampuan bertanggungjawab adalah:

2) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;

3) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.36

Sedangkan batasan mengenai perbuatan pidana (dader) dianggap tidak mampu bertanggungjawab menurut KUHP adalah:

1) Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat (1) KUHP);

2) Anak yang belum dewasa (Pasal 45 KUHP).

34Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 2003, h. 39.

35Ibid.

(43)

Dengan dasar ketentuan KUHP tersebut di atas, maka perbuatan pidana (dader) tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan perbuatan pidana. Huzaimah dalam kondisi sehat dan tidak terganggu jiwanya ketika melacurkan dan memerdagangkan korban yang masih anak-anak, sehingga dapat dikatakan telah memenuhi unsur mampu untuk bertanggung jawab.

Ad. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan. Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan atau “schuld” merupakan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang dipergunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non fasit reum nisi mens sir rea).

Bentuk perbuatan manusia mempunyai kesalahan terdapat dua sifat dalam hal melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu:

a. kesengajaan (dolus)

Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno terdiri dari dua corak, yaitu:

2) Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan, dan

3) Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).37

(44)

Huzaimah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002, sehingga apa yang dilakukan tersebut termasuk sebagai kesengajaan, yang berarti telah memenuhi unsur kesalahan.

b. kelalaian (culpa).

Menurut pendapat Simon yang dikutip dari bukunya Moeljatno mengenai kealpaan mengatakan bahwa isi kealpaan adalah dapat diduga-duganya akan timbul akibat. Kealpaan yang harus terjadi pada perbuatan menurut Van Hamel harus mengandung dua syarat, yaitu:

1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan dalam hukum; 2) Tidak menghadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Kata kesalahan pada kealpaan pengertiannya sekurang-kurangnya terdiri dari tiga komponen, yaitu:

1) Pembuat berbuat lain daripada seharusnya dia berbuat menurut aturan hukum tertulis dan tidak tertulis. Jadi dia berbuat melawan hukum;

2) Selanjutnya pembuat laku berbuat sembrono, lalai, kurang berfikir, lengah;

3) Akhirnya pembuat dapat dicela, yang berarti bahwa dia dapat dipertanggung akibatnya atas perbuatan yang sembrono, lalai, kurang berfikir dan lengah.38

(45)

Menurut Moeljatno, perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan jika: Orang dikatakan mempunyai kesalahan jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian 39 Sedangkan menurut Simon sebagaimana dikutip dari bukunya Moeljatno, kesalahan adalah “keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat tercela karena melakukan perbuatan tadi”.40 Huzaimah ketika melakukan

tindak pidana mengetahui bahwa apa yang dilakukannya yaitu memperdagangkan anak dilihat dari segi masyarakat dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan memperdagangkan anak padahal anak sebagai penerus generasi bangsa sehingga perlu mendapatkan perlindungan khusus, kenyataannya para pelaku malah menjerumuskan anak ke dalam kenistaan, sebenarnya harus menghindari untuk berbuat demikian.

Ad. 4. Tidak adanya alasan pemaaf. Menurut Sudarto, alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawab-kannya seseorang atau tidak dipidananya, karena 2 hal:

39Ibid., h. 157.

(46)

Perbuatan meskipun telah mencocoki rumusan delik, namun tidak merupakan suatu tindak pidana karena tidak bersifat melawan hukum (ingat ajaran sifat melawan hukum yang formil dan materiil); Meskipun perbuatannya itu dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana, namun orangnya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, karena padanya tidak ada kesalahan.41

Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf atau “verontschukdigingsgrond”. Alasan pemaaf menurut teori hukum adalah alasan yang menghapus kesalahan. Menurut Moeljatno kalau ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan-alasan pemaaf), maka masih ada perbuatan pidana, tetapi orangnya tidak dipidana (tidak dapat dipertanggungjawabkan). Dampak yang terjadi akibat adanya alasan pemaaf bagi seseorang yang melakukan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Menurut Andi Zainal Abidin mengemukakan sebagai berikut: “Ketidakmampuan

bertanggungjawab menghapuskan kesalahan dalam arti luas dan oleh karena itu termasuk alasan pemaaf”.42 Apabila kecelakaan terjadi karena adanya

41Sudarto dan Wonosutanto, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, Program Kekhususan

(47)

kerusakan jalan yang sedang diperbaiki dan penyelenggara jalan telah memasang rambu-rambu sebagai petunjuk bahwa jalan sedang diperbaiki, maka penyelenggara jalan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas dasar alasan pembenar. Huzaimah tidak dalam keadaan sakit jiwanya, mampubertanggungjawab dan tidak menghapuskan kesalahan dalam arti luas dan oleh karena itu tidak termasuk alasan pemaaf. Berhubung adanya dua hal di atas, maka ilmu pengetahuan hukum pidana membedakan adanya: alasan pembenar, dan alasan pemaaf.43 Ketidakmampuan bertanggungjawab menghapuskan kesalahan dalam arti luas dan oleh karena itu termasuk alasan pemaaf, karena perbuatannya telah mencocoki rumusan Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002.

Mengenai alasan pembenar dan pemaaf, sebenarnya pembedaan ini tidak penting bagi pembuat sendiri, karena jika ternyata ada alasan penghapusan pidana, maka teranglah tidak akan dipidana.

Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut:

1) Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu;

2) Pasal 45 mengenai belum cukup umur.

42Andi Zainal Abidin, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung, 1997,

h. 223.

(48)

4) Pasal 48 mengenai daya memaksa (overmacht);

Selain alasan pemaaf, dalam KUHP juga di kenal adanya alasan pembenar. Ketentuan mengenai alasan pembenar dalam KUHP di atur dalam pasal-Pasal berikut:

1) Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa.

2) Pasal 50 mengenai menjalankan perintah undang-undang. 3) Pasal 51 mengenai menjalankan perintah jabatan.

2. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku yang Melacurkan Anak

(49)

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dalam pasal 263 KUHP disebutkan “(1) Barang siapa membuat surat palsu atau

memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Huzaimah telah memanipulasi usia Siti Hotimah alias Sintan alias Rini binti Suprayitno, sehingga dapat dikatakan telah memasukan surat keterangan palsu.

(50)

pembantu anak dengan modus operansi mencarikan kerja, Huzaimah dalam kasus pembantu rumah tangga yang mengajak Siti Hotimah alias Sinta alias Rini binti Suprayitno untuk bekerja sebagai pengasuh anak Huzaimah, yang berarti bahwa Siti Hotimah alias Sinta alias Rini binti Suprayitno, oleh Huzaimah untuk bekerja di di cafe merupakan anak-anak karena usianya kurang dari 18 tahun sebagaimana Pasal 1 angaka 1 UU No. 23 Tahun 2002.

(51)

lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu. Pelaku kekerasan dalam rumah tangga diancam dengan pidana sebagaimana Pasal 46 UU No. 23 Tahun 2004 bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan

pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).

Tindak Pidana perdagangan orang dengan perempuan sebagai korban sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007, yang unsur-unsurnya meliputi:

1) tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan sebagai proses;

2) ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sebagai cara (sarana); 3) memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain

tersebut;

4) di dalam negara maupun antar negara;

5) untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi sebagai tujuan.

(52)

- Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya, Huzaimah menawarkan kepada Siti diajak untuk bekerja, yang berarti perekrutan yaitu tindakan untuk mengajak telah terpenuhi.

- Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain. Siti Hotimah alias Sinta alias Rini binti Suprayitno berasal dari di Jl. Jendral Sudirman Rt. 01 Kelurahan Jogoboyo, Kecamatan Lubuk Linggau Utara II Sumatera Selatan, kemudian oleh Hazaimah dibawa ke Jl. Syailendra Gg. 8 Rt. 05 Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kota Baru, Kota Jambi, sehingga unsur Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan telah terpenuhi.

- Pemindahan, yaitu seseorang yang diangkut dari satu tempat ke tempat lainnya di mana tidak seorangpun yang dikenalnya, bahasa yang dia tidak mengerti, tidak mempunyai teman, saudara. Siti Hotimah alias Sinta alias Rini binti Suprayitno, seorang anak di bawa ke tempat masing-masing yang selama ini tidak dikenal, sehingga tidak mengenal teman maupun saudara. Hal ini berarti unsur proses yang terdiri atas perekrutan, penerimaan, pengiriman dan pemindahan telah terpenuhi.

(53)

alias Sinta alias Rini binti Suprayitno, kondisi perekonomiannya lemah dan masih tergolong anak-anak, sehingga termasuk dalam keadaan rentan dan lemah di bidang ekonomi dan pendidikan tersebut mudah terpengaruh oleh bujukan untuk mendapatkan uang dalam jumlah banyak. Kondisi perempuan yang demikian dimanfaatkan oleh Huzaimah untuk diajak bekerja, yang kemudian dilacurkan. Kondisi masing-masing yang demikian merupakan suatu korban kondisi rentan, karena bagi mereka uang lebih berkuasa, dan itu semua karena tidak dibekali oleh pendidikan yang cukup. Pada kondisi yang demikian telah terjadi posisi seorang perempuan yang rentan tersebut. Hal ini berarti bahwa unsur cara (sarana) yang terdiri atas posisi rentan telah terpenuhi.

3) Memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut. Siti Hotimah alias Sinta alias Rini binti Suprayitno, menginginkan untuk bekerja meskipun usianya masih anak-anak, meskipun didasarkan atas keinginannya sendiri, namun mereka dikendalikan oleh Huzaimah, yang berarti bahwa mereka memberikan persetujuan, sehingga unsur memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut telah terpenuhi. 4) Unsur di dalam negara maupun antar negara, maksudnya kegiatan perdagangan

Referensi

Dokumen terkait

oleh guru dan kepala sekolah untuk membentuk sikap tanggung jawab siswa baik di dalam maupun di luar proses pembelajaran adalah sebagai berikut: (1) melalui

Skripsi ini berisi hasil penelitian yang dilakukan penulis terhadap film “The Danish Girl” mengenai representasi nilai-nilai hak asasi manusia.. Skripsi ini berisi uraian

Pengendalian massa yang selanjutnya disebut Dalmas adalah kegiatan yang dilakukan oleh satuan Polri (kompi,peleton) dalam rangka menghadapi massa pengunjuk rasa, dan

Pada tahun berikutnya (1909) berkembang Sarekat Dagang Islam (SDI), berbeda dengan Budi Utomo, pedukung gerakan adalah para pedagang batik, yang merasa diperlakukan

Program Studi D3 Sekretari dan Pendidikan Administrasi Perkantoran, yang saat ini masih mempertahankan stenografi sebagai salah satu mata kuliah kekhususan program

Soepartinah (1985:24), lingkungan belajar adalah tempat anak belajar bertumbuh dan berkembang menuju kedewasaan, serta suasana belajar yang menyertai pertumbuhan

Trianto (dalam Safnil, 2010:14-15) lebih lanjut mengatakan bahwa Abstrak adalah pernyataan singkat mengenai cerita. Pada dasarnya penamaan abstrak di sini dimaksudkan

Perbincangan berikutnya adalah berkaitan dengan ringkasan analisis HLM Dua Aras terhadap pengaruh variabel Konteks Pengajaran iaitu sokongan Persekitaran Sekolah, kualiti