1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepak bola merupakan salah satu olah raga yang paling
banyak diminati oleh masyarakat di seluruh dunia. Menurut survei
yang dilakukan oleh FIFA pada tahun 2007, menyebutkan bahwa
sepak bola merupakan olah raga nomor satu di dunia. Bahkan
jumlah peminat olah raga ini meningkat jumlahnya jika
dibandingkan dengan survei serupa yang dilakukan pada tahun
2000 (FIFA Magazine, 2007, h. 11).
Sejarah mengenai asal-usul sepak bola masih belum
diketahui benar sampai saat ini. Di China pada tahun 3000 SM,
Kaisar Huang-Ti menemukan sebuah permainan yang bernama tsu
chu, yang berarti “menendang bola kulit”, inilah yang dipercaya
sebagai asal-usul dari sepak bola (Orejan, 2011, h. 10). Sedangkan
sepak bola modern, yaitu sepak bola dengan format permainan
yang sering kita lihat sekarang ini lahir di Inggris, dengan
terbentuknya Football Asociation (FA). Pada pertemuan awal FA,
ditetapkan seri peraturan tunggal bermain sepak bola (Nenggala,
2
negara-negara di Eropa, dan bahkan sekarang sudah mendunia, tak
terkecuali Indonesia.
Di Indonesia sendiri pada 19 April 1930 lahir sebuah
organisasi sepak bola, yaitu Persatuan Sepakbola Seluruh
Indonesia (PSSI). Pada saat itu, di samping sebagai organisasi
sepak bola nasional, PSSI didirikan sebagai alat pemersatu bangsa
untuk berjuang memperoleh kemerdekaan (Nenggala, 2004, h. 2).
Sekarang ini sepakbola tidak hanya sebuah olah raga atau
permainan saja, tapi efek dari sepak bola itu sendiri juga
berpengaruh pada bidang-bidang lain seperti sosial, teknologi
informasi, hiburan, politik, ekonomi, serta psikologi.
Salah satu fenomena yang muncul dalam realita sepak bola
adalah suporter. Suporter dan sepak bola adalah satu hal yang tidak
dapat dipisahkan, dimana ada sepak bola disitu ada suporter, tidak
memandang tua, muda, maupun anak-anak. Suporter adalah salah
satu elemen penting dalam pertandingan, bahkan sering disebut
sebagai pemain kedua belas yang memberi kekuatan lebih pada
klub. Suporter menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga
dapat membuat setiap pemain dalam tim lebih termotivasi untuk
memperlihatkan kemampuannya, meningkatkan daya juang tim
3
Masih banyak masyarakat yang menyebut suporter sepak
bola dengan “penonton sepak bola”, padahal terdapat perbedaan di
antara keduanya. Menurut Soemanto (dalam Handoko, 2008, h.
14), guru besar FIB UGM tersebut mengklasifikasikan penonton
sepak bola menjadi dua golongan. Pertama, penonton yang murni
ingin menikmati permainan cantik saja, tidak peduli dengan tim
mana pun. Kedua, penonton yang berpihak pada tim tertentu yang
sering dikenal dengan istilah “suporter”. Jadi suporter adalah
penonton sepak bola yang tidak hanya menonton tetapi juga
mempunyai antusias terhadap salah satu tim atau klub
Munculnya fenomena suporter terorganisir pada dasarnya
dipelopori oleh suporter negara-negara di Eropa. Suporter-suporter
negara tersebut terkenal dengan julukannya masing-masing antara
lain Ultras (Italia), Hooligan (Inggris), Szalikowcy (Polandia),
Barras Bravas (Argentina). Bahkan hampir setiap klub di dunia
mempunyai sebutan untuk suporter masing-masing seperti Gooners
(Arsenal), Romanisti (AS Roma), Irriducibli (Lazio), Madriditas
(Real Madrid). Indonesia pun tidak mau kalah, ada Bonek
(Persebaya Surabaya), The Jak Mania (Persija Jakarta), Viking
4
dua atau lebih organisasi suporter, seperti PSIS Semarang dengan
Panser Biru dan Snex-nya.
Keberadaan suporter ini sendiri ibarat dua sisi mata uang. Di
satu sisi suporter muncul dengan berbagai atraksi, kostum, atribut
dan nyanyian penyemangat (chants) masing-masing, yang dapat
menjadi motivasi bagi para pemain, serta menjadi hiburan
tersendiri bagi penonton sepak bola. Di sisi lain, jika ada pihak
yang mengecewakan atau terjadi gesekan antar suporter, suporter
dapat menunjukan perilaku buruk yang menghancurkan reputasi
dan nama baik tim sepakbola, serta meresahkan masyarakat.
Ada berbagai cara yang dilakukan oleh suporter-suporter
sepak bola untuk mendukung klub sepak bola kesayangan mereka.
Mereka melakukannya secara totalitas, tidak setengah-setengah.
Beberapa suporter klub sepak bola yang terkenal luar biasa dalam
mendukung dan memberi semangat di antaranya adalah suporter
dari klub sepak bola Borussia Dortmund (Jerman) dan Galatasaray
(Turki), sedangkan di Indonesia sendiri ada klub suporter dari PSS
Sleman, Arema Malang, dan tentu saja Persebaya Surabaya.
Suporter Galatasaray terkenal sebagai suporter yang paling
berisik di dunia. Mereka menyanyikan lagu penyemangat (chants)
5
berlangsung. Sebuah harian di Inggris, The Sun, melakukan sebuah
perjalanan ke Turki untuk meneliti seberisik apa suporter
Galatasaray. Setelah diukur, ternyata teriakan para suporter itu bisa
mencapai 106,3 desibel. Dengan angka sebesar itu bukan tidak
mungkin seseorang akan kehilangan pendengarannya. Tentu saja
para pemain bola tuan rumah sudah terbiasa dengan hal ini, namun
bagi tim lawan teriakan para suporter ini sangatlah mengganggu,
dan bukan tidak mungkin permainan mereka pun juga akan
terganggu (Ganda, 2013). Suporter dari Borussia Dortmund
terkenal dengan koreografi dan mozaik raksasa mereka yang sangat
fantastis dan membuat yang menonton menjadi takjub. Sedangkan
di Indonesia, salah satu klub yang terkenal dengan koreografi dan
mozaik raksasanya adalah suporter dari PSS Sleman. Walaupun
klub PSS Sleman hanya berlaga di divisi utama, bukan di
Indonesia Super League, hal itu tidak membuat suporter
setengah-setengah dalam mendukung klub. Justru mereka semakin semangat
dalam mendukung klub, karena pada saat sedang di bawahlah klub
paling membutuhkan dukungan dari para suporter.
Jika chants, koreografi, dan atribut berbau khas klub sepak
bola kesayangan adalah hal-hal positif yang dilakukan suporter
6
bentrokan antar suporter. Bentrok antar suporter memang bukanlah
hal yang baru dalam dunia persepakbolaan. Sudah banyak sekali
bentrok yang terjadi antar suporter sepak bola, bahkan di
persepakbolaan internasional tercatat ada beberapa bentrokan
terburuk antar suporter yang menyebabkan nyawa melayang,
diantaranya yang terjadi di Rusia pada buan Oktober 1982, usai
pertandingan Piala UEFA antara klub Spartak dengan klub HFC
Haarlem di Stadion Luzhniki, Moskow. Suporter kedua tim terlibat
bentrok dan korban jiwa pun jatuh. Menurut data otoritas setempat,
terdapat 66 korban tewas. Bentrokan yang tak kalah mengerikan
terjadi di Inggris pada tahun 1989, bahkan dinilai merupakan
insiden bentrokan antar suporter yang terburuk di Inggris. Bentrok
terjadi dalam pertandingan semifinal Piala FA Inggris antara
Liverpool dengan Nottingham Forest di Stadion Hillsborough,
Sheffield. Para penonton merusak pembatas dan kerusuhan pun
terjadi. Insiden ini menewaskan 96 orang dan melukai 200 orang
lainnya (Christiastuti, 2012).
Kejadian yang sama juga terjadi di Indonesia. PSIS
Semarang adalah salah satu klub sepak bola yang para suporternya
sering terlibat dalam bentrokan antar suporter. Salah satu bentrok
7
suporter PSIS Semarang dengan suporter dari Persip Pekalongan,
terjadi pada 1 Maret 2013 yang lalu. Dari beberapa contoh
bentrokan di atas, semuanya berawal dari suporter kedua
kesebelasan saling menghina tim sepak bola lawan, semakin lama
semakin memanas dan terjadilah kerusuhan.
Fanatisme yang ditunjukkan oleh para suporter ini tidak
hanya merugikan suporter sendiri dan klub sepak bola yang mereka
dukung, namun juga merugikan masyarakat sekitar. Penulis
melakukan wawancara dengan beberapa warga dan mahasiswa
yang tinggal ataupun sering berkendara di sekitar Stadion Jatidiri,
tempat pertandingan kandang PSIS Semarang berlangsung.
Keseluruhan dari subyek yang penulis wawancarai merasa
was-was setiap kali akan diadakan pertandingan di Stadion Jatidiri.
Mereka takut jika terjadi bentrokan suporter di dalam stadion dan
akan berlanjut sampai ke luar stadion. Mereka juga selalu berusaha
untuk tidak keluar rumah atau berkendara saat para suporter
berangkat atau pulang dari stadion. Mereka sudah mempunyai
mindset tersendiri bahwa suporter sepak bola berani melakukan apa
saja yang mereka mau karena merasa superior saat berada di dalam
8
Semua perilaku baik positif maupun negatif yang dilakukan
oleh para suporter tersebut merupakan contoh dari perilaku fanatik.
Menurut pendapat dari J.P Chaplin (2006, h. 188) fanatik yaitu satu
sikap penuh semangat yang berlebihan terhadap satu segi
pandangan atau satu sebab. Melihat kenyataan di atas, individu
yang mempunyai fanatisme pada suatu klub sepak bola jika
bergerombol dalam situasi massa maka individu tersebut akan
mudah terpengaruh mengikuti apa yang kelompok perbuat. Bentuk
tingkah laku dimana seseorang menampilkan perilaku tertentu
karena setiap orang lain menampilkan perilaku tersebut disebut
dengan konformitas (Sears, 1991, h.76).
Menurut Yousif (2011, h. 8-9) terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi fanatisme, yaitu: (a) Keluarga, (b)
Lingkungan sosial, (c) Lingkungan politik.
Peran keluarga dalam membentuk, kepribadian, identitas,
dan karakteristik fanatik tidak dapat diremehkan. Seseorang yang
dibesarkan dalam keluarga yang sehat dengan nilai-nilai moral
yang kuat dapat menjauhkan dirinya dari jalan fanatik. Sebaliknya,
keluarga di mana seseorang kurang menerima kasih sayang dan
perhatian akan mempengaruhi secara negatif pertumbuhan dan
9
jalan fanatik. Lingkungan sosial di mana seseorang hidup
memainkan peran yang kuat dalam mengembangkan identitas
individu yang mungkin juga mempengaruhi perilaku fanatik.
Semakin seseorang mempersepsi bahwa masyarakat itu aman, adil,
dan setara maka seseorang tersebut akan cenderung berkurang ke
arah perilaku fanatik. Sebaliknya, persepsi seseorang bahwa
masyarakat itu tidak aman, tidak adil, dapat menciptakan rasa
frustrasi di kalangan individu yang pada saatnya akan
menyebabkan mereka berperilaku dan bertindak ekstrimis dalam
upaya untuk mendapatkan perhatian terhadap kebingungan atau
situasi yang dihadapinya.
Berdasarkan faktor-faktor di atas dapat disimpulkan bahwa
fanatisme yang timbul dalam diri seseorang berasal dari luar
individu tersebut, yaitu keluarga, lingkungan sosial, dan
lingkungan politik. Faktor-faktor dari luar individu ini disebabkan
oleh pengaruh kelompok terhadap individu yang menyebabkan
individu tersebut merubah perilakunya sesuai dengan lingkungan
dimana dia berada, atau yang biasa disebut dengan konformitas.
Hal ini sesuai dengan hasil dari wawancara yang penulis
lakukan dengan RR, salah seorang suporter klub sepak bola PSIS
10
Semarang menjadi tuan tumah, RR selalu datang langsung ke
Stadion Jatidiri dan berusaha untuk tetap menonton saat PSIS
Semarang berlaga tandang ke luar kota, bahkan luar pulau. Setiap
RR datang ke stadion untuk memberi semangat, RR selalu
memakai atribut yang berbau PSIS Semarang. Atribut wajib yang
dipakai mulai dari jersey atau seragam sepak bola, syal, dan topi.
RR juga hafal semua lagu penyemangat (chants) dan
menyanyikannya sepanjang pertandingan berlangsung bersama
ribuan suporter lainnya. Hal ini dilakukan RR karena ingin berbaur
dengan suporter lain dan merupakan perwujudan dari rasa bangga
RR terhadap klub PSIS Semarang.
Menurut RR pengalaman yang paling tidak terlupakan saat
menjadi suporter adalah ikut adu jotos pada saat bentrok antar
suporter PSIS Semarang dan Persijap Jepara pada tahun 2006. Saat
itu RR dan para suporter lain hijrah ke Jepara untuk mendukung
PSIS Semarang yang akan bertanding melawan Persijap Jepara.
RR mengaku bahwa awalnya berniat untuk menghindar dari
kerusuhan tersebut, namun karena melihat teman-teman dan
suporter lain terlibat perkelahian, RR merasa dirinya juga harus
ikut demi mempertahankan harga diri tim sepak bola
11
RR tersebut dipengaruhi adanya konformitas dalam kelompok
suporter klub PSIS Semarang.
Konformitas kelompok yaitu keinginan untuk tidak berbeda
dengan orang lain di dalam kelompoknya. Santrock (2003, h. 221)
menyatakan bahwa konformitas adalah kecenderungan individu
meniru tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata
maupun yang dibayangkan oleh mereka. Perilaku tiru dan meniru
atau terpengaruh dan dipengaruhi oleh orang lain didalam suatu
kelompok menimbulkan sikap bagiamana mayoritas kelompok itu
berperilaku. Kelompok ini digunakan seseorang untuk menegaskan
identitas sosialnya atau sekedar untuk menunjukkan sikap dan
tindakan kepada orang lain. Saat seseorang hidup dan menjadi
bagian dari sebuah kelompok, orang tersebut akan cenderung
menjadi fanatik kepada kelompoknya. Fanatisme merupakan
sebuah antusias dan rasa kecintaan yang lebih hingga akan
berdampak luar biasa terhadap sikap hidup seseorang. Menurut
Giulianotti (2006, h. 71) dengan rasa cinta itu manusia semakin
lekat dengan sebuah kasih sayang dan semangat untuk selalu
bertahan, sebaliknya dengan cinta pula manusia berubah menjadi
12
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis
merumuskan masalah penelitian yaitu “Adakah hubungan empiris
antara konformitas dengan fanatisme pada suporter klub sepak bola
PSIS Semarang?”. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Hubungan Konformitas dengan Fanatisme pada Suporter Klub
Sepak Bola PSIS Semarang”.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris
hubungan antara konformitas dengan fanatisme pada suporter klub
sepak bola PSIS Semarang.
C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini memberikan informasi dan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya
psikologi sosial terutama mengenai pengaruh konformitas
terhadap fanatisme pada suporter klub sepak bola, sehingga
dapat dijadikan sebagai bahan kajian dan acuan dalam
13 2. Manfaat Praktis
a. Bagi Kelompok Suporter Sepak Bola
Penelitian ini diharapkan dapat memberi arahan atau
masukan terhadap anggotanya dalam bersikap dan
berperilaku ke arah yang lebih positif saat mendukung klub