• Tidak ada hasil yang ditemukan

Induksi Poliploidi Phalaenopsis amabilis (L.) Blume dan Phalaenopsis amboinensis J. J. Smith dengan Kolkisin dalam Kultur In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Induksi Poliploidi Phalaenopsis amabilis (L.) Blume dan Phalaenopsis amboinensis J. J. Smith dengan Kolkisin dalam Kultur In Vitro"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: dsukma70@yahoo.com

Induksi Poliploidi

Phalaenopsis amabilis

(L.) Blume dan

Phalaenopsis amboinensis

J. J. Smith dengan Kolkisin dalam Kultur

In Vitro

Polyploid Induction of Phalaenopsis amabilis (L.) Blume and Phalaenopsis amboinensis

J. J. Smith by Colchicine in In Vitro Culture

Eka Martha Della Rahayu

1

, Dewi Sukma

2*

, Muhamad Syukur

2

, dan Irawati

1

1

Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor - LIPI, Jl. Ir. H. Juanda No. 13, Bogor, Indonesia

2

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

(Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 10 April 2015/Disetujui 2 November 2015

ABSTRACT

Phalaenopsis amabilis (L.) Blume and Phalaenopsis amboinensis J.J. Smith (diploid) are important in Phalaenopsis

breeding. Polyploid species are needed for crossing with polyploid hybrid varities of Phalaenopsis. The objectives of this

study were to obtain effective concentration of colchicine to induce polyploidy and to produce polyploid plantlets of P.

amabilis and P. amboinensis. Experiment was arranged in randomized complete block design with one factor, the colchicine

concentration. Protocorms of P. amabilis and P. amboinensis were immersed in half strength of Murashige-Skoog (1/2 MS)

liquid media added with colchicine (0; 0.5; 5; 25; 50, and 75 mg L

-1

) for 10 days. The results showed that higher concentration

of colchicine on both species did not have significant effect on the survival of the plantlets at 24 weeks after treatment. The

average number of leaves and roots of colchicine treated planlets from both species were less than the control plantlets.

Immersing protocorm in colchicine at concentration of 50 mg L

-1

for 10 days was effective in inducing polyploid plantlets of

P. amabilis and P. amboinensis with the frequency of 33.3% and 40%, respectively. Polyploid plantlet has larger stomata size

and lower stomata density than the diploid ones.

Keywords: chromosome number, colchicine, polyploid, protocorm, stomatal density, stomatal size

ABSTRAK

Phalaenopsis amabilis (L.) Blume dan Phalaenopsis amboinensis J.J. Smith (diploid) banyak digunakan sebagai tetua

dalam pemuliaan Phalaenopsis. Spesies dengan karakter poliploid dibutuhkan untuk persilangan dengan varietas hibrid yang

bersifat poliploid. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh konsentrasi kolkisin yang efektif untuk induksi poliploidi

serta untuk memperoleh planlet P. amabilis dan P. amboinensis poliploid. Percobaan disusun dalam rancangan kelompok

lengkap teracak dengan satu faktor, yaitu konsentrasi kolkisin. Protokorm P. amabilis dan P. amboinensis direndam dalam

media cair Murashige-Skoog setengah konsentrasi (1/2 MS) dengan penambahan kolkisin (0; 0.5; 5;25;50, dan 75 mg L

-1

)

selama 10 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi kolkisin yang semakin tinggi pada kedua jenis anggrek

tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap persentase hidup planlet pada 24 minggu setelah perlakuan (24 MSP).

Rata-rata jumlah daun dan akar planlet yang berasal dari protokorm yang diberi perlakuan kolkisin lebih rendah dibandingkan

planlet kontrol. Perendaman protokorm dalam larutan kolkisin 50 mg L

-1

selama 10 hari efektif untuk menginduksi planlet

P. amabilis poliploid dengan keberhasilan 33.3% dan P. amboinensis poliploid dengan keberhasilan 40%. Planlet poliploid

memiliki ukuran stomata lebih besar dan kerapatan stomata lebih rendah dibandingkan dengan planlet diploid.

Kata kunci: jumlah kromosom, kerapatan stomata, kolkisin, poliploid, protokorm, ukuran stomata

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki 25 spesies anggrek bulan

dengan 10 spesies di antaranya adalah endemik Indonesia

(Christenson, 2001). Anggrek bulan memiliki berbagai

variasi bentuk, warna, dan ukuran bunga. Oleh karena itu,

anggrek bulan menjadi salah satu komoditi hias yang sangat

popular. Selain itu, anggrek bulan juga berpotensi sebagai

induk dalam pemuliaan untuk menghasilkan berbagai

anggrek bulan hibirida baru (Tang dan Chen, 2007).

Phalaenopsis amabilis

(L.) Blume dan

Phalaenopsis

amboinensis

J.J. Smith banyak digunakan sebagai tetua

(2)

220

Eka Martha Della Rahayu, Dewi Sukma, M. Syukur, dan Irawati

mewariskan sifat bunga berukuran besar dan berwarna putih

sedangkan

P. amboinensis

berpotensi untuk menghasilkan

warna kuning, bintik coklat, tangkai bunga tegak, serta

aroma yang khas (Tang dan Chen, 2007).

Kromosom dasar dari spesies-spesies anggrek

Phalaenopsis

adalah diploid (2n=2x=38) (Lin

et al

.,

2001), sementara sebagian besar varietas komersial atau

hibrida adalah tetraploid (Chen

et al.,

2011). Persilangan

antara spesies dengan hibrida tetraploid menunjukkan

adanya hambatan dalam pembentukan biji, terutama jika

tanaman tetraploid digunakan sebagai donor polen dan

tanaman diploid sebagai betina (Tang dan Chen, 2007).

Oleh karena itu, dalam upaya melakukan persilangan antara

spesies diploid dengan hibrida tetraploid, diperlukan upaya

peningkatan ploidi dari spesies diploid.

Tang dan Chen (2007) menyatakan bahwa klon

superior dari

Phalaenopsis

Taisuco

berbunga putih besar

pertama kali dikembangkan melalui melalui perbaikan

genetik

Phalaenopsis

Doris

melalui penggandaan kromosom,

sehingga dihasilkan kapasitas genomik yang lebih besar

untuk mengakumulasi lebih banyak alel. Tanaman tetraploid

yang dihasilkan selanjutnya disilangbalik atau disilang

dengan kerabatnya untuk mengakumulasikan alel-alel

aditif untuk ukuran bunga dan karakter lainnya sehingga

telah dihasilkan lebih dari 30

Phalaenopsis

Taisuco

unggul. Poliploidi dapat meningkatkan keragaman genetik,

menghasilkan ukuran bunga yang lebih besar, bentuk bunga

yang lebih bulat dan warna bunga yang lebih pekat (Miguel

dan Leonhardt, 2011).

Pemuliaan tanaman dengan induksi mutasi merupakan

metode alternatif untuk pemuliaan konvensional, dapat

dilakukan dengan mutagen fisik dan kimia (van Harten

1998). Induksi mutasi dengan mutagen fisik iradiasi sinar

gamma pada tanaman hias antara lain telah dilaporkan pada

krisan oleh Aisyah

et al.

(2009) dan anggrek

Spathoglotis

plicata

oleh

Romeida

et al

. (2012). Mutasi kimia dengan

tujuan menghasilkan tanaman poliploid, yaitu tanaman

yang memiliki tiga set kromosom atau lebih, umumnya

menggunakan kolkisin (Dhooghe

et al

., 2011).

Kolkisin telah digunakan secara

in vitro

untuk

menghasilkan tanaman poliploid pada berbagai spesies

anggrek seperti

Phalaenopsis

(Griesbach, 1981 dan 1985),

Cattleya intermedia

Lindl. (Silva

et al

., 2000),

Dendrobium

secundum

(Blume) Lindl. (Atichart dan Bunnag, 2007),

Dendrobium scabrilingue

L. (Sarathum

et al

., 2010), dan

Rhyncostylis gigantea

var.

rubrum

(Kerdsuwan dan

Te-chato, 2012).

Griesbach (1981) melakukan induksi poliploidi pada

protokorm

Phalaenopsis equestris, Phalaneopsis fasciata,

dan

Phalaenopsis

Betty Hausermann menggunakan 50

mg L

-1

kolkisin serta perendaman selama 10 hari. Penelitian

tersebut menghasilkan 50% protokorm yang kemudian

berkembang menjadi tanaman tetraploid. Penambahan 0.5

mg L

-1

kolkisin ke dalam media kultur dapat menghasilkan

Phalaenopsis

Golden Sands ‘Canary’ heksaploid (Griesbach,

1985). Perendaman protokorm

D. secundum

dalam kolkisin

500 mg L

-1

selama 1 hari menghasilkan tanaman poliploid

tertinggi (Atichart dan Bunnag, 2007). Planlet

D. scabrilingue

tetraploid dihasilkan dari perendaman protokorm dalam

kolkisin 750 mg L

-1

selama 14 hari (Sarathum

et al.

,

2010). Silva

et al

. (2000) melaporkan bahwa perendaman

protokorm

C. intermedia

dalam kolkisin 500 dan 1,000 mg

L

-1

selama 4 hari dapat menghasilkan tanaman tetraploid.

Tanaman

R. gigantea

var.

rubrum

tetraploid dihasilkan dari

perendaman protokorm dalam kolkisin 2,000 mg L

-1

selama

3 hari.

Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk pemuliaan

P. amabilis

dan

P. amboinensis

adalah dengan melakukan

induksi poliploidi secara

in vitro

. Konsentrasi kolkisin

optimum untuk induksi poliploidi kedua spesies anggrek

tersebut belum diketahui. Tujuan penelitian ini adalah

mendapatkan konsentrasi kolkisin efektif (sekurangnya 30%

planlet poliploid) dalam induksi poliploidi pada protokorm

P. amabilis

dan

P. amboinensis.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur

Jaringan dan Laboratorium Treub Pusat Konservasi

Tumbuhan Kebun Raya Bogor - Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (PKT KRB-LIPI) sejak bulan November 2012

sampai dengan Oktober 2013. Rancangan percobaan adalah

rancangan kelompok lengkap teracak dengan satu faktor,

yaitu konsentrasi kolkisin. Konsentrasi kolkisin yang

diujikan adalah 0; 0.5; 5; 25; 50 dan 75 mg L

-1

. Larutan

kolkisin sesuai dengan perlakuan yang telah disterilisasi

dengan

millipore filter

0.2 μm, dimasukkan ke dalam

media cair Murashige-Skoog setengah konsentrasi (1/2MS)

steril dengan volume total untuk setiap perlakuan adalah

25 mL. Protokorm

P. amabilis

dan

P. amboinensis

yang

berumur 10 bulan dari semai biji, direndam dalam larutan

kolkisin selama 10 hari dalam erlenmeyer dan diletakkan

pada

shaker

dengan kecepatan rotasi 50 rpm. Setelah

perendaman, protokorm dibilas tiga kali dengan akuades

steril lalu disubkultur pada media pemulihan yaitu media1/

2MS yang ditambahkan 30 g L

-1

gula, 2.02 g L

-1

gelrite, 0.3

mg L

-1

NAA, 2 g L

-1

arang aktif, dan 2 g L

-1

pepton selama

8 minggu setelah perlakuan (MSP). Selanjutnya protokorm

disubkultur pada media pembesaran, yaitu media 1/2MS

yang ditambahkan 30 g L

-1

gula, 2.02 g L

-1

gelrite, 100

g L

-1

pisang ambon masak yang dihaluskan dengan

blender

dan 2 g L

-1

arang aktif. Protokorm diinkubasi dalam

ruang kultur pada suhu 23-25

o

C dengan fotoperiodisitas 12

jam terang dan 12 jam gelap.

Setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali. Satu

ulangan terdiri atas tiga protokorm yang ditanam dalam satu

botol kultur. Peubah yang diamati adalah persentase hidup,

jumlah daun, akar, dan

protocorm like body

(plb) selama

24 MSP. Setelah 24 MSP, berdasarkan pengamatan visual

morfologi, planlet dengan morfologi abnormal (daun tebal

dan planlet pendek) dipilih untuk dilakukan analisis stomata

dan kromosom.

Analisis stomata dilakukan dengan metode Gantait

et al.

(2011) yang dimodifikasi. Daun dari internodus

teratas yang telah membuka sempurna diambil di dalam

Laminar Air Flow Cabinet

(LAFC). Permukaan atas daun

dikerik dengan pisau silet di luar LAF, sampai tersisa

lapisan epidermisbawah. Lapisan epidermis dipotong, lalu

(3)

diletakkan di atas kaca objek. Larutan gliserin diteteskan di

atas potongan epidermis, lalu ditutup dengan kaca penutup.

Tepi kaca penutup dilapisi cat kuku bening dan preparat

diamati di bawah mikroskop. Pengamatan kerapatan

stomata dilakukan dengan mikroskop OPTIKA M-699 pada

perbesaran 100x, sedangkan pengamatan ukuran stomata

dengan perbesaran 400x. Pengamatan kerapatan stomata

dilakukan pada sepuluh bidang pandang yang dipilih secara

acak, masing-masing seluas 3.79 mm

2

. Sepuluh stomata

lalu dipilih secara acak untuk diukur panjang dan lebarnya

menggunakan piranti lunak Optika Vision Lite 2.1.

Analisis kromosom dilakukan menggunakan metode

Manton (1950) yang dimodifikasi. Ujung akaraktif dipotong

sekitar 1 cm, lalu difiksasi dalam larutan hidroksiquinolin

selama 24 jam pada suhu 4

o

C. Akar lalu dimasukkan ke

dalam larutan asam asetat 45% selama 10 menit, selanjutnya

akar dipindahkan ke dalam larutan asam asetat 45% : HCl

(3:1), sambil dipanaskan dalam penangas air dengan suhu

60˚C selama 3 menit. Potongan akar lalu diletakkan pada

gelas arloji. Akar kemudian dipindahkan pada gelas preparat.

Bagian ujung akar dipotong 1-2 mm, lalu diteteskan orcein

secukupnya kemudian pasang kaca penutup. Selanjutnya

preparat diketuk-ketuk dan dipanaskan sekitar 5 detik.

Preparat lalu dibiarkan dingin kemudian ditekan halus dan

dipanaskan lagi sekitar 5 detik. Tepi kaca penutup diberi cat

kuku bening dan preparat siap untuk diamati. Pengamatan

kromosom dilakukan dengan menggunakan mikroskop

OLYMPUS U-TVO.5XC-35H 12344 pada perbesaran

1000x pada tiga sel dari setiap preparat yang dianalisis.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis

ragam. Apabila terdapat data dengan keragaman tinggi

dan ragam tidak homogen maka dilakukan transformasi

menggunakan rumus . Apabila dari hasil analisis ragam

terdapat pengaruh nyata dari perlakuan maka dilakukan uji

lanjut dengan

Duncan Multiple Range Test

(DMRT) pada

taraf nyata 5% untuk mengetahui pengaruh beda antar

perlakuan. Penghitungan jumlah kromosom menggunakan

Microsoft Office Excel serta dihitung rata-rata dan standar

deviasinya. Untuk mengetahui adanya perbedaan antara

ukuran dan kerapatan stomata planlet diploid serta poliploid

digunakan uji-t pada taraf nyata 1%. Pengolahan data

menggunakan program SAS 9.1.3 Portable.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Induksi poliploidi pada protokorm

P. amabilis

dan

P. amboinensis

menggunakan kolkisin pada konsentrasi

dan lama perendaman yang diujikan tidak berpengaruh

nyata terhadap persentase hidup dan rata-rata jumlah plb,

namun berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah daun

dan akar pada 24 MSP (Tabel 1). Persentase hidup kedua

spesies anggrek tersebut berkisar dari 80-100% (Tabel 1).

Persentase hidup protokorm setelah perlakuan kolkisin

pada kedua spesies yang relatif tinggi menunjukkan bahwa

konsentrasi yang diujikan tidak mematikan sel atau jaringan

pada protokorm.

Protokorm dapat tumbuh menghasilkan

protocorm

like body

(plb) dan berkembang menjadi planlet dalam

24 MSP. Jumlah daun dan akar pada planlet dari kedua

spesies anggrek yang diberi perlakuan kolkisin tampak lebih

rendah daripada kontrol (Tabel 1). Keragaaan planlet

P.

amabilis

dan

P. amboinensis

yang dihasilkan dari protokorm

yang diberi perlakuan kolkisin menunjukkan morfologi yang

abnormal, terlihat dari daun baru yang tumbuh menebal dan

planlet menjadi pendek atau roset. Persentase planlet yang

menunjukkan morfologi daun menebal sebesar 46-84%

√𝑥𝑥 + 1

Spesies

Konsentrasi kolkisin

(mg L

-1

)

Persentase hidup

(%)

jumlah daun

Rata-rata

jumlah akar

Rata-rata

jumlah plb

Rata-rata

P. amabilis

0.0

100.0

3.6(2.1)a

3.1(2.0)a

7.3(2.7)

0.5

100.0

1.5(1.6)b

1.1(1.4)b

7.3(2.8)

5.0

86.8

1.7(1.6)b

1.3(1.5)b

9.1(3.1)

25.0

86.8

1.8(1.7)b

1.5(1.6)b

3.8(2.2)

50.0

93.4

1.8(1.7)b

1.1(1.4)b

6.5(2.6)

75.0

86.8

1.5(1.6)b

1.2(1.5)b

3.4(2.0)

P. amboinensis

0.0

100.0

3.1a

2.4a

1.9(1.7)ab

0.5

100.0

2.0b

1.3bc

0.9(1.3)b

5.0

86.8

1.4b

0.9c

2.9(1.8)ab

25.0

93.4

2.3ab

1.6b

0.5(1.2)b

50.0

80.0

2.3ab

1.6b

4.2(2.2)a

75.0

93.4

2.1b

1.9ab

1.6(1.5)ab

Tabel 1. Pengaruh kolkisin terhadap persentase hidup dan pertumbuhan protokorm

Phalaenopsis amabilis

dan

Phalaenopsis

amboinensis

pada 24 MSP

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing spesies menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Angka di dalam tanda kurung adalah hasil transformasi menggunakan rumus √𝑥𝑥 + 1

(4)

222

Eka Martha Della Rahayu, Dewi Sukma, M. Syukur, dan Irawati

pada

P. amabilis

dan 26-57% pada

P. amboinensis

(Tabel

2). Semakin tinggi konsentrasi kolkisin yang diujikan,

persentase planlet dengan daun menebal juga semakin

tinggi.

Pertumbuhan yang lambat dan morfologi abnormal

merupakan gejala yang umum terjadi setelah perlakuan

kolkisin pada tanaman. Griesbach (1981) menemukan

bahwa pertumbuhan

Phalaenopsis

yang diberi perlakuan

kolkisin lebih lambat daripada planlet kontrol. Pertumbuhan

yang lebih lambat tersebut diduga disebabkan oleh

penetrasi dari kolkisin ke dalam lapisan sel apikal sehingga

mempengaruhi pembelahan sel (Thao

et al

., 2003;

Sarathum

et al

., 2010; Gantait

et al.

, 2011). Morfologi

yang abnormal juga dilaporkan oleh Zeng

et al.

(2006),

dimana kolkisin dapat menimbulkan efek samping, yaitu

morfologi abnormal seperti penebalan daun selama proses

mutagenesis. Penebalan daun tanaman tetraploid ditemukan

pada

Caladium

‘Tapestry’ (Cai

et al

., 2015) dan

Thymus

persicus

(Tavan

et al.,

2015).

Planlet

P. amabilis

dan

P. amboinensis

yang memiliki

daun baru yang menebal, berwarna lebih hijau, serta planlet

berukuran pendek diduga bersifat poliploid. Jaringan

poliploid diduga mengandung lebih banyak klorofil

sehingga warna daun terlihat lebih hijau. Kandungan klorofil

yang tinggi terdapat pada tanaman

Paulownia tomentosa

(Thunb.) tetraploid (Tang

et al

., 2010) dan semangka

poliploid (Pradeepkumar, 2011). Analisis stomata juga

merupakan merupakan salah satu cara untuk seleksi awal

tanaman poliploid dan untuk mengurangi ukuran populasi

yang dipertahankan setelah tahap kultur

in vitro

(Silva

et

al.,

2000; Miguel dan Leonhardt, 2011). Chen

et al.

(2009)

serta Miguel dan Leonhardt (2011) telah menggunakan

analisis stomata untuk menentukan tingkat ploidi pada

anggrek

Cymbidium

,

Dendrobium

,

Epidendrum

,

Odontioda

dan

Phalaenopsis

. Namun cara yang paling baik untuk

Spesies

Konsentrasi kolkisin

(mg L

-1

)

dengan daun tebal (%)

Persentase planlet

x

Persentase planlet poliploid

(%)

y

P. amabilis

0.0

0.0 (0/15)

0.0 (0/0)

0.5

46.7 (7/15)

0.0 (0/7)

5.0

53.9 (7/13)

0.0 (0/7)

25.0

61.5 (8/13)

12.5 (1/8)

50.0

42.9 (6/14)

33.3 (2/6)

75.0

84.6 (11/13)

18.2 (2/11)

P. amboinensis

0.0

0.0 (0/15)

0.0 (0/0)

0.5

26.7 (4/15)

0.0 (0/4)

5.0

30.8 (4/13)

0.0 (0/4)

25.0

35.7 (5/14)

0.0 (0/5)

50.0

41.7 (5/12)

40.0 (2/5)

75.0

57.1 (8/14)

25.0 (2/8)

Tabel 2. Persentase planlet

Phalaenopsis amabilis

dan

Phalaenopsis amboinensis

dengan daun tebal dan planlet poliploid

Keterangan: xJumlah planlet dengan daun tebal/jumlah planlet yang hidup pada 24 MSP yJumlah planlet poliploid/jumlah planlet dengan

daun tebal

memastikan tingkat ploidi tanaman hasil perlakuan kolkisin

adalah dengan analisis jumlah kromosom.

Hasil analisis stomata dari planlet yang diduga

poliploid berdasarkan morfologi tanaman disajikan pada

Tabel 3 dan morfologi serta kerapatan stomata disajikan

pada Gambar 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

perlakuan kolkisin 50 dan 75 mg L

-1

berpengaruh nyata

terhadap panjang dan kerapatan stomata

P. amabilis

dan

P. amboinensis

(Tabel 3). Kedua perlakuan tersebut

menghasilkan planlet

P. amabilis

dan

P. amboinensis

yang

memiliki stomata lebih panjang dari kontrol. Menurut

Miguel dan Leonhardt (2011), tanaman dengan panjang

stomata lebih besar 1.25x dari panjang stomata tanaman

kontrol diduga sebagai tanaman poliploid. Berdasarkan hal

tersebut diduga perlakuan kolkisin 50 dan 75 mg L

-1

dapat

menginduksi terbentuknya tanaman poliploid untuk kedua

spesies. Berdasarkan hasil analisis kromosom pada planlet

P. amabilis

dan

P. amboinensis

, ditemukan beberapa planlet

dengan sel yang poliploid seperti terlihat pada Tabel 2 dan

Gambar 2.

Phalaenopsis amabilis

dan

P. amboinensis

memiliki

jumlah kromosom yang sama, yaitu 2n=2x=38 (Kao

et al.

2007). Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa hasil pengamatan

morfologi berbeda dengan hasil analisis kromosom. Planlet

dengan daun tebal yang diduga poliploid ternyata tidak

semuanya terbukti poliploid setelah dilakukan analisis

kromosom. Hal yang sama dilaporkan Zeng

et al.

(2006)

pada

Citrus

yang diberi perlakuan kolkisin, awalnya 50%

sel menjadi tetraploid, namun satu bulan setelah perlakuan

kolkisin, hanya 16.7% sel yang tetap tetraploid. Hal tersebut

dapat disebabkan oleh sebagian besar sel yang diidentifikasi

sebagai tetraploid setelah perlakuan kolkisin mengalami

kematian dalam kultur

in vitro

atau sel-sel tetraploid

menunjukkan kemampuan pertumbuhan yang lebih rendah

jika dibandingkan sel-sel diploid.

(5)

223

Induksi Poliploidi Phalaenopsis amabilis (L.)...

B

D

C

A

F

E

H

G

Spesies

Kolkisin

(mg L

-1

)

Panjang stomata

(μm)

Lebar stomata

(μm)

(jumlah/3.79 mm

Kerapatan stomata

2

)

P. amabilis

0.0

30.2b

30.3ab

9.4a

0.5

29.8b

29.2b

10.1a

5.0

30.2b

29.0b

9.0a

25.0

31.4b

31.2ab

9.0a

50.0

36.1a

32.6a

6.1b

75.0

36.5a

29.6b

5.7b

P. amboinensis

0.0

26.3bc

26.3bc

10.5a

0.5

27.0b

26.5bc

8.8b

5.0

24.7c

23.8d

10.0a

25.0

24.7c

24.6cd

9.4ab

50.0

31.3a

29.1a

6.0c

75.0

30.7a

26.8b

6.6c

Tabel 3. Pengaruh perendaman protokorm dalam larutan kolkisin terhadap ukuran dan kerapatan stomata planlet

Phalae-nopsis amabilis

dan

Phalaenopsis amboinensis

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing spesies menunjukkan hasil yang tidak ber-beda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Gambar 1. Ukuran dan kerapatan stomata Phalaenopsis amabilis dan Phalaenopsis amboinensis setelah perendaman protokorm dalam larutan kolkisin. Phalaenopsis amabilis diploid (A) dan poliploid (B) serta P. amboinensis diploid (C), dan poliploid (D) dengan perbesaran 400x, bar = 30 μm. Kerapatan stomata P. amabilis diploid (E), poliploid (F) serta P. amboinensis diploid (G), dan poliploid (H) dengan perbesaran 100x, bar = 100 μm

(6)

224

Eka Martha Della Rahayu, Dewi Sukma, M. Syukur, dan Irawati

Perendaman protokorm dalam larutan kolkisin

50 mg L

-1

selama 10 hari efektif untuk menginduksi

pembentukan planlet

P. amabilis

poliploid dengan persentase

33.3% dan

P. amboinensis

poliploid dengan persentase

40% dari planlet yang memiliki daun menebal (Tabel 2).

Planlet

P. amabilis

poliploid yang dihasilkan memiliki

70-76 kromosom, sedangkan planlet

P. amboinensis

memiliki

72-76 kromosom (Tabel 4). Kromosom

P. amabilis

serta

P. amboinensis

diploid dan poliploid dapat dilihat pada

Gambar 2.

Hasil uji-t menunjukkan bahwa ukuran dan kerapatan

stomata planlet

P. amabilis

dan

P. amboinensis

poliploid

berbeda nyata dengan planlet diploid (Tabel 4). Planlet

P.

amabilis

dan

P. amboinensis

poliploid, memiliki ukuran

stomata yang lebih besar dari tanaman diploid [Gambar 1

(A, B, C, D)] sehingga memiliki rata-rata kerapatan stomata

lebih rendah daripada tanaman diploid [Gambar 1(E, F, G,

H)]. Hasil penelitian yang diperoleh sejalan dengan hasil

penelitian induksi poliploidi pada anggrek

C. intermedia

(Silva

et al

., 2000),

Anthurium andraeanum

“Arizona”

(Chen

et al

., 2011),

Dendrobium

,

Epidendrum

,

Odontioda

,

Phalaenopsis

(Miguel dan Leonhardt, 2011), serta

R. retusa

var.

rubrum

(Kerdsuwan dan Te-chato, 2012).

Planlet

P. amabilis

dan

P. amboinensis

tetraploid

yang dihasilkan masih perlu dilakukan evaluasi kecepatan

pertumbuhan dan morfologi bunganya. Program pemuliaan

untuk

Phalaenopsis

tetraploid dapat melalui persilangan

dengan varietas hibrida tetraploid ataupun melalui

persilangan dengan spesies atau hibrida diploid untuk

menghasilkan tanaman triploid. Menurut Syukur (2013),

tanaman triploid umumnya steril karena cara berpasangan

yang tidak seimbang pada waktu meiosis. Kondisi tersebut

dapat bermanfaat pada pemuliaan

Phalaenopsis

karena

dapat dihasilkan hibrida-hibrida dengan

vase life

tinggi

sehingga bunga tahan lebih lama. Pendekatan lain dalam

aplikasi tanaman tetraploid untuk pemuliaan tanaman

adalah penyerbukan untuk menghasilkan populasi

selfing

tetraploid dengan individu yang beragam.

D

C

B

A

Gambar 2. Kromosom Phalaenopsis amabilis dan Phalaenopsis amboinensis setelah perendaman protokorm dalam larutan kolkisin. Kromosom P. amabilis diploid (A) dan poliploid (B) serta kromosom P. amboinensis diploid (C) dan poliploid (D). Perbesaran 1000x, bar = 20 μm

Spesies

Planlet

Rata-rata jumlah

kromosom

Rata-rata panjang stomata

(μm)

Rata-rata lebar stomata

(μm)

kerapatan stomata

Rata-rata

(jumlah/3.79 mm

2

)

P. amabilis

Diploid

36.7 ± 1.5

29.3b

28.2b

8.9a

Poliploid

73.2 ± 2.6

37.9a

32.7a

4.9b

P. amboinensis

Diploid

36.6 ± 1.6

25.4b

25.0b

9.4a

Poliploid

74.0 ± 1.9

34.8a

30.4a

5.6b

Tabel 4. Rata-rata jumlah kromosom planlet diploid dan poliploid serta ukuran dan kerapatan stomata planlet diploid dan

po-liploid setelah perendaman protokorm

Phalenopsis amabilis

dan

Phalaenopsis amboinensis

dalam larutan kolkisin

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing spesies menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji-t pada taraf 1%

(7)

Griesbach, R.J. 1981. Colchicine-induced polyploidy in

Phalaenopsis

orchids. Plant Cell Tiss. Organ Cult.

1:103-107.

Griesbach, R.J. 1985. Polyploidy in

Phalaenopsis

orchid

improvement.The Journal of Heredity 76:74-75.

Kao, Y.Y., C.C. Lin, C.H. Huang, Y.H. Li. 2007. The

cytogenetics of

Phalaenopsis

orchids. p. 115-128.

In

W.H. Chen, H.H. Chen (

Eds

.). Orchid Biotechnology.

World Scientific, New Jersey.

Kerdsuwan, N., S. Te-chato. 2012. Effects of colchicine

on survival rate, morphological, physiological

and cytological characters of Chang Daeng orchid

(

Rhyncostylis gigantea

var

. rubrum

Sagarik)

in vitro.

J. Agric. Technol. 8:1451-1460.

Lin, S., H.C.Lee, W.H. Chen, C.C. Chen, Y.Y. Kao, Y.M. Fu,

Y.H. Chen, T.Y. Lin. 2001. Nuclear DNA contents of

Phalaenopsis

sp. and

Doritis pulcherrima

. J. Amer.

Soc. Hort. Sci. 126:195-199.

Manton, I. 1950. Problems of Cytology and Evolution in the

Pteridophyta. The University Press, Cambridge.

Miguel, T.P., K.W. Leonhardt. 2011.

In vitro

polyploid

induction of orchids using oryzalin

.

Sci. Hort.

130:314-319.

Pradeepkumar, T. 2011. Characterization of M1 generation

of polyploid in watermelon variety ‘Sugar Baby’.

Cucurbit Genetics Cooperative Report 33-34:44-46.

Romeida, A., S.H. Sutjahjo, A. Purwito, D. Sukma,

Rustikawati. 2012. Variasi genetik mutan anggrek

Spathoglottis plicata

Blume berdasarkan marker

ISSR. J. Agron. Indonesia 40:218-224.

Sarathum, S., M. Hegele, S. Tantiviwat, M. Nanakorn. 2010.

Effect of concentration and duration of colchicine

treatment on polyploidy induction in

Dendrobium

scabrilingue

L. Europ. J. Hort. Sci. 75:123-127.

Silva, P.A.K.X., S. Callegari-Jacques, M.H.

Bodanese-Zanettini. 2000. Induction and identification

of polyploids in

Cattleya intermedia

Lindl.

(Orchidaceae) by

in vitro

techniques. Ciência Rural

30:105-111.

Syukur, M. 2013. Variasi jumlah kromosom. hal.

127-151.

Dalam

M. Syukur, S. Sastrosumarjo (

Eds

.).

Sitogenetika Tanaman. IPB Press, Bogor.

Tang, C.Y., W.H. Chen. 2007. Breeding and development

of new varieties in

Phalaenopsis

. p. 1-22.

In

W.H

.

Chen, H.H. Chen (

Eds

.). Orchid Biotechnology.

World Scientific, New Jersey.

KESIMPULAN

Perlakuan perendaman protokorm

P. amabilis

dan

P.

amboinensis

dalam larutan kolkisin 50 dan 75 mg L

-1

selama

10 hari dapat menghasilkan planlet dengan panjang stomata

lebih besar 1.25x dari panjang stomata planlet kontrol.

Ukuran stomata planlet poliploid lebih besar daripada

planlet diploid, tetapi kerapatan stomata planlet poliploid

lebih rendah daripada kerapatan stomata planlet diploid.

Hasil analisis kromosom membuktikan bahwa perendaman

protokorm kedua spesies anggrek tersebut dalam larutan

kolkisin 50 mg L

-1

selama 10 hari menghasilkan persentase

planlet poliploid paling tinggi yaitu 33.3% pada

P. amabilis

dan 40% pada

P. amboinensis

dari planlet yang menunjukkan

morfologi daun menebal.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S.I., H. Aswidinnoor, A. Saefuddin, B. Marwoto,

S. Sastrosumarjo. 2009. Induksi mutasi pada stek

pucuk anyelir (

Dianthus caryophyllus

Linn.) melalui

iradiasi sinar gamma. J. Agron. Indonesia 37:62-70.

Atichart, P., S. Bunnag. 2007. Polyploid induction in

Dendrobium secundum

(Bl.) Lindl. by

in vitro

techniques. Thai J. Agric. Sci. 40:91-95.

Cai, X., Z. Cao, S. Xu, Z. Deng. 2015. Induction, regeneration

and characterization of tetraploids and variants in

‘Tapestry’ caladium. Plant Cell Tiss. Organ Cult.

120:689-700

Chen, C., X. Hou, X. Zhang, G. Wang, L. Tian. 2011.

Induction of

Anthurium andraeanum

“Arizona”

tetraploid by colchicine

in vitro

. Euphytica 181:137-

145.

Chen, W.H., C.Y. Tang, Y.L. Kao. 2009. Ploidy doubling by

in vitro

culture of excised protocorms or

protocorm-like bodies in

Phalaenopsis

species. Plant Cell Tiss.

Organ Cult. 98:229-238.

Christenson, E.A. 2001.

Phalaenopsis

: a monograph.

Timber Press, Oregon.

Dhooghe, E., K. van Laere , T. Eeckhaut, L. Leus, J. van

Huylenbroeck. 2011. Mitotic chromosome doubling

of plant tissues

in vitro

. Plant Cell Tiss. Organ Cult.

104:359-373.

Gantait, S., N. Mandal, S. Bhattacharyya, P.K. Das. 2011.

Induction and identification of tetraploids using

in

vitro

colchicine treatment of

Gerbera jamesonii

Bolus cv. Sciella. Plant Cell Tiss. Organ Cult.

106:485-493.

(8)

226

Eka Martha Della Rahayu, Dewi Sukma, M. Syukur, dan Irawati

Tang, Z.Q., D.L. Chen, Z.J. Song, Y.C. He, D.T. Cai. 2010.

In vitro

induction and identification of tetraploid

plants of

Paulownia tomentosa

. Plant Cell Tiss

Organ Cult 102:213-220.

Tavan, M., M.H. Mirjalili, G. Karimzadeh. 2015.

In vitro

polyploidy induction: changes in morphological,

anatomical and phytochemical characteristics of

Thymus persicus

(Lamiaceae). Plant Cell Tiss.

Organ Cult. 122:573-583.

Thao, N.T.P., K. Ureshino, I. Miyajima, Y. Ozaki, H.

Okubo. 2003. Induction of tetraploids in ornamental

Alocasia

through colchicine and oryzalin treatments.

Plant Cell Tiss. Organ Cult. 72:19-25.

van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding, Theory and

Practical Applications. Cambridge University Press,

Cambridge.

Zeng, S.H., C.W. Chen, L. Hong, J.H. Liu, X.X. Deng.

2006.

In vitro

induction, regeneration and analysis

of autotetraploids derived from protoplasts and callus

treated with colchicine in

Citrus.

Plant Cell Tiss.

Organ Cult. 87:85-93.

Gambar

Tabel 1. Pengaruh kolkisin terhadap persentase hidup dan pertumbuhan protokorm Phalaenopsis amabilis dan Phalaenopsis  amboinensis pada 24 MSP
Tabel 2.  Persentase planlet Phalaenopsis amabilis dan Phalaenopsis amboinensis dengan daun tebal dan planlet poliploid
Tabel 3.  Pengaruh perendaman protokorm dalam larutan kolkisin terhadap ukuran dan  kerapatan stomata planlet Phalae- Phalae-nopsis amabilis dan PhalaePhalae-nopsis amboinensis
Gambar  2.  Kromosom  Phalaenopsis  amabilis  dan  Phalaenopsis  amboinensis  setelah  perendaman  protokorm  dalam  larutan  kolkisin

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan sosial anak melalui metode role playing di TK Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang Labschool dan

BT ASST TAMIL GHSS VELLAKINAR COIMBATORE F TAMIL.

Game dapat menyampaikan informasi lebih menarik melalui konten dan tantangan di dalamnya sehingga maksud dan tujuan dari pengembang di dalam dapat dengan mudah

Bunyi berkenaan mungkin menggambarkan percubaan masuk pekerja atau orang awam yang tidak dibenarkan, bunyi peralatan atau jentera yang rosak atau sebarang

Filosofi dari desain interior modern diantaranya adalah bersih, simpel, dan fokus pada fungsi. Tidak banyak aksesoris tambahan pada desain gaya modern. Namun demikian,

Adapun saran dari peneliti yaitu merekomendasikan aktivitas patroli pengawasan SDKP di laut yang dilakukan oleh pengawas perikanan di Pangkalan PSDKP Jakarta yaitu

Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah: (1) Perbedaan hasil belajar matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stres kerja dan konflik kerja terhadap kinerja pegawai asuransi jiwa bersama bumi putera jayapura papua.Rumusan masalah