• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI TERHADAP PERKAWINAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL DENGAN KONDISI FATHERLESS KARENA PERCERAIAN Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERSEPSI TERHADAP PERKAWINAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL DENGAN KONDISI FATHERLESS KARENA PERCERAIAN Skripsi"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI TERHADAP PERKAWINAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL DENGAN KONDISI FATHERLESS KARENA

PERCERAIAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Vania Lorrayne Pamuji

149114108

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

HALAMAN MOTTO

I believe miracle come true – a kid

“USAHA TIDAK AKAN MENGKHIANATI HASIL” – FC

-You can do it-

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk ayah diatas segala ayah, Sang Pencipta.

Dan untuk ayahku yang kucinta.

(6)
(7)

vii

PERSEPSI TERHADAP PERKAWINAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL DENGAN KONDISI FATHERLESS KARENA PERCERAIAN

Vania Lorrayne Pamuji

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu persepsi perempuan dengan keadaan fatherless karena perceraian terhadap perkawinan. Perkawinan dalam penelitian ini meliputi sembilan aspek, yaitu komunikasi, aktivitas bersama, pemecahan konflik, manajemen ekonomi, kehidupan agama, kehidupan seksual, anak dan pengasuhan, keluarga dan teman, serta kesamaan peran. Partisipan dalam penelitian ini adalah 5 perempuan dewasa awal (usia20-30tahun) dengan keadan fatherless karena perceraian. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur (interview). Analisis data dilakukan dengan metode analisis isi kualitatif (AIK), menggunakan pendekatan deduktif atau terarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan fatherless karena perceraian memiliki persepsi (pengetahuan, harapan dan peilaian) yang cenderung negatif pada sembilan aspek perkawinan.

(8)

PERCEPTION ON THE MARRIAGE OF THE FATHERLESS EARLY ADULT FEMALE BECAUSE OF DIVORCE

Vania Lorrayne Pamuji

ABSTRACT

The current research was aimed to investigate the perception of fatherless woman in their early adulthood about marriage. The marriage consisted of nine aspects, included communication, leisure activities, conflict resolution, financial management, sexual relationship, religious orientation, family and friends, children and marriage, and equalitarian roles. The subjects of the current study were five women in their early adulthood (20-30 years old) with fatherless condition caused by divorce. The data was collected using interview and analyzed using qualitative content analysis, with a deductive approach. The results showed that was woman with fatherless condition caused by divorce tended to have negative perception on nine aspect of marriage in their early adulthood who did not have a father due to divorce, that included knowladge, hope and evaluation.

(9)
(10)

KATA PENGANTAR

Tulisan ini dengan segenap hati saya kerjakan demi mengungkap

perasaan-perasaan terpendam teman-teman saya yang mengalami kepergian sosok ayah.

Ternyata ketidakhadiran sosok ayah berdampak tidak hanya sementara tetapi

selamanya. Tulisan yang saya kerjakan dengan penuh sakit hati dan rasa benci

kepada laki-laki ini semoga dapat menjadi pelajaran bagi setiap perempuan agar

lebih menjaga diri, dan mencintai diri sendiri. Semoga tulisan ini dapat menjadi

pelajaran juga bagi laki-laki agar lebih serius dalam mencintai, lebih berpikir

kedepan, lebih berpikir bahwa kebahagiaan tidak hanya berpusat pada diri sendiri.

Lima belas bulan pengerjaan skripsi ini menjadi perjalanan yang penuh

lika-liku kehidupan menjadi sebuah perjalanan hidup yang berharga bagi saya. Sebuah

perjalanan dengan banyak pelajaran hidup. Perjalanan yang penuh senyum dan air

mata, perjalanan yang tidak saya lalui seorang diri, perjalanan yang membuat saya

mengenal banyak pribadi. Dengan setulus hati, saya ingin berterimakasih pada

pribadi-pribadi yang membantu saya dalam melewati jalan berbatu ini

Yang pertama saya mengucapkan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa,

ayah dari segala ayah, yang memberi nafkah roh melalui firman-Nya, dan

mengirimkan kepada saya Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya selaku dosen

pembimbing skripsi yang dengan tidak sabar membimbing saya, memarahi dan

mencoret-coret apapun yang saya kumpulkan, dengan tujuan membentuk saya

menjadi pribadi yang logis, teliti, sabar, terorganisir dan rajin membaca. Yang

terkasih Ibu Ml. Anantasari selaku Dosen Pembimbing Akademik, serta Ibu Dr.

Titik Kristiyani M. Psi selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh dosen Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma yang memberikan saya ilmu pengetahuan dan ilmu

kehidupan.

Tak lupa saya juga mengucapkan terimakasih pada Papa, Mama, dan Koko saya

yang telah memberikan saya beasiswa tidak bersyarat selama 4 tahun 4 bulan

(11)

xi

perpustakaan, kantin, kos yang siap menjadi tempat mumet, dan melarikan diri dari

kewajiban thank you, arigatou, kamsia, i love you. Saya juga berhutang budi untuk

Partisipan saya juga yang sedang berjuang menjalani hidup yang keras. Tak lupa

mereka Anak-anak Profesor yang sangat membantuku dalam mencari Pak Pratik,

dan yang terakhir Samuel David Sutanto, S.T yang menjadi pendukung secara fisik

dan psikis.

Penulis sungguh menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.

Penulis meminta maaf atas segala kesalahan dan kelalaian yang telah diperbuat,

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoritis ... 7

2. Manfaat Praktis ... 7

3. Manfaat Kebijakan ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Perempuan Dewasa Awal Fatherless karena perceraian ... 8

B. Perkawinan ... 12

(13)

xiii

BAB III. METODE PENELITIAN ... 23

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 23

B. Fokus Penelitian ... 24

C. Partisipan ... 25

D. Peran Peneliti ... 26

E. Prosedur Pengambilan Data ... 27

F. Analisis dan Intepretasi Data ... 28

G. Kredibilitas Data ... 32

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

A. Pelaksanaan Penelitian ... 33

B. Partisipan dan Dinamika Proses Wawancara ... 34

C. Hasil Penelitian ... 39

D. Pembahasan ... 59

BAB V. PENUTUP ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Keterbatasan Penelitian ... 68

C. Saran ... 68

1. Bagi peneliti selanjutnya ... 68

2. Bagi Praktisi Psikologi ... 69

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Partisipan ... 25

Tabel 2. Kerangka Analisis ... 30

Tabel 3. Lokasi dan waktu pelaksanaan wawancara ... 33

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Keluarga merupakan organisasi sosial terkecil dalam masyarakat. Hampir

semua individu hidup dalam keluarga yang biasanya terdiri dari ayah, ibu dan anak.

Setiap individu yang menjalani kehidupan rumah tangga tentu mengharapkan

rumah tangga yang bahagia, akan tetapi tidak semua kehidupan keluarga berjalan

seperti yang diharapkan. Dalam masyarakat ditemui juga rumah tangga yang

diwarnai dengan peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan oleh anggota keluarga.

Salah satu contoh dari peristiwa yang tidak diharapkan ini adalah perceraian

(Yusuf, 2004).

Berdasarkan Badan Pusat Statistik, pada tahun 2013 persentase perempuan

yang menjadi kepala keluarga karena cerai hidup adalah 13,40%, sedangkan

laki-laki hanya 1,09%. Penelitian lain juga mengatakan bahwa dari 27.000 istri ada 22%

yang gagal dalam berumah tangga mengalami perceraian dan menjadi kepala

keluarga bagi anak-anaknya (Rakhmawati dalam Yanuarti & Sriningsih, 2012). Hal

tersebut menunjukkan bahwa hasil dari perceraian sebagian besar menyebabkan

anak mengalami fatherless, yaitu ketiadaan peran dan figur ayah dalam kehidupan

seorang anak (Sundari & Herdijani, 2013).

Keadaan fatherless dalam penelitian ini adalah yang diakibatkan karena

perceraian. Fatherless yang disebabkan oleh perceraian memiliki dampak yang

berlipat ganda bagi anak. Pada anak perempuan dampaknya akan terlihat ketika

(16)

perkembangan untuk membangun sebuah rumah tangga (Wallerstein dalam Larsen

& Buss, 2002). Setiap kali melihat laki-laki dan perempuan, pandangannya akan

selalu dipengaruhi dengan apa yang ia lihat pada ayah ibunya. Perasaan curiga,

tidak percaya, kecewa dan takut untuk menjalin hubungan pada wanita dewasa dini

dari keluarga bercerai akan selalu timbul dan selalu menganggap bahwa karakter

yang sama mungkin terdapat pada setiap pria (Grollman, 1996).

Menurut Wallerstein (dalam Larsen & Buss, 2002) hal tersebut terjadi

karena “hantu dari masa lalu” yang muncul saat mereka memasuki hubungan intim.

Hantu masa lalu adalah bayangan dari perkawinan orang tua yang gagal dan

berpengaruh kuat. Ketakutan mengulang kesalahan orang tua tanpa sadar

membentuk anak untuk berusaha lebih baik dari pada orang tuanya. Bayangan ini

merupakan emosi yang berkaitan dengan keinginan yang memusat saat wanita yang

berasal dari keluarga bercerai memasuki usia dewasa dini dan mempengaruhi

pendekatan mereka dalam membangun hubungan yang akan mengarah pada

perkawinan.

Persepsi anak perempuan terhadap perkawinan tentu saja tidak terlepas dari

pengalaman sebelumnya. Whalen, Henker, Dotemoto dan Hinshaw (1983)

menunjukkan segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua-anak

(termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan tertanam secara

tidak sadar dalam diri seseorang. Selanjutnya, apa yang sudah tertanam akan

termanifestasi dalam hubungan dengan keluarganya sendiri.

Ghufron dan Walgito (2003) mengungkapkan bahwa perilaku seseorang

(17)

yang dilakukannya merupakan cerminan dari lingkungan sekitarnya. Pada anak

perempuan yang mengalami fatherless karena perceraian memiliki lingkungan

perkawinan yang berbeda, sehingga diduga memiliki persepsi terhadap perkawinan

yang berbeda dengan anak perempuan dengan keluarga lengkap.

Penelitian ini ingin mencari tahu bagaimana persepsi terhadap perkawinan

pada anak perempuan yang mengalami perceraian kedua orang tuanya yang

menyebabkan keadaan fatherless. Persepsi yang baik terhadap perkawinan adalah

hal penting untuk membangun perkawinan yang baik, karena ketika mengetahui

bagaimana persepsi perempuan dengan kondisi fatherless karena perceraian maka

akan mengetahui bagaimana mereka akan berprilaku pada perkawinan persepsi

yang baik terhadap perkawinan diduga akan membentuk perkawinan yang baik,

begitu pula sebaliknya (Boothroyd & Perrett, 2008), maka dari itu peneliti ingin

mencari tahu lebih dalam tentang persepsi anak perempuan fatherless terhadap

perkawinan. Persepsi terhadap perkawinan yang terbagi dalam tiga komponen

yakni pengetahuan, harapan dan penilaian (Calhoun & Acocella, 1990) tentang

perkawinan akan menjadi penting dalam membangun perkawinan

Beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang perkembangan anak

perempuan tanpa ayah menunjukkan bahwa anak fatherless memiliki perbedaan

yang signifikan dengan anak-anak yang dibesarkan dengan keluarga utuh

(Blankenhorn, 1996; Khorn & Bogan, 2001, Guardia, et.al, 2015). Perbedaan

tersebut banyak diasosiasikan dengan hal negatif pada hubungan anak perempuan

dengan lawan jenis. Penelitian yang dilakukan oleh Boothroyd & Perrett, (2008)

(18)

karena memiliki kemampuan yang rendah untuk bersaing untuk pasangan.

Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa anak perempuan yang hidup tanpa

ayah memiliki kecenderungan untuk mencari perhatian dari orang dewasa,

kehamilan diluar perkawinan, menjadi ibu di usia remaja dan menjadi ibu tunggal

atau kegagalan dalam perkawinan (Demo & Acock, 1988; Boothroyd & Perrett,

2008, Khorn & Bogan, 2001).

Penelitian tentang ketiadaan ayah atau fatherless banyak berfokus terhadap

aspek-aspek psikologis pada anak perempuan yang terjadi di masa anak-anak dan

masih mengalami masa kritis saat hilangnya ayah dalam kehidupan anak, seperti

kesejahterahan subjektif & perkembangan sosioemosional (Golombok, Tasher, dan

Murray, 1997), pencapaian (Milne, 1986), konsep diri dan penyesuaian diri seperti

penelitian yang telah dilakukan oleh Sundari dan Herdijani (2013). Masih sedikit

penelitian yang membahas tentang bagaimana fatherless berdampak pada

kehidupan anak pada tahap selanjutnya. Peneliti disini ingin meneliti tentang

pengaruh ketiadaan ayah atau fatherless sebagai pembentuk persepsi anak

perempuan pada kehidupan perkawinan, karena penelitian tentang persepsi

terhadap perkawinan tersebut belum ditemukan oleh peneliti, dan sebagian besar

penelitian pada anak karena perceraian lebih berfokus pada aspek-aspek

psikologisnya seperti kesejahterahan subjektif, perkembangan sosioemosional,

pencapaian, konsep diri dan penyesuaian diri.

Beberapa penelitian tentang perceraian yang telah dilakukan baik oleh

psikolog maupun mahasiswa sebagai tugas akhir lebih banyak berfokus pada

(19)

anak dari perceraian biasanya mengalami fatherlessness. Selain itu penelitian lain

berbicara tentang anak korban dari perceraian dibandingkan dengan anak dari

keluarga utuh, biasanya merupakan penelitian kuantitatif, hasilnya merupakan nilai

siapa yang lebih dan siapa yang tidak lebih dari suatu variabel seperti penelitian

yang dilakukan oleh Santrock, 1975; Stolberg & Anker, 1988; dan Kalter, 1985.

Hanya ada sedikit penelitian yang berfokus pada anak korban perceraian dan

bagaimana pengaruhnya pada usia dewasa awal. Sehingga penelitian ini akan

menggunakan metode kualitatif.

Penelitian tentang persepsi terhadap perkawinan pada individu dewasa awal

pernah dilakukan pada individu yang hidup di keluarga yang mengalami KDRT

(Marpaung,2016). Akan tetapi penelitian tersebut lebih berfokus tentang bagaimana

dampak dari KDRT pada anak, bukan tentang perceraian yang berdampak pada

persepsi perkawinan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Catwright (2006) lebih

berfokus pada efek dari perceraian dan membandingkan antar jenis kelamin,

bagaimana dampaknya pada laki-laki ataupun perempuan, dan ternyata dampak

perceraian pada anak perempuan terlihat ketika masa dewasa awal ketika

menjatuhkan pilihan pada laki-laki sehingga penelitian ini ingin meneliti persepsi

terhadap perkawinan pada perempuan dewasa awal dengan kondisi fatherless

karena perceraian

Defisiensi atau celah dalam penelitian sebelumnya mengenai topik persepsi

terhadap perkawinan adalah sebagai berikut. Belum ada penelitian tentang persepsi

terhadap perkawinan yang berfokus pada anak korban peceraian yang berdampak

(20)

berfokus pada membandingkan anak dari keluarga bercerai dibandingkan dengan

anak dari keluarga utuh dan menggunakan jenis penelitian kuantitatif. Dari segi

subjek penelitian juga hanya berfokus pada waktu anak masih mengalami krisis

perceraian orang tuanya, belum banyak penelitian yang berfokus pada tahap

kehidupan anak selanjutnya, dan kepergian ayah yang menyebabkan fatherless

secara spesifik.

Untuk menutup defisiensi atau celah dari penelitian – penelitian lalu maka

penelitian ini mengungkap persepsi anak perempuan fatherless terhadap

perkawinan. Subjek dalam penelitian ini adalah perempuan dewasa awal yang

memiliki orang tua bercerai dan dengan kondisi fatherless. Penelitian dilakukan

dengan desain kualitatif. Prosedur pengambilan data akan dilakukan dengan metode

wawancara semi terstruktur. Peneliti meyakini dengan metode wawancara subjek

dapat bercerita lebih personal dan dapat menggali persepsi terhadap perkawinan

sesuai dengan hidup yang dihayati oleh subjek. Analisis data menggunakan analisis

isi kualitatif. Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah, tujuan penelitian,

dan manfaat dari penelitian akan dipaparkan sebagai berikut.

B. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana persepsi terhadap perkawinan pada perempuan dewasa awal

(21)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mencari tahu dan mendeskripsikan tentang

persepsi anak perempuan dalam masa perkembangan dewasa awal dalam kondisi

fatherless terhadap perkawinan. Melalui pertanyaan wawancara, para subjek yang

berusia 20-30 tahun diharapkan dapat mengungkap bagaimana persepsi mereka

terhadap perkawinan. Setelah mengetahui bagaimana persepsinya peneliti dapat

menunjukkan bahwa dampak perceraian ternyata berdampak jangka panjang atau

tidak melalui baik atau buruknya persepsi perempuan dewasa awal fatherless

karena perceraian

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teorits

Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan di bidang psikologi khususnya psikologi perkembangan anak dan

psikologi keluarga, khususnya persepsi anak perempuan dalam kondisi fatherless

terhadap perkawinan.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai bagaimana persepsi anak perempuan fatherless terhadap perkawinan.

3. Manfaat Kebijakan

Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangsih bagi

(22)

panjangnya terutama pada anak perempuan, seperti memperketat peraturan

(23)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini peneliti akan mengelaborasi tentang perempuan pada masa

dewasa awal dalam keadaan fatherless, dan tugas perkembangannya yang

terhambat ketika tidak ada ayah dalam kehidupan anak perempuan. Pada bagian

selanjutnya peneliti akan menjelaskan tentang perkawinan dan aspek-aspek

perkawinan. Pada bagian selanjutnya peneliti akan menjelaskan tentang persepsi

yang dekat dengan perkawinan, dalam bagian ini peneliti akan menjelaskan apa itu

persepsi terhadap perkawinan dan persepsi yang seperti apa yang akan diteliti oleh

peneliti.

A. Perempuan Dewasa Awal Fatherless Karena Perceraian

Subjek dalam penelitian ini adalah perempuan usia 20-30 tahun. Istilah adult

atau dewasa awal berasal dari kata latin yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Oleh

karena itu orang dewasa adalah seseorang yang telah menyelesaikan

pertumbuhannya dan siap menerima kedudukannya di dalam masyarakat bersama

orang dewasa lainnya (Hurlock,1991).

Di antara delapan tugas-tugas perkembangan dewasa awal, empat di

antaranya merupakan kegiatan-kegiatan pokok yang bersangkutan dengan hidup

perkawinan dan berkeluarga, yaitu (1) memilih pasangan hidup (2) belajar hidup

bersama dengan pasangan (3) Mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga

(4) mengelola rumah tangga. Tugas-tugas perkembangan itu pada dasarnya

merupakan tuntutan atau harapan-harapan sosio-kultural di mana manusia itu hidup

(24)

menginginkan status kedewasaan melekat pada dirinya, dan status tadi sebagian

diperoleh dengan hidup berkeluarga dalam suatu tali perkawinan.

Masa dewasa awal adalah masa yang tepat untuk memulai rumah tangga

yang baru melalui perkawinan. Banyak sumber yang menguraikan tentang

aspek-aspek yang menimbulkan kesukaran dalam hidup perkawinan. Hal ini adalah hal

yang sangat penting bagi individu pada masa dewasa awal yang masih dalam taraf

mempersiapkan perkawinan. Keadaan fatherless pada anak perempuan karena

perceraian memiliki dampak yang berlipat ganda bagi anak, perceraian adalah

keadaan dimana pernikahan ayah dan ibu terputus sebagai akibat kegagalan

pasangan (orangtua) untuk menjalankan kewajiban mereka dalam perceraian

biasanya sosok ayahlah yang pergi dalam keluarga tersebut padahal keterlibatan

ayah adalah hal penting dalam membentuk perkembangan anak terutama dalam

mempersiapkan anak menghadapi tugas perkembangan dalam masa dewasa awal

(Dally, 2007).

Menurut Hart (Yuniardi, 2006) ayah memiliki peran penting dalam

kehidupan anak, yakni: (a) economic provider: pendukung finansial keluarga, (b)

friend and playmate: ayah dianggap sebagai “fun parent” serta memiliki waktu

bermain yang lebih banyak dibandingkan dengan ibu. Ayah banyak berhubungan

dengan anak dalam memberikan stimulasi secara fisik, (c) caregiver: ayah dianggap

sering memberikan stimulasi afeksi dalam berbagai bentuk, sehingga memberikan

rasa nyaman dan penuh kehangatan, (d) teacher and role model: sebagaimana

dengan ibu ayah juga bertanggung jawab terhadap apa saja yang dibutuhkan anak

(25)

and disciplinary: ayah memenuhi peranan penting dalam pengawasan terhadap

anak, terutama begitu ada tanda-tanda awal penyimpangan sehingga disiplin dapat

ditegakkan, (f) protector: ayah mengontrol dan mengorganisasikan lingkungan

anak, sehingga anak terbebas dari kesulitan atau bahaya, (g) advocate: ayah

menjamin kesejahterahan anaknya dalam berbagai bentuk terutama kebutuhan anak

ketika berada di institusi diluar keluarganya, (h) resource: dengan berbagai cara

dan bentuk ayah mendukung keberhasilan anak dengan memberikan dukungan

dibelakang layar.

Kehadiran ayah berkolerasi secara positif dengan berbagai macam

perkembangan sosial anak (Dally, 2007) terutama kapasitas berhubungan dengan

orang lain. Dalam kapasitas berhubungan dengan orang lain anak yang mengalami

kelekatan aman dengan ayah melaporkan mengalami lebih sedikit konflik dalam

interaksinya dengan orang lain. memiliki hubungan yang lebih positif, dan disukai

oleh orang lain. Selain itu juga memiliki relasi yang lebih positif dengan orang lain,

dan memiliki persahabatan jangka panjang, perkawinan jangka panjang dan sukses,

merasa puas dengan pasangan, memiliki relasi intim yang sukses dan lebih sedikit

mengalami perceraian (Daly,2007; Krampe & Fairweather, 1993).

Ketika ayah tidak hadir dan tidak ada sosok yang berperan seperti itu dalam

kehidupan anak perempuan, maka anak perempuan akan memiliki berbagai macam

dampak dalam kehidupannya. Anak perempuan dalam kondisi fatherless memiliki

kondisi takut ditinggalkan, sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh ayahnya.

Beberapa anak perempuan juga cenderung memiliki rasa kecewa dan kehilangan

(26)

ayahnya. Selain itu anak perempuan juga mengalami kesulitan dan ketakutan untuk

berhubungan dengan laki-laki karena ia tidak memiliki pengalaman yang cukup

untuk berhubungan dengan lawan jenis. Anak perempuan yang tidak dibesarkan

oleh ayahnya juga dikatakan memiliki harga diri yang rendah sehingga beberapa

penelitian mengatakan bahwa anak perempuan fatherless mengalami kehamilan

diluar nikah. Kesepian juga hal yang dialami karena tidak memiliki sosok ayah

sebagai teman bermain di masa kanak-kanaknya. Tetapi juga ada spectrum lain

dimana perempuan tanpa ayah juga dikenal mudah memutuskan pasangan dengan

cepat sebelum ditinggalkan oleh pasangannya. (Blankenhorn,1996; Sundari, 2013,

Khorn & Bogan, 2001)

Keadaan ketiadaan peran dan figur ayah atau fatherless ternyata terbagi

menjadi dua bagian, ketika ayah pergi karena meninggal ternyata memiliki dampak

menjauh dari kontak dengan laki-laki, memiliki konsep tentang ayah yang baik dan

merasa sosok yang paling sedih karena kehilangannya. Sedangkan anak dengan

kondisi fatherless perceraian memencari perhatian lebih dari laki-laki dan teman

laki-laki seumurannya, mereka juga sangat mengkritik ayahnya, mereka juga

memiliki perilaku yang agresif dan secara konstan mencari perhatian dari sosok

yang lebih tua dan agresif secara fisik pada laki-laki dan perempuan di usianya.

(27)

B. Perkawinan

Perkawinan adalah suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan yang diakui

secara sosial, menyediakan hubungan seksual dan pengasuhan anak yang sah, dan

didalamnya terjadi pembagian hubungan kerja yang jelas bagi masing-masing pihak

baik suami maupun istri (Duvall & Miller,1985). Perkawinan juga diartikan dengan

komitmen emosional dan hukum dari dua orang untuk membagi kedekatan

emosional dan fisik, berbagi bermacam tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson

& Defrain, 2006).

Knox, 1975 mengungkapkan tiga alasan mengapa seseorang harus menikah,

pada awalnya menempuh atau menjalani perkawinan merupakan pertimbangan

bersama, dan keputusan keluarga, namun kemudian terjadi pergeseran. Alasan mengapa seseorang menikah antara lain adalah emotional security atau ingin berada dalam keadaan emosi yang stabil atau rasa aman secara emosional seorang

individu ketika menghidupi kehidupan perkawinan, companionship dapat diartikan

dengan persahabatan jadi dengan perkawinan seorang individu akan memiliki

teman seumur hidupnya atau ada yang menemani, dan desire to be parent yang

dapat diartikan sebagai keinginan untuk menjadi orangtua atau menghendaki untuk

menjadi orangtua.

Sedangkan alasan yang salah untuk menikah antara lain adalah physical

attractiveness atau ketertarikan hanya secara fisik misalkan menikahi seseorang

karena fisiknya sesuai dengan yang dimimpikan, economic security atau ingin

memiliki rasa aman dalam ekonomi bisasanya individu yang memiliki tujuan ini

(28)

tekanan dari orangtua, peers atau teman sebaya, patners atau pasangan, or

pregnancy atau kehamilan yang terjadi sebelum pernikahan, escape atau melarikan

diri, rebellion atau pemberontakan dari suatu hal, or rescue atau menolong

seseorang.

Perkawinan meliputi sejumlah aspek pengalaman. Aspek-aspek perkawinan

yang akan dirinci oleh peneliti diambil dari aspek-aspek kepuasan perkawinan yang

dirinci oleh Olson dan Fowers (1993), karena aspek-aspek dalam kepuasan

perkawinan merupakan aspek yang kompleks dan dapat mewakili aspek-aspek

perkawinan, aspek-aspeknya adalah sebagai berikut:

Komunikasi / communication. Aspek komunikasi dalam sebuah perkawinan berfokus pada memiliki teman untuk berkomunikasi dan memiliki

kenyamanan dan rasa senang yang dirasakan oleh pasangan suami istri dalam

membagi dan menerima informasi emosional dan kognitif secara verbal maupun

non- verbal. Komunikasi dalam perkawinan dibagi kedalam 5 elemen dasar yaitu:

keterbukaan terhadap pasangan (Openess), kejujuran terhadap pasangan (honesty),

kemampuan untuk membangun kepercayaan satu sama lain (ability to trust), sikap

empati kepada pasangan (emphaty), dan memiliki kemampuan untuk menjadi

pendengar yang baik bagi pasangan (listening skill).

Aktivitas Bersama. Aspek ini berfokus pada perkawinan yang menjadikan satu sama lain memiliki teman atau pasangan untuk melakukan kegiatan bersama.

Kegiatan bersama yang dilakukan bersama merupakan pilihan bersama, serta saling

memiliki harapan-harapan untuk mengisi waktu luang. Pasangan suami istri pada

(29)

sebuah pernikahan yang harmonis pasangan suami istri harus meluangkan waktu

untuk melakukan aktivitas bersama, aktivitas yang dilakukan bisa kecil namun

berarti dan dilakukan bersama. Aktivitas bisa diluar atau didalam rumah.

Pemecahan konflik/ conflict resolution. Dalam sebuah perkawinan pasti akan ada konflik seiring dengan berjalannya waktu. Akan tetapi melalui perkawinan

juga individu akan memiliki pasangan untuk belajar memecahkan beragam konflik

kehidupan. Pemecahan konflik yang baik dalam sebuah perkwinan akan

membentuk perkawinan yang saling mengenal dan percaya. Karena konflik pasti

dan akan datang dalam sebuah perkawinan oleh karena itu aspek ini akan berfokus

pada bagaimana pasangan suami istri menghadapi konflik melalui cara mengambil

keputusan dalam sebuah konflik melalui rasa saling percaya keterbukaan dan

startegi pemecahan konflik untuk mendapatkan solusi terbaik dalam memecahkan

konflik. Pemecahan konflik yang diterapkan pasangan suami istri dibutuhkan untuk

mengenal dan memecahkan konflik yang muncul dalam sebuah perkawinan

sehingga pasangan suami istri mendapatkan solusi terbaik untuk menghadapi

konflik yang dihadapi.

Manajemen ekonomi. Aspek ini berfokus pada sikap dan cara pasangan untuk belajar mengatur keuangan bersama, pembuatan keputusan mengenai

keuangan serta pasangan mengelola keuangan bersama. Biasanya pada pasangan

suami istri ketika salah satu memiliki harapan yang melebihi kemampuan keuangan

seperti memiliki barang yang diinginkan, ketidak mampuan untuk memenuhi

kebutuhan hidup merupakan masalah yang dapat timbul dalam sebuah perkawinan.

(30)

terhadap kemampuan pasangannya dalam mengelola keuangan maka konflik dalam

perkawinan dapat muncul.

Kehidupan agama. Aspek ini berfokus tentang perkawinan yang menjadikan individu memiliki pasangan untuk menjalankan ibadah bersama serta

makna keyakinan beragama dan pelaksanaanya dalam kehidupan sehari-hari.

Terutama ketika telah menjalin hubungan suami istri, agama menjadi panutan untuk

bersikap dalam kehidupan perkawinan. Seseorang yang memiliki keyakinan

beragama akan bersikap peduli terhadap hal-hal keagamaan dan mau beribadah.

Pada umumnya, seorang individu yang sudah menikah akan lebih memperhatikan

kehidupan beragama. Pasangan suami istri sebagai orangtua akan mengajarkan

dasar-dasar dan nilai-nilai agama yang diyakini kepada anaknya, serta menjadi

teladan yang baik dengan membiasakan diri beribadah dan melaksanakan ajaran

agama yang diyakini

Kehidupan seksual. Aspek ini berfokus tentang kehidupan seksual pasangan suami istri, setelah menikah individu memiliki pasangan untuk

menyalurkan hasrat seksual. Sebagai pasangan suami istri sudah sewajarnya

melakukan hubungan seksual, selain itu sebagai pasangan suami istri seharusnya

dapat menerima tingkah laku seksual pasangan, setia terhadap pasangan.

Kehidupan seksual pada pasangan suami istri seharusnya dilakukan dengan cinta

dan kasih, saling memahami dan mengetahui kebutuhan satu sama lain dan saling

memahami dan mengetahui kebutuhan satu sama lain dan saling mengungkapkan

hasrat dan cinta yang dirasakan dan dapat membaca tanda-tanda yang diberikan

(31)

tetapi saling memuaskan dan sebagai cara mengungkapkan cinta agar memiliki

kehidupan perkawinan yang harmonis.

Keluarga dan teman. Melalui perkawinan individu memiliki pasangan untuk bersosialisasi dengan keluarga dan teman. Aspek ini berfokus pada

kehidupan sosial pasangan suami istri setelah menikah, karena perkawinan adalah

proses bersatunya laki-laki dan perempuan, dan kedua belah pihak keluarga. Selain

dua individu yang menjadi satu tetapi keluarga, kerabat dan teman dari

masing-masing individu menjadi satu. Pasangan suami istri akan saling memperhatikan

kerabat, mertua dan teman-teman dari pasangan. Biasanya perkawinan yang tidak

bahagia dan memiliki banyak masalah disebabkan karena salah satu pihak lebih

banyak menghabiskan waktu, lebih percaya dan lebih mudah dipengaruhi oleh

keluarga atau kerabat atau teman.

Anak-anak dan pengasuhan. Melalui perkawinan individu memiliki pasangan untuk belajar mengasuh anak bersama dengan pasangan. Salah satu tujuan

dari perkawinan adalah memiliki keturunan atau anak. Dalam sebuah kehidupan

perkawinan kehadiran anak akan menjadi hal yang membahagiakan satu sama lain

dan hal yang akan menjadikan satu sama lain lebih bertanggung jawab. Dalam

sebuah kehidupan perkawinan pasangan suami istri akan memiliki sikap pada anak

tentang tugas untuk mengasuh, keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita pribadi

terhadap anak, sehingga sebagai pasangan suami istri perlu memiliki kesepakatan

dalam mengasuh anak. Hal tersebut perlu dilakukan untuk membentuk keluarga

(32)

Kesamaan peran. Melalui perkawinan individu memiliki teman atau pasangan untuk belajar berbagi peran atau tugas bersama. Menjalani hidup

perkawinan adalah menanggung apapun bersama. Untuk menjalani hidup bersama

penting untuk menerima dan membantu peran masing-masing pasangan. Aspek ini

berfokus pada perasan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam

kehidupan perkawinan yang berfokus pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran

sesuai dengan jenis kelamin masing-masing, dan peran sebagai orangtua.

Perempuan memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki,

serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan

kepuasan pribadi. Suami juga tidak merasa malu apabila penghasilan istri lebih

besar dan istri memiliki jabatan dalam pekerjaan yang lebih tinggi. Itulah

aspek-aspek perkawinan yang akan menjadi objek persepsi, yang akan diungkap dalam

penelitian ini.

C. Persepsi terhadap Perkawinan

Persepsi terhadap perkawinan adalah bagaimana anak perempuan

memandang perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang

pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia/ harmonis dan kekal/ kokoh. Persepsi adalah cara

pandang atau pengamatan individu terhadap stimulus yang ada di lingkungannya

melalui proses pengindraan yang dilakukan secara aktif untuk dapat menafsirkan

dan menyimpulkan stimulus tersebut (Myers, 1992). Dari kedua definisi tersebut

dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap perkawinan adalah cara pandang

(33)

wanita), melalui proses pengindraan yang dilakukan secara aktif untuk dapat

menafsirkan dan menyimpulkan stimulus tersebut.

Menurut Lindgren (dalam Ghufron, 2003) perilaku seseorang ditentukan

oleh persepsi dan pemahaman mereka terhadap situasi yang dikaitkan dengan

tujuan. Perilaku individu dapat diprediksikan apabila diketahui bagaimana individu

mempersepsikan situasi dan apa yang diharapkan. Perilaku seseorang ditentukan

oleh persepsi mengenai diri mereka dan lingkungan sekitarnya, sehingga apa yang

dilakukan merupakan cerminan dari lingkungan sekitarnya dan persepsi dapat

mempengaruhi perilaku. Oleh karena itu ketika individu memiliki persepsi yang

baik pada perkawinan maka diasumsikan akan memiliki sikap yang baik juga pada

perkawinan.

Menurut Allport (dalam Mar’at, 1991) persepsi memiliki beberapa

komponen pembentuknya salah satunya adalah komponen kognitif, komponen ini

tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang

objek sikapnya, dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan

tertentu tentang objek sikap tersebut. Persepsi menurut Young (1956) adalah

aktivitas mengindra, mengintergrasikan, memberikan penilaian pada objek-objek

fisik maupun objek-objek sosial. Selain itu persepsi juga dibentuk dengan harapan

seperti yang dijelaskan oleh Calhoun dan Acocella bahwa pada akhirnya individu

cenderung mencampur sebagian besar pemikiran penuh harapan kedalam gambaran

(34)

Berdasarkan pengertian tersebut, dalam penelitian ini persepsi dibatasi pada

pengetahuan, harpan, dan penilaian anak perempuan yang tidak memiliki ayah pada

perkawinan. Persepsi individu memiliki tiga aspek yaitu pengetahuan yang dimiliki

individu mengenai perkawinan, pengharapan yang dimiliki individu untuk

perkawinannya sendiri serta penilaian individu mengenai perkawinannya (Calhoun

& Acocella, 1990)

Pengetahuan. Komponen pertama dari persepsi adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud berupa apa yang kita ketahui atau kita anggap tahu

mengenai perkawinan. Pengetahuan tentang perkawinan adalah segala sesuatu yang

diketahui tentang perkawinan, karena setiap individu terutama individu dewasa

awal memiliki pengetahuan tentang perkawinan. Pengetahuan juga dapat berupa

wujud lahirian, perilaku, masa lalu, perasaan dan motif. Hal ini dapat dilihat

berdasarkan pengetahuan mengenai perkawinan, faktor-faktor yang mendorong

untuk menikah, cara untuk memandang perkawinan, dan tujuan untuk menikah

biasanya didapatkan dari masa lalu dan perasaan terhadap kehidupan perkawinan

yang ia saksikan (Calhoun & Acocella, 1990).

Harapan. Komponen kedua dari persepsi adalah harapan. Harapan juga diartikan dengan gagasan kita tentang perkawinan yang diinginkan seperti apa dan

dipadukan dengan ingin melakukan apa. Harapan adalah sesuatu yang diinginkan,

dalam komponen ini adalah harapan terhadap perkawinan atau sesuatu yang

diinginkan dari perkawinan pribadi. Selain individu mempunyai pengetahuan

(35)

sendiri, seperti apa perkawinan yang diinginkan, apa yang harus dilakukan dalam

perkawinan dan pasangan hidup yang diinginkan (Calhoun & Acocella, 1990).

Penilaian atau evaluasi. Komponen terakhir dari persepsi adalah evaluasi. Penilaian atau evaluasi adalah proses pemberian nilai atau kesimpulan individu

terhadap perkawinan yang didasarkan pada bagaimana perkawinan tersebut

memenuhi pengharapan individu terhadap perkawinan (Calhoun & Acocella,

1990). Penilaian dalam penelitian ini tentang bagaimana anak perempuan fatherless

karena perceraian menilai perkawinan kedua orangtuanya, dimana nilai tersebut

dapat menjadi salah satu pembentuk persepsi anak terhadap perkawinan.

Persepsi ini perlu diteliti karena menurut Sherif (1969, dalam Sadi, 1977),

pengalaman dan tingkah laku merupakan sebuah kesatuan. Apa yang dilakukan

seseorang baik sebagai ucapan, ekspresi, atau perilaku tidak terlepas dari caranya

mempersepsikan situasi, mengapresiasikannya atau apa yang ia ingat mengenai

suatu hal. Berdasarkan hal ini, persepsi anak perempuan terhadap perkawinan dapat

mempengaruhi perilaku anak perempuan dalam perkawinan. Persepsi terhadap

perkawinan yang baik akan menghasilkan kehidupan rumah tangga yang kokoh dan

harmonis, begitu pula sebaliknya.

Oleh karena berbagai macam hambatan dalam perkembangan sosial

(berhubungan dengan lawan jenis) anak perempuan dalam masa dewasa awal dalam

kondisi fatherless, peneliti ingin mencari tahu lebih dalam bagaimana pandangan

anak perempuan (dengan kondisi fatherless) terhadap perkawinan. Mengingat

bahwa pandangan atau persepsi terhadap perkawinan adalah hal yang

(36)

penting untuk membangun rumah tangga melalui perkawinan terutama perempuan

(seperti yang telah dijelaskan pada bagian pertama)

D. Kerangka Konseptual

Anak perempuan yang hidup dan mengalami fatherless dalam

kehidupannya tidak dapat menjalani perkembangan sosial sesuai dengan anak yang

memiliki peran ayah dalam hidupnya (Dally,2007). Terutama fatherless yang

disebabkan karena perceraian kedua orang tua. Perempuan yang tidak memiliki

ayah memiliki kecenderungan terhambat dalam menjalani masa dewasa awal,

sehingga akan memiliki persepsi yang berbeda juga tentang perkawinan. Hal

tersebut disebabkan karena persepsi tersebut tidak lepas dari pengalaman

sebelumnya, kegagalan perkawinan yang dijalani oleh orang tua akan

mempengaruhi persepsi anak terhadap perkawinan.

Pada anak perempuan yang sedang dalam masa persiapan untuk perkawinan

(masa dewasa awal) kemungkinan anak perempuan dalam keadaan fatherless akan

memiliki persepsi yang negatif terhadap kehidupan perkawinan, karena mereka

yang memiliki orangtua bercerai dan mengalami ketiadaan ayah memiliki rasa

memencari perhatian lebih dari laki-laki dan teman laki-laki seumurannya, mereka

juga sangat mengkritik ayahnya, mereka juga memiliki perilaku yang agresif dan

secara konstan mencari perhatian dari sosok yang lebih tua dan agresif secara fisik

(37)

Untuk mengeksplorasi bagaimana persepsi terhadap perkawinan pada anak

perempuan dengan kondisi fatherless karena perceraian maka peneliti mengungkap

persepsi terhadap perkawinan dengan melihat perepsi dari tiga hal yakni

pengetahuan, harapan dan penilaian tentang perkawinan (Calhoun & Acocella,

1990). Perkawinan yang menjadi objek persepsi juga dibagi menjadi beberapa

komponen yang ada dalam perkawinan yakni komunikasi, aktivitas bersama,

pemecahan konflik, manajemen ekonomi, kehidupan seksual, kehidupan

keagamaan, keluarga dan teman, anak-anak dan pengasuhan, dan kesamaan peran

yang akan menjadi objek dari persepsi perkawinan.

Sembilan aspek perkawinan yang dirinci dari kepuasan perkawinan oleh Olson

dan Fowers (1993) akan menjadi objek dari penelitian ini. Peneliti akan menggali

persepsi sembilan objek tersebut pada anak perempuan fatherless karena

perceraian. Sembilan objek tersebut akan menjadi parameter baik atau buruk

persepsi anak perempuan yang mengalami fatherless karena perceraian. Kerangka

dari penelian ini akan digambarkan melalui gambar 2.1.

(38)

E. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana persepsi terhadap perkawinan pada perempuan dewasa awal

(39)

24 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan deduktif terarah.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mencoba menggali makna mengenai isu

atau masalah yang diteliti sesuai apa yang diyakini atau dihayati para partisipan,

sehingga peneliti harus terjun langsung ke dalam lingkungan atau suasana alamiah

partisipan, untuk mengambil berbagai macam data, baik melalui wawancara,

observasi maupun dokumen-dokumen. Penelitian kualitatif mencoba untuk mencari

gambaran menyeluruh dari isu yang diteliti, sehingga bisa saja pelaksanaan

penelitian ini lebih luas dari rencana penelitian yang telah disusun sebelumnya

(Creswell, 2009, dalam Supratiknya, 2015)

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain penelitian analisis isi

kualitatif (AIK), yaitu metode penelitian untuk menafsirkan secara subjektif isi data

berupa teks melalui proses klasifikasi sistematis berupa coding atau pengodean dan

pengidentifikasian aneka tema atau pola (Hsieh & Shanon, 2005, dalam

Supratiknya, 2015)

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengungkap dan memahami persepsi

terhadap perkawinan pada anak perempuan dewasa awal yang fatherless. Metode

pengambilan data dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur, dengan

beberapa pertanyaan yang bersifat terbuka, agar subjek dapat mengungkap lebih

(40)

Analisis data diawali dengan mentranskripkan data lisan atau rekaman

elektronik menjadi teks tertulis atau dokumen. Selanjutnya analisis isi kualitatif

(AIK), teks atau trasnkrip tersebut dikelompokkan dalam beberapa kategori. Hal ini

dilakukan untuk mendapatkan deskripsi yang padat dan kaya tentang fenomena

yang diteliti (Supratiknya, 2015)

B. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah persepsi perempuan terhadap perkawinan.

Penelitian ini hendak mengungkap bagaimana persepsi perempuan dengan kondisi

fatherless karena perceraian terhadap perkawinan. Persepsi sendiri berarti proses

internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan

rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi prilaku kita

(Mulyana, 2007). Persepsi terhadap perkawinan dapat dibentuk melalui

pengalaman perkawinan yang ia saksikan. Persepsi terhadap perkawinan terbentuk

karena adanya pengetahuan, harapan dan penilaian dari partisipan terhadap

perkawinan.

Objek persepsi dari penelitian ini adalah perkawinan, perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan. Perkawinan dalam penelitian ini

dirinci menjadi sembilan aspek perkawinan. Aspek-aspek perkawinan yang dirinci

oleh peneliti adalah: komunikasi, aktivitas bersama, pemecahan konflik,

manajemenekonomi, kehidupan agama, kehidupan seksual, keluarga & teman,

anak-anak & pengasuhan, serta kesamaan peran. Berdasarkan baik atau buruk

(41)

parameter baik atau buruk persepsi perempuan fatherless karena perceraian

terhadap perkawinan.

C. Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah lima perempuan. Kriteria dari subjek

penelitian ini adalah perempuan berada dalam masa dewasa awal dengan usia

20-30 tahun yang berasal dari keluarga yang fatherless atau tidak mengalami kehadiran

ayah dalam keluarga yang disebabkan perceraian kedua orang tua. Pengalaman

perceraian orangtua paling tidak telah melewati masa krisis yakni minimal tiga

tahun setelah perceraian. Peneliti menggunakan teknik sampling berupa criterion

sampling. Criterion sampling bertujuan untuk meninjau dan mempelajari semua

kasus yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan peneliti agar sesuai dengan

tujan penelitian (Patton,2002). Jumlah partisipan diputuskan setelah peneliti

melakukan wawancara pada partisipan ke 6 dan partisipan tersebut memiliki

jawaban yang kurang lebih sama dengan kelima partisipan yang telah di wawancara

dimana peneliti menemukan bahwa data yang peneliti miliki telah mengalami

exhausted. Berikut data partisipan dalam tabel 1:

Tabel 1. Data partisipan

Inisial Usia Fatherless selama

NK (P1) 23 23 th

M (P2) 21 7 th

ND (P3) 24 24 th

K (P4) 25 5th

(42)

D. Peran Peneliti

Dalam penelitian kualitatif ini peneliti berperan sebagai instrumen kunci,

peneliti turun sendiri ke lokasi penelitian untuk melakukan pengumpulan data.

Pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode

wawancara. Wawancara kualitatif yang dilakukan oleh peneliti yaitu wawancara

antara peneliti dan partisipan melalui tatap muka, yang didasarkan pada pertanyaan

yang semi terstruktur dan terbuka untuk memancing pandangan dan pendapat para

subjek (Supratiknya, 2015)

Dalam rangka merekrut atau memilih partisipan peneliti memilih

perempuan dalam usia 20-30 tahun yang tidak memiliki ayah melalui administrasi

gereja, dan mengajukan permohonan secara informal melalui chat dan telepon

langsung kepada subjek untuk mengambil data singkat dan akan memberikan

lembar kesepakatan partisipasi penelitian yang kemudian ditanda tangani oleh para

subjek ketika subjek bersedia untuk diwawancara, dalam hal ini peneliti akan

berperan menjaga kerahasiaan data serta kepercayaan yang telah diberikan subjek

kepada peneliti.

Kemungkinan yang paling buruk bisa terjadi dari penelitian ini adalah

munculnya rasa sedih atau perasaan-perasaan lain yang dapat menimbulkan

ketidaknyamanan dalam diri subjek, karena pengalaman buruk yang pernah dilalui

bersama dengan ayahnya, dan adanya ketidak terbukaan oleh subjek karena

membahas tentang relasi dengan lawan jenis. Oleh karena itu peneliti memilih

(43)

subjek sudah melewati masa transisi dari ada menjadi tidak ada ayah dalam

hidupnya.

E. Prosedur Pengambilan Data

Penelitian ini menggunakan metode wawancara semi terstruktur dalam

pengambilan data. Wawancara semi terstruktur adalah percakapan dengan maksud

tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara atau yang

mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang akan memberikan jawaban atas

pertanyaan yang telah disampaikan oleh pewawancara (Moleong, 2015).

Wawancara yang dilakukan adalah wawancara semi terstruktur dengan

menggunakkan daftar pertanyaan. Pertanyaan dapat dimodifikasi menurut respon

partisipan saat menjawab pertanyaan sehingga memungkinkan peneliti melakukan

dialog dengan subjek. selain itu peneliti dapat menyelidiki lebih jauh tentang

hal-hal menarik dan penting yang mungkin muncul dalam wawancara. Sebelum

wawancara dilakukan, ada beberapa langkah yang digunakan agar pengambilan

data dapat dilaksanakan dengan baik. Tahapan pelaksanaan wawancara tersebut

adalah:

1. Mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria dan bersedia untuk

berpartisipasi dalam penelitian

2. Menyusun kesepakatan jadwal dilakukannya wawancara antara peneliti

dan partisipan

3. Melaksanakan wawancara sesuai kesepakatan peneliti dan partisipan.

(44)

(digital recorder). Di samping itu peneliti juga mencatat perilaku

nonverbal dari partisipan selama proses wawancara berlangsung.

Setelah data terkumpul peneliti melakukan transkrip wawancara dari

hasil perekaman tersebut.

Berikut adalah pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian

ini:

A. Pertanyaan pembuka

1. Bisa di ceritakan kenapa kedua orangtua mu bercerai?

2. Bagaimana perasaanmu terhadap ayah?

B. Pertanyaan inti

1. Apa yang kamu ketahui tentang kehidupan perkawinan?

2. Menurutmu hal apa saja yang mendorong seseorang untuk

menikah?

3. Bagaimana gambaran perkawinan menurutmu?

4. Ketika kamu menikah, kehidupan perkawinan seperti apa yang

kamu inginkan?

5. Bagaimana penilaianmu tentang kehidupan perkawinan yang

telah dilalui oleh orangtuamu?

6. Pengalaman seperti apa yang paling kamu ingat?

F. Analisis dan Intepretasi Data

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis isi kualitatif atau AIK.

AIK adalah metode analisis pesan-pesan komunikasi, baik tertulis, lisan maupun

visual (Supratiknya, 2015). Dalam AIK, dilakukan klasifikasi atau penyaringan

terhadap teks atau kata-kata kedalam sejumlah kategori yang mewakili aneka isi

(45)

mengenai konsep atau kategori tentang fenomena yang sedang diteliti (Heish &

Shanon, 2005; Elo & Kygas, 2008, dalam Supratiknya, 2015)

Analisis penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif, atau analisis isi

terarah. Penelitian ini menghasilkan data berupa transkrip hasil wawancara.

Kemudian data berupa transkrip tersebut dianalisis melalui langkah-langkah

berikut: (1) membaca secara berulang-ulang corpus data berupa transkrip verbatim.

(2) melakukan initial coding atau menemukan kode-kode berupa konsep-konsep

tertentu dalam transkripsi verbatim secara induktif baris demi baris (inductive, line

by line approach). (3) mengelompokkan kode-kode kedalam tema-tema yaitu

sejenis konsep besar dengan cakupan isi yang lebih luas dibandingkan dengan kode,

dengan tujuan menemukan sejenis narasi analitik yang koheren dari keseluruhan

corpus data. (4) memperhalus atau mempertajam analisis dengan cara

menempatkan tema dan sub-sub tema dibawah masing-masing tema,

tema-tema dan tema-tema tersebut selanjutnya diberi label atau nama, masing-masing

sub-tema, tema-tema dan sub tema tersebut selanjutnya diberi label atau nama

masing-masing sub tema dilengkapi dengan kutipan-kutipan yang dicuplik dari transkripsi

verbatim sebagai bukti atau pendukung sehingga diperoleh narasi yang utuh tentang

fenomena yang diteliti. Kriteria yang hendak digunakan dalam koding tertera dalam

(46)

Tabel 2 Tabel kriteria koding persepsi terhadap perkawinan

(47)
(48)

G. Kredibilitas Data

Peneliti biasanya melakukan beberapa strategi untuk menguji kredibilitas

penelitiannya. Dalam penelitian ini ada beberapa strategi yakni strategi pertama

adaah member checking. Member checking dilakukan setelah data dirumuskan ke

dalam tema-tema, peneliti akan membawa kembali kepada partisipan untuk

mengetahui apakah tema-tema yang telah dirumuskan tersebut akurat atau sesuai

dengan diri partisipan. Strategi kedua yang dilakukan adalah thick discription atau

diskripsi mendalam dimana peneliti menyajikan deskripsi yang sangat rinci tentang

setting atau lingkungan penelitian dan dinamika ketika melaksanakan wawancara.

Dengan cara itu, hasil-hasil penelitian menjadi lebih realistik dan dapat dipercaya

(Supratiknya, 2015). Strategi selanjutnya yang digunakan adalah dengan

menuliskan latar belakang setiap partisipan sehingga peneliti dapat membuktikan

bahwa setiap partisipan yang dilibatkan dalam penelitian ini benar adanya bukan

sekedar partisipan fiktif.

Penelitian ini menggunakan dua strategi untuk menguji konsistensi hasil

penelitian. Strategi pertama adalah peneliti memeriksa berulangkali

transkrip-transkrip rekaman wawancara untuk memastikan tidak ada kesalahan yang serius

saat proses transkripsi. Pada strategi kedua peneliti juga membandingkan data

dengan kode-kode yang telah dirumuskan. Hal ini untuk menghindari pergeseran

makna kode-kode yang mungkin terjadi selama proses transkripsi. Strategi lain

yang peneliti gunakan agar tidak terjadi pergeseran makna adalah meminta

pendapat dari peer dan expert tentang hasil wawancara yang dimasukkan kedalam

(49)

34

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini diadakan pada akhir Mei 2018 sampai awal Oktober 2018.

Proses pengambilan data menggunakan metode wawancara yang dilakukan oleh

peneliti sendiri kepada lima perempuan dewasa awal yang mengalami fatherless

karena perceraian. Wawancara dilakukan di berbagai tempat dari kampus sampai

rumah partisipan. Durasi wawancara bervariasi antara 60 menit sampai 120 menit.

Rangkuman waktu dan tempat diadakanya wawancara disajikan di Tabel 4.

Tabel 3. Lokasi dan waktu pelaksanaan wawancara

No. Partisipan Waktu Lokasi

1. P1 31 Mei 2018 29 Agustus 2018

Ruang Observasi 2

Kos Partisipan

2. P2 20 September 2018 Ruang diskusi 3. P3 28 Mei 2018

25 September 2018

Rumah Partisipan

Rumah Partisipan

4. P4 4 Oktober 2018 Ruang Observasi 2 5. P5 12 Juni 2018

5 Oktober 2018

Kos partisipan

(50)

B. Partisipan dan Dinamika Proses Wawancara

Penelitian kualitatif memiliki tujuan menyimpulkan cerita yang rinci

tentang tingkah laku dan keyakinan orang atau kelompok orang yang diteliti.

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mendalami dan mendeskripsikan

persepsi anak perempuan fataherless yang disebabkan karena perceraian

terhadap perkawinan. Melalui wawancara semi-terstruktur penelitian ini akan

menggambarkan persepsi partisipan terhadap perkawinan. Sebelum

melaksanakan wawancara peneliti melakukan penyusunan jadwal untuk

melakukan wawancara melalui chat.

Pada hari yang telah dijadwalkan, peneliti mencoba untuk melihat

mood partisipan terlebih dahulu melalui pertanyaan-pertanyaan seputar

kegiatan sehari-hari, setelah partisipan mulai terbuka pada peneliti, peneliti

menjelaskan bahwa identitas partisipan dan proses wawancara akan dijamin

kerahasiaanya, peneliti juga akan meminta informed consent atau pernyataan

dari pihak partisipan bahwa dirinya setuju dan bersedia untuk diwawancarai.

Selama proses wawancara peneliti melakukan perekaman audio dan mencatat

hal-hal seputar ekspresi dan mood partisipan selama wawancara. Setelah

wawancara peneliti mengucapkan terimakasih dan memberikan kesempatan

pada partisipan kalau ada yang masih ingin ia ungkapkan, setelah itu peneliti

akan melakukan debrief atau proses mengembalikan emosi partisipan tentang

penelitian yang melibatkan wawancara yang telah dilakukan oleh partisipan

(51)

Partisipan pertama (P1) adalah perempuan dengan usia 23 tahun yang sedang mendalami kuliah S1 Psikologi. Partisipan adalah anak ke-4 dari 4

bersaudara. Kelahiran partisipan adalah momen dimana ayah partisipan

memutuskan untuk bercerai dengan ibunya. Partisipan hidup tidak bersama

dengan ayah sejak partisipan lahir, karena saat partisipan lahir ayah dari

partisipan mengaku telah memiliki istri siri yang menyebabkan ibu dari

partisipan marah dan memutuskan untuk bercerai. Partisipan memiliki dua

kakak perempuan yang sudah menikah karena hamil terlebih dahulu dan

mengalami kegagalan dalam perkawinan. Kegagalan perkawinan kakak

pertama adalah kakak pertama mengalami KDRT, kegagalan perkawinan kakak

kedua adalah ia harus menerima kenyataan bahwa suaminya telah memiliki

anak dari perempuan lain. Berbagai pengalaman yang telah dialami oleh

partisipan mengakibatkan partisipan memiliki persepsi yang tidak biasa

mengenai perkawinan. Partisipan memiliki keinginan untuk menjadi biarawati

dan menghindari sakramen perkawinan.

Pengambilan data dilangsungkan sebanyak dua kali, pada

pengambilan data yang pertama wawancara berlangsung kurang lebih 120

menit. Pengambilan data yang kedua berlangsung selama 70 menit. Pada saat

wawancara yang pertama P1 mengenakan pakaian formal, karena wawancara

dilaksanakan setelah kuliah di ruang observasi. Selama wawancara

berlangsung partisipan banyak mengungkapkan rasa marah, melalui kata-kata

kasar dan makian kepada ayahnya maupun laki-laki pada umumnya. Sekitar

(52)

ketika mengenang apa yang telah ayahnya lakukan pada ibunya. Pengambilan

data yang kedua dilaksanakan di kos partisipan. Partisipan terlihat lebih baik,

lebih banyak tertawa dan terlihat lebih santai.

Partisipan kedua (P2) perempuan berusia 22 tahun yang sedang mendalami kuliah S1 Pendidikan Bahasa Inggris. Partisipan adalah anak ke-3

dari 7 bersaudara. Partisipan telah berpisah dengan ayahnya selama 8 tahun.

Ayah partisipan memutuskan untuk hidup bersama dengan wanita

simpanannya, setelah melakukan perselingkuhan selama 10 tahun. Partisipan

dibesarkan oleh ibu dan keuangannya disokong oleh pamannya. Setelah

mengalami pengalaman yang begitu kelam, naik turun ekonomi yang begitu

drastis dan menerima rasa tidak adil dari ayah yang memutuskan untuk

memilih istri muda P2 memiliki rasa cuek dan tidak peduli pada laki-laki

terutama pada perkawinan. Subjek memiliki pandangan yang buruk terhadap

perkawinan dan sifat dependen yang tinggi.

Proses pengambilan data dilakukan di pagi hari di dalam

perpustakaan. Pengambilan data berlangsung selama 120 menit. Pada saat

wawancara berlangsung P2 menggunakan pakaian rapi dan formal. Selama

proses wawancara partisipan terlihat santai dan banyak bercerita, sesekali

subjek marah pada apa yang dilakukan ayahnya dan melampiaskan

kemarahan dengan berkata kasar pada ayah dan laki-laki pada umumnya, dan

sesekali juga subjek menangis ketika membahas tentang perasaannya terhadap

(53)

Partisipan ketiga (P3) adalah perempuan berusia 24 tahun yang hidup bersama dengan ibu dan uti atau nenek. P3 saat ini bekerja sebagai

perawat di rumah sakit swasta. P3 tidak memiliki banyak pengalaman dengan

ayah karena ayah dan ibu memutuskan untuk bercerai sejak subjek berusia 3

bulan. Ayah P3 memutuskan untuk bercerai karena ingin kembali ke istri

tuanya. Ibu dari P3 adalah istri muda dari ayah P3. Ayah dari P3 memutuskan

untuk pergi dan tetap menjalin komunikasi hingga P3 menginjak usia SMP.

Sesudah itu ayah P3 memutuskan unntuk tidak berhubungan lagi dengan

keluarga P3. P3 saat ini memiliki kekasih yang sudah akan beranjak menuju

ke perkawinan. Akan tetapi P3 terlihat tidak memiliki hak untuk memilih

pasangan karena ibu dan uti bersikap protektif dalam memilih laki-laki yang

akan masuk kedalam keluarga mereka.

Wawancara dilaksanakan di rumah P3. Suasana rumah terasa sepi dan

tenang karena ibu masih bekerja dan uti sedang beristirahat. Wawancara

berlangsung selama 60 menit, P3 mengenakan pakaian yang terlihat santai, P3

terlihat lelah karena wawancara dilaksanakan sepulang P3 bekerja. P3 terlihat

tenang dalam menceritakan setiap cerita, tidak terlihat marah ataupun sedih,

P3 cenderung lebih tertutup terkait masalahnya dengan keluarga. P3 juga

memiliki harapan yang tinggi terhadap perkawinan karena P3 akan

melaksanakan perkawinan di tahun 2019. P3 terlihat murung saat

menceritakan perkawinan dan keluarganya.

(54)

bersaudara. P4 tidak hidup bersama dengan ayahnya selama 5 tahun. P4

memutuskan untuk hidup tidak bersama dengan orang tua di Yogyakarta

karena setelah bercerai ibu dari P4 memutuskan untuk hidup di Amerika

Serikat. Selama berada di Yogyakarta P4 memutuskan untk hidup bersama

dengan pacarnya. P4 merasa bahwa hidup dengan kekasihnya adalah hal yang

menyenangkan tetapi P4 tidak ingin menikah dengan kekasihnya. P4 merasa

sudah cukup untuk tinggal bersama tanpa harus menikah.

Proses pengambilan data berlangsung selama 50 menit. Wawancara

berlangsung di ruang observasi kecil sebuah Perguruan Tinggi Swasta di

Yogyakarta. P4 mengenakan pakaian yang rapi karena wawancara berlangsung

ketika P4 selesai ujian. Selama wawancara berlangsung P4 terlihat sangat

nyaman untuk bercerita. Saat wawancara berlangsung P4 membawa seorang

teman karena merasa tidak nyaman untuk sendiri. P4 menangis ketika

menceritakan pengalamanya dipukuli baik oleh ibu tiri ataupun mantan

pacarnya. P4 juga banyak berkata kasar dan memaki ayah atau ibu tirinya yang

telah banyak menyakitinya baik secara fisik maupun verbal.

Partisipan kelima (P5) adalah perempuan berusia 23 tahun yang selama 23 tahun hidup tanpa ayah. Saat ini P5 sedang mendalami kuliah S1

Manajemen. P5 adalah anak ke-2 dari 2 bersaudara. Ayah dari P5 memutuskan

untuk pergi saat ibu P5 mengandung P5. P5 bahkan tidak pernah sekalipun

diberitahu siapa ayahnya baik oleh ibu ataupun kerabat. P5 banyak menjalin

(55)

memiliki pandangan yang kurang baik pada laki-laki terutama yang sebaya dan

mengagungkan laki-laki yang jauh lebih tua darinya.

Wawancara dilaksanakan sebanyak dua kali yang pertama

berlangsung sekitar 20 menit dan yang kedua sekitar 30 menit. Wawancara

pertama dilaksanakan di kos P5. P5 terlihat tegang saat wawancara. P5 merasa

bahwa ceritanya merupakan rahasia. Di pertemuan kedua P5 terlihat lebih

santai dan nyaman saat menceritakan pengalamannya bersama dengan ibunya.

P5 sempat menitikkan air mata ketika ia menceritakan perjuangan ibunya dan

terlihat sedih ketika ia tidak tahu menahu tentang ayahnya.

C. Hasil Penelitian

Dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian, peneliti akan mencari tahu bagaimana cara partisipan perempuan dewasa awal yang

mengalami fatherless karena perceraian mempersepsikan perkawinan. Persepsi

terhadap perkawinan sendiri terbagi menjadi tiga komponen yakni

pengetahuan tentang perkawinan, harapan terhadap perkawinan dan penilaian

pada perkawinan (Calhoun & Acocella, 1990). Perkawinan sendiri mencakup

9 aspek, meliputi komunikasi, aktivitas bersama, pemecahan konflik,

manajemen ekonomi, kehidupan agama, kehidupan seksual, keluarga dan

teman, anak dan pengasuhan serta kesamaan peran (Olson & Fowers 1993).

Untuk menjawab pertanyaan penelitian peneliti akan menjabarkan persepsi

(56)

perkawinan. Untuk memperkuat hasil, peneliti juga akan mengutip kutipan

wawancara dari partisipan yang mendukung paparan hasil.

1. Aspek Komunikasi

Aspek komunikasi dalam perkawinan mengacu pada kenyataan

bahwa melalui perkawinan individu memiliki teman untuk berkomunikasi

sehingga bisa memilki rasa nyaman dan rasa senang (Olson & Fowers 1993).

Terhadap aspek komunikasi ada tiga komponen persepsi yang muncul dalam

penelitian ini, yaitu penilaian, pengetahuan dan harapan.

Komponen persepsi yang paling sering muncul pada aspek

komunikasi adalah penilaian, yaitu apa yang dinilai, disimpulkan, diputuskan, ditafsirkan, dipilih dan diprasangkai oleh partisipan (Calhoun &

Acocella, 1990) tentang komunikasi dalam perkawinan. Partisipan menilai

bahwa laki-laki tidak dapat dipercaya. Hal itu dapat dilihat dari pendapat (P2),

(P4), dan (P5):

Laki-laki tidak dapat dipercaya

“laki-laki itu omongannya gak bisa dipercaya tu lho dia bilang mau bersikap untuk tidak memihak tapi dianya malah tetep memihak si perempuan itu dan apa yang dikatain tu kayak gak sesuai dengan apa yang dilakukan.” (P2)

“Ada jangan terlalu percaya sama laki-laki 100%.” (P5)

lah kita kan gak boleh terlalu percaya to sama laki-laki, ibuku aja ditinggal pas lagi hamil aku.” (P4)

Komponen persepsi kedua yang paling sering muncul dalam aspek

Gambar

Tabel 4. Hasil wawancara persepsi perempuan fatherless karena perceraian  ............
Gambar 1. Kerangka Konseptual
Tabel 1. Data partisipan
tabel 2.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kewajiban adalah segala sesuatu yang dianggap sebagai suatu keharusan untuk dilaksanakan oleh individu sebagai anggota warga negara guna mendapatkan hak yang

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: “ BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN PELECEHAN SEKSUAL YANG DIMUAT MELALUI MEDIA ELEKTRONIK ” adalah murni gagasan saya

The Effect of Using Picture Series with Oral Questions and List of Vocabulary with Headings on the Narrative Writing Achievement of the English Department Students

Effects of n-3 HUFA content in broodstock diet on spawning performance and fatty acid composition of eggs and larvae in Plectorhynchus cinctus.. Slechta,

Kendala yang dihadapi Badan Kepegawaian Daerah dalam penerapan sanksi bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang melanggar aturan mengenai disiplin kerja yaitu

karena ini merupakan suatu bentuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, pada kenyataannya ada masyarakat Bengkulu yang melakukan pembagian warisan

Berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa kasus pasien pulang paksa di rumah sakit dipengaruhi oleh tingkat kepuasan pasien dan tarif

Masih banyak Produk Layanan di Unit Pelayanan Publik pada Kabupaten yang dijadikan sampel penelitian yang tidak menyediakan pelayanan khusus bagi pengguna layanan yang