PERSEPSI TERHADAP PERKAWINAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL DENGAN KONDISI FATHERLESS KARENA
PERCERAIAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Vania Lorrayne Pamuji
149114108
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
HALAMAN MOTTO
I believe miracle come true – a kid
“USAHA TIDAK AKAN MENGKHIANATI HASIL” – FC
-You can do it-
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk ayah diatas segala ayah, Sang Pencipta.
Dan untuk ayahku yang kucinta.
vii
PERSEPSI TERHADAP PERKAWINAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL DENGAN KONDISI FATHERLESS KARENA PERCERAIAN
Vania Lorrayne Pamuji
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu persepsi perempuan dengan keadaan fatherless karena perceraian terhadap perkawinan. Perkawinan dalam penelitian ini meliputi sembilan aspek, yaitu komunikasi, aktivitas bersama, pemecahan konflik, manajemen ekonomi, kehidupan agama, kehidupan seksual, anak dan pengasuhan, keluarga dan teman, serta kesamaan peran. Partisipan dalam penelitian ini adalah 5 perempuan dewasa awal (usia20-30tahun) dengan keadan fatherless karena perceraian. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur (interview). Analisis data dilakukan dengan metode analisis isi kualitatif (AIK), menggunakan pendekatan deduktif atau terarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan fatherless karena perceraian memiliki persepsi (pengetahuan, harapan dan peilaian) yang cenderung negatif pada sembilan aspek perkawinan.
PERCEPTION ON THE MARRIAGE OF THE FATHERLESS EARLY ADULT FEMALE BECAUSE OF DIVORCE
Vania Lorrayne Pamuji
ABSTRACT
The current research was aimed to investigate the perception of fatherless woman in their early adulthood about marriage. The marriage consisted of nine aspects, included communication, leisure activities, conflict resolution, financial management, sexual relationship, religious orientation, family and friends, children and marriage, and equalitarian roles. The subjects of the current study were five women in their early adulthood (20-30 years old) with fatherless condition caused by divorce. The data was collected using interview and analyzed using qualitative content analysis, with a deductive approach. The results showed that was woman with fatherless condition caused by divorce tended to have negative perception on nine aspect of marriage in their early adulthood who did not have a father due to divorce, that included knowladge, hope and evaluation.
KATA PENGANTAR
Tulisan ini dengan segenap hati saya kerjakan demi mengungkap
perasaan-perasaan terpendam teman-teman saya yang mengalami kepergian sosok ayah.
Ternyata ketidakhadiran sosok ayah berdampak tidak hanya sementara tetapi
selamanya. Tulisan yang saya kerjakan dengan penuh sakit hati dan rasa benci
kepada laki-laki ini semoga dapat menjadi pelajaran bagi setiap perempuan agar
lebih menjaga diri, dan mencintai diri sendiri. Semoga tulisan ini dapat menjadi
pelajaran juga bagi laki-laki agar lebih serius dalam mencintai, lebih berpikir
kedepan, lebih berpikir bahwa kebahagiaan tidak hanya berpusat pada diri sendiri.
Lima belas bulan pengerjaan skripsi ini menjadi perjalanan yang penuh
lika-liku kehidupan menjadi sebuah perjalanan hidup yang berharga bagi saya. Sebuah
perjalanan dengan banyak pelajaran hidup. Perjalanan yang penuh senyum dan air
mata, perjalanan yang tidak saya lalui seorang diri, perjalanan yang membuat saya
mengenal banyak pribadi. Dengan setulus hati, saya ingin berterimakasih pada
pribadi-pribadi yang membantu saya dalam melewati jalan berbatu ini
Yang pertama saya mengucapkan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa,
ayah dari segala ayah, yang memberi nafkah roh melalui firman-Nya, dan
mengirimkan kepada saya Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya selaku dosen
pembimbing skripsi yang dengan tidak sabar membimbing saya, memarahi dan
mencoret-coret apapun yang saya kumpulkan, dengan tujuan membentuk saya
menjadi pribadi yang logis, teliti, sabar, terorganisir dan rajin membaca. Yang
terkasih Ibu Ml. Anantasari selaku Dosen Pembimbing Akademik, serta Ibu Dr.
Titik Kristiyani M. Psi selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Saya juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh dosen Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma yang memberikan saya ilmu pengetahuan dan ilmu
kehidupan.
Tak lupa saya juga mengucapkan terimakasih pada Papa, Mama, dan Koko saya
yang telah memberikan saya beasiswa tidak bersyarat selama 4 tahun 4 bulan
xi
perpustakaan, kantin, kos yang siap menjadi tempat mumet, dan melarikan diri dari
kewajiban thank you, arigatou, kamsia, i love you. Saya juga berhutang budi untuk
Partisipan saya juga yang sedang berjuang menjalani hidup yang keras. Tak lupa
mereka Anak-anak Profesor yang sangat membantuku dalam mencari Pak Pratik,
dan yang terakhir Samuel David Sutanto, S.T yang menjadi pendukung secara fisik
dan psikis.
Penulis sungguh menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.
Penulis meminta maaf atas segala kesalahan dan kelalaian yang telah diperbuat,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pertanyaan Penelitian ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Manfaat Teoritis ... 7
2. Manfaat Praktis ... 7
3. Manfaat Kebijakan ... 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8
A. Perempuan Dewasa Awal Fatherless karena perceraian ... 8
B. Perkawinan ... 12
xiii
BAB III. METODE PENELITIAN ... 23
A. Jenis dan Desain Penelitian ... 23
B. Fokus Penelitian ... 24
C. Partisipan ... 25
D. Peran Peneliti ... 26
E. Prosedur Pengambilan Data ... 27
F. Analisis dan Intepretasi Data ... 28
G. Kredibilitas Data ... 32
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
A. Pelaksanaan Penelitian ... 33
B. Partisipan dan Dinamika Proses Wawancara ... 34
C. Hasil Penelitian ... 39
D. Pembahasan ... 59
BAB V. PENUTUP ... 67
A. Kesimpulan ... 67
B. Keterbatasan Penelitian ... 68
C. Saran ... 68
1. Bagi peneliti selanjutnya ... 68
2. Bagi Praktisi Psikologi ... 69
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Data Partisipan ... 25
Tabel 2. Kerangka Analisis ... 30
Tabel 3. Lokasi dan waktu pelaksanaan wawancara ... 33
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Keluarga merupakan organisasi sosial terkecil dalam masyarakat. Hampir
semua individu hidup dalam keluarga yang biasanya terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Setiap individu yang menjalani kehidupan rumah tangga tentu mengharapkan
rumah tangga yang bahagia, akan tetapi tidak semua kehidupan keluarga berjalan
seperti yang diharapkan. Dalam masyarakat ditemui juga rumah tangga yang
diwarnai dengan peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan oleh anggota keluarga.
Salah satu contoh dari peristiwa yang tidak diharapkan ini adalah perceraian
(Yusuf, 2004).
Berdasarkan Badan Pusat Statistik, pada tahun 2013 persentase perempuan
yang menjadi kepala keluarga karena cerai hidup adalah 13,40%, sedangkan
laki-laki hanya 1,09%. Penelitian lain juga mengatakan bahwa dari 27.000 istri ada 22%
yang gagal dalam berumah tangga mengalami perceraian dan menjadi kepala
keluarga bagi anak-anaknya (Rakhmawati dalam Yanuarti & Sriningsih, 2012). Hal
tersebut menunjukkan bahwa hasil dari perceraian sebagian besar menyebabkan
anak mengalami fatherless, yaitu ketiadaan peran dan figur ayah dalam kehidupan
seorang anak (Sundari & Herdijani, 2013).
Keadaan fatherless dalam penelitian ini adalah yang diakibatkan karena
perceraian. Fatherless yang disebabkan oleh perceraian memiliki dampak yang
berlipat ganda bagi anak. Pada anak perempuan dampaknya akan terlihat ketika
perkembangan untuk membangun sebuah rumah tangga (Wallerstein dalam Larsen
& Buss, 2002). Setiap kali melihat laki-laki dan perempuan, pandangannya akan
selalu dipengaruhi dengan apa yang ia lihat pada ayah ibunya. Perasaan curiga,
tidak percaya, kecewa dan takut untuk menjalin hubungan pada wanita dewasa dini
dari keluarga bercerai akan selalu timbul dan selalu menganggap bahwa karakter
yang sama mungkin terdapat pada setiap pria (Grollman, 1996).
Menurut Wallerstein (dalam Larsen & Buss, 2002) hal tersebut terjadi
karena “hantu dari masa lalu” yang muncul saat mereka memasuki hubungan intim.
Hantu masa lalu adalah bayangan dari perkawinan orang tua yang gagal dan
berpengaruh kuat. Ketakutan mengulang kesalahan orang tua tanpa sadar
membentuk anak untuk berusaha lebih baik dari pada orang tuanya. Bayangan ini
merupakan emosi yang berkaitan dengan keinginan yang memusat saat wanita yang
berasal dari keluarga bercerai memasuki usia dewasa dini dan mempengaruhi
pendekatan mereka dalam membangun hubungan yang akan mengarah pada
perkawinan.
Persepsi anak perempuan terhadap perkawinan tentu saja tidak terlepas dari
pengalaman sebelumnya. Whalen, Henker, Dotemoto dan Hinshaw (1983)
menunjukkan segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua-anak
(termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan tertanam secara
tidak sadar dalam diri seseorang. Selanjutnya, apa yang sudah tertanam akan
termanifestasi dalam hubungan dengan keluarganya sendiri.
Ghufron dan Walgito (2003) mengungkapkan bahwa perilaku seseorang
yang dilakukannya merupakan cerminan dari lingkungan sekitarnya. Pada anak
perempuan yang mengalami fatherless karena perceraian memiliki lingkungan
perkawinan yang berbeda, sehingga diduga memiliki persepsi terhadap perkawinan
yang berbeda dengan anak perempuan dengan keluarga lengkap.
Penelitian ini ingin mencari tahu bagaimana persepsi terhadap perkawinan
pada anak perempuan yang mengalami perceraian kedua orang tuanya yang
menyebabkan keadaan fatherless. Persepsi yang baik terhadap perkawinan adalah
hal penting untuk membangun perkawinan yang baik, karena ketika mengetahui
bagaimana persepsi perempuan dengan kondisi fatherless karena perceraian maka
akan mengetahui bagaimana mereka akan berprilaku pada perkawinan persepsi
yang baik terhadap perkawinan diduga akan membentuk perkawinan yang baik,
begitu pula sebaliknya (Boothroyd & Perrett, 2008), maka dari itu peneliti ingin
mencari tahu lebih dalam tentang persepsi anak perempuan fatherless terhadap
perkawinan. Persepsi terhadap perkawinan yang terbagi dalam tiga komponen
yakni pengetahuan, harapan dan penilaian (Calhoun & Acocella, 1990) tentang
perkawinan akan menjadi penting dalam membangun perkawinan
Beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang perkembangan anak
perempuan tanpa ayah menunjukkan bahwa anak fatherless memiliki perbedaan
yang signifikan dengan anak-anak yang dibesarkan dengan keluarga utuh
(Blankenhorn, 1996; Khorn & Bogan, 2001, Guardia, et.al, 2015). Perbedaan
tersebut banyak diasosiasikan dengan hal negatif pada hubungan anak perempuan
dengan lawan jenis. Penelitian yang dilakukan oleh Boothroyd & Perrett, (2008)
karena memiliki kemampuan yang rendah untuk bersaing untuk pasangan.
Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa anak perempuan yang hidup tanpa
ayah memiliki kecenderungan untuk mencari perhatian dari orang dewasa,
kehamilan diluar perkawinan, menjadi ibu di usia remaja dan menjadi ibu tunggal
atau kegagalan dalam perkawinan (Demo & Acock, 1988; Boothroyd & Perrett,
2008, Khorn & Bogan, 2001).
Penelitian tentang ketiadaan ayah atau fatherless banyak berfokus terhadap
aspek-aspek psikologis pada anak perempuan yang terjadi di masa anak-anak dan
masih mengalami masa kritis saat hilangnya ayah dalam kehidupan anak, seperti
kesejahterahan subjektif & perkembangan sosioemosional (Golombok, Tasher, dan
Murray, 1997), pencapaian (Milne, 1986), konsep diri dan penyesuaian diri seperti
penelitian yang telah dilakukan oleh Sundari dan Herdijani (2013). Masih sedikit
penelitian yang membahas tentang bagaimana fatherless berdampak pada
kehidupan anak pada tahap selanjutnya. Peneliti disini ingin meneliti tentang
pengaruh ketiadaan ayah atau fatherless sebagai pembentuk persepsi anak
perempuan pada kehidupan perkawinan, karena penelitian tentang persepsi
terhadap perkawinan tersebut belum ditemukan oleh peneliti, dan sebagian besar
penelitian pada anak karena perceraian lebih berfokus pada aspek-aspek
psikologisnya seperti kesejahterahan subjektif, perkembangan sosioemosional,
pencapaian, konsep diri dan penyesuaian diri.
Beberapa penelitian tentang perceraian yang telah dilakukan baik oleh
psikolog maupun mahasiswa sebagai tugas akhir lebih banyak berfokus pada
anak dari perceraian biasanya mengalami fatherlessness. Selain itu penelitian lain
berbicara tentang anak korban dari perceraian dibandingkan dengan anak dari
keluarga utuh, biasanya merupakan penelitian kuantitatif, hasilnya merupakan nilai
siapa yang lebih dan siapa yang tidak lebih dari suatu variabel seperti penelitian
yang dilakukan oleh Santrock, 1975; Stolberg & Anker, 1988; dan Kalter, 1985.
Hanya ada sedikit penelitian yang berfokus pada anak korban perceraian dan
bagaimana pengaruhnya pada usia dewasa awal. Sehingga penelitian ini akan
menggunakan metode kualitatif.
Penelitian tentang persepsi terhadap perkawinan pada individu dewasa awal
pernah dilakukan pada individu yang hidup di keluarga yang mengalami KDRT
(Marpaung,2016). Akan tetapi penelitian tersebut lebih berfokus tentang bagaimana
dampak dari KDRT pada anak, bukan tentang perceraian yang berdampak pada
persepsi perkawinan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Catwright (2006) lebih
berfokus pada efek dari perceraian dan membandingkan antar jenis kelamin,
bagaimana dampaknya pada laki-laki ataupun perempuan, dan ternyata dampak
perceraian pada anak perempuan terlihat ketika masa dewasa awal ketika
menjatuhkan pilihan pada laki-laki sehingga penelitian ini ingin meneliti persepsi
terhadap perkawinan pada perempuan dewasa awal dengan kondisi fatherless
karena perceraian
Defisiensi atau celah dalam penelitian sebelumnya mengenai topik persepsi
terhadap perkawinan adalah sebagai berikut. Belum ada penelitian tentang persepsi
terhadap perkawinan yang berfokus pada anak korban peceraian yang berdampak
berfokus pada membandingkan anak dari keluarga bercerai dibandingkan dengan
anak dari keluarga utuh dan menggunakan jenis penelitian kuantitatif. Dari segi
subjek penelitian juga hanya berfokus pada waktu anak masih mengalami krisis
perceraian orang tuanya, belum banyak penelitian yang berfokus pada tahap
kehidupan anak selanjutnya, dan kepergian ayah yang menyebabkan fatherless
secara spesifik.
Untuk menutup defisiensi atau celah dari penelitian – penelitian lalu maka
penelitian ini mengungkap persepsi anak perempuan fatherless terhadap
perkawinan. Subjek dalam penelitian ini adalah perempuan dewasa awal yang
memiliki orang tua bercerai dan dengan kondisi fatherless. Penelitian dilakukan
dengan desain kualitatif. Prosedur pengambilan data akan dilakukan dengan metode
wawancara semi terstruktur. Peneliti meyakini dengan metode wawancara subjek
dapat bercerita lebih personal dan dapat menggali persepsi terhadap perkawinan
sesuai dengan hidup yang dihayati oleh subjek. Analisis data menggunakan analisis
isi kualitatif. Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah, tujuan penelitian,
dan manfaat dari penelitian akan dipaparkan sebagai berikut.
B. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana persepsi terhadap perkawinan pada perempuan dewasa awal
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mencari tahu dan mendeskripsikan tentang
persepsi anak perempuan dalam masa perkembangan dewasa awal dalam kondisi
fatherless terhadap perkawinan. Melalui pertanyaan wawancara, para subjek yang
berusia 20-30 tahun diharapkan dapat mengungkap bagaimana persepsi mereka
terhadap perkawinan. Setelah mengetahui bagaimana persepsinya peneliti dapat
menunjukkan bahwa dampak perceraian ternyata berdampak jangka panjang atau
tidak melalui baik atau buruknya persepsi perempuan dewasa awal fatherless
karena perceraian
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teorits
Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan di bidang psikologi khususnya psikologi perkembangan anak dan
psikologi keluarga, khususnya persepsi anak perempuan dalam kondisi fatherless
terhadap perkawinan.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai bagaimana persepsi anak perempuan fatherless terhadap perkawinan.
3. Manfaat Kebijakan
Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangsih bagi
panjangnya terutama pada anak perempuan, seperti memperketat peraturan
8 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini peneliti akan mengelaborasi tentang perempuan pada masa
dewasa awal dalam keadaan fatherless, dan tugas perkembangannya yang
terhambat ketika tidak ada ayah dalam kehidupan anak perempuan. Pada bagian
selanjutnya peneliti akan menjelaskan tentang perkawinan dan aspek-aspek
perkawinan. Pada bagian selanjutnya peneliti akan menjelaskan tentang persepsi
yang dekat dengan perkawinan, dalam bagian ini peneliti akan menjelaskan apa itu
persepsi terhadap perkawinan dan persepsi yang seperti apa yang akan diteliti oleh
peneliti.
A. Perempuan Dewasa Awal Fatherless Karena Perceraian
Subjek dalam penelitian ini adalah perempuan usia 20-30 tahun. Istilah adult
atau dewasa awal berasal dari kata latin yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Oleh
karena itu orang dewasa adalah seseorang yang telah menyelesaikan
pertumbuhannya dan siap menerima kedudukannya di dalam masyarakat bersama
orang dewasa lainnya (Hurlock,1991).
Di antara delapan tugas-tugas perkembangan dewasa awal, empat di
antaranya merupakan kegiatan-kegiatan pokok yang bersangkutan dengan hidup
perkawinan dan berkeluarga, yaitu (1) memilih pasangan hidup (2) belajar hidup
bersama dengan pasangan (3) Mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga
(4) mengelola rumah tangga. Tugas-tugas perkembangan itu pada dasarnya
merupakan tuntutan atau harapan-harapan sosio-kultural di mana manusia itu hidup
menginginkan status kedewasaan melekat pada dirinya, dan status tadi sebagian
diperoleh dengan hidup berkeluarga dalam suatu tali perkawinan.
Masa dewasa awal adalah masa yang tepat untuk memulai rumah tangga
yang baru melalui perkawinan. Banyak sumber yang menguraikan tentang
aspek-aspek yang menimbulkan kesukaran dalam hidup perkawinan. Hal ini adalah hal
yang sangat penting bagi individu pada masa dewasa awal yang masih dalam taraf
mempersiapkan perkawinan. Keadaan fatherless pada anak perempuan karena
perceraian memiliki dampak yang berlipat ganda bagi anak, perceraian adalah
keadaan dimana pernikahan ayah dan ibu terputus sebagai akibat kegagalan
pasangan (orangtua) untuk menjalankan kewajiban mereka dalam perceraian
biasanya sosok ayahlah yang pergi dalam keluarga tersebut padahal keterlibatan
ayah adalah hal penting dalam membentuk perkembangan anak terutama dalam
mempersiapkan anak menghadapi tugas perkembangan dalam masa dewasa awal
(Dally, 2007).
Menurut Hart (Yuniardi, 2006) ayah memiliki peran penting dalam
kehidupan anak, yakni: (a) economic provider: pendukung finansial keluarga, (b)
friend and playmate: ayah dianggap sebagai “fun parent” serta memiliki waktu
bermain yang lebih banyak dibandingkan dengan ibu. Ayah banyak berhubungan
dengan anak dalam memberikan stimulasi secara fisik, (c) caregiver: ayah dianggap
sering memberikan stimulasi afeksi dalam berbagai bentuk, sehingga memberikan
rasa nyaman dan penuh kehangatan, (d) teacher and role model: sebagaimana
dengan ibu ayah juga bertanggung jawab terhadap apa saja yang dibutuhkan anak
and disciplinary: ayah memenuhi peranan penting dalam pengawasan terhadap
anak, terutama begitu ada tanda-tanda awal penyimpangan sehingga disiplin dapat
ditegakkan, (f) protector: ayah mengontrol dan mengorganisasikan lingkungan
anak, sehingga anak terbebas dari kesulitan atau bahaya, (g) advocate: ayah
menjamin kesejahterahan anaknya dalam berbagai bentuk terutama kebutuhan anak
ketika berada di institusi diluar keluarganya, (h) resource: dengan berbagai cara
dan bentuk ayah mendukung keberhasilan anak dengan memberikan dukungan
dibelakang layar.
Kehadiran ayah berkolerasi secara positif dengan berbagai macam
perkembangan sosial anak (Dally, 2007) terutama kapasitas berhubungan dengan
orang lain. Dalam kapasitas berhubungan dengan orang lain anak yang mengalami
kelekatan aman dengan ayah melaporkan mengalami lebih sedikit konflik dalam
interaksinya dengan orang lain. memiliki hubungan yang lebih positif, dan disukai
oleh orang lain. Selain itu juga memiliki relasi yang lebih positif dengan orang lain,
dan memiliki persahabatan jangka panjang, perkawinan jangka panjang dan sukses,
merasa puas dengan pasangan, memiliki relasi intim yang sukses dan lebih sedikit
mengalami perceraian (Daly,2007; Krampe & Fairweather, 1993).
Ketika ayah tidak hadir dan tidak ada sosok yang berperan seperti itu dalam
kehidupan anak perempuan, maka anak perempuan akan memiliki berbagai macam
dampak dalam kehidupannya. Anak perempuan dalam kondisi fatherless memiliki
kondisi takut ditinggalkan, sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh ayahnya.
Beberapa anak perempuan juga cenderung memiliki rasa kecewa dan kehilangan
ayahnya. Selain itu anak perempuan juga mengalami kesulitan dan ketakutan untuk
berhubungan dengan laki-laki karena ia tidak memiliki pengalaman yang cukup
untuk berhubungan dengan lawan jenis. Anak perempuan yang tidak dibesarkan
oleh ayahnya juga dikatakan memiliki harga diri yang rendah sehingga beberapa
penelitian mengatakan bahwa anak perempuan fatherless mengalami kehamilan
diluar nikah. Kesepian juga hal yang dialami karena tidak memiliki sosok ayah
sebagai teman bermain di masa kanak-kanaknya. Tetapi juga ada spectrum lain
dimana perempuan tanpa ayah juga dikenal mudah memutuskan pasangan dengan
cepat sebelum ditinggalkan oleh pasangannya. (Blankenhorn,1996; Sundari, 2013,
Khorn & Bogan, 2001)
Keadaan ketiadaan peran dan figur ayah atau fatherless ternyata terbagi
menjadi dua bagian, ketika ayah pergi karena meninggal ternyata memiliki dampak
menjauh dari kontak dengan laki-laki, memiliki konsep tentang ayah yang baik dan
merasa sosok yang paling sedih karena kehilangannya. Sedangkan anak dengan
kondisi fatherless perceraian memencari perhatian lebih dari laki-laki dan teman
laki-laki seumurannya, mereka juga sangat mengkritik ayahnya, mereka juga
memiliki perilaku yang agresif dan secara konstan mencari perhatian dari sosok
yang lebih tua dan agresif secara fisik pada laki-laki dan perempuan di usianya.
B. Perkawinan
Perkawinan adalah suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan yang diakui
secara sosial, menyediakan hubungan seksual dan pengasuhan anak yang sah, dan
didalamnya terjadi pembagian hubungan kerja yang jelas bagi masing-masing pihak
baik suami maupun istri (Duvall & Miller,1985). Perkawinan juga diartikan dengan
komitmen emosional dan hukum dari dua orang untuk membagi kedekatan
emosional dan fisik, berbagi bermacam tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson
& Defrain, 2006).
Knox, 1975 mengungkapkan tiga alasan mengapa seseorang harus menikah,
pada awalnya menempuh atau menjalani perkawinan merupakan pertimbangan
bersama, dan keputusan keluarga, namun kemudian terjadi pergeseran. Alasan mengapa seseorang menikah antara lain adalah emotional security atau ingin berada dalam keadaan emosi yang stabil atau rasa aman secara emosional seorang
individu ketika menghidupi kehidupan perkawinan, companionship dapat diartikan
dengan persahabatan jadi dengan perkawinan seorang individu akan memiliki
teman seumur hidupnya atau ada yang menemani, dan desire to be parent yang
dapat diartikan sebagai keinginan untuk menjadi orangtua atau menghendaki untuk
menjadi orangtua.
Sedangkan alasan yang salah untuk menikah antara lain adalah physical
attractiveness atau ketertarikan hanya secara fisik misalkan menikahi seseorang
karena fisiknya sesuai dengan yang dimimpikan, economic security atau ingin
memiliki rasa aman dalam ekonomi bisasanya individu yang memiliki tujuan ini
tekanan dari orangtua, peers atau teman sebaya, patners atau pasangan, or
pregnancy atau kehamilan yang terjadi sebelum pernikahan, escape atau melarikan
diri, rebellion atau pemberontakan dari suatu hal, or rescue atau menolong
seseorang.
Perkawinan meliputi sejumlah aspek pengalaman. Aspek-aspek perkawinan
yang akan dirinci oleh peneliti diambil dari aspek-aspek kepuasan perkawinan yang
dirinci oleh Olson dan Fowers (1993), karena aspek-aspek dalam kepuasan
perkawinan merupakan aspek yang kompleks dan dapat mewakili aspek-aspek
perkawinan, aspek-aspeknya adalah sebagai berikut:
Komunikasi / communication. Aspek komunikasi dalam sebuah perkawinan berfokus pada memiliki teman untuk berkomunikasi dan memiliki
kenyamanan dan rasa senang yang dirasakan oleh pasangan suami istri dalam
membagi dan menerima informasi emosional dan kognitif secara verbal maupun
non- verbal. Komunikasi dalam perkawinan dibagi kedalam 5 elemen dasar yaitu:
keterbukaan terhadap pasangan (Openess), kejujuran terhadap pasangan (honesty),
kemampuan untuk membangun kepercayaan satu sama lain (ability to trust), sikap
empati kepada pasangan (emphaty), dan memiliki kemampuan untuk menjadi
pendengar yang baik bagi pasangan (listening skill).
Aktivitas Bersama. Aspek ini berfokus pada perkawinan yang menjadikan satu sama lain memiliki teman atau pasangan untuk melakukan kegiatan bersama.
Kegiatan bersama yang dilakukan bersama merupakan pilihan bersama, serta saling
memiliki harapan-harapan untuk mengisi waktu luang. Pasangan suami istri pada
sebuah pernikahan yang harmonis pasangan suami istri harus meluangkan waktu
untuk melakukan aktivitas bersama, aktivitas yang dilakukan bisa kecil namun
berarti dan dilakukan bersama. Aktivitas bisa diluar atau didalam rumah.
Pemecahan konflik/ conflict resolution. Dalam sebuah perkawinan pasti akan ada konflik seiring dengan berjalannya waktu. Akan tetapi melalui perkawinan
juga individu akan memiliki pasangan untuk belajar memecahkan beragam konflik
kehidupan. Pemecahan konflik yang baik dalam sebuah perkwinan akan
membentuk perkawinan yang saling mengenal dan percaya. Karena konflik pasti
dan akan datang dalam sebuah perkawinan oleh karena itu aspek ini akan berfokus
pada bagaimana pasangan suami istri menghadapi konflik melalui cara mengambil
keputusan dalam sebuah konflik melalui rasa saling percaya keterbukaan dan
startegi pemecahan konflik untuk mendapatkan solusi terbaik dalam memecahkan
konflik. Pemecahan konflik yang diterapkan pasangan suami istri dibutuhkan untuk
mengenal dan memecahkan konflik yang muncul dalam sebuah perkawinan
sehingga pasangan suami istri mendapatkan solusi terbaik untuk menghadapi
konflik yang dihadapi.
Manajemen ekonomi. Aspek ini berfokus pada sikap dan cara pasangan untuk belajar mengatur keuangan bersama, pembuatan keputusan mengenai
keuangan serta pasangan mengelola keuangan bersama. Biasanya pada pasangan
suami istri ketika salah satu memiliki harapan yang melebihi kemampuan keuangan
seperti memiliki barang yang diinginkan, ketidak mampuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup merupakan masalah yang dapat timbul dalam sebuah perkawinan.
terhadap kemampuan pasangannya dalam mengelola keuangan maka konflik dalam
perkawinan dapat muncul.
Kehidupan agama. Aspek ini berfokus tentang perkawinan yang menjadikan individu memiliki pasangan untuk menjalankan ibadah bersama serta
makna keyakinan beragama dan pelaksanaanya dalam kehidupan sehari-hari.
Terutama ketika telah menjalin hubungan suami istri, agama menjadi panutan untuk
bersikap dalam kehidupan perkawinan. Seseorang yang memiliki keyakinan
beragama akan bersikap peduli terhadap hal-hal keagamaan dan mau beribadah.
Pada umumnya, seorang individu yang sudah menikah akan lebih memperhatikan
kehidupan beragama. Pasangan suami istri sebagai orangtua akan mengajarkan
dasar-dasar dan nilai-nilai agama yang diyakini kepada anaknya, serta menjadi
teladan yang baik dengan membiasakan diri beribadah dan melaksanakan ajaran
agama yang diyakini
Kehidupan seksual. Aspek ini berfokus tentang kehidupan seksual pasangan suami istri, setelah menikah individu memiliki pasangan untuk
menyalurkan hasrat seksual. Sebagai pasangan suami istri sudah sewajarnya
melakukan hubungan seksual, selain itu sebagai pasangan suami istri seharusnya
dapat menerima tingkah laku seksual pasangan, setia terhadap pasangan.
Kehidupan seksual pada pasangan suami istri seharusnya dilakukan dengan cinta
dan kasih, saling memahami dan mengetahui kebutuhan satu sama lain dan saling
memahami dan mengetahui kebutuhan satu sama lain dan saling mengungkapkan
hasrat dan cinta yang dirasakan dan dapat membaca tanda-tanda yang diberikan
tetapi saling memuaskan dan sebagai cara mengungkapkan cinta agar memiliki
kehidupan perkawinan yang harmonis.
Keluarga dan teman. Melalui perkawinan individu memiliki pasangan untuk bersosialisasi dengan keluarga dan teman. Aspek ini berfokus pada
kehidupan sosial pasangan suami istri setelah menikah, karena perkawinan adalah
proses bersatunya laki-laki dan perempuan, dan kedua belah pihak keluarga. Selain
dua individu yang menjadi satu tetapi keluarga, kerabat dan teman dari
masing-masing individu menjadi satu. Pasangan suami istri akan saling memperhatikan
kerabat, mertua dan teman-teman dari pasangan. Biasanya perkawinan yang tidak
bahagia dan memiliki banyak masalah disebabkan karena salah satu pihak lebih
banyak menghabiskan waktu, lebih percaya dan lebih mudah dipengaruhi oleh
keluarga atau kerabat atau teman.
Anak-anak dan pengasuhan. Melalui perkawinan individu memiliki pasangan untuk belajar mengasuh anak bersama dengan pasangan. Salah satu tujuan
dari perkawinan adalah memiliki keturunan atau anak. Dalam sebuah kehidupan
perkawinan kehadiran anak akan menjadi hal yang membahagiakan satu sama lain
dan hal yang akan menjadikan satu sama lain lebih bertanggung jawab. Dalam
sebuah kehidupan perkawinan pasangan suami istri akan memiliki sikap pada anak
tentang tugas untuk mengasuh, keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita pribadi
terhadap anak, sehingga sebagai pasangan suami istri perlu memiliki kesepakatan
dalam mengasuh anak. Hal tersebut perlu dilakukan untuk membentuk keluarga
Kesamaan peran. Melalui perkawinan individu memiliki teman atau pasangan untuk belajar berbagi peran atau tugas bersama. Menjalani hidup
perkawinan adalah menanggung apapun bersama. Untuk menjalani hidup bersama
penting untuk menerima dan membantu peran masing-masing pasangan. Aspek ini
berfokus pada perasan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam
kehidupan perkawinan yang berfokus pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran
sesuai dengan jenis kelamin masing-masing, dan peran sebagai orangtua.
Perempuan memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki,
serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan
kepuasan pribadi. Suami juga tidak merasa malu apabila penghasilan istri lebih
besar dan istri memiliki jabatan dalam pekerjaan yang lebih tinggi. Itulah
aspek-aspek perkawinan yang akan menjadi objek persepsi, yang akan diungkap dalam
penelitian ini.
C. Persepsi terhadap Perkawinan
Persepsi terhadap perkawinan adalah bagaimana anak perempuan
memandang perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia/ harmonis dan kekal/ kokoh. Persepsi adalah cara
pandang atau pengamatan individu terhadap stimulus yang ada di lingkungannya
melalui proses pengindraan yang dilakukan secara aktif untuk dapat menafsirkan
dan menyimpulkan stimulus tersebut (Myers, 1992). Dari kedua definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap perkawinan adalah cara pandang
wanita), melalui proses pengindraan yang dilakukan secara aktif untuk dapat
menafsirkan dan menyimpulkan stimulus tersebut.
Menurut Lindgren (dalam Ghufron, 2003) perilaku seseorang ditentukan
oleh persepsi dan pemahaman mereka terhadap situasi yang dikaitkan dengan
tujuan. Perilaku individu dapat diprediksikan apabila diketahui bagaimana individu
mempersepsikan situasi dan apa yang diharapkan. Perilaku seseorang ditentukan
oleh persepsi mengenai diri mereka dan lingkungan sekitarnya, sehingga apa yang
dilakukan merupakan cerminan dari lingkungan sekitarnya dan persepsi dapat
mempengaruhi perilaku. Oleh karena itu ketika individu memiliki persepsi yang
baik pada perkawinan maka diasumsikan akan memiliki sikap yang baik juga pada
perkawinan.
Menurut Allport (dalam Mar’at, 1991) persepsi memiliki beberapa
komponen pembentuknya salah satunya adalah komponen kognitif, komponen ini
tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang
objek sikapnya, dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan
tertentu tentang objek sikap tersebut. Persepsi menurut Young (1956) adalah
aktivitas mengindra, mengintergrasikan, memberikan penilaian pada objek-objek
fisik maupun objek-objek sosial. Selain itu persepsi juga dibentuk dengan harapan
seperti yang dijelaskan oleh Calhoun dan Acocella bahwa pada akhirnya individu
cenderung mencampur sebagian besar pemikiran penuh harapan kedalam gambaran
Berdasarkan pengertian tersebut, dalam penelitian ini persepsi dibatasi pada
pengetahuan, harpan, dan penilaian anak perempuan yang tidak memiliki ayah pada
perkawinan. Persepsi individu memiliki tiga aspek yaitu pengetahuan yang dimiliki
individu mengenai perkawinan, pengharapan yang dimiliki individu untuk
perkawinannya sendiri serta penilaian individu mengenai perkawinannya (Calhoun
& Acocella, 1990)
Pengetahuan. Komponen pertama dari persepsi adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud berupa apa yang kita ketahui atau kita anggap tahu
mengenai perkawinan. Pengetahuan tentang perkawinan adalah segala sesuatu yang
diketahui tentang perkawinan, karena setiap individu terutama individu dewasa
awal memiliki pengetahuan tentang perkawinan. Pengetahuan juga dapat berupa
wujud lahirian, perilaku, masa lalu, perasaan dan motif. Hal ini dapat dilihat
berdasarkan pengetahuan mengenai perkawinan, faktor-faktor yang mendorong
untuk menikah, cara untuk memandang perkawinan, dan tujuan untuk menikah
biasanya didapatkan dari masa lalu dan perasaan terhadap kehidupan perkawinan
yang ia saksikan (Calhoun & Acocella, 1990).
Harapan. Komponen kedua dari persepsi adalah harapan. Harapan juga diartikan dengan gagasan kita tentang perkawinan yang diinginkan seperti apa dan
dipadukan dengan ingin melakukan apa. Harapan adalah sesuatu yang diinginkan,
dalam komponen ini adalah harapan terhadap perkawinan atau sesuatu yang
diinginkan dari perkawinan pribadi. Selain individu mempunyai pengetahuan
sendiri, seperti apa perkawinan yang diinginkan, apa yang harus dilakukan dalam
perkawinan dan pasangan hidup yang diinginkan (Calhoun & Acocella, 1990).
Penilaian atau evaluasi. Komponen terakhir dari persepsi adalah evaluasi. Penilaian atau evaluasi adalah proses pemberian nilai atau kesimpulan individu
terhadap perkawinan yang didasarkan pada bagaimana perkawinan tersebut
memenuhi pengharapan individu terhadap perkawinan (Calhoun & Acocella,
1990). Penilaian dalam penelitian ini tentang bagaimana anak perempuan fatherless
karena perceraian menilai perkawinan kedua orangtuanya, dimana nilai tersebut
dapat menjadi salah satu pembentuk persepsi anak terhadap perkawinan.
Persepsi ini perlu diteliti karena menurut Sherif (1969, dalam Sadi, 1977),
pengalaman dan tingkah laku merupakan sebuah kesatuan. Apa yang dilakukan
seseorang baik sebagai ucapan, ekspresi, atau perilaku tidak terlepas dari caranya
mempersepsikan situasi, mengapresiasikannya atau apa yang ia ingat mengenai
suatu hal. Berdasarkan hal ini, persepsi anak perempuan terhadap perkawinan dapat
mempengaruhi perilaku anak perempuan dalam perkawinan. Persepsi terhadap
perkawinan yang baik akan menghasilkan kehidupan rumah tangga yang kokoh dan
harmonis, begitu pula sebaliknya.
Oleh karena berbagai macam hambatan dalam perkembangan sosial
(berhubungan dengan lawan jenis) anak perempuan dalam masa dewasa awal dalam
kondisi fatherless, peneliti ingin mencari tahu lebih dalam bagaimana pandangan
anak perempuan (dengan kondisi fatherless) terhadap perkawinan. Mengingat
bahwa pandangan atau persepsi terhadap perkawinan adalah hal yang
penting untuk membangun rumah tangga melalui perkawinan terutama perempuan
(seperti yang telah dijelaskan pada bagian pertama)
D. Kerangka Konseptual
Anak perempuan yang hidup dan mengalami fatherless dalam
kehidupannya tidak dapat menjalani perkembangan sosial sesuai dengan anak yang
memiliki peran ayah dalam hidupnya (Dally,2007). Terutama fatherless yang
disebabkan karena perceraian kedua orang tua. Perempuan yang tidak memiliki
ayah memiliki kecenderungan terhambat dalam menjalani masa dewasa awal,
sehingga akan memiliki persepsi yang berbeda juga tentang perkawinan. Hal
tersebut disebabkan karena persepsi tersebut tidak lepas dari pengalaman
sebelumnya, kegagalan perkawinan yang dijalani oleh orang tua akan
mempengaruhi persepsi anak terhadap perkawinan.
Pada anak perempuan yang sedang dalam masa persiapan untuk perkawinan
(masa dewasa awal) kemungkinan anak perempuan dalam keadaan fatherless akan
memiliki persepsi yang negatif terhadap kehidupan perkawinan, karena mereka
yang memiliki orangtua bercerai dan mengalami ketiadaan ayah memiliki rasa
memencari perhatian lebih dari laki-laki dan teman laki-laki seumurannya, mereka
juga sangat mengkritik ayahnya, mereka juga memiliki perilaku yang agresif dan
secara konstan mencari perhatian dari sosok yang lebih tua dan agresif secara fisik
Untuk mengeksplorasi bagaimana persepsi terhadap perkawinan pada anak
perempuan dengan kondisi fatherless karena perceraian maka peneliti mengungkap
persepsi terhadap perkawinan dengan melihat perepsi dari tiga hal yakni
pengetahuan, harapan dan penilaian tentang perkawinan (Calhoun & Acocella,
1990). Perkawinan yang menjadi objek persepsi juga dibagi menjadi beberapa
komponen yang ada dalam perkawinan yakni komunikasi, aktivitas bersama,
pemecahan konflik, manajemen ekonomi, kehidupan seksual, kehidupan
keagamaan, keluarga dan teman, anak-anak dan pengasuhan, dan kesamaan peran
yang akan menjadi objek dari persepsi perkawinan.
Sembilan aspek perkawinan yang dirinci dari kepuasan perkawinan oleh Olson
dan Fowers (1993) akan menjadi objek dari penelitian ini. Peneliti akan menggali
persepsi sembilan objek tersebut pada anak perempuan fatherless karena
perceraian. Sembilan objek tersebut akan menjadi parameter baik atau buruk
persepsi anak perempuan yang mengalami fatherless karena perceraian. Kerangka
dari penelian ini akan digambarkan melalui gambar 2.1.
E. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana persepsi terhadap perkawinan pada perempuan dewasa awal
24 BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan deduktif terarah.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mencoba menggali makna mengenai isu
atau masalah yang diteliti sesuai apa yang diyakini atau dihayati para partisipan,
sehingga peneliti harus terjun langsung ke dalam lingkungan atau suasana alamiah
partisipan, untuk mengambil berbagai macam data, baik melalui wawancara,
observasi maupun dokumen-dokumen. Penelitian kualitatif mencoba untuk mencari
gambaran menyeluruh dari isu yang diteliti, sehingga bisa saja pelaksanaan
penelitian ini lebih luas dari rencana penelitian yang telah disusun sebelumnya
(Creswell, 2009, dalam Supratiknya, 2015)
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain penelitian analisis isi
kualitatif (AIK), yaitu metode penelitian untuk menafsirkan secara subjektif isi data
berupa teks melalui proses klasifikasi sistematis berupa coding atau pengodean dan
pengidentifikasian aneka tema atau pola (Hsieh & Shanon, 2005, dalam
Supratiknya, 2015)
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengungkap dan memahami persepsi
terhadap perkawinan pada anak perempuan dewasa awal yang fatherless. Metode
pengambilan data dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur, dengan
beberapa pertanyaan yang bersifat terbuka, agar subjek dapat mengungkap lebih
Analisis data diawali dengan mentranskripkan data lisan atau rekaman
elektronik menjadi teks tertulis atau dokumen. Selanjutnya analisis isi kualitatif
(AIK), teks atau trasnkrip tersebut dikelompokkan dalam beberapa kategori. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan deskripsi yang padat dan kaya tentang fenomena
yang diteliti (Supratiknya, 2015)
B. Fokus Penelitian
Fokus dalam penelitian ini adalah persepsi perempuan terhadap perkawinan.
Penelitian ini hendak mengungkap bagaimana persepsi perempuan dengan kondisi
fatherless karena perceraian terhadap perkawinan. Persepsi sendiri berarti proses
internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan
rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi prilaku kita
(Mulyana, 2007). Persepsi terhadap perkawinan dapat dibentuk melalui
pengalaman perkawinan yang ia saksikan. Persepsi terhadap perkawinan terbentuk
karena adanya pengetahuan, harapan dan penilaian dari partisipan terhadap
perkawinan.
Objek persepsi dari penelitian ini adalah perkawinan, perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan. Perkawinan dalam penelitian ini
dirinci menjadi sembilan aspek perkawinan. Aspek-aspek perkawinan yang dirinci
oleh peneliti adalah: komunikasi, aktivitas bersama, pemecahan konflik,
manajemenekonomi, kehidupan agama, kehidupan seksual, keluarga & teman,
anak-anak & pengasuhan, serta kesamaan peran. Berdasarkan baik atau buruk
parameter baik atau buruk persepsi perempuan fatherless karena perceraian
terhadap perkawinan.
C. Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah lima perempuan. Kriteria dari subjek
penelitian ini adalah perempuan berada dalam masa dewasa awal dengan usia
20-30 tahun yang berasal dari keluarga yang fatherless atau tidak mengalami kehadiran
ayah dalam keluarga yang disebabkan perceraian kedua orang tua. Pengalaman
perceraian orangtua paling tidak telah melewati masa krisis yakni minimal tiga
tahun setelah perceraian. Peneliti menggunakan teknik sampling berupa criterion
sampling. Criterion sampling bertujuan untuk meninjau dan mempelajari semua
kasus yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan peneliti agar sesuai dengan
tujan penelitian (Patton,2002). Jumlah partisipan diputuskan setelah peneliti
melakukan wawancara pada partisipan ke 6 dan partisipan tersebut memiliki
jawaban yang kurang lebih sama dengan kelima partisipan yang telah di wawancara
dimana peneliti menemukan bahwa data yang peneliti miliki telah mengalami
exhausted. Berikut data partisipan dalam tabel 1:
Tabel 1. Data partisipan
Inisial Usia Fatherless selama
NK (P1) 23 23 th
M (P2) 21 7 th
ND (P3) 24 24 th
K (P4) 25 5th
D. Peran Peneliti
Dalam penelitian kualitatif ini peneliti berperan sebagai instrumen kunci,
peneliti turun sendiri ke lokasi penelitian untuk melakukan pengumpulan data.
Pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode
wawancara. Wawancara kualitatif yang dilakukan oleh peneliti yaitu wawancara
antara peneliti dan partisipan melalui tatap muka, yang didasarkan pada pertanyaan
yang semi terstruktur dan terbuka untuk memancing pandangan dan pendapat para
subjek (Supratiknya, 2015)
Dalam rangka merekrut atau memilih partisipan peneliti memilih
perempuan dalam usia 20-30 tahun yang tidak memiliki ayah melalui administrasi
gereja, dan mengajukan permohonan secara informal melalui chat dan telepon
langsung kepada subjek untuk mengambil data singkat dan akan memberikan
lembar kesepakatan partisipasi penelitian yang kemudian ditanda tangani oleh para
subjek ketika subjek bersedia untuk diwawancara, dalam hal ini peneliti akan
berperan menjaga kerahasiaan data serta kepercayaan yang telah diberikan subjek
kepada peneliti.
Kemungkinan yang paling buruk bisa terjadi dari penelitian ini adalah
munculnya rasa sedih atau perasaan-perasaan lain yang dapat menimbulkan
ketidaknyamanan dalam diri subjek, karena pengalaman buruk yang pernah dilalui
bersama dengan ayahnya, dan adanya ketidak terbukaan oleh subjek karena
membahas tentang relasi dengan lawan jenis. Oleh karena itu peneliti memilih
subjek sudah melewati masa transisi dari ada menjadi tidak ada ayah dalam
hidupnya.
E. Prosedur Pengambilan Data
Penelitian ini menggunakan metode wawancara semi terstruktur dalam
pengambilan data. Wawancara semi terstruktur adalah percakapan dengan maksud
tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara atau yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang akan memberikan jawaban atas
pertanyaan yang telah disampaikan oleh pewawancara (Moleong, 2015).
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara semi terstruktur dengan
menggunakkan daftar pertanyaan. Pertanyaan dapat dimodifikasi menurut respon
partisipan saat menjawab pertanyaan sehingga memungkinkan peneliti melakukan
dialog dengan subjek. selain itu peneliti dapat menyelidiki lebih jauh tentang
hal-hal menarik dan penting yang mungkin muncul dalam wawancara. Sebelum
wawancara dilakukan, ada beberapa langkah yang digunakan agar pengambilan
data dapat dilaksanakan dengan baik. Tahapan pelaksanaan wawancara tersebut
adalah:
1. Mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria dan bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian
2. Menyusun kesepakatan jadwal dilakukannya wawancara antara peneliti
dan partisipan
3. Melaksanakan wawancara sesuai kesepakatan peneliti dan partisipan.
(digital recorder). Di samping itu peneliti juga mencatat perilaku
nonverbal dari partisipan selama proses wawancara berlangsung.
Setelah data terkumpul peneliti melakukan transkrip wawancara dari
hasil perekaman tersebut.
Berikut adalah pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian
ini:
A. Pertanyaan pembuka
1. Bisa di ceritakan kenapa kedua orangtua mu bercerai?
2. Bagaimana perasaanmu terhadap ayah?
B. Pertanyaan inti
1. Apa yang kamu ketahui tentang kehidupan perkawinan?
2. Menurutmu hal apa saja yang mendorong seseorang untuk
menikah?
3. Bagaimana gambaran perkawinan menurutmu?
4. Ketika kamu menikah, kehidupan perkawinan seperti apa yang
kamu inginkan?
5. Bagaimana penilaianmu tentang kehidupan perkawinan yang
telah dilalui oleh orangtuamu?
6. Pengalaman seperti apa yang paling kamu ingat?
F. Analisis dan Intepretasi Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis isi kualitatif atau AIK.
AIK adalah metode analisis pesan-pesan komunikasi, baik tertulis, lisan maupun
visual (Supratiknya, 2015). Dalam AIK, dilakukan klasifikasi atau penyaringan
terhadap teks atau kata-kata kedalam sejumlah kategori yang mewakili aneka isi
mengenai konsep atau kategori tentang fenomena yang sedang diteliti (Heish &
Shanon, 2005; Elo & Kygas, 2008, dalam Supratiknya, 2015)
Analisis penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif, atau analisis isi
terarah. Penelitian ini menghasilkan data berupa transkrip hasil wawancara.
Kemudian data berupa transkrip tersebut dianalisis melalui langkah-langkah
berikut: (1) membaca secara berulang-ulang corpus data berupa transkrip verbatim.
(2) melakukan initial coding atau menemukan kode-kode berupa konsep-konsep
tertentu dalam transkripsi verbatim secara induktif baris demi baris (inductive, line
by line approach). (3) mengelompokkan kode-kode kedalam tema-tema yaitu
sejenis konsep besar dengan cakupan isi yang lebih luas dibandingkan dengan kode,
dengan tujuan menemukan sejenis narasi analitik yang koheren dari keseluruhan
corpus data. (4) memperhalus atau mempertajam analisis dengan cara
menempatkan tema dan sub-sub tema dibawah masing-masing tema,
tema-tema dan tema-tema tersebut selanjutnya diberi label atau nama, masing-masing
sub-tema, tema-tema dan sub tema tersebut selanjutnya diberi label atau nama
masing-masing sub tema dilengkapi dengan kutipan-kutipan yang dicuplik dari transkripsi
verbatim sebagai bukti atau pendukung sehingga diperoleh narasi yang utuh tentang
fenomena yang diteliti. Kriteria yang hendak digunakan dalam koding tertera dalam
Tabel 2 Tabel kriteria koding persepsi terhadap perkawinan
G. Kredibilitas Data
Peneliti biasanya melakukan beberapa strategi untuk menguji kredibilitas
penelitiannya. Dalam penelitian ini ada beberapa strategi yakni strategi pertama
adaah member checking. Member checking dilakukan setelah data dirumuskan ke
dalam tema-tema, peneliti akan membawa kembali kepada partisipan untuk
mengetahui apakah tema-tema yang telah dirumuskan tersebut akurat atau sesuai
dengan diri partisipan. Strategi kedua yang dilakukan adalah thick discription atau
diskripsi mendalam dimana peneliti menyajikan deskripsi yang sangat rinci tentang
setting atau lingkungan penelitian dan dinamika ketika melaksanakan wawancara.
Dengan cara itu, hasil-hasil penelitian menjadi lebih realistik dan dapat dipercaya
(Supratiknya, 2015). Strategi selanjutnya yang digunakan adalah dengan
menuliskan latar belakang setiap partisipan sehingga peneliti dapat membuktikan
bahwa setiap partisipan yang dilibatkan dalam penelitian ini benar adanya bukan
sekedar partisipan fiktif.
Penelitian ini menggunakan dua strategi untuk menguji konsistensi hasil
penelitian. Strategi pertama adalah peneliti memeriksa berulangkali
transkrip-transkrip rekaman wawancara untuk memastikan tidak ada kesalahan yang serius
saat proses transkripsi. Pada strategi kedua peneliti juga membandingkan data
dengan kode-kode yang telah dirumuskan. Hal ini untuk menghindari pergeseran
makna kode-kode yang mungkin terjadi selama proses transkripsi. Strategi lain
yang peneliti gunakan agar tidak terjadi pergeseran makna adalah meminta
pendapat dari peer dan expert tentang hasil wawancara yang dimasukkan kedalam
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini diadakan pada akhir Mei 2018 sampai awal Oktober 2018.
Proses pengambilan data menggunakan metode wawancara yang dilakukan oleh
peneliti sendiri kepada lima perempuan dewasa awal yang mengalami fatherless
karena perceraian. Wawancara dilakukan di berbagai tempat dari kampus sampai
rumah partisipan. Durasi wawancara bervariasi antara 60 menit sampai 120 menit.
Rangkuman waktu dan tempat diadakanya wawancara disajikan di Tabel 4.
Tabel 3. Lokasi dan waktu pelaksanaan wawancara
No. Partisipan Waktu Lokasi
1. P1 31 Mei 2018 29 Agustus 2018
Ruang Observasi 2
Kos Partisipan
2. P2 20 September 2018 Ruang diskusi 3. P3 28 Mei 2018
25 September 2018
Rumah Partisipan
Rumah Partisipan
4. P4 4 Oktober 2018 Ruang Observasi 2 5. P5 12 Juni 2018
5 Oktober 2018
Kos partisipan
B. Partisipan dan Dinamika Proses Wawancara
Penelitian kualitatif memiliki tujuan menyimpulkan cerita yang rinci
tentang tingkah laku dan keyakinan orang atau kelompok orang yang diteliti.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mendalami dan mendeskripsikan
persepsi anak perempuan fataherless yang disebabkan karena perceraian
terhadap perkawinan. Melalui wawancara semi-terstruktur penelitian ini akan
menggambarkan persepsi partisipan terhadap perkawinan. Sebelum
melaksanakan wawancara peneliti melakukan penyusunan jadwal untuk
melakukan wawancara melalui chat.
Pada hari yang telah dijadwalkan, peneliti mencoba untuk melihat
mood partisipan terlebih dahulu melalui pertanyaan-pertanyaan seputar
kegiatan sehari-hari, setelah partisipan mulai terbuka pada peneliti, peneliti
menjelaskan bahwa identitas partisipan dan proses wawancara akan dijamin
kerahasiaanya, peneliti juga akan meminta informed consent atau pernyataan
dari pihak partisipan bahwa dirinya setuju dan bersedia untuk diwawancarai.
Selama proses wawancara peneliti melakukan perekaman audio dan mencatat
hal-hal seputar ekspresi dan mood partisipan selama wawancara. Setelah
wawancara peneliti mengucapkan terimakasih dan memberikan kesempatan
pada partisipan kalau ada yang masih ingin ia ungkapkan, setelah itu peneliti
akan melakukan debrief atau proses mengembalikan emosi partisipan tentang
penelitian yang melibatkan wawancara yang telah dilakukan oleh partisipan
Partisipan pertama (P1) adalah perempuan dengan usia 23 tahun yang sedang mendalami kuliah S1 Psikologi. Partisipan adalah anak ke-4 dari 4
bersaudara. Kelahiran partisipan adalah momen dimana ayah partisipan
memutuskan untuk bercerai dengan ibunya. Partisipan hidup tidak bersama
dengan ayah sejak partisipan lahir, karena saat partisipan lahir ayah dari
partisipan mengaku telah memiliki istri siri yang menyebabkan ibu dari
partisipan marah dan memutuskan untuk bercerai. Partisipan memiliki dua
kakak perempuan yang sudah menikah karena hamil terlebih dahulu dan
mengalami kegagalan dalam perkawinan. Kegagalan perkawinan kakak
pertama adalah kakak pertama mengalami KDRT, kegagalan perkawinan kakak
kedua adalah ia harus menerima kenyataan bahwa suaminya telah memiliki
anak dari perempuan lain. Berbagai pengalaman yang telah dialami oleh
partisipan mengakibatkan partisipan memiliki persepsi yang tidak biasa
mengenai perkawinan. Partisipan memiliki keinginan untuk menjadi biarawati
dan menghindari sakramen perkawinan.
Pengambilan data dilangsungkan sebanyak dua kali, pada
pengambilan data yang pertama wawancara berlangsung kurang lebih 120
menit. Pengambilan data yang kedua berlangsung selama 70 menit. Pada saat
wawancara yang pertama P1 mengenakan pakaian formal, karena wawancara
dilaksanakan setelah kuliah di ruang observasi. Selama wawancara
berlangsung partisipan banyak mengungkapkan rasa marah, melalui kata-kata
kasar dan makian kepada ayahnya maupun laki-laki pada umumnya. Sekitar
ketika mengenang apa yang telah ayahnya lakukan pada ibunya. Pengambilan
data yang kedua dilaksanakan di kos partisipan. Partisipan terlihat lebih baik,
lebih banyak tertawa dan terlihat lebih santai.
Partisipan kedua (P2) perempuan berusia 22 tahun yang sedang mendalami kuliah S1 Pendidikan Bahasa Inggris. Partisipan adalah anak ke-3
dari 7 bersaudara. Partisipan telah berpisah dengan ayahnya selama 8 tahun.
Ayah partisipan memutuskan untuk hidup bersama dengan wanita
simpanannya, setelah melakukan perselingkuhan selama 10 tahun. Partisipan
dibesarkan oleh ibu dan keuangannya disokong oleh pamannya. Setelah
mengalami pengalaman yang begitu kelam, naik turun ekonomi yang begitu
drastis dan menerima rasa tidak adil dari ayah yang memutuskan untuk
memilih istri muda P2 memiliki rasa cuek dan tidak peduli pada laki-laki
terutama pada perkawinan. Subjek memiliki pandangan yang buruk terhadap
perkawinan dan sifat dependen yang tinggi.
Proses pengambilan data dilakukan di pagi hari di dalam
perpustakaan. Pengambilan data berlangsung selama 120 menit. Pada saat
wawancara berlangsung P2 menggunakan pakaian rapi dan formal. Selama
proses wawancara partisipan terlihat santai dan banyak bercerita, sesekali
subjek marah pada apa yang dilakukan ayahnya dan melampiaskan
kemarahan dengan berkata kasar pada ayah dan laki-laki pada umumnya, dan
sesekali juga subjek menangis ketika membahas tentang perasaannya terhadap
Partisipan ketiga (P3) adalah perempuan berusia 24 tahun yang hidup bersama dengan ibu dan uti atau nenek. P3 saat ini bekerja sebagai
perawat di rumah sakit swasta. P3 tidak memiliki banyak pengalaman dengan
ayah karena ayah dan ibu memutuskan untuk bercerai sejak subjek berusia 3
bulan. Ayah P3 memutuskan untuk bercerai karena ingin kembali ke istri
tuanya. Ibu dari P3 adalah istri muda dari ayah P3. Ayah dari P3 memutuskan
untuk pergi dan tetap menjalin komunikasi hingga P3 menginjak usia SMP.
Sesudah itu ayah P3 memutuskan unntuk tidak berhubungan lagi dengan
keluarga P3. P3 saat ini memiliki kekasih yang sudah akan beranjak menuju
ke perkawinan. Akan tetapi P3 terlihat tidak memiliki hak untuk memilih
pasangan karena ibu dan uti bersikap protektif dalam memilih laki-laki yang
akan masuk kedalam keluarga mereka.
Wawancara dilaksanakan di rumah P3. Suasana rumah terasa sepi dan
tenang karena ibu masih bekerja dan uti sedang beristirahat. Wawancara
berlangsung selama 60 menit, P3 mengenakan pakaian yang terlihat santai, P3
terlihat lelah karena wawancara dilaksanakan sepulang P3 bekerja. P3 terlihat
tenang dalam menceritakan setiap cerita, tidak terlihat marah ataupun sedih,
P3 cenderung lebih tertutup terkait masalahnya dengan keluarga. P3 juga
memiliki harapan yang tinggi terhadap perkawinan karena P3 akan
melaksanakan perkawinan di tahun 2019. P3 terlihat murung saat
menceritakan perkawinan dan keluarganya.
bersaudara. P4 tidak hidup bersama dengan ayahnya selama 5 tahun. P4
memutuskan untuk hidup tidak bersama dengan orang tua di Yogyakarta
karena setelah bercerai ibu dari P4 memutuskan untuk hidup di Amerika
Serikat. Selama berada di Yogyakarta P4 memutuskan untk hidup bersama
dengan pacarnya. P4 merasa bahwa hidup dengan kekasihnya adalah hal yang
menyenangkan tetapi P4 tidak ingin menikah dengan kekasihnya. P4 merasa
sudah cukup untuk tinggal bersama tanpa harus menikah.
Proses pengambilan data berlangsung selama 50 menit. Wawancara
berlangsung di ruang observasi kecil sebuah Perguruan Tinggi Swasta di
Yogyakarta. P4 mengenakan pakaian yang rapi karena wawancara berlangsung
ketika P4 selesai ujian. Selama wawancara berlangsung P4 terlihat sangat
nyaman untuk bercerita. Saat wawancara berlangsung P4 membawa seorang
teman karena merasa tidak nyaman untuk sendiri. P4 menangis ketika
menceritakan pengalamanya dipukuli baik oleh ibu tiri ataupun mantan
pacarnya. P4 juga banyak berkata kasar dan memaki ayah atau ibu tirinya yang
telah banyak menyakitinya baik secara fisik maupun verbal.
Partisipan kelima (P5) adalah perempuan berusia 23 tahun yang selama 23 tahun hidup tanpa ayah. Saat ini P5 sedang mendalami kuliah S1
Manajemen. P5 adalah anak ke-2 dari 2 bersaudara. Ayah dari P5 memutuskan
untuk pergi saat ibu P5 mengandung P5. P5 bahkan tidak pernah sekalipun
diberitahu siapa ayahnya baik oleh ibu ataupun kerabat. P5 banyak menjalin
memiliki pandangan yang kurang baik pada laki-laki terutama yang sebaya dan
mengagungkan laki-laki yang jauh lebih tua darinya.
Wawancara dilaksanakan sebanyak dua kali yang pertama
berlangsung sekitar 20 menit dan yang kedua sekitar 30 menit. Wawancara
pertama dilaksanakan di kos P5. P5 terlihat tegang saat wawancara. P5 merasa
bahwa ceritanya merupakan rahasia. Di pertemuan kedua P5 terlihat lebih
santai dan nyaman saat menceritakan pengalamannya bersama dengan ibunya.
P5 sempat menitikkan air mata ketika ia menceritakan perjuangan ibunya dan
terlihat sedih ketika ia tidak tahu menahu tentang ayahnya.
C. Hasil Penelitian
Dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian, peneliti akan mencari tahu bagaimana cara partisipan perempuan dewasa awal yang
mengalami fatherless karena perceraian mempersepsikan perkawinan. Persepsi
terhadap perkawinan sendiri terbagi menjadi tiga komponen yakni
pengetahuan tentang perkawinan, harapan terhadap perkawinan dan penilaian
pada perkawinan (Calhoun & Acocella, 1990). Perkawinan sendiri mencakup
9 aspek, meliputi komunikasi, aktivitas bersama, pemecahan konflik,
manajemen ekonomi, kehidupan agama, kehidupan seksual, keluarga dan
teman, anak dan pengasuhan serta kesamaan peran (Olson & Fowers 1993).
Untuk menjawab pertanyaan penelitian peneliti akan menjabarkan persepsi
perkawinan. Untuk memperkuat hasil, peneliti juga akan mengutip kutipan
wawancara dari partisipan yang mendukung paparan hasil.
1. Aspek Komunikasi
Aspek komunikasi dalam perkawinan mengacu pada kenyataan
bahwa melalui perkawinan individu memiliki teman untuk berkomunikasi
sehingga bisa memilki rasa nyaman dan rasa senang (Olson & Fowers 1993).
Terhadap aspek komunikasi ada tiga komponen persepsi yang muncul dalam
penelitian ini, yaitu penilaian, pengetahuan dan harapan.
Komponen persepsi yang paling sering muncul pada aspek
komunikasi adalah penilaian, yaitu apa yang dinilai, disimpulkan, diputuskan, ditafsirkan, dipilih dan diprasangkai oleh partisipan (Calhoun &
Acocella, 1990) tentang komunikasi dalam perkawinan. Partisipan menilai
bahwa laki-laki tidak dapat dipercaya. Hal itu dapat dilihat dari pendapat (P2),
(P4), dan (P5):
Laki-laki tidak dapat dipercaya
“laki-laki itu omongannya gak bisa dipercaya tu lho dia bilang mau bersikap untuk tidak memihak tapi dianya malah tetep memihak si perempuan itu dan apa yang dikatain tu kayak gak sesuai dengan apa yang dilakukan.” (P2)
“Ada jangan terlalu percaya sama laki-laki 100%.” (P5)
“lah kita kan gak boleh terlalu percaya to sama laki-laki, ibuku aja ditinggal pas lagi hamil aku.” (P4)
Komponen persepsi kedua yang paling sering muncul dalam aspek