• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Nomor : Put-70120/PP/M.XVA/16/2016. Jenis Pajak : PPN. Tahun Pajak : 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Putusan Nomor : Put-70120/PP/M.XVA/16/2016. Jenis Pajak : PPN. Tahun Pajak : 2010"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Putusan Nomor : Put-70120/PP/M.XVA/16/2016 Jenis Pajak : PPN

Tahun Pajak : 2010

Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi nilai sengketa dalam sengketa banding ini adalah koreksi Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan PPN Barang dan Jasa Masa Pajak Februari 2010 sebesar Rp201.791.304,00, yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;

Menurut Terbanding

bahwa terdapat koreksi Pajak Masukan (PM) atas pembelian pupuk, bahan kimia dan lain sebagainya yang digunakan untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) kebun kelapa sawit, yang atas penyerahan TBS dimaksud dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (BKP Strategis), sehingga atas Pajak Masukan tersebut sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku menjadi tidak dapat dikreditkan;

Menurut Pemohon Banding

: bahwa perusahaan Pemohon Banding bergerak dalam bidang industri penghasil minyak kelapa sawit yang merupakan satu kesatuan terpadu (integrated) dimana memiliki pengertian yakni menyatukan atau satu kesatuan, yang mengolah Tandan Buah Segar (TBS) sebagai bahan baku dari hasil kebun sendiri menjadi Crude Palm Oil (CPO) sebagai hasil akhir pabrikasi, dan tidak dapat dipisah-pisahkan dalam istilah unit atau kegiatan yang terbeda. Dalam hal perusahaan terpadu (integrated) ini, maka penyerahan produk dari kebun kepada pabrik bukan penyerahan kena pajak menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, namun hanya merupakan pemindahan dalam satu perusahaan terpadu (integrated) karena masih merupakan bagian dari proses produksi untuk menghasilkan CPO

Menurut Majelis : bahwa sengketa yang terjadi adalah sengketa Kredit Pajak berupa Pajak Masukan sebesar Rp.201.791.304,00 yang menurut Terbanding tidak dapat dikreditkan sedangkan menurut Pemohon Banding dapat dikreditkan;

bahwa Terbanding berpendapat bahwa Pajak Masukan atas pembelian pupuk, bahan kimia dan lain sebagainya yang digunakan untuk menghasilkan TBS yang penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan;

bahwa Pemohon Banding berpendapat bahwa Pajak Masukan atas pembelian pupuk, bahan kimia dan lain sebagainya dapat dikreditkan karena Pemohon Banding menghasilkan CPO dan inti sawit yang penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa Majelis berpendapat sengketa banding atas koreksi Pajak Masukan ini sebesar Rp.201.791.304,00 adalah sengketa yuridis;

bahwa terhadap sengketa banding atas koreksi Pajak Masukan ini sebesar Rp.201.791.304,00 Majelis berpendapat sebagai berikut :

bahwa Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi;

bahwa Majelis berpendapat dari definisi di atas terdiri unsur-unsur sebagai berikut: 1. adanya unsur barang dan jasa yang dikonsumsi;

2. adanya unsur pihak yang menyediakan barang dan jasa yaitu pengusaha;

(2)

4. adanya unsur di mana barang dan jasa dikonsumsi yaitu Daerah Pabean; 5. adanya unsur bagaimana cara pajak dikenakan yaitu secara bertingkat;

6. saat unsur di mana pajak dikenakan yaitu di setiap jalur produksi dan distribusi;

bahwa Majelis berpendapat hanya membahas unsur-unsur yang menjadi dasar penyelesaian sengketa banding atas koreksi Pajak Masukan ini:

Unsur Barang dan Jasa

bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud;

Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan;

bahwa sesuai dengan definisi Pajak Pertambahan Nilai yaitu pajak atas konsumsi barang dan jasa, pada hakekatnya seluruh barang dan jasa yang dikonsumsi dikenakan Pajak Pertambahan Nilai namun demikian undang-undang menyatakan atas konsumsi barang dan jasa tertentu tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai ;

bahwa Pasal 4A ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

i. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; ii. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

iii. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan

iv. uang, emas batangan, dan surat berharga;

bahwa Pasal 4A ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:

a. jasa pelayanan kesehatan medis; b. jasa pelayanan sosial;

c. jasa pengiriman surat dengan perangko; d. jasa keuangan;

e. jasa asuransi; f. jasa keagamaan; g. jasa pendidikan;

h. jasa kesenian dan hiburan;

(3)

j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;

k. jasa tenaga kerja; l. jasa perhotelan;

m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; n. Jasa penyediaan tempat parkir;

o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan

q. Jasa boga atau katering;

Unsur Pihak yang Menyediakan Barang dan Jasa

bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean;

bahwa tidak seluruh pengusaha berkewajiban terhadap Pajak Pertambahan Nilai, hanya pengusaha tertentu saja yang berkewajiban terhadap Pajak Pertambahan Nilai yaitu Pengusaha Kena Pajak; bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini;

Unsur Pihak yang Menikmati atau Mengkonsumsi Barang dan Jasa

bahwa pihak yang menikmati unsur pihak yang menikmati atau mengkonsumsi barang dan jasa adalah pembeli dan penerima jasa;

bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut;

Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut;

bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan berdasarkan ketiga unsur diatas yaitu unsur barang dan jasa, unsur pihak yang menyediakan barang dan jasa, dan unsur pihak yang menikmati atau mengkonsumsi barang dan jasa;

bahwa konsumsi barang dan jasa tidak akan terjadi jika tidak ada penyerahan barang dan jasa dari pihak yang menyediakan barang dan jasa kepada pihak yang menikmati atau mengkonsumsi barang

(4)

dan jasa;

bahwa Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

1.1 penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 1.2 impor Barang Kena Pajak;

1.3 penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

1.4 pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

1.5 pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 1.6 ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

1.7 ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan 1.8 ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak;

bahwa mekanisme pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan menerbitkan Faktur Pajak; bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak;

bahwa pungutan pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dinamakan Pajak Keluaran;

bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak; bahwa konsumsi yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dinamakan Pajak Masukan;

bahwa Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak;

bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak;

bahwa Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

(5)

sama;

bahwa Pasal 9 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak;

bahwa Pasal 9 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya; bahwa Pasal 9 ayat (4a) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku;

bahwa apabila Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan atau memanfaatkan barang dan jasa yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, tentunya tidak ada Pajak Keluaran yang dipungut sehingga Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan;

bahwa Pasal 9 ayat (5) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak; bahwa Pasal 9 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan;

bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak diterbitkan berdasarkan amanat Pasal 9 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009;

bahwa pengenaan pajak atas konsumsi barang dan jasa sebagaimana dikemukakan di atas adalah pengaturan fungsi pajak berdasarkan fungsi budgeter;

(6)

bahwa fungsi budgeter dari pajak adalah fungsi untuk mengumpulkan penerimaan negara dari pajak; bahwa fungsi lain dari pajak adalah fungsi mengatur (regelling). Dalam fungsi mengatur, pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur perekonomian negara dan tujuan-tujuan lainnya selain untuk mengumpulkan penerimaan negara;

bahwa fungsi mengatur dari pajak dalam ketentuan umum antara lain diatur dalam Pasal 3A ayat (1a), Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) jo Pasal 5 ayat (1), Pasal 8 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009;

bahwa fungsi mengatur dari pajak dalam ketentuan khusus diatur dalam Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal 16C, Pasal 16D, dan Pasal 16E Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009;

bahwa Pasal 16B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan:

(1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:

a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;

b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; c. impor Barang Kena Pajak tertentu;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.

(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan;

bahwa Pasal 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 mengecualikan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam aturan umum sebagaimana Pasal 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009;

bahwa untuk kondisi tertentu yaitu:

a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;

b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; c. impor Barang Kena Pajak tertentu;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(7)

Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut menjadi tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan;

bahwa jangka waktu kebijakan untuk melaksanakan fungsi mengatur sebagaimana Pasal 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 dapat bersifat sementara atau selamanya;

bahwa dalam melaksanakan fungsi mengatur 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, mekanisme Pajak Pertambahan Nilai tetap mengacu pada ketentuan umum;

bahwa terdapat perbedaan pengertian antara Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut menjadi tidak dipungut dan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut menjadi dibebaskan; bahwa pengertian antara Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut menjadi tidak dipungut adalah sebagai berikut:

 bahwa barang dan/atau jasa yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;  bahwa barang dan/atau jasa yang diserahkan terutang Pajak Pertambahan Nilai;

 bahwa Wajib Pajak yang melakukan penyerahan barang dan/atau jasa tidak harus memungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diwajibkan memungut dan menyetor Pajak Pertambahan Nilai atas Pajak Pertambahan Nilai yang terutang;

 bahwa Wajib Pajak tetap memiliki Pajak Keluaran akan tetapi Pajak Keluaran tidak dipungut dan disetor;

 bahwa oleh karena Wajib Pajak memiliki Pajak Keluaran, sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, Pajak Masukan yang sudah dibayar dapat dikreditkan;

bahwa hal berbeda terjadi dalam pengertian antara Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dipungut menjadi dibebaskan yaitu sebagai berikut:

 bahwa barang dan/atau jasa yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;  bahwa barang dan/atau jasa yang diserahkan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai;

 bahwa Wajib Pajak yang melakukan penyerahan barang dan/atau jasa tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;

 bahwa Wajib Pajak tidak memiliki Pajak Keluaran;

 bahwa oleh karena Wajib Pajak memiliki Pajak Keluaran, sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, Pajak Masukan yang sudah dibayar tidak dapat dikreditkan;

 bahwa dalam hal Wajib Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, pengkreditan Pajak Masukan mengacu kepada ketentuan umum dalam Pasal 9 ayat (5) dan Pasal 9 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009;

bahwa tujuan dari fungsi mengatur dalam Pasal 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 dijelaskan dalam

(8)

Penjelasan Pasal 16 dalam Pasal 16B ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yang menyatakan sebagai berikut: “Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.

Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.

Kemudahan perpajakan yang diatur dalam pasal ini diberikan terbatas untuk:

a. mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di Tempat Penimbunan Berikat, atau untuk mengembangkan wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut; b. menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi,

konvensi internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya;

c. mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka Program Imunisasi Nasional;

d. menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal;

e. menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional;

f. meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat; g. mendorong pembangunan tempat ibadah;

h. menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;

i. mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan darat, air, dan udara;

j. mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan perak;

k. menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;

l. mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk;

m. membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam nasional;

n. menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau o. menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus

barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi;

bahwa untuk menjalankan fungsi mengatur ini, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

(9)

bahwa Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai menyatakan :

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : a. Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah :

a. barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang;

b. makanan ternak, unggas, dan ikan, dan atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan;

c. barang hasil pertanian;

d. bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan;

e. bahan baku perak dalam bentuk butiran (granule) dan atau dalam bentuk batangan; f. bahan baku untuk pembuatan uang kertas rupiah dan uang logam rupiah;

g. air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum; dan h. listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 watt.

b. Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang : a. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;

b. peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau c. perikanan baik dari penangkapan atau budidaya;

c. Petani adalah orang yang melakukan kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perburuan atau penangkapan, penangkaran, penangkapan atau budidaya perikanan; bahwa Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai menyatakan:

Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa :

a. barang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf a yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut;

b. makanan ternak, unggas, dan ikan, dan atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf b;

c. barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c oleh petani atau kelompok petani;

d. bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf d;

e. bahan baku perak dalam bentuk butiran (granule) dan atau dalam bentuk batangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf e;

f. bahan baku untuk pembuatan uang kertas rupiah dan uang logam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf f kepada Bank Indonesia dan atau Perum Peruri;

g. air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan air Minum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf g;

h. listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 watt sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf h;

dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa fasilitas perpajakan yang diberikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah untuk penyerahan barang hasil pertanian oleh petani

(10)

atau kelompok tani dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai telah beberapa kali diubah sampai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, pemberian fasilitas perpajakan penyerahan barang hasil pertanian dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai masih tetap diberikan kepada petani atau kelompok tani;

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah dimaksud, pemberian fasilitas perpajakan penyerahan barang hasil pertanian dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai memberikan konsekuensi sebagai berikut:

1. fasilitas perpajakan hanya diberikan kepada petani atau kelompok tani saja;

2. penyerahan barang hasil pertanian yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

3. petani atau kelompok tani tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; 4. bahwa pengusaha barang hasil pertanian yang melakukan kegiatan usaha di bidang :

a. pertanian, perkebunan, dan kehutanan,

b. peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran, atau c. perikanan baik dari penangkapan atau budidaya;

harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena penyerahan barang hasil pertanian yang dilakukan oleh pengusaha barang hasil pertanian terutang Pajak Pertambahan Nilai

5. Wajib Pajak selain petani atau kelompok tani yaitu pengusaha barang hasil pertanian wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan barang hasil pertanian;

6. Pengusaha barang hasil pertanian dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas pembelian pupuk, pembelian bibit, dan pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha pertanian;

bahwa pemberian fasilitas perpajakan penyerahan barang hasil pertanian dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai berubah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai menyatakan:

Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa fasilitas perpajakan yang diberikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai diberikan kepada seluruh Wajib Pajak;

bahwa meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2007 telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang

(11)

Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, pemberian fasilitas perpajakan penyerahan barang hasil pertanian dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai masih tetap berlaku untuk seluruh Wajib Pajak yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian;

bahwa perubahan pemberian fasilitas perpajakan yang terjadi sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2007 memberikan konsekuensi sebagai berikut:

1. fasilitas perpajakan diberlakukan terhadap semua Wajib Pajak, tidak hanya kepada petani atau kelompok tani saja tetapi juga kepada pengusaha barang hasil pertanian;

2. penyerahan barang hasil pertanian yang dilakukan oleh seluruh Wajib Pajak dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai;

3. Pajak Masukan atas pembelian pupuk, pembelian bibit, dan pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha pertanian tidak dapat dikreditkan;

bahwa tujuan fungsi mengatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2007 adalah untuk mendorong pengusaha barang hasil pertanian untuk tidak melakukan penyerahan barang hasil pertanian tetapi melakukan penyerahan barang jadi hasil pengolahan barang hasil pertanian yang merupakan barang yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau Barang Kena Pajak;

bahwa terdapat pilihan yang harus dihadapi oleh pengusaha barang hasil pertanian yaitu: 1. Pengusaha barang hasil pertanian tetap melakukan penyerahan barang hasil pertanian.

Bagi pengusaha ini, penyerahan yang dilakukan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukan atas pembelian pupuk, pembelian bibit, dan pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha pertanian tidak dapat dikreditkan;

2. Pengusaha barang hasil pertanian mengolah hasil produksinya sehingga menjadi Barang Kena Pajak.

Bagi pengusaha ini, penyerahan yang dilakukan terutang Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukan atas pembelian pupuk, pembelian bibit, dan pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha pertanian dapat dikreditkan;

3. Pengusaha barang hasil pertanian melakukan penyerahan barang hasil pertanian untuk sebagian dan sebagian lainnya digunakan untuk mengolah hasil produksinya sehingga menjadi Barang Kena Pajak.

Bagi pengusaha ini, penyerahan yang dilakukan sebagian tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai sedangkan sebagian lainnya terutang Pajak Pertambahan Nilai sehingga

Pajak Masukan atas pembelian pupuk, pembelian bibit, dan pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha pertanian dapat dikreditkan sebagian berdasarkan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak;

bahwa dengan kerangka berpikir sebagaimana di atas, terdapat kesesuaian mengenai argumen perlakuan perpajakan yang sama (equal treatment) dan argumen perusahaan terintegrasi yang sering dikemukakan dalam sengketa mengenai Pajak Masukan atas pembelian pupuk, pembelian bibit, dan pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan usaha pertanian;

bahwa seluruh Wajib Pajak baik pengusaha hasil pertanian maupun petani atau kelompok tani mendapat perlakuan perpajakan yang sama (equal treatment) dengan memperoleh fasilitas perpajakan berupa penyerahan barang hasil pertanian dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa bagi pengusaha barang hasil pertanian yang mengolah barang hasil pertanian yang diproduksinya dan memberikan nilai tambah terhadap barang sehingga menjadi barang jadi hasil pengolahan barang hasil pertanian yang merupakan Barang Kena Pajak (pengusaha hasil pertanian

(12)

terintegrasi), terdapat 2 (dua) kemungkinan yaitu :

1. Pajak Masukan dapat dikreditkan seluruhnya jika seluruh penyerahan adalah Barang Kena Pajak; 2. Pajak Masukan dapat dikreditkan sebagian jika sebagian penyerahan adalah penyerahan Barang

Kena Pajak dan sebagian lainnya adalah penyerahan barang hasil pertanian; bahwa Majelis melakukan penelitian atas fakta-fakta dalam sengketa ini;

bahwa Pemohon Banding adalah Pengusaha Kena Pajak dengan NPWP 01.374.856.1-332.001 dengan jenis usaha perkebunan;

bahwa berdasarkan penelitian Majelis, Pemohon Banding melakukan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp.12.171.696.569,00 dan penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp.0,00 dengan total penyerahan sebesar Rp.12.171.696.569,00;

bahwa Pemohon Banding memiliki Pajak Masukan untuk usaha perkebunan sebesar Rp.201.791.304,00;

bahwa Pemohon Banding tidak dapat membuktikan bahwa Pajak Masukan untuk usaha perkebunan dapat dipisahkan dengan pasti untuk menghasilkan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak;

bahwa penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 jo Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak;

bahwa Majelis berpendapat Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah sebesar Rp.201.791.304,00 dengan penghitungan (Rp.12.171.696.569,00/Rp.12.171.696.569,00) x Rp.201.791.304,00;

bahwa berdasarkan uraian dan keterangan tersebut diatas, pendapat dan keyakinan Hakim, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding sebesar Rp.201.791.304,0 tidak dapat dipertahankan;

Pendapat Berbeda (Dissenting Opinions) :

bahwa terhadap sengketa gugatan ini, Hakim Anggota Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum, memberikan pendapat yang berbeda dengan pendapat sebagai berikut :

menimbang : bahwa Kegiatan usaha Pemohon Banding adalah dalam bidang usaha perkebunan kelapa sawit terpadu dengan unit pengolahannya menjadi minyak sawit (CPO) dan Inti Sawit (PK), kegiatan/bidang usaha Pemohon Banding merupakan kegiatan usaha terpadu/terintegrasi(integrated);

bahwa maksud dari terpadu atau terintegrasi (integrated) adalah bahwa industri pengolahan CPO menyatu (terintegrasi) dengan usaha perkebunan kelapa sawit (TBS) dalam satu entitas usaha, dimana TBS tersebut merupakan bahan baku untuk diolah menjadi CPO (Crude Palm Oil / Industri minyak kasar);

(13)

bahwa unit kebun membutuhkan input seperti jasa land clearing, bibit, pupuk, jasa perawatan tanaman, dan lain-lain dalam rangka untuk menghasilkan TBS Sawit. Sementara unit pabrik membutuhkan bahan baku utama TBS dalam rangka memproduksi CPO dan PK;

bahwa dari sini dapat diyakini bahwa jasa land clearing, bibit, pupuk, dan jasa-jasa lain atau bahan-bahan lain yang diperlukan pada kegiatan unit kebun adalah input untuk memproduksi TBS Sawit dan bukan merupakan input untuk memproduksi CPO dan PK. Sementara untuk memproduksi CPO dan PK yang dibutuhkan bukanlah jasa-jasa dan bahan-bahan tersebut sebagaimana tersebut diatas, melainkan TBS Sawit sebagai bahan baku utama. Hal ini bisa dibuktikan, dalam kondisi unit pabrik kekurangan bahan baku maka unit pabrik akan membeli TBS Sawit dari pihak luar dan bukan membeli bibit, pupuk, atau memakai jasaland clearing.

menimbang : Pasal 16B ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajakyang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilaitidak dapat dikreditkan”

apakah dalam konteks Pasal ini dapat diartikan Wajib Pajak harus melakukan penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (kepada pihak lain);

bahwa dalam kamus bahasa Indonesia versi online (http://kbbi.web.id/), kata dasar “yang” memiliki arti sebagai berikut:

yang 1p kata untuk menyatakan bahwa kata atau kalimat yang berikut diutamakan atau dibedakan dari yang lain: orang -- baik hati;2pkata yang menyatakan bahwa bagian kalimat yang berikutnya menjelaskan kata yang di depan: dijumpainya seorang pengemis -- sedang berteduh di bawah pohon asam itu;3pron kata yang dipakai sebagai kata pembeda: -- kaya sama -- kaya, -- miskin sama -- miskin;4kl padapun; akan: --hamba ini diperanakkan di Malaka juga;5p cakbahwa:saya pun percaya -- Adinda kasih juga akan Kakanda;

bahwa berdasarkan kamus bahasa Indonesia versi online di atas, kata “yang” bermakna: kata yang menyatakan bahwa bagian kalimat berikutnya menjelaskan kata yang didepannya. Oleh karena itu, kalimat: “atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak Pertambahan nilai tidak dapat dikreditkan”, bukan menerangkan penyerahan yang dilakukan, melainkan menerangkan Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas;

bahwa dalam Pasal 16B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo tidak pernah mensyaratkan bahwa harus terjadi penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) terlebih dahulu agar Pajak Masukannya dapat dikreditkan. Anak kalimat yang berbunyi "yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai" adalah semata berfungsi sebagai keterangan atas BKP dimana Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan. Hal yang sama juga berlaku untuk pengkreditan Pajak Masukan, yaitu tidak perlu menunggu terjadi penyerahan BKP agar Pajak Masukan-nya bisa dikreditkan;

bahwa hal ini dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut:

Sebuah toko yang menjual komputer baru dibuka pertengahan bulan Maret 2015. Selama bulan Maret 2015 tersebut belum ada transaksi penjualan. Pada SPT Masa PPN Masa Pajak Maret 2015, Wajib Pajak melaporkan tidak ada Pajak Keluaran karena belum ada transaksi penyerahan BKP (komputer) tetapi Wajib Pajak sudah mengkreditkan Pajak Masukan atas pembelian barang dagangan yaitu komputer tersebut."

(14)

dengan penyerahan BKP, akan tetapi berkaitan langsung dengan saat tersedianya BKP untuk dijual.

menimbang : bahwa landasan filsofis Pasal 16B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo sebagaimana diuraikan dalam penjelasannya adalah sebagai berikut:

Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional

bahwa perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak harus dikaitkan dengan Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan tesebut yaitu mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategisdalam sengketa a quoberupa Tandan Buah Segar Sawit; bahwa Kelapa Sawit adalah salah satu Barang Hasil Pertanian yang merupakan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;

bahwa sudah jelas berdasarkan penjelasan di atas, tujuan dan maksud dari diberikannya perlakuan khusus PPN adalah dalam rangka tersedianya barang strategis berupa Tandan Buah Segar Sawit, bahwa Pemohon Banding terbukti melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan TBS Sawit sehingga termasuk dalam kegiatan usaha yang mendapat perlakuan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 16B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo, maka harus tunduk dengan perlakuan khusus yang diterapkan dalam Pasal 16 B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo; bahwa ketika Wajib Pajak yang hanya melakukan penyerahan dan penjualan TBS saja maka Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan, namun apabila Wajib Pajak melakukan proses bisnis yang terpadu (integrated) dengan hanya melakukan penyerahan/penjualan CPO (BKP) maka Pajak Masukan sehubungan dengan perolehan TBS dapat dikreditkan, maka telah mengabaikan prinsip perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak(Equal) yang dianut dalam Pasal 16B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo;

bahwa pengusaha yang tidak mempunyai permodalan yang kuat untuk membangun pabrik untuk mengolah lebih lanjut TBS Sawit yang merupakan bahan baku utama untuk memproduksi CPO dan produk turunannya yang lain, berdasarkan ketentuan Pasal 16B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo atas Pajak Masukan yang sudah dibayar atas pembelian pupuk dan lain-lain yang digunakan dalam rangka menghasilkan TBS Sawit tidak dapat dikreditkan (dimintakan restitusi) dan harus dibiayakan sehingga akan menambah unsur harga pokok, sedangkan untuk perusahaan yang terintegrasi tidak ada unsur Pajak Masukan kebun dalam harga pokoknya karena telah dikreditkan (dikompensasi/direstitusi)

(15)

sehingga tidak memenuhi prinsip perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak (Penghasil Sawit)

bahwa dari sisiCash Flow, dimana Perusahaan yang Terintegrasi dapat melakukan restitusi atas Pajak Masukan yang telah dibayar, sedangkan Pengusaha yang tidak memiliki pabrik tidak bisa melakukan restitusi atas Pajak Masukan yang telah dibayar sehingga tidak memenuhi prinsip perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak (Penghasil Sawit)

bahwa berdasarkan prinsipperlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak (Equal) yang dianut dalam Pasal 16 B Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 a quo, Hakim Anggota Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum. berpendapat bahwaPajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan untuk menghasilkan BKP strategis, tidak dapat dikreditkan

menimbang : bahwa maksud dan tujuan diberikannya kemudahan dalam Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 a quo (sebagaimana diatur dalam penjelasannya), pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional;

bahwa kemudahan perpajakan yang diatur dalam Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 a quo diberikan terbatas salah satunya untuk mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan perak (penjelasan Pasal 16B huruf j);

menimbang : bahwa prinsip netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai perlu dikedepankan dan tidak boleh ditinggalkan karena PPN tidak menghendaki adanya kondisi yang mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis. Jika Pajak Masukan untuk menghasilkan TBS pada usaha terintegrasi dapat dikreditkan, Pengusaha yang memiliki modal kecil yang tidak mampu memiliki unit pengolahan (di dalamnya termasuk petani), akan kesulitan berkompetisi harga dengan pengusaha besar (karena Pajak Masukan akan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan). Hal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas PPN yang menghendaki PPN tidak mempengaruhi kompetisi dalam bisnis.

bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan untuk menjaga prinsip netralitas, maka Hakim Anggota Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum. berpendapat Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan.

Menimbang, bahwa Pasal 9 ayat (2) dan ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 a quo, menyatakan sebagai berikut:

(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.

(2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.

bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 a quo, Pajak Masukan yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan sebelum Pengusaha Kena Pajak mengasilkan BKP (berproduksi) kecuali untuk perolehan barang modal. Jadi Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan perolehan Barang Modal dalam rangka menghasilkan BKP dapat dikreditkan meskipun belum terjadi penyerahan BKP

(16)

bahwa pada prinsipnya mekanisme pengkreditan Pajak Masukan tidak langsung berhubungan dengan adanya Pajak Keluaran tetapi berhubungan langsung dengan ada atau tidaknya barang yang diproduksi atau dihasilkan;

bahwa mengingat Pajak Masukan dalam sengketa ini berhubungan langsung dalam memproduksi atau menghasilan TBS Sawit, maka mekanisme pengkreditannya harus dihubungkan dengan barang yang dihasilkan atau diproduksi (dalam hal ini TBS Sawit);

bahwa oleh karenanya TBS Sawit adalah Barang Kena Pajak yang mendapat fasiltas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka Hakim Anggota Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum. berpendapat Pajak Masukan yang berhubungan langsung dalam memproduksi atau menghasilan TBS tidak dapat dikreditkan

Menimbang, berdasarkan fakta hukum dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang mendasari sengketa a quo sebagaimana telah diuraikan di atas Majelis berpendapat:

bahwa tidak ada korelasi langsung antara saat pengkreditan Pajak Masukan dengan penyerahan BKP, akan tetapi berkaitan langsung dengan saat tersedianya BKP untuk dijual.

bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan apabila berkaitan dengan kegiatan untuk memproduksi/ menghasilkan barang tidak kena pajak atau Barang Kena Pajak yang memperoleh fasilas pembebasan; bahwa perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak harus dikaitkan dengan Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan tersebut yaitu mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategisdalam sengketa a quo berupa Tandan Buah Segar Sawit; bahwa Pemohon Banding terbukti melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan Tandan Buah Segar sehingga termasuk dalam kegiatan usaha yang mendapat perlakuan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 a quo, maka harus tunduk dengan perlakuan khusus yang diterapkan dalam Pasal 16 B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 a quo;

bahwa perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang terutang PPN, maka:

a. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan;

b. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian (mendapat fasilitas pembebasan), tidak dapat dikreditkan;

c. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya;

bahwa mengingat Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh Penggugat berasal dari perolehan/ pembelian pupuk dan bahan-bahan kimia pembasmi hama yang digunakan dalam rangka menghasilkan TBS Sawit, maka mekanisme pengkreditannya harus dihubungkan barang yang dihasilkan

bahwa TBS merupakan barang hasil pertanian yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukan atas perolehan Barang

(17)

Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan TBS, tidak dapat dikreditkan;

menimbang : bahwa berdasarkan Pertimbangan Hukum tersebut di atas, Hakim Anggota Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum. berkesimpulan bahwa dengan menganut prinsip pengkreditan Pajak Masukan, perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak (Equal) dan netralitas maka Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan TBS Sawit (Barang Strategis), tidak dapat dikreditkan dengan demikian koreksi terbanding tetap dipertahankan karena telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;

menimbang : bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, peraturan yang berlaku dan keyakinan Hakim, Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, untukmengabulkan seluruhnyabanding Pemohon Banding; Mengingat : Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan perundang-undangan

lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan sengketa ini;

Memutuskan : Mengabulkan seluruhnyabanding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor : KEP-589/WPJ.27/2014 tanggal 13 Mei 2014 tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Februari 2010 Nomor: 00001/207/10/332/13 tanggal 24 Juni 2013, atas Pemohon Banding sehingga penghitungan PPN menjadi sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak:

- Ekspor R

p

5.441.560.000,00)

- Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri R p

4.901.288.400,00)

- Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN R p

0,00)

- Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut R p

1.828.848.169,00)

- Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN R

p 0,00)

- Jumlah Seluruh Penyerahan (DPP PPN) R

p

12.171.696.569,00)

Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri R p

490.128.840,00)

Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan R

p

1.933.603.681,00)

Jumlah perhitungan PPN kurang/(lebih) dibayar R p

(1.443.474.841,00) Dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya R

p

1.443.474.841,00)

Jumlah perhitungan PPN kurang/(lebih) dibayar R p

0,00)

(18)

dissenting opinions) Majelis XVA Pengadilan Pajak, berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor : Pen.00031/PP/PM/I/2015 tanggal 14 Januari 2015, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

Drs. Tonggo Aritonang, Ak. M.Sc. sebagai Hakim Ketua, Djangkung Sudjawardi, S.H., L.L.M. sebagai Hakim Anggota, Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum. sebagai Hakim Anggota,

Andre Irwanda sebagai Panitera Pengganti,

Putusan Nomor : Put-70120/PP/M.XVA/16/2016 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis XVA sesuai Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor : Pen.38/PP/Ucp/2016 tanggal 24 Maret 2016, pada hari Senin tanggal 16 April 2016 dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut :

Drs. Didi Hardiman, Ak. . sebagai Hakim Ketua, Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum. sebagai Hakim Anggota, Redno Sri Rezeki, S.E., MAFIS. sebagai Hakim Anggota, Aditya Agung Priyo Nugroho sebagai Panitera Pengganti,

dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, tidak dihadiri oleh Terbanding dan juga tidak dihadiri oleh Pemohon Banding.

Referensi

Dokumen terkait

khususnya pada pola komunikasi mereka dalam mengasuh anak. Meskipun dalam keluarga berbeda agama yang selama ini kita jumpai jarang mengalami permasalahan, namun

Anda akan melihat bahwa Anda harus menggunakan literatur untuk menjelaskan penelitian Anda - setelah semua, Anda tidak menulis tinjauan literatur  hanya untuk memberitahu pembaca

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para informan penulis, yakni Juanico Soares, Yustina Soares, Aniceto Benigno Soares, dan Constantino Soares yang telah dengan

Peneliti mengobservasi 15 rekam medis pasien, terdapat 10 rekam medis yang tidak lengkap dalam pengisian dokumentasi asuhan keperawatan yang berhubungan dengan pengisian

Oleh karena itu dapat dipertegas bahwa pemerintah telah menjalankan perannya sesuai dengan kapasitasnya sebagai regulator untuk melakukan intervensi dalam pasar dan dunia

Bila dilihat dari sumber pertumbuhan ekonomi NTB hingga triwulan III-2016, Pembentukan Modal Tetap Bruto menjadi sumber pertumbuhan tertinggi sebesar 2,38 poin, diikuti

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi morfometri dari Rajungan yang meliputi panjang karapas, lebar karapas, dan berat tubuh serta mengetahui aspek

mahasiswa diharapkan memiliki kecakapan dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan profesional berdasarkan hasil analisis terhadap informasi dan data,