• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Setiap bangsa dan generasi memiliki dasar dan tujuan pendidikan tertentu. Tentunya dasar dan tujuan itu disesuaikan dengan cita-cita, keinginan, dan kebutuhan (Ahmadi & Uhbiyati, 2001).

Dunia pendidikan Indonesia saat ini sedang diguncang oleh berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta ditantang untuk dapat menjawab berbagai permasalahan lokal dan perubahan global yang terjadi begitu pesat (Mulyasa, 2007). Perubahan dan permasalahan tersebut menurut Prof. Sanusi (dalam Mulyasa, 2007) adalah seperti adanya pasar bebas, tenaga kerja bebas, perkembangan masyarakat informasi, serta perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya yang sangat dahsyat. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada fenomena yang sangat dramatis, yaitu rendahnya daya saing sebagai indikator bahwa pendidikan belum mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas (Mulyasa, 2007). Hal tersebut belum sesuai dengan tujuan pendidikan nasional Indonesia. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

(2)

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU RI No. 20 Tahun 2003, dalam Sisdiknas Pasal 3).

Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, dalam tatanan mikro pendidikan harus mampu menghasilkan SDM berkualitas dan profesional sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam Sisdiknas Pasal 3 di atas. Kualitas pendidikan dipengaruhi oleh penyempurnaan sistemik terhadap seluruh komponen pendidikan seperti peningkatan kualitas dan pemerataan penyebaran guru, kurikulum yang disempurnakan, sumber belajar, sarana dan prasarana yang memadai, iklim pembelajaran yang kondusif, serta didukung oleh kebijakan pemerintah, baik dari pusat maupun dari daerah. Dari semuanya itu, guru merupakan komponen paling menentukan, karena di tangan gurulah kurikulum, sumber belajar, sarana dan prasarana, serta iklim pembelajaran menjadi sesuatu yang berarti bagi kehidupan peserta didik (Mulyasa, 2007).

Ditambahkan Sanaky (2007), pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada kapasitas satuan-satuan pendidikan dalam mentranformasikan peserta didik untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan aspek olah pikir, rasa, hati, dan raganya. Dari sekian banyak komponen pendidikan, guru merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di setiap satuan pendidikan. Berapa pun besarnya investasi yang ditanamkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, tanpa kehadiran guru yang kompeten, profesional, bermartabat, dan sejahtera dapat dipastikan tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan.

(3)

Menurut Mulyasa (2007), guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama, dan utama. Figur yang satu ini akan senantiasa menjadi sorotan strategis ketika berbicara masalah pendidikan, karena guru selalu terkait dengan komponen manapun dalam sistem pendidikan. Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya yang diselenggarakan secara formal di sekolah. Guru juga sangat menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Guru merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas.

Riva (2008) mengungkapkan bahwa guru yang profesional itu harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi paedagogis, profesional, kepribadian, dan sosial. Namun kenyataannya sekarang ini, kondisi guru di Indonesia masih memiliki titik lemah. Pertama, kualifikasi dan latar belakang pendidikan guru yang tidak sesuai dengan bidang tugasnya. Di lapangan banyak guru yang mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Kedua, guru tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugasnya. Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai dengan suatu istilah” he does his job well”. Artinya,

guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, dapat memahami peserta didik, menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan.

(4)

Ditambahkan Mulyasa (2007), faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh sebagian guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan diri, baik membaca, menulis, apalagi membuka internet; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) adanya perguruan tinggi swasta yang mencetak guru yang asal jadi tanpa memperhitungkan outputnya di lapangan,

sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesinya; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.

Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggungjawab pendidikan berusaha melakukan suatu langkah demi meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Salah satunya adalah dengan penyelenggaraan pelatihan bagi guru guna meningkatkan kompetensi guru, karena dasar dari profesionalisme itu sendiri adalah kompetensi (Riva, 2008). Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Guru dan Dosen yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengembangan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Guru dan Dosen, yang kesemuanya itu dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi guru (Depdiknas, 2004).

Dalam rangka peningkatan kemampuan profesional guru, perlu dilakukan sertifikasi dan uji kompetensi secara berkala agar kinerjanya terus meningkat dan

(5)

tetap memenuhi syarat profesional. Sehubungan dengan itu, pemerintah sedang melaksanakan terobosan dalam meningkatkan kualitas profesionalisme guru tersebut, antara lain melalui Program Sertifikasi Guru (Mulyasa,2007).

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (dalam Depdiknas, 2004), dikemukakan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sertifikasi pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Berdasarkan pengertian tersebut, sertifikasi guru dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi. Dengan kata lain, sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik.

Menurut Mulyasa (2007), sertifikasi guru merupakan pemenuhan kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi profesional. Oleh karena itu, proses sertifikasi dipandang sebagai bagian esensial dalam upaya memperoleh sertifikat kompetensi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sertifikasi guru merupakan proses uji kompetensi bagi calon guru atau guru yang ingin memperoleh pengakuan dan atau meningkatkan kompetensi sesuai profesi yang dipilihnya. Representasi pemenuhan standar kompetensi yang telah ditetapkan dalam sertifikasi guru adalah sertifikat kompetensi pendidik. Sertifikat ini sebagai bukti pengakuan atas kompetensi guru atau calon guru yang memenuhi standar untuk melakukan

(6)

pekerjaan profesi guru pada jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Ditambahkan Sanaky (2007), bagi guru yang lama perlu diberikan pelatihan-pelatihan profesi keguruan, baru dilakukan ujian sertifikasi. Bagi calon guru yang berkualifikasi Sarjana kependidikan perlu mengikuti program sertifikasi guru dengan menempuh beberapa mata kuliah dalam kurikulum S1 Kependidikan atau yang SKS-nya belum setara dengan kurikulum program sertifikasi, sedangkan bagi calon guru yang berkualifikasi sarjana atau Diploma Non-Kependidikan wajib menempuh program sertifikat guru dengan mengambil seluruh kurikulum program sertifikat guru.

Setelah diuraikan beberapa hal mengenai sertifikasi guru, menurut Barlian (2007) masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pelaksanaan program sertifikasi guru. Pertama, mengenai jaminan peningkatan kompetensi guru setelah mengikuti program sertifikasi guru itu. Sebab profesionalisme guru merupakan proses berkesinambungan yang tidak hanya diperoleh dalam waktu yang singkat melalui pendidikan dan latihan (diklat) yang dilaksanakan dalam program sertifikasi guru. Kedua, pelaksanaan diklat dapat mengganggu tugas guru dalam mengajar. Kegiatan ini menyalahi status guru dalam mengajar sebagai pekerja profesional, yang harus lebih mengutamakan layanan dalam menyediakan jasa terhadap kliennya yaitu peserta didik (siswa atau murid). Ketiga, mengenai ketepatan standar penilaian dengan portofolio. Pada kenyataannya ada guru yang tidak memenuhi penilaian dan harus mengikuti diklat. Padahal dalam pedoman penetapan peserta dan pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan, Depdiknas Tahun 2007, sudah jelas persyaratan umum peserta

(7)

sertifikasi guru, baik kualifikasi kompetensi, akademik, bidang tugas, status, dan pesertanya. Semua ditetapkan berdasarkan kuota oleh Dinas Pendidikan melalui surat keputusan. Kriteria penetapan peserta sudah ditentukan berdasarkan masa kerja/pengalaman mengajar, usia, pangkat/golongan, beban mengajar, jabatan/tugas tambahan, dan prestasi kerja. Maka timbul pertanyaan, mengapa mereka masih saja dinyatakan tidak memenuhi penilaian.

Rifqi (2008) menambahkan, selain hal-hal yang dipertimbangkan di atas, ternyata sertifikasi guru juga memiliki dampak yang negatif. Program sertifikasi guru harusnya ditujukan untuk guru-guru muda (di bawah 40 tahun), karena guru yang berusia di atas 40 tahun itu sangat kesulitan jika mengikuti syarat-syarat sertifikasi seperti mengikuti seminar-seminar dan harus menunjang pemakaian teknologi untuk mencari data baik artikel atau yang lain. Ditambah lagi, guru dengan usia di atas 40 tahun itu akan memasuki masa pensiun, dan juga efeknya terhadap kesehatan guru.

Begitu banyak hal-hal yang harusnya dipertimbangkan serta dampak negatif dari program sertifikasi guru, walaupun demikian, kebijakan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) mengenai pelaksanaan sertifikasi guru tetap dilaksanakan sebagaimana telah tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.

Meskipun program sertifikasi guru telah mulai dilaksanakan di beberapa provinsi di Indonesia, namun belum didapatkan data yang jelas mengenai sikap guru tentang pelaksanaan program tersebut. Padahal hal ini penting sebagai data untuk mendasari tindak lanjut program sertifikasi guru, yang pada dasarnya

(8)

bertujuan meningkat kualitas guru, memiliki kompetensi, mengangkat harkat dan wibawa guru sehingga guru lebih dihargai dan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia (Sanaky, 2004).

Sikap, dalam pembahasan psikologi sosial, dianggap sebagai sesuatu yang penting. Sikap dijadikan isu sentral dengan beberapa alasan. Pertama sikap sangat mempengaruhi pemikiran sosial manusia, meskipun sikap tidak selalu direfleksikan dalam tingkah laku yang tampak (overt). Manusia memiliki

kecenderungan untuk mengevaluasi stimulus sebagai sesuatu yang positif atau negatif, suka atau tidak suka. Kedua, sikap seringkali mempengaruhi tingkah laku manusia. Karena itu dengan memahami sikap seseorang dapat diprediksi tingkah laku orang tersebut dalam konteks yang luas (Taylor, Peplau, dan Sears, 2000). Salah satu hal yang dapat mempengaruhi sikap seorang guru mengenai program pengembangan dirinya yang salah satunya program sertifikasi guru adalah komitmen guru. Komitmen guru juga dapat meningkatkan mutu pendidikan, yang sejalan dengan tujuan program sertifikasi guru. Hal ini sesuai dengan pendapat Huberman dan Nias (dalam Teacher Commitment and Engagemant, 2007), yang menyatakan bahwa komitmen guru merupakan salah

satu faktor penting yang menentukan dalam kesuksesan dan kelangsungan pendidikan di masa depan. Ditambahkan Fresko, dkk (dalam Joffres & Haughey, 2001) bahwa komitmen guru merupakan hal penting dalam menentukan keefektifan sekolah dan kepuasan guru.

Komitmen guru merupakan penafsiran internal seorang guru tentang bagaimana mereka menyerap dan memaknai pengalaman kerja mereka (Solomon,

(9)

2007). Secara umum komitmen mengacu pada satu tingkatan penerimaan dalam organisasi. Komitmen menjelaskan hasil yang disetujui dari sebuah keputusan atau meminta dan membuat sebuah usaha yang baik untuk menjalankan keputusan tersebut secara efektif (Yulk, 2002 dalam Solomon, 2007).

Menurut Riehl dan Sipple (dalam Solomon, 2007) komitmen guru memiliki efek positif terhadap prestasi siswa di sekolah. Pengertian tentang komitmen guru berbeda-beda berdasarkan konteks analisanya. Komitmen merupakan keadaan psikologis yang mengidentifikasikan suatu keterbukaan individual yang diasosiasikan dengan hasrat untuk melibatkan diri (Leithwood, Menzies, & Jantzi, 1994 dalam Solomon, 2007). Rosenholtz (dalam Solomon, 2007), menyatakan bahwa komitmen lebih mengacu kepada pengaturan dan manajemen tugas dan perputaran di dalam organisasi daripada kualitas personal seseorang dalam lingkungan kerja. Komitmen merupakan subjek dari ketertarikan dalam organisasi yang membuat pekerja lebih suka menetap di dalam organisasi (Reichers, 1985 dalam Solomon, 2007).

Nias (1981, dalam Teacher Commitment and Engagemant, 2007)

menambahkan bahwa komitmen merupakan suatu bagian yang digunakan seseorang untuk menjelaskan dirinya dan orang lain. Komitmen menunjukkan siapa yang peduli, berdedikasi, dan siapa yang mengerjakan pekerjaan dengan serius. Beberapa guru melihat komitmen mereka sebagai bagian dari identitas profesionalnya, hal ini menjelaskan mereka dan pekerjaannya dimana mereka menikmati pekerjaannya itu (Elliot dkk, 2000). Sebagian guru lainnya menganggap bahwa kegiatan mengajar akan menghabiskan waktu hidupnya (Nias,

(10)

1981, dalam Teacher Commitment and Engagemant, 2007). Mereka biasanya

membatasi komitmen mereka dengan sekolah, seperti hanya untuk bertahan di sekolah tersebut. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi guru untuk meninggalkan profesinya tersebut (Teacher Commitment and Engagemant, 2007).

Seorang guru harus mempunyai komitmen tinggi untuk dapat meningkatkan keterampilannya, yaitu keterampilan dalam mengidentifikasi dan mengatasi masalah, berpikir kreatif, kritis, produktif, dan kecermatan mengolah informasi yang semakin canggih (Wibowo, 2002).

Berdasarkan uraian di atas, apabila dikaitkan dengan sikap guru terhadap program sertifikasi guru maka dapat ditarik suatu benang merah bahwa komitmen guru sangat berpengaruh terhadap sikap guru mengenai program-program yang akan ditujukan kepada guru itu sendiri, disini konteksnya adalah program sertifikasi guru. Hal ini juga sesuai dengan dampak dari komitmen guru, yaitu dapat meningkatkan kecermatan mengolah informasi yang semakin canggih. Informasi yang dimaksud dapat disimpulkan salah satunya adalah program sertifikasi guru yang dirancang sedemikian rupa oleh pemerintah dan ditujukan kepada guru. Peneliti berasumsi bahwa komitmen guru dan sikap guru terhadap program sertifikasi guru memiliki hubungan yang positif. Artinya semakin tinggi komitmen guru, maka semakin positif sikap guru terhadap program sertifikasi guru.

Penelitian ini mencoba untuk mencari apakah ada hubungan antara komitmen guru dengan sikap guru terhadap program sertifikasi guru pada guru Sekolah Menengah Atas Negeri di Kota Padang, Sumatera Barat. Hasil dari penelitian ini

(11)

diharapkan dapat menjadi masukan untuk para guru dan calon guru mengenai hubungan antara komitmen guru dengan sikap guru terhadap program sertifikasi guru. Serta menambah wawasan bagi pembaca mengenai hubungan antara komitmen guru dengan sikap terhadap program sertifikasi guru.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara komitmen guru dengan sikap guru terhadap program sertifikasi guru.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran bagi perkembangan Psikologi, terutama di bidang psikologi pendidikan. Selain itu diharapkan juga bisa memberi masukan untuk penelitian selanjutnya terutama mengenai sikap guru terhadap pelaksanaan program sertifikasi guru.

2. Manfaat Praktis

1. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi dunia pendidikan Indonesia, terutama mengenai hubungan antara komitmen guru dengan sikap guru terhadap program sertifikasi guru.

(12)

2. Dapat menjadi masukan bagi para guru dan calon guru mengenai komitmen guru dan bagaimana sebaiknya bersikap mengenai program yang diberlakukan pemerintah yang ditujukan bagi mereka, terutama program sertifikasi guru.

D. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I adalah Pendahuluan yang terdiri dari empat sub bab meliputi latar belakang, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II adalah Landasan Teori. Bab ini meliputi pembahasan tentang sertifikasi guru, sikap, guru, sikap guru terhadap program sertifikasi guru, komitmen guru, aspek-aspek komitmen guru, dan faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen guru.

Bab III adalah Metode Penelitian yang terdiri atas pertanyaan penelitian, variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel, validitas alat ukur, daya beda aitem dan reliabilitas alat ukur dan metode analisis data.

Bab IV terdiri dari analisa dan interpretasi data yang berisikan mengenai gambaran subjek penelitian dan hasil penelitian.

Bab V merupakan kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Pada akhirnya kondisi tersebut berdampak pada anak-anak, yaitu anak tumbuh dan berkembang dengan kurang memiliki jiwa sosial terutama sikap toleransi terhadap

Dari beberapa definisi para ahli di atas dapat disimpulkan risk behavior adalah suatu bentuk perilaku yang berpotensi untuk memberikan dampak positif maupun negatif

Rangkuti (2002, h.31) mengatakan bahwa nilai produk didefinisikan sebagai pengkajian secara menyeluruh manfaat dari suatu produk, yang didasarkan pada persepsi konsumen atas apa

Terkadang komputer anda menjadi lambat pada saat ingin melakukan shutdown karena sistem pada Windows sedang melakukan End Process pada aplikasi yang sedang dijalankan.. Melalui

Data primer pada penelitian ini diperoleh dari hasil survei dengan cara menyebarkan kuisioner kepada responden (mahasiswa) secara langsung. Sementara itu, data sekunder

Perceraian, meskipun diizinkan, namun tetaplah menjadi suatu perbuatan yang tidak dianjurkan dalam agama, terutama agama Islam yang menganggap perceraian sebagai

Hal ini dapat berakibat pada pangsa pasar khususnya tamu bisnis yang telah dimiliki oleh Golden Flower Hotel yang kemungkinan akan berpindah dan memilih untuk

Peer Tutoring atau tutor sebaya adalah seorang/beberapa orang siswa yang ditunjuk dan ditugaskan untuk membantu siswa tertentu yang mengalami kesulitan belajar serta