• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESOLUSI KONFLIK PERKEBUNAN UNTUK USAHA PERTAMBANGAN ANTARA MASYARAKAT DAN KORPORASI DI KABUPATEN HALMAHERA TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "RESOLUSI KONFLIK PERKEBUNAN UNTUK USAHA PERTAMBANGAN ANTARA MASYARAKAT DAN KORPORASI DI KABUPATEN HALMAHERA TENGAH"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

RESOLUSI KONFLIK PERKEBUNAN UNTUK USAHA PERTAMBANGAN ANTARA MASYARAKAT DAN

KORPORASI DI KABUPATEN HALMAHERA TENGAH. Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata 2

Program Studi Ilmu Hukum TESIS

Diajukan Oleh: Masri Anwa NIM: 20141070033

PROGRAMDIMAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA

(2)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Konflik tanah perkebunan merupakan warisan budaya Orde Baru juga banyak muncul disebabkan oleh kebijaksanaan

pembangunan yang “lapar tanah” baik untuk fasilitas

pemerintah, proyek besar, proyek konsumtif. Maupun pengembangan perkebunan. Dalam proses pengambilalihan tanah “dikuasasi” rakyat inilah terjadi konflik kepentingan ini antara

petani sebagai pemilik tanah dengan korporasi atau pemerintah. Konflik kepentingan muncul dalam bentuk perlawanan dan gerakan protes, karena kepentingan petani seringkali dikalahkan.1

Perlawanan petani sebagai upaya mempertahankan hak-haknya diwujudkan dalam berbagai bentuk mulai dari protes bisu hingga dalam bentuk kekerasan. Perlawanan petani dalam kekerasan ini bisa dimaklumi, karena tingkat kekecewaan mereka

1

(3)

2

yang sudah sangat tinggi dan mendalam seperti bara api dalam sekam. Kekecewaan itu mereka salurkan setelah berbagai saluran formal tidak lagi memberi harapan. Olehnya itu, kekerasan yang dilakukan dalam memperjuangkan hak-haknya seharusnya tidak dipandang negatif, kekerasan merupakan satu-satunya senjata yang tersisa bagi masyarakat yang tidak pernah didengar keresahaannya atas intervensi, represi dan ketidakadilan yang dilakukan baik oleh pejabat yang berwenang maupun para pemilik modal. Petani senantiasa berusaha dengan segala upaya untuk menggagalkan sampai petani merasa yakin bahwa subtansi mereka terjamin, selanjutnya akibat meluasnya perana Negara di dalam proses trasformasi pedesaan, telah mengubah lapisan masyarakat petani kaya, dimana yang kaya menjadi kaya sedangkan yang miskin tetap menjadi miskin bahkan menjadi lebih miskin.

(4)

3

fenomena konflik tanah khususnya tanah perkebunan, disamping banyak merupakan masalah baru, dan juga banyak masalah yang lama bersifat laten muncul kembali. Memang harus diakui bahwa konflik tanah sifatnya sangat mendasar, kompleks dan variatif, karena menyangkut ekonomi, politik sosial dan kultur. 2

Konflik penguasaan tanah terjadi hampir diseluruh pelosok tanah air dimana terdapat investasi pertambangan. Persoalan yang mendasar yang terjadi akar konflik adalah penghargaan hak atas tanah serta pemberian konpensasi ganti rugi yang dianggap tidak layak bagi masyarakat. Berbagai cara dan pendekatan penyelesaian telah dilakukan, namun konflik tetap ada bahkan sampai melahirkan korban jiwa bagi masyarakat. Negara sebagai organisasi yang diharapkan dapat memfasilitasi penyelesaian sengketa, namun tidak dapat berperan banyak, karena di satu sisi pemerintah mengharapkan adanya infestasi dari penanaman modal guna memperoleh devisa, di sisi lain masyarakat mengklaim tanah yang diberikan tersebut merupakan

2

Husen Alting, 2013, Konflik Penguasaan Tanah di Maluku Utara Rakyat

Versus Penguasaan dan Pengusaha, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13, Nomor,

(5)

4

kepemilikan mereka. Diperlukan rekonseptualisasi hubungan penguasaan tanah dalam rangka penanaman modal tidak memelalui pelepasan tanah atau penyerahan hak, akan tetapi melalui satu perjanjian hak pakai atau sewa antara korporasi dan pemilik tanah untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian konpensasi kepada masyarakat. Dengan modal tersebut, hubungan kepemilikan masyarakat tidak akan putus, dan setelah masa perjanjian penggunaan berakhir tanah tersebut kembali kepada masyarakat.

Bumi, air dan kekekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini, Negara diberikan wewenang untuk melakukan pengaturan, serta menyelenggarakan peruntukan penggunaan dan pemeliharaan terhadap sumber daya alam dengan tujuan memberikan kesejahteraan kepada

masyarakat. Namun fakta emperis pada kalimat “sebesar

-besarnya” untuk kemakmuran rakyat” masih perlu dipertanyakan

(6)

5

kerugian, baik fisik maupun kerugian ekonomi yang selama ini dirasakan secara turun-temurun.3

Berdasarkan aspek agraria, kebijakan pemerintah di bidang pertanahan sangat dipengaruhi dan diintervensi oleh korporasi multi nasional. Cara pandang rezim kapitalisme yang melihat tanah sebagai komuditas, sehingga tanah dilepaskan dari ikatan sosial yang melekat di masyarakat dapat mengakibatkan merusak sendi-sendi kehidupan baik cepat atau lambat dan pada gilirannya akan menimbulakan gejolak perlawanan. Kondisi ini mengakibatkan tidak tercapainya tujuan peruntukan agraria untuk kesejahteraan masyarakat petani, karena berimplikasi pada terjadinya dengradasi kualitas tanah pertanian bahkan konflik pertanahan baik horizontal maupun vertikal. Sengketa vertikal struktural merupakan sengketa antara yang menguasai sumber-sumber ekonomi seperti sungai, sumber-sumber daya tambang, padang pengembalaan ternak, semak belukar, maupun tanaman pertanian versus Negara atau pemerintah Indonesia (baik sebagai pelaku pinjaman hak atas tanah kepentingan korporasi). Sedangkan

(7)

6

sengketa horizontal adalah sengketa yang terjadi antara masyarakat persekutuan yang berbeda. Salah satu contohnya adalah sengketa masyarakat adat Amungme dan Suku Dani di Irian, sengketa masyarakat adat Dayak Bahau dengan Bentian di Kalimantan, sengketa masyarakat adat Meto dengan Tentun di timor.

(8)

7

Indonesia. Sengketa yang berbagai modus bahkan menimbulkan korban. 4

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh sebuah lembaga sosial Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Maluku Utara, yang berkaitan dengan sumber daya hutan, tanah, dan perkebunan di Maluku Utara. Ada 53 warga di tahun 2016-2017 yang dikriminalisasi karena berjuang mempertahankan tanahnya yang dikuasai oleh izin pertambangan. Konteks kebijakan ini semakin berbahaya karena mengancam kehidupan masyarakat lokal setempat. Pemerintah harus mengambil langka konkrit dan strategi persoalan yang terjadi dilapangan, seperti kasus yang sementara terjadi dihadapi masyarakat dengan pihak korporasi. Sekitar 3.000 jiwa Suku Sawai dan Tobelo Dalam di sekitar lokasi pertambangan terancam penghidupan mereka, yang terkait dengan sumber perkebunan dan tanah. Wilayah adat dan konflik perkebunan tidak pernah tuntas terselesaikan. Masyarakat tidak memiliki

4

(9)

8

pilihan lain selain melepaskan tanah yang mereka sudah dikelola sejak leluhur merek hidup di wilayah tersebut. Akibat sumber penghidupan menjadi hilang masyarakat dikondisikan pada situasi yang tidak diuntungkan. Masyarakat juga dilarang mengakses hutan adat mereka yang sudah ditetapkan sebagai Hutan Lindung dan Taman Nasional, sementara izin tambang lewat Perpu Nomor 41 Tahun 2004 diperbolehkan melakukan pertambangan di hutan lindung. 5

Konflik perkebunan bukanlah masalah baru di Maluku Utara, berbagai kebijakan dibuat untuk memuluskan kepentingan korporasi dalam penguasaan sumber daya hutan, perkebunan dan tanah. Salah satu program pada Masterplan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang mendorong Maluku Utara bergerak pada dua sektor, yakni Perikanan di Morotai dan tambang di Halmahera. Ini adalah paradigma yang sangat keliru lebih mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan dampak kerugian, yang dialami masyarakat setempat

(10)

9

secara parmanen. Berdasarkan data Kementrian ESDM di 4 Kabupaten Kota di Maluku Utara, berdomisilih 148 Izin Usaha Pertambangan (IUP), jika ditambah dengan beberapa Kabupaten yang tidak termasuk di dalam data ini, dipastikan IUP di Maluku Utara lebih 200. Sangat riskan sekali pulau kecil seperti Maluku Utara kebijakan pembangunannya disamakan dengan pulau besar.

(11)

10

tiri pembangunan yang tidak dikelola dengan maksimal oleh pemerintah daerah. 6

Kekayaan alam di Halmahera Tengah, khususnya tambang, mengundang kehadiran beberapa perusahaan pertambangan, misalnya PT. Aneka Tambang (ANTAM) dan PT. Weda Bay Nickel (WBN), untuk melakukan ekspansi modal ke wilayah ini. Hal ini sangat berimplikasi singnifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat setempat. Selain aspek yang katanya positif dalam bentuk devisa bagi Pendapatan Daerah (PAD), kehadiran investasi pertambangan ini justru lebih menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat lokal, yang banyak menggantungkan kehidupannya di sektor pertanian dan perikanan. Kehadiran perusahaan, jelas akan mengakibatkan luasan tutupan hutan semakin menurun. Laju degradasi hutan seiring dengan laju emisi karbon yang terlepas ke udara dan berimplikasi nyata pada pemanasan global. Di tengah gencarnya dunia melakukan kampanye perubahan iklim, di Halmahera

6

Sumber, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) wilayah Maluku Utara, Kehadiran PT. Weda Bay Nickel Adalah Ancaman Bagi Kehidupan di

(12)

11

Tengah justru akan kehilangang tutupan hutan 54.874 Ha, akibat masuknya korporasi. Maluku Utara sebgai daerah merapi, gampa dan pulau kecil (MGP), jelas sedang berada di mulut bencana, jika perusahaan melanjutkan tahapannya ke eksploitasi pertambangan nikel di bumi Halmahera Tengah. Selain keberadaan spesies endemic yang ada di hutan Halmahera, juga mengancam masyarakat yang hidup di pedalaman (Suku Non Maden), juga situs budaya, dan ekonomi sosial masyarakat tempatan. 7

Hal tersebut yang terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah, tipologi konflik yang muncul kaitannya dengan pemerintah dan perusahaan versus masyarakat pemegang hak yang dilatar belakangi oleh kecenderungan keberpihakan pemerintah daerah dalam memanfaatkan sumber daya alam melalui kebijakan pemberi izin lokasi atau izin usaha pertambangan untuk penanaman modal yang mengakibatkan fungsi tanah perkebunan serta berkurangnya akases terhadap

(13)

12

tanah, apalagi dalam prakteknya perolehan tanah untuk kepentingan tidak didasarkan pada prinsip kesejajaran dalam melakukan transaksi, akan tetapi menggunakan prinsip pengadaan bagi pembangunan untuk kepentingan umum menurut Imam Koewahyono sering mengabaikan variabel non hukum. Pangadaan tanah erat sekali hubungannya dengan pembebasan atau pelepasan hak atas tanah yang diperlakukan baik kepentingan umum maupun kepentingan perusahaan, yang seringkali menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Ini disebabkan karena adanya berbagai kepentingan yang selalu bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya.

Masalah tersebut berpengaruh pada rendahnya nilai tawar masyarakat pemegang hak dalam melakukan negosiasi akibat dominasi intervensi pemerintah daerah.

B.Rumusan Masalah

(14)

13

1. Apakah penyebab timbulnya konflik perkebunan sebagai usaha pertambangan antara masyarakat dan korporasi yang terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah?

2. Bagaimanakah penyelesaian konflik perkebunan sebagai usaha pertambangan antara masyarakat dan korporasi yang terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah?

3. Bagaimana konsep ke depannya dalam penyelesaian konflik perkebunan dan pertambangan antara masyarakat dan korporasi yang terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah?

C.Tujuan Penelitian

(15)

14

1. Mengidentifikasi faktor-faktor konflik perkebunan sebagai usaha pertambangan antara masyarakat dan korporasi yang terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah.

2. Mengevaluasi strategi dalam penyelesaian konflik perkebunan antara masyarakat dan korporasi yang terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah

3. Menyusun konsep ke depannya dalam penyelesaian konflik perkebunan antara masyarakat dan korporasi yang terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah.

D.Manfaat Penelitia 1. Manfaat Akademis

(16)

15

penyelesaian konflik perkebunan antara masyarakat dan korporasi.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan adalah bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran-pemikiran terhadap pemecahan masalah yang berkaitan dengan upaya penyelesaian konflik perkebunan. Selanjutnya hasil penelitian diharapkan menjadi acuan dalam mekanisme resolusi konflik perkebunan antara masyarkat dan korporasi.

E.Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan diantaranya sebagai berikut:

(17)

16

AMDAL. Kategori dampak itu resiko negatif yang besar, antara lain:

a. Gangguan atau penyakit Pernapasan atau Paru-Paru, terutama bagi anak, orang yang sudah tau orang yang mengalami penyakit asam bronkitis.

b. Keresahan komunitas karena merasa tidak nyaman dalam lingkungan yang berdebu secara terus-menerus

c. Jarang penglihatan yang terbatas

d. Dampak terhadap tumbuhan dan lingkungan setempat 2. Ismet Soelaman, meneliti dengan judul analisis dampak hulu

dari Sungai Ake Seloi ini adalah sungai yang paling berpotensi terkena dampak aktivitas pertambangan. Daerah tangkan air lainnya adalah daerah tangkapan air untuk Sungai Ake Sagea. 3. Husen Alting, meneliti dengan judul data perusahaan proses

(18)

17

tersebut, dengan menawarkan harga baru diluar kesepakatan sebesar Rp. 50.000/m2.

Perbandingan Fokus Kajian Tesis dengan Fokos Studi-studi sebelumnya.

Nomor 1 2 3 4

Nama

Munadi Kilkoda

Ismet Soeleman

(19)
(20)

19 F. Landasan Teori

Teori-teori yang dipergunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Perbuatan Melawan Hukum

(21)

20

Kalau dilihat dari susunan kata pada istilah Belandanya, terjemahan “perbuatan melawan hukum oleh pemerintah” itu

kurang tepat. Bukankah kata “overhead” itulah yang diterangkan oleh “onverechtmatig”.

Jadi yang menjadi pokok yang diterangkan ialah perbuatan pemerintah, “sedang” “melawan hukum” “itu

menerangkan” “perbuatan pemerintah” sehingga terjemahan

yang tepat menurut susunan katanya ialah “perbuatan pemerintah

yang melawan hukum”.

Dalam ajaran “onrechtmatige overheidsdaad” ini,

pandangan yang dipusatkan kepada si pembuat pelanggaran, sebab ajaran tentang perbuatan melawan hukum oleh pemerintah dititikberatkan pada persoalan, pertanggung jawab serta bertanggung-gugatkah pemerintah atas tindakannya yang bersifat

melawan hukum. Tetapi pada ajaran “ onrechtmatige

overheidsdaad” titik berat diletakan pada sifat melawan

hukumnya (onrechtmatigheidnya) itu. Mengingat putusan HR

(22)

21

berbuat, jadi titik berat diletakan pada “perbuatan melawan hukum”. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa ajaran

mengenai perbuatan melawan hukum oleh pemerintah itu memberi kesempatan kepada perseorangan untuk menggugat pemerintah karena tindakannya yang bersifat melawan hukum.

Mengikuti pemikirannya Scholten, bahwa hukum adalah “toerekening en toebedeling” bila ditinjau dari sudut subjeknya,

hukum itu adalah “aanspraak en aansprakelijkheid”. “Aanspraaak en aansprakelijkheid uit onrechmatige daad” hak

dan “aansprakelijkhed” (pertanggungjawaban) ini adalah

persoalan mengenai keseimbangan masyarakat. Dan dalam persoalan mengenai perbuatan melawan hukum oleh pemerintah ini, negara merupakan subjek juga yang berhadapan dengan perseorangan. Oleh karena itu, selain negara itu mempunyai “aanspraak” terhadap warga negaranya, supaya patuh misalnya

(23)

22

Ajaran tentang perbuatan melawan hukum pada umumnya dikuasai oleh satu aturan pokok yang umumnya dinyatakan dalam pasal 1365 BW. Tetapi, sejak berlakunya Burgerlikjk Wetboek, baik di Indonesia maupun di Nederland, mengenai perbuatan melawan hukum oleh pemerintah, walaupun taka da pasal-pasal dalam BW yang melarang penggunaan pasal 1365 BW itu, berlakukanlah ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari aturan-aturan mengenai perbuatan melawan hukum pada umumnya yang dimuat dalam pasal 1365 BW itu.

Meskipun penyimpangan ketentuan menimbulkan ajaran tersendiri mengenai perbuatan melawan hukum oleh pemerintah, ajaran mengenai perbuatan melawan hukum pada umumnya sebelum mengupas tentang perbuatan melawan hukum oleh pemerintah. Dalam ajaran perbuatan melawan hukum akan didapati unsur-unsur pokok mengenai perbuatan melawan hukum oleh pemerintah. 8

8 Sudikno Martokusumo, 2014, Perbuatan Melawan Hukum Oleh

(24)

23

Tiap perbuatan melawan hukum yang menyebabkan

orang lain menderita kerugian, mewajibkan siapa yang bersalah

karena menyebabkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”,

demikian terjemahan bebas yang penting tidak meninggalkan inti dari pasal 1365 BW yang berbunyi “Elke onrechtmatige daad, waardoor aan een ander schade wordt toegebracht, stelt degene

door wiens schuld die schade veroorzaakt is in de verplichting

om dezelve tevergoeder”.

(25)

24

(poena private). Pidana itu dilakukan untuk mendenda orang yang berbuat melawan hukum, jadi pidana (poena private) bukanlah untuk kepentingan penguasa, melainkan untuk kepentingan yang menderita kerugian. Lain dari pada itu, si penderita kerugianlah yang memaksakan pidana tersebut.

Maka persoalan tentang perbuatan melawan hukum Pemerintah tersebut pada hakekatnya adalah mengenal tindak-tanduk yang dilakukan oleh kekuasaan eksekutif, mengenai perbuatan-perbuatan dariada alat perlengkapan negara, yang lazimnnya disebut nama adiministrasi. Tugas daripada alat-alat perlengkapan Negara, menyebabkan alat pemerintah mendapatkan kekuasaan yang besar. 9

Dalam Negara hukum tiap warga harus mendapat perlindungan hukum terhadap penerapan undang-undang yang salah, terhadap pelampauan wewenang, terhadap tindakan sewenang-wenang dari pihak pemerintah atau Penguasa. Jika Pemerintah menyelenggarakan perusahaan dan sekiranya

9 Moegni Djojodirjo, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Pradnya

(26)

25

perusahaan tersebut telah menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga, maka pemerintah dapat dipertangungjawabkan berdasarkan Pasal-Pasal 1365-1367 K.U.H. Perdata.

Dalam contoh tersebut kiranya dengan jelas nampak bahwa pemerintah melakukan sesuatu pekerjaan, yang biasanya dilakukan oleh orang partikelir.

Di samping itu terdapat pula perbuatan-perbuatan melawan hukum yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang partikelir saja, seperti mencuri atau mengelapkan barang, menipu orang lain, oleh karenanya tidak mungkin Pemerintah dengan sengaja mencelakakan penduduk, sebab segalah tindakan Pemerintah harus dianggap dimaksudkan untuk memajukan kesejahteraan rakyat.

(27)

26

Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah pengawasan tersebut harus dibebankan pada hakim peradilan umum ataukah harus pada hakim adiministrasi khusus.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka baik doctrine maupun yurispundensi telah menerima dan menerapkan pendapat yang luas daripada Pasal 2 R.O, yakni dalam hal mengenai hak milik atau hak-hak yang berasal dari hak milik, hak tagih atau hak keperdataan, olehnya itu Peradilan Umum adalah berwenang untuk memeriksa dan memutusnya, tanpa mempersoalkan apakah dasarnya terletak pada hubungan hukum keperdataan atau hubungan hukum publik.

Dalam konteks ini bila mana Penguasa melakukan perbuatan melawan hukum, Penguasa dapat dipertanggung-jawabkan atas kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan melawan hukum tersebut, seperti halnya seorang partikelir harus bertanggung jawab. 10

(28)

27

Pada Pasal 1365 dan berikutnya merupakan ketentuan umum dan tidaklah membedakan apakah sesuatu perbuatan melawan hukum dilakukan oleh penguasa ataukah lain oleh badan hukum atau orang. Ketentuan-ketentuan tersebut dapat diterapkan baik terhadap perbuatan melawan hukum Penguasa maupun orang biasa. Menurut Meyers bahwa dalam hal Penguasa dengan bertentangan terkait kewajiban yang dibebankan padanya telah alpa tidak menjalankan tugas pemerintah, yang menurut sifatnya hanyalah dapat mengabulkan pemberian ganti kerugian pada si penderita, akan tetapi tidak dapat memberikan perintah pada Penguasa untuk melakukan perbuatan yang diharuskan itu, hanya semata-mata bila karenanya dapat menentukan larangan terhadap dan keharusan pada Penguasa.

2. Konsep Teori Strict Liability dan

Vicarious Liability

Konsep penerapan prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or liability without (no-fault) dalam kepustakaan

(29)

28

strict liability”. Dengan prinsip tanggung jawab tanpa keharusan

untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain, suatu prinsip tanggung jawab yang memandang “kesalahan

sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan.

Ungkapan atau frasa “absolute liability” digunakan

pertama kali oleh John Salmond dalam bukunya yang berjudul The Law of Tort pada tahun 1970, sedangkan ungkapan “strict

liability” dikemukakan oleh W. H. Winfield pada tahun 1926

dalam sebuah artikel yang berjudul “The Myth of Absolute

Liability”.

Menurut doktrin strict liability (pertanggungan yang ketat), seseorang dapat dipertanggung jawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada dirinya orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat strict liability diartikan sebagai liability without fault (pertanggung jawaban pidana tanpa kesalahan).

Sedangkan mens rea, kata ini diambil orang dari suatu

(30)

29

yang maksudnya adalah suatu perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali pikirannya adalah salah.

Menurut L.B. Curson, doktrin strict liability ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

a. Adalah sangat esinsial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlakukan untuk kesejahteraan sosial.

b. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu.

c. VTingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.

(31)

30

a. Sulitnya membuktikan pertanggung jawaban untuk tindak pidana tertentu.

b. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tidak pidana tertentu untuk, menghindari adanya bahaya yang sangat luas. c. Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability

adalah ringan.

Menurut common law, strict liability yang berlaku terhadap tiga macam delik:

a. Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak). b. Criminal libel (fitnah, pencemaran nama)

c. Contempt of court (pelanggaran tata tertip pengadilan). 11

Sedangkan vicarious liability adalah suatu pertanggung jawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain ( the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Pertanggung jawaban demikian

misalnya terjadi dalam hal perbuatan yang dilakukan oleh orang

(32)

31

lain itu adalah dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatan. Jadi, pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dengan buru, pembantu atau pawahannya. Dengan dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindakan pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tepat dapat dipertanggung jawaban.

Doktrin pertanggungjawaban strict liability juga diatur dalam Konsep Rancangan KUHP 2004-2005 Pasal 38 ayat (1), yang berbunyi:

“Bagi tindakan pidana tertentu, undang-undang bisa

menentukan bahwa seseorang bisa dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.” Doktrin pertanggungjawaban

(33)

32

“Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang

dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan pidana yang dilakukan oleh setiap orang lain.”

Sehubungan dengan hal tersebut di atas Barda Nawawi Arief, menyatakan doktrin-dokrin pertanggungjawaban seperti

yang dikemukakan di atas khusus “strict liability dan vicarious

liability” perlu dipertimbangkan sejauh mana dapat diambil

operasional. Hal ini dikemukakan seberapa tindak pidana saat ini yang berhubungan erat sekali dengan akibat perkembangan dan dengan kemajuan teknologi, ekonomi dan perdagangan yang banyak melibatkan badan hukum.

(34)

33

dratis dari konsepsi kesalahan yang diperluas sedemikian rupa sampai pada konsepsi ketiadaan kesalahan sama sekali. Hal yang terakhir adalah akar yang paling dalam dari nilai-nilai keadilan berdasarkan Pancasila.

Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa untuk membuktikan adanya kesalahan pada korporasi sulit sekali, maka menurut hemat Barda Nawawi Arief doktrin tersebut dapat ditujukan pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama yang menyangkut tindak pidana terhadap perindungan kepentingan umum atau masyarakat, misalnya perlindungan di dalam kesehatan lingkungan hidup. Dengan dasar dokrin ini maka fakta yang bersifat menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pada si pelaku sesuai dengan

adiqium “res ipsa loquitur”, fakta sudah berbicara sendiri.12

Dengan demikian arah perkembangan pertanggungjawaban pidana, sebagai kebijakan legislasi yang ideal, ternyata asas tindak pidana tanpa kesalahan tidak berlaku secara murni lagi.

12

Dwidja Priyantno, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem

Pertanggungjawaban Pindana Korporasi di Indonesia, Bandung, Penerbit CV

(35)

34

Akan tetapi bagaimanapun juga penerapan doktrin ini harus tetap mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan mencerminkan rasa keadilan yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat. Pengecualin atau penyimpangan itu jangan dilihat suatu pertentangan, tetapi harus dilihat sebagai suatu pelengkap dalam rangka mewujudkan asas keseimbangan. Dalam arti memperhatikan keseimabangan dua kepentingan yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan individu.

3. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

(36)

35

Hal di atas pula, berarti bahwa di dalam pemanfaatannya perlu disadari oleh kebijakan dan upaya pengelolaan sumber daya alam yang rasional dalam arti pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup haruslah seimbang dengan potensi lestarinya. Tidak berdiri sendiri dan senantiasi berhubungan, baik fisif maupun non fisik.

Selain itu, yang perlu diperhatikan dalam pembanguna berkelanjatan adalah mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam dan sumber daya manusia. Caranya adalah menyerasikan aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan sumber daya alam yang menopangnya. Jadi tidak boleh dipandang sendiri-sendiri dan sektoral. Meskipun bisa dinyatakan bahwa itu merupakan variabel sendiri-sendiri, namun harus tetap saling berhubungan harmonis pada tujuan yaitu eksploitasi alam secara bertanggung jawab demi kelestarian lingkungan hidup.

(37)

36

bahwa tidak ada eksploitasi ekonomi dari perilaku ekonomi yang kuat terhadap lemah, sedangkan keberlanjutan sosial adalah pembangunan tidak melawan, merusak, dan atau menggantikan sistem nilai sosial yang telah teruji sekian lama dan telah dipraktikan oleh masyarakat. Keberlanjutan secara ekologi adalah adanya toleransi terhadap kehadiran mahluk lain selain manusia.

Pembangunan berkelanjutan juga dijelaskan pada Undang-Undang Tahun 2009 dipahami sebagai Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Hidup, yaitu pelaksanaan pembangunan berkelanjuta sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 13

Secara mendasar, pembangunan berkelanjutan itu mempunyai idealisme yang menngaplikasikan issu-issu

13 Samsul Wahidin, 2014, Dimensi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan

(38)

37

lingkungan hidup ke dalam nilai-nilai ekonomi gunanya adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya keberlanjutan sumber daya alam dan meningkatnya kualitas lingkungan. Hal demikian pada akhirnya akan mempengaruhi pula pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut, hukum yang mengatur tentang segi-segi lingkungan hidup haruslah bersifat antisipatif. Hal tersebut tercermin dari pernyataan “untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan

mutu hidup generasi masa mendatang”.

(39)

38

Pada dimensi konseptual, salah satu penyebabnya adalah belum adanya kesadaran dikalangan intelektual dan perumusan kebijakan dalam menyikapi konsep pembangunan berkelanjutan. Inilah dasar yang hurus dijadikan rujukan pada iplementasinya selain itu, dibutuhkan kemampuan interpretasi konsep dan aksinya yang beragam dan mekomodasi keberagaman.

Pada dimensi ini, tidak lagi mendahulukan aspek ekonomi dulu baru lingkungan ataupun sebaliknya lingkungan dulu baru ekonomi, namun dengan secara komprehensif memadukan ekonomi ke dalam lingkungan dan memasukkannya di dalam model pembangunan berkelanjutan, strategi yang digunakan dalam integrasi lingkungan kedalam pembangunan ekonomi tersebut. misalnya dengan cara mengembangkan berbagai sektor yang relevan berdasarkan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan sunber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup.

(40)

39

pengelolaan lingkungan yang arahnya adalah terwujud lingkungan yang kondusif. Dalam arti lingkungan yang lestari, dengan tetap berpartisipasi pada pengelolaan yang bertanggung jawab, atas dasar etika ekonomi yang berkeadilan.

G. Metode Penelitian A.Jenis Penelitian

Berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan, jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum sosiologis atau yuridis emperis (sociolegal research). Penelitian yuridis adalah penelitian hukum

mengenai pemberlakukaan atau implementasi hukum normatif secara in action pada suatu peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat.

(41)

40

merupakan warga yang berkonflik dengan korporasi. karena tanah dan lahan perkebunan dikuasai oleh korporasi. 14

B.Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penuliasan hukum adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (the case approach). Metode pendekatan perundang-undangan

adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isi hukum yang ditangani, pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

14

(42)

41

Pendekatan konsep ini berawal dari perundang-undangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut. penelitian ini akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relefan dengan permasalahan yang diteliti serta dengan pendekatan konsep pula peneliti membuat argumentasi hukum dalam menjawab permasakahan hukum yang diajukan.

C. Sumber Data

(43)

42

yang digunakan dalam penelitian terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 15

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan perundangan-perundangan yang berlaku atau ketentuan yang berlaku, maka bahan hukum primer yang digunakan adalah:

1. Undang-Undang 32 Tahun 2099 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara

3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik sosial

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria

15 Mukti Fajar Nur Dewata dkk, 2013, Dualisme Penelitian Hukum

(44)

43

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konsevasi Sunber Daya Alam Hayati

9. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan untuk mendukung bahan hukum primer, diantaranya berasal dari jurnal ilmiah, data yang diperoleh dari instansi atau lembaga, media massa serta buku-buku kepustakaan yang dijadikan referensi yang dapat menunjang penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

(45)

44

membantu proses ini yaitu: Ensiklopedia, Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia dan berbagai bahan yang dapat memberikan petunjuk serta penjelasan mengenai bahan hukum primer maupun sekunder.

D.Lokasi Penelitian

Dilakukan pengambilan data di perpustakaan, Kabag Pemerintahan Kabupaten Halmahera Tengah dan Perusahaan dan website yang terkait dengan konflik perkebunan antara masyarakat dan korporasi di Kabupetan Halmahera Tengah.

E.Teknik Pengumpulan Data

(46)

45

a. Metode interview yang digunakan yakni interview bebas terpimpin, yakni penelitian dalam menginterview bebas namun berpijak pada pedoman yang akan ditannyakan.

b. Studi peraturan perundang-undangan, penulis mempelajari peraturan perundang-undangan, selain juga mengutip dari teori-teori yang berhubungan dengan penelitian. 16

F. Analisis Data

Analisis data dilaksanakan secara diskriptif kualitatif, yaitu mengelompokan data dan menyeleksi data dari penelitian dengan bertitik tolak pada permasalahan kemudian hasilnya disusun secara sistimatis sehingga menjadi data yang konkrit. Implementasi penelitian deskriptif kualitatif dalam hal ini kami menggunakan beberapa pendekatan sehingga didapatkan satu simpulan yang objektif dan terukur.

(47)

46

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Resolusi Konflik

Secara singkat, pengertian resolusi konflik adalah suatu proses pemecahan masalah yang komperatif efektif di mana konflik adalah masalah bersama yang harus diselesaikan secara komperatif. Ia juga menyamakan proses destruktif resolusi konflik dengan proses yang kompetatif di mana pihak-pihak yang bertikai terlibat dalam kompetisi atau perjuangan untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, seringkali, hasil perjuangan adalah kerugian bagi kedua belah pihak. Lebih lanjut menunjukkan bahwa proses kooperatif-konstruktif resolusi konflik dipupuk oleh efek khas kerjasama.

(48)

47

sosial, aspirasi mereka, orientasi konflik mereka, norma-norma sosial, dan sebagainya. Implikasi penting dari kerjasama-kompetisi adalah bahwa orientasi kooperatif atau menang untuk menyelesaikan konflik sangat memfasilitasi resolusi yang konstruktif, sementara orientasi kompetitif atau menang-kalah menghalanginya. Lebih mudah untuk mengembangkan dan memilihara sikap menang jika anda mempunyai dukungan sosial untuknya. Dukungan sosial dapat berasal dari teman-teman, rekan kerja, pengusaha, media, atau komunikasi anda. 17

Implikasi paling penting kedua dari resolusi konflik berkaitan dengan proses-proses kooperatif yang terlibat dalam penyelesaian konflik yang konstruktif. Jantung proses ini adalah pembingkaian ulang konflik sebagai masalah bersama yang harus diselesaikan (atau dipecahkan) melalui upaya kerjasama bersama. Pembingkaian ulang membantu mengembangkan orientasi kooperatif konflik bahkan jika tujuan dari pihak-pihak yang berkonflik dilihat, pada awalnya konflik menang-kalah mendorong pihak-pihak untuk mencari prosedur yang adil untuk

17

(49)

48

menentukan siapa pemenangnya serta untuk membantu yang kalah mendapatkan mafaat melalui konpensasi atau cara lain. Melekat dalam pembingkaian adalah asumsi bahwa resolusi konflik apapun yang dicapai, ia dapat diterima masing-masing pihak dan dianggap adil oleh keduanya.

Penentuan langkah resolusi konflik ditentukan oleh pemahaman tentang konflik sosial. Secara teoretis konflik sosial dipahami dalam dua kutup. Pertama, yang mendudukkan konflik sosial sebagai sesuatu yang rasional, konstruktif, dan berfungsi secara sosial. Kedua, mendudukkannya sebagai sebuah gejala sosial yang irasional, patalogis, dan tidak berfungsi secara sosial (Dougherty dan Pfaltzgraff 1981). Dua pandangan ini menimbulkan pengutuban yang nyata dalam berbagai pendekatan teoretis dalam memahami konflik sosial. Sebagai misal, pendekatan klasik dan pendekatan behavioris (perilaku).

(50)

49

warga (community based) adalah pelibatan komunitas warga yang terlubat dalam konflik yang harus diberdayakan untuk menjadi aktor pertama dan utama dalam mengelola konflik yang mereka alami sendiri, baik konflik intra kelompok maupun konflik antara kelompok.

(51)

50

Dalam pengertian itu, konsep community based dalam resolusi konflik mengandaikan praksis resolusi konflik yang bertumpu upaya aktivitas semua social capital yang dimiliki masyarakat, juga sebagai strategi membangun ketahanan warga (capacity building) agar mereka dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka sendiri. Rumasan paling sederhana dari social capital.

(52)

51

dalam manajemen konflik, ketiga, kebesaran jiwa dari luar untuk mundur dari proses resolusi konflik jika 1)pekerjaannya sudah selesai atau 2) mereka telah menjadi sumber persoalan baru bagi para pihak yang bertikai. 18

Persoalan lain yang membutuhkan klarifikasi adalah model-model resolusi konflik. Di berbagai belahan dunia terdapat

ribuan konflik. Jika dikompilasi dan dibuat tipologi konflik untuk sekedar memudahkan analisis kita, mungkin kita dapat menemukan beberapa kelompok atau kategori konflik yang lebih mudah disentuh, seperti konflik industri, konflik agraria, konflik etnis, konflik politik, konflik agama, konflik ideologi, dan sebagainya. Namun, pada dasarnya semuanya memiliki kesamaan, yaitu adanya perbedaan kepentingan atau perbedaan tujuan (incompatibility of gools) pada masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik, dan masing-masing berusaha untuk mencapai tujuan dimaksud, namun terkadang disertai dengan upaya pihak yang satu untuk menyingkirkan pihak yang lain yang dianggap menjadi penghambat dalam mencapai tujuan.

18

Andi Muh. Darwis, 2012, Konflik Komunal Studi dan Rekonsiliasi

(53)

52

Konflik di tingkat akar rumput berjalan dengan logikanya sendiri. Dalam kebanyakan kasus, mereka yang datang dari luar sebagai fasilitator dalam resolusi konflik juga berjalan dengan logika mereka sendiri, kebanyakan bertindak secara textbooks atau sesuai dengan manual resolusi konflik yang dibuat oleh para ahli atau diadopsi dari model yang dibuat menurut pengalaman dibelahan bumi lain. para fasilitator perlu mengetahui banyak hal tentang masyarakat yang sedang terlibat dalam konflik. Untuk itu dibutuhkan kegiatan assessment sebagai bagian dari kegiatan conflict mapping untuk mengetahui situasi yang sebenanya. Tanpa peta konflik seorang fasilitator akan tersesat sendiri dan bakal menjadi sasaran empuk para pihak yang berkonflik.

(54)

53

Seringkali dijumpai banyak kasus bahwa sebuah pilihan solusi-tindakan rasional untuk mengatasi konflik sosial, tidaklah benar-benar mampu menghapus akar persoalan konflik secara tuntas dan menyeluruh.

Pruitt dan Rubin mengembangkan teori dasar strategi penyelesaian konflik yang disebut dengan dual concer model (model kepedulian rangkap dua). Model ini melacak pemilihan strategi berdasarkan kekuatan kepedulian relatif atas hasil diterima oleh diri sendiri dan hasil yang diterima oleh pihak lain.

a. Contending (bertanding), segala macam usaha untuk menyelesaikan konflik menurut kemampuan seseorang tanpa memperdulikan kepentingan pihak lain, pihak-pihak yang menerapkan strategi ini tetap mempertahankan aspirasinya.

(55)

54

mendapatkan cara untuk melakukan rekonsiliasi dengan aspirasi pihak lain.

c. Yielding (mengalah), pihak yang menerapkan strategi ini menurunkan aspirasinya sediri dan bersedia menerima kekurangan dari yang sebetulnya diinginkan. Memang menciptakan solusi, tetapi bukan solusi yang berkualitas tinggi.

d. Inaction (diam), tidak melakukan apa-apa. Strategi ini biasanya ditempuh untuk mencermati perkembangan lebih lanjut, merupakan tindakan temporer yang tetap membuka kemungkinan bagi upaya penyelesaian kontroversi.

(56)

55

sehingga pihak yang lai tidak akan mendapatkan apa yang diinginkannya dan diharapkan akan mengalah. 19

Dari kelima strategi yang diaturkan oleh Pruit dan Rubin, tidak pernah hanya menggunakan satu strategi, tetapi selalu mengkombinasikan dari beberapa strategi. Selain itu, dalam proses resolusi konflik juga diperlakukan kemampuan untuk mencari resolusi konflik secara konstruktif.

Kemampuan tersebut menurut Scennal diantaranya adalah kemampuan orientasi, kemampuan persepsi, atau menghargai perbedaan, kemampuan emosi atau kecerdasan emosi, kemampuan berkomunikasi. Dalam rangka untuk mengkhairi konflik yang sedang berlangsung, dilakukan upaya-upaya penyelesaian konflik untuk mencapai sebuah kesepakatan atau pemecahan masalah. Mengatasi atau menyelesaikan konflik bukan sesuatu yang sederhana. Cepat atau tidaknya suatu konflik dapat diselesaikan dipengaruhi oleh kesedian serta keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, dan

19 Prasetyono, D. S, 2007, Seni Kreatif dan Negosiasi Merancang Kiat-kiat

Sukses Lobi dan Negosiasi untuk segala kepentingan anda, (dari bisnis, karir,

(57)

56

juga berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut. Adapun upaya-upaya penyelesaian konflik yang relevan dengan topic penelitian diantaranya sebagai berikut:

1. Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti di tengah. Makna ini merujuk pada peran yang diemban oleh para pihak ketiga sebagai mediator dalam menangani dan menyelesaikan konflik antara pihak. Berada di tengah-tengah antara pihak yang berkonflik memiliki arti bahwa seseorang mediator dituntut untuk bersikap netral dan tidak berpihak. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil, sehingga menumbuhkan kepercayaan dari pihak-pihak yang berkonflik.

2. Negosiasi

(58)

57

musyawarah atau perundingan. Menurut June Starr, negosiasi adalah suatu proses struktur di mana pihak yang bersengketa berbicara sesama mereka mengenai persoalan yang diperselisihkan dalam rangka mencapai persetujuan atau kesepakatan bersama. Jadi negosiasi adalah proses atau upaya menggunakan informasi dan kekuatan untuk mempengaruhi tingka laku ke dalam satu jaringan yang penuh dengan tekanan.

3. Ajudikasi

(59)

58

B.Jenis-Jenis Penyelesaian Konflik Lingkungan

1. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Non Litigasi)

Disebutakan pada Pasal 31 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, yang dikenal sebagai mekanisme (Non-Litigasi) selenggarakan untuk mencapai kesepakatan bentuk dan besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu, guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela. Para pihak juga bebas untuk menentukan lembaga penyedia jasa yang membantu penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga penyedia jasa menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menggunakan bantuan albiter atau mediator atau pihak ketiga lainya. 20

20 Samsul Wahidin, 2014, Dimensi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan

(60)

59

Apabila para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri perundingan.

(61)

60

atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi atau melakukan tindakan tertentu.

Dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan pemindatanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan atau kegiatan dari suatu Badan Uaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum atau kewajbana Badan Usaha tersebut. Dalam konteks ini kaitannya dengan pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengedilan. Untuk bersarnya uang paksa diputusakan berdasarkan peraturan perundangan-undangan.

2. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Pengadilan (Litigasi)

(62)

61

(onrechtmatigedaad). Atas dasar ketentuan ini, masih sulit bagi korban untuk berhasil dalam gugatan lingkungan, sehingga kemungkinan kala perkara besar sekali.

Kaitan ini kesulitan besar yang dihadapi korban pencemaran sebagai gugatan yang akan menuntut haknya adalah:

a. Membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur kesalahan (Schuld aansprakelijheid), dan unsur hubungan kausal. Pasal 1365

BW mengandung asas tanggung gugat berdasarkan kesalahan (Schuld aansprakelijheid), yang dapat dipersamakan dengan “Liability based on fault” dalam sistem hukum Aglo- Amerika. Pembuktian unsur hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dengan kerugian penderitaan tidak mudah. Sangat sulit bagi penderita untuk menerangkan dan membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah, sehingga tidaklah pada tempatnya. 21

21

(63)

62

b. Masalah beban pembuktian (bewijslast atau burde of proof ) yang menurut Pasal 1865 BW atau Pasal 283 R.

Bg. Merupakan kewajiban penggugat. Penggugat secara umum berada pada posisi ekonomi lemah. Oleh karena secara praktis terasa tidak adil mewajibkan penderita yang memerlukan ganti kerugian untuk membuktikan kebenaran gugatannya. Menyedari kelemahan tersebut, hukum lingkungan keperdataan (privaatrcechtlijk miluerecht) mengenal asas tanggung gugat mutlak (strict

liability-risico aansprakelijkheid) yang diatur dalam Pasal

(64)

63

mempersoalkan kesalahan tergugat. Ukuran dampak besar dan penting tentu sangat saintifik dan membutuhkan pengaturan hukum yang cermat damai terjaminnya kepastian hukum. Tujuan penerapan asas tanggunggugat mutlak adalah: untuk memenuhi rasa keadilan, sejalan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam dan lingkungan, serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya, sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya. Hukum Lingkungan Keperdataan tidak saja mengenal sengketa lingkungan antara individu, tetapi juga atas nama kelompok masyarakat dengan kepentingan yang sama melalui gugatan kelompok, class action-actio popularis. 3. Bentuk Penyelesaian Sengketa Alternatif

(65)

64

a. Negosiasi

Merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk melakukan penyelesaian tanpa keterlibatan pihak ketiga yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi) maupun pihak ketiga yang berwenang mengambil keputusan (arbirtrase). Secara umum tekni negosiasi dapat di bagi menjadi 2 (dua), yakni, negosiasi yang kompetitif dan teknik negosiasi yang koomperatif.

Teknik negosiasi yang kompretitif seringkali diistilahkan teknik yang bersifat alot (tough) di mana unsur-unsur yang menjadi ciri seorang negosiator kopetitif adalah sebagai berikut:

1. Mengajukan permintaan awal yang tinggi pada awal negosiasi

2. Menjaga tuntutan agar tetep tinggi sepanjang proses negosiasi dilangsungkan

(66)

65

4. Secara psikologi perunding yang menggunakan teknik ini menganggap perunding lain sebagai musuh atau lawan 5. Seringkali menggunakan yang berlebihan, kasar,

menggunakan ancaman, dan melemparkan tuduhan-tuduhan untuk menciptakan ketegangan terhadap pihak lawan.

Teknik negosiasi yang kooperatif merupakan kebalikannya. Teknik ini menganggap pihak lawan (oposing party) bukan sebagai musuh, namun sebagai mitra kerja mencari common ground. Para pihak berkomunikasi untuk menjajagi kepentingan dan nilai-nilai bersama (shared interest and values) dengan menggunaka rasio dan akal sehat, sehingga penyelesaian dilakukan berdasarkan analisis objektif sebagai upaya membangun atmosfir yang positif dan saling percaya.

b. Konsiliasi

(67)

66

mempermudah proses penyelesaian dengan jalan di luar prosudur yang ditetapkan dengan memberikan imbalan dengan sejumlah uang kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses tersebut.

Pengertian konsiliasi adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam suasana (friendly). Syarat utama dalam menggunakan ini adalah bahwa sejak awal para pihak harus telah menyadari hak-hak dan kewajibannya, serta telah dapat memahami keperhatinan masing-masing mengenai masalah yang disengketakan.

c. Mediasi

(68)

67

pihak mencari seorang seperti mencari pengacara yang dapat diterima oleh semua pihak.

Seorang mediator pada prinsipnya akan membantu para pihak yang bersengketa untuk menyepakati suatu kesepakatan yang berorientasi ke depan sesuai kebutuhan dan memenuhi rasa keadilan. Mediator tidak memiliki kewenangan campur tangan untuk memutuskan dan menetukan hasil khair kesepakatan karena para pihak yang bersengketa itu sendiri yang harus melakukannya.

(69)

68

d. Arbitrase

Arbitrase merupakan mekanisme penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Namun, dibanding dengan ketiga mekanisme tersebut, pihak ketiga bertindak sebagai “hakim” yang diberi

kewenangan penuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Oleh karena itu ia berwenang mengambil keputusan (award) yang bersifat final dan mengikat (final and binding).

Dari berbagai macam bentuk ADR ini, maka keberadaan bentuk-bentuk itu sendiri dapat saja mengalami modifikasi-modifikasi model ini disesuiakan dengan kebutuhan situasi dan kondisi pada saat penyelesaian sengketa itu sendiri.

C. Konflik Dalam Perkebunan

(70)

69

diberikan izin di atas tanah negara sehingga tidak ada sangkut paut dengan hak masyarakat, meskipun terdapat lahan pekebunan masyarakat di atas wilayah konsesi perusahaan. Tetapi itu bukan merupakan status hak milik, konsekuensi ganti rugi lahan yang diberikan hanya pada tanaman yang termasuk dalam wilayah eksplorasi perusahaan.

Pola pemberian ganti rugi lahan ini, mengakibatkan konflik antara masyarakat dan korporasi tidak dapat dihindari, kerena terjadi perbedaan pandangan terhadap status tanah yang dikuasai oleh masyarakat sebelum adanya korporasi, disisi lain korporasi menganggap kontrak karya merupakan dasar penguasaan mutlak atas tanah. Posis pemerintah daerah pada kasus tersebut, justru lebuh cenderung melindungi korporasi dengan dalil pemujaan ekonomi daerah dan hak masyarakat diabaikan. 22

Tanah perkebunan warga digusur dengan alasan tanah Negara untuk dijadikan objek devisa Pendapatan Asli Daerah

22 Sumber, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Maluku

Utara, Forum Group Discusi dengan Masyarakat Adat Sawai, tanggal 11-12

(71)

70

(PAD). Akar konflik berawal dari pengambilalihan tanah yang tidak menghormati hak masyarakat. Selain itu, juga konflik dipicu pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) menimbulkan eskalasi konflik terbuka dimulai dari demonstrasi, konfrontasi, blokir akses jalan dengan menggunakan penanda simbol-simbol adat masyarakat setempat.

(72)

71

pembahasan lahan di Kabupupaten Halmahera Tengah, difasilitasi melalui berbagai lembaga seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara dan pertemuan dengan KOMNAS HAM pada 15 April 2013 di Jakarta.

Berdasarkan konflik perkebunan yang di uraikan di atas menujukkan bahwa pada konflik perkebunan yang berpola struktural juga pola horizontal. Hal ini disebabkan pemerintah bukan dalam rangka memfasilitasi tercapainya harga bagi semua pemegang hak, akan tetapi mendukung harga yang ditetapkan oleh pihak korporasi, maka terjadi perpecahan ditingkat masyarakat. Oleh karena itu, memperhatikan masyarakat banyak atau kepentingan umum dan penggunaan tanah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku dengan mempertimbangkan kemampuan fisik tanah itu sendiri. 23

Potensi konflik yang selalu terjadi saat ini juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah dengan dikeluarkanya,

23

(73)

72

kepres (keputusan Presiden) Nomor 41 Tahun 2004 Tentang perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berdada di kawasan hutan, PT. Weda Bay Nickel merupakan salah satu dari 13 pemegang Kontrak Karya (KK) yang mendapat izin untuk melakukan kegiatan di dalam kawasan hutan. Kawasan hutan yang dikuasai antara lain, hutan lindung seluas 16.004 h, hutan produksi terbatas seluas 456 h, hutan produksi tetap seluas 18.530 h. Selain itu juga ada Areal Penggunaan Lain (APL) yang kebanyakannya perkebunan dan pemukiman masyaraka masuk di wilayah konses PT. Weda Bay Nickel.

(74)

73

bagi mereka tidak sebanding dengan kerugian yang akan mereka alami di kemudian hari.

Kehilangan hak atas tanah berdampak pula pada perubahan budaya dan cara mereka dalam mengelola hidup. Dulu mereka bekerja sebagai petani, sekarang dipaksakan untuk menjadi buruh di perusahaan dengan bayaran yang kecil. Penguasaan tanah oleh perusahaan menyebabkan fungsi tanah tersebut berubah. Kehilahan tanah perkebunan adalah kehilangan sumber penghidupan, kesempatan kerja juga hilang, artinya kemiskinan akan selalu dekat dengan masyarakat.

(75)

74

keamanan perusahaan dan juga dengan aparat negara yang bertugas di wilayah tersebut.

Penempatan aparan negara (Brimob) di dalam kawasan perusahaan dimaksudakan untuk tidak ada aktifitas pihak lain termasuk masyarakat yang bisa mengganggu kegiatan pertambangan. Perusahaan merasa semakin kuat karena didukung oleh aparat tersebut. sementara pihak masyarakat yang memperkarakan perusahaan atas penguasaan tanah terus diintimidasi bahkan ada yang sampai ditetapkan sebagai terdakwa dan tersangka.

(76)

75

pihak perusahaan, yang diberikan kebebasan untuk melakukan kegiatan di kawasan hutan dan perkebunan warga, sementara masyarakat sebagai pemilik mendapat larangan.24

Konflik perkebunan antara masyarakat dan korporasi juga berdampak pada terjadinya, laju deforestasi alihfungsi kawasan hutan kegiatan pertambangan yang akan diperkirakan sangat tinggi. Perusahaan akan mengalihfunsikan hutan seluas 1.650 hektar yang dipergunakan sebagai lokasi pertambangan, perkantoran dan pabrik. Model kegiatan tambang yang menggunakan sistem tambang terbuka (Open Pit) akan menciptakan masalah lingkungan dikemudian hari. Perusahaan akan membutuhkan air dalam jumlah yang besar untuk kepentingan pengelolahan biji nekel. Sungai Kobe akan menjadi titik pengambilan air tersebut. Tentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Lokulama dan Kobe yang terikat erat dengan sungai tersebut. Ekosistem yang ada di sungai juga ikut terganggu. Pemukiman penduduk juga sangat dekat. Jarak lokasi pabrik dengan pemukiman penduduk kurang lebih 3 kilometer.

(77)

76

Tentu akan menimbulkan kebisingan yang menggangu masyarakat, belum lagi aktifitas mobil milik perusahaan yang melewati pemukiman penduduk akan menimbulkan debu di mana-mana. Dalam satu kesempatan wawancara dengan masyarakat di Desa Lelilef Sawai yang rumahnya berhadapan dengan jalan raya, meraka mengatakan “setiap hari mereka

menerima debu dari aktifitas lalulintas perusahaan, bahkan debu tersebut sampai masuk ke kamar tidur keluarga”.

(78)

77

altenatif bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam perolehan tanah dalam pelaksanaan izin lokasi.

Berdasarkan potensi konflik yang selalu terjadi saat ini dilakukannya pembebasan tanah, perlu dipikirkan cara perolehan tanah yang pada satu sisi memberikan kekuasaan kepada pihal lain (korporasi) untuk dapat memanfaatkannya dalam waktu tertentu melalui cara yang memungkinkan dengan mewujudkan penguatan akses dan posisi tawar masyarakat, yang akan membawa peluang yang lebih sehat dan wajar.25

Dalam konflik perkebunan antara masyarakat dan korporasi, salah satu akar konflik adalah tidak atau kurangnya dihargainya hak-hak masyarakat hukum adat disebabkan pengambilalihan tanah tanpa mempertimbangan sifat hubungan antara orang atau kelompok lainya yang sangat tergantung pada formulasi sosial yang ada.

Pendekatan di atas seyogiaya menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan perolehan tanah untuk kegiatan

25

(79)

78

(80)

79

BAB III

Usaha Pertambangan Oleh Masyarakat dan Korporasi A. Pengertian Pertambangan

Secara sedehana pertambangan dapat diberi pengertian, adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan penggalian ke dalam tanah (bumi) untuk mendapatkan sesuatu yang berupa hasil tambang (mineral, gas bumi, minyak dan batu bara). Adapun pengertian pertambangan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan adalah sebagaian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, dan penambangan, pengelolahan, dan pemurnian, pengangkutan, dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.26

Pengertian tersebut dalam arti luas karena meliputi berbagai kegiatan yang ruang lingkupnya dapat dilakukan sebelum

26

Asril, Dampak Pertambangan Galian C Terhadap Kehidupan

Masyarakat Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar, Jurnal

(81)

80

penabangan, proses penabangan, dan sesudah proses penabangan. Berhubung dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, dalam kaitanya dengan mineral dan batu bara, maka yang disebut dengan pertambangan mineral, adalah pertambangan kumpulan yang berupa biji atau batuan, diluar panas bumi. Pertambangan umum merupakan pertambangan bahan galian diluar minyak gas dan bumi. Pertambangan umum digolongkan menjadi lima golongan yaitu:

a. Pertambangan mineral radiokatif b. Pertambangan mineral logam c. Pertambangan mineral non logam

d. Pertambangan batu bara, gambut, dan bitumen padat e. Pertambangan panas bumi

(82)

81

1. Manfaat, Keadilan dan Keseimbangan

Yang dimaksud dengan asas manfaat dalam pertambangan adalah asas yang menunjukkan bahwa dalam melakukan penabangan harus mampu memberikan keuntungan dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Kemudian asas keadilan adalah dalam melakukan penabangan harus mampu memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara proporsional bagi seluruh warga negara tanpa ada yang dikecualikan. Sedangkan asas keseimbangan adalah dalam melakukan kegiatan penabangan wajib memperhatikan bidang-bidang lain terutama yang berkaitan langsung dengan dampaknya.

2. Keberpihakan Kepada Kepentingan Negara

(83)

82

modal asing, maupun perencanaan asing, tetapi kegiatan dan hasilnya untuk kepentingan nasional.

3. Partisipatif, Transparansi, dan Akuntabilitas

Asas partisipatif adalah asas yang menghendaki bahwa dalam melakukan kegiatan pertambangan dibutuhkan peran serta masyarakat untuk menyusuk kebijakan, pengelolaan, pemantauan, dan pengawasan terhadap pelaksanaanya. Asas transparansi adalah keterbuakaan dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan diharapkan masyarakat luas dapat memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur. Sebaliknya masyarakat dapat memberikan bahan masukan kepada pemerintah. Asas akuntabilitas adalah kegiatan pertambangan dilakukan dengan cara-cara yang benar sehingga dapat dipertanggung jawabkan kepada negara dan masyarakat. 27

4. Asas Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan

Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah asas yang secara terencana

(84)

83

mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batu bara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.

B.Jenis-Jenis Pertambangan

Pertambangan adalah suatu kegiatan pengambilan endapan galian berharga dan bernilai ekonomis dari dalam kulit bumi, baik secara mekanis maupun manual, pada permukaan bumi, dibawah permukaan bumi, pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penabangan (pengendalian, pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, panas bumi, barubara, migas). Berikut ini adalah beberapa jeni-jenis pertambangan yang ada di Indonesia.

1. Minyak Bumi

(85)

84

Minyak mentah yang bentuknya seperti lumpur cair harus disuling terlebih dahulu sebelum dapat digunakan.

Pengeboran minyak di laut dapat dilakukan di daerah landasan benua dan disebut pengoboran lepas pantai. Anjungan pengoboran harus dibangun diatas permukaan laut. Di atas anjungan ini pompa-pompa bekerja siang malam. Minyak mentah ditampung di tangki-tanki terapung, kemudia diangkut dengan kapal.

2. Batu Bara

(86)

85

Proses bio kimia adalah terbentuknya batu bara yang dilakukan oleh bakteri aneorop dan sisa-sisa tumbuh-tumbuhan yang menjadi keras karena beratnya sendiri. Jadi tidak ada kenaikan suhu dan tekanan. Proses ini mengakibatkan tumbuh-tumbuhan berubah menjadi gambut.28

tidak ada kenaikan suhu dan tekanan. Proses ini mengakibatkan tumbuh-tumbuhan berubah menjadi gambut.

Proses metamerfosis adalah suatu proses yang terjadi karena pengaruh tekanan dan suhu yang sangat tinggi dan berlangsung dalam waktu yang lama. Pada proses ini sudah tidak ada bakteri lagi.

3. Gas Alam

Indonesia mempunyai banyak tempat yang mengandung banyak minyak bumi dan gas alam. Gas Alam merupakan campuran beberapa (CH4 atau C2H6), propan, (C3H6) butan (C4H10) yang digunakan sebagai bahan bakar. Ada 2 macam Gas

28

(87)

86

Alam cair yang diperdagangkan, yaitu LNG dan LPG. LNG (liquefied Natural) atau gas alam cair yang terdiri atas gas mentah dan gas etan, membutuhkan suhu sangat dingin supaya dapat disimpan sebagai cairan. Gas Alam cair diproduksi di Arun dan Badak.

4. Emas

Emas merupakan logam mulia yang nilainya sangat mahal. Bahkan emas pada zaman sekarang dijadikan lembaga kekayaan terbesar melebihi uang. Emas dapat diolah menjadi berbagai macam bentuk. Untuk emas yang khusus digunakan dalam menyimpan kekayaan, biasanya dibuat dalam bentuk bantangan. Sementara emas yang dipakai manusia adalah yang diolah dalam bentuk perhiasan seperti kalung, gelang, cincin, dan senagainya.

5. Timah

(88)

87

makanan, pelapis agar tidak berkarat dan dalam bentuk lembaran timah digunakan sebagai pembungkus permen, coklat hingga rokok. Dewasa ini timah merupakan bahan terpenting yang digunakan untuk memproduksi alat-alat elektronik seperti smartphone, computer, TV, dan sebagainya.

Timah terdapat pada batuan-batuan granit dan masih berbentuk serpihan kecil. Dalam pengolahannya timah akan dipisahkan dari batuan granit untuk mendapatkan konsentrasi tinggi hingga akhirnya diolah menjadi biji timah dan timah produksi yang dipakai dalam skala yang lebih besar.

C.Usaha Pertambangan Oleh Masyarakat

Pertambangan dapat kita baca dalam Pasal 1 huruf n Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Pe

Gambar

Tabel. 1 Sumber, Informasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

Referensi

Dokumen terkait

Agar siswa dapat berperan aktif pada proses pembelajaran, maka guru harus melakukan inovasi dalam pembelajaran supaya siswa bisa lebih mencintai membaca

terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga, dapat mengakibatkan gangguan yang serius terhadap penduduk & lingkungan, menimbulkan kematian dan gangguan kesehatan, kerusakan

Oleh karena itu, dengan melakukan penelitian ini, penulis memiliki ide untuk menyajikan informasi yang ditujukan bagi mahasiswa yang masih dalam tahap pencarian tugas akhir apa

Ekstraksi minyak kelapa sawit dilakukan dengan beberapa tahap yaitu sebagai berikut: Labu alas bulat untuk sokletasi sebagai penampung minyak sawit hasil ekstrak

Pada penelitian ini, akan digunakan metode ultrasonik- milling dalam proses pembuatan nanopartikel silika.. Menurut Sidqi (2011),

Berdasarkan hasil pengolahan data Brief Survey pada aktivitas di 9 stasiun kerja diperoleh hasil bahwa aktivitas yang memerlukan perbaikan adalah aktivitas smok,

Bagi Penyedia Jasa atau Pemilik Kapal yang sedang menjalani pemeriksaan oleh instansi yang terkait, antara lain pihak kepolisian, TNI, Bea Cukai, Perpajakan, atas dugaan

Langkah akhir analisis ini adalah menarik kesimpulan sementara yang berhubungan dengan representasi prinsip-prinsip kesantunan tuturan. Agar simpulan memiliki