• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Teori

Sejumlah penelitian yang dilakukan dibanyak negara lebih memperdalam pada apakah ketimpangan pendapatan antar negara atau wilayah di suatu negara, cenderung divergensi atau konvergensi, apabila mengacu pada model pertumbuhan Neoklasik, Barro (1991), Barro dan Sala-i-Martin (1995), Dewhurts (1998), Garcia dan Sulistianingsih (1998) serta Heng dan Siang (1999). Penelitian berikut ini akan menerapkan model pertumbuhan neoklasik untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Banten. Model tersebut mengasumsikan adanya kesetaraan dalam bidang pendapatan, teknologi, tingkat pertumbuhan penduduk, kepemilikan sumber daya, preferensi besaran konsumsi dan tabungan di semua daerah atau wilayah, maka nantinya menuju konvergensi pendapatan per kapita dalam jangka panjang. Konvergensi β (beta convergence) untuk menghitung kecepatan daerah yang awalnya miskin dengan standar hidup relatif rendah dan rasio modal per tenaga kerja rendah akan tumnuh lebih cepat selama masa percapaian akan mengejar daerah yang kaya, kedua kelompok ini nantinya akan menuju tingkat pendapatan yang sama. Sedangkan standar deviasi (σ konvergensi) selanjutnya disebut sigma convergence untuk sebaran wilayah pendapatan per kapita.

2.1.1 Konsep Konvergensi

Kedua konsep konvergensi diatas adalah yang biasanya digunakan dalam literatur konvergensi, De La Fuente (2000), Garcia dan Sulistianingsih (1998), Lall dan Yilmaz (2000). Adapun Rey dan Montouri (1998) menyebutkan konsep konvergensi dari perspektif lain, yakni stochastic convergence, yang biasanya ditemukan dalam penelitian time series. Dua sebelumnya akan ditemui dalam penelitian cross section. Sigma convergence digunakan alat ukur standar deviasi penyebaran pendapatan per kapita kabupaten kota di Provinsi Banten, Barro dan Sala-i-Martin (1995). Ukuran konvergensi ini disebut juga konvergensi aggregat

(2)

(aggregate convergence) atau konvergensi bruto (gross convergence). Cara menghitungnya dengan logaritma standar deviasi per tahun, berikut adalah rumusan yang biasa dipakai untuk mengukur standar deviasinya :

...………. (1)

dimana SD adalah standar deviasi untuk periode t, lnỹt dan lnyit menunjukkan

logaritma rata-rata per kapita kabupaten kota Provinsi Banten periode t dan logaritma PDRB kabupaten kota i pada periode t, dimana n adalah jumlah kabupaten kota yang dioservasi. Hasilnya nanti apabila SDt-1 lebih kecil dari SDt

Dengan menghitung σ convergence setiap periode waktu maka akan diketahui apakah sebuah perekonomian mengarah pada divergensi pada sebelum pemisahan atau konvergensi setelah pemisahan dari Jawa Barat. Tingkat pertumbuhan dikatakan konvergensi pasca berdirinya Banten bila nilai σ convergence semakin menurun. Sementara β convergence digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor yang diperkirakan menentukan tingkat konvergensi. Beta konvergensi ini punya dua aspek, yakni absolute convergence atau unconditional convergence yang digunakan mengukur kecepatan pertumbuhan pendapatan per kapita daerah miskin yang akan menyamai pendapatan per kapita daerah kaya. Kerangka pemikiran Neoklasik memprediksi koefisien variabel penjelas bertanda negatif dan signifikan, menunjukkan daerah miskin memang tumbuh lebih cepat dari daerah kaya. Adapun formula yang digunakan untuk mengukur absolute convergence (Barro dan Sala-i-Martin, 1995) adalah sebagai berikut :

dikatakan σ convergence ada begitu sebaliknya.

………. (2)

dimana ln adalah natural logaritma, yit PDRB per kapita kabupaten-kota i pada

(3)

antara PDRB awal dan tingkat pertumbuhan PDRB maka dikatakan β convergence terjadi. Bergstorm (1998) lebih lanjut berpendapat seberapa besar dampak kebijakan pemerintah maka tercermin dalam β convergence. Kecepatan β convergence akan semakin tinggi, kalau pemerintah memfokuskan kebijakan pembangunannya pada peningkatan akumulasi modal di daerah miskin, pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan adanya proses transfer teknologi dengan baik pada industri setempat, dan mengendalikan tingkat pertumbuhan penduduk (Haryanto, 2001).

Sedangkan stochastic convergence mensyaratkan ramalan jangka panjang dari perbedaan tingkat pendapatan antara dua perekonomian menuju titik nol (Rey dan Montouri, 1998). Definisi bisa dilanggar, bila ada shock dalam sebuah perekonomian dengan jangka waktu tak terbatas. Kondisi dimana adalah sejumlah shock maka pendapatan mengandung akar unit dan sebab ketentuan stasionaritas maka konsep ini disebut konvergensi stokastik.

2.1.2 Investasi Sumber Daya Manusia

Sejak zaman Adam Smith, pendidikan telah dikaitkan dengan kemajuan ekonomi dan sosial yang adil. Namun pada saat ini terdapat literatur yang kecil namun terus berkembang mengenai ketidakmerataan distribusi pendidikan (Lam dan Levinson, 1991; Londono, 1990; Maas dan Criel, 1982; Ram,1990). Ketika data mulai tersedia untuk menghitung distribusi pendidikan, maka disparitasnya semakin jelas. Penggunaan standar deviasi pencapaian prestasi dalam menempuh pendidikan disekolah, Birdsall dan Londono (1997) meneliti dampak distribusi pendidikan yang sangat tidak berkesimanbungan mempunyai dampak negatif terhadapa pendapatan per kapita di banyak negara, kebijakan ekonomi yang menindas kekuatan pasar cenderung mengurangi dampak pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pendapat senada dilontarkan Ravallion dan Datt (1999) bahwa asosiasi pertumbuhan memberikan kontribusi yang lebih sedikit terhadap pengurangan kemiskinan di negara yang tingkat iliterasi, produktivitas pertanian dan standar hidupnya rendah di pedesaan dibanding wilayah perkotaan. Hal ini menunjukkan distibusi pendidikan mempunyai implikasi kuat terhadap

(4)

pertumbuhan yang mengurangi kemiskinan. Pentingnya pembangunan sumber daya manusia-pendidikan dan kesehatan tampaknya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Garcia dan Sulistianingsih (1998) mampu mengurangi ketidaksinambungan regional. Pasalnya, investasi dalam sumber daya manusia akan memperbaiki standar hidup di pedesaan dan perkotaan yang selanjutnya dapat meningkatkan produktivitas.

2.1.3 Indeks Pembangunan Manusia

Kualitas pembangunan manusia didefinisikan oleh UNDP sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Bahwa Pembangunan Manusia dijelaskan penduduk menjadi pusat perhatian, dimana penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Guna mencapai hal tersebut harus didukung oleh empat pilar yakni :

1. Produktivitas, penduduk harus diberdayakan untuk meningkatkan produktivitas dan berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan. Pembangunan ekonomi menjadi himpunan bagian dari model pembangunan manusia.

2. Pemerataan, penduduk harus memiliki kesempatan yang sama mendapatkan akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial. Semua hambatan yang memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut harus dihapus, sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari kesempatan yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat meningkatkan kualitas hidup.

3. Kesinambungan, akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan dapat dinikmati untuk generasi selanjutnya. Semua sumber daya fisik, manusia, dan lingkungan selalu diperbaharui.

4. Pemberdayaan, penduduk harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan proses yang akan menentukan kehidupan mereka, serta berpartisipasi dan mengambil manfaat dari proses pembangunan.

(5)

Laporan tahun 1995 mencantumkan paradigma pembangunan manusia yang mencakup empat komponen, yaitu: produktivitas, persamaan, kesinambungan, dan pemberdayaan. Paradigma baru ini mengoreksi prinsip dan pendekatan pembangunan yang berorientasi pada hal-hal berikut :

1. Teori pertumbuhan ekonomi menekankan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan akhir pembangunan. Pembangunan manusia menekankan bahwa walaupun pertumbuhan ekonomi sangat perlu bagi pembangunan manusia, namun pertumbuhan ekonomi hanyalah merupakan suatu faktor atau cara (means), bukan suatu tujuan (ends) pembangunan. Sejumlah fakta yang termuat dalam laporan UNDP menunjukkan tidak adanya hubungan yang otomatik antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kemajuan dalam pembangunan manusia.

2. Teori-teori formasi modal manusia (human capital formation) dan pembangunan sumberdaya manusia (human resources development) memandang manusia sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan dan kekayaan ketimbang menekankan aspek pemberdayaan manusia sebagai tujuan akhir pembangunan. Teori-teori ini memandang manusia sebagai input atau faktor produksi yang digunakan untuk meningkatkan produksi. Dengan demikian, manusia yang tidak atau kurang mampu berproduksi dipandang sebagai beban. Dalam prinsip pembangunan manusia, tidak dikenal segmen penduduk yang dianggap sebagai beban dalam pembangunan. Pembangunan harus dapat menawarkan pilihan-pilihan bagi berbagai segmen penduduk menurut potensi yang dimiliki dengan memperhatikan kemerdekaan dan martabat manusia.

3. Pendekatan kebutuhan kesejahteraan manusia (the human welfare need approach) melihat manusia semata-mata sebagai penerima dalam proses pembangunan, sedangkan konsep pembangunan manusia menekankan perlunya memperluas pilihan agar manusia selain dapat menikmati hasil-hasil pembangunan juga mampu berpartisipasi secara aktif dalam berbagai aspek pembangunan itu sendiri.

(6)

4. Pendekatan kebutuhan dasar (the basic need approach) memusatkan perhatian pada barang dan jasa yang justru bisa memperluas kesenjangan kebutuhan antar kelompok penduduk. Pendekatan ini lebih memperhatikan aspek penyediaan barang dan jasa ketimbang implikasinya terhadap perluasan pilihan bagi berbagai kelompok penduduk itu.

Konsep pembangunan manusia juga menekankan perlunya kebijakan dan program yang bersifat segmentatif. Semakin banyak kebijakan-kebijakan khusus pada segmen-segmen penduduk, semakin berhasilguna kebijakan tersebut. Misalnya, pengelompokan sasaran pembangunan manusia dapat dilakukan menurut komposisi umur, jenis kelamin, wilayah, perbedaan pedesaan-perkotaan, maupun menurut kelompok sosial. Dalam hal ini, Pemerintah dituntut memainkan peranan yang menentukan dalam mengarahkan proses pembangunan dan jika perlu melakukan intervensi untuk memastikan bahwa kepentingan pembangunan manusia terpenuhi. Ukuran peranan Pemerintah dalam hal ini bersifat relatif. Persoalan adalah fungsi apa yang dimainkan oleh pihak pemerintah dan bagaimana fungsi itu dilaksanakan, bukan bagaimana besarnya peran pemerintah. Hal penting lainnya, Pemerintah perlu bermitra dengan pihak swasta, lembaga swadaya dan organisasi masyarakat, dan lebih-lebih dengan institusi lokal di lini bawah.

Akhirnya, partisipasi merupakan komponen esensial bagi strategi pembangunan manusia mengingat ia dapat mengurangi biaya pelayanan publik serta proyek-proyek investasi dengan mengalihkan pengelolaan dari pemerintah pusat dan daerah ke institusi lokal di lini bawah (grass root). Sebagai contoh, pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat, kursus-kursus kebidanan, pos-pos pelayanan dan distribusi makanan dapat diurus oleh kelompok-kelompok lokal ketimbang tenaga-tenaga khusus berbiaya tinggi yang seringkali berasal dari luar wilayah itu. Dalam hal ini partisipasi dapat berfungsi ganda, yakni sebagai tujuan akhir dan sekaligus cara pembangunan manusia.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indikator untuk yang digunakan untuk menggambarkan sejauh mana suatu wilayah telah menggunakan sumber daya penduduknya untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia di

(7)

wilayah tersebut. Oleh karena itu, mutu pembangunan manusia diukur dengan menggunakan tiga buah variabel, yakni kemampuan hidup secara fisik yang mencerminkan keberhasilan dalam kesehatan. Kedua, kemampuan memahami, menguasai dan memanfaatkan alami lingkungan yang merefleksikan keberhasilan pengembangan pendidikan. Ketiga, besarnya barang dan jasa yang memberikan keberhasilan mencipta (BPS, 2008). Adapun penghitungan IPM adalah sebagai berikut :

IPM = ⅓ (Indeks X1 + Indeks X2 + Indeks X3

Dimana

)

Indeks X1

Indeks X

= Indeks Angka Harapan Hidup

2

Indeks X

= Indeks Pendidikan, yakni ⅔ (indeks Melek huruf) + ⅓ (indeks rata-rata sekolah)

3 = Indeks Konsumsi per kapita yang disesuaikan)

Gambar 2.1 Komponen Indeks Pembangunan Manusia

Nilai IPM suatu negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara atau wilayah itu telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa kecuali), dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat

(8)

jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu.

IPM mencakup tiga komponen yang merupakan bentuk penyederhanaan dari realitas yang kompleks dari luasnya dimensi pembangunan manusia. Pesan dasar IPM perlu dilengkapi dengan kajian dan analisis yang dapat mengungkapkan dimensi-dimensi pembangunan manusia yang penting lainnya (tidak seluruhnya dapat diukur) seperti kebebasan politik, kesinambungan lingkungan, kemerataan antar generasi.

IPM merupakan alat ukur yang peka untuk dapat memberikan gambaran perubahan yang terjadi, terutama pada komponen daya beli yang dalam kasus Indonesia sudah sangat merosot akibat krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Tingkat kesempatan kerja dalam konteks pembangunan manusia merupakan terputusnya jembatan yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya peningkatan kapasitas dasar penduduk. Dampak dari krisis ekonomi pada pembangunan manusia adalah dengan menurunnya daya beli dan ini juga berarti terjadinya penundaan upaya peningkatan kapasitas fisik dan kapasitas intelektual penduduk. Penurunan beberapa komponen IPM sebagai akibat kepekaan IPM sebagai alat ukur yang dapat menangkap perubahan nyata yang dialami penduduk dalam jangka pendek.

2.1.4 Konvergensi dalam Teori Pertumbuhan

Teori pertumbuhan lokal memprediksi adanya ambiguitas dalam masalah pendapatan per kapita dan periode berikutnya. De la Fuente (2000) mempertegas lagi, teori ekonomi tidak dapat menggambarkan apakah perekonomian suatu daerah atau wilayah mengalami konvergensi secara pasti. Hal ini terjadi, sebab banyak faktor penduga yang mempunyai pengaruh disetiap daerah itu berbeda atau berderajat tidak sama. Teori ekonomi hanya sebatas mengidentifikasi faktor atau mekanisme yang sangat menentukan besaran arah dan nilai (konvergensi dan divergensi).

Perbedaan ini dikarenakan tiga mekanisme (De La Fuente, 2000), seperti yang ada pada model produksi Cobb-Douglas yakni decreasing return to scale, artinya jika akumulasi modal semakin besar maka produktivitasnya semakin

(9)

rendah, disisi lain insentif untuk menabung dan kontribusi investasi pertumbuhan investasi akan turun. Hal ini bila dibiarkan dalam jangka panjang akan cenderung melambankan pertumbuhan ekonominya, seperti yang dialami sejumlah negara industri, dimana salah satu solusinya adalah relokasi industri. Kedua, kemajuan teknologi bisa mempunyai pengaruh yang bertolak belakang, disisi lain teknologi apabila perbedaan intensitas daerah dalam mengadopsi teknologi baru maka pertumbuhan ekonomi jangka panjangnya akan berbeda, teknologi bisa menjadi penyebab divergensi sebaliknya mengacu pada asumsi neoklasik yang mengatakan preferensi teknologi setiap daerah atau negara sama maka faktor teknologi bisa menjadi pendorong konvergensi. Ketiga, perubahan struktural atau relokasi faktor produksi antar sektor (Caselli dan Coleman, 1999), biasanya setiap daerah atau negara dapat dikatakan kelompok negara maju atau miskin, bisa dilihat sektor mana yang paling banyak penduduknya terkonsentrasi, pertanian atau industri. Semakin besar dominasi atau tingkat ketergantungan terhadap sektor pertanian maka daerah atau negara tersebut cenderung miskin dan sebaliknya, bila negara ekonominya peran sektor industri besar maka negara tersebut cenderung lebih maju.

Namun dalam perkembangannya, pendapat optimis dipaparkan oleh kaum neoklasik akan terjadinya konvergensi pendapatan, mendorong langkah untuk mencari alternatif penjelas lainnya dalam rangka membangun teori pertumbuhan yang baru. Sejumlah pencetus pertumbuhan endogen membuat pernyataan adanya kemungkinan non decreasing return to scale terhadap modal, serta memasukkan unsur teknologi sebagai faktor endogen dan bisa terjadi tingkatan variasi antara daerah sekaligus merefeleksikan perbedaan struktural. Berkaitan dengan pendapatan tersebut, teori ini tidak menutup kemungkinan adanya disparitas pendapatan semakin meningkat (Pritchett, 1997) tidak seperti diperkirakan oleh kaum neoklasik. Bahkan Grier dan Grier (2007) menambahkan kendati model neoklasik bisa menjelaskan divergensi pendapatan, bisa saja terjadi selama variabel yang menentukan dalam steady state juga mengalami hal serupa. Justru divergensi pendapatan di suatu negara bisa terjadi walaupun didukung oleh kebijakan konvergensi yang kuat. Kontradiksi inilah yang tidak mampu dijelaskan

(10)

Kaum Neoklasik, kecuali jika asumsi adanya variasi sistematis kemajuan teknologi antar negara tidak sama, yang tercermin dari alokasi anggaran untuk penelitian dan pengembangan, pembangunan sektor keuangan serta keterlibatan lembaga yang mengawasi divergensi perekonomian daerah atau negara. Konsep awalnya berdasarkan Model Pertumbuhan Neoklasik, yang bertujuan melihat apakah konvergensi IPM terjadi atau divergensi, serta seberapa cepat konvergensi IPM di Provinsi Banten, tentunya dengan menggunakan variabel yang sudah ditetapkan sebelumnya, yakni tingkat pertumbuhan PDRB Kabupaten dan Kota, tingkat kepadatan penduduk per km2

Model yang digunakan merupakan diadaptasi dari aplikasi oleh Lall dan Yilmaz (2000) untuk kasus antar negara bagian di Amerika Serikat. Variabel penjelasnya dalam model konvergensi Rapport (1999) hampir serupa hanya disagregasi komponen lokal di Amerika Serikat lebih terperinci. Sedangkan model persamaan yang dikembangkan oleh Haryanto (2001) adalah

, share sektor jasa terhadap PDRB.

LYo_t = αo+ α1LYo

Yang digunakan untuk mencari unconditional atau absolute β convergence (konvergensi absolut), yakni

... (3)

LYo_t

= tingkat pertumbuhan per kapita atau

yit

y

= PDRB per kapita pada tahun t

io

LY

= PDRB per kapita awal

o = log Y

αo io

α

= intersept persamaan

1 = koefisien estimasi LYoatau

β = kecepatan konvergensi

Selanjutnya modelnya dikembangkan oleh Haryanto (2001) berdasarkan data yang dipilih variabel penjelas adalah bentuk administrasi (kabupaten atau kota) perlu dibedakan karena wilayah perkotaan dari segi pendapatan, tingkat pendidikan jumlah tenaga kerja terampil dan dukungan infrastruktur yang relatif lebih baik ketimbang kabupaten, sebaliknya tingkat pertumbuhan dan jumlah buta huruf lebih tinggi dibanding masyarakat perkotaan. Namun hal tersebut kemudian

(11)

diubah karena hasil kurang baik diganti dengan tingkat kepadatan penduduk per km2

Pertumbuhan PDRB Per Kapita turut dijadikan faktor berpengaruh karena pastinya mempunyai kontribusi yang cukup penting dalam pertumbuhan IPM itu sendiri. Begitu pula dominasi sektor penggerak perekonomian juga turut menentukan, seperti yang ditemukan oleh Cashin dan Sahay (1996) wilayah yang perekonomiannya didominasi oleh sektor industri dan jasa biasanya lebih cepat pembangunannya dari wilayah yang secara tradisional sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan masyarakat di wilayah tertentu. Berikut adalah model modifikasi dari Gama (2008) dan Noorbakhsh (2004)

. Hal ini cukup beralasan karena kebetulan Kabupaten Tangerang mempunyai karakteristik yang hampir mirip dengan perkotaan dan kondisi perekonomiannya berbeda dengan definisi kabupaten.

LnIPMit = β0 + β1LnKAPit + β2LnPOPSit + β3JASAit + εit

dimana :

... (4)

LnIPMit

LnKAP

= Laju pertumbuhan IPM daerah i dan tahun t

it

LnPOPS

= Pertumbuhan PDRB per kapita daerah i dan tahun t

it = Kepadatan penduduk per km

JASA

2

it

ε

= Share sektor jasa terhadap PDRB

it

IPM sendiri dianggap dapat merepresentasikan ketiga variabel diatas, sejak diluncurkan oleh UNDP tahun 1990 antara lain yang dilakukan oleh Konya dan Guisan (2008) dalam hasil penelitiannya untuk melihat konvergensi IPM sejumlah negara di Eropa sebelum dan sesudah bergabung dalam Uni Eropa. Atas dasar tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil yang nyata mengenai konvergensi IPM di Banten. Caranya dengan membagi periode penelitian sebelum dan sesudah berdirinya Provinsi Banten.

= error term

2.1.5 Peran Pemerintah terhadap Pembangunan

Bila mengikuti asumsi model pertumbuhan neoklasik Solow-Swan, maka peran pemerintah diabaikan karena konvergensi akan terjadi dengan sendirinya. Kenyataannya, pemerintah justru memegang peran utama dimanapun pemerintah

(12)

di dunia. Fakta di dunia bahwa sebuah negara didukung institusi pemerintah yang baik dan transparan, maka dikatakan dengan pertumbuhan pendapatan, kesehatan nasional dan pencapaian prestasi sosial yang lebih tinggi. Capaian tersebut ditambah angka harapan hidup yang tinggi, dapat ditemui di negara dengan institusi pemerintah yang efektif, jujur dan meritokratis dengan regulasi yang jelas dan terpadu, juga dimana aturan hukum ditegakkan dengan adil, kebijakan dan kerangka kerja legal yang tidak dimanfaatkan kepentingan kelompok tertentu. Muaranya pemerintah harus mengarahkan sistem pemerintahan yang Good Governance and Clean Goverment, setelah kedua hal tersebut dijalankan baru pemerintah bicara menganai target pembangunan.

Pritchett (1997) menegaskan tanpa peran aktif dan serius dari pemerintah, lupakan konvergensi. Sejumlah penelitian menemukan adanya peran pemerintah dalam menciptakan konvergensi pendapatan di negaranya. Salah satunya Cashin dan Sahay (1996) menemukan bukti bahwa peran pemerintah pusat India dalam mendistribusikan kembali pendapatan dari daerah kaya ke miskin dapat mendorong terjadinya konvergensi pendapatan, kendati dalam level yang kurang meyakinkan. Berbeda halnya yang dialami di banyak negara industri, sebut saja Australia, Jepang, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat, karena tingkat pendidikan dan teknologi antar wilayah di negara tersebut sudah merata dan baik, sehingga peran pemerintah menjadi optimal.

Kunci keberhasilan konvergensi pendapatan suatu daerah dan negara, lebih banyak dari kemampuan pemerintah dalam implementasikan kebijakan membangun perekonomiannya, tentunya harus diimbangi transparansi dan akuntabilitas ketentuan negara. Contohnya, Korea Selatan dan Taiwan mengubah perekonomiannya dalam beberapa dekade dari negara berkembang menjadi negara maju. Hal itu dikarenakan kebijakan pemerintah menempatkan bidang pendidikan sebagai prioritas utama, pembangunan sumber daya manusia termasuk dalam investasi (heavy investment education), yang baru bisa dinikmati hasilnya pada dekade terakhir (Rodrik, 1994). Kebijakan serupa diikuti sejumlah negara seperti Malaysia dan Singapura. Artinya, prioritas pembangunan mereka bukan sekedar pada pendapatan saja. Namun lebih dari itu, pemerintahan mereka juga

(13)

menempatkan pada pembangunan SDM yang berkualitas. Kebijakan ini dijalankan secara konsisten yang didukung oleh stabilitas sosial politik yang kuat, begitu juga penegakkan hukumnya, agar arah dan tujuan kebijakan pembangunan tidak terdistorsi, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebab pendapatan, investasi dan pertumbuhan tinggi maupaun angka harapan hidup yang lebih panjang, dapat berjalan di negara dengan institusi pemerintah yang efektif (World Bank, 2000), sebaliknya di negara yang institusi yang tercemar oleh korupsi membawa dampak kualitas pembangunan ekonomi itu sendiri.

Berdasarkan Internasional Transparency, nampak jelas negara yang pendapatan per kapitanya rendah cenderung menduduki peringkat atas dalam indeks korupsi, contohnya Indonesia, Nigeria, Bangladesh, Irak, Haiti sedangkan Singapura, Finlandia, Norwegia adalah negara yang masuk dalam katagori bersih dan mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang cukup tinggi (kelompok negara maju). Memperbaiki kualitas laporan nasional dengan melibatkan modal manusia dan alam pada harga bayangan (kendati terdapat berbagai kompleksitas dalam penghitungannya) merupakan salah satu cara untuk mendapatkan divergensi antara pertumbuhan dan perbaikan kesejahteraan. Bahkan kemajuan yang terbatas dalam menilai aset ini belum dimasukkan ke dalam laporan nasional dan masih ada permasalahan konseptual yang serius mengenai penggabungan tersebut. Karena beberapa alasan inilah, maka sebuah pendekatan yang lebih praktis dan moderat adalah mengidentifikasi pola pertumbuhan dan kebijakan yang terukur yang cenderung mempromosikan kesejahteraan yang lebih besar.

Berangkat dari persoalan yang diatas maka pola pertumbuhan yang dilaksanakan negara di dunia, terbagi atas tiga pola alternatif. Pertama, pertumbuhan yang tidak berkesinambungan, dimana ekonomi tumbuh dengan fase pertumbuhan yang pesat, namun mengalami penurunan yang mengarah kepada stagnasi atau nyaris stagnan. Kedua, pertumbuhan yang terdistorsi diambil dengan resiko kerusakan sumber daya alam, misalnya dengan menghargai terlalu rendah, kurangnya investasi modal manusia, misalnya kurangnya perlindungan yang memadai terhadap tenaga kerja anak dan subsidi untuk modal fisik, seperti pengecualian pajak, mengijinkan pajak berutang, memberikan hibah finansial

(14)

untuk menghadiahi investasi tertentu dan menyediakan subsidi kredit investasi. Ketiga, pertumbuhan berkesinambungan melalui akumulasi aset yang terdistorsi atau seimbang, adanya dukungan publik terhadap pengembangan pendidikan primer dan sekunder, perbaikan kesehatan publik, perlindungan modal alam. Ini mencegah penurunan dalam pengembalian untuk aset privat (khusus modal fisik) dan menyediakan tingkat modal manusia yang minimum dan semakin besar yang diperlukan untuk memfasilitasi inovasi teknologi dan pertumbuhan produktivitas faktor total (TFP). Definisi pertumbuhan itu sendiri adalah adanya kenaikan kapasitas produksi riel suatu wilayah yang disertai kemampuannya dalam menjaga kenaikan tersebut. Kemudian konsep ini diadopsi dalam teori dan model pertumbuhan regional (Capello, 2007).

2.1.6 Tipologi Klassen

Alat analisis ini dapat membantu pengambil keputusan di daerah untuk menetapkan prioritas anggaran daerahnya, terutama yang berkaitan dengan sisi pengeluaran. Tipologi Klassen digunakan untuk mengidentifikasi persoalan secara cepat berdasarkan data sebelumnya yang tersedia, terutama berkaitan dengan perencanaan kebijakan. Analisis ini pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Melalui analisis ini diperoleh empat karateristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda, yaitu: daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah berkembang cepat (high growth but income), dan daerah relatif tertinggal (low growth and low income).

Kriteria yang digunakan untuk membagi daerah kabupaten dan kota dalam penelitian kali ini adalah sebagai berikut. Pertama, daerah maju dan cepat-tumbuh adalah daerah yang memiliki tingkat percepat-tumbuhan ekonomi menurut jenis lapangan usaha dan besarnya kontribusinya terhadap pembentukan PDRB lebih tinggi dibanding rata-rata Provinsi Banten. Kedua, daerah maju tapi tertekan adalah daerah yang memiliki kontribusi ekonomi menurut jenis lapangan usaha terhadap pembentukan PDRB lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonomi

(15)

menurut jenis lapangan usaha lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Banten. Ketiga, daerah berkembang cepat adalah daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi menurut jenis lapangan usaha yang tinggi tetapi kontribusi jenis lapangan usaha tersebut terhadap PDRB lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Banten. Keempat, daerah relatif tertinggal adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi menurut jenis lapangan usaha dan besarnya kontribusinya terhadap pembentukan PDRB lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Banten lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Banten. Dikatakan tinggi apabila indikator di suatu kabupaten dan kota lebih tinggi dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Banten dan digolongkan rendah apabila indikator di suatu kabupaten dan kota lebih rendah dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Sumber data yang digunakan dalam Analisa Tipologi Klassen dalam penelitian ini adalah kontribusi jenis lapangan usaha dalam pembentukan PDRB daerah serta laju pertumbuhannya dibandingkan rata-rata Banten selama periode 1994-2009.

Gambar 2.2 Tipologi Klassen

2.2 Bukti Empiris

Berbagai persoalan berkaitan dengan kebijakan pemerintahan suatu negara dalam memacu pertumbuhan ekonomi atau meningkatkan pendapatannya. Pertanyaannya adalah, seberapa efektif peran pemerintah pusat dalam

(16)

mempengaruhi pertumbuhan pendapatan daerah, sehingga mampu mempercepat konvergensi pendapatan. Sejumlah penelitian menemukan hasil konvergensi pendapatan yang bervariasi, Cashin dan Sahay (1996), Garcia dan Soelistianingsih (1999), Rappaport (1999), Haryanto (2001) misalnya, terdapat konvergensi pendapatan dalam penelitiannya. Kendati demikian, kedua penelitian tersebut menunjukkan konvergensi pendapatan tidak benar-benar mempunyai pengaruh yang signifikan, hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah yang kurang memadai dan tidak didukung oleh kualitas sumber daya manusia. Padahal, kualitas sumber daya manusia yang tinggi dan merata merupakan syarat yang harus terpenuhi seperti asumsi model pertumbuhan neonklasik, mengenai tingkat preferensi teknologi yang sama (kualitas pendidikan). Kecepatan konvergensi pendapatan lebih cepat di kelompok negara maju karena alasan diatas, namun adapula penelitian yang tidak menemukan pengaruh positif dari kebijakan anggaran (Lall dan Yilmaz, 2000).

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilaksanakan di sejumlah negara seperti yang tercantum dalam tabel 2.1, diketahui terdapat kecenderungan IPM mengarah konvergen. Meskipun hanya sebagian yang menunjukkan bukti signifikan misalnya penelitian oleh Konya dan Guisan (2008) dan Foulkes (2010). Ini membuktikan bahwa wilayah atau kawasan yang menjadi objek penelitian mempunyai tingkat preferensi yang sama, peran pemerintah yang kuat dalam meningkatkan kualitas SDM. Sementara faktor urbanisasi dianggap penting dalam mendorong terjadinya konvergensi IPM di daerah tertentu (Foulkes, 2010)

Tabel 2.1 Bukti Empiris tentang Konvergensi IPM

No Peneliti Tujuan

Penelitian Sumber Data Wilayah Studi Hasil Penelitian

1 Noorbakhsh (2004)

σ dan β

konvergensi IPM

Sampling IPM Negara Asia, Afrika dan Amerika Latin periode 1975-2001

Sejumlah

negara Asia, Afrika dan Amerika Latin

Bukti lemah yang menyatakan konvergensi IPM pada negara tersebut

2 Hiranmoy dan K Bhattacarjee (2009) β Konvergen Absolut IPM

IPM Negara Bagian India periode 1981-2001

Negara Bagian India

Konvergensi IPM tidak terbukti secara signifikan

3 Konya dan Guisan (2008)

σ dan β

konvergensi IPM

IPM negara Uni Eropa periode 1975-2004

Negara Uni Eropa

Konvergensi IPM terbukti signifikan 4 David Foulkes (2010) β konvergensi kondisional IPM Urbanisasi, Investasi Modal Langsung dan Kelembagaan periode 1970-2001 111 negara di dunia Urbanisasi berpengaruh signifikan β konvergen kondisional IPM

(17)

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan uraian diatas, secara sederhana dapat di katakan kualitas SDM di Provinsi Banten berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, karena SDM merupakan salah satu input dalam proses produksi, yang selanjutnya akan mempengaruhi pembangunan ekonomi. Oleh karena itu perlu perhatian yang serius terhadap pembangunan SDM. Untuk meningkatkan kualitas SDM, salah satu indikatornya adalah IPM. Meningkatnya IPM akan berdampak pada pencapaian pembangunan. Strategi untuk meningkatkan IPM secara efektif adalah dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian IPM, sehingga bisa dijadikan faktor-faktor penting dalam menentukan kebijakan. Secara keseluruhan kerangka pemikiran penelitian adalah sebagai berikut :

Gambar 2.3 Skema Kerangka Berpikir

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori, maka terdapat dua hipotesis, pertama terjadi konvergensi IPM di Banten. Kedua, PDRB per kapita, kepadatan penduduk dan share sektor jasa pada PDRB mempunyai pengaruh signifikan terhadap laju pertumbuhan IPM di Banten.

Gambar

Gambar 2.1 Komponen Indeks Pembangunan Manusia
Gambar 2.2 Tipologi Klassen
Tabel 2.1 Bukti Empiris tentang Konvergensi IPM
Gambar 2.3 Skema Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Hal ini sesuai dengan pendapat Stein (dalam Yuniarti 2002) kehidupan lajang adalah kehidupan pria dan wanita yang belum menikah, yang tidak terlibat dalam hubungan homoseksual

4.11 Model hubungan antara variabel persepsi guru geografi terhadap eksistensi MGMP (X1) dan partisipasi guru geografi dalam kegiatan MGMP (X2) dengan kompetensi

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

dan M otivasi Belajar Siswa SM K Pada Topik Limbah Di Lingkungan Kerja Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu.

Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat dipergunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman