Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
oleh:
Patricia Erisa Marthadewi K 06 9114 027
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
oleh:
Patricia Erisa Marthadewi K 06 9114 027
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
~Fernanda Miramontes-Landeros~
Do not judge, and you will not be
judge; do not condemn and you will
v
Tuhan Yesus Kristus
Kedua Orang Tuaku, Yustinus Gan Kong Liok
dan
Veronica Jeniarti
Kakakku Raymondus Nonatus Eros Pratomo Kusumanto
Kedua adikku Yoanes Kapistran Ervan Prasetio Kusumanto
dan
vii
Patricia Erisa Marthadewi K
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat dependensi dan tingkat stres pada mahasiswa. Subyek penelitian ini adalah 48 orang mahasiswa. Dalam penelitian ini, tingkat stres diukur dengan tiga skala yang telah tersedia (dengan melalui proses penerjemahan dan adaptasi), yakni skala Symptoms of Stress(SOS) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba sebesar 0,821; skalaThe Inventory of College Students’ Recent Life Experiences(ICSRLE) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba sebesar 0,942; dan Perceived Stress Scale (PSS) dengan koefisien reliabilitas hasil uji coba sebesar 0,781. Tingkat dependensi diukur dengan skala Rorschach Oral Dependency (ROD) dengan reliabilitas interater sebesar 0,824. Uji korelasi Pearson Product Moment dilakukan terhadap total skor skala ROD dengan ketiga skala stres secara sendiri-sendiri. Hasil uji korelasi secara berturut-turut antara skor skala ROD dengan skor skala SOS, ICSRLE dan PSS adalah r = 0,076 r = 0,002 dan r = -0,006. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan positif yang signifikan antara tingkat dependensi dan tingkat stres pada mahasiswa.
viii
Patricia Erisa Marthadewi K
ABSTRACT
This study aims to find out the relationship between the level of dependencies and level of stress on college students. The subjects of this study were 48 college student. In this study, stress levels were measured with three scales are already available (through the process of translation and adaptation), the Symptoms of Stress (SOS) scale, The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences (ICSRLE) and Perceived Stress Scale (PSS). Reliability analysis conducted on all three scales that have been tested. Results are as follows: The Cronbach’s alpha coefficients for SOS scale were 0,821; The Cronbach’s alpha coefficients for the The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences (ICSRLE) were 0,942; and The Cronbach’s alpha coefficients for Perceived Stress Scale (PSS) were 0,781. Dependency level was measured with the the Rorschach Oral Dependency (ROD) scale with interater reliability were 0.824. Pearson Product Moment correlation test performed on the total score from ROD scale with the third stress scale independently. The correlation between ROD scale scores with scores of SOS scale, ICSRLE scale and PSS consecutively is r = 0.076, r = 0.002 and r = - 0.006. The conclusion of this study is there is no significant positive correlation between levels of dependency and level of stress in college students.
x
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Skripsi ini berjudul ”Hubungan Antara Tingkat Dependensi dan Tingkat Stres Pada Mahasiswa”.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua yang telah memberikan bantuan dan dukungan tersebut :
1. Tuhan Yesus ku dan Bunda Maria yang selalu menemaniku disetiap saat
bahkan disaat ku ’mengabaikan’ Kalian.... From deep inside of my heart, I
believe that you’ve been there....
2. Papa dan Mama yang... entahlah... I just wanna say thank you for everything.
Ko Eros, pulang aja deh ke Jogja... Ervan dan Erdin, meski menurutku kalian
semua sering menggangguku, tapi makasih karena membuat duniaku ramai.
Mak Giam dan Mak Ing, makasih karena selalu mendoakan ku....
3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko S.Psi., M.Si. selaku pembimbing skripsi saya,
Terima kasih banyak Pak, atas bimbingannya, juga atas kuliah-kuliah di kelas
PD II : Observasi dan spesial di mata kuliah Tes Rorschach yang banyak
menginspirasi saya.
4. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si., Psi. yang telah membukakan peluang
saya untuk bergabung di unit konseling, tanpa pemberitahuan Ibu, mungkin
xi
ilmu, bimbingan dan inspirasi yang telah saya dapatkan dari Bapak/Ibu semua.
6. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma, terima kasih atas
bantuan-bantuan dan keramahannya yang membuat saya nyaman selama
kuliah di Fakultas Psikologi USD.
7. Spesial untuk Cie Mila dan Ko Emil yang telah membantuku menerjemahkan
skala-skala yang digunakan dalam skripsi ini.
8. Seluruh teman di Fakultas Psikologi USD, makasih untuk masa-masa kuliah
yang menyenangkan. Spesial untuk Mia, yang selalu siap sedia membantu dan
mendengarkan curhatanku, he...he... Dengarkan curhatku sampai tua nanti
ya... Juga untuk Berto, Satria, Ardian, Adit, Rafa, Chika, Viany, Novita utuk
kedekatan kita di semester-semester awal yang tak terlupakan. Liem, Jean dan
Mas Yandu yang turut memberikan kontribusi nyata dalam skripsi ini, terima
kasih banyak atas bantuan kalian.
9. Seluruh teman di Unit Konseling, Mbak Puput, Mbak Karen, Mbak Wira
makasih atas transfer ilmunya, he…he… Wayan, Rara, Ike, Mas Yandu, Mbak
Ika, dan Mbak Ndoel, kapan-kapan kita piknik lagi ya, he…he… Riana dan Komenk yang tetap bertahan di unit konseling karena tiga pendatang baru kita harus mengundurkan diri.
xiii
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO ...iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT... viii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ...x
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
BAB I PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang Masalah...1
B. Rumusan Masalah ...6
C. Tujuan Penelitian ...6
D. Manfaat Penelitian ...7
1. Manfaat Teoritis ...7
xiv
2. Faktor-faktor Psikologis yang Dapat Mempengaruhi Stres ...15
B. Dependensi ...17
1. Pengertian Dependensi...17
2. Pengukuran Dependensi...26
C. Mahasiswa...28
D. Hubungan Antara Tingkat Dependensi dan Tingkat Stres Pada Mahasiswa...29
E. Hipotesis Penelitian...33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...34
A. Jenis Penelitian...34
B. Identifikasi Variabel Penelitian...34
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian...34
1. Dependensi ...34
2. Stres...35
D. Alat Pengumpulan Data ...35
1.Symptoms of Stress Scale...36
2. The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences...37
3.Perceived Stress Scale...38
4. SkalaRorschach Oral Dependency (ROD Scale)...39
E. Subyek Penelitian...42
xv
Experiencens ...44
3. Validitas dan Reliabilitas SkalaPerceived Stress...46
4. Validitas dan Reliabilitas SkalaRorschach Oral Dependency...47
5. Uji Korelasi Ketiga Alat Ukur Stres ...49
H. Metode Analisis Data...50
BAB IV HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN ...51
A. Pelaksanaan Penelitian ...51
B. Hasil Penelitian ...52
1. Deskripsi Subyek Penelitian ...52
2. Deskripsi Data Penelitian...53
3. Analisis Data ...54
C. Pembahasan...59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...62
A. Kesimpulan ...62
B. Keterbatasan Penelitian...62
C. Saran...63
DAFTAR PUSTAKA ...64
xvi
Tabel 2 Deskripsi Statistik Data Penelitian Variabel Stres ... 53
Tabel 3 Deskripsi Statistik Data Penelitian
xvii
Analisis Reliabilitas Alat Ukur Stres ... 76
A. Analisis Reliabilitas SkalaSymptoms of Stress...76
B. Analisis Reliabilitas SkalaThe Inventory of College Students’ Recent Life Experiences ...77
C. Analisis Reliabilitas SkalaThe Inventory of College Students’ Recent Life Experiencesaitem no 11, 20 dan 32 digugurkan ... 79
D. Analisis ReliabilitasPerceived Stress Scale ...81
Data SkoringRorschach Oral Dependency Scale ...82
Analisis Reliabilitas InteraterRorschach Oral Dependency Scale...83
Uji Normalitas Data Penelitian ... 84
A. Uji Normalitas RS SkalaSymptoms Of Stress ...84
B. Uji Normalitas RS SkalaSymptoms Of Stresssetelahoutliers dibuang (46 subyek) ... 86
C. Uji Normalitas RS SkalaThe Inventory of College Students’ Recent Life Experiences ...88
D. Uji Normalitas RS SkalaThe Inventory of College Students’ Recent Life Experiences46 Subyek ... 90
E. Uji Normalitas RS SkalaPerceived Stress ...92
F. Uji Normalitas RS SkalaPerceived Stress46 Subyek... 94
xviii
B. Uji Korelasi 46 subyek... 101
Uji Linearitas... 102
A. Uji Linearitas RS SkalaSymptoms Of Stress& RS Skala
Rorschach Oral Dependency48 Subyek ... 102
B. Uji Linearitas RS SkalaSymptoms Of Stress& RS Skala
Rorschach Oral Dependency46 Subyek ... 103
C. Uji Linearitas RS SkalaThe Inventory of College Students’
Recent Life Experiences& RS SkalaRorschach Oral Dependency
48 Subyek... 104
D. Uji Linearitas RS SkalaThe Inventory of College Students’
Recent Life Experiences& RS SkalaRorschach Oral Dependency
46 Subyek... 105
E. Uji Linearitas RS SkalaPerceived Stress& RS Skala
Rorschach Oral Dependency48 Subyek ... 106
F. Uji Linearitas RS SkalaPerceived Stress& RS Skala
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada jaman yang serba sulit ini, manusia pada umumnya mengalami
banyak tantangan dalam hidupnya, terlebih mahasiswa. Mahasiswa dapat
digolongkan dalam tahap perkembangan dewasa awal. Pada tahap
perkembangan ini seseorang mengalami transisi dari akhir masa remaja ke
awal masa dewasa, dimana salah satu kriterianya, menuntut individu untuk
menjadi mandiri dalam segala hal (Santrock, 2002). Kemandirian yang
dituntut pada masa ini, mengharuskan individu untuk sesegera mungkin
menyesuaikan diri terhadap hal-hal baru yang harus mereka selesaikan sendiri.
Hal tersebut dapat membuat individu pada masa dewasa awal khususnya
mahasiswa merasa stres.
Dalam kehidupan ini, mahasiswa memiliki tuntutan-tuntutan khusus
yang dapat membuat mahasiswa merasa stres. Misalnya tuntutan yang terkait
dengan kehidupan akademik mahasiswa seperti beban kerja yang lebih berat
bila dibandingkan pelajar sekolah menengah atas. Beban kerja tersebut juga
harus dikerjakan tanpa adanya banyak campur tangan dari orang tua maupun
guru. Sistem yang berbeda terkait dengan penyusunan jadwal kuliah juga
menuntut mahasiswa untuk dapat mengatur kegiatannya sendiri (Scott, 2008).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan akademisnya
mahasiswa dituntut untuk dapat lebih mandiri bila dibandingkan dengan
pelajar sekolah menegah atas yang masih banyak dituntun.
Dalam kehidupan sosial, seorang mahasiswa juga mengalami suatu
perubahan yang dapat menyebabkan stres. Perubahan tersebut antara lain
seperti meninggalkan jaringan sosial yang lama dan masuk atau membuat
jaringan sosial yang baru dan bergabung dengan individu-individu pada tahap
dewasa awal. Meninggalkan dan berada jauh dari rumah juga dapat menjadi
penyebab stres. Seorang mahasiswa juga dituntut untuk dapat
menyeimbangkan antara kehidupan sosial dan akademisnya (Scott, 2008).
Kehidupan akademis dan sosial bukan hanya menjadi dua hal yang
dapat menyebabkan seorang mahasiswa merasa stres. Tuntutan-tuntutan lain
diluar kedua hal tersebut juga dapat menjadi suatu penyebab mahasiswa
merasa stres. Tuntutan-tuntutan tersebut antara lain masalah logistik seperti
makan, mencuci pakaian, merawat kendaraan dan sebagainya, kemudian
terkait dengan pengejaran terhadap apa yang menjadi cita-cita mereka dan
masih banyak hal lainnya (Scott, 2008).
Dalam kehidupan sehari-hari kata stres dapat dengan mudah ditemui.
Mulai dari pembicaraan sehari-hari hingga pada artikel dalam surat kabar,
majalah, maupun berita di televisi. Stres sebenarnya merupakan pengalaman
yang wajar dalam kehidupan manusia, mengingat manusia tidak pernah puas
dengan apa yang telah dicapainya, yang menuntunnya pada suatu tuntutan
yang lebih sulit untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Stres juga dapat
hal yang mengancam dan ia merasa tidak mampu untuk menghadapinya
(Lemme, 1999).
Banyak penelitian yang telah dilakukan terkait dengan stres. Misalnya
saja penelitian mengenai kontribusi hardiness (kontrol terhadap hidup,
komitmen yang tinggi dan melihat kesulitan sebagai tantangan) dan
self-efficacy terhadap stres kerja (studi pada perawat RSUP DR. Soeradji
Tirtonegoro Klaten) yang dilakukan oleh Wahyu Rahardjo (2004). Dari hasil
penelitian tersebut dikatakan bahwa hardiness dan self efficacy memberikan
kontribusi dalam mengurangi stres kerja, yakni sebesar 30.4 %. Secara
terpisah hardiness memberikan kontribusi dalam mengurangi stres kerja
sebesar 13.7 % dan variabel self efficacy memberikan kontribusi dalam
mengurangi stres kerja sebesar 29.7%.
Penelitian lain yang berbicara mengenai pengaruh efikasi diri terhadap
stres mahasiswa yang sedang menyusun skripsi juga menghasilkan hal yang
senada dengan penelitian milik Wahyu Rahardjo. Dalam penelitian milik
Pandu Occasear (2009) dengan judul ”Pengaruh Efikasi Diri Terhadap Stres
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang yang Sedang
Menyusun Skripsi” dikatakan bahwa efikasi diri memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap stres mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Hasil dari
analisis regresi yang dilakukan menunjukkan bahwa efikasi diri memberi
kontribusi dalam mengurangi tingkat stres sebesar 20.5%.
Selain itu ada pula penelitian mengenai hubungan antara tingkat
yang sedang menjalani kemoterapi pasca operasi, yang dilakukan oleh Nisa
Muftie Dyahsari (2009). Hasil dari penelitian ini menyatakan adanya
hubungan yang signifikan antara tingkat optimisme dan tingkat stres pada
penderita kanker payudara stadium lanjut yang sedang menjalani kemoterapi
pasca operasi, sebesar r = - 0, 582 dengan p = 0.007. Hal ini membuktikan
bahwa jika tingkat optimisme yang dimiliki seseorang yang menderita kanker
payudara stadium lanjut yang sedang menjalani kemoterapi pasca operasi
tinggi, maka tingkat stres orang tersebut rendah.
Kemudian, Alfindra Primaldhi melakukan penelitian berjudul
”Hubungan Antara Trait Kepribadian Neuroticism, Strategi Coping dan Stress
Kerja”. Penelitian ini dilakukan pada 163 orang dewasa warga negara
Indonesia yang berusia antara 25-55 tahun, karyawan perusahaan
telekomunikasi di Jakarta. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada
hubungan positif antara trait kepribadian neurotism dengan stres kerja dan
strategi koping berfokus emosi. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan
tidak adanya hubungan negatif antara trait kepribadian neurotism dengan
strategi koping berfokus masalah dan strategi koping berfokus religi.
Penelitian terkait dengan stres lainnya berjudul Relationship between
Cortisol Responses to Stress and Personality yang dilakukan oleh Lynn M
Oswald, Peter Zandi, Gerald Nestadt, James B Potash, Amanda E Kalaydjian
dan Gary S Wand (2006). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji
asosiasi antara sifat-sifat (traits) kepribadian dan respon kortisol terhadap stres
telah direvisi. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa kurangnya
Openness (keterbukaan) berasosiasi dengan respon kortisol yang rendah
terhadap tantangan. Respon kortisol yang rendah juga berasosiasi dengan
Neuroticismyang tinggi pada wanita danExtraversion yang rendah pada pria.
Hasil ini menyatakan bahwa personality traits yang biasanya diasosiasikan
dengan psikopatologi yang lebih besar juga berasosiasi dengan tumpulnya
respon hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis terhadap stres. Respon
kortisol yang rendah mengindikasikan tingkat stres yang tinggi. Oleh karena
itu, hasil penelitian ini juga menyatakan bahwa kurangnya keterbukaan
berkorelasi dengan tingkat stres yang tinggi, neurotism yang tinggi pada
wanita berkorelasi dengan stres yang tinggi serta ekstraversi yang rendah pada
pria berkorelasi dengan stres yang tinggi.
Melihat beberapa penelitian diatas, dapat dikatakan bahwa : efikasi
diri, hardiness, openness dan optimisme memiliki korelasi negatif yang
signifikan dengan tingkat stres. Selain itu, neurotism memiliki korelasi positif
yang signifikan dengan tingkat stres. Hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan tersebut, menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang berhubungan
dengan tingkat stres yang merupakan beberapa karakteristik yang dimiliki
individu dengan tipe kepribadian dependen.
Individu dengan kepribadian dependen atau dengan kata lain individu
yang memiliki tingkat dependensi yang tinggi memiliki beberapa karakteristik
diantaranya pesimistik atau dengan kata lain tidak optimis (Pervin dan John,
(powerless) atau dapat dikatakan tidak memiliki efikasi diri (Bornstein, 1993),
dan juga sulit untuk menyatakan ketidaksetujuan pada orang lain (kurang atau
tidak memiliki sifat openness dan ekstraversi) karena ketakutan yang tidak
realistik (neurotism) akan kehilangan dukungan dan persetujuan dari orang
lain (DSM IV TR, 2000). Dengan melihat kedua hal diatas, dimana beberapa
faktor yang berkorelasi negatif dengan stres, kurang atau tidak dimiliki oleh
individu dengan tingkat dependensi yang tinggi serta salah satu faktor yang
berkorelasi positif dengan tingkat stres (neurotism) dimiliki oleh individu
dengan tingkat dependensi yang tinggi maka peneliti memiliki suatu
pertanyaan yaitu apakah ada hubungan yang bersifat positif antara tingkat
dependensi dan tingkat stres.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungna yang bersifat positif antara tingkat dependensi
dan tingkat stres pada mahasiswa?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfat secara teoritis yang berarti memberikan
pengetahuan baru di bidang psikologi. Pengetahuan baru yang dimaksud
adalah sebagai berikut : Pertama, adanya beberapa faktor yang
mempengaruhi stres, yang telah banyak diteliti sebelumnya, mengarah
pada karakteristik dari kepribadian dependen. Kedua, faktor-faktor
tersebut secara bersama-sama (yang terintegrasi sebagai karakter
kepribadian dependen) merupakan salah satu hal yang berhubungan secara
positif dengan stres.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah dengan mengetahui
hubungan yang positif antara tingkat dependensi dan tingkat stres maka
keluhan-keluhan stres dapat diantisipasi dan diatasi dengan melihat
karakteristik dependensi yang dimiliki individu, khususya dalam setting
BAB II
DASAR TEORI
A. Stres
1. Pengertian Stres
Stres merupakan salah satu kata yang hampir setiap hari kita
dengar. Selain itu, akhir-akhir ini media pun menggemborkan bahaya dari
stres. Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan stres merupakan hal
yang sulit dideskripsikan dan masih terus menjadi perdebatan diantara
para ahli. Stres dapat dikatakan merupakan istilah ‘payung’, atau dengan
kata lain, stres merupakan istilah yang menggabungkan variasi
masalah-masalah yang mungkin terjadi pada hal-hal dasar yang umum terjadi
hingga hal-hal serius yang lebih jarang terjadi (Palmer dan Puri, 2006).
Salah satu definisi stres yang paling banyak digunakan ialah
definisi dari Richard Lazarus : stres terjadi saat individu merasa bahwa
mereka tidak dapat dengan tepat mengatasi tuntutan yang ditujukan
kepada mereka atau ancaman pada kesejahteraan mereka (Lazarus &
Folkman, 1984). Definisi lainnya mengatakan bahwa stres merupakan
suatu tuntutan yang mendorong organisme untuk beradaptasi atau
menyesuaikan diri (Nevid, Rathus dan Greene, 2005). Canon
menggunakan istilah stres untuk menjelaskan respon tubuh terhadap
hal-hal darurat (dalam Feist dan Feist, 2008).
Selain beberapa definisi diatas, masih banyak definisi-definisi stres
lainnya. Namun, berikut ini peneliti ingin menjelaskan stres dalam
konteks-konteks tertentu yang nantinya digunakan dalam penelitian ini
yakni sebagai berikut :
a. Stres Sebagai Respon
Pada awalnya, Canon (1929) melihat stres sebagai respon
fisiologis yang mana dikenal sebagai fight-or-flight response. Ketika
menemui situasi yang berbahaya, aktivitas detak jantung dan kesiagaan
manusia (atau hewan) meningkat. Hal tersebut dapat menimbulkan
konsekuensi baik positif dan negatif. Positif karena hal tersebut
membuat seseorang dapat secara cepat bereaksi, dan negatif karena hal
tersebut merugikan kesehatan apabila keadaan siaga tersebut
berlangsung terus menerus (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006).
Kemudian pada tahun 1956, Hans Selye mengungkapkan
sebuah konsep yang dikenal dengan General Adaptation Syndrome
(GAS). Dalam konsep tersebut ada tiga fase reaksi (fase bagaimana
seseorang beradaptasi dengan stres). Fase tersebut ialah : fase alarm
(alarm phase), dimana tubuh mengaktivasi sistem untuk merespon
stresor, meliputi kesiagaan sistem saraf dan perubahan tingkat hormon
tertentu; fase resistensi (resistance phase), dimana sistem saraf,
hormon dan kekebalan tubuh tetap berada dalam keadaan tinggi/siaga,
sebagai cara tubuh untuk mencoba beradaptasi dengan stresor; fase
keletihan (exhaustion phase), dimana tubuh gagal untuk beradaptasi,
sistem kekebalan tubuh melemah, dan disini batas resistensi dan
Dalam perkembangannya, stres sebagai respon dapat dilihat
sebagai reaksi fisiologis dan psikologis seseorang terhadap suatu
kejadian atau situasi (Lyons dan Chamberlain, 2006). Definisi stres
sebagai respon merujuk pada suatu keadaan stres; individu dibicarakan
sebagai seseorang yang sedang bereaksi terhadap stres, berada dalam
situasi yang stres, dan sebagainya (Lazarus dan Folkman, 1984).
Dalam penelitian ini stres yang dilihat sebagai respon diukur dengan
menggunakan skalaSymptoms of Stress.
b. Stres Sebagai Stimulus
Stres sebagai stimulus dilihat sebagai sesuatu dari lingkungan
yang memicu reaksi seperti yang dijelaskan pada stres sebagai respon.
Pada awalnya terdapat paradigma mengenai major life events.
Paradigma ini fokus pada stres sebagai suatu faktor lingkungan yang
terletak diluar individu, dan berasumsi bahwa mengadaptasi major
events mengarah pada respon fisiologis yang sama dengan yang
diungkapkan dalam GAS milik Selye. Oleh karena itu, mengalami
kejadian-kejadian besar (major events) dapat berkontribusi terhadap
munculnya penyakit (Lyons dan Chamberlain, 2006).
Kemudian muncul paradigma mengenai minor life events.
Paradigma ini fokus pada bagaimanaminor life eventsseperti kesulitan
sehari-hari (seperti tidak mendapat tempat parkir, terjebak dalam
kemacetan) berpengaruh ada kesehatan fisik. Secara umum, kesulitan
memprediksikan kesehatan, dan kesulitan sehari-hari tersebut lebih
memiliki pengaruh terhadap kesehatan (Lyons dan Chamberlain,
2006).
Menurut Lazarus dan Folkman, definisi stres sebagai stimulus
fokus pada kejadian-kejadian dalam lingkungan seperti bencana alam,
kondisi yang berbahaya, penyakit atau dipecat. Pendekatan ini
mengasumsikan bahwa situasi tertentu secara normatif menjadi situasi
yang penuh tekanan (stressful) tetapi tidak memperhatikan perbedaan
individual dalam menilai situasi tersebut (Lazarus dan Folkman, 1984).
Dalam penelitian ini stres yang dilihat sebagai stimulus diukur dengan
menggunakan skala The inventory of College Students’ Recent Life
Experiences.
c. Stres danCognitive Appraisal
Cognitive appraisal lebih mudah dipahami sebagai proses
mengkategorisasikan suatu encounter dan berbagai aspeknya, dengan
mengingat pentingnya hal tersebut bagi kesejahteraan. Cognitive
appraisal dapat dibedakan menjadi primary appraisal dan secondary
appraisal(Lazarus dan Folkman, 1984).
1) Primary Appraisaldapat dibedakan menjadi :
Tidak relevan, ketika suatu pertemuan dengan lingkungan
tidak membawa implikasi terhadap kesejahteraan seseorang.
Individu tersebut tidak memiliki investasi mengenai lingkungan
dengan nilai, kebutuhan, atau komitmen; tidak ada yang akan
berkurang atau meningkat dalam transaksi tersebut.
Tidak berbahaya-positif (Benign-positive appraisal) terjadi
jika hasil dari suatu pertemuan ditafsirkan positif, yakni, jika hal
tersebut meningkatkan atau menjanjikan untuk peningkatkan
kesejahteraan. Appraisal ini ditandai oleh emosi yang
menyenangkan seperti kegembiraan, cinta, kebahagiaan, keriangan
atau ketentraman. Akan tetapi secara total, tidak benign-positive
appraisalyang tanpa derajat ketakutan sangat jarang terjadi. Untuk
beberapa orang, selalu ada prospek bahwa sesuatu yang diinginkan
akan menjadi masam/tidak diinginkan, dan untuk itu seseorang
percaya bahwa dia harus membayar sesuatu yang baik dengan hal
yang tidak baik kemudian, benign-positive appraisal dapat
menghasilkan kecemasan. Ilustrasi tersebut mengantisipasi ide
bahwa appraisal dapat menjadi kompleks dan tercampur,
tergantung pada faktor individu dan konteks.
Stress appraisal meliputi kerugian/kehilangan, ancaman
dan tantangan. Dalam kerugian/kehilangan, sejumlah kerusakan
terhadap individu berlangsung terus menerus, seperti dalam luka
atau penyakit yang menjadikan tidak mampu, rekognisi sejumlah
kerusakan pada diri atau harga diri sosial, atau kehilangan
seseorang yang dicintai. Peristiwa hidup yang paling merusak
yang besar. Ancaman lebih merupakan kerusakan /kehilangan yang
belum terjadi tetapi telah diantisipasi. Meskipun saat
kerusakan/kehilangan terjadi, hal tersebut selalu tergabung dengan
ancaman karena setiap kehilangan juga selalu mengandung
implikasi negatif di masa yang akan datang. Tantangan, sering
terjadi dengan ancaman, juga sering disebut mobilisasi terhadap
usaha coping. Perbedaan yang utama adalah bahwa challenge
appraisal fokus pada potensi untuk meningkatkan atau
menumbuhkan keterkaitan dalam suatu pertemuan dan hal tersebut
dikarakteristikan oleh emosi yang menyenangkan seperti hasrat,
ketertarikan, kegembiraan, sedangkan ancaman terpusat pada
emosi negatif seperti ketakutan, kecemasan,dan kemarahan.
Penilaian ancaman dan tantangan tidak dilihat sebagai
kutub dari satu hal yang tersambung. Ancaman dan tantangan
dapat terjadi secara bersamaan, dan harus dipertimbangkan sebagai
hal yang terpisah, meskipun seringkali terkait konstruk. Selain itu,
hubungan antara penilaian ancman dan tantangan dapat berubah
menjadi suatu encounter yang berkembang. Suatu situasi yang
dinilai lebih sebagai ancaman daripada tantangan dapat menjadi
dinilai lebih sebagai tantangan daripada ancaman karena usaha
koping secara kognitif yang mana mampu membuat seseorang
lingkungan yang mengubah hubungan antara orang yang
bermasalah-lingkungan menjadi lebih baik.
Tantangan, sebagai sesuatu yang berlawanan dengan
ancaman, memiliki implikasi penting terhadap adaptasi. Kualitas
fungsi seseorang cenderung lebih baik dalam tantangan karena
orang tersebut merasa percaya diri, sedikit emosi yang
meluap-luap, dan lebih mampu untuk melihat sumber-sumber yang tersedia
daripada orang-orang yang terhambat. Pada akhirnya, adalah hal
yang mungkin bhawa respon stres psikologis untuk tantangan
berbeda dengan ancaman, sehingga penyakit adaptasi dapat
berkurang (Lazarus dan Folkman, 1984).
2) Secondary Appraisal
Saat seseorang berada dalam bahaya, baik itu ancaman
maupun tantangan, sesuatu harus dilakukan untuk mengatur situasi.
Dalam kasus ini, bentuk appraisal yang lebih tinggi menjadi
penting, yakni evaluasi terhadap apa yang mungkin dan bisa
dilakukan, yang disebut sebagai secondary appraisal. Secondary
appraisal merupakan proses evaluatif yang kompleks terhadap
sejumlah pilihan coping yang tersedia, kemungkinannya pilihan
coping yang diberikan akan berhasil sesuai dengan yang
seharusnya, dan kemungkinannya bahwa seseorang dapat
mengaplikasikan strategi yang biasa digunakan atau mengatur
dan primary appraisal terhadap sesuatu yang berbahaya
berinteraksi satu sama lain, membentuk derajat atau tingkat stres
dan kekuatan dan kualitas (atau konten) reaksi emosional (Lazarus
dan Folkman, 1984). Dalam penelitian ini stres yang terkait dengan
cognitive appraisal diukur dengan menggunakan skala Perceived
Stress.
Stres sebagai suatu konstruk memiliki definisi yang dapat
dikatakan tidak terbatas. Oleh karena itu, peneliti berusaha tidak terbatas
pada salah satu definisi stres untuk melakukan penelitian ini. Dalam
penelitian ini, peneliti akan menggunakan definisi stres sebagai respon,
stres sebagai stimulus dan stres yang terkait dengan cognitive appraisal.
Dengan demikian, pengukuran stres yang dilakukan dalam penelitian ini
menjadi lebih luas.
2. Faktor-faktor Psikologis yang Dapat Mempengaruhi Stres
Faktor-faktor psikologis yang dapat mempengaruhi stres ialah
(Nevid et al., 2005):
a. Caracoping stress
Coping stress dibedakan menjadi dua, yaitu coping yang
berfokus pada emosi (emotion-focused coping) dan coping yang
berfokus pada masalah (problem-focused coping). Pada coping yang
berfokus pada emosi, individu berusaha segera mengurangi dampak
situasi. Coping yang berfokus pada emosi tidak membantu individu
dalam mengembangkan cara yang lebih baik untuk mengatur stressor,
sedangkan pada coping yang berfokus pada masalah, orang menilai
stresor yang mereka hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah
stresor atau memodifikasi reaksi mereka untuk meringankan efek dari
stresor tersebut. Coping yang berfokus pada masalah akan menjadi
coping yang lebih efektif.
b. Harapan akan efikasi diri
Harapan mengenai efikasi diri berkenaan dengan harapan
seseorang terhadap kemampuan dirinya dalam mengatasi tantangan
yang dihadapi, harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat
menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap kemampuan
diri untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang positif.
Dituliskan juga bahwa apabila efikasi diri meningkat maka tingkat
hormon stres menurun.
c. Ketahanan psikologis
Ketahanan psikologis merupakan sekumpulan trait individu
yang dapat membantu dalam mengelola stres yang dialami. Ada tiga
trait yang membentuk ketahanan psikologi, yakni : komitmen yang
tinggi, tantangan yang tinggi serta pengendalian yang kuat terhadap
hidup. Secara psikologis orang yang ketahanan psikologisnya tinggi
cenderung lebih efektif dalam mengatasi stres dengan menggunakan
d. Optimisme
Dari beberapa penelitian disimpulkan bahwa optimisme
berkorelasi dengan kesehatan, dimana individu yang memiliki nilai
optimisme tinggi merupakan individu yang lebih sehat.
e. Dukungan sosial
Dengan adanya dukungan sosial, akan membantu seseorang
menemukan alternatif cara coping dalam menghadapi stresor atau
sekedar memberi dukungan emosional yang dibutuhkan selama
masa-masa sulit.
f. Kebanggaan akan identitas etnik
Kebanggaan terhadap identitas ras atau identitas etnik dapat
membantu individu menghadapi stres yang disebabkan oleh rasisme
dan intoleransi.
B. Dependensi
1. Pengertian Dependensi
Dalam ilmu psikologi, konsep dependensi merupakan konsep yang
terkandung dalam beberapa teori. Salah satu persepektif yang
menggambarkan konsep dependensi adalah psikologi abnormal atau
dengan kata lain dalam perspektif psikologi abnormal dependensi
dianggap sebagai suatu gangguan kepribadian. Bornstein, dalam bukunya
sebenarnya merupakan suatu konsep yang terkandung dalam setiap teori
kepribadian, baik secara eksplisit maupun implisit. Misalnya, dalam teori
humanistik, dependensi dianggap sebagai perilaku defensif, yang
dilakukan individu untuk meminimalkan kecemasan dan ketidaknyamanan
yang diasosiasikan dengan kegagalan individu untuk menjadi individu
yang teraktualisasi secara penuh. Dalam perspektif ini, individu yang tidak
teraktualisasi dianggap menjadi sulit untuk diajak independen (mandiri),
mengatur perilakunya sendiri dan bahkan menjadi bergantung pada orang
lain untuk mendapatkan perlindungan, tuntunan dan dukungan.
Seperti teori kepribadian humanistik, teori eksistensial memandang
dependensi sebagai perilaku defensif. Disini dependensi
merepresentasikan suatu usaha untuk mencabut/membatalkan (contoh :
externalize) tanggung jawab dari aksi seseorang sebagai usaha
penyangkalan akan kematian seseorang dan isolasi dari dunia yang tidak
terprediksi dan terkontrol. Konsekuensinya, pandangan dunia orang yang
dependen menjadi semakin dangkal dan terdistorsi. Berdasarkan model
eksistensial, individu yang dependen pada akhirnya melihat dirinya
sebagai 1) dikendalikan oleh orang lain dan kejadian-kejadian diluar
dirinya, 2) tidak berdaya untuk mempengaruhi hasil dari suatu kejadian, 3)
tidak bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari tingkah laku mereka
sendiri (Borstein,1993).
Meskipun setiap teori kepribadian menawarkan suatu asosiasi
pada yang lain. Dua model yang memiliki pengaruh pervasif terhadap teori
dan penelitian dependensi ialah pendekatan psikodinamika dan pandangan
pembelajaran sosial (Bornstein, 1993).
Berikut merupakan penjelasan konsep dependensi menurut
beberapa perspektif:
a. Konsep Dependensi Sebagai Gangguan Kepribadian
Dependensi juga dibicarakan dalam salah satu jenis gangguan
kepribadian, yaitu gangguan kepribadian dependen. Dalam Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (American
Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders IV-TR, 2000), gangguan kepribadian dependen merupakan
suatu kebutuhan yang menginternalisasi dan berlebihan untuk
diperhatikan oleh orang lain yang berujung pada perilaku patuh dan
perilaku tidak bisa mandiri serta takut akan perpisahan. Hal ini dimulai
pada masa dewasa awal dan muncul dalam konteks yang beraneka
ragam. Gangguan ini ditandai oleh paling tidak lima (atau lebih) dari
kriteria berikut ini :
1) Memiliki kesulitan dalam pengambilan keputusan sehari-hari
tanpa nasehat dan persetujuan yang berlebihan dari orang lain.
2) Membutuhkan orang lain untuk memikul tanggung jawab
mengenai hal-hal utama dalam hidupnya.
3) Memiliki kesulitan dalam mengekspresikan ketidaksetujuan
dukungan dan persetujuan dari orang lain (catatan : tidak
termasuk ketakutan yang realistik akan balas jasa/ganti rugi).
4) Memiliki kesulitan dalam mengambil inisiatif atau melakukan
hal-hal pada dirinya sendiri (lebih karena kurangnya rasa
percaya diri dalam penilaian atau kemampuaan daripada
kurangnya motivasi atau energi).
5) Melakukan usaha keras yang berlebihan untuk mendapatkan
pemeliharaan dan dukungan dari orang lain, mengarah pada
kerelaan untuk melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan.
6) Merasa tidak nyaman dan tak berdaya ketika sendiri karena
ketakutan yang berlebihan akan ketidakmampuan untuk
memperhatikan atau merawat dirinya sendiri.
7) Amat sangat mencari/mengejar suatu hubungan sebagai sumber
perhatian dan dukungan ketika suatu hubungan yang dekat
berakhir.
8) Penuh dengan ketakutan yang tidak realistik akan ditinggalkan
atau tidak diperhatikan.
Menurut Paul T. Costa, Jr., dan Thomas A. Widiger (2005)
dalam DSM IV-TR, kriteria diagnostik yang diberikan pada gangguan
kepribadian dependen juga dapat dijelaskan mengguanakan perspektif
teori kepribadian lima faktor, yakni : terdapat contoh-contoh
agreeableness yang patologis seperti kerelaan yang berlebihan
melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan), kerendahan hati
(membutuhkan nasehat dan persetujuan dari orang lain dalam
membuat keputusan sehari-hari). Selain itu, terdapat banyak kriteria
yang menunjukkan neurotism, yakni kerentanan (psikologis),
kecemasan, kesadaran diri (seperti merasa tidak mampu menjaga diri
sendiri, merasa tidak nyaman dan tidak berdaya saat sendiri,
kurangnya rasa percaya diri dalam suatu penilaian atau
kemampuannya, takut kehilangan dukungan dan persetujuan).
b. Konsep Dependensi Menurut Pendekatan Pembelajaran Sosial
Menurut Bornstein (1993) model pembelajaran sosial mengenai
dependensi pada awalnya menganggap dependensi sebagai suatu
dorongan (seperti lapar dan kecemasan) yang terbentuk melalui adanya
penguatan utama (seperti makanan dan kehangatan) dalam konteks
hubungan bayi-perawat (Dollard-Miller, Heathers, Sears, Walters &
Parke, Whiting). Secara ringkas Ainsworth mengungkapkan bahwa
pandangan pembelajaran sosial klasik, dependensi diangggap sebagai
suatu kelas perilaku, yang dipelajari dalam konteks dimana dependensi
bayi berhubungan dengan ibunya. Meskipun hubungan ketergantungan
pada awalnya merupakan suatu hubungan yang khusus, selanjutnya
dependensi dilihat sebagai penggeneralisasian terhadap hubungan
interpersonal lainnya.
Beberapa variasi teori pembelajaran sosial menekankan
perilaku dependen, teori-teori pembelajaran sosial memiliki kemiripan
dasar hipotesis bahwa seseorang “belajar” menjadi tergantung. Secara
implisit, dalam perspektif pembelajaran sosial, perilaku dependen
ditunjukan karena mereka mendapat reward, sudah mendapat reward
atau akan diberi reward. Singkatnya, model ini berhipotesis bahwa
perbedaan individu dalam dependensi saat dewasa dihasilkan dari
variasi dalam derajat kepasifan (degree to which passive), seberapa
perilaku dependen mendapat penguatan dari perawat dan dari figur
signifikan lainnya (saudara kandung, guru, dsb.) selama awal dan
tengah masa anak-anak.
c. Konsep Dependensi Menurut Pendekatan Psikodinamika
Dalam teori psikoanalis yang dikemukakan oleh Sigmund
Freud terdapat teori yang disebut dengan tahap-tahap perkembangan
psikoseksual. Tahap-tahap ini menekankan pentingnya tahun-tahun
awal dalam kehidupan. Menurut Freud pengalaman-pengalaman pada
tahun-tahun awal inilah yang akan menentukan karakteristik
kepribadian individu dewasa. Kelima tahap psikoseksual tersebut
adalah sebagai berikut : oral stage, anal stage, phallic stage, latency
stage dan genital stage (Hergenhahn dan Olson, 2007). Oral
dependency merupakan suatu konsep yang terkait dengan tahap yang
pertama, yaknioral stage.
Tahap oral terjadi selama tahun pertama kehidupan. Pada tahap
terbesar dari stimulasi dan kesenangan terletak (Hergenhahn dan
Olson, 2007). Mulut sebagaierogenous zonepada tahap ini setidaknya
memiliki lima fungsi terpenting, yakni : memasukkan, menahan,
menggigit, meludahkan keluar dan menutup (Hall, 1995). Seorang
dewasa yang mengalami oral fixation (dengan kata lain tidak
terpuaskan saat berada pada tahap oral stage) akan dipenuhi oleh
aktivitas-aktivitas oral seperti makan, minum, merokok, menggigit jari,
berciuman, dan sebagainya (Bornstein, 1993). Namun
aktivitas-aktivitas oral tidak hanya berupa aktivitas-aktivitas-aktivitas-aktivitas yang langsung
terkait dengan mulut. Kelima aktivitas terpenting mulut diatas dapat
merupakan suatu prototype. Berikut penjelasan mengenai kelima
aktivitas tersebut :
1) Aktivitas memasukkan sesuatu ke dalam mulut merupakan
prototype untuk memiliki sesuatu.
2) Aktivitas menahan sesuatu di dalam mulut merupakan
prototype untuk kekerasan hati dan kesungguhan.
3) Aktivitas menggigit merupakan prototype untuk sifat merusak.
4) Aktivitas meludahkan keluar untuk menolak dan menghina.
5) Aktivitas menutup mulut merupkan prototype untuk
membangkang dan negativisme.
Sebagai contoh, seseorang yang berorientasi pada prototype
memasukkan sesuatu ke dalam mulut tidak berarti hanya memasukkan
hal yang sifatnya ‘masuk’ ke individu tersebut. Misalnya keinginan
untuk mendapatkan cinta, pengetahuan, uang, kekuasaan, kepemilikan
materi, keserakahan dan sebagainya. Hal-hal tersebut berkembang
karena pada tahun-tahun pertama inividu tidak cukup mendapat
makanan atau cinta, khususnya dari seorang ibu. Individu yang berada
pada tahap oral (bayi) tentunya bergantung pada orang lain (biasanya
ibu), untuk mendapat kepuasan terkait dengan mulut. Ibu dapat
menguasai tingkah laku bayi dengan misalnya memberikan makanan
kepadanya kalau bayi menuruti keinginan ibunya dan menahan untuk
memberikan makanan ketika bayi itu tidak menurut. Pemberian
makanan terhubungkan dengan cinta dan persetujuan, sedangkan
penahanan pemberian makanan terhubungkan dengan penolakan serta
pencelaan. Oleh karena itu, bayi akan menjadi cemas ketika ibunya
menolak atau meninggalkannya, karena hal ini berarti bayi (individu)
akan kehilangan pemberian keperluan-keperluan mulut yang
diinginkan. Ketika kecemasan tertimbun karena ancaman terhadap
kesenangan bayi ini maka bayi cenderung mengembangkan sikap yang
bergantung pada ibunya, orang lain, bahkan secara umum pada dunia.
Hal ini terjadi karena individu belajar bahwa benda-benda yang ia
inginkan akan diberikan kepadanya bila ia berlaku baik, dan
sebaliknya akan diambil darinya bila ia berlaku buruk. Individu tipe ini
akan disebut sebagai individu yang bergantung kepada mulut (individu
Individu dengan kepribadian oral merupakan individu yang
narsisistik dimana individu tersebut hanya tertarik pada diri mereka
sendiri dan tidak memiliki pengenalan yang baik terhadap orang lain
sebagai individu yang terpisah. Orang lain hanya dilihat dari apa yang
dapat orang tersebut berikan. Kepribadian oral selalu meminta sesuatu
dengan rendah hati, memohon atau dengan permintaan yang agresif.
Karakteristik-karakteristik kepribadian oral lainnya seperti banyak
menuntut, tidak sabar, pencemburu, mudah iri hati, mudah
mendengki, penuh kemarahan/mudah marah, tertekan (merasa
kosong), penuh kecurigaan dan pesimistik (Pervin dan John, 1997).
Robert F. Bornstein (1993), mendefinisikan dependensi sebagai
gaya (tipe) kepribadian dengan karakterisitik yang terdiri dari 4
komponen utama, yakni:
1) Motivasional (ditandai dengan adanya kebutuhan akan
tuntunan, persetujuan dan dukungan dari orang lain)
2) Kognitif (memiliki persepsi diri yang relatif tidak berdaya dan
tidak berguna serta meyakini bahwa orang lain penuh daya dan
dapat mengendalikan situasi)
3) Afektif (memiliki kecenderungan untuk menjadi cemas dan
penuh ketakutan ketika diminta dalam menjalankan fungsi
yang independen, khususnya ketika hal tersebut akan dinilai
4) Perilaku (cenderung untuk mencari pertolongan, dukungan,
persetujuan, tuntunan dari orang lain dan cenderung mengalah
pada orang lain dalam transaksi interpersonal.
Definisi menurut Bornstein ini pada dasarnya merupakan
turunan dari apa yang telah dijelaskan Freud. Hanya saja dalam
definisi Bornstein, pendeskripsian dependensi dikelompokkan menjadi
empat komponen utama. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
konsep dependensi yang diungkapkan oleh Bornstein. Konsep yang
disampaikan Bornstein dipilih karena menurut peneliti definisi yang
diberikan Bornstein merupakan definisi yang lebih mudah untuk
dipahami.
2. Pengukuran Dependensi
Dependensi dapat diukur secara obyektif maupun proyektif.
Namun pengukuran dependensi dengan dua cara yang berbeda akan
menghasilkan skor yang berbeda. As McClelland, Koestner, dan
Weinberger (1989) menunjukkan bahwa kebanyakan tes kepribadian self
report mengukur kebutuhan secara eksplisit (atau self-atributed) – sebab
pernyataan seseorang mengenai karakteristiknya berdasarkan pada fungsi
dan pengalaman mereka sehari-hari. Sebaliknya, tes proyektif mengukur
kebutuhan atau dorongan-dorongan implisit yang secara otomatis
mempengaruhi perilaku responden yang sedikit atau tidak disadari oleh
Dalam penelitian ini, konsep dependensi yang diambil menurut
Bornstein memiliki empat komponen : motivasional, kognitif, afektif dan
perilaku seperti telah dijelaskan sebelumnya. Empat komponen yang
tekandung dalam dependensi tersebut mengarahkan dependensi sebagai
apa yang disebut oleh McAdams sebagaipersonal concerns. Sebagaimana
disebutkan dalam penelitiannya yang berjudul What Do We Know When
We Know a Person (McAdams, 1995), personal concerns, bila
dibandingkan dengan dispositional traits, secara khusus meliputi
motivasional, perkembangan, atau pola strategi. Personal concerns
berbicara mengenai apa yang seseorang inginkan, seringkali selama
periode-periode khusus dalam kehidupan atau dalam aksi tertentu, dan
metode hidup apa yang digunakan seseorang (seperti strategi,
perencanaan, pertahanan diri, dan sebagainya) dalam tujuannya untuk
memperoleh yang diinginkan atau menghindari apa yang tidak diinginkan
dalam hidup seseorang, dalam tempat-tempat tertentu, dan/atau dalam
peran-peran tertentu.
Dengan komposisi yang demikian, personal concern merupakan
bagian dari kepribadian seseorang yang lebih cocok diukur dengan
pengukuran secara proyektif (McAdams, 1995). Dengan demikian
dependensi dalam penelitian ini, yang termasuk dalam kategori personal
concernsakan diukur dengan pengukuran secara proyektif.
Alat pengukuran yang digunakan untuk mengukur dependensi
Masling. Alat ini dipilih karenaRorschach merupakan alat dengan teknik
proyektif dan kategori yang ada pada skala tersebut merupakan hal-hal
yang dibuat berdasarkan konsep yang dijelaskan oleh Bornstein.
C. Mahasiswa
Mahasiswa dalam perspektif psikologi perkembangan merupakan
individu yang berada pada masa dewasa awal. Usia dewasa awal yang oleh
ahli sosiologi, Kenneth Kenniston disebut sebagai masa muda merupakan
periode transisi antara masa remaja dan masa dewasa yang merupakan masa
perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi yang sementara. Menurut Erikson,
masa ini terjadi dalam rentang 20an hingga 30an tahun (Santrock, 2002).
Sementara itu, dalam perspektif psikososial, periode ini merupakan periode
dimana perubahan progresif dari rasa individualis dan egosentris menuju
hubungan yang lebih baik dengan significant others. Daniel Levinson (1978)
mendefinisikan masa ini sebagai periode dimana stabilitas terombang-ambing
dan periode stres, yang ditandai dengan transisi yang terjadi pada waktu
kronologis tertentu selama rentang kehidupan (Hutchison, 2003).
Secara khusus tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa dimulai pada
terjadinya masa transisi dari sekolah menengah atas menuju kehidupan
universitas. Dalam hal ini top-dog phenomenon terjadi. Fenomena yang
dimaksud adalah adanya perubahan dari siswa yang paling tua (senior) di
sekolah menengah atas menjadi siswa yang paling muda dan paling tidak
mahasiswa baru di universitas lebih banyak mengalami tekanan dan depresi
(Sabtrock, 2002).
D. Hubungan Antara Tingkat Dependensi dan Tingkat Stres pada
Mahasiswa
Hubungan antara tingkat dependensi dan tingkat stres pada mahasiswa
dapat dilihat dari adanya komponen dalam variabel dependensi yang
merupakan faktor faktor yang dapat meningkatkan stres. Hal tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut: dependensi merupakan tipe atau gaya kepribadian
dengan karakteristik yang terdiri dari empat komponen utama, yakni
komponen motivasional, kognitif, afektif dan perilaku (Bornstein, 1993).
Komponen motivasional meliputi adanya kebutuhan akan tuntunan,
persetujuan dan dukungan dari orang lain.
Komponen kognitif meliputi persepsi diri yang relatif tidak berdaya
dan tidak berguna serta meyakini bahwa orang lain penuh daya dan dapat
mengendalikan situasi. Dalam komponen kognitif tersebut persepsi diri yang
relatif tidak berdaya dan berguna mengarah pada kurangnya efikasi diri dan
optimisme, sedangkan meyakini bahwa orang lain mampu mengendalikan
situasi, sementara tidak pada dirinya sendiri, mengarah pada salah satu
komponen dari ketahanan psikologis yakni pengendalian terhadap hidup yang
kurang (mengurangi ketahanan psikologis seseorang).
Komponen Afektif meliputi adanya kecenderungan untuk menjadi
independen, khususnya ketika hal tersebut dinilai oleh orang lain. Hal ini juga
tertera dalam DSM IV-TR dan oleh Paul T. Costa, Jr., dan Thomas A. Widiger
(2005) digolongkan dalam neurotism. Selain itu, dalam komponen afektif
tersebut terkandung bahwa seseorang yang memiliki dependensi tinggi
cenderung kurang atau tidak melihat sesuatu sebagai suatu tantangan yang
harus dihadapi, dan hal ini menjadi salah satu komponen yang juga
mengurangi ketahanan psikologis seseorang.
Komponen perilaku meliputi kecenderungan untuk mencari
pertolongan, dukungan, persetujuan, tuntunan dari orang lain dan cenderung
mengalah pada orang lain dalam transaksi interpersonal. Dalam komponen
perilaku ini, orang yang memiliki dependensi yang tinggi akan cenderung
menyelesaikan masalahnya dengan jalan mencari dan meminta orang lain
untuk memecahkan permasalahannya, dengan demikian individu tersebut
cenderung melakukan emotion focused coping. Selain itu, komponen tersebut
juga menunjukkan bagaimana individu dengan tingkat dependensi yang tinggi
menjadi kurang atau tidak memiliki komitmen dalam melakukan
tugas-tugasnya karena cenderung melimpahkannya pada orang lain, dan hal tersebut
merupakan komponen yang juga mengurangi ketahanan psikologis individu
tersebut.
Dalam penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa individu
dengan tingkat dependensi yang tinggi memiliki kebutuhan akan tuntunan,
persetujuan dan dukungan dari orang lain, efikasi diri dan optimisme yang
berfokus pada emosi (emotion focused coping), serta ketahanan psikologis
yang rendah. Adanya karakteristik efikasi diri yang rendah, optimisme yang
rendah, neurotism yang tinggi, kecenderungan menggunakan strategi koping
yang berfokus pada emosi serta ketahanan psikologis yang rendah dapat
meningkatkan tingkat stres seseorang. Karena karakteristik-karakteristik
tersebut merupakan sebagian besar faktor-faktor yang dapat meningkatkan
stres selain faktor dukungan sosial yang rendah, kebanggaan akan identitas
etnik yang rendah, sertaopennessyang rendah.
Selain itu, mahasiswa menghadapi tuntutan-tuntutan baru, seperti
tuntutan yang terkait dengan kuliah maupun tuntutan yang terkait dengan
relasi sosial, yang seringkali merupakan stresor yang dapat menjadikan
individu-individu pada masa ini rentan terhadap stres. Oleh karena itu, peneliti
memiliki hipotesis bahwa ada hubungan yang positif antara tingkat
deependensi dan tingkat stres pada mahasiswa.
Secara ringkas dinamika antara stres dan dependensi dapat dilihat
Skema dinamika antara stres dan dependensi
Dependensi merupakan tipe atau gaya kepribadian dengan karakteristik yang terdiri dari empat komponen utama, yakni (Bornstein,1993) :
KOGNITIF
memiliki persepsi diri yang relatif tidak berdaya dan tidak berguna serta meyakini bahwa orang lain penuh daya dan dapat mengendalikan situasi
AFEKTIF
memiliki kecenderungan untuk menjadi cemas dan penuh ketakutan ketika diminta dalam menjalankan fungsi yang independen, khususnya ketika hal tersebut akan dinilai oleh orang lain
PERILAKU
E. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan yang positif antara tingkat dependensi dan tingkat stres
pada mahasiswa. Dimana jika tingkat dependensi tinggi maka tingkat stres
yang dimiliki mahasiswa tinggi. Begitu juga sebaliknya, jika tingkat
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif-korelasional. yang
bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan antara dua variabel. Peneliti
memilih jenis penelitian ini karena penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan hubungan antara tingkat dependensi dan tingkat stres pada
mahasiswa.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel bebas : tingkat dependensi
Variabel tergantung : tingkat stres
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Dependensi
Dalam penelitian ini, tingkat dependensi yang dimaksud adalah
hasil dari skala Rorschach Oral Dependency yang didapat dari hasil
analisis isi dari tes proyektif yakni tes Rorschach. Semakin tinggi skor
yang dihasilkan dari pengukuran skala Rorschach Oral Dependency akan
menunjukkan tingkat dependensi yang semakin tinggi.
2. Stres
Stres yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan stres sebagai
respon, yang akan diukur dengan skala Symptoms of Stress; stres sebagai
stimulus yang akan dikur dengan menggunakan skala adaptasi dari The
Inventory of College Students’ Recent Life Experiences; dan stres yang
terkait dengan cognitive appraisal, yang akan diukur dengan menggunakan
skala Perceived Stress. Dalam pengukuran menggunakan ketiga skala
tersebut, skor yang semakin tinggi menunjukkan tingkat stres yang
semakin tinggi.
D. Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, stres akan diukur dengan beberapa alat ukur
yakni : Symptoms of Stress Scale, The Inventory of College Students’ Recent
Life Experiences, dan Perceived Stress Scale. Masing-masing dari ketiga alat
tersebut mewakili suatu konstruk tertentu. Hal ini dapat dilihat lebih jelas
dalam tabel 1. Sementara itu, variabel dependensi akan diukur dengan skala
Rorschach Oral Dependency.
Tabel 1
BlueprintSkala Stres
Konstruk Skala No. Aitem
Stres sebagai respon Symptoms of Stress Scale (Bagian I)
1 - 10
Stres sebagai stimulus The Inventory of College
Students’ Recent Life
Experiences(Bagian II)
Stres terkait dengancognitive appraisal
Perceived Stress Scale (Bagian III)
1 - 10
Pada ketiga skala stres, penerjemahan dilakukan dengan tiga proses
oleh peneliti dan dua orang yang berkompetensi dalam bahasa inggris. Proses
pertama, peneliti menerjemahkan menerjemahkan ketiga skala stres dalam
bahasa indonesia. Proses kedua, salah satu orang yang berkompetensi dalam
bahasa inggris menerjemahkan kembali terjemahan peneliti ke dalam bahasa
inggris. Proses terakhir, ketiga skala stres berbahasa inggris yang dihasilkan
dalam proses kedua dibandingkan dengan ketiga skala stres asli, apakah
keduanya memiliki makna yang sama. Proses terakhir ini dilakukan oleh satu
orang lainnya.
Berikut ini penjelasan mengenai masing-masing alat pengumpulan
data :
1. Symptoms of Stress Scale
Skala ini mengukur frekuensi seseorang mengalami
permasalahan baik fisik maupun psikologis yang merupakan
simtom-simtom stres yang biasa terjadi.
Simtom-simtom tersebut akan diukur dengan frekuensi sebagai
berikut tidak pernah (skor = 0), sekali sebulan (skor = 1), sekali seminggu
(skor = 2), dua sampai tiga kali seminggu (skor = 3), setiap malam atau
setiap pagi (skor = 4), sekali atau dua kali sehari (skor = 5) dan hampir
2. The Inventory of College Students’ Recent Life Experiences
Skala ini terdiri dari 49 aitem, pada dasarnya didesain untuk
mengidentifikasi keterbukaan individu terhadap sumber-sumber stres atau
kesulitan-kesulitan (hassles) dan juga mengidentifikasi tingkat stressor
tersebut dialami dalam satu bulan terakhir. Skala ini diciptakan khusus
untuk mahasiswa. Berikut beberapa contoh aitem dari skalaThe Inventory
of College Students’ Recent Life Experiencesyang telah diterjemahkan :
Adaptasi dari The Inventory of College Students’ Recent Life
Experiences
Berikut ini adalah daftar beberapa pengalaman yang Anda telah alami beberapa kali atau lebih. Silahkan mengindikasikan setiap pengalaman,
seberapa besar hal tersebut menjadi bagian hidup Anda selama satu bulan
terakhir ini. Tandailah jawaban Anda berdasarkan petunjuk berikut ini:
Intensitas kejadian dalam satu bulan terakhir:
0 = Sama sekali bukan bagian dari hidup saya
1 = Hanya sedikit dari bagian hidup saya
2 = Sebagian besar hidup saya
3 = Benar-benar bagian besar hidup saya
_____ Dikecewakan oleh teman-teman (aitem no.2)
_____ Terlalu banyak tugas yang harus dikerjakan (aitem no. 5)
_____ Tidak memiliki cukup waktu untuk bersantai (aitem no. 13)
_____ Pertentangan dengan keluarga Anda (aitem no. 28)
_____ Menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan, seperti di
bank, toko, dll. (aitem no. 43)
_____ Kekecewaan atas kemampuan atletis/keolahragaan Anda
3. Perceived Stress Scale
Perceived Stress Scale merupakan instrumen psikologis yang
mengukur persepsi terhadap stres, yang paling banyak digunakan. PSS
bukan merupakan alat diagnostik sehingga tidak ada cut-off terhadap
aitem-aitemnya. Secara khusus, Perceived Stress Scale mengukur derajat
dimana situasi-situasi dalam kehidupan seseorang dinilai sebagai situasi
yang penuh tekanan (stressfull). Aitem-aitem dalam skala ini didesain
untuk mengungkapkan seberapa besar hal-hal yang ditemukan seseorang
dalam hidupnya tidak dapat diprediksi, tidak dapat dikendalikan dan
overload.
Berikut merupakan beberapa contoh aitem dari Perceived Stress
Scaleyang telah diterjemahkan :
Perceived Stress Scale
Pertanyaan-pertanyaan dalam skala ini menanyakan bagaimana
perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran Anda selama satu bulan terakhir ini. Dalam semua kasus, Anda akan diminta untuk mengindikasikannya
dengan melingkari seberapa sering anda merasa dan memikirkannya.
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin : P / L (lingkarilah)
0 : tidak pernah 1 : hampir tidak pernah
2 : kadang-kadang 3 : cukup sering
4 : sangat sering
1) Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering
Anda jengkel karena sesuatu terjadi tidak
(aitem nomor 1)
2) Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering Anda yakin dengan
kemampuan Anda mengatasi masalah-masalah
pribadi Anda?...0 1 2 3 4
(aitem nomor 4)
3) Dalam satu bulan terakhir, seberapa sering Anda menyadari bahwa Anda
tidak mampu mengatasi segala hal yang harus
Anda lakukan?...0 1 2 3 4
(aitem nomor 6)
Dalam Perceived Stress Scale, aitem nomor 4, 5, 7 dan 8 di skor secara
terbalik (0 = 4, 1 = 3, 2 = 2, 3 = 1, dan 4 = 0)
4. SkalaRorschach Oral Dependency(ROD Scale)
Pengukuran tingkat dependency akan dilakukan dengan
menggunakan tes proyektif yakni dengan skala Rorschach Oral
Dependency (ROD) yang akan dilakukan secara klasikal maupun
individual. Kedua administrasi dapat dilakukan karena kedua administrasi
ini terbukti tidak memberikan efek untuk hasil yang akan diperoleh sejauh
dilakukan dengan prosedur yang sama (Bornstein, 1993).
Prosedur administrasi yang akan dilakukan adalah sebagai berikut
:10 bercak tinta ditunjukan kepada subyek, dan tiap bercak ditunjukan
dalam beberapa menit. Subyek diminta untuk menuliskan dua atau tiga hal
yang meraka lihat dalam bercak-bercak tinta tersebut, dengan dua respon
pada kartu IV, V, VI, VII, IX dan tiga respon untuk 5 kartu lainnya.
Subyek menuliskan deskripsi yang nantinya akan di skor untuk
respon yang digunakan dalam skoring ROD : 1. dependent imagery
(seperti figur-figur yang menunjukkan perilaku dependen yang tampak,
situasi meliputi kepasifan dan ketidakbersayaan, figure-figur yang
memberi bantuan dan dukungan (nurturing) dan figur-figur yang merawat
(caretaking figures) dan 2. oral imagery (seperti makanan dan persepsi
yang berhubungan dengan mulut). Kategori nomor 6, 9, 10, 11, 13, 14, dan
15 merupakan persepsi yang berhubungan dengan dependensi. 1, 2, 3, 4, 5,
7, 8, 12 merupakan persepsi yang berhubungan engan oral. 16 bisa masuk
kedua kategori, tergantung pada apa yang terkandung dalam persepsi
subyek.
Subyek menerima satu poin untuk baik respon yang mengandung
persepsi dependent maupun oral pada ROD. Skor ROD berkisar antara 0
– 25, dengan skor yang lebih tinggi mengindikasikan tingkat dependensi
yang lebih tinggi. Akan tetapi dalam penelitiannya Bornstein (1993)
menyimpulkan bahwa rata-rata skor ROD berkisar 0-8.
Berikut disajikan skalaRorschach Oral Dependency
SkalaRorschach Oral Dependencyterdiri dari 16 kategori yakni :
1) Makanan dan minuman
2) Sumber makanan (seperti restoran, payudara, sawah, dan
sebagainya)
3) Objek makanan (seperti sendok, panci, dan sebagainya)
5) Penerima makanan (seperti burung dalam sangkar, dan
sebagainya)
6) Memohon dan berdoa
7) Organ yang dipakai untuk makan (seperti bibir, mulut, perut,
dan sebagainya)
8) Oral instrument (seperti lipstick, dot bayi, rokok, dan
sebagainya)
9) Nurturance(ayah, ibu, dokter, Tuhan, dan sebagainya)
10) Hadiah-hadiah
11) Objek pembawa keberuntungan (seperti jimat, dan sebagainya)
12) Aktivitas oral (menyanyi, makan, dan sebagainya)
13) Kepasifan dan ketidakberdayaan (tersesat, tidur-tiduran, dan
sebagainya)
14) Kehamilan dan organ-organ reproduksi (khusus perempuan,
seperti rahim, vagina, dan sebagainya)
15)Baby talk(berbicara seperti anak-anak)
16)Negation of oral dependent percepts (tidak ada mulut,
perempuan tanpa payudara, ini bukan makanan, dan
E. Subjek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa yang tergolong pada tahap
perkembangan dewasa awal. Karakteristik subyek yang lain tidak dibatasi
namun peneliti meminta data demografi yang berupa usia dan jenis kelamin
untuk menjelaskan bila hasil penelitian menunjukkan adanya variasi yang
dkarenakan oleh hal-hal/ variabel-variabel lain yang tidak dikontrol oleh
peneliti.
Subyek diperoleh dengan mengumpulkan mahasiswa yang bersedia
berpartisipasi dalam penelitian ini, khususnya di kota Yogyakarta. Peneliti
akan mencari responden sejumlah 60 orang. Dengan tujuan mendapatkan hasil
yang bervariasi sehingga dapat membedakan tingkat dependensi maupun stres
secara jelas serta cukup untuk membuktikan apakah tingkat dependensi
berhubungan dengan tingkat stres.
F. Uji Coba Alat Pengumpulan Data
Uji coba yang dilakukan untuk ketiga skala yang mengukur stres
dilakukan pada individu-individu yang juga merupakan mahasiswa mengikuti
karakteristik subyek penelitian. Ketiga skala tersebut dibagikan kepada 100
mahasiswa. Dengan demikian, jumlah tersebut memenuhi standar perhitungan
statistik. Namun demikian tidak semua skala yang dibagikan dapat digunakan
karena ketidaklengkapan pengisian. Jumlah data uji coba yang diperoleh
G. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat pengumpulan data
yang sudah tersedia. Oleh karena itu, selain melakukan uji coba ketiga skala
stres untuk mengetahui reliabilitas, peneliti juga mengumpulkan beberapa
informasi mengenai validitas dan reliabilitas ketiga alat ini dalam
penelitian-penelitian yang pernah dilakukan. Berikut informasi mengenai validitas dan
reliabilitas ketiga skala stres serta informasi validitas dan reliabilitas dari
Rorschach Oral Dependency Scale(RODS).
1. Validitas dan Reliabilitas Skala Simtom Stres
Sampai saat ini peneliti belum menemukan informasi mengenai
validitas dan reliabilitas alat ukur ini. Oleh karena itu, peneliti akan
menjelaskan validitas dan reliabilitas berdasarkan hasil analisis peneliti
sendiri. Validitas skala ini dapat dilihat berdasarkan isi aitem-aitemnya.
Aitem-aitem pada skala ini menunjukkan kesesuaian dengan salah satu
teori stres, yakni stres sebagai respon. Seperti telah dijelaskan pada bab II,
stres sebagai respon dapat dilihat sebagai reaksi fisiologis dan psikologis
tehadap suatu kejadian atau situasi (Lyons dan Chamberlain, 2006).
Aitem-aitem pada skala ini berisi mengenai beberapa respon baik
fisiologis maupun psikologis yang mungkin muncul ketika seseorang
mengalami kejadian atau situasi tertentu. Dengan demikian skala ini dapat
dikatakan memiliki validitas isi karena aitem-aitemnya memiliki
Berdasarkan hasil analisis reliabilitas yang dilakukan dengan
teknik Alpha Cronbach, dengan bantuan SPSS versi 17.0, diperoleh
koefisien Alpha sebesar 0.821. Hasil ini menunjukkan bahwa skala ini
merupakan skala yang reliabel karena koefisien Alpha yang dihasilkan
mendekati 1.00. Selain itu, analisis tiap aitem juga dilakukan. Pada skala
ini tidak ada aitem yang dinyatakan gugur karena pada skala ini tiap aitem
memiliki korelasi aitem total yang melebihi 0.3 (standar korelasi aitem
yang sering digunakan dalam menggugurkan aitem). Aitem-aitem pada
skala ini memiliki korelasi aitem total yang berkisar antara 0.373 hinga
0.621. Dengan demikian, pada skala ini tidak ada aitem yang harus
dibuang.
2. Validitas dan Reliabilitas The Inventory of College Students’ Recent Life
Experiences
Dalam sebuah abstrak penelitian milik Kohn, Lafreniere dan
Gurevich yang berjudul “The Inventory of College Students’ Recent Life
Experiences: a decontaminated hassles scale for a special population,”
dikatakan bahwa koefisien reliabilitas yang dihasilkan dari 49 aitem
ICSRLE dan korelasinya dengan Perceived Stress Scale adalah tinggi.
Selain penelitian tersebut, penelitian lain yang berjudul “Analysis of the
inventory of college students’ Recent Life Experiences,” mengatakan
bahwa koefisien alpha dari 49 aitem ICSRLE adalah 0.94.
Seperti telah diketahui, pada penelitian ini skala ICSRLE yang