• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pengetahuan mengenai pasang surut di Indonesia dapat digunakan untuk penentuan batas wilayah, pemetaan batimetri, survei hidrografi, dan navigasi. LAT

(Lowest Astronomical Tide) digunakan oleh Indonesia sebagai chart datum untuk

berbagai keperluan seperti pemetaan, navigasi dan penetapan batasan wilayah (Bakosurtanal 2006 dalam Hasibuan 2009). Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan

chart datum tersebut diperlukan penentuan LAT.

LAT merupakan permukaan laut terendah yang dapatdiramalkan dan terjadi di bawah pengaruh keadaan meteorologis rata-rata maupunkombinasi keadaan astronomi (Pugh 1987). LAT terjadi pada saat bulan purnama dan bulan baru (Hasibuan 2009).Idealnya, LAT didapatkan dari hasil pengamatan pasut selama 18,6 tahun, sedangkan, pengamatan pasut yang sering dilakukan 12 bulan atau kurang dari 12 bulan (Pawlowicz dkk 2002). Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2010) di bidang hidrografi, LAT dapat diramalkan atau diprediksi dengan pengamatan pasang surut minimal 12 bulan untuk memprediksi selama 18,6 tahun. Menurut IHO (International

Hydrographic Organization), minimal pengamatan pasut tersebut akan menghasilkan

nilai LAT yang dapat diandalkan (IHO 2007). Prediksi pasut seharusnya dilakukan dengan menggunakan data pasut yang ideal (tidak memiliki data kosong), karena konstanta harmonik yang dihasilkan akan akurat. Faktanya, data pasut tidak selalu dalam kondisi yang ideal, karena faktor alat dan lingkungan yang menyebabkan kesalahan saat perekaman data pasut.

Penelitian ini berlokasi di stasiun pasut Prigi dan Sadeng. Kedua stasiun tersebut memiliki morfologi yang sama, yaitu sama-sama menghadap ke selatan laut Pulau Jawa dan terletak di kolam pelabuhan. Stasiun pasut Prigi dan Sadeng terpisah oleh jarak yang cukup jauh (lebih dari 15 km). Menurut Ingham (1975), kondisi pasut akan berubah setiap 15 km di sepanjang pesisir, sehingga waktu terjadinya bulan purnama dan baru

(2)

akanberbeda, karena penjalaran gelombang pasut periodik terhadap pergerakan bulan dan matahari.

Berdasarkan penjelasan diatas, penentuan nilai LAT berdasarkan hasil prediksi pasut dipengaruhi oleh periode pengamatan pasut dan kualitas data pasutnya (dilihat dari data kosongnya). Semakin panjang periode pengamatan pasut, semakin banyak jumlah konstanta harmonik yang dihasilkan (Pangesti 2012). Idealnya, data pasut yang tidak memiliki data kosong (data pasut ideal) akan menghasilkan prediksi yang akurat, karena konstanta harmonik yang dihasilkan akurat. Disisi lain, karakteristik nilai LAT pada dua tempat yang memiliki morfologi yang sama, namun terpisah oleh jarak yang cukup jauh (lebih dari 15 km) perlu dikaji untuk mengetahui cakupan nilai LAT pada daerah yang luas (terpisah oleh jarak yang cukup jauh). Karakteristik nilai LAT diketahui dengan membandingkan nilai LAT kedua tempat tersebut.

I.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Nilai LAT dapat diprediksi dengan menggunakan minimal pengamatan pasut 12 bulan. Prediksi pasut akan akurat jika menggunakan data pasut ideal (tidak memiliki data kosong). Dalam prakteknya, pengamatan pasut sering dilakukan selama 12 bulan atau kurang dari 12 bulan. Faktanya, data pasut tidak selalu dalam kondisi yang ideal. Disisi lain, stasiun pasut Prigi dan Sadeng memiliki morfologi yang sama, namun terpisah oleh jarak yang cukup jauh (lebih dari 15 km). Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh periode pengamatan dan kualitas data pasut (dilihat dari jumlah data kosong), serta karakteristik nilai LAT pada dua tempat dengan morfologi yang sama, namun terpisah oleh jarak yang cukup jauh.Berdasarkan hal tersebut, maka pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh periode pengamatan pasang surut laut terhadap variasi pada nilai LAT?

2. Bagaimana pengaruhkualitas data pasang surut laut (jika dilihat dari jumlah data kosong) terhadap variasi pada nilai LAT?

3. Bagaimana karakteristik nilai LAT pada dua tempat yang memiliki morfologi yang sama, namun terpisah oleh jarak yang cukup jauh (lebih dari 15 km)?

(3)

I.3. Cakupan Penelitian

Cakupan penelitian yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. wilayah studi adalah stasiun pasut di perairan selatan pulau Jawa yaitu Prigi dan Sadengdengan koordinat sebagai berikut :

a. Prigi ( 08° 16’ 59.880’’ LS ; 111° 43’ 59.880’’ BT ) b. Sadeng ( 08° 11’ 24.700’’ LS ; 110° 47’ 52.740’’ BT )

2. Data pasang surut yang digunakan adalah data pasang surut dari stasiun pasang surut di Sadeng dan Prigi Tahun 2014 dari http://www.ioc-sealevelmonitoring.org.

3. Dalam penelitian ini, kelompok data pasut akan dibentuk menjadi dua bagian yaitu kelompok data pengamatan (memiliki data kosong) dan kelompok data penuh (tidak memiliki data kosong). Kelompok data penuh diasumsikan sebagai data pasut yang ideal.

4. Pengelompokan data pengamatan dan penuh masing-masingnya dibagi menjadi kelompok data satu bulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan, lima bulan, enam bulan, tujuh bulan, delapan bulan, sembilan bulan, sepuluh bulan,sebelas bulan, dandua belas bulan dengan waktu awal pengamatan yang sama untuk masing-masing kelompok data.

5. Dalam penelitian ini, kualitas data pasang surut dilihat dari jumlah data kosong. Jumlah data kosong tersebut tidak melibatkan persebarannya. 6. Pengaruh jumlah konstanta harmonik pasut dalam penelitian ini tidak

melibatkan keragamannya. Keragaman yang dimaksud adalah jenis konstanta, amplitudo,amplitudo error,fase, dan juga fase error.

7. Analisis harmonik pasut menggunakan aplikasi t_tide

8. Penentuan fase bulan menggunakan program Accurate Times versi 5.3 9. Jarak antara masing-masing lokasi penelitian terhadap bulan dan matahari

tidak diperhitungkan.

10. Morfologi kedua lokasi penelitian diasumsikan sama, yaitu sama-sama menghadap ke selatan Laut Pulau Jawa dan terletak di kolam pelabuhan.

(4)

11. Penentuan nilai LAT (Lowest Astronomical Tide) menggunakan surutan terendahdalam selang waktu 18,6 tahun seperti yang dilakukan Bakosurtanal (Bakosurtanal 2006 dalam Hasibuan 2009).

12. Nilai LAT dikaji berdasarkan periode pengamatan dan kualitas data pasut, sedangkan karakteristik nilai LAT dikaji berdasarkan morfologi dan jarak yang memisahkan kedua lokasi penelitian.

13. Kontrol kualitas data menggunakan derajat kepercayaan 95% atau2σ karena data pasut yang diunduh masih memiliki kesalahan sistematik dan

blunder.

14. Uji signifikansi data menggunakan derajat kepercayaan 95% atau 2σ.

I.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasipengaruh periode pengamatan pasut terhadap variasi pada nilai LAT di stasiun pasut Prigi dan Sadeng.

2. Mengidentifikasipengaruh kualitas data pengamatan pasut terhadapvariasi pada nilai LAT di stasiun pasut Prigi dan Sadeng.

3. Mengidentifikasikarakteristik nilaiLATpada dua tempat yang memiliki morfologi yang sama, namun terpisah oleh jarak yang cukup jauh (lebih dari 15 km).

I.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah dihasilkannyaalternatif nilai LAT untuk panjang data pengamatan dibawah 12 bulan yang dapat digunakan dalam penentuan chart datum

untuk keperluan navigasi dan penentuan garis pangkal untuk batas wilayah di perairan Prigi dan Sadeng.

I.6. Tinjuan Pustaka

LAT (Lowest Astronomical Tide) digunakan oleh Indonesia sebagai chart datum

untuk berbagai keperluan seperti pemetaan, navigasi dan penetapan batasan wilayah (Bakosurtanal 2006 dalam Hasibuan 2009). Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan

(5)

chart datum tersebut diperlukan penentuan LAT. Hasibuan (2009) melakukan penelitian mengenai analisis penentuan LAT di Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap, dan Benoa. Dalam penelitian tersebut dihasilkan kesimpulan bahwa LAT terjadi ketika bulan purnama dan bulan baru. LAT di Sabang, Padang, Cilacap, dan Benoa terjadi pada fase bulan purnama, sedangkan untuk LAT di Sibolga terjadi pada saat fase bulan baru. Kesimpulan dari penelitian tersebut membuktikan bahwa bulan purnama dan bulan baru memiliki kaitan terhadap nilai LAT.

Dalam penelitian Sinaga (2010) dilakukan analisis perbandingan penentuan LAT berdasarkan data pengamatan dan data prediksi selama 18,6 tahun di empat stasiun pasang surut permanen dunia. Data prediksi merupakan hasil dari prediksi pasut menggunakan data pengamatan selama 12 bulan.Dalam penelitiannya dihasilkan model prediksi yang sudah baik karena ketidak-adaan siginifikasi nilai MSL dan LAT antara masing-masing set data prediksi dengan data pengamatan selama 18,6 tahun dengan menggunakan formula Barry (Barry 1978 dalam Sinaga 2010). Hasil dari penelitian pada Tabel I.1.

Tabel I. 1.LAT, MSL, dan standar deviasi data prediksi (Sumber: Sinaga 2010)

Pada penjelasan rumus Barry, apabila residu pengukuran lebih kecil dibandingkan dua kali nilai standar kesalahan, maka perbedaan yang didapatkan tidak signifikan. Dalam Tabel I.1 jelas terlihat bahwa residu LAT dan MSL dari masing-masing data prediksi lebih kecil dibandingkan dua kali nilai standar kesalahan, oleh

(6)

karena itu model prediksi yang dipakai sudah baik. Penjelasan tersebut membuktikan pernyataan IHO (2007) yang menyatakan bahwa data pengamatan pasut selama 12 bulan memiliki kualitas yang cukup bagus untuk melakukan prediksi pasut selama 18,6 tahun dalam hal penentuan LAT.Dalam penelitian ini, analisis mengenai LAT tidak menggunakan model prediksi dengan data pengamatan pasut kurang dari 12 bulan.

Dalam Penelitian Febriawan (2013) dilakukan analisis perbandingan penentuan LAT berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2010) di bidang hidrografi dan LAT pendekatan di stasiun pasut Batam, Tarakan, dan Ambon. Nilai LAT berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2010) adalah nilai LAT yang dihasilkan dari data prediksi selama 18,6 tahun dengan menggunakan data pengamatan selama 12 bulan. Nilai LAT pendekatan adalah nilai LAT yang dihasilkan dari data prediksi selama 18,6 tahun dengan menggunakan kelompok data pengamatan 1, 2, 3, 4, dan 6 bulan. Dalam penelitian Febriawan (2013) dihasilkan kesimpulan bahwa selisih nilai LAT yang dihasilkan dari perbandingan nilai LAT berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2010) dengan LAT pendekatan sangat beragam untuk setiap stasiun pasut yang dikaji. Hal tersebut dilihat dari tidak adanya kaitan kelompok data LAT pendekatan dengan selisih nilai LAT.Analisis mengenai pengaruh yang menyebabkan perbedaan nilai LAT yaitu antara nilai LAT berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2010) dengan LAT pendekatan tidak dilakukan dalam penelitian Febriawan (2013). Dalam penelitian tersebut hanya dilakukan analisis mengenai keragaman selisih nilai LAT yang dihasilkan.

Dalam penelitian ini,nilai LAT akan dikaji dengan menggunakan panjang data pengamatan 12 bulan dan kurang dari 12 bulan yang tidak dilakukan dalam penelitian Sinaga. Hal tersebut telah dilakukan dalam penelitian Febriawan, namun data pasut yang digunakan bukan merupakan data pasut ideal. Sementara itu, penelitian ini mengkaji hal tersebut menggunakan data pasut yang diasumsikan ideal (tidak memiliki data kosong) dan juga pengaruh data pasut yang tidak ideal (memiliki data kosong) terhadapnilai LAT. Selain hal tersebut, penelitian ini dilakukan pengecekan waktu terjadinya bulan purnama dan bulan baru pada dua tempat yang terpisah oleh jarak yang cukup jauh (15

(7)

km), yaitu di stasiun pasut Prigi dan Sadeng. Kedua tempat tersebut tidak dianalisis dalam penelitian Hasibuan.

I.7. Landasan Teori

I.7.1. Pasang Surut Laut

Pasang surut laut merupakan fenomena kenaikan dan penurunan muka air laut yang terjadi diseluruh permukaan bumi secara periodik karena pengaruh gaya tarik menarik matahari dan bulan, serta gaya sentrifugal sebagai gaya penyeimbangnya yang menyebabkan perpindahan massa air seluruhnya dari atas sampai dasar laut (Dronkers 1964). Faktor-faktor non-astronomi seperti konfigurasi garis pantai, kedalaman lokal air laut, topografi dasar laut, dan pengaruh hidrografi serta metereologi lainnya juga memiliki peran penting dalam mengubah range dari pasut, interval waktu antara air tinggi dan air rendah, dan waktu kedatangan gelombang (NOAA 2007).

Hukum Newton tentang gravitasi universal menyatakan bahwa gaya gravitasi antara dua benda berbanding lurus dengan massanya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antar dua benda tersebut. Hukum Newton tersebut secara matematik dinyatakan melalui rumus I.1 (De Jong dkk 2010):

F =G m1 . m2

r2

... (

I.1 ) Keterangan :

F : gaya tarik menarik antara dua benda

G : konstanta gaya tarik = 6,67 x 10-11 N kg-2 m-2 m1 : massa benda ( 1 )

m2 : massa benda ( 2 )

r2 : jarak antara pusat benda ( 1 ) dan pusat benda ( 2 )

I.7.2. Teori Pembentukan Pasut

Untuk memahami proses terbentuknya pasut yang diakibatkan oleh gaya penggerak pasut maka perlu dipahami dua teori, yaitu (Defant1958 dalam Hasibuan 2009):

(8)

1. Teori kesetimbangan oleh Newton yang menyatakan bahwa bumi berbentukbola sempurna yang seluruh permukaannya ditutupi oleh air, kemudian bumidan air yang menutupinya dianggap dalam keadaan diam sampai ada gayayang bekerja untuk menggerakkannya. Berdasarkan teori ini maka gayapenggerak pasut yang menyebabkan terjadinya pasut di bumi dapatdiperhitungkan berdasarkan gerakan relatif bulan dan matahari terhadap bumi.Gerakan bulan dan matahari memiliki periode tertentu sehingga gerakantersebut dapat dikembangkan menjadi berbagai komponen pasut yangperiodik. Teori ini hanya dapat dikembangkan pada kondisi bumi ideal sepertiyang dijelaskan pada teori kesetimbangan di atas sedangkan pada kondisibumi sebenarnya sulit untuk dikembangkan. Pasut setimbang akan terjadiapabila kondisi permukaan bumi memenuhi syarat kondisi bumi ideal.Namun, permukaan bumi sebenarnya tidak menunjukkan kondisi bumi ideal,hal ini disebabkan oleh permukaan bumi yang tidak sepenuhnya ditutupi olehair, adanya gaya gesekan antar massa air laut maupun massa air laut dengandasar laut dan kedalaman air laut yang tidak merata di setiap bagian bumi.

2. Teori pasut dinamis oleh Laplace yang menyatakan bahwa pasut merupakanmasalah dinamik yaitu gerakan yang dibangkitkan oleh banyak gaya pasangsecara periodik dimana seluruh permukaan bumi ditutupi air dengankedalaman yang bervariasi dan tergantung pada lintang bumi, kemudian teoriini memisahkan gerakan pasut ke dalam beberapa jenis, yaitu gerakan harianganda, gerakan harian tunggal dan gerakan periode panjang. Selain itu, teoriini juga mengatakan bahwa apabila pada suatu massa air bekerja gaya secaraperiodik maka gerakan massa air akan menjadi periodik yang sama dengangaya yang bekerja tadi, hal ini yang kemudian menjadi dasar dalam analisisharmonik pasut.

I.7.3. Gaya Pembangkit Pasut

Gaya pembangkit pasut akan menimbulkan air tinggi pada dua lokasi dan air rendah pada dua lokasi (Gross1990 dalam Rahmasari 2012). Kedudukan matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis pada saat spring. Pada saat kedudukan seperti itu, terjadi pasut maksimum pada titikdi permukaan bumi yang berada di sumbu kedudukan relatif bumi, bulan, dan matahari (GambarI.1). Kekuatan gaya tarik bulan dan matahari

(9)

berkumpul menjadi satu dan menarik titik di permukaan bumi tersebut secara maksimal. Saat tersebut terjadi ketika bulan baru dan bulan purnama. Fenomena pasut pada kedudukan demikian disebut dengan spring tide atau pasut perbani.

Gaya Pembangkit Pasut

Bumi BULAN Matahari

Gambar I. 1.Posisibumi-bulan-matahari pada saat pasut perbani (Diadaptasi dari Poerbandono dan Djurjansah2005)

Sementara itu , kedudukan matahari tegak lurus (90̊) dengan sumbu bumi-bulan berada pada saat neap. Pada saat tersebut, terjadi pasut minimum pada titik di permukaan bumi yang tegak lurus sumbu bumi-bulan (GambarI.2). Gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi saling berlawanan arah sehingga hasilnya menjadi saling melemahkan. Saat tersebut terjadi di perempat bulan awal dan perempat bulan akhir. Fenomena pasut pada kedudukan demikian disebut dengan neap tide atau pasut mati. Tunggang pasut (jarak vertikal kedudukan permukaan air tertinggi dan terendah) saat

spring lebih besar dibanding saat neap.

Gambar I. 2.Posisi bulan-bumi-matahari pada saat pasut mati (Diadaptasi dari Poerbandono dan Djunarsjah2005)

Bumi Matahari Gaya Pembangkit Pasut Bulan Bulan

(10)

Pada suatu lokasi pengamatan, pasut dibagi menjadi beberapa tipe, antara lain pasut diurnal, pasut semi-diurnal, dan pasut campuran. Pasut diurnal memiliki satu kedudukanmuka air tertinggi dan satu kedudukan muka air terendah. Pasut semi-diurnal

memiliki dua kedudukan muka air tertinggi dan dua kedudukan muka air terendah. Sedangkan pasut campuran merupakan gabungan antara tipe pasut diurnal dan pasut

semi-diurnal.

I.7.4. Periode Sinodik

Dalam analisis pasut untuk dapat menentukan banyaknya gelombang pasut yang diperoleh tergantung pada panjangnya data pengamatan pasut. Panjang data pengamatan pasut dapat dihitung melalui kriteria Rayleigh, yaitu apabila ada dua komponen pasut A dan B, komponen tersebut hanya dapat dipisahkan satu sama lain apabila panjang datanya melebihi satu periode sinodik. Jika diketahui kecepatan sudut masing komponen pasut adalah σA dan σB (⁰/ jam), maka periode sinodiknya dapat dinyatakan sebagai

berikut (Alidkk 1994) : PS = 360°

𝜎𝐴−𝜎𝐵 (dalam jam) ... (I.2) Keterangan :

PS = periode sinodik (jam)

σA dan σB = kecepatan sudut (⁰/ jam) dari komponen A dan komponen B. Dari perhitungan tersebut dapat dikatakan bahwa, periode sinodik merupakan lamanya pengamatan minimum yang harus digunakan untuk analisis harmonik guna dapat menghitung amplitudo dan keterlambatan fase dari dua buah komponen A dan B. Apabila perbedaan frekuensi dua buah komponen A dan B semakin kecil, maka semakin panjang data pengamatan yang diperlukan untuk dapat memisahkan dua komponen tersebut (Ali dkk 1994).

I.7.5. AnalisisHarmonik Pasang SurutMetode Least Square

Analisis harmonik pasut bertujuan untuk menghitung amplitudo hasil respons dari kondisi laut setempat dan beda fase dari gelombang tiap komponen terhadap keadaan pasang surut setimbang. Nilai perubahan amplitudo dan keterlambatan fase yang dihitung dinyatakan dalam sebuah konstanta harmonik. Penentuan nilai konstanta

(11)

harmonik pasut laut tersebut maka sebelumya perlu untuk diketahui bahwa pasut yang diamati dari variasi naik turunnya muka laut adalah hasil penjumlahan dari semua gelombang komponen harmonik pasut yang terjadi. Tinggi muka laut pada suatu saat (t) dapat dituliskan dalam persamaan I.3 sebagai berikut (Soeprapto1993) :

) cos( ) ( ) ( 1 i i k i i n hm A t g t v t h   

   ... (I.3) Keterangan :

h(t) : tinggi muka air fungsi dari waktu

Ai : amplitudo komponen ke-i

i : kecepatan sudut komponen ke-i

gi : fase komponen ke-i

hm : tinggi muka air rerata

t : waktu

k : jumlah komponen

V(tn) : residu

Dari rumus diatas dapat diuraikan menjadi :

t g A t g A hm t v t h k i i i i i i k i i

n) cos cos sin sin

( ) ( 1 1

      ...(I.4) Jika dimisalkan : r i i i i g Ar A g

Acos  ,dan sin B ...(I.5) Maka hasilnya menjadi :

t B t A hm t v t h k i i r i k i r n) cos sin ( ) ( 1 1

      ...…...(I.6) Keterangan :

Ar danBr : konstanta harmonik ke-i,

K : jumlah komponen pasut,

tn : waktu pengamatan tiap jam (tn = -n, n+1, n; tn = 0 adalah waktu tengah-tengah pengamatan).

(12)

Besarnya ( hm ) hasil hitungan dengan persamaan diatas mendekati elevasi pasut pengamatan h(t) jika :

minimum t hm h n n n n n

t

t

v

    ) (

)

(

2 ...(I.7) Persamaan diatas kemudian diturunkan terhadap Ari dan Bri

        N n it M hm t h Ar v 1 2 ) cos( ) ( ) ( 2 0  ...(I.8)

        N n it M hm t h Br v 1 2 ) sin( ) ( ) ( 2 0  ...(I.9) Dari hubungan persamaan tersebut diperoleh 2n + 1 persamaan dimana n adalah banyaknya komponen harmonik pasut laut, sehingga dapat ditentukan besaran S0, Ar, dan Br. Selanjutnya berdasarkan estimasi kuadrat terkecil maka persamaan dapat diuraikan dalam tahap – tahap sebagai berikut :

1. persamaan pengamatan tinggi muka laut L = AX

2. persamaan koreksi v = (AX) – L, maka : ) ( sin cos ) ( 1 1 t h t B t A hm t v k i i r i k i r n  

     ...(I.10) Berikut ini pendesainan matrik pengamatan pasut :

               t t t t t t t t t t t t t t t A n n n n k n k 1 k 2 1 1 k 1 1 1 k 1 2 1 1 1 k 1 1 1 k 1 2 1 1 sin sin cos sin cos 1 sin sin cos sin cos 1 sin sin cos sin cos 1                        1            n h h L  ) ( ) (A PA 1 A PL X TT

(13)

                       k k k B B A A h X   1 1 0 1

Menentukan nilai amplitudo komponen pasut laut : i

i

i Ar Br

A   ...(I.11)

Menentukan nilai fase komponen pasut laut :

i i i Ar Br g  tan ...(I.12) Dalam hal ini :

L : data tinggi muka laut

A : matrik koefisien

X : parameter komponen harmonik pasut laut

V : nilai koreksi

Ar : parameter A komponen pembentuk pasut

Br : parameter B komponen pembentuk pasut 𝛚 : kecepatan sudut gelombang harmonik

t : waktu pengamatan

Ai : amplitudo

g : fase

I.7.6. Prediksi Pasang Surut

Prediksi pasut bertujuan untuk meramalkan tinggi muka air laut di suatu lokasi pada rentang waktu tertentu di masa mendatang. Dalam prediksi pasut diperlukan data amplitudo dan beda fase dari konstanta-konstanta pembangkit pasut. Prediksi pasut yang dilakukan menggunakan koreksi amplitudo dan phase untuk mendapatkan elevasi pada

(14)

waktu tertentu. Persamaan I.13 merupakan persamaanuntuk prediksi pasut dengan menerapkan koreksi amplitudo dan phase (Basith 2011):

n t = s

o

+ s

so Ni=1

A

i

. f

i

cos ω

i

t

i

− P

i

X

i ………...(I.13) Keterangan :

n(t) = elevasi pasut yang merupakan fungsi waktu Ai = amplitudo komponen ke-i

ωi = 2π/Ti dengan Ti adalah periode konstituen ke-i

Pi = fase konstituen ke-i

S0 = duduk tengah (mean sea level)

SS0 = perubahan duduk tengah yang disebabkan oleh faktor meteorologis

fi = faktor koreksi amplitudo konstituen pasut ke-i

Xi = argument astronomi konstituen pasut ke-i

t = waktu

N = jumlah konsitutuen pasut yang ditinjau Xi = Vi + Ui

Vi = phase dari konstituen ke-i pada jam 00.00 GMT

Ui = faktor koreksi yang tergantung pada node bulan (lunar) atau N

I.7.7. Konstanta Harmonik Pasang Surut

Konstanta harmonik pasut adalah konstanta-konstanta yang dapat menyebabkan terjadinya pasut. Konstanta-konstanta pasut tersebut memilliki sifat yang harmonik terhadap waktu, sehingga dinamakan konstanta harmonik pasut. Secara garis besar konstanta harmonik pasut dapat dibagi menjadi tiga kelompok seperti di bawah ini (Rawi 1999):

1. Konstanta harmonik pasut periode harian (diurnal period tide)

2. Konstanta harmonik pasut periode harian ganda (semidiurnal period tide)

(15)

Selain konstanta-konstanta di atas, terdapat konstanta harmonik pasut lainnya yang disebabkan oleh gesekan antara air laut dengan parairan dangkal (shallow water tide), yang dijelaskan pada Tabel I.2.

Pada umumnya digunakan 9 komponen utama konstanta harmonik pasut untuk keperluan rekayasa, yaitu: M2, S1, K2, N2, K1, O1, P1, M4 dan MS4. Penjelasan mengenai

komponen harmonik pasut tersebut dijelaskan pada Tabel I.2. Tabel I. 2.Konstanta-konstanta pasang surut (Sumber: Ali dkk 2004 dalam Rufaida 2008)

I.7.8. Konstanta Harmonik Pasang Surut Signifikan

Konstanta harmonik pasang surut signifikan merupakan konstanta harmonik pasang surut yang memiliki perbandingan nilai amplitudo yang lebih besar dari pada amplitudeerrornya. Perbandingan antara amplitudo dan amplitudo error ini dinyatakan dalam SNR (Signal to Noise Ratio) (Pawlowicz dkk 2002). Pada penelitian ini SNR yang digunakan merupakan SNR default dari t_tide yaitu SNR > 1, sehingga bila ada konstanta harmonik yang mempunyai SNR > 1 akan dinyatakan sebagai konstanta

(16)

harmonik yang signifikan. Nilai SNR dapat ditentukan menggunakan persamaan I.8 (Leffler 2008).

SNR = 𝐴𝑖

A 𝑒𝑟𝑟𝑜𝑟𝑖………...(I.14)

Keterangan :

SNR : nilai Signal to Ratio

Ai :amplitudo konstanta ke-i

A errori : amplitudo error konstanta ke-i

I.7.9. Aplikasi t_tide

Aplikasi t_tide merupakan aplikasi yang berisi program untuk mengolah data pasut yang pertama kali dibuat oleh Mike G.G. Foreman dalam bahasa Fortran, kemudian S. Lentz dan B. Beardsley mengkonversi kode tersebut ke dalam bahasa Matlab, danR. Pawlowicz kemudian melengkapinya dengan menambahkan perhitungan yang kompleks. Fenomena pasut dalam aplikasi t_tide dihitung dengan menggunakan persamaan yang mengasumsikan pasut yang terjadi sebagai pasut setimbang, dan proses analisis harmoniknya menggunakan metode least square.

Paket program t_tide terdiri beberapa program berikut program yang digunakan (Anggun 2012 dalam Akbar2013) :

1. Program analisis harmonik dan pendukungnya

a. t_tide.m, untuk menghitung analisis pasut dari rangkaian waktu yang nyata

dan kompleks.

b. t_predic.m, untuk menghitung prediksi pasut menggunakan hasil dari

program t_tide

c. t_vuf.m, untuk menghitung koreksi nodal dan argumentasi astronomi.

d. t_getconsts.m, mengekstrak berbagai macam data konstanta harmonik

(konstituen) berdasar file data dari paket program fortran.

e. t_synth.m, untuk menentukan konstanta harmonic (konstituen) yang

digunakan dalam prediksi pasut. 2. File dokumentasi

(17)

a. t_readme.m, merupakan file yang berisi penjelasan mengenai paket program t_tide.

b. t_error.m, penjelasan mengenai interval kepercayaan dan bagaimana hal

tersebut dapat dikembangkan. 3. File demonstrasi

a. t_demo.m, contoh demo penggunaan program t_tide dengan mengunakan

data ketinggian di stasiun pasut Tuktoyuktuk. 4. Data file pendukung

a. T_equilib.datfile yang berfungsi untuk menghitung amplitudo setimbang dari

konstanta harmonik utama sesuai lintang yang dimasukkan. 5. Data program lainnya :

a. Tide3.dat, berisi file data konstanta harmonik standar dari paket analisis

Institute of Ocean Sciences (IOS), file ini dibaca sekali dan hasilnya tersimpan dalam struktur data dalam t_constituents.mat.

b. t_equilib.dat file yang berisi faktor amplitudo A dan B. c. t_constituents.mat, berisi struktur data konstanta harmonik.

d. t_example.mat, contoh data set ketinggian muka laut di stasiun pasut Tuktoyuktuk.

I.7.10. Posisi Bulan dan Matahari saat Pasang Surut

Bulan dan matahari merupakan faktor astronomi yang paling berperan dalam proses terbentuknya pasut sehingga posisi bulan dan matahari akan mempengaruhi kekuatan dari gaya pembangkit pasut yang terjadi di permukaan bumi. Pengaruh posisi bulan dan matahari tersebut akan menghasilkan fase bulan seperti yang terlihat pada GambarI.3.

Berdasarkan GambarI.3 maka pasut akan maksimum pada saat bulan purnama dan bulan baru atau saat terjadi pasang purnama (spring tide), dan pasut akan minimum pada saat kuartal pertama dan kuartal terakhir atau saat terjadi pasang perbani (neap tide). Hal ini disebabkan, pada bulan baru dan bulan purnama posisi bulan, matahari dan bumi berada pada garis lurus sehingga gaya tarik matahari memperkuat gaya tarik bulan untuk

(18)

membangkitkan pasut, sedangkan pada kuartal pertama dan kuartal terakhir atau saat pasang perbani, posisi bulan tegak lurus bumi-matahari sehingga gaya tarik matahari memperlemah gaya tarik bulan untuk membangkitkan pasut.

Gambar I. 3.Pengaruh posisi bulan dan matahari terhadap pasut (fase bulan) (Pugh 1987)

Menurut Gambar I.3, ada empat fase bulan, yaitu : 1. Bulan baru (new moon)

2. Seperempat pertama (first quarter) 3. Bulan purnama (full moon)

4. Seperempat akhir (last quarter)

I.7.11. LAT (Lowest Astronomical Tide)

Lowest Astronomical Tide (LAT) atau yang disebut surut astronomis terendah adalah permukaan laut terendah yang dapat diramalkan dan terjadi oleh pengaruh benda-benda astronomi maupun dalam kondisi meteorologis normal (Pugh 1987). Perhitungan surut astronomis terendah sebagai chart datum merupakan prediksi dari periode pengamatan yang panjang dan secara teoritis memerlukan waktu 18,6 tahun. Namun, secara praktis menurut Standar Nasional Indonesia (2010), surut astronomis terendah dapat dihitung dari peramalan minimal satu tahun data pengamatan. Surut astronomis

(19)

terendah merupakan bagian dari datum pasut yang merupakan suatu acuan dalam melakukan pengukuran pasang surut. Posisi surut astronomis terendah dalam datum pasut dapat dilihat pada GambarI.4(Pugh1987).

Gambar I. 4. Elevasi muka air laut (Sumber : Pugh 1987) Keterangan:

1. Highest Astronomical Tide (HAT) merupakan permukaan laut tertinggi yang

dapat diramalkan oleh kombinasi benda-benda astronomis dan berada dalam pengaruh meteorologis normal.

2. Mean Higher High Water (MHHW) merupakan rata-rata dari air tinggi tetinggi

pada saat pasang.

3. Mean High Water (MHW) merupakan rata-rata air tinggi pada saat pasang.

4. Mean Sea Level (MSL) merupakan rata-rata permukaan laut.

5. Mean Low Water (MLW) merupakan rata-rata air rendah pada saat surut. Laut

Darat

6. Mean Lower Low Water (MLLW) merupakan rata-rata air rendah terendah

pada saat surut.

7. Lowest Astronomical Tide(LAT) merupakan permukaan laut terendah yang

dapatdiramalkan dan terjadi di bawah pengaruh keadaan meteorologis rata-rata maupunkombinasi keadaan astronomi (Pugh 1987).

(20)

I.7.12. Kontrol Kualitas

Kontrol kualitas data pasut bertujuan untuk verifikasi data pasut sehingga dapat dilakukan deteksi terhadap kesalahan sistematik dan blunder terhadap data pasut. Kesalahan yang mungkin muncul meliputioffset, outliers/spikes, trend, dan time series. Kesalahanspikes/outlieradalah kesalahan pada data berupa penyimpangan data yang besar dari rangedata pasang surutnya. Kesalahan offset adalah perbedaan akibat adanya perbedaan tunggang pasang surut pada paket data yang sama. Kesalahan time-series

adalah adanya data pasang surut yang kosong pada waktu tertentu didalam rentang pengamatan data pasang surut.

Dalam penelitian ini, proses kontrol kualitas data dilakukan dengan dua metode, yaitu metode secara grafis dan numeris. Metode secara grafis dimaksudkan untuk mengeliminasi kesalahan dengan menggunakan interpretasi secara visual. Metode numeris dimaksudkan untuk melakukan uji global pada data pasut. Pada uji global salah satu rentang kepercayaan yang dipakai adalah dua standar deviasi 2σ. Pengecekan dilakukan untuk data pasut setiap satu bulan, yaitu dengan menghitung standar deviasi kelompok data perbulan menggunakan persamaan I.15 (Sugiyono 2007) :

σ = (Xi− X )2

n−1 ... (I.15) Keterangan :

σ : standar deviasi Xi : nilai data ke i

X : nilai rata-rata data setiap bulan n : jumlah data

kemudian menghitung batas kanan dan batas kiri untuk data pasut tersebut, yaitu dengan persamaan (I.16) dan persamaan (I.17) :

Batas Kanan = (X + 2σ)... (I.16) Batas Kiri = (X − 2σ)...(I.17)

(21)

Apabila nilai ketinggian data pasut lebih dari “ >” nilai batas kanan dan kurang dari “<” nilai batas kiri, maka nilai data pasut tersebut tertolak kemudian diganti dengan “NaN”. Data pasut yang diterima adalah data yang terletak diantara batas kanan dan batas kiri. Setelah diperoleh data pasut yang diterima kemudian dihitung prosentase data yang diterima untuk mengetahui berapa persen data pasut yang diterima dan ditolak.

I.7.13. Uji Signifikansi Parameter

Uji signifikansi parameter digunakan untuk mengetahui apakah nilai parameter eksis secara stastistik dan berbeda signifikan dengan nilai nol (Ghilani 2010). Pengujian signifikansi parameter ini menggunakan distribusi student. Pada penelitian ini, parameter yang diuji adalah selisih antara data penagamatan pasut dengan prediksi pasut. Kriteria pengujian dilakukan dengan membandingkan nilai parameter dan simpangan baku parameter sesuai dengan persamaan I.18. (Ghilani 2010).

T = 𝐷

𝑆𝐷 ...(I.18)

Penerimaan untuk hipotesis nol (H0) adalah sebesar T <t(df, α/2).

Keterangan:

T : nilai t-hitungan,

𝐷 : selisih antara data pengamatan pasut dengan prediksi pasut,

S𝐷 : simpangan baku dari selisih antara data pengamatan pasut dan prediksi pasut,

t(df, α/2) : distribusi t pada tabel t (student) dengan tingkat kepercayaan sebesar α.

Nilai 𝐷 dan S dapat dihitung dengan persamaan I.19. dan persamaan I.20.

𝐷 = x1 – x2 ...(I.19)

S=

(𝐷𝑖 −𝐷 )

2

𝑛 −1 ...(I.20)

Keterangan:

x1 : data pengamatan pasut

x2 : data prediksi pasut

(22)

Pengujian tersebut mengidentifikasikan bahwa nilai parameter, yaitu selisih antara data pengamatan pasut dengan prediksi pasut besarnya sama seperti pada persamaan I.21.

H0 : 𝐷= 0, atau ………...……...(I.21)

H0 : 𝐷≠ 0………...(I.22)

Daerah penerimaan untuk hipotesis nol (H0) adalah sebesar T <t(df, α/2). Nilai kritis dari t

dapat dilihat dari tabel-t yang terdapat pada Lampiran B. Nilai tersebut ditentukan dengan melihat level kepercayaan (α) dan nilai degree of freedom(df).Penerimaan H0 ini

mengindikasikan nilai parameter tidak eksis secara statistik. Artinya, nilai 𝐷 tidak berbeda signifikan dengan nilai nol. Penolakan H0 mengindikasikan bahwa nilai

parameter eksis secara statistik. Artinya nilai 𝐷 berbeda signifikan dengan nilai nol.

I.8. Hipotesis

LAT dapat diprediksi dengan periode pengamatan pasut minimal 12 bulan untuk dilakukan prediksi pasut selama 18,6 tahun (Standar Nasional Indonesia 2010), karenaminimal data pengamatan tersebut akan menghasilkan nilai LAT yang dapat diandalkan (IHO 2007). Semakin panjang data pengamatan akan menghasilkan semakin banyak jumlah konstanta harmonik (Pangesti 2012). Hasil prediksi pasut akan akurat, jika menggunakan data pasut ideal/data penuh (tidak memiliki data kosong). Stasiun pasut Prigi dan Sadeng memiliki morfologi yang sama, yaitu sama-sama menghadap ke selatan laut Pulau Jawa, namun terpisahkan oleh jarak yang cukup jauh (lebih dari 15 km). Menurut Ingham (1975), kondisi pasut akan berubah setiap 15 km di sepanjang pesisir.Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Periode pengamatan yang berbeda akan menghasilkan nilai LAT yang bervariasi. Kelompok data dengan periode pengamatan paling panjang akan menghasilkan nilai LAT yang rendah karena jumlah konstanta harmonik yang dihasilkan paling banyak.

2. Jumlah data kosong akan menghasilkan variasi pada nilai LAT. Data pasut yang ideal/data penuh (tidak memiliki data kosong) akan menghasilkan nilai LAT yang rendah, karena konstanta harmonik yang dihasilkan akurat, maka hasil prediksinya juga akan akurat.

(23)

3. Karakteristik nilai LAT akan berbeda pada dua tempat yang terpisahkan oleh jarak yang cukup jauh (lebih dari 15 km), meskipun morfologi keduanya sama. Hal tersebut dikarenakan jarak yang memisahkannya merubah kondisi pasut kedua tempat tersebut.

Gambar

Tabel I. 1.LAT, MSL, dan standar deviasi data prediksi  (Sumber: Sinaga 2010)
Gambar I. 2.Posisi bulan-bumi-matahari pada saat pasut mati  (Diadaptasi dari Poerbandono dan Djunarsjah2005)
Gambar I. 3.Pengaruh posisi bulan dan matahari terhadap pasut (fase bulan)  (Pugh 1987)
Gambar I. 4. Elevasi muka air laut  (Sumber : Pugh 1987)  Keterangan:

Referensi

Dokumen terkait

Selain KTI terbit dalam bentuk buku apabila peneliti tersebut telah memiliki 1 KTI terbitan majalah ilmiah internasional atau mempunyai penemuan baru atau internasional atau

Maka dapat disimpulkan bahwa, Disiplin Kerja, Kinerja Karyawan, Lingkungan Kerja, dan Stres Kerja telah memenuhi syarat model yang baik dengan memiliki nilai AVE

Selain itu, untuk mendukung pembelajaran jarak jauh, perpustakaan harus berperan menjadi perpustakaan yang baik untuk memudahkan para pemustaka mendapatkan bahan

Pada sesi selanjutnya materi oleh anggota polsek tempurejo yaitu Aiptu Sapuan SH, disampaikan bahwasanya secara prinsip pihak kepolisian mendukung upaya taman

partisipasi aktif anggota dalam mengikuti semua pertemuan yang diadakan. koperasi tidak dapat terwujud karena anggota yang kurang

Dalam penelitian ini penulis memilih singkong sebagai bahan pengganti kentang dalam pembuatan gnocchi bukan hanya karena singkong memiliki harga yang lebih murah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata biomassa karbon vegetasi mangrove Welai Timur, Pulau Kapas dan Welai Barat sebesar 59,83 ton/ha (29,92 ton C/ha), dengan

Meskipun prestasi belajar siswa pada kelas eksperimen II baik dari aspek kognitif, afektif dan ketuntasan hasil belajarnya lebih tinggi dibanding kelas