• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL IDEAL PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MODEL IDEAL PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL IDEAL PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

Iza Rumest en R. S.

Fakult as Hukum Universit as Sriwij aya E-mail: rumest en_iza@yahoo. com

Abst r act

Ther e ar e some negat ive phenomena in t hi s aut onomy er a t hat changi ng of new local r egul at ion t hat has j ust l egal i zed and not ef f ect ivel y i mpl ement ed wi t h t he new r egul at i on t hat not r el evant wi t h t he societ y need. Thi s r egul at ion has been changed because it s cont r adi ct i ve wit h t he hi gher r egul at i ons. It phenomena happen because of l ess par t i ci pat ion of t he societ y in maki ng t he l ocal r egul at i on, st ar t ed f r om t he maki ng pr ocess t o t he eval uat i on pr ocess.

Keywor ds: i deal model , publ i c par t i ci pat ion, l ocal r egul at i on

Abst rak

Di era ot onomi masih berkembang berbagai f enomena negat if diant aranya adalah adanya perda yang baru saj a disahkan dan belum berlaku secara ef ekt if sudah digant i dengan perda yang baru, perda yang kurang relevan dengan kebut uhan masyarakat . Perda yang dit erbit kan pemerint ah daerah dicabut pemerint ah pusat karena bert ent angan dengan perat uran yang lebih t inggi. Hal t ersebut t erj adi karena disebabkan banyak hal salah sat unya adalah karena kurangnya part isipasi akt if masyarakat dalam pembuat an perat uran daerah mulai dari proses pembuat an rancangan perat uran daerah sampai dengan t ahap evaluasi.

Kat a Kunci: model ideal, part isipasi masyarakat , perat uran daerah

Pendahuluan

Hukum dalam pembangunan semakin berperan sebagai alat / sarana menyusun t at a kehidupan. Hasim Purba mengat akan bahwa pembangunan hukum di Indonesia diharapkan dapat memant apkan dan mengamankan pelak-sanaan pembangunan, mencipt akan kondisi yang membuat anggot a masyarakat dapat me-nikmat i iklim kepast ian dan ket ert iban hukum.1 Jut t a Limbach mengat akan ada t iga ciri ut ama yang menandai prinsip supremasi konst it usi.

Per t ama, pembedaan ant ara norma hukum konst it usi dan norma hukum lainnya; ke-dua,

ket erikat an penguasa t erhadap Undang-Undang Dasar; dan ket i ga, adanya sat u lembaga yang memiliki kewenangan unt uk menguj i konst it u-sionalit as undang-undang dan t indakan hukum

1 Hasi m Purba, “ Sinkronisasi dan Har moni sasi Sist em

Hu-kum Nasional Bidang Pert ambangan, Kehut anan, Per-t anahan dan Lingkungan Hidup” , Jur nal Hukum Equal i t y, Vol . 13 No. 2 Agust us 2008, FH USU Medan, hl m. 171.

Pemerint ah.2 Dalam hal ini, pelibat an pe-ran sert a masyarakat secara akt if masuk dalam poin kedua karena hal ini t ermakt ub dalam UUD 1945, sehingga pemerint ah berkewaj iban unt uk melibat kan masyarakat dalam pembuat an per-at uran daerah secara lisan per-at au t ert ulis.3 Alex-ander Abdullah mengat akan part isipasi publik harus diberikan t idak saj a dalam art i prosedu-ral, t et api j uga harus dilembagakan sebagai hak-hak rak-yat yang dij amin secara normat if .4 Maria Farida Indrat i mengat akan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan dalam Perat uran daerah unt uk set iap propinsi, kabu-pat en dan kot a secara berbeda-beda. Hal ini

2

Jut t a Li mbach, “ The Concept of t he Supremacy of t he Const it ut ion” , The Moder n Law Revi ew, Vol . 64 No. 1 Januar i 2001, hl m. 3

3 Mar ia Far i da Indr at i, “ Proses Pembent ukan Per at uran

Perundang-undangan Pasca Amandemen UUD 1945” ,

Maj al ah Hukum Nasi onal Jakar t a, No. 1 Tahun 2005, hl m. 98

4 Al exander Abdul l ah, “ Desent ral isasi dan Undang-undang

(2)

sebabkan karena adanya perbedaan sumber da-ya da-yang t idak dapat disamakan dalam hal pe-ngelolaannya, t erut ama berkait an dengan ma-t eri. Hal ini senada dengan pendapama-t yang di sampaikan oleh I Made Dedy Priyant o yang me-ngat akan bahwa penyelenggaraan pemerint ah-an daerah haruslah disesuaikah-an dengah-an daerah masing-masing melalui suat u kebij akan at uran yang disesuaikan dengan keadaan daerah se-t empase-t , ase-t uran inilah yang disebuse-t dengan per-da.5 Perat uran daerah pada hakikat nya adalah merupakan bagian yang t ak t ak t erpisahkan da-ri kesat uan sist em hukum nasional.6 Perat uran daerah yang dibuat harus sinkron dan harmonis dengan perat uran perundang-undangan lainnya. Penerapan sist em desent ralisasi dalam era ot onomi memberikan dampak posit if dan negat if kepada masyarakat . Salah sat u dampak posit if nya adalah meningkat nya kesadaran poli-t ik masyarakapoli-t dalam sepoli-t iap rangkaian pespoli-t a demokrasi dan dalam proses pembuat an kebij a-kan publik. Didik Sukriono mengat aa-kan ot onomi dan demokrasi merupakan sat u kesat uan sema-ngat sebagai bent uk pemerint ahan yang me-nempat kan rakyat sebagai penent u yang ut ama dalam negara,7 bahkan Suharizal mengat akan demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di t ingkat nasional.8 M. Syawalludin mengat akan pemerint ah harus memberikan ruang dan peran yang besar bagi ket erlibat an polit ik masyarakat secara akt if da-lam penyelenggaraan negara,9 bahkan Hodio Pot imbang mengat akan masyarakat berhak bah-kan waj ib berpolit ik unt uk menent ubah-kan haluan

5 I Made Dedy Priyant o, “ Kewenangan Gubernur dal am

Pembat al an Per da Kabupat en Tabanan” , Jur nal Advo-kasi Vol . 1 No. 1 Tahun 2011, FH Univ. Mahasaraswat i Denpasar, hl m. 14.

6

Di dik Sukriono, “ Pembent ukan dan Pengawasan Produk Hukum Daerah” , Jur nal Hukum Adi l Vol . 2 No. 2 Agust us 2011, Fakul t as Hukum Yarsi Jakart a, hl m. 168

7

Di dik Sukriono, “ Membel a Desa dengan Desent ral isasi dan Mel aw an desa dengan Demokrat i sasi ” , Jur nal Yust i ka Vol . 12 No. 2 Desember 2009, Fakul t as Hukum Uni versit as Sur abaya, hl m. 149.

8 Suharizal , “ Penguat an demokrasi Lokal Mel al ui

Peng-hapusan Jabat an Wakil Kepal a Daerah” , Jur nal Konst i -t usi, Vol . 7 No. 5 Okt ober 2010, hl m. 95

9 M. Syawal l uddin, “ Pil kada Langsung dan Penegakan

Konst i t usional isme; Bingkai Upaya Mewuj udkan Kemas-l ahat an Umat ” , Jur nal Uni ver sal i sme Isl am Mi mbar Akademi k Vol . 2 No. 1 Juni 2006, Direkt orat Pembinaan Badan Per adil an Agama Isl am Jakart a, hl m. 127

negara membuat Undang-undang dan meng-awasi pelaksanaan kekuasaan negara.10 Dampak negat if nya adalah sebagai berikut . Per t ama, banyak perat uran perundangan yang baru saj a disahkan bahkan belum berlaku secara ef ekt if sudah digant i dengan perat uran perundangan yang baru, karena t idak dapat berlaku ef ekt if dalam kehidupan masyarakat dan menimbulkan masalah sosial baru; kedua, banyak Undang-undang yang kurang relevan dengan kebut uhan at au permasalahan dalam masyarakat , misalnya UU Pemekaran Wilayah dan Undang-undang t ent ang Paj ak Pert ambahan Nilai; ket i ga, ba-nyaknya perat uran daerah yang dit erbit kan oleh pemerint ah daerah yang dicabut oleh pe-merint ah pusat (Mendagri) karena bert ent angan dengan perat uran yang lebih t inggi. Oka Mahen-dra mengat akan bahwa dalam hierarkhi perat u-ran perundang-undangan perat uu-ran daerah me-nempat i j enj ang paling rendah sehingga t idak boleh bert ent angan dengan perat uran yang le-bih t inggi dan kepent ingan umum,11 t erut ama perat uran daerah yang berkait an langsung de-ngan bidang ekonomi, bahkan banyak perat uran daerah yang j ust ru menimbulkan dan menye-babkan kerugian bagi negara.

Mahf ud MD mengat akan bahwa polit ik se-ringkali mengint ervensi pembuat an dan pelak-sanaan hukum, sehingga t idak selalu menj amin kepast ian hukum, penegakan hak-hak masyara-kat at au penj amin keadilan. Konf igurasi polit ik demokrat is akan mencipt akan hukum responsif , sedangkan konf igurasi polit ik ot orit er akan mencipt akan produk hukum konservat if . Masih berkait an dengan hal ini, Tauf iqurrahman yang mengut ip pendapat Bent ham mengat akan ma-nusia t unduk kepada hukum adalah karena de-ngan t unduk kepada hukum mereka merasa membut uhkan at au bermanf aat (ut i l i t y)12.

10

Hodio Pot i mbang, “ Fakt or -f akt or yang Mel ahirkan Per-adil an Massa dit inj au dar i Aspek Hukum Pi dana” , Maj a-l ah Var i a Per adi a-l an No. 302 Januar i 2011, hl m. 55

11 Oka Mahendra, “ Mekani sme Penyusunan Dan Pengol

ah-an Program Legi sl asi Daerah” , Jur nal Legi sl asi Indone-si a Vol . 3 No. 1 Maret 2006, Dit j en Per at ur an Perun-dangan-undangan Jakart a, hl m. 22

12 Tauf iqurrahman, “ Konvergensi Paradigma Dal am

(3)

git upun masyarakat , mereka akan dengan sadar t unduk dan melaksanakan hukum apabila mera-sakan manf aat dari hukum t ersebut .

Menurut W. Riawan Tj andra dan Kresno Budi Sudarsono, pasca ref ormasi t erj adi perge-seran dari r echt sst aat menj adi pol it i cal st at e,

padahal t uj uan negara hukum (goal of st at e) adalah supremasi hukum. Pol it i cal st at e ibarat bis malam, t idak berdiri di at as ” rel” hukum yang berlaku. Baik buruknya, bersih/ kot ornya Pemerint ah Daerah sangat t ergant ung pada kualit as pengat uran hukumnya. Analog dengan hal it u, diperlukan eksekut if , legislat if dan produk hukumnya yang berkualit as secara hu-kum. Produk hukum t ersebut mempengaruhi kualit as negara hukum.13 Dalam pembuat an produk hukum Jangan berprinsip bahwa pasar akan t erus berj alan sesuai koridor, t ak akan pernah memikirkan agenda-agenda sosial, ha-nya berkut at pada urusan bagaimana mengha-silkan keunt ungan dengan maksimal t anpa t ahu menahu dampaknya bagi masyarakat .14 Karena produk hukum yang dibuat dengan berprinsip sepert i it u t idak akan dapat berlaku secara ef ekt if dalam masyarakat . Produk hukum yang baik j uga harus harmonis dan sinkron dengan perat uran perundang-undangan yang diat asnya, Bayu Dwi Anggono mengat akan harmonisasi t idak hanya menyangkut hal-hal yang bersif at yang dimaksudkan unt uk menghindari peng-at uran yang t umpang t indih peng-at au saling bert en-t angan en-t api lebih dari ien-t u agar peraen-t uran perun-dang-undngan yang dilahirkan dan kemudahan hukum posit if dapat menj alankan f ungsinya de-ngan baik dalam masyarakat .15 Masih berkait an dengan hal ini Bagir Manan mengat akan pem-bent ukan hukum yang baik harus memiliki ber-bagai syarat pembent ukan yang baik pula, se-pert i asas, asas t uj uan, asas kewenangan, asas

13

W. Riawan Tj andra dan Kresno Budi Sudarsono, 2009,

Legi sl at i ve Dr af t i ng: Teor i dan Tekni k Pembuat an Per -at ur an Daer ah, Yogyakart a: Uni versit as At maj aya, hl m. 85.

14 Set iaw an, Bonnie, amal ia (ed), “ Inst it ut e For Gl obal

Just i ce” , Jur nal Keadi l an Gl obal Jakar t a, No. 01 Tahun 2003, hl m. 16.

15 Bayu Dwi Anggono, “ Har monisasi Perat uran

Perundang-undangan di bidang penanggu-l angan Bencana” , Jur nal Mi mbar Hukum Vol . 22 No. 2 Juni 2010, FH UGM, hl m. 385-386.

keperluan mengadakan perat uran, asas bahwa perat uran t ersebut dapat dilaksanakan dan lain.16

Sej ak ot onomi daerah dit erapkan berda-sarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian dicabut dan digant i dengan UU No. 32 Tahun 2004, sudah ribuan Perat uran Daerah yang di buat oleh Pemerint ah Daerah, baik pada level propinsi maupun kabupet an/ kot a. Dat a yang di peroleh dari Depart emen Keuangan, sampai De-sember 2006 t erdapat 9. 617 Perat uran Daerah yang t erkait dengan perizinan, paj ak dan ret ribusi di daerah. Dat a yang diperoleh dari Depart emen Dalam Negeri menunj ukkan bahwa sej ak t ahun 2002 sampai t ahun 2007, Perat uran Daerah yang dibat alkan baru berj umlah 761 Perat uran Daerah. Bahkan Subihart a mengat a-kan baha-kan ada perda yang t idak sah t et api daerah masih t et ap memberlakukan.17 Perat ur-an Daerah yur-ang diur-anggap bermasalah it u, dini-lai menimbulkan ekonomi biaya t inggi di daerah sert a j uga membebani masyarakat dan ling-kungan.18

Hal ini t erj adi karena perat uran daerah yang dibuat oleh pemerint ah daerah t idak par-t isipapar-t if arpar-t inya belum mampu mengcover aspi-rasi semua lapisan masyarakat , sehingga ket ika akan diberlakukan bert ent angan dengan apa yang diinginkan masyarakat . Hal ini t ent u saj a sangat mengganggu j alannya sist em pemerin-t ahan yang arpemerin-t inya j uga mengganggu kespemerin-t abilan masyarakat di daerah, t erut ama dari segi kepast ian hukumnya. Berangkat dari uraian t er-sebut , maka t ulisan ini akan mengangkat t en-t ang model ideal paren-t isipasi masyarakaen-t dalam proses pembent ukan perat uran daerah dan ken-dala yang t imbul ken-dalam upaya melibat kan part i-sipasi akt if masyarakat dalam pembent ukan perat uran daerah.

Pembahasan

16 Bagir Manan, “ Konsist ensi Pembangungan Nasional dan

Penegakan Hukum”, Maj al ah Var i a Per adi l an No. 275 Okt o-ber 2008, hl m. 10.

17 Subi hart a, “ Paj ak Daerah dan Ret r ibusi Daer ah Dal am

Perspekt i f UU No. 28 Tahun 2009” , Maj al ah Var i a Per -adi l an, No. 305 Apr il 2011, hl m. 21.

18

W. Ri awan Tj andra dan Kresno Budi Sudar sono, Op. ci t ,

(4)

Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembent ukan Perat uran Daerah

Part isipasi masyarakat dalam pembent uk-an perat uruk-an perunduk-ang-unduk-anguk-an dapat diart i-kan sebagai part isipasi polit ik , oleh Hunt ingt on dan Nelson part isipasi polit ik diart ikan sebagai kegiat an warga negara sipil (pi vat e ci t izen) yang bert uj uan unt uk mempengaruhi pengam-bilan keput usan oleh pemerint ah.19 Part isipasi dan pelibat an masyarakat dalam proses renca-na pembuat an kebij akan publik, program kebi-j akan publik, proses pengambilan keput usan publik dan alasan dari pengambilan keput usan publik merupakan salah sat u ciri dari penye-lenggaraan negara demokrat is.20 Berkait an de-ngan hal ini Bagir Maman mengat akan bahwa kebebasan polit ik dit andai dengan adanya rasa t ent ram, karena set iap orang merasa dij amin keamanannya at au kesela-mat annya. 21 Bent uk part isipasi masyarakat dalam pemerint ahan, khususnya dalam pembent ukan perat uran dae-rah sangat bervariasi, t ergant ung pada sit uasi dan kondisi disuat u t empat dan wakt u. Dalam negara demokrasi dengan sist em perwakilan, kekuasaan pembent ukan undang-undang at au Perat uran Daerah hanya ada dit angan kelompok orang-orang yang t elah dipilih melalui pemilih-an umum. Dalam hal ini, set iap wakil it u akpemilih-an bert arung di parlemen demi kepent ingan umum dan bila mereka bert indak sebaliknya, maka kursi yang didudukinya akan hilang dalam pemi-lihan umum yang akan dat ang, digant ikan oleh orang lain dari part ai yang sama at aupun dari part ai yang berbeda. Disinilah let ak t it ik kon-t rol yang ukon-t ama dari rakyakon-t kepada wakilnya di parlemen. Alat kont rol lain yang dipergunakan masyarakat adalah demonst rasi at au bent

19

Iza Rumest en RS, “ Rel evansi Par t i si pasi Masyarakat da-l am Perancangan Pembent ukan Perat uran Perundang-undangan Yang Responsif ” , Jur nal Si mbur Cahaya Vol . XVI No. 44 Januari 2011, Uni t Penel i t i an FH Universi t as Sriwij aya Pal embang, hl m. 2327.

20 Saut P. Panj ai t an, “ Jaminan Perl indungan Konst it

usio-nal Hak Ti ap Or ang Unt uk Memperol eh Inf or masi dan Berkomunikasi” , Jur nal Si mbur Cahaya, Vol . XV No. 42 Mei 2010, Unit Penel it i an FH Univer si t as Sriwij aya Pal embang, hl m. 1957-1958.

21 Lihat dal am Muhammad Aziz, “ Penguj ian Per at uran

Perundang-undangan dal am Si st em Perat uran Per-undang-undangan Indonesia” , Jur nal Konst i t usi, Vol . 7 No. 5 Okt o-ber 2010, hl m. 122.

bent uk pengerahan massa lainnya, at au bisa j uga melalui prosedur hukum. Dengan demiki-an, unt uk mencapai t uj uan perat uran perun-dang-undangan t ersebut syarat pert ama yang harus dipenuhi adalah ket erlibat an rakyat / par-t isipasi akpar-t if masyarakapar-t dalam suapar-t u proses pembent ukan Perat uran Daerah at au kebij akan lainnya mulai dari proses pembent ukannya, proses pelaksanaannya di lapangan dan t erakhir t ahap evaluasi.

Sehubungan dengan part isipasi akt if ma-syarakat dalam pembent ukan Perat uran Dae-rah, maka perlu j uga dikemukakan pandangan M. Riawan Tj andra dan Kresno Budi Sudarsono, yang menegaskan t erdapat t iga akses (t hr ee ac-cesses) yang perlu disediakan bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerint ahan. Per t a-ma, akses t erhadap inf ormasi yang meliput i 2 (dua) t ipe yait u hak akses inf ormasi pasif da hak inf ormasi akt if ; kedua, akses part isipasi dalam pengalihan keput usan (publ i c par t i ci pa-t i on i n deci si on maki ng) meliput i hak masyara-kat unt uk mempengaruhi pengambilan keput us-an, part isipasi dalam penet apan kebij akus-an, rencana dan program pembangunan dan part isi-pasi dalarn pernbent ukan perat uran perundang-undangan; dan ket i ga, akses t erhadap keadilan (access t o j ust i ce) dengan menyediakan meka-nisme bagi masyarakat unt uk menegakkan hu-kum lingkungan secara langsung (t he j ust i ce pi l l ar al so pr ovi des a mechani sm f or publ i c t o enf or ce envi r onment al l aw dir ect ly). Sif at da-sar dan peran sert a adalah ket erbukaan ( open-ness) dan t ransparansi (t r anspar ency).22

Lebih lanj ut , M. Riawan Tj andra dan Kresno Budi Sudarsono menj elaskan bahwa pe-nguat an t ri akses t ersebut diyakini dapat men-dorong t erj adinya perubahan orient asi sikap dan perilaku birokrasi yang semula menj adi

ser vi ce pr ovi der menj adi enabl er / f asi l it at or. Perwuj udan t ri akses t ersebut dapat dilihat dalam bebrapa bent uk. Per t ama, t urut memi-kirkan dan memperj uangkan nasib sendiri; ke-dua, kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Tidak menyerahkan penent uan nasibnya kepada

22

W. Riaw an Tj andr a dan Kresno Budi Sudar sono, op. ci t ,

(5)

orang lain; ket i ga, merespons dan bersikap kri-t is; keempat , penguat an posisi t awar; dan ke-l i ma, sumber dan dasar mot ivasi sert a inspirasi yg menj adi kekuat an pelaksanaan t ugas dan kewaj iban pemerint ah.23

Sehubungan dengan penj elasan M. Ria-wan Tj andra dan Kresno Budi Sudarsono, Mu-hammad Syaif uddin mengat akan:

“ Dapat dipahami bahwa prinsip ket erbu-kaan adalah elemen pent ing dalam pe-nyelenggaraan pemerint ahan di kabupa-t en/ kokabupa-t a, yang berorienkabupa-t asi pada konsep negara kesej aht eraan yang bert umpu pa-da kekuat an masyarakat sipil, dengan bercirikan birokrasi yang ef isien, ef ekt if , impersonal, impart ial, obj ekt if , rasional dan berorient asi pada kepent ingan pub-lik. Prinsip ket erbukaan membawa konse-kuensi adanya kewaj iban bagi Pemerint ah Kabupat en/ Kot a unt uk secara proakt if memberikan inf ormasi kepada kat , sert a menj elaskan kepada masyara-kat t ent ang ber-bagai hal yang mereka but uhkan. Pelaksanaan prinsip ket erbuka-an membawa konsekuensi perlunya pe-laksanaan prinsip part isipasi masyarakat dalam pembent ukan Perat uran Daerah. 24

Habermas25 menyat akan, bahwa t it ik t o-lak yang dapat menj adi acuan unt uk menat a ulang proses pelibat an part isipasi akt if masya-rakat t ersebut adalah memperluas perdebat an polit is dalam parlemen ke masyarakat sipil. Bu-kan hanya aparat negara dan wakil rakyat , me-lainkan j uga seluruh warga negara berpart isipa-si dalam wacana polit is unt uk mengambil ke-put usan polit ik bersama. Melalui radikalisasi konsep negara hukum klasik kedaulat an rakyat bergeser dari proses pengambilan keput usan di parlemen keproses part isipasi dalam ruang pub-lik. Kedaulat an rakyat bukanlah subst ansi yang membeku dalam perkumpulan para wakil rak-yat , melainkan j uga t erdapat diberbagai f orum warga negara, orgnisasi, non pemerint ah, ge-rakan sosial at au singkat nya di mana pun

23 Loc. ci t

24 Muhammad Syai f uddin, Mada Apr iandi Zuhir dan Anal isa

Yahanan, 2009, Demokr at i sasi Pr oduk Hukum Ekonomi

daer ah (pembent ukan per at ur an daer ah demokr at i s di bi dang ekonomi di Kabupat en/ Kot a, Mal ang: Tunggal Mandir i Publ ishing, hl m 263.

25

Lihat dal am Hamzah Hal im, op. ci t, hl m 123.

kursus t ent ang kepent ingan bersama warga ne-gara dilancarkan.

Senada dengan hal ini, Bambang Sugiono dan Ahmad Husni M. D menj elaskan bahwa pe-laksanaan prinsip peran sert a masyarakat ber-t uj uan unber-t uk: per t ama, melahirkan prinsip ke-cermat an dan kehat ihat ian dari pej abat publik dalam membuat kebij aksanaan publik; dan ke-dua, membawa konsekuensi munculnya suat u kont rol sosial yang konst rukt if dan kesiapan sosial masyarakat t erhadap set iap bent uk dam-pak akibat suat u kegiat an pembangunan.26

Sist em demokrasi yang melibat kan part i-sipasi akt if masyarakat bert uj uan unt uk me-ningkat kan kemampuan rakyat yang rendah dari segi ekonomi, polit ik, dan sosial. Konsep par-t isipasi masyarakapar-t mengalami pemaknaan yang berbeda-beda sehingga perlu diperj elas t ent ang proses yang mana yang dapat disebut part isi-pasi dan yang bukan, sehingga t erj adi kesama-an cara pkesama-andkesama-ang dalam menilai sebuah proses part isipasi di masa lalu, sekarang, dan yang akan dat ang.

Lebih lanj ut Rival G. Ahmad yang menga-cu kepada pendapat Arenst ein, menyusun mo-del yang dapat membant u unt uk menilai t ing-kat part isipasi dalam suat u proses pembent uk-an kebij akuk-an at au perat uruk-an secara umum Per-undang-undangan/ Perat uran Daerah. Secara umum ada t iga deraj at part isipasi masyarakat .

Per t ama, t idak part isipat if (non par t i ci pat i on);

kedua, deraj at semu (degr ees of t okeni sm);

dan ket i ga, kekuat an masyarakat (degr ees of ci t i zen power )27

Lebih lanj ut dikat akannya “ dasar penen-t uan deraj apenen-t , bukan pada seberapa j auh masya-rakat t elah t erlibat dalam proses pembent ukan kebij akan at au program dilaksanakan oleh ne-gara t et api seberapa j auh masyarakat dapat menent ukan hasil akhir at au dampak dari ke-bij akan at au program t ersebut . Deraj at t er-bawah t erdiri dari dua t ingkat part isipasi, yait u manipulasi (mani pul at ion) dan t erapi (t her

26 W. Riaw an Tj andra dan Kr esno Budi Sudar sono op. ci t .

hl m. 46.

27 Rival G. Ahmad dkk, “ Dan Parl emen ke Ruang Publ ik:

(6)

py). Dalam t ingkat ini part isipasi hanya ber-t uj uan unber-t uk menaber-t a masyarakaber-t dan mengoba-t i luka yang mengoba-t imbul akibamengoba-t dari kegagalan sismengoba-t em dan mekanisme pemerint ahan. Tidak ada niat -an sedikit pun unt uk melibat k-an masyarakat dalam menyusun kegiat an at au program peme-rint ah. Deraj at menengah (yang semu) t erdiri dari t iga t ingkat part isipasi, yait u: pemberit a-huan (i nf or mi ng); konsult asi (consul t at i on); dan peredaman (pl acat ion). Dalam t ahap ini su-dah ada perluasan kadar part isipasi, masyarkat sudah bisa mendengar (t ingmasyarkat pemberit a-huan) dan didengar (t ingkat konsult asi), namun begit u t ahap ini belum menyediakan j aminan yang j elas bagi masyarakat bahwa suara me-reka diperhit ungkan dalam penent uan hasil se-buah kebij akan publik. Sedangkan pada t ahap peredaman memang sudah memungkinkan ma-syarakat pada umumnya khususnya yang rent an unt uk memberikan masukan secara lebih signi-f ikan dalam penent uan hasil kebij akan publik, namun proses pengambilan keput usan masih di-pegang penuh oleh pemegang kekuasaan. Dera-j at t ert inggi t erdiri dari t iga t ingkat part isipasi, yakni kemit raan (par t ner shi ps), delegasi kekua-saan (del egat ed power), dan yang t erat as ada-lah kendali masyarakat (ci t i zen cont r ol). Dalam t ahap ini part isipasi masyarakat t ermasuk yang rent an sudah masuk dalam ruang penent uan proses, hasil, dan dampak kebij akan. Masyara-kat sudah bisa bernegosiasi dengan penguasa t radisional dalam posisi polit ik yang sej aj ar (t ingkat kemit raan). Bahkan lebih j auh mampu mengarahkan kebij akan karena ruang pengam-bilan keput usan t elah dikuasai (t ingkat delegasi kekuasaan). Sehingga pada t ahap akhir part isi-pasi masyarakat t elah sampai pada puncaknya, yait u ket ika masyarakat secara polit ik maupun administ rat if sudah mampu mengendalikan pro-ses, pembent ukan, pelaksanaan, dan kebij akan t ersebut (t ingkat kendali masyarakat ).28

Pembent ukan Perat uran Daerah, baik yang berasal dari inisiat if Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun yang berasal dan ini-siat if Pemerint ah Daerah dilakukan melalui beberapa t ahapan. Adapun t ahapan

28

Hamzah Hal i m, op. ci t, hl m. 124-125.

t ukan perat uran daerah sama dengan t ahapan penyusunan perat uran perundang-perundangan yang lain, meliput i perencanaan, perancangan, pembaha-san, pengesahan, pengundangan, pe-laksanaan, dan evaluasi. Ruang part ispasi bagi masyarakat harus ada diset iap t ahapan t erse-but . Dengan demikian, diharapkan akan lahir perda yang part isipat if , masyarakat yang krit is, dan pemerint ahan yang responsif t erhadap ke-but uhan sosial.

Part isipasi masyarakat t idak hanya diper-lukan dalam proses penyusunan Perat uran Dae-rah, namun dalam seluruh t ahapan pembent uk-annya sampai dengan evaluasi. Dalam agenda ROCCIPI-r ul e, oppor t unit y, communi ct ion, ca-paci t y, i nt er est , pr ocess, and i deol ogy (perat u-ran, kesempat an, komunikasi, kemampuan, ke-pent ingan, proses dan nilai/ sikap) dinyat akan bahwa dalam penyusunan perat uran yang baik harus memperhat ikan t uj uh agenda t ersebut . Kat egori ini dapat memberikan gambaran awal reaksi masyarakat t erhadap perat uran yang akan dibent uk. Kat egori ROCCIPI mengident if i-kasi f akt or-f akt or yang kerap menimbulkan ma-salah berkait an dengan berlakunya suat u pera-t uran perundang-undangan. Fakpera-t or i nt er est dan

i deology merupakan f akt or yang bersif at sub-j ekt if sedangkan r ule, oppor t unit y, communi -cat i on, capaci t y, dan pr ocess merupakan f akt or obj ekt if . Agenda ini bermanf aat unt uk mem-persempit dan mensist emat iskan ruang lingkup hipot esis yang muncul dalam benak perancang perat uran t ent ang penyebab suat u perilaku bermasalah. Dalam agenda ini t erdapat f akt or-f akt or yang memengaruhi peran sert a masya-rakat dalam pelaksanaan Perat uran Daerah ber-kait an mat eri yang t erdapat dalam Perat uran Daerah. Berikut penj elasan dari masing-masing f akt or dimaksud.

(7)

hal yang t idak bisa dit awar bahwa perat uran t idak dapat menghilangkan penyebab perilaku bermasalah.

Kedua, Oppor t uni t y (kesempat an/ pelu-ang). Sebuah perat uran secara t egas melarang perilaku t ert ent u, namun j ika t erbuka kesem-pat an unt uk t idak memat uhinya orang dengan mudah melakukan perilaku bermasalah. Pelang-garan t erhadap Perat uran Daerah kerap t erj adi karena adanya kesempat an dan t idak adanya t indakan t egas dari aparat yang berwenang.

Ket i ga, Capaci t y (kemampuan). Perat ur-an t idak dapat memerint ahkur-an seseorur-ang unt uk melakukan sesuat u yang dia t idak mampu. Per-at uran harus dibuPer-at dengan menget ahui kon-disi-kondisi masyarakat yang menj adi subj ek perat uran. Kemampuan masyarakat dapat dirin-ci ke dalam kemampuan polit ik, ekonomi, dan sosial-budaya.

Keempat, Communi cat ion (komunikasi). Komunikasi pemerint ah daerah dengan rakyat t idak ef ekt if , t erut ama dalam mengumumkan perat urannya. Media sosialisasi yang digunakan t idak f amilier dan sulit unt uk diakses oleh ma-syarakat . Hal ini menunj ukkan indikasi kesenga-j aan, supaya masyarakat t idak t ahu cacat yang ada di dalam suat u perat uran.

Kel i ma, Int er est (kepent ingan). Aspek ke-pent ingan t erkait erat dengan manf aat bagi pelaku peran (pembuat perat uran maupun st a-kehol der/ masyarakat yang akan menj adi sasar-an pemberlakusasar-an at ursasar-an t ersebut ). Kepent ing-an ini bisa t erdiri dari kepent inging-an ekonomi, polit ik, dan sosial-budaya. Keenam, Pr ocess

(proses). Proses yang dimaksud dalam hal ini adalah proses bagi pelaku unt uk memut uskan apakah akan memat uhi at au t idak memat uhi suat u Perat uran Daerah. Proses ini sangat di-pengaruhi oleh subst ansi perat uran yang ber-dampak posit if at au t idak bagi kepent ingan ma-syarakat di mana Perat uran Daerah t ersebut diberlakukan. Ket uj uh, Ideology (nilai dan si-kap). Kat egori ideologi ini secara umum dimak-nai sebagai sekumpulan nilai yang dianut oleh suat u masyarakat unt uk merasa, berpikir, dan bert indak. Termasuk di dalamnya ant ara lain sikap ment al, pandangan t ent ang dunia, pema-haman keagamaan. Kadang-kadang ideologi j

u-ga disamakan denu-gan budaya yang sanu-gat luas cakupannya. Dalam masyarakat Indonesia yang serba maj emuk (beragam) harus dapat diako-modasi oleh pengambil kebij akan agar dapat dengan mudah dit erima oleh masyarakat .29

Bagaimanapun rumit dan kompleksnya permasalahan yang dit emukan dalam masya-rakat , j ika dij abarkan berdasarkan kat egori ROCCIPI sebagaimana t ersebut , kemungkinan besar akan dapat dicegah (pr event i f) at au di-carikan solusinya, t ent unya dengan menyesuai-kan dengan subst ansi (mat eri) suat u Perat uran Daerah yang hendak dibuat dengan t erlebih da-hulu melakukan pengkaj ian t erhadap keinginan-keinginan at au harapan-harapan dari masyara-kat di mana Perat uran Daerah it u kelak hendak diberlakukan. Tent unya pengkaj ian t ersebut di-sandarkan pada t uj uh kat egori ROCCIPI t er-sebut . Meskipun demikian, akan lebih t epat j i-ka dalam set iap proses pembent ui-kan Perat uran Daerah t ersebut , masyarakat set empat senan-t iasa disediakan ruang unsenan-t uk berparsenan-t isipasi dan dij amin adanya inf ormasi mengenai prosedur-nya.

Pada dasarnya keikut sert aan masyarakat (part isipasi) dalam proses pembent ukan suat u Perat uran Daerah t elah diat ur dan dij amin oleh Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004. Dengan demi-kian, maka dapat dikat akan bahwa sesung-guhnya t elah ada koridor hukum yang j elas me-lindungi hak at as inf ormasi masyarakat . Ket en-t uan ini j uga beraren-t i dalam pembenen-t ukan se-buah Perat uran Daerah harus t erdapat prosedur yang memungkinkan masyarakat unt uk berpe-ran akt if di dalam proses peberpe-rancangan t erse-but . Berkait an dengan hal ini, Iza Rumest en mengat akan bahwa naskah akademik merupa-kan bent uk konkret part isipasi masyarakat da-lam rangka pembent ukan perat uran perundang-undangan (t ermasuk perat uran daerah yang berbasis riset ).30

29 Jazim Hamidi, 2006, Revol usi Hukum Indonesi a (Makna,

kedudukan dan Impl i kasi Hukum Naskah Pr okl amasi Indonesi a 17 Agust us 1945 dal am Si st em Ket at anega-r aan RI), Yogyakart a: Ker j asama Konst it usi Press Jakart a dengan Cit r a Medi a, hl m. 77.

30 Iza Rumest en RS, “ Peningkat an Fungsi Naskah Akademik

(8)

Prakt ik yang t erj adi selama ini dalam proses pembent ukan perda peran masyarakat masih bersif at parsial dan simbolis. Beberapa komunikasi massa yang dilakukan hanyalah se-bagai pelengkap prosedur adanya basi c r e-sear ch yang melandasi perencanaan pemben-t ukan Perapemben-t uran Daerah. Ipemben-t u pun, dilakukan ha-nya pada t ahap perencanaan. Kemudian dalam t ahap pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, masyarakat yang sudah ” t erlanj ur” me-wakilkan kekuasaannya pada wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah t idak lagi mendapat kan hak suara. Sidang paripurna ang-got a Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang t erhormat memang bersif at t erbuka, t et api kebal krit ik karena prot okol dan t at a t ert ib si-dang. Sement ara rakyat yang t idak puas, harus cukup puas dengan meneriakkan aspirasi dan kepent ingannya dengan cara ” it u-it u saj a” demo dan unj uk rasa yang t idak pernah ef ekt if . Berkait an dengan hal t ersebut Nat abaya me-ngat akan bahwa DPRD sebagai lembaga polit ik t idak lepas dari kepent ingan polit ik para ang-got anya, menj adi semacam kewaj aran dimana saj a diseluruh dunia para anggot a DPRD me-nyuarakan aspirasi polit ik part ainya sedangkan aspirasi masyarakat (konst it uennya) menj adi nomor 2.31

Menurut Siraj uddin,32 t erdapat sedikit nya 8 (delapan) prinsip mengenai opt imalisasi part i-sipasi masyarakat di dalam proses pembent u-kan suat u Perat uran Daerah. Per t ama, adanya kewaiiban publikasi yang ef ekt if ; kedua, ada-nya kewaj iban inf ormasi dan dokument asi yang sist emat is, bebas, dan accessi bl e; ket iga, ada-nya j aminan prosedur dan f orum yang t erbuka dan ef ekt if bagi masyarakat unt uk t erlibat da-lam mengawasi proses sej ak t ahap perencana-an; keempat , adanya prosedur yang menj amin publik bisa mengaj ukan Rancangan Perat uran Daerah selain anggot a Dewan Perwakilan

31 AS. Nat abaya, “ Peni ngkat an Kual it as Per at ur an

Perun-dang-undangan (suat u Pendekat an Input dan Out put ” ,

Jur nal Legi sl asi Indonesi a, Vol . 4 No. 2 Juni 2007, hl m. 13-14.

32 Siraj udin dkk, 2006, Legi sl at i ve Dr af t i ng; Pel embagaan

Met ode Par t i si pasi masyar akat Dal am Penyel enggar aan Ot onomi Daer ah, Mal ang: Cor r upt i on Wat ch dan YAPPIKA, hl m. 189.

yat Daerah dan pemerint ah; kel i ma, adanya pe-ngat uran yang j elas mengenai dokumen dasar yang waj ib t ersedia dan accessi bl e sepert i nas-kah akademik dan Rancangan Perat uran Dae-rah; keenam, adanya j aminan banding bagi publik bila proses pembent ukan Perat uran Dae-rah t idak dilakukan secara part isipat if ; ket u-j uh, ada pengat uran j angka wakt u yang mema-dai unt uk seluruh proses penyusunan, pembah-asan Rancangan Perat uran Daerah, dan disemi-nasi Perat uran Daerah yang t elah dilaksanakan; dan kedel apan, ada pert anggungj awaban yang j elas dan memadai bagi proses pembent ukan Perat uran Daerah yang dengan sengaj a menu-t up peluang masyarakamenu-t unmenu-t uk berparmenu-t isipasi.33

Sebuah pemerint ahan yang baik (good go-ver nance) dan demokrat is harus menj amin t e-realisasinya prinsip-prinsip t ersebut . Ada bebe-rapa bent uk upaya menj aring part isipasi masya-rakat yang dapat dilakukan oleh pembent uk Perat uran Daerah dalam pembent ukan Perat ur-an Daerah. Per t ama, melakukan penelit ian t er-padu sebelum perancangan Perat uran Daerah;

kedua, menggelar publ i c hear i ng mat eri yang akan diperdakan (hal ini bisa dilakukan di De-wan Perwakilan Rakyat Daerah t et api j uga bisa dilakukan dengan cara t urun langsung ke t e-ngah-t engah masyarakat t erkait (st akehol der); dan ket i ga, memberikan kesempat an kepada warga unt uk mengikut i persidangan di kant or DPRD (dengan membuka inf ormasi j adwal si-dang pembent ukan perda t ersebut ).34 Jika ke-waj iban pemerint ah unt uk memf asilit asi part i-sipasi masyarakat t elah t erpenuhi maka adalah j uga menj adi kewaj iban masyarakat unt uk da-pat memanf aat kan f asilit as t ersebut secara ef ekt if agar dapat menj adi kekuat at an kont rol dan menj adi pengawas bagi kebij akan yang di-keluarkan pemerint ah.

Part isipasi t idak cukup hanya dilakukan oleh sekelompok orang yang duduk di lembaga perwakilan di kabupat en/ kot a, karena inst it usi dan orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan seringkali menggunakan polit ik at as nama kepent ingan rakyat unt uk memperj

33

Hamzah Hal i m, op. ci t, hl m. 141.

34

(9)

kan kepent ingan pribadi at au kelompok mereka sendiri. Part isipasi rakyat secara langsung, me-nurut Alexander Abe, akan membawa t iga dam-pak pent ing. Per t ama, t erhindar dari peluang t erj adinya manipulasi ket erlibat an rakyat dan memperj elas apa yang dikehendaki masyara-kat ; kedua, memberi nilai t ambah pada legit i-masi rumusan perencanaan, karena semakin banyak j umlah pihak yang t erlibat semakin baik; dan ket i ga, mening-kat kan kesadaran dan ket erampilan polit ik masyarakat .35

Pihak-pihak yang t erlibat dalam pelaksa-naan part isipasi masyarakat yang paling ut ama adalah masyarakat it u sendiri. Kesadaran ber-part isipasi dan dukungan t erhadap akt ivit as part isipasi melalui pendidikan polit ik perlu di-bangun. Tokoh-t okoh masyarakat dan organisa-si lokal baik berupa inst it uorganisa-si akademis, media massa, dan lembaga swadaya masyarakat ber-t anggung j awab ber-t erhadap penyelenggaraan pendidikan polit ik bagi masyarakat . Selain it u, harus ada dukungan dari pemerint ah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mungkin banyak yang beranggapan bahwa part isipasi masyarakat t elah cukup (cukup represent at if dan legit imat if ) t erwakili oleh wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah36. Namun kini hal it u t idaklah cukup, part isipasi masyarakat lebih dibut uhkan dalam memberi masukan pada saat proses pembuat an perat uran daerah dan memberikan legit imasi t erhadap Perat uran Daerah t ersebut , karena menurut Rosmala Po-lani int i dari ot onomi daerah adalah demokra-t isasi dan pemberdayaan.37

Masyarakat dapat menyalurkan aspirasi mereka dalam set iap t ahap pembent ukan Per-at uran Daerah, secara akt if maupun pasif . Hal ini diat ur dalam konst it usi negara kit a. Laica Marzuki mengat akan Konst it usi merupakan nas-kah legit imasi paham kedaulat an rakyat . Nas-kah dimaksud merupakan kont rak sosial yang

35 Al exander Abe, 2005, Per encanaan Daer ah Par t i si pat i f ,

Pembaruan, Yogyakart a, hl m. 90-91.

36 Khair ul Mul uk, 2007, Menggugat Par t i si pasi Publ i k

Dal am Pemer i nt ah Daer ah, Mal ang: LPD FIA UB dan Bayu Media, hl m. 225.

37 Rosmal a Pol ani, “ Pembagian Kewenangan di Wil ayah

Perairan Pada Er a Ot onomi Daer ah” , Jur nal Si mbur Cahaya, Vol . XIII No. 35 Januar i 2008, Unit Penel it ian FH Univer sit as Sr iwij aya Pal embang hl m. 623.

mengikat set iap warga dalam membangun pa-ham kedaulat an rakyat .38 Part isipasi akt if da-lam art i: masyarakat memiliki inisiat if sendiri unt uk berperan sert a dalam pembent ukan Per-at uran Daerah. Part isipasi akt if dapPer-at dilakukan dengan cara: mengikut i debat publik, rapat umum, demonst rasi, at au melalui surat t erbuka di media massa. Part isipasi pasif , berart i ini-siat if part isipasi dat ang dari luar diri masyara-kat . Inisiat if bisa dat ang dari lembaga legislat if at au eksekut if dengan mengadakan dengar pen-dapat (hear i ng), dialog publik, kunj ungan ker-j a, maupun wawancara penelit ian dalam rangka perancangan perat uran daerah.

Bent uk-bent uk pelaksanaan part ispasi masyarakat sangat t ergant ung pada sit uasi dan kondisi masyarakat dan lingkungannya. Tingkat kualit as sumber daya masyarakat , kepedulian lembaga pendidikan at au lembaga swadaya ma-syarakat dan sikap pemerint ah sangat mem-pengaruhi pola-pola part isipasi yang digunakan oleh masyarakat unt uk menyalurkan aspirasi-nya. Masyarakat berhak menent ukan cara yang digunakan unt uk berpart isipasi dalam proses penyusunan Perat uran Daerah. Part isipasi dapat dilakukan secara langsung, yait u dengan ikut sert a dalam salah sat u at au seluruh proses pembent ukan baik dilakukan melalui lembaga eksekut if maupun legislat if . Part isipasi iuga dapat dilakukan secara t idak langsung, yait u dengan melakukan kegiat an yang kurang lebih dapat mempengaruhi proses pembent ukan per-at uran daerah. Cara paling konvensional dalam upaya mempengaruhi proses persidangan pem-bent ukan Perat uran Daerah adalah demonst rasi at au unj uk rasa. Undang-Undang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum No. 9 Tahun 1998 menyat akan bahwa bent uk menge-luarkan pendapat di muka umum adalah unj uk rasa, pawai, mimbar bebas, at au rapat umum. Melalui 4 cara t ersebut , masyarakat dapat ber-part isipasi meneriakkan keinginan dan sikapnya mengenai mat eri yang sedang dibahas dalam sidang pembent ukan perat uran perundang-un-dangan. Meskipun cara-cara t ersebut kurang

38

(10)

ef ekt if , namun cara ini banyak digunakan ka-rena kurangnya ruang part isipasi secara lang-sung melalui lembaga pemerint ah sangat mi-nim. Diant ara model part isipasi yang dapat di-lakukan, ant ara lain: per t ama, mengikut sert a-kan anggot a masyarakat yang dianggap sah dan independen dalam t eam at au kelompok kerj a dalam penyusunan perat uran perundangan; ke-dua, melakukan publ i c hear ing melalui semi-nar, lokakarya at au mengundang pihak-pihak yang berkepent ingan dalam rapat -rapat penyu-sunan perat uran perundang-undangan, musya-warah rencana pembangunan; ket i ga, melaku-kan uj i sahih t erhadap Perat uran Daerah; ke-empat , melakukan j aj ak pendapat , kont ak pub-lik melalui media massa; dan kel i ma, melalui lembaga pemberdayaan masyarakat kelurahan (LPMK) at au membent uk f orum warga.39

Berkait an dengan penyusunan Raperda baik di lingkungan Pemerint ah Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, secara nor-mat if masayarakat dapat berperan sert a secara akt if unt uk memberikan masukan perda yang dibent uk. Demikian j uga pada saat dilakukan pembahasan bersama ant ara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerint ah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat menyelengga-rakan rapat dengar pendapat umum unt uk men-dapat masukan dari masyarakat umum. Bent uk lain dari part isipasi masyarakat yang dapat di lakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pemerint ah daerah adalah seminar t erba-t as, Foccus Gr oup Di scussion (FGD), Int er ac-t i onal Gr oup Di scussion (IGD), dialog publik, sosialisasi berkala dan diskusi ahli. Dalam me-rumuskan perat uran daerah mengenai PKDRT misalnya bent uk t anggung j awab yang dilaku-kan pemerint ah daerah unt uk merumusdilaku-kan dan merencang perda t ersebut pemerint ah daerah Sumat era Selat an gencar melakukan sosialisasi dan edukasi t ent ang KDRT, menyelanggarakan advokasi dan sosialisasi sert a menyelenggara-kan pendidimenyelenggara-kan dan pelat ihan mengenai sensi-t if isensi-t as gender dan isu-isu mengenai PKDRT (edisensi-t

39

Siraj uddin, dkk, op.cit , hl m. 189.

penulis),40 hanya saj a t idak set iap perumusan perda yang melakukan sosialiasi secara gencar dalam perumusan dan pembuat an rancangan perat uran daerah.

Kendala yang Timbul dalam Upaya Melibat kan Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Perat uran Daerah

Salah sat u t ahapan yang pent ing dilaku-kan dalam proses penyusunan perda adalah

communi cat ion, yait u adanya komunikasi ant a-ra pemangku kepent ingan dan pengambilan kebi-j akan. Komunikasi ini sangat pent ing da-lam pelaksanaan perat uran daerah. Set idaknya komunikasi yang dapat dilakukan oleh pemerin-t ah adalah sosialisasi. Meskipun bersif apemerin-t searah, inf ormasi yang didapat kan oleh masyarakat me-lalui sosialisasi Perat uran Daerah sedikit banyak dapat memberikan kesempat an masyarakat un-t uk melaksanakan aun-t au un-t idak melaksanakan perat uran t ersebut sesuai dengan kebut uhan-nya. Dengan demikian, pelaksanaan Perat uran Daerah yang t idak mencerminkan at au t idak mengakomodasi kepent ingan masyarakat men-dapat reaksi negat if dari masyarakat . Secara t eoret is dalam ilmu hukum dikenal adanya ang-gapan yang menyat akan bahwa semua orang dianggap t ahu hukum, namun t eori f iksi ini t i -dak dapat diberlakukan begit u saj a, karena ma-salah komunikasi sering kali muncul karena se-lama ini pemerint ah (pemerint ah daerah) ku-rang dalam mengumumkan perat urannya (sosia-lisasi).

Ket idakef ekt if an suat u perat uran daerah mungkin t erj adi karena beberapa f akt or yang saling berkait an dalam sist em hukum. Menurut Lawrence Meir Friedman, ada 3 (t iga) unsur yang sangat berpengaruh dalam sist em hukum, yait u subst ansi, st rukt ur, dan kult ur hukum da-lam masyarakat . Fakt or-f akt or yang memenga-ruhi part isipasi masyarakat di dalam pelaksana-an suat u perat urpelaksana-an daerah. Per t ama, subst ansi Perat uran Daerah yang t idak sesuai dengan nilai masyarakat memancing reaksi masyarakat , se-dangkan prosedur part isipasi t idak j elas;

40 Iza Rumest en RS, “ Peranan Pemerint ah Daerah t

er-hadap Pengaduan Kekerasan dal am Rumah Tangga” ,

(11)

dua, kurangnya opt imal kinerj a aparat ur peme-rint ah yang berwenang dalam menangani set iap penyelewengan at au pelanggaran perat uran. Dalam st rukt ur hukum, masyarakat sebagai sub-j ek hukum memiliki peran yang sangat besar dalam pelaksanaan Perat uran Daerah; ket i ga,

kurangnya sosialisasi dan kesadaran polit ik ma-syarakat yang rendah karena t ingkat pendidikan at au karena priorit as hidup sebagian besar ma-syarakat yang lebih t ersit a unt uk memenuhi ke-but uhan pokok sehari-hari. Sehingga kepekaan masyarakat t erhadap proses pembent ukan sua-t u Perasua-t uran Daerah sangasua-t rendah41.

Sherry Arnst ein, menj abarkan peran sert a masyarakat berdasarkan kekuat an masyarakat unt uk memengaruhi hasil akhir kebij akan pe-merint ah dapat dilakukan melalui beberapa cara, yait u manipulasi (mani pul at ion); t erapi (t her apy); penginf ormasian (i nf or mi ng); kon-sult asi (consul t at ion); peredaman (pl acat i on); kemit raan (par t ner shi p); delegasi kekuasaan (del egat ed power); dan kendali masyarakat (ci t i zen cont r ol).42 Berdasarkan t ahapan t er-sebut , Siraj uddin mengklasif ikasikan kedela-pan t ingkat part isipasi t ersebut di at as menj adi 3 t ingkat . Tingkat pert ama diklasif ikasikan se-bagai t idak part isipasi (non-par t i ci pat i on), yai-t u yai-t ingkayai-t manipulasi dan yai-t erapi. Tingkayai-t kedua disebut dengan part isipasi semu (degr ee of t a-keni sm), yait u t ingkat peredaman, konsult asi, dan inf ormasi. Dalam t ingkat an kedua ini ma-syarakat didengarkan dan diperkenankan ber-pendapat , t et api t idak memiliki kemampuan dan t idak ada j aminan bahwa pandangan mere-ka amere-kan dipert imbangmere-kan secara sungguh-sung-guh oleh penent u kebij akan. Tingkat ket iga adalah kekuasaan masyarakat (degr ee of ci t i -zen power), yait u t ingkat kemit raan, delegasi kekuasaan, dan kendali masyarakat . Dalam t ingkat ini masyarakat memiliki pengaruh da-lam proses penent uan kebij akan.

Lebih lanj ut Khairul Muluk,43 menguraikan 6 (enam) t ahapan part isipasi Arnst ein di at as dan mengklasif ikasikannya dalam 5 t ingkat .

41 Lawrance M Fri edman, 1975, The Legal Syst em: Soci al

Sci ence Per spect i ve, New York: Russel Sage.

42

Siradj uddin, op. ci t, hl m. 183.

43

Khair ul Mul uk, op. ci t, hl m. 171

mun menurut Muluk hanya 4 t ahapan yang t er-golong part isipat if , sat u t erer-golong nonpart isipa-t if karena parisipa-t isipasi yang ada hanya f ormali-t as, pengerahan masa ” bayaran” maupun dis-t orsi inf ormasi. Oleh sebab idis-t u, dis-t ahap ini dise-but dengan nonpart isipat if . Terakhir kendali warga (bukan lagi sekadar part isipasi, t et api wargalah yang mengambil keput usan (deci sion maker). Gambaran lebih j elas lihat di dalam t abel di bawah ini.

Tabel 1: Tingkat Part isipasi Masyarakat

TINGKAT

PARTISIPASI KLASIFIKASI

6. Kendali Kendali Warga

5. Delegasi Part isipasi Kuat

4. Kemit raan Sedang

3. Konsult asi

2. Inf ormasi Lemah

1. Manipulasi Nonpart isipasi

Apa pun model part isipasi yang disedia-kan, t idak akan berart i j ika masyarakat masih saj a bersikap apat is t erhadap keput usan at au kebij akan pemerint ah. Unt uk it u harus ada st rat egi khusus unt uk mendorong masyarakat agar akt if berpart isipasi dalam set iap proses kebij akan. Ada beberapa st rat egi yang dapat dilakukan unt uk menst imulasi part isipasi ma-syarakat , ant ara lain: mensolidkan kekuat an masyarakat t erut ama para st akeholders; mem-berdayakan masyarakat (membangun kesadaran krit is masyarakat ); publikasi hasil-hasil inves-t igasi ainves-t au riseinves-t -riseinves-t yang peninves-t ing; berupaya mempengaruhi pengambil kebij akan; memun-culkan aksi dan gerakan secara kont inu.44

Ada beberapa problemat ika yang t erj adi berkait an dengan hal part isipasi masyarakat da-lam perat uran perundang-undangan. Set idaknya ada 3 f akt or yang melat arbelakangi munculnya problemat ika part isipasi, yait u: f akt or masya-rakat , yuridis, dan birokrasi. Dari ket iga f akt or t ersebut dit emukan beberapa permasalahan yang dapat diuraikan, sebagai berikut .

Tabel 2: Problematika Partisipasi Masyarakat45

FAKTOR PROBLEMATIKA

Masyarakat 1. Sikap apat is masyarakat .

2. Kurangnya penget ahuan dan pe-mahaman masyarakat .

44

Siraj uddin dkk. , op. ci t, hl m. 152

45

(12)

3. Budaya pat ernalist is yang masih kuat mengakar.

4. Tidak ada r ewar d (berupa t indak lanj ut ) part ispasi masyarakat 5. Responsibilit as masyarakat yang

kurang.

6. Masyarakat t idak menget ahui me-kanisme penyaluran aspirasi. 7. Ket erbat asan akses masyarakat

inf ormasi.

8. Kurangnya dukungan elemen ma-syarakat yang seharusnya mem-bant u memberdayakan sepert i: LSM at au media massa yang cen-derung pr ovokat i f dan/ at au pr of i t or i ent ed.

Yuridis 1. Banyak perat uran yang belum ber-pihak pada kepent ingan masya-rakat .

2. Belum ada perat uran yang dapat memaksa pemerint ah unt uk meli-bat kan rakyat dalam proses pem-bent ukan perda.

3. Belum ada perat uran yang men-j amin masyarakat mendapat kan inf omasi.

4. Mudahnya melakukan korupsi ke-bij akan di bawah payung legali-t as.

5. Adanya ket ent uan part isipasi yang t idak mengikat karena t idak ada-nya sanksi at as pengabaianada-nya. 6. Banyak perat uran yang

menyang-kut kewaj iban masyarakat (ex. perda ret ribusi), t et api mengabai-kan hak-hak masyarakat .

7. Tidak adanya sosialisasi perat uran at au kebij akan.

Birokrasi 1. Sist em birokrasi yang belum mem-berikan ruang bagi publik. 2. Birokrasi diposisikan sebagai

me-sin yang hanya bekerj a sesuai j a-lur.

3. Tidak ada ket erlibat an masyara-kat dalam pengambilan kebij akan dengan dalih high cost .

4. Kurang pahamnya birokrat akan makna part isipasi secara menda-sar.

5. Image birokrasi yang kent al de-ngan uang.

6. Saluran aspirasi yang kurang baik. 7. Kerap t erj adi mobilit as massa

un-t uk kepenun-t ingan poliun-t ik.

8. Part ai t idak mampu berperan un-t uk kepenun-t ingan rakyaun-t .

Berikut ini t eknik pemberdayaan masya-rakat (peningkat an part isipasi masyamasya-rakat ) dalam proses pembent ukan-pembent ukan

per-at uran daerah. Per t ama, membangun relasi pert olongan yang: meref leksikan respons em-pat i; menghargai pilihan dan hak masyarakat ; menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing kelompok masyarakat ; dan menekankan pola kerj a sama klien (cl i ent par t ner shi ps).

Kedua, membangun komunikasi yang: menghormat i mart abat dan harga diri; mem-pert imbangkan keragaman individu; dan f okus pada kepent ingan masyarakat (umum). Ket i ga, t erlibat dalam pemecahan masalah yang: mem-perkuat part isipasi masyarakat dalam peme-cahan masalah sosial; menghargai hak-hak ma-syarakat ; merangkai t ant angan sebagai kesem-pat an belaj ar; dan melibat kan masyarakat da-lam pembent ukan perat uran daerah dan eva-luasinya. Keempat, meref leksikan sikap dan ni-lai dalam kode et ik j abat an pemerint ahan yang meliput i: ket aat an t erhadap kode et ik dan prin-sip-prinsip good gover nance; ket erlibat an da-lam proses perumusan perat uran daerah; dan penghapusan segala bent uk diskriminasi dan ket idakadilan.46

Penut up Simpulan

Kendala dalam proses pembent ukan per-at uran daerah berupa kelemahan normper-at if per-at u-ran hukum posit if (vi de UU No. 10/ 2004) yang hanya memuat 1 (sat u) pasal, (vi de Pasal 53) yang mengat ur part isipasi masyarakat , dan t i-dak mengat ur cara/ met ode pelaksanaan ber-part isipasi masyarakat dalam proses pemben-t ukan Perapemben-t uran Daerah di kabupapemben-t en/ kopemben-t a, se-hingga met ode pelaksanaan hak berpart isipasi masyarakat hanya mengandalkan inovasi Kepala Daerah dan DPRD yang diwuj udkan dalam Per-at uran TPer-at a Tert ib DPRD. Namun, sampai saPer-at ini Perat uran Presiden t ent ang pembent ukan Perat uran Daerah belum dit erbit kan, sehingga masih mengacu pada Kepmendagri dan Ot oda No. 23 Tahun 2001. Berbagai regulasi sekt oral selama ini mendorong dibukanya hak akses pub-lik unt uk berperan sert a. Namun, pada umum-nya, hak unt uk berperan sert a dalam berbagai

46 Edi Soehart o, 2005, Anal i si s Kebi j akan Publ i k Panduan

(13)

regulasi it u hanya berhent i pada level f ormulasi Perat uran Daerah, t idak t eroperasionalisasikan sampai pada level at uran pelaksanaan yang se-cara riil dapat digunakan sebagai landasan nor-mat if bagi akses publik. Dalam kondisi t erse-but , masyarakat yang secara t eorit ik memiliki hak unt uk mengakses inf ormasi publik dalam proses penet apan kebij akan, t idak sungguh-sungguh mampu mempergunakan haknya unt uk memant au, mengkrit isi dan mengevaluasi kebi-j akan publik yang akan dit et apkan oleh pekebi-j abat publik.

Saran

Part isipasi masyarakat dalam proses pem-bent ukan Perat uran Daerah harus dikembang-kan dengan beberapa cara. Per t ama, mengikut -sert akan anggot a masyarakat yang dianggap ahli dan independen dalam t im at au kelompok kerj a dalam pembent ukan Perat uran Daerah;

kedua, melakukan publ i c hear i ng (diskusi pub-lik) melalui seminar, lokakarya at au mengun-dang pihak-pihak yang berkepent ingan (st ake-hol der s) dalam rapat -rapat penyusunan Pera-t uran Daerah; ket i ga, melakukan uj i sahih ke-pada pihak-pihak t ert ent u unt uk mendapat kan t anggapan; keempat , mengadakan kegiat an musyawarah at as Perat uran Daerah sebelum secara resmi dibahas oleh inst it usi yang ber-kompet en; dan kel i ma, mempublikasikan ran-cangan Perat uran Daerah agar mendapat kan t anggapan masyarakat .

Rekomendasi

Mencermat i hal diat as, penulis memberi-kan beberapa rekomendasi. Per t ama, Prinsip kedaulat an rakyat yang bersif at langsung, hen-daknya dilakukan melalui saluran-saluran yang sah sesuai dengan prosedur demokrasi (pr oce-dur al democr acy). Sudah seharusnya lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan rak-yat daerah diberdayakan f ungsinya dan pelem-bagaannya, sehingga dapat memperkuat sist em demokrasi yang berdasar at as hukum (const it u-t i onal democr acy) dan prinsip negara hukum yang demokrat is (democr at ische r echt st aat).

Kedua, prinsip-prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut

prinsip-prinsip demokrasi at au kedaulat an rakyat ( de-mocr at ische r echt st aat e). Hukum t idak boleh dibuat , dit et apkan, dit af sirkan dan dit egakkan dengan t angan besi berdasarkan kekuasaan be-laka (macht sst aat i). Prinsip negara hukum t idak boleh dit egakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diat ur dalam Undang-Undang Dasar.

Daft ar Pust aka

Abdullah, Alexander. “ Desent ralisasi dan Un-dang-undang Ot onomi Daerah di Era Re-f ormasi. Jur nal Hukum Vol. 3 No. 1 Ja-nuari 2010. UII Yogyakart a;

Abe, Alexander. 2005. Per encanaan Daer ah Par t i si pat i f . Yogyakart a: Pembaruan; Ahmad, Rival G. dkk. “ Dan Parlemen ke Ruang

Publik: Menggagas Penyusunan Kebij akan Part isipat if ” . Jur nal Hukum Jent er a, Vol. I No. 2 Tahun 2003. PSHK Jakart a;

Anggono, Bayu Dwi. “ Harmonisasi Perat uran Perundang-undangan di bidang penanggu-langan Bencana” . Jur nal Mimbar Hukum

Vol. 22 No. 2 Juni 2010. FH UGM;

Aziz, Muhammad. “ Penguj ian Perat uran Perun-dang-undangan dalam Sist em Perat uran Perundang-undangan Indonesia” . Jur nal Konst i t usi Mahkamah Konst i t usi Vol. 7 No. 5 Okt ober 2010;

Friedman, Lawrance M. 1975. The Legal Sys-t em: Soci al Sci ence Per specSys-t ive. New York: Russel Sage;

Hamidi, Jazim. 2006. Revol usi Hukum Indonesi a (Makna, kedudukan dan Impl i kasi Hukum Naskah Pr okl amasi Indonesi a 17 Agust us 1945 dal am Si st em Ket at anegar aan RI). Yogyakart a: Kerj asama Konst it usi Press Jakart a dengan Cit ra Media;

Indrat i, Maria Farida. “ Proses Pembent ukan

Perat uran Perundang-undangan Pasca

Amandemen UUD 1945” . Maj al ah Hukum Nasional No. 1 Tahun 2005;

Limbach, Jut t a. “ The Concept of t he Supre-macy of t he Const it ut ion” . The Moder n Law Revi ew, Vol. 64 No. 1 Januari 2001;

Mahendra, Oka. “ Mekanisme Penyusunan dan Pengolahan Program Legislasi Daerah” .

Jur nal Legi sl asi Indonesi a, Vol. 3 No. 1 Maret 2006. Dit j en Perat uran Perundang-an-undangan Jakart a;

(14)

Marzuki, Laica. “ Konst it usi dan Konst it usiona-lisme” . Jur nal Konst it usi Vol. 7 No. 4 Agust us 2010;

Muluk, Khairul. 2007. Menggugat Par t i si pasi Publ i k Dal am Pemer int ah Daer ah. Ma-lang: LPD FIA UB dan Bayu Media;

Nat abaya, AS. “ Peningkat an Kualit as Perat uran Perundang-undangan (suat u Pendekat an Input dan Out put ” . Jur nal Legi sl asi Indo-nesi a, Vol. 4 No. 2 Juni 2007. Dit j en Per-at uran Perundangan-undangan Jakart a; Panj ait an, Saut P. “ Jaminan Perlindungan

Kons-t iKons-t usional Hak Tiap Orang UnKons-t uk Memper-oleh Inf ormasi dan Berkomunikasi” . Jur -nal Si mbur Cahaya Vol. XV No. 42 Mei 2010. Unit Penelit ian Fakult as Hukum Universit as Sriwij aya Palembang;

Polani, Rosmala. “ Pembagian Kewenangan di Wilayah Perairan Pada Era Ot onomi Dae-rah” . Jur nal Si mbur Cahaya Vol. XIII No. 35 Januari 2008. Unit Penelit ian FH Uni-versit as Sriwij aya Palembang;

Pot imbang, Hodio. “ Fakt or-f akt or yang Melahir-kan Peradilan Massa dit inj au dari Aspek Hukum Pidana” . Maj al ah Var i a Per adi l an

No. 302 Januari 2011;

Priyant o, I Made Dedy. “ Kewenangan Gubernur dalam Pembat alan Perda Kabupat en Ta-banan” . Jur nal Advokasi Vol 1 No 1 2011. FH Universit as Mahasaraswat i Denpasar; Purba, Hasim. “ Sinkronisasi dan Harmonisasi

Sist em Hukum Nasional Bidang Pert amba-ngan, Kehut anan, Pert anahan dan Lingku-ngan Hidup” . Jur nal Hukum Equal i t y Vol. 13 No. 2 Agust us 2008.FH USU Medan; RS, Iza Rumest en. “ Peningkat an Fungsi Naskah

Akademik dalam Membant u DPRD Meng-hasilkan Perat uran Daerah Yang Respon-sif ” . Jur nal Penel i t i an Hukum Supr emasi Hukum Vol. 19 No. 1 Januari 2010. Uni-versit as Bengkulu;

---. “ Peranan Pemerint ah Daerah t er-hadap Pengaduan Kekerasan dalam Ru-mah Tangga” . Jur nal Ji pswar i, Vol. 1 No.

1 Tahun 2010. Palembang;

---. “ Relevansi Part isipasi Masyarakat dalam Perancangan Pembent ukan Perat u-ran Perundang-undangan Yang Respon-sif ” . Jur nal Si mbur Cahaya Vol. XVI No. 44 Januari 2011 Unit Penelit ian FH Uni-versit as Sriwij aya Palembang;

Set iawan, Bonnie, Amalia (ed). “ Inst it ut e For Global Just ice” . Jur nal Keadi l an Gl obal

No. 01 Tahun 2003;

Siraj udin dkk. 2006. Legi sl at ive Dr af t i ng; Pe-l embagaan Met ode Par t isi pasi Masyar a-kat Dal am Penyelenggar aan Ot onomi Daer ah. Malang: Cor r upt ion Wat ch dan YAPPIKA;

Soehart o, Edi. 2005. Anal i sis Kebi j akan Publ i k Panduan Pr akt i s Mengkaj i Masal ah dan Kebi j akan Sosi al. Bandung: Alf a Bet a; Subihart a. “ Paj ak Daerah dan Ret ribusi Daerah

Dalam Perspekt if UU No. 28 Tahun 2009” .

Maj al ah Var i a Per adi l an No. 305 April 2011;

Suharizal. “ Penguat an demokrasi Lokal Melalui Penghapusan Jabat an Wakil Kepala Dae-rah” . Jur nal Konst i t usi, Vol. 7 No. 5 Ok-t ober 2010;

Sukriono, Didik. “ Membela Desa dengan Desen-t ralisasi dan Melawan desa dengan Demo-krat isasi” . Jur nal Yust i ka Vol. 12 No. 2 Desember 2009. FH Universit as Surabaya; ---. “ Pembent ukan dan Pengawasan Pro-duk Hukum Daerah” . Jur nal Hukum Adi l

Vol. 2 No 2 Agust us 2011 FH Univ. Yarsi Jakart a;

Syaif uddin, Muhammad; Mada Apriandi Zuhir dan Analisa Yahanan. 2009, Demokr at i -sasi Pr oduk Hukum Ekonomi daerah (Pem-bent ukan per at ur an daer ah demokr at is di bi dang ekonomi di Kabupat en/ Kot a. Malang: Tunggal Mandiri Publishing; Syawalluddin, M. “ Pilkada Langsung dan

Pene-gakan Konst it usionalisme; Bingkai Upaya Mewuj udkan Kemaslahat an Umat ” . Jur nal Uni ver sal i sme Isl am Mi mbar Akademi k

Vol. 2 No. 1 Juni 2006 Direkt orat Pembi-naan Badan Peradilan Agama Islam Jakar-t a;

Tauf iqurrahman. “ Konvergensi Paradigma da-lam Perubahan Karakt er Pilihan Hukum Di Bidang Kont rak Jual Beli Barang Int er-nasional” . Jur nal Reper t or i um, Vol. 1 No. 1 Tahun 2010;

W. Riawan Tj andra dan Kresno Budi Sudarsono. 2009. Legi sl at i ve Dr af t i ng: Teor i dan Tekni k Pembuat an Per at ur an Daer ah.

Gambar

Tabel 1: Tingkat Partisipasi Masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, tahun 1999.. Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Nias Selatan,

[r]

Langkah – langkah algoritma Chuang – Kung adalah dengan menentukan semua lintasan yang mungkin dilalui dari titik sumber ke titik tujuan, kemudian menghitung nilai derajat

[r]

Laksanakan penilaian mandiri dengan mempelajari dan menilai kemampuan yang sdr miliki secara obyektif terhadap seluruh daftar pertanyaan yang ada, serta tentukan

Perangkat lunak yang dihasilkan dapat mempermudah pengelola toko dalam pencatatan barang dan transaksi jual beli barang, perhitungan laba usaha toko, dan pembuatan laporan