• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara tingkat dependensi dan tingkat stres pada mahasiswa - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan antara tingkat dependensi dan tingkat stres pada mahasiswa - USD Repository"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

oleh:

Patricia Erisa Marthadewi K 06 9114 027

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

oleh:

Patricia Erisa Marthadewi K 06 9114 027

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

~Fernanda Miramontes-Landeros~

Do not judge, and you will not be

judge; do not condemn and you will

(6)

v

Tuhan Yesus Kristus

Kedua Orang Tuaku, Yustinus Gan Kong Liok

dan

Veronica Jeniarti

Kakakku Raymondus Nonatus Eros Pratomo Kusumanto

Kedua adikku Yoanes Kapistran Ervan Prasetio Kusumanto

dan

(7)
(8)

vii

Patricia Erisa Marthadewi K

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat dependensi dan tingkat stres pada mahasiswa. Subyek penelitian ini adalah 48 orang mahasiswa. Dalam penelitian ini, tingkat stres diukur dengan tiga skala yang telah tersedia (dengan melalui proses penerjemahan dan adaptasi), yakni skala Symptoms of Stress(SOS) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba sebesar 0,821; skalaThe Inventory of College Students’ Recent Life Experiences(ICSRLE) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba sebesar 0,942; dan Perceived Stress Scale (PSS) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba sebesar 0,781. Tingkat dependensi diukur dengan skala Rorschach Oral Dependency (ROD) dengan reliabilitas interater sebesar 0,824. Uji korelasi Pearson Product Moment dilakukan terhadap total skor skala ROD dengan ketiga skala stres secara sendiri-sendiri. Hasil uji korelasi secara berturut-turut antara skor skala ROD dengan skor skala SOS, ICSRLE dan PSS adalah r = 0,076 r = 0,002 dan r = -0,006. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan positif yang signifikan antara tingkat dependensi dan tingkat stres pada mahasiswa.

(9)

viii

Patricia Erisa Marthadewi K

ABSTRACT

This study aims to find out the relationship between the level of dependencies and level of stress on college students. The subjects of this study were 48 college student. In this study, stress levels were measured with three scales are already available (through the process of translation and adaptation), the Symptoms of Stress (SOS) scale, The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences (ICSRLE) and Perceived Stress Scale (PSS). Reliability analysis conducted on all three scales that have been tested. Results are as follows: The Cronbach’s alpha coefficients for SOS scale were 0,821; The Cronbach’s alpha coefficients for the The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences (ICSRLE) were 0,942; and The Cronbach’s alpha coefficients for Perceived Stress Scale (PSS) were 0,781. Dependency level was measured with the the Rorschach Oral Dependency (ROD) scale with interater reliability were 0.824. Pearson Product Moment correlation test performed on the total score from ROD scale with the third stress scale independently. The correlation between ROD scale scores with scores of SOS scale, ICSRLE scale and PSS consecutively is r = 0.076, r = 0.002 and r = - 0.006. The conclusion of this study is there is no significant positive correlation between levels of dependency and level of stress in college students.

(10)
(11)

x

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Skripsi ini berjudul ”Hubungan Antara Tingkat Dependensi dan Tingkat Stres Pada Mahasiswa”.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan

dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima

kasih kepada semua yang telah memberikan bantuan dan dukungan tersebut :

1. Tuhan Yesus ku dan Bunda Maria yang selalu menemaniku disetiap saat

bahkan disaat ku ’mengabaikan’ Kalian.... From deep inside of my heart, I

believe that you’ve been there....

2. Papa dan Mama yang... entahlah... I just wanna say thank you for everything.

Ko Eros, pulang aja deh ke Jogja... Ervan dan Erdin, meski menurutku kalian

semua sering menggangguku, tapi makasih karena membuat duniaku ramai.

Mak Giam dan Mak Ing, makasih karena selalu mendoakan ku....

3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko S.Psi., M.Si. selaku pembimbing skripsi saya,

Terima kasih banyak Pak, atas bimbingannya, juga atas kuliah-kuliah di kelas

PD II : Observasi dan spesial di mata kuliah Tes Rorschach yang banyak

menginspirasi saya.

4. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si., Psi. yang telah membukakan peluang

saya untuk bergabung di unit konseling, tanpa pemberitahuan Ibu, mungkin

(12)

xi

ilmu, bimbingan dan inspirasi yang telah saya dapatkan dari Bapak/Ibu semua.

6. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma, terima kasih atas

bantuan-bantuan dan keramahannya yang membuat saya nyaman selama

kuliah di Fakultas Psikologi USD.

7. Spesial untuk Cie Mila dan Ko Emil yang telah membantuku menerjemahkan

skala-skala yang digunakan dalam skripsi ini.

8. Seluruh teman di Fakultas Psikologi USD, makasih untuk masa-masa kuliah

yang menyenangkan. Spesial untuk Mia, yang selalu siap sedia membantu dan

mendengarkan curhatanku, he...he... Dengarkan curhatku sampai tua nanti

ya... Juga untuk Berto, Satria, Ardian, Adit, Rafa, Chika, Viany, Novita utuk

kedekatan kita di semester-semester awal yang tak terlupakan. Liem, Jean dan

Mas Yandu yang turut memberikan kontribusi nyata dalam skripsi ini, terima

kasih banyak atas bantuan kalian.

9. Seluruh teman di Unit Konseling, Mbak Puput, Mbak Karen, Mbak Wira

makasih atas transfer ilmunya, he…he… Wayan, Rara, Ike, Mas Yandu, Mbak

Ika, dan Mbak Ndoel, kapan-kapan kita piknik lagi ya, he…he… Riana dan Komenk yang tetap bertahan di unit konseling karena tiga pendatang baru kita harus mengundurkan diri.

(13)
(14)

xiii

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO ...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ...x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Rumusan Masalah ...6

C. Tujuan Penelitian ...6

D. Manfaat Penelitian ...7

1. Manfaat Teoritis ...7

(15)

xiv

2. Faktor-faktor Psikologis yang Dapat Mempengaruhi Stres ...15

B. Dependensi ...17

1. Pengertian Dependensi...17

2. Pengukuran Dependensi...26

C. Mahasiswa...28

D. Hubungan Antara Tingkat Dependensi dan Tingkat Stres Pada Mahasiswa...29

E. Hipotesis Penelitian...33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...34

A. Jenis Penelitian...34

B. Identifikasi Variabel Penelitian...34

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian...34

1. Dependensi ...34

2. Stres...35

D. Alat Pengumpulan Data ...35

1.Symptoms of Stress Scale...36

2. The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences...37

3.Perceived Stress Scale...38

4. SkalaRorschach Oral Dependency (ROD Scale)...39

E. Subyek Penelitian...42

(16)

xv

Experiencens ...44

3. Validitas dan Reliabilitas SkalaPerceived Stress...46

4. Validitas dan Reliabilitas SkalaRorschach Oral Dependency...47

5. Uji Korelasi Ketiga Alat Ukur Stres ...49

H. Metode Analisis Data...50

BAB IV HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN ...51

A. Pelaksanaan Penelitian ...51

B. Hasil Penelitian ...52

1. Deskripsi Subyek Penelitian ...52

2. Deskripsi Data Penelitian...53

3. Analisis Data ...54

C. Pembahasan...59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...62

A. Kesimpulan ...62

B. Keterbatasan Penelitian...62

C. Saran...63

DAFTAR PUSTAKA ...64

(17)

xvi

Tabel 2 Deskripsi Statistik Data Penelitian Variabel Stres ... 53

Tabel 3 Deskripsi Statistik Data Penelitian

(18)

xvii

Analisis Reliabilitas Alat Ukur Stres ... 76

A. Analisis Reliabilitas SkalaSymptoms of Stress...76

B. Analisis Reliabilitas SkalaThe Inventory of College Students’ Recent Life Experiences ...77

C. Analisis Reliabilitas SkalaThe Inventory of College Students’ Recent Life Experiencesaitem no 11, 20 dan 32 digugurkan ... 79

D. Analisis ReliabilitasPerceived Stress Scale ...81

Data SkoringRorschach Oral Dependency Scale ...82

Analisis Reliabilitas InteraterRorschach Oral Dependency Scale...83

Uji Normalitas Data Penelitian ... 84

A. Uji Normalitas RS SkalaSymptoms Of Stress ...84

B. Uji Normalitas RS SkalaSymptoms Of Stresssetelahoutliers dibuang (46 subyek) ... 86

C. Uji Normalitas RS SkalaThe Inventory of College Students’ Recent Life Experiences ...88

D. Uji Normalitas RS SkalaThe Inventory of College Students’ Recent Life Experiences46 Subyek ... 90

E. Uji Normalitas RS SkalaPerceived Stress ...92

F. Uji Normalitas RS SkalaPerceived Stress46 Subyek... 94

(19)

xviii

B. Uji Korelasi 46 subyek... 101

Uji Linearitas... 102

A. Uji Linearitas RS SkalaSymptoms Of Stress& RS Skala

Rorschach Oral Dependency48 Subyek ... 102

B. Uji Linearitas RS SkalaSymptoms Of Stress& RS Skala

Rorschach Oral Dependency46 Subyek ... 103

C. Uji Linearitas RS SkalaThe Inventory of College Students’

Recent Life Experiences& RS SkalaRorschach Oral Dependency

48 Subyek... 104

D. Uji Linearitas RS SkalaThe Inventory of College Students’

Recent Life Experiences& RS SkalaRorschach Oral Dependency

46 Subyek... 105

E. Uji Linearitas RS SkalaPerceived Stress& RS Skala

Rorschach Oral Dependency48 Subyek ... 106

F. Uji Linearitas RS SkalaPerceived Stress& RS Skala

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada jaman yang serba sulit ini, manusia pada umumnya mengalami

banyak tantangan dalam hidupnya, terlebih mahasiswa. Mahasiswa dapat

digolongkan dalam tahap perkembangan dewasa awal. Pada tahap

perkembangan ini seseorang mengalami transisi dari akhir masa remaja ke

awal masa dewasa, dimana salah satu kriterianya, menuntut individu untuk

menjadi mandiri dalam segala hal (Santrock, 2002). Kemandirian yang

dituntut pada masa ini, mengharuskan individu untuk sesegera mungkin

menyesuaikan diri terhadap hal-hal baru yang harus mereka selesaikan sendiri.

Hal tersebut dapat membuat individu pada masa dewasa awal khususnya

mahasiswa merasa stres.

Dalam kehidupan ini, mahasiswa memiliki tuntutan-tuntutan khusus

yang dapat membuat mahasiswa merasa stres. Misalnya tuntutan yang terkait

dengan kehidupan akademik mahasiswa seperti beban kerja yang lebih berat

bila dibandingkan pelajar sekolah menengah atas. Beban kerja tersebut juga

harus dikerjakan tanpa adanya banyak campur tangan dari orang tua maupun

guru. Sistem yang berbeda terkait dengan penyusunan jadwal kuliah juga

menuntut mahasiswa untuk dapat mengatur kegiatannya sendiri (Scott, 2008).

Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan akademisnya

(21)

mahasiswa dituntut untuk dapat lebih mandiri bila dibandingkan dengan

pelajar sekolah menegah atas yang masih banyak dituntun.

Dalam kehidupan sosial, seorang mahasiswa juga mengalami suatu

perubahan yang dapat menyebabkan stres. Perubahan tersebut antara lain

seperti meninggalkan jaringan sosial yang lama dan masuk atau membuat

jaringan sosial yang baru dan bergabung dengan individu-individu pada tahap

dewasa awal. Meninggalkan dan berada jauh dari rumah juga dapat menjadi

penyebab stres. Seorang mahasiswa juga dituntut untuk dapat

menyeimbangkan antara kehidupan sosial dan akademisnya (Scott, 2008).

Kehidupan akademis dan sosial bukan hanya menjadi dua hal yang

dapat menyebabkan seorang mahasiswa merasa stres. Tuntutan-tuntutan lain

diluar kedua hal tersebut juga dapat menjadi suatu penyebab mahasiswa

merasa stres. Tuntutan-tuntutan tersebut antara lain masalah logistik seperti

makan, mencuci pakaian, merawat kendaraan dan sebagainya, kemudian

terkait dengan pengejaran terhadap apa yang menjadi cita-cita mereka dan

masih banyak hal lainnya (Scott, 2008).

Dalam kehidupan sehari-hari kata stres dapat dengan mudah ditemui.

Mulai dari pembicaraan sehari-hari hingga pada artikel dalam surat kabar,

majalah, maupun berita di televisi. Stres sebenarnya merupakan pengalaman

yang wajar dalam kehidupan manusia, mengingat manusia tidak pernah puas

dengan apa yang telah dicapainya, yang menuntunnya pada suatu tuntutan

yang lebih sulit untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Stres juga dapat

(22)

hal yang mengancam dan ia merasa tidak mampu untuk menghadapinya

(Lemme, 1999).

Banyak penelitian yang telah dilakukan terkait dengan stres. Misalnya

saja penelitian mengenai kontribusi hardiness (kontrol terhadap hidup,

komitmen yang tinggi dan melihat kesulitan sebagai tantangan) dan

self-efficacy terhadap stres kerja (studi pada perawat RSUP DR. Soeradji

Tirtonegoro Klaten) yang dilakukan oleh Wahyu Rahardjo (2004). Dari hasil

penelitian tersebut dikatakan bahwa hardiness dan self efficacy memberikan

kontribusi dalam mengurangi stres kerja, yakni sebesar 30.4 %. Secara

terpisah hardiness memberikan kontribusi dalam mengurangi stres kerja

sebesar 13.7 % dan variabel self efficacy memberikan kontribusi dalam

mengurangi stres kerja sebesar 29.7%.

Penelitian lain yang berbicara mengenai pengaruh efikasi diri terhadap

stres mahasiswa yang sedang menyusun skripsi juga menghasilkan hal yang

senada dengan penelitian milik Wahyu Rahardjo. Dalam penelitian milik

Pandu Occasear (2009) dengan judul ”Pengaruh Efikasi Diri Terhadap Stres

Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang yang Sedang

Menyusun Skripsi” dikatakan bahwa efikasi diri memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap stres mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Hasil dari

analisis regresi yang dilakukan menunjukkan bahwa efikasi diri memberi

kontribusi dalam mengurangi tingkat stres sebesar 20.5%.

Selain itu ada pula penelitian mengenai hubungan antara tingkat

(23)

yang sedang menjalani kemoterapi pasca operasi, yang dilakukan oleh Nisa

Muftie Dyahsari (2009). Hasil dari penelitian ini menyatakan adanya

hubungan yang signifikan antara tingkat optimisme dan tingkat stres pada

penderita kanker payudara stadium lanjut yang sedang menjalani kemoterapi

pasca operasi, sebesar r = - 0, 582 dengan p = 0.007. Hal ini membuktikan

bahwa jika tingkat optimisme yang dimiliki seseorang yang menderita kanker

payudara stadium lanjut yang sedang menjalani kemoterapi pasca operasi

tinggi, maka tingkat stres orang tersebut rendah.

Kemudian, Alfindra Primaldhi melakukan penelitian berjudul

”Hubungan Antara Trait Kepribadian Neuroticism, Strategi Coping dan Stress

Kerja”. Penelitian ini dilakukan pada 163 orang dewasa warga negara

Indonesia yang berusia antara 25-55 tahun, karyawan perusahaan

telekomunikasi di Jakarta. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada

hubungan positif antara trait kepribadian neurotism dengan stres kerja dan

strategi koping berfokus emosi. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan

tidak adanya hubungan negatif antara trait kepribadian neurotism dengan

strategi koping berfokus masalah dan strategi koping berfokus religi.

Penelitian terkait dengan stres lainnya berjudul Relationship between

Cortisol Responses to Stress and Personality yang dilakukan oleh Lynn M

Oswald, Peter Zandi, Gerald Nestadt, James B Potash, Amanda E Kalaydjian

dan Gary S Wand (2006). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji

asosiasi antara sifat-sifat (traits) kepribadian dan respon kortisol terhadap stres

(24)

telah direvisi. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa kurangnya

Openness (keterbukaan) berasosiasi dengan respon kortisol yang rendah

terhadap tantangan. Respon kortisol yang rendah juga berasosiasi dengan

Neuroticismyang tinggi pada wanita danExtraversion yang rendah pada pria.

Hasil ini menyatakan bahwa personality traits yang biasanya diasosiasikan

dengan psikopatologi yang lebih besar juga berasosiasi dengan tumpulnya

respon hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis terhadap stres. Respon

kortisol yang rendah mengindikasikan tingkat stres yang tinggi. Oleh karena

itu, hasil penelitian ini juga menyatakan bahwa kurangnya keterbukaan

berkorelasi dengan tingkat stres yang tinggi, neurotism yang tinggi pada

wanita berkorelasi dengan stres yang tinggi serta ekstraversi yang rendah pada

pria berkorelasi dengan stres yang tinggi.

Melihat beberapa penelitian diatas, dapat dikatakan bahwa : efikasi

diri, hardiness, openness dan optimisme memiliki korelasi negatif yang

signifikan dengan tingkat stres. Selain itu, neurotism memiliki korelasi positif

yang signifikan dengan tingkat stres. Hasil-hasil penelitian yang telah

dilakukan tersebut, menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang berhubungan

dengan tingkat stres yang merupakan beberapa karakteristik yang dimiliki

individu dengan tipe kepribadian dependen.

Individu dengan kepribadian dependen atau dengan kata lain individu

yang memiliki tingkat dependensi yang tinggi memiliki beberapa karakteristik

diantaranya pesimistik atau dengan kata lain tidak optimis (Pervin dan John,

(25)

(powerless) atau dapat dikatakan tidak memiliki efikasi diri (Bornstein, 1993),

dan juga sulit untuk menyatakan ketidaksetujuan pada orang lain (kurang atau

tidak memiliki sifat openness dan ekstraversi) karena ketakutan yang tidak

realistik (neurotism) akan kehilangan dukungan dan persetujuan dari orang

lain (DSM IV TR, 2000). Dengan melihat kedua hal diatas, dimana beberapa

faktor yang berkorelasi negatif dengan stres, kurang atau tidak dimiliki oleh

individu dengan tingkat dependensi yang tinggi serta salah satu faktor yang

berkorelasi positif dengan tingkat stres (neurotism) dimiliki oleh individu

dengan tingkat dependensi yang tinggi maka peneliti memiliki suatu

pertanyaan yaitu apakah ada hubungan yang bersifat positif antara tingkat

dependensi dan tingkat stres.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungna yang bersifat positif antara tingkat dependensi

dan tingkat stres pada mahasiswa?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang

(26)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfat secara teoritis yang berarti memberikan

pengetahuan baru di bidang psikologi. Pengetahuan baru yang dimaksud

adalah sebagai berikut : Pertama, adanya beberapa faktor yang

mempengaruhi stres, yang telah banyak diteliti sebelumnya, mengarah

pada karakteristik dari kepribadian dependen. Kedua, faktor-faktor

tersebut secara bersama-sama (yang terintegrasi sebagai karakter

kepribadian dependen) merupakan salah satu hal yang berhubungan secara

positif dengan stres.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah dengan mengetahui

hubungan yang positif antara tingkat dependensi dan tingkat stres maka

keluhan-keluhan stres dapat diantisipasi dan diatasi dengan melihat

karakteristik dependensi yang dimiliki individu, khususya dalam setting

(27)

BAB II

DASAR TEORI

A. Stres

1. Pengertian Stres

Stres merupakan salah satu kata yang hampir setiap hari kita

dengar. Selain itu, akhir-akhir ini media pun menggemborkan bahaya dari

stres. Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan stres merupakan hal

yang sulit dideskripsikan dan masih terus menjadi perdebatan diantara

para ahli. Stres dapat dikatakan merupakan istilah ‘payung’, atau dengan

kata lain, stres merupakan istilah yang menggabungkan variasi

masalah-masalah yang mungkin terjadi pada hal-hal dasar yang umum terjadi

hingga hal-hal serius yang lebih jarang terjadi (Palmer dan Puri, 2006).

Salah satu definisi stres yang paling banyak digunakan ialah

definisi dari Richard Lazarus : stres terjadi saat individu merasa bahwa

mereka tidak dapat dengan tepat mengatasi tuntutan yang ditujukan

kepada mereka atau ancaman pada kesejahteraan mereka (Lazarus &

Folkman, 1984). Definisi lainnya mengatakan bahwa stres merupakan

suatu tuntutan yang mendorong organisme untuk beradaptasi atau

menyesuaikan diri (Nevid, Rathus dan Greene, 2005). Canon

menggunakan istilah stres untuk menjelaskan respon tubuh terhadap

hal-hal darurat (dalam Feist dan Feist, 2008).

Selain beberapa definisi diatas, masih banyak definisi-definisi stres

lainnya. Namun, berikut ini peneliti ingin menjelaskan stres dalam

(28)

konteks-konteks tertentu yang nantinya digunakan dalam penelitian ini

yakni sebagai berikut :

a. Stres Sebagai Respon

Pada awalnya, Canon (1929) melihat stres sebagai respon

fisiologis yang mana dikenal sebagai fight-or-flight response. Ketika

menemui situasi yang berbahaya, aktivitas detak jantung dan kesiagaan

manusia (atau hewan) meningkat. Hal tersebut dapat menimbulkan

konsekuensi baik positif dan negatif. Positif karena hal tersebut

membuat seseorang dapat secara cepat bereaksi, dan negatif karena hal

tersebut merugikan kesehatan apabila keadaan siaga tersebut

berlangsung terus menerus (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006).

Kemudian pada tahun 1956, Hans Selye mengungkapkan

sebuah konsep yang dikenal dengan General Adaptation Syndrome

(GAS). Dalam konsep tersebut ada tiga fase reaksi (fase bagaimana

seseorang beradaptasi dengan stres). Fase tersebut ialah : fase alarm

(alarm phase), dimana tubuh mengaktivasi sistem untuk merespon

stresor, meliputi kesiagaan sistem saraf dan perubahan tingkat hormon

tertentu; fase resistensi (resistance phase), dimana sistem saraf,

hormon dan kekebalan tubuh tetap berada dalam keadaan tinggi/siaga,

sebagai cara tubuh untuk mencoba beradaptasi dengan stresor; fase

keletihan (exhaustion phase), dimana tubuh gagal untuk beradaptasi,

sistem kekebalan tubuh melemah, dan disini batas resistensi dan

(29)

Dalam perkembangannya, stres sebagai respon dapat dilihat

sebagai reaksi fisiologis dan psikologis seseorang terhadap suatu

kejadian atau situasi (Lyons dan Chamberlain, 2006). Definisi stres

sebagai respon merujuk pada suatu keadaan stres; individu dibicarakan

sebagai seseorang yang sedang bereaksi terhadap stres, berada dalam

situasi yang stres, dan sebagainya (Lazarus dan Folkman, 1984).

Dalam penelitian ini stres yang dilihat sebagai respon diukur dengan

menggunakan skalaSymptoms of Stress.

b. Stres Sebagai Stimulus

Stres sebagai stimulus dilihat sebagai sesuatu dari lingkungan

yang memicu reaksi seperti yang dijelaskan pada stres sebagai respon.

Pada awalnya terdapat paradigma mengenai major life events.

Paradigma ini fokus pada stres sebagai suatu faktor lingkungan yang

terletak diluar individu, dan berasumsi bahwa mengadaptasi major

events mengarah pada respon fisiologis yang sama dengan yang

diungkapkan dalam GAS milik Selye. Oleh karena itu, mengalami

kejadian-kejadian besar (major events) dapat berkontribusi terhadap

munculnya penyakit (Lyons dan Chamberlain, 2006).

Kemudian muncul paradigma mengenai minor life events.

Paradigma ini fokus pada bagaimanaminor life eventsseperti kesulitan

sehari-hari (seperti tidak mendapat tempat parkir, terjebak dalam

kemacetan) berpengaruh ada kesehatan fisik. Secara umum, kesulitan

(30)

memprediksikan kesehatan, dan kesulitan sehari-hari tersebut lebih

memiliki pengaruh terhadap kesehatan (Lyons dan Chamberlain,

2006).

Menurut Lazarus dan Folkman, definisi stres sebagai stimulus

fokus pada kejadian-kejadian dalam lingkungan seperti bencana alam,

kondisi yang berbahaya, penyakit atau dipecat. Pendekatan ini

mengasumsikan bahwa situasi tertentu secara normatif menjadi situasi

yang penuh tekanan (stressful) tetapi tidak memperhatikan perbedaan

individual dalam menilai situasi tersebut (Lazarus dan Folkman, 1984).

Dalam penelitian ini stres yang dilihat sebagai stimulus diukur dengan

menggunakan skala The inventory of College Students’ Recent Life

Experiences.

c. Stres danCognitive Appraisal

Cognitive appraisal lebih mudah dipahami sebagai proses

mengkategorisasikan suatu encounter dan berbagai aspeknya, dengan

mengingat pentingnya hal tersebut bagi kesejahteraan. Cognitive

appraisal dapat dibedakan menjadi primary appraisal dan secondary

appraisal(Lazarus dan Folkman, 1984).

1) Primary Appraisaldapat dibedakan menjadi :

Tidak relevan, ketika suatu pertemuan dengan lingkungan

tidak membawa implikasi terhadap kesejahteraan seseorang.

Individu tersebut tidak memiliki investasi mengenai lingkungan

(31)

dengan nilai, kebutuhan, atau komitmen; tidak ada yang akan

berkurang atau meningkat dalam transaksi tersebut.

Tidak berbahaya-positif (Benign-positive appraisal) terjadi

jika hasil dari suatu pertemuan ditafsirkan positif, yakni, jika hal

tersebut meningkatkan atau menjanjikan untuk peningkatkan

kesejahteraan. Appraisal ini ditandai oleh emosi yang

menyenangkan seperti kegembiraan, cinta, kebahagiaan, keriangan

atau ketentraman. Akan tetapi secara total, tidak benign-positive

appraisalyang tanpa derajat ketakutan sangat jarang terjadi. Untuk

beberapa orang, selalu ada prospek bahwa sesuatu yang diinginkan

akan menjadi masam/tidak diinginkan, dan untuk itu seseorang

percaya bahwa dia harus membayar sesuatu yang baik dengan hal

yang tidak baik kemudian, benign-positive appraisal dapat

menghasilkan kecemasan. Ilustrasi tersebut mengantisipasi ide

bahwa appraisal dapat menjadi kompleks dan tercampur,

tergantung pada faktor individu dan konteks.

Stress appraisal meliputi kerugian/kehilangan, ancaman

dan tantangan. Dalam kerugian/kehilangan, sejumlah kerusakan

terhadap individu berlangsung terus menerus, seperti dalam luka

atau penyakit yang menjadikan tidak mampu, rekognisi sejumlah

kerusakan pada diri atau harga diri sosial, atau kehilangan

seseorang yang dicintai. Peristiwa hidup yang paling merusak

(32)

yang besar. Ancaman lebih merupakan kerusakan /kehilangan yang

belum terjadi tetapi telah diantisipasi. Meskipun saat

kerusakan/kehilangan terjadi, hal tersebut selalu tergabung dengan

ancaman karena setiap kehilangan juga selalu mengandung

implikasi negatif di masa yang akan datang. Tantangan, sering

terjadi dengan ancaman, juga sering disebut mobilisasi terhadap

usaha coping. Perbedaan yang utama adalah bahwa challenge

appraisal fokus pada potensi untuk meningkatkan atau

menumbuhkan keterkaitan dalam suatu pertemuan dan hal tersebut

dikarakteristikan oleh emosi yang menyenangkan seperti hasrat,

ketertarikan, kegembiraan, sedangkan ancaman terpusat pada

emosi negatif seperti ketakutan, kecemasan,dan kemarahan.

Penilaian ancaman dan tantangan tidak dilihat sebagai

kutub dari satu hal yang tersambung. Ancaman dan tantangan

dapat terjadi secara bersamaan, dan harus dipertimbangkan sebagai

hal yang terpisah, meskipun seringkali terkait konstruk. Selain itu,

hubungan antara penilaian ancman dan tantangan dapat berubah

menjadi suatu encounter yang berkembang. Suatu situasi yang

dinilai lebih sebagai ancaman daripada tantangan dapat menjadi

dinilai lebih sebagai tantangan daripada ancaman karena usaha

koping secara kognitif yang mana mampu membuat seseorang

(33)

lingkungan yang mengubah hubungan antara orang yang

bermasalah-lingkungan menjadi lebih baik.

Tantangan, sebagai sesuatu yang berlawanan dengan

ancaman, memiliki implikasi penting terhadap adaptasi. Kualitas

fungsi seseorang cenderung lebih baik dalam tantangan karena

orang tersebut merasa percaya diri, sedikit emosi yang

meluap-luap, dan lebih mampu untuk melihat sumber-sumber yang tersedia

daripada orang-orang yang terhambat. Pada akhirnya, adalah hal

yang mungkin bhawa respon stres psikologis untuk tantangan

berbeda dengan ancaman, sehingga penyakit adaptasi dapat

berkurang (Lazarus dan Folkman, 1984).

2) Secondary Appraisal

Saat seseorang berada dalam bahaya, baik itu ancaman

maupun tantangan, sesuatu harus dilakukan untuk mengatur situasi.

Dalam kasus ini, bentuk appraisal yang lebih tinggi menjadi

penting, yakni evaluasi terhadap apa yang mungkin dan bisa

dilakukan, yang disebut sebagai secondary appraisal. Secondary

appraisal merupakan proses evaluatif yang kompleks terhadap

sejumlah pilihan coping yang tersedia, kemungkinannya pilihan

coping yang diberikan akan berhasil sesuai dengan yang

seharusnya, dan kemungkinannya bahwa seseorang dapat

mengaplikasikan strategi yang biasa digunakan atau mengatur

(34)

dan primary appraisal terhadap sesuatu yang berbahaya

berinteraksi satu sama lain, membentuk derajat atau tingkat stres

dan kekuatan dan kualitas (atau konten) reaksi emosional (Lazarus

dan Folkman, 1984). Dalam penelitian ini stres yang terkait dengan

cognitive appraisal diukur dengan menggunakan skala Perceived

Stress.

Stres sebagai suatu konstruk memiliki definisi yang dapat

dikatakan tidak terbatas. Oleh karena itu, peneliti berusaha tidak terbatas

pada salah satu definisi stres untuk melakukan penelitian ini. Dalam

penelitian ini, peneliti akan menggunakan definisi stres sebagai respon,

stres sebagai stimulus dan stres yang terkait dengan cognitive appraisal.

Dengan demikian, pengukuran stres yang dilakukan dalam penelitian ini

menjadi lebih luas.

2. Faktor-faktor Psikologis yang Dapat Mempengaruhi Stres

Faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi stres ialah

(Nevid et al., 2005):

a. Caracoping stress

Coping stress dibedakan menjadi dua, yaitu coping yang

berfokus pada emosi (emotion-focused coping) dan coping yang

berfokus pada masalah (problem-focused coping). Pada coping yang

berfokus pada emosi, individu berusaha segera mengurangi dampak

(35)

situasi. Coping yang berfokus pada emosi tidak membantu individu

dalam mengembangkan cara yang lebih baik untuk mengatur stressor,

sedangkan pada coping yang berfokus pada masalah, orang menilai

stresor yang mereka hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah

stresor atau memodifikasi reaksi mereka untuk meringankan efek dari

stresor tersebut. Coping yang berfokus pada masalah akan menjadi

coping yang lebih efektif.

b. Harapan akan efikasi diri

Harapan mengenai efikasi diri berkenaan dengan harapan

seseorang terhadap kemampuan dirinya dalam mengatasi tantangan

yang dihadapi, harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat

menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap kemampuan

diri untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang positif.

Dituliskan juga bahwa apabila efikasi diri meningkat maka tingkat

hormon stres menurun.

c. Ketahanan psikologis

Ketahanan psikologis merupakan sekumpulan trait individu

yang dapat membantu dalam mengelola stres yang dialami. Ada tiga

trait yang membentuk ketahanan psikologi, yakni : komitmen yang

tinggi, tantangan yang tinggi serta pengendalian yang kuat terhadap

hidup. Secara psikologis orang yang ketahanan psikologisnya tinggi

cenderung lebih efektif dalam mengatasi stres dengan menggunakan

(36)

d. Optimisme

Dari beberapa penelitian disimpulkan bahwa optimisme

berkorelasi dengan kesehatan, dimana individu yang memiliki nilai

optimisme tinggi merupakan individu yang lebih sehat.

e. Dukungan sosial

Dengan adanya dukungan sosial, akan membantu seseorang

menemukan alternatif cara coping dalam menghadapi stresor atau

sekedar memberi dukungan emosional yang dibutuhkan selama

masa-masa sulit.

f. Kebanggaan akan identitas etnik

Kebanggaan terhadap identitas ras atau identitas etnik dapat

membantu individu menghadapi stres yang disebabkan oleh rasisme

dan intoleransi.

B. Dependensi

1. Pengertian Dependensi

Dalam ilmu psikologi, konsep dependensi merupakan konsep yang

terkandung dalam beberapa teori. Salah satu persepektif yang

menggambarkan konsep dependensi adalah psikologi abnormal atau

dengan kata lain dalam perspektif psikologi abnormal dependensi

dianggap sebagai suatu gangguan kepribadian. Bornstein, dalam bukunya

(37)

sebenarnya merupakan suatu konsep yang terkandung dalam setiap teori

kepribadian, baik secara eksplisit maupun implisit. Misalnya, dalam teori

humanistik, dependensi dianggap sebagai perilaku defensif, yang

dilakukan individu untuk meminimalkan kecemasan dan ketidaknyamanan

yang diasosiasikan dengan kegagalan individu untuk menjadi individu

yang teraktualisasi secara penuh. Dalam perspektif ini, individu yang tidak

teraktualisasi dianggap menjadi sulit untuk diajak independen (mandiri),

mengatur perilakunya sendiri dan bahkan menjadi bergantung pada orang

lain untuk mendapatkan perlindungan, tuntunan dan dukungan.

Seperti teori kepribadian humanistik, teori eksistensial memandang

dependensi sebagai perilaku defensif. Disini dependensi

merepresentasikan suatu usaha untuk mencabut/membatalkan (contoh :

externalize) tanggung jawab dari aksi seseorang sebagai usaha

penyangkalan akan kematian seseorang dan isolasi dari dunia yang tidak

terprediksi dan terkontrol. Konsekuensinya, pandangan dunia orang yang

dependen menjadi semakin dangkal dan terdistorsi. Berdasarkan model

eksistensial, individu yang dependen pada akhirnya melihat dirinya

sebagai 1) dikendalikan oleh orang lain dan kejadian-kejadian diluar

dirinya, 2) tidak berdaya untuk mempengaruhi hasil dari suatu kejadian, 3)

tidak bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari tingkah laku mereka

sendiri (Borstein,1993).

Meskipun setiap teori kepribadian menawarkan suatu asosiasi

(38)

pada yang lain. Dua model yang memiliki pengaruh pervasif terhadap teori

dan penelitian dependensi ialah pendekatan psikodinamika dan pandangan

pembelajaran sosial (Bornstein, 1993).

Berikut merupakan penjelasan konsep dependensi menurut

beberapa perspektif:

a. Konsep Dependensi Sebagai Gangguan Kepribadian

Dependensi juga dibicarakan dalam salah satu jenis gangguan

kepribadian, yaitu gangguan kepribadian dependen. Dalam Diagnostic

and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (American

Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders IV-TR, 2000), gangguan kepribadian dependen merupakan

suatu kebutuhan yang menginternalisasi dan berlebihan untuk

diperhatikan oleh orang lain yang berujung pada perilaku patuh dan

perilaku tidak bisa mandiri serta takut akan perpisahan. Hal ini dimulai

pada masa dewasa awal dan muncul dalam konteks yang beraneka

ragam. Gangguan ini ditandai oleh paling tidak lima (atau lebih) dari

kriteria berikut ini :

1) Memiliki kesulitan dalam pengambilan keputusan sehari-hari

tanpa nasehat dan persetujuan yang berlebihan dari orang lain.

2) Membutuhkan orang lain untuk memikul tanggung jawab

mengenai hal-hal utama dalam hidupnya.

3) Memiliki kesulitan dalam mengekspresikan ketidaksetujuan

(39)

dukungan dan persetujuan dari orang lain (catatan : tidak

termasuk ketakutan yang realistik akan balas jasa/ganti rugi).

4) Memiliki kesulitan dalam mengambil inisiatif atau melakukan

hal-hal pada dirinya sendiri (lebih karena kurangnya rasa

percaya diri dalam penilaian atau kemampuaan daripada

kurangnya motivasi atau energi).

5) Melakukan usaha keras yang berlebihan untuk mendapatkan

pemeliharaan dan dukungan dari orang lain, mengarah pada

kerelaan untuk melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan.

6) Merasa tidak nyaman dan tak berdaya ketika sendiri karena

ketakutan yang berlebihan akan ketidakmampuan untuk

memperhatikan atau merawat dirinya sendiri.

7) Amat sangat mencari/mengejar suatu hubungan sebagai sumber

perhatian dan dukungan ketika suatu hubungan yang dekat

berakhir.

8) Penuh dengan ketakutan yang tidak realistik akan ditinggalkan

atau tidak diperhatikan.

Menurut Paul T. Costa, Jr., dan Thomas A. Widiger (2005)

dalam DSM IV-TR, kriteria diagnostik yang diberikan pada gangguan

kepribadian dependen juga dapat dijelaskan mengguanakan perspektif

teori kepribadian lima faktor, yakni : terdapat contoh-contoh

agreeableness yang patologis seperti kerelaan yang berlebihan

(40)

melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan), kerendahan hati

(membutuhkan nasehat dan persetujuan dari orang lain dalam

membuat keputusan sehari-hari). Selain itu, terdapat banyak kriteria

yang menunjukkan neurotism, yakni kerentanan (psikologis),

kecemasan, kesadaran diri (seperti merasa tidak mampu menjaga diri

sendiri, merasa tidak nyaman dan tidak berdaya saat sendiri,

kurangnya rasa percaya diri dalam suatu penilaian atau

kemampuannya, takut kehilangan dukungan dan persetujuan).

b. Konsep Dependensi Menurut Pendekatan Pembelajaran Sosial

Menurut Bornstein (1993) model pembelajaran sosial mengenai

dependensi pada awalnya menganggap dependensi sebagai suatu

dorongan (seperti lapar dan kecemasan) yang terbentuk melalui adanya

penguatan utama (seperti makanan dan kehangatan) dalam konteks

hubungan bayi-perawat (Dollard-Miller, Heathers, Sears, Walters &

Parke, Whiting). Secara ringkas Ainsworth mengungkapkan bahwa

pandangan pembelajaran sosial klasik, dependensi diangggap sebagai

suatu kelas perilaku, yang dipelajari dalam konteks dimana dependensi

bayi berhubungan dengan ibunya. Meskipun hubungan ketergantungan

pada awalnya merupakan suatu hubungan yang khusus, selanjutnya

dependensi dilihat sebagai penggeneralisasian terhadap hubungan

interpersonal lainnya.

Beberapa variasi teori pembelajaran sosial menekankan

(41)

perilaku dependen, teori-teori pembelajaran sosial memiliki kemiripan

dasar hipotesis bahwa seseorang “belajar” menjadi tergantung. Secara

implisit, dalam perspektif pembelajaran sosial, perilaku dependen

ditunjukan karena mereka mendapat reward, sudah mendapat reward

atau akan diberi reward. Singkatnya, model ini berhipotesis bahwa

perbedaan individu dalam dependensi saat dewasa dihasilkan dari

variasi dalam derajat kepasifan (degree to which passive), seberapa

perilaku dependen mendapat penguatan dari perawat dan dari figur

signifikan lainnya (saudara kandung, guru, dsb.) selama awal dan

tengah masa anak-anak.

c. Konsep Dependensi Menurut Pendekatan Psikodinamika

Dalam teori psikoanalis yang dikemukakan oleh Sigmund

Freud terdapat teori yang disebut dengan tahap-tahap perkembangan

psikoseksual. Tahap-tahap ini menekankan pentingnya tahun-tahun

awal dalam kehidupan. Menurut Freud pengalaman-pengalaman pada

tahun-tahun awal inilah yang akan menentukan karakteristik

kepribadian individu dewasa. Kelima tahap psikoseksual tersebut

adalah sebagai berikut : oral stage, anal stage, phallic stage, latency

stage dan genital stage (Hergenhahn dan Olson, 2007). Oral

dependency merupakan suatu konsep yang terkait dengan tahap yang

pertama, yaknioral stage.

Tahap oral terjadi selama tahun pertama kehidupan. Pada tahap

(42)

terbesar dari stimulasi dan kesenangan terletak (Hergenhahn dan

Olson, 2007). Mulut sebagaierogenous zonepada tahap ini setidaknya

memiliki lima fungsi terpenting, yakni : memasukkan, menahan,

menggigit, meludahkan keluar dan menutup (Hall, 1995). Seorang

dewasa yang mengalami oral fixation (dengan kata lain tidak

terpuaskan saat berada pada tahap oral stage) akan dipenuhi oleh

aktivitas-aktivitas oral seperti makan, minum, merokok, menggigit jari,

berciuman, dan sebagainya (Bornstein, 1993). Namun

aktivitas-aktivitas oral tidak hanya berupa aktivitas-aktivitas-aktivitas-aktivitas yang langsung

terkait dengan mulut. Kelima aktivitas terpenting mulut diatas dapat

merupakan suatu prototype. Berikut penjelasan mengenai kelima

aktivitas tersebut :

1) Aktivitas memasukkan sesuatu ke dalam mulut merupakan

prototype untuk memiliki sesuatu.

2) Aktivitas menahan sesuatu di dalam mulut merupakan

prototype untuk kekerasan hati dan kesungguhan.

3) Aktivitas menggigit merupakan prototype untuk sifat merusak.

4) Aktivitas meludahkan keluar untuk menolak dan menghina.

5) Aktivitas menutup mulut merupkan prototype untuk

membangkang dan negativisme.

Sebagai contoh, seseorang yang berorientasi pada prototype

memasukkan sesuatu ke dalam mulut tidak berarti hanya memasukkan

(43)

hal yang sifatnya ‘masuk’ ke individu tersebut. Misalnya keinginan

untuk mendapatkan cinta, pengetahuan, uang, kekuasaan, kepemilikan

materi, keserakahan dan sebagainya. Hal-hal tersebut berkembang

karena pada tahun-tahun pertama inividu tidak cukup mendapat

makanan atau cinta, khususnya dari seorang ibu. Individu yang berada

pada tahap oral (bayi) tentunya bergantung pada orang lain (biasanya

ibu), untuk mendapat kepuasan terkait dengan mulut. Ibu dapat

menguasai tingkah laku bayi dengan misalnya memberikan makanan

kepadanya kalau bayi menuruti keinginan ibunya dan menahan untuk

memberikan makanan ketika bayi itu tidak menurut. Pemberian

makanan terhubungkan dengan cinta dan persetujuan, sedangkan

penahanan pemberian makanan terhubungkan dengan penolakan serta

pencelaan. Oleh karena itu, bayi akan menjadi cemas ketika ibunya

menolak atau meninggalkannya, karena hal ini berarti bayi (individu)

akan kehilangan pemberian keperluan-keperluan mulut yang

diinginkan. Ketika kecemasan tertimbun karena ancaman terhadap

kesenangan bayi ini maka bayi cenderung mengembangkan sikap yang

bergantung pada ibunya, orang lain, bahkan secara umum pada dunia.

Hal ini terjadi karena individu belajar bahwa benda-benda yang ia

inginkan akan diberikan kepadanya bila ia berlaku baik, dan

sebaliknya akan diambil darinya bila ia berlaku buruk. Individu tipe ini

akan disebut sebagai individu yang bergantung kepada mulut (individu

(44)

Individu dengan kepribadian oral merupakan individu yang

narsisistik dimana individu tersebut hanya tertarik pada diri mereka

sendiri dan tidak memiliki pengenalan yang baik terhadap orang lain

sebagai individu yang terpisah. Orang lain hanya dilihat dari apa yang

dapat orang tersebut berikan. Kepribadian oral selalu meminta sesuatu

dengan rendah hati, memohon atau dengan permintaan yang agresif.

Karakteristik-karakteristik kepribadian oral lainnya seperti banyak

menuntut, tidak sabar, pencemburu, mudah iri hati, mudah

mendengki, penuh kemarahan/mudah marah, tertekan (merasa

kosong), penuh kecurigaan dan pesimistik (Pervin dan John, 1997).

Robert F. Bornstein (1993), mendefinisikan dependensi sebagai

gaya (tipe) kepribadian dengan karakterisitik yang terdiri dari 4

komponen utama, yakni:

1) Motivasional (ditandai dengan adanya kebutuhan akan

tuntunan, persetujuan dan dukungan dari orang lain)

2) Kognitif (memiliki persepsi diri yang relatif tidak berdaya dan

tidak berguna serta meyakini bahwa orang lain penuh daya dan

dapat mengendalikan situasi)

3) Afektif (memiliki kecenderungan untuk menjadi cemas dan

penuh ketakutan ketika diminta dalam menjalankan fungsi

yang independen, khususnya ketika hal tersebut akan dinilai

(45)

4) Perilaku (cenderung untuk mencari pertolongan, dukungan,

persetujuan, tuntunan dari orang lain dan cenderung mengalah

pada orang lain dalam transaksi interpersonal.

Definisi menurut Bornstein ini pada dasarnya merupakan

turunan dari apa yang telah dijelaskan Freud. Hanya saja dalam

definisi Bornstein, pendeskripsian dependensi dikelompokkan menjadi

empat komponen utama. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

konsep dependensi yang diungkapkan oleh Bornstein. Konsep yang

disampaikan Bornstein dipilih karena menurut peneliti definisi yang

diberikan Bornstein merupakan definisi yang lebih mudah untuk

dipahami.

2. Pengukuran Dependensi

Dependensi dapat diukur secara obyektif maupun proyektif.

Namun pengukuran dependensi dengan dua cara yang berbeda akan

menghasilkan skor yang berbeda. As McClelland, Koestner, dan

Weinberger (1989) menunjukkan bahwa kebanyakan tes kepribadian self

report mengukur kebutuhan secara eksplisit (atau self-atributed) – sebab

pernyataan seseorang mengenai karakteristiknya berdasarkan pada fungsi

dan pengalaman mereka sehari-hari. Sebaliknya, tes proyektif mengukur

kebutuhan atau dorongan-dorongan implisit yang secara otomatis

mempengaruhi perilaku responden yang sedikit atau tidak disadari oleh

(46)

Dalam penelitian ini, konsep dependensi yang diambil menurut

Bornstein memiliki empat komponen : motivasional, kognitif, afektif dan

perilaku seperti telah dijelaskan sebelumnya. Empat komponen yang

tekandung dalam dependensi tersebut mengarahkan dependensi sebagai

apa yang disebut oleh McAdams sebagaipersonal concerns. Sebagaimana

disebutkan dalam penelitiannya yang berjudul What Do We Know When

We Know a Person (McAdams, 1995), personal concerns, bila

dibandingkan dengan dispositional traits, secara khusus meliputi

motivasional, perkembangan, atau pola strategi. Personal concerns

berbicara mengenai apa yang seseorang inginkan, seringkali selama

periode-periode khusus dalam kehidupan atau dalam aksi tertentu, dan

metode hidup apa yang digunakan seseorang (seperti strategi,

perencanaan, pertahanan diri, dan sebagainya) dalam tujuannya untuk

memperoleh yang diinginkan atau menghindari apa yang tidak diinginkan

dalam hidup seseorang, dalam tempat-tempat tertentu, dan/atau dalam

peran-peran tertentu.

Dengan komposisi yang demikian, personal concern merupakan

bagian dari kepribadian seseorang yang lebih cocok diukur dengan

pengukuran secara proyektif (McAdams, 1995). Dengan demikian

dependensi dalam penelitian ini, yang termasuk dalam kategori personal

concernsakan diukur dengan pengukuran secara proyektif.

Alat pengukuran yang digunakan untuk mengukur dependensi

(47)

Masling. Alat ini dipilih karenaRorschach merupakan alat dengan teknik

proyektif dan kategori yang ada pada skala tersebut merupakan hal-hal

yang dibuat berdasarkan konsep yang dijelaskan oleh Bornstein.

C. Mahasiswa

Mahasiswa dalam perspektif psikologi perkembangan merupakan

individu yang berada pada masa dewasa awal. Usia dewasa awal yang oleh

ahli sosiologi, Kenneth Kenniston disebut sebagai masa muda merupakan

periode transisi antara masa remaja dan masa dewasa yang merupakan masa

perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi yang sementara. Menurut Erikson,

masa ini terjadi dalam rentang 20an hingga 30an tahun (Santrock, 2002).

Sementara itu, dalam perspektif psikososial, periode ini merupakan periode

dimana perubahan progresif dari rasa individualis dan egosentris menuju

hubungan yang lebih baik dengan significant others. Daniel Levinson (1978)

mendefinisikan masa ini sebagai periode dimana stabilitas terombang-ambing

dan periode stres, yang ditandai dengan transisi yang terjadi pada waktu

kronologis tertentu selama rentang kehidupan (Hutchison, 2003).

Secara khusus tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa dimulai pada

terjadinya masa transisi dari sekolah menengah atas menuju kehidupan

universitas. Dalam hal ini top-dog phenomenon terjadi. Fenomena yang

dimaksud adalah adanya perubahan dari siswa yang paling tua (senior) di

sekolah menengah atas menjadi siswa yang paling muda dan paling tidak

(48)

mahasiswa baru di universitas lebih banyak mengalami tekanan dan depresi

(Sabtrock, 2002).

D. Hubungan Antara Tingkat Dependensi dan Tingkat Stres pada

Mahasiswa

Hubungan antara tingkat dependensi dan tingkat stres pada mahasiswa

dapat dilihat dari adanya komponen dalam variabel dependensi yang

merupakan faktor faktor yang dapat meningkatkan stres. Hal tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut: dependensi merupakan tipe atau gaya kepribadian

dengan karakteristik yang terdiri dari empat komponen utama, yakni

komponen motivasional, kognitif, afektif dan perilaku (Bornstein, 1993).

Komponen motivasional meliputi adanya kebutuhan akan tuntunan,

persetujuan dan dukungan dari orang lain.

Komponen kognitif meliputi persepsi diri yang relatif tidak berdaya

dan tidak berguna serta meyakini bahwa orang lain penuh daya dan dapat

mengendalikan situasi. Dalam komponen kognitif tersebut persepsi diri yang

relatif tidak berdaya dan berguna mengarah pada kurangnya efikasi diri dan

optimisme, sedangkan meyakini bahwa orang lain mampu mengendalikan

situasi, sementara tidak pada dirinya sendiri, mengarah pada salah satu

komponen dari ketahanan psikologis yakni pengendalian terhadap hidup yang

kurang (mengurangi ketahanan psikologis seseorang).

Komponen Afektif meliputi adanya kecenderungan untuk menjadi

(49)

independen, khususnya ketika hal tersebut dinilai oleh orang lain. Hal ini juga

tertera dalam DSM IV-TR dan oleh Paul T. Costa, Jr., dan Thomas A. Widiger

(2005) digolongkan dalam neurotism. Selain itu, dalam komponen afektif

tersebut terkandung bahwa seseorang yang memiliki dependensi tinggi

cenderung kurang atau tidak melihat sesuatu sebagai suatu tantangan yang

harus dihadapi, dan hal ini menjadi salah satu komponen yang juga

mengurangi ketahanan psikologis seseorang.

Komponen perilaku meliputi kecenderungan untuk mencari

pertolongan, dukungan, persetujuan, tuntunan dari orang lain dan cenderung

mengalah pada orang lain dalam transaksi interpersonal. Dalam komponen

perilaku ini, orang yang memiliki dependensi yang tinggi akan cenderung

menyelesaikan masalahnya dengan jalan mencari dan meminta orang lain

untuk memecahkan permasalahannya, dengan demikian individu tersebut

cenderung melakukan emotion focused coping. Selain itu, komponen tersebut

juga menunjukkan bagaimana individu dengan tingkat dependensi yang tinggi

menjadi kurang atau tidak memiliki komitmen dalam melakukan

tugas-tugasnya karena cenderung melimpahkannya pada orang lain, dan hal tersebut

merupakan komponen yang juga mengurangi ketahanan psikologis individu

tersebut.

Dalam penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa individu

dengan tingkat dependensi yang tinggi memiliki kebutuhan akan tuntunan,

persetujuan dan dukungan dari orang lain, efikasi diri dan optimisme yang

(50)

berfokus pada emosi (emotion focused coping), serta ketahanan psikologis

yang rendah. Adanya karakteristik efikasi diri yang rendah, optimisme yang

rendah, neurotism yang tinggi, kecenderungan menggunakan strategi koping

yang berfokus pada emosi serta ketahanan psikologis yang rendah dapat

meningkatkan tingkat stres seseorang. Karena karakteristik-karakteristik

tersebut merupakan sebagian besar faktor-faktor yang dapat meningkatkan

stres selain faktor dukungan sosial yang rendah, kebanggaan akan identitas

etnik yang rendah, sertaopennessyang rendah.

Selain itu, mahasiswa menghadapi tuntutan-tuntutan baru, seperti

tuntutan yang terkait dengan kuliah maupun tuntutan yang terkait dengan

relasi sosial, yang seringkali merupakan stresor yang dapat menjadikan

individu-individu pada masa ini rentan terhadap stres. Oleh karena itu, peneliti

memiliki hipotesis bahwa ada hubungan yang positif antara tingkat

deependensi dan tingkat stres pada mahasiswa.

Secara ringkas dinamika antara stres dan dependensi dapat dilihat

(51)

Skema dinamika antara stres dan dependensi

Dependensi merupakan tipe atau gaya kepribadian dengan karakteristik yang terdiri dari empat komponen utama, yakni (Bornstein,1993) :

KOGNITIF

memiliki persepsi diri yang relatif tidak berdaya dan tidak berguna serta meyakini bahwa orang lain penuh daya dan dapat mengendalikan situasi

AFEKTIF

memiliki kecenderungan untuk menjadi cemas dan penuh ketakutan ketika diminta dalam menjalankan fungsi yang independen, khususnya ketika hal tersebut akan dinilai oleh orang lain

PERILAKU

(52)

E. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan yang positif antara tingkat dependensi dan tingkat stres

pada mahasiswa. Dimana jika tingkat dependensi tinggi maka tingkat stres

yang dimiliki mahasiswa tinggi. Begitu juga sebaliknya, jika tingkat

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif-korelasional. yang

bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan antara dua variabel. Peneliti

memilih jenis penelitian ini karena penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan hubungan antara tingkat dependensi dan tingkat stres pada

mahasiswa.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel bebas : tingkat dependensi

Variabel tergantung : tingkat stres

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Dependensi

Dalam penelitian ini, tingkat dependensi yang dimaksud adalah

hasil dari skala Rorschach Oral Dependency yang didapat dari hasil

analisis isi dari tes proyektif yakni tes Rorschach. Semakin tinggi skor

yang dihasilkan dari pengukuran skala Rorschach Oral Dependency akan

menunjukkan tingkat dependensi yang semakin tinggi.

(54)

2. Stres

Stres yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan stres sebagai

respon, yang akan diukur dengan skala Symptoms of Stress; stres sebagai

stimulus yang akan dikur dengan menggunakan skala adaptasi dari The

Inventory of College Students’ Recent Life Experiences; dan stres yang

terkait dengan cognitive appraisal, yang akan diukur dengan menggunakan

skala Perceived Stress. Dalam pengukuran menggunakan ketiga skala

tersebut, skor yang semakin tinggi menunjukkan tingkat stres yang

semakin tinggi.

D. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, stres akan diukur dengan beberapa alat ukur

yakni : Symptoms of Stress Scale, The Inventory of College Students’ Recent

Life Experiences, dan Perceived Stress Scale. Masing-masing dari ketiga alat

tersebut mewakili suatu konstruk tertentu. Hal ini dapat dilihat lebih jelas

dalam tabel 1. Sementara itu, variabel dependensi akan diukur dengan skala

Rorschach Oral Dependency.

Tabel 1

BlueprintSkala Stres

Konstruk Skala No. Aitem

Stres sebagai respon Symptoms of Stress Scale (Bagian I)

1 - 10

Stres sebagai stimulus The Inventory of College

Students’ Recent Life

(55)

Experiences(Bagian II)

Stres terkait dengancognitive appraisal

Perceived Stress Scale (Bagian III)

1 - 10

Pada ketiga skala stres, penerjemahan dilakukan dengan tiga proses

oleh peneliti dan dua orang yang berkompetensi dalam bahasa inggris. Proses

pertama, peneliti menerjemahkan menerjemahkan ketiga skala stres dalam

bahasa indonesia. Proses kedua, salah satu orang yang berkompetensi dalam

bahasa inggris menerjemahkan kembali terjemahan peneliti ke dalam bahasa

inggris. Proses terakhir, ketiga skala stres berbahasa inggris yang dihasilkan

dalam proses kedua dibandingkan dengan ketiga skala stres asli, apakah

keduanya memiliki makna yang sama. Proses terakhir ini dilakukan oleh satu

orang lainnya.

Berikut ini penjelasan mengenai masing-masing alat pengumpulan

data :

1. Symptoms of Stress Scale

Skala ini mengukur frekuensi seseorang mengalami

permasalahan baik fisik maupun psikologis yang merupakan

simtom-simtom stres yang biasa terjadi.

Simtom-simtom tersebut akan diukur dengan frekuensi sebagai

berikut tidak pernah (skor = 0), sekali sebulan (skor = 1), sekali seminggu

(skor = 2), dua sampai tiga kali seminggu (skor = 3), setiap malam atau

setiap pagi (skor = 4), sekali atau dua kali sehari (skor = 5) dan hampir

(56)

2. The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences

Skala ini terdiri dari 49 aitem, pada dasarnya didesain untuk

mengidentifikasi keterbukaan individu terhadap sumber-sumber stres atau

kesulitan-kesulitan (hassles) dan juga mengidentifikasi tingkat stressor

tersebut dialami dalam satu bulan terakhir. Skala ini diciptakan khusus

untuk mahasiswa. Berikut beberapa contoh aitem dari skalaThe Inventory

of College Students’ Recent Life Experiencesyang telah diterjemahkan :

Adaptasi dari The Inventory of College Students’ Recent Life

Experiences

Berikut ini adalah daftar beberapa pengalaman yang Anda telah alami beberapa kali atau lebih. Silahkan mengindikasikan setiap pengalaman,

seberapa besar hal tersebut menjadi bagian hidup Anda selama satu bulan

terakhir ini. Tandailah jawaban Anda berdasarkan petunjuk berikut ini:

Intensitas kejadian dalam satu bulan terakhir:

0 = Sama sekali bukan bagian dari hidup saya

1 = Hanya sedikit dari bagian hidup saya

2 = Sebagian besar hidup saya

3 = Benar-benar bagian besar hidup saya

_____ Dikecewakan oleh teman-teman (aitem no.2)

_____ Terlalu banyak tugas yang harus dikerjakan (aitem no. 5)

_____ Tidak memiliki cukup waktu untuk bersantai (aitem no. 13)

_____ Pertentangan dengan keluarga Anda (aitem no. 28)

_____ Menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan, seperti di

bank, toko, dll. (aitem no. 43)

_____ Kekecewaan atas kemampuan atletis/keolahragaan Anda

(57)

3. Perceived Stress Scale

Perceived Stress Scale merupakan instrumen psikologis yang

mengukur persepsi terhadap stres, yang paling banyak digunakan. PSS

bukan merupakan alat diagnostik sehingga tidak ada cut-off terhadap

aitem-aitemnya. Secara khusus, Perceived Stress Scale mengukur derajat

dimana situasi-situasi dalam kehidupan seseorang dinilai sebagai situasi

yang penuh tekanan (stressfull). Aitem-aitem dalam skala ini didesain

untuk mengungkapkan seberapa besar hal-hal yang ditemukan seseorang

dalam hidupnya tidak dapat diprediksi, tidak dapat dikendalikan dan

overload.

Berikut merupakan beberapa contoh aitem dari Perceived Stress

Scaleyang telah diterjemahkan :

Perceived Stress Scale

Pertanyaan-pertanyaan dalam skala ini menanyakan bagaimana

perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran Anda selama satu bulan terakhir ini. Dalam semua kasus, Anda akan diminta untuk mengindikasikannya

dengan melingkari seberapa sering anda merasa dan memikirkannya.

Nama :

Usia :

Jenis Kelamin : P / L (lingkarilah)

0 : tidak pernah 1 : hampir tidak pernah

2 : kadang-kadang 3 : cukup sering

4 : sangat sering

1) Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering

Anda jengkel karena sesuatu terjadi tidak

(58)

(aitem nomor 1)

2) Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering Anda yakin dengan

kemampuan Anda mengatasi masalah-masalah

pribadi Anda?...0 1 2 3 4

(aitem nomor 4)

3) Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering Anda menyadari bahwa Anda

tidak mampu mengatasi segala hal yang harus

Anda lakukan?...0 1 2 3 4

(aitem nomor 6)

Dalam Perceived Stress Scale, aitem nomor 4, 5, 7 dan 8 di skor secara

terbalik (0 = 4, 1 = 3, 2 = 2, 3 = 1, dan 4 = 0)

4. SkalaRorschach Oral Dependency(ROD Scale)

Pengukuran tingkat dependency akan dilakukan dengan

menggunakan tes proyektif yakni dengan skala Rorschach Oral

Dependency (ROD) yang akan dilakukan secara klasikal maupun

individual. Kedua administrasi dapat dilakukan karena kedua administrasi

ini terbukti tidak memberikan efek untuk hasil yang akan diperoleh sejauh

dilakukan dengan prosedur yang sama (Bornstein, 1993).

Prosedur administrasi yang akan dilakukan adalah sebagai berikut

:10 bercak tinta ditunjukan kepada subyek, dan tiap bercak ditunjukan

dalam beberapa menit. Subyek diminta untuk menuliskan dua atau tiga hal

yang meraka lihat dalam bercak-bercak tinta tersebut, dengan dua respon

pada kartu IV, V, VI, VII, IX dan tiga respon untuk 5 kartu lainnya.

Subyek menuliskan deskripsi yang nantinya akan di skor untuk

(59)

respon yang digunakan dalam skoring ROD : 1. dependent imagery

(seperti figur-figur yang menunjukkan perilaku dependen yang tampak,

situasi meliputi kepasifan dan ketidakbersayaan, figure-figur yang

memberi bantuan dan dukungan (nurturing) dan figur-figur yang merawat

(caretaking figures) dan 2. oral imagery (seperti makanan dan persepsi

yang berhubungan dengan mulut). Kategori nomor 6, 9, 10, 11, 13, 14, dan

15 merupakan persepsi yang berhubungan dengan dependensi. 1, 2, 3, 4, 5,

7, 8, 12 merupakan persepsi yang berhubungan engan oral. 16 bisa masuk

kedua kategori, tergantung pada apa yang terkandung dalam persepsi

subyek.

Subyek menerima satu poin untuk baik respon yang mengandung

persepsi dependent maupun oral pada ROD. Skor ROD berkisar antara 0

– 25, dengan skor yang lebih tinggi mengindikasikan tingkat dependensi

yang lebih tinggi. Akan tetapi dalam penelitiannya Bornstein (1993)

menyimpulkan bahwa rata-rata skor ROD berkisar 0-8.

Berikut disajikan skalaRorschach Oral Dependency

SkalaRorschach Oral Dependencyterdiri dari 16 kategori yakni :

1) Makanan dan minuman

2) Sumber makanan (seperti restoran, payudara, sawah, dan

sebagainya)

3) Objek makanan (seperti sendok, panci, dan sebagainya)

(60)

5) Penerima makanan (seperti burung dalam sangkar, dan

sebagainya)

6) Memohon dan berdoa

7) Organ yang dipakai untuk makan (seperti bibir, mulut, perut,

dan sebagainya)

8) Oral instrument (seperti lipstick, dot bayi, rokok, dan

sebagainya)

9) Nurturance(ayah, ibu, dokter, Tuhan, dan sebagainya)

10) Hadiah-hadiah

11) Objek pembawa keberuntungan (seperti jimat, dan sebagainya)

12) Aktivitas oral (menyanyi, makan, dan sebagainya)

13) Kepasifan dan ketidakberdayaan (tersesat, tidur-tiduran, dan

sebagainya)

14) Kehamilan dan organ-organ reproduksi (khusus perempuan,

seperti rahim, vagina, dan sebagainya)

15)Baby talk(berbicara seperti anak-anak)

16)Negation of oral dependent percepts (tidak ada mulut,

perempuan tanpa payudara, ini bukan makanan, dan

(61)

E. Subjek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah mahasiswa yang tergolong pada tahap

perkembangan dewasa awal. Karakteristik subyek yang lain tidak dibatasi

namun peneliti meminta data demografi yang berupa usia dan jenis kelamin

untuk menjelaskan bila hasil penelitian menunjukkan adanya variasi yang

dkarenakan oleh hal-hal/ variabel-variabel lain yang tidak dikontrol oleh

peneliti.

Subyek diperoleh dengan mengumpulkan mahasiswa yang bersedia

berpartisipasi dalam penelitian ini, khususnya di kota Yogyakarta. Peneliti

akan mencari responden sejumlah 60 orang. Dengan tujuan mendapatkan hasil

yang bervariasi sehingga dapat membedakan tingkat dependensi maupun stres

secara jelas serta cukup untuk membuktikan apakah tingkat dependensi

berhubungan dengan tingkat stres.

F. Uji Coba Alat Pengumpulan Data

Uji coba yang dilakukan untuk ketiga skala yang mengukur stres

dilakukan pada individu-individu yang juga merupakan mahasiswa mengikuti

karakteristik subyek penelitian. Ketiga skala tersebut dibagikan kepada 100

mahasiswa. Dengan demikian, jumlah tersebut memenuhi standar perhitungan

statistik. Namun demikian tidak semua skala yang dibagikan dapat digunakan

karena ketidaklengkapan pengisian. Jumlah data uji coba yang diperoleh

(62)

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat pengumpulan data

yang sudah tersedia. Oleh karena itu, selain melakukan uji coba ketiga skala

stres untuk mengetahui reliabilitas, peneliti juga mengumpulkan beberapa

informasi mengenai validitas dan reliabilitas ketiga alat ini dalam

penelitian-penelitian yang pernah dilakukan. Berikut informasi mengenai validitas dan

reliabilitas ketiga skala stres serta informasi validitas dan reliabilitas dari

Rorschach Oral Dependency Scale(RODS).

1. Validitas dan Reliabilitas Skala Simtom Stres

Sampai saat ini peneliti belum menemukan informasi mengenai

validitas dan reliabilitas alat ukur ini. Oleh karena itu, peneliti akan

menjelaskan validitas dan reliabilitas berdasarkan hasil analisis peneliti

sendiri. Validitas skala ini dapat dilihat berdasarkan isi aitem-aitemnya.

Aitem-aitem pada skala ini menunjukkan kesesuaian dengan salah satu

teori stres, yakni stres sebagai respon. Seperti telah dijelaskan pada bab II,

stres sebagai respon dapat dilihat sebagai reaksi fisiologis dan psikologis

tehadap suatu kejadian atau situasi (Lyons dan Chamberlain, 2006).

Aitem-aitem pada skala ini berisi mengenai beberapa respon baik

fisiologis maupun psikologis yang mungkin muncul ketika seseorang

mengalami kejadian atau situasi tertentu. Dengan demikian skala ini dapat

dikatakan memiliki validitas isi karena aitem-aitemnya memiliki

(63)

Berdasarkan hasil analisis reliabilitas yang dilakukan dengan

teknik Alpha Cronbach, dengan bantuan SPSS versi 17.0, diperoleh

koefisien Alpha sebesar 0.821. Hasil ini menunjukkan bahwa skala ini

merupakan skala yang reliabel karena koefisien Alpha yang dihasilkan

mendekati 1.00. Selain itu, analisis tiap aitem juga dilakukan. Pada skala

ini tidak ada aitem yang dinyatakan gugur karena pada skala ini tiap aitem

memiliki korelasi aitem total yang melebihi 0.3 (standar korelasi aitem

yang sering digunakan dalam menggugurkan aitem). Aitem-aitem pada

skala ini memiliki korelasi aitem total yang berkisar antara 0.373 hinga

0.621. Dengan demikian, pada skala ini tidak ada aitem yang harus

dibuang.

2. Validitas dan Reliabilitas The Inventory of College Students’ Recent Life

Experiences

Dalam sebuah abstrak penelitian milik Kohn, Lafreniere dan

Gurevich yang berjudul “The Inventory of College Students’ Recent Life

Experiences: a decontaminated hassles scale for a special population,”

dikatakan bahwa koefisien reliabilitas yang dihasilkan dari 49 aitem

ICSRLE dan korelasinya dengan Perceived Stress Scale adalah tinggi.

Selain penelitian tersebut, penelitian lain yang berjudul “Analysis of the

inventory of college students’ Recent Life Experiences,” mengatakan

bahwa koefisien alpha dari 49 aitem ICSRLE adalah 0.94.

Seperti telah diketahui, pada penelitian ini skala ICSRLE yang

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: (1) Terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara role overload dengan stres kerja perawat, hal ini dapat diketahui dari r xy = 0,709 dengan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa. Kata kunci: Kontrol diri,

Kesimpulan hasil penelitian ini adalah ada hubungan positif yang sangat signifikan antara iklim organisasi dengan komitmen organisasi.. Kata Kunci : Iklim Organisasi,

ada hubungan positif yang signifikan antara antara perfeksionisme dengan stres

Hasil penelitian pada variabel tingkat stres menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat stres dengan psychological well being pada remaja di Panti

Berdasarkan uraian di atas, maka diambil kesimpulan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara stres akademik dengan minat

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara citra tubuh dengan tingkat stres,

Kesimpulan : Terdapat hubungan tingkat stres terhadap peningkatan risiko terjadinya Dermatitis Atopik pada remaja di SMP Negeri 8 Surakarta.. Kata Kunci : Tingkat Stres,