TINGKAT STRES KERJA GURU SEKOLAH LUAR BIASA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Stephanus Guntur Yoga Prasetyo Aji
NIM : 049114013
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
▸ Baca selengkapnya: nota serah tugas guru akademik biasa
(2)(3)(4)iv
MOTTO
“ Ngono Yo Ngono
Ning Ojo Ngono ”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dan untuk semua, yang tak henti berharap
vii
TINGKAT STRES KERJA GURU SEKOLAH LUAR BIASA
Stephanus Guntur Yoga Prasetyo Aji
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat stres kerja yang dialami guru Sekolah Luar Biasa. Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah guru sekolah luar biasa sebanyak 38 orang. Desain penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif kuantitatif. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa para guru sekolah luar biasa di Kabupeten Sleman, Yogyakarta mengalami stres kerja pada kategori sedang (86,84%). Para guru sekolah luar biasa hendaknya selalu memperhatikan kondisi diri saat bekerja, dan dapat melihat secara lebih jelas saat tubuh mulai mengalami tekanan - tekanan kerja yang berat sehingga jika mulai menunjukkan gejala stres kerja akan dapat dikenali dan ditangani.
viii
WORK STRESS LEVEL ON SLB SCHOOL TEACHER
Stephanus Guntur Yoga Prasetyo Aji
ABSTRACT
This study aims to describe the level of job stress experienced by SLB School teachers. Research subjects in this study are 38 SLB school teachers on SLB Yapenas Sleman, SLB PGRI Sleman, and SLB Tunas Sejahtera Sleman.. The design used is descriptive quantitative. Based on the results of data analysis has been done, it can be concluded that most special schools teachers on Kabupeten Sleman, Yogyakarta experiencing stress at a medium category (86,84%). SLB school teachers should keep attention about their own work stress level in order to handle stress experiences.
x
KATA PENGANTAR
Sembah puji syukur kepada Hyang Maha Kuasa karena atas rahmat dan
kasih-Nya, skripsi dengan judul “Tingkat Stes Kerja Guru Sekolah Luar Biasa” ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Tujuan penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi, Program Studi Psikologi. Skripsi ini tidak
akan terselesaikan tanpa bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Untuk
itu dalam kesempatan ini, penulis dengan penuh rasa syukur mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi selaku Dekan Fakultas Psikologi.
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi.
3. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti M.S. selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan
Dosen Pembimbing Akademis.
4. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku dosen penguji.
5. Kedua orangtua dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu
yang memberikan dukungan dalam seluruh proses pengerjaan dan
penyelesaian skripsi ini.
6. Seluruh konstelasi semesta dan „invisible hand‟ yang terus bekerja dengan
xi
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Segala
kritik dan saran yang membangun berkaitan dengan skripsi ini akan penulis terima
dengan senang hati.
Yogyakarta, 13 Juni 2013
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.………...i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……….………..…ii
HALAMAN PENGESAHAN ………...iii
HALAMAN MOTTO ………...………...…....iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ………....………v
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..vi
ABSTRAK ………...vii
ABSTRACT ………...viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………...ix
KATA PENGANTAR ………....x
DAFTAR ISI ………... xii
DAFTAR TABEL ………...……...xiv
BAB I PENDAHULUAN ………...1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
1. Manfaat Teoritis ... 4
2. Manfaat Praktis ... 4
a. Bagi Instansi Pendidikan Anak Luar Biasa………..…..4
xiii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………...6
A. Stres Kerja ... 6
1. Pengertian Stres ... 6
2. Pengertian Stres Kerja ... 7
3. Sumber - sumber Stres Kerja ... 8
4. Gejala Stres Kerja ... 17
5. Akibat Stres Kerja ... 22
B. Guru Sekolah Luar Biasa ... 25
1. Pengertian Guru ... 25
2. Guru Pendidikan Sekolah Luar Biasa... 28
C. Stres Kerja Guru Sekolah Luar Biasa ... 29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………...31
A. Jenis Penelitian ... 31
B. Variabel Penelitian ... 31
C. Definisi Operasional ... 31
D. Subyek Penelitian ... 32
E. Metode dan Alat Penelitian ... 33
F. Validitas dan Reliabilitas ... 36
1. Validitas Alat Ukur... 36
2. Seleksi Alat Item ... 36
3. Reliabilitas Alat Ukur ... 38
xiv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... ………...40
A. Persiapan Penelitian ... 40
1. Lokasi Penelitian ... 40
2. Subyek Penelitian ... 40
B. Pelaksanaan Penelitian ... 42
1. Uji Normalitas ... 42
2. Deskriptif Data Penelitian ... 43
3. Uji Perbedaan Mean Empirik dengan Mean Teoritik ... 44
C. Pembahasan ... 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………49
A. Kesimpulan ... 49
B. Saran ... 49
1. Bagi Instansi Pendidikan Luar Biasa ... 49
2. Bagi Guru Sekolah Luar Biasa... 50
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 50
C. Kelemahan Penelitian ... 50
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blueprint Skala Tingkat Stres Kerja Guru Sekolah Luar
Biasa………...………...35
Tabel 3.2 Distribusi Item Skala Tingkat Stres Kerja Guru Sekolah Luar
Biasa……….35
Tabel 3.3 Distribusi Item Skala Tingkat Stres Kerja Pada Guru Sekolah Luar
Biasa Setelah Pemotongan Item………..38
Tabel 4.1 Tingkat Pendidikan Guru Sekolah Luar Biasa……….….41 Tabel 4.2 Data Lama Bekerja Guru Sekolah Luar Biasa………...42
Tabel 4.3 Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test……….….…42
Tabel 4.4 Statistics Descriptive...43
Tabel 4.5 One-Sample Test ………..44
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Guru sebagai salah satu profesi yang termasuk dalam lingkup
dunia pendidikan tidak pernah lepas dari kehidupan berorganisasi. Peran
guru dalam instansi pendidikan sangatlah mutlak karena mereka adalah
instrumen dalam upaya penyampaian pendidikan kepada murid. Peran
guru dalam berbagai tingkatan pendidikan pun berbeda, biasanya pada
guru sekolah dasar, guru dituntut untuk memiliki kompetensi yang
mencakup kemampuan mengajar secara umum maupun kemampuan
administrasi.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat pula bahwa tantangan
yang dihadapi oleh guru Sekolah Luar Biasa (SLB) cukup berat. Mereka
dituntut tidak hanya untuk memiliki kemampuan dasar sebagai seorang
guru, namun juga kemampuan pendampingan dan keterampilan serta
karakteristik khusus dalam upaya mendampingi anak didiknya. Menurut
Efendi (2003), guru SLB juga dituntut untuk bertindak seperti paramedik,
therapis, social worker, konselor, dan administrator. Dalam pengamatan
awal penulis, dapat dilihat fenomena yang menunjukkan bahwa dalam
menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar bagi anak
berkebutuhan khusus, terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan
pada suatu sekolah luar biasa di kabupaten Sleman, penulis sempat
menemukan fenomena seorang guru sekolah luar biasa yang sudah cukup
berpengalaman memarahi anak didiknya yang merupakan anak tuna rungu
karena tidak segera dapat memahami tugas yang diberikan oleh guru
tersebut.
Peran guru SLB yang cukup kompleks dalam menjalankan
perannya sebagai tenaga pendidik bagi anak berkebutuhan khusus tersebut
kadangkala menimbulkan stres. Hal ini sangat dumungkinkan sebab guru
SLB harus melakukan penanganan khusus pada anak didiknya, dimana hal
tersebut tentu saja membutuhkan kemampuan yang lebih kompleks bagi
guru SLB. Farber (dalam Sutjipto,2001) menyatakan bahwa tekanan fisik
dan mental yang dialami guru sebagai akibat dari kondisi kerja dapat
menyababkan guru mengalami stres kerja.
Stres sendiri secara umum dapat dijelaskan sebagai sebuah
kondisi yang dialami individu ketika terjadi ketidak sesuaian antara
tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya
(Looker & Gregson,2004). Spielberger (Handoyo, 2001) menyebutkan
bahwa stres adalah tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya
obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus, yang secara obyektif
adalah berbahaya. Sedangkan Ulhaq (2008) menyatakan bahwa stress
merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami ketegangan
kondisi-kondisi tersebut dapat diperolah dari dalam diri maupun dari luar diri
seseorang.
Stres kerja merupakan hal yang umum terjadi dalam berbagai
bidang. Akan tetapi setiap orang akan memiliki pandangan yang berbeda
mengenai stres yang dialami, hal ini juga berarti bahwa stres kerja
mengandung aspek subyektif bagi mereka yang mengalaminya. Namun
secara umum, Hardjana(2004) menyatakan bahwa gangguan yang
ditimbulkan karena stres meliputi aspek fisiologis, psikologis dan sosial.
Secara fisiologis, gejala yang muncul adalah gugup dan gelisah yang
menggejala pada degub jantung yang cepat, perut mual, mulut kering dan
keluar keringat. Sedangkan secara psikologis, penderita stres akan
menderita tekanan dan tegangan yang membuat pola berpikir, emosi dan
perilaku menjadi kacau. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa dalam
aspek sosial, orang yang mengalami stress akan cenderung kurang peka
terhadap kondisi sekitar.
Berdasarkan uraian di atas, guru SLB yang pada keseharian
dalam kegiatan mengajar dan mendampingi anak berkebutuhan khusus
sering mengalami tekanan dan tuntutan – tuntutan atau yang biasa disebut
sebagai stressor (Looker & Gregson, 2004) juga memiliki pengalaman
yang bersifat subyektif tentang pengalaman stres yang mereka alami.
Berbagai macam tantangan dan tuntutan pekerjaan yang dialami oleh guru
SLB tersebut menarik perhatian peneliti untuk melihat gambaran
menjalankan tugasnya sebagai tenaga pendidik dan pengajar bagi anak
berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha melihat
bagaimanakah tingkat stres kerja yang dialami guru SLB dalam
melaksanakan tugasnya sebagai tenaga pendidik dan pendamping bagi
anak berkebutuhan khusus terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan tentang latar belakang masalah
penelitian, maka rumusan masalah yang disusun dalam penelitian ini
adalah “ Bagaimanakah tingkat stres kerja pada guru Sekolah Luar Biasa”.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan tingkat
stres kerja yang dialami guru Sekolah Luar Biasa.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
mengenai tingkat stres kerja pada Guru Sekolah Luar Biasa, dan dapat
digunakan sebagai referensi dalam penelitian selanjutnya, khususnya
dibidang Psikologi Pendidikan serta Psikologi Industri dan Organisasi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Instansi Pendidikan Anak Luar Biasa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
Sekolah Luar Biasa sehingga meningkatkan kualitas tenaga
pendidik secara umum
b. Bagi Guru Sekolah Luar Biasa
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah
wawasan sekaligus bahan untuk refleksi dan melihat kondisi
dirinya sehingga dapat mengatasi gejala stres yang mungkin
dialami.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres Kerja
1. Pengertian Stres
Looker & Gregson (2004) mendefinisikan stres sebagai
sebuah keadaan yang dialami individu ketika terjadi ketidaksesuaian
antara tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya.
Stres, menurut Passer & Smith (2004) didefinisikan sebagai
sebuah pola dari penilaian kognitif, respon fisiologis dan
kecenderungan perilaku yang muncul ketika menanggapi sebuah
ketidakseimbangan yang dirasakan antara permintaan situasional dan
sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi hal tersebut.
Sarafino (dalam Smet, 1994) mendefinisikan stres sebagai
suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu dengan
lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan
yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis,
psikologis dan sosial seseorang.
Santrock (2003), mendefinisikan stres sebagai sebuah respon
individu terhadap stresor, keadaan atau peristiwa yang mengancam
dan mempengaruhi kemampuan coping.
Sedangkan menurut Fraser (1997), stres atau ketegangan
sebenarnya sulit didefinisikan. Istilah stres disatu sisi menggambarkan
suatu keadaan fisis yang mengalami berbagai tekanan yang melebihi
batas ketahanan, disisi lain menggambarkan gejala yang menghasilkan
tekanan-tekanan, yang dapat menimbulkan perubahan dalam diri
individu, bersifat subyektif dan hanya berhubungan dengan kondisi
emosional maupun kondisi-kondisi psikologis. Oleh karena itu stres
sering dianggap sebagai reaksi dari manusia terhadap tekanan-tekanan
psikososial, dalam hubungannya dengan pekerjaan maupun dengan
lingkungan tempat individu berada.
Berdasarkan pengertian diatas, maka penulis mengambil
kesimpulan bahwa stres merupakan suatu reaksi individu yang bersifat
subyektif yang muncul akibat adanya ketidakseimbangan antara
tekanan – tekanan yang diterima individu dengan keinginan maupun
sumber daya yang dimiliki individu tersebut.
2. Pengertian Stres Kerja
Behr & Newman (Erita, 2001) mendefinisikan stres kerja
sebagai interaksi antara kondisi kerja dengan sifat-sifat pekerjaan yang
mengubah fungsi fisik maupun psikis yang normal, dengan kata lain,
stres kerja merupakan tuntutan pekerjaan yang tidak dapat diimbangi
olah kemampuan karyawan.
Karasek’s (Landy & Conte, 2004) menyatakan bahwa
kombinasi antara tuntutan pekerjaan yang tinggi dengan rendahnya
yang tinggi dimana berpengaruh terhadap munculnya gangguan pada
kesehatan.
Menurut Diahsari (2001), stres kerja pada intinya merujuk
pada kondisi dan pekerjaan yang mengancam individu. Ancaman ini
dapat berasal dari tuntutan pekerjaan itu atau karena kurang
terpenuhinya kebutuhan individu. Stres kerja ini muncul sebagai
bentuk ketidakharmonisan individu dengan lingkungan kerjanya.
Berdasarkan berbagai pengertian diatas, maka stres kerja
dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadi ketidakseimbangan
antara tuntutan yang berasal pekerjaan yang dihadapi dengan
kemampuan individu.
3. Sumber – sumber Stres Kerja
Munandar (2001), menyatakan bahwa setiap aspek dalam
pekerjaan dapat menjadi pembangkit stres. Tenaga kerja yang
menentukan sejauh mana situasi yang dihadapi merupakan situasi stres
atau tidak.
Menurut Robbins (1998), sumber stres yang terjadi ditempat
kerja adalah sebagai berikut :
a. Organisasi, meliputi peraturan, struktur organisasi,
kepemimpinan, dan kebijakan.
Cooper ( dalam Erita,2001) menyebutkan bahwa sumber stres
berasal dari:
a. Kondisi kerja, meliputi beban kerja yang berlebihan, atau
beban kerja yang kurang, pengambilan keputusan, kondisi
fisik yang berbahaya dan pembagian waktu kerja.
b. Ambiguitas dalam menempatkan peran.
Hal ini biasanya terjadi pada organisasi yang
besar dan struktur organisasinya yang kurang baik.
Karyawan kadang kadang tidak tahu apa sebenarnya yang
diharapkan perusahaan, sehingga ia bekerja tanpa arah
yang jelas. Kondisi ini akan menjadi ancaman bagi
karyawan yang berada pada masa karir tengah baya karena
harus berhadapan dengan ketidakpastian. Akibatnya dapat
menurunkan kinerja, meningkatkan ketidakpuasan kerja,
kecemasan, ketegangan dan keinginan keluar dari
pekerjaan. Kondisi seperti ini tentu menghadirkan konflik
yang harus dapat diatasi agar tidak menimbulkan stres.
c. Faktor interpersonal.
Hubungan interpersonal dalam pekerjaan
merupakan faktor penting untuk mencapai kepuasan kerja.
Adanya dukungan sosial dari rekan sekerja, maupun
keluarga diyakini dapat menghambat timbulnya stres.
pada karyawan agar selalu tercipta hubungan yang
harmonis.
d. Perkembangan karir.
Karyawan biasanya mempunyai berbagai harapan
dalam kehidupan karir kerjanya, yang ditujukan pada penc
apaian prestasi dan pemenuhan kebutuhan untuk
mengaktua lisasikan diri. Apabila perusahaan tidak dapat
memenuhi kebutuhan karyawan untuk berkarir, misalnya
sistem promosi yang tidak jelas, kesempatan untuk
meningkatkan penghasilan tidak ada, karyawan akan
merasa kehilangan harapan, tumbuh perasaan
ketidakpastian yang dapat menimbulkan gejala perilaku
stres.
e. Struktur organisasi.
Struktur organisasi berpotensi menimbulkan
stres apabila diberlakukan secara kaku, pihak manajemen
kurang memperdulikan inisiatif karyawan, tidak
melibatkan karyawan dalam proses pengambilan
keputusan, dan tidak adanya dukungan bagi kreativitas
Faktor-faktor yang menyebabkan stres kerja menurut
Greenberg (2002) dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Faktor stres kerja yang bersumber pada pekerjaan antara
lain:
1) Sumber intrinsik pada pekerjaan yang meliputi
kondisi kerja yang sangat sedikit menggunakan
aktifitas fisik, beban kerja yang berlebihan,
waktu kerja yang menekan, resiko/bahaya secara
fisik.
2) Peran di dalam organisasi, yaitu antara lain peran
yang ambigu, konflik peran, tanggung jawab
kepada orang lain, konflik batas-batasan
reorganisasi (conflicts reorganizational
boundaries) baik secara internal maupun
eksternal.
3) Perkembangan karir, dapat terdiri dari promosi
ke jenjang yang lebih tinggi atau penurunan
ambisi perkembangan karir yang mengalami
hambatan.
4) Hubungan relasi di tempat kerja meliputi antara
lain kurangnya hubungan relasi dengan
pimpinan, rekan sekerja atau dengan bawahan
serta kesulitan dalam mendelegasikan
tanggungjawab.
5) Struktur organisasi dan iklim kerja yaitu antara
lain karena terlalu sedikit atau bahkan tidak ada
partisipasi dalam pembuatan
keputusan/kebijakan, hambatan dalam perilaku
(misalnya karena anggaran), politik di tempat
kerja, kurang efektifnya konsultasi yang terjadi.
b.Faktor stres kerja yang bersumber pada karakteristik
individu antara lain:
1) Tingkat kecemasan.
Individu yang memiliki karakteristik
dengan tingkat kecemasan tinggi cenderung
mudah mengalami stres.
2) Tingkat neurotisme individu.
Individu yang memiliki karakteristik
dengan tingkat tingkat neurotisme tinggi
3) Toleransi terhadap hal yang
ambiguitas/ketidakjelasan
4) Pola tingkah laku tipe A.
Menurut Rosenman dan Friedman
(Breznizt dan Golberger, 1982) pola perilaku
individu dapat digolongkan ke dalam dua tipe,
yaitu individu tipe A dan individu tipe B.
Individu dengan pola perilaku tipe A sangat
ambisius dan agresif, selalu bekerja untuk
mencapai sesuatu, berlomba dengan waktu,
beralih dengan cepat dari suatu pekerjaan ke
lain pekerjaan, dan terlibat penuh pada
tugas-tugas pekerjaannya. Akibatnya, individu
dengan pola perilaku tipe A selalu berada
dalam keadaan tegang dan stres. Sebaliknya,
individu dengan pola perilaku tipe B mungkin
sama ambisiusnya dengan individu tipe A,
tetapi mereka lebih santai dan menerima situasi
seadanya.
5) Faktor stres kerja yang bersumber di luar
organisasi. Peristiwa-peristiwa kehidupan di
luar pekerjaan kerja tidak dapat dihindari akan
keluarga, kesulitan keuangan semuanya dapat
merupakan tekanan pada individu dalam
pekerjaannya.
Hardjana (1994) menyatakan bahwa terdapat dua sumber
stres yaitu, sumber stres yang berasal dari dalam diri (internal
sources), misalnya menderita suatu penyakit, konflik internal dan
sumber stres yang berasal dari lingkungan luar (eksternal sources),
baik lingkungan kerja maupun lingkungan sekeliling.
Menurut Hardjana(1994), ada dua faktor yang mempengaruhi
stres yaitu :
a. Faktor pribadi, meliputi unsur intelektual, motivasi, dan
kepribadian.
1). Unsur intelektual berkaitan dengan sistem berfikir.
Individu yang condong berfikir negatif dan pesimis,
dan berkeyakinan irasional lebih mudah terkena
stres daripada orang yang berfikiran positif, optimis
dan berkeyakinan rasional.
2). Unsur motivasi, jika peristiwa yang mendatangkan
stres itu mengancam cita-cita hidup, individu yang
menghadapi peristiwa tesebut akan menghadapi
stres lebih berat.
3). Unsur kepribadian, salah satu yang paling penting
harga diri rendah, mudah merasa tidak memiliki
kemampuan untuk mengatsi stres yang datang
kepadanya. Sebaliknya, orang yang memiliki harga
diri tinggi lebih tahan terhadap stres.
b. Faktor situasi, dapat tampil dalam dalam beberapa bentuk:
1). Bila hal, peristiwa, orang, dan keadaan itu
mengandung tuntutan berat dan mendesak.
2). Bila hal itu berhubungan dengan perubahan hidup,
seperti masuk kerja, menikah, menjadi orang tua.
3). Ketidakjelasan (ambiguity) dalam situasi. Misalnya,
di tempat kerja fungsi tidak jelas, tugas kabur,
ukuran penilaian kerja tidak ada.
4). Tingkat diinginkannya suatu hal (desirability). Hal
yang diinginkan kurang mendatangkan stres daripada
hal yang diinginkan. Misalnya, di PHK.
5). Kemampuan orang mengendalikan hal yang
membawa stres (controlability). Orang yang mampu
mengendalikan, pada umumnya kurang terkena stres
daripada orang yang kurang mampu mengendalikan
stres.
Collen (1989) mengkategorikan faktor penyebab stres kerja
a. Extraorganizational stressor (stresor ekstraorganisasi)
yang berasal dari luar organisasi pekerja.
b. Intraorganizational stressor (stressor intraorganisasi)
yang berasal dari dalam organisasi.
c. Task related stressor (stressor berorientasi tugas) yang
berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab.
d. Individual stressor (stressor individu) melibatkan
kesulitan pekerjaan sehubungan dengan peran kerja
mereka.
Smet (1994) mengemukakan faktor-faktor yang mengubah
pengalaman stres adalah sebagai berikut:
a. Variabel dalam kondisi individu: umur, tahap kehidupan,
jenis kelamin, temperamen, faktor-faktor genetik,
inteligensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi
dan kondisi fisik
b. Karakteristik kepribadian: ekstrovert-introvert, satabilitas
emosi secara umum, ketabahan (hardiness), locus of
control, kekebalan dan ketahanan.
c. Variabel sosial-kognitif: dukungan sosial yang dirasakan,
jaringan sosial dan kontrol pribadi.
d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang
e. Strategi coping. Sarafino (1994) mendefinisikan coping
sebagai suatu proses yang terjadi ketika individu berusaha
untuk mengontrol adanya ketidakseimbangan antara
tuntutan dengan sumberdaya-sumberdaya yang
dimilikinya dalam situasi stres.
4. Gejala Stres Kerja
Spector (dalam Widyarani, 2006) menjelaskan tiga jenis gejala
yang dialami seseorang ketika menghadapi situasi yang menekan.
Ketiga jenis gejala tersebut adalah:
a. Reaksi Psikologis
Reaksi psikologis adalah reaksi psikis terhadap
stres yang dialami. Biasanya gejala ini terjadi secara
bersamaan dengan intensitasyang cukup tinggi. Contoh dari
reaksi psikologis adalah cemas, frustasi, daya ingat
menurun, kecewa, gelisah, dan sulit memecahkan masalah.
b. Reaksi Fisiologis
Reaksi fisik yang muncul ketika seseorang
menghadapi situasi yang penuh dengan tekanan disebut
reaksi fisiologis. Bagian fisik yang paling sering terasa sakit
adalah daerah kepala dan perut. Contoh dari reaksi
fisiologis yaitu sakit kepala, sakit perut, tekanan darah
c. Reaksi Perilaku
Ketika seseorang menunjukkan perilaku tertentu
yang intensitasnya meningkat atau menurun secara drastis
sewaktu mengalami stres itu maka itu disebut reaksi
perilaku. Contoh dari reaksi perilaku adalah merokok,
berdoa, dan sulit tidur. Reaksi ini berbeda pada setiap
subyeknya, hal ini dikarenakan faktor psikologis individu
juga mempengaruhi respon seseorang dalam menghadapi
suatu stresor.
Secara umum, gejala stres kerja menjadi tiga kategori umum,
yaitu meliputi aspek psikologis, aspek fisiologis, dan aspek perilaku
(Luthans, 2005; Robbins, 2005), yaitu:
a. Gejala Fisiologis
Gejala fisiologis yaitu dengan munculnya
berbagai macam keluhan-keluhan fisik seperti gatal-gatal di
kuliat, rambut rontok, nyeri lambung, berkeringat, dan
tubuh panas dingin. Stres dapat mengakibatkan gangguan
metabolisme dalam tubuh, meningkatnya tekanan darah,
peningkatan kadar gula darah, meningkatnya laju detak
jantung, gangguan pernafasan, menimbulkan serangan sakit
kepala, dan bahkan timbulnya serangan jantung.
Gejala psikologis yang muncul sebagai akibat dari
stres antara lain menimbulkan ketegangan, mudah marah,
perasaan terbebani, ketidaktenangan, kecemasan,
kebosanan, dan suka menunda-nunda pekerjaan. Semua ini
dapat mempengaruhi suasana hati dan keadaan emosi lain
yang berkaitan erat dengan prestasi kerja, ketidaksukaan
pada pengawas, gangguan konsentrasi, dan keputusasaan.
c. Gejala Perilaku
Gejala perilaku dikaitkan dengan stres mencakup
gangguan komunikasi dalam pekerjaan, perubahan dalam
produktivitas, absen, tingkat keluarnya karyawan, mudah
terkena kecelakaan, perubahan dalam kebiasaan makan,
meningkatnya kebiasaan merokok dan mengkonsumsi
alkohol, penyalahgunaan obat, bicara cepat, gelisah, dan
gangguan tidur.
Menurut Beehr dan Newman (Rini, 2002) gejala stres kerja
dapat dibagi dalam 3 aspek, yaitu :
a. Gejala psikologis.
Kecemasan, ketegangan, bingung, marah,
sensitive, memendam perasaan, komunikasi tidak efektif,
mengurung diri, depresi, merasa terasing dan mengasingkan
diri, kebosanan, ketidakpuasan kerja, lelah mental,
konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreatifitas,
kehilangan semangat hidup, serta menurunnya harga diri
dan rasa percaya diri.
b. Gejala fisik
Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah,
meningkatnya sekresi adrenalin dan noradrenalin,
gangguan lambung (gangguan gastrointestinal), mudah
terluka, mudah lelah secara fisik, kematian, gangguan
kardiovaskuler, gangguan pernafasan, lebih sering
berkeringat, gangguan pada kulit, kepala pusing (migrain),
kanker, ketegangan otot serta problem tidur (seperti sulit
tidur, terlalu banyak tidur).
c. Gejala perilaku
Menunda ataupun menghindari pekerjaan/tugas,
penurunan prestasi dan produktivitas, meningkatnya
penggunaan minuman keras dan mabuk, perilaku sabotase,
meningkatnya frekuensi absensi, perilaku makan yang tidak
normal (kebanyakan atau kekurangan), kehilangan nafsu
makan dan penurunan drastis berat badan, meningkatnya
kecenderungan perilaku beresiko tinggi, seperti
kebut-kebutan, berjudi, meningkatnya agresivitas dan
dengan keluarga dan teman, serta kecenderungan bunuh
diri.
Sedangkan menurut Hardjana (1994) indikator-indikator stres
adalah sebagai berikut :
a. Gejala fisik dapat berupa sakit kepala, tidur tidak teratur,
sakit pungung, gangguan pencernaan, gatal-gatal pada
kulit, ketegangan otot, tekanan darah tinggi atau serangan
jantung, terlalu banyak mengeluarkan keringat, berubah
selera makan, kelelahan, dan semakin sering melakukan
kesalahan dalam pekerjaan atau hidup.
b. Gejala emosional dapat berupa gelisah, cemas, sedih,
depresi, berubah-ubah mood, mudah marah, gugup, harga
diri menurun, merasa tidak aman, terlalu peka, mudah
tersinggung, dan mudah bermusuhan.
c. Gejala intelek dapat dirasakan dari gejala-gejalanya, yaitu
susah konsentrasi, sulit membuat keputusan, mudah lupa,
pikiran kacau, daya ingat menurun, melamun,
produktivitas dan prestasi kerja menurun, dan kehilangan
rasa humor yang sehat.
d. Gejala interpersonal dirasakan akan mempengaruhi
hubungan dengan orang lain. Gejala-gejala interpersonal
yang dialami adalah kehilangan kepercayaan dari orang
mencari kesalahan orang lain, bersikap terlalu tertutup
pada orang lain, dan tidak mau berkomunikasi dengan
orang lain.
Behr&Newman (dalam Diahsari, 2001) menyatakan bahwa
dari berbagai penelitian, stres paling banyak berpengaruh pada sistem
pembuluh jantung dan perut serta berperan dalam gangguan tidur dan
menimbulkan kelelahan fisik yang berlebihan.
Berdasarkan beberapa paparan mengenai gejala stres kerja
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa gejala stras kerja meliputi aspek
fisiologis, aspek psikologis, dan aspek perilaku. Oleh karena itu
penelitian ini akan menggunakan indikator yang mencakup tiga aspek
tersebut diatas, yaitu gejala fisiologis yang berupa keluhan-keluhan
fisik yang terjadi saat individu mengalami stres, gejala psikologis yang
berupa ketidakstabilan emosi individu saat mengalami stres, dan gejala
perilaku yang berupa sikap, tingkahlaku, dan komunikasi interpersonal
yang ditunjukkan individu ketika mengalami stres.
5. Akibat Stres Kerja
Landy&Conte (2004) membagi membagi akibat stres menjadi
tiga kategori yaitu:
a. Perilaku
Akibat stres pada perilaku dibagi menjadi dua
bagian yaitu, pertama, pemrosesan informasi (information
waktu reaksi, akurasi dan performansi terhadap tugas.
Individu yang mengalami stres memiliki kesulitan dalam
memfokuskan perhatiannya. Bagian kedua adalah
performansi kerja (job performance). Yerkes dan Dowson
(dalam Landy&Conte, 2004) mengemukakan bahwa
hubungan antara stres dengan performansi adalah berbentuk
huruf ‘U’ terbalik dimana semakin tinggi tingkat stres maka
performansi yang dihasilkan juga semakin meningkat.
Namun, peningkatan ini hanya sampai pada titik tertentu
setelah melewati titik tersebut performansi akan menurun.
b. Psikologis
Konsekuensi stres secara psikologis antara lain
kecemasan, depresi, burnout, kelelahan, tekanan pekerjaan,
ketidakpuasan terhadap pekerjaan dan hidup (Kahn;
Byosiere, dalam Landy&Conte, 2004).
c. Fisiologis
Beehr dan Newman (dalam Jasinta, 2002)
mengemukakan yang termasuk gejala fisik akibat stres
adalah detak jantung dan tekanan darah meningkat, sekresi
adrenalin dan nonadrenalin meningkat, Gangguan
gastrointestinal misalnya gangguan lambung, kelelahan
timbulnya masalah respirasi, keringat berlebihan, gangguan
kulit, sakit kepala, kanker dan gangguan tidur.
Menurut pendapat Aamodt (2004), tanda – tanda stres kerja
sebagai respon individu terhadap adanya stres kerja yang meliputi
respon psikologis, fisiologis, dan perilaku. Respon psikologis meliputi
adanya perasaan tertekan, kecemasan, kemarahan, dan gangguan tidur.
Respon fisiologis terlihat dari tanda – tanda kesehatan yang menurun,
masalah jantung, sakit kepala dan tulang sendi nyeri. Respon perilaku
dapat terlihat dari perilaku merokok, perilaku meminum minuman
keras, penyalahgunaan obat, meningkatnya absen, turnover,
produktivitas rendah dan kekerasan di tempat kerja.
Berdasarkan uraian mengenai akibat stres kerja diatas, akibat
stres kerja yang terjadi tergantung pada tingkat stres kerja yang dialami
individu. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan dalam melihat akibat
dari stres kerja adalah dengan memperhatikan aspek performa dari
individu. Hal inilah yang membedakan gejala stres dengan dampak
stres. Bagaimanapun juga kondisi stres diperlukan agar performa
individu dapat meningkat, akan tetapi perlu diperhatikan juga bahwa
pada titik tertentu kondisi stres dapat menurunkan performansi individu.
Sehingga setiap pihak, baik pihak perusahaan maupun pihak karyawan
dapat lebih memahami dan memperhatikan mengenai stres kerja agar
kondisi stres yang terjadi tidak merugikan baik pihak perusahaan
B. Guru Sekolah Luar Biasa
1. Pengertian Guru
Guru merupakan elemen kunci dalam kelangsungan upaya
pendidikan. Menurut Supeno (1997) peran serta guru memiliki andil
yang cukup besar dalam pendidikan, karena guru adalah manusia yang
berbeda dari alat atau faktor tujuan, maupun faktor proses dalam
pendidikan. Guru ditintut untuk memiliki kompetensi yang merujuk
pada kemampuan intelektual dan pengetahuan, keterampilan, dan
konsep mengenai nilai-nilai pendidikan yang dapat direfleksikan lewat
pemikiran dan tindakan.
Sebagai tenaga professional, seorang guru dipersyaratkan
dengan adanya kualifikasi akademik dan kompetensi yang harus
dimiliki. Sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-undang No
14 Tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen, bahwa seorang guru harus
memiliki kualifikasi akademik yang diperoleh melalui perguruan tinggi
program Strata Satu (S1) dan/atau Diploma Empat (D4).
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru. Dijelaskan bahwa Standar
Kompetensi Guru dikembangkan secara utuh dari 4 kompetensi utama,
a. Kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan yang harus
dimiliki guru berkenaan dengan karakteristik siswa
dilihat dari berbagai aspek seperti moral, emosional, dan
intelektual.
b. Kompetensi kepribadian, yaitu kompetensi guru untuk
memahami dan mengintegrasikan proses pendidikan
yang dilakukan. Sehingaa mampu mengarahkan proses
pendidikan terhadap tata nilai kehidupan dalam
masyarakat.
c. Kompetensi sosial, guru dituntut untuk memiliki
kompetensi dalam kaitannya dalam hidup bermasyarakat
yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari Hal ini tentu
saja diupayakan dalam rangka proses pembelajaran yang
efektif.
d. Kompetensi professional, hal ini mengandung implikasi
bahwa untuk menjadi guru dipersyaratkan kualifikasi
dan penguasaan kecakapan tertentu (Wagino,2006).
Dalam perkembangannya, dalam penyelenggaraan
pendidikan terdapat penegrtian, tugas dan kedudukan guru. Secara
umum guru dapat dibedakan menjadi 3, yaitu guru kelas, guru mata
pelajaran, dan guru pendidikan khusus. Pengertiannya sesuai dengan
tentangpengadaan dan pembinaan tenaga pendidik tahun 2007, adalah
sebagai berikut:
a. Guru Kelas
Guru kelas adalah pendidik/pengajar pada suatu
kelas tertentu di Sekolah umum yang sesuai dengan
kualifikasi yang dipersyaratkan, bertanggungjawab atas
pengelolaan pembelajaran dan adiministrasi di kelasnya.
Kelas yang diampu tidak menetap, dapat berubah-rubah
pada setiap tahun pelajaran sesuai dengan kondisi
sekolah. Guru kelas biasanya ada pada kelas-kelas
rendah, (kelas 1,2 dan 3).
b. Guru Mata Pelajaran
Guru mata pelajaran adalah guru yang
mengajar mata pelajaran tertentu sesuai kualifikasi yang
dipersyaratkan. Di Sekolah umum, biasanya untuk mata
pelajaran Pendidikan Agama serta mata pelajaran
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan di ajarkan oleh guru
mata pelajaran, sedangkan mata pelajaran lain oleh
guru kelas (untuk SD), untuk tingkat SMP dan SMA
sebagian besar diampu oleh guru bidang studi.
c. Guru Pendidikan Khusus
Guru Pendidikan khusus adalah guru yang
khusus/Pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat
pelatihan tentang pendidikan khusus/luar biasa, yang
ditugaskan di sekolah inklusif.
Berdasarkan berbagai pengertian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa guru adalah tenaga terdidik yang secara
profesional menjalankan proses pendidikan dengan pemenuhan
terhadap kriteria kompetensi-kompetensi utama, yaitu kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompeteksi sosial, dan
kompetensi profesional.
2. Guru Pendidikan Sekolah Luar Biasa
Guru pendidikan khusus menurut Dirjen Pendidikan Luar
Biasa adalah mereka yang telah mendapatkan pendidikan khusus untuk
menangani, memberikan pengayaan, melakukan terapi, dan
membimbing anak-anak sesuai dengan kekhususannya. Guru
pendidikan ini juga harus memenuhi syarat yaitu merupakan lulusan
Perguruan Tinggi yang memiliki program sertifikasi Guru Pendidikan
khusus/Guru Pendidikan Luar Biasa.
Menurut Efendi (2003), guru sekolah luar biasa, selain
memiliki kemampuan untuk mengajar pengetahuan dan keterampilan,
mereka juga harus mampu bertindak seperti paramadis, terapis, social
worker, konselor dan administrator.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka guru pendidikan
yang secara professional telah memenuhi persyaratan bidang keahlian
khusus agar dapat memberikan pelayanan secara akademis, psikologis
dan pedagogis kepada anak berkebutuhan khusus.
C. Stres Kerja Guru Pendidikan Luar Biasa
Berdasarkan tugas-tugas khusus yang dilakukan oleh guru
pendidikan luar biasa, guru pendidikan khusus selain dilandasi oleh empat
kompetensi utama (pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial), secara
khusus juga berorientasi pada kemampuan khusus (specific ability).
Kemampuan khusus sebagai tambahan komtensi bagi guru pendidikan
Luar Biasa merupakan standar kompetensi yang tertuang dalam pedoman
khusus pendidikan khusus.
Kualifikasi kompetensi khusus bagi tenaga pendidik bagi anak
berkebutuhan khusus tersebut tentu saja harus mendapat perhatian guru
sekolah luar biasa dalam malaksanakan tugasnya, mereka harus
menyadari tentang upaya pengembangan anak-anak berkebutuhan khusus
yang lebih spesifik. Kesulitan dalam penguasaan kompetensi pendidikan
khusus tersebut tentu bisa menjadi tekanan tersendiri bagi guru sekolah
luar biasa. Mengingat tiap anak memiliki karakter khusus yang spesifik
satu dengan yang lainnya, dengan kata lain standar kemampuan utama
harus benar-banar dikuasai oleh guru pendidikan luar biasa.
Peran dan tanggung jawab guru sekolah luar biasa yang sangat
banyak juga dapat menjadi tekanan baik fisik maupun mental bagi guru,
jarang pula permasalahan yang muncul adalah permasalahan yang
menyangkut interaksi sosial dengan masyarakat sekitar, hal ini diperoleh
berdasarkan wawancara dengan pihak SLB. Pihak sekolah juga sering
melakukan upaya untuk memberikan pengertian kepada masyarakat umum
tentang anak berkebutuhan khusus.
Berdasarkan beberapa penjabaran mengenai hal-hal khusus bagi
guru SLB tersebut, kiranya dapat dilihat bahwa tugas sebagai guru bagi
anak berkebutuhan khusus yang menuntut kemampuan dasar sebagai guru,
pemahaman tentang karakteristik khusus anak didiknya, maupun
kemampuan spesifik sebagai upaya pendampingan dan pendidikan
keterampilan bagi anak didiknya. Berbagai macam tantangan yang
dihadapi oleh guru SLB tersebut tentu saja menumbuhkan kondisi kerja
yang penuh tekanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Farber (dalam
Sutjipto,2001) yang menyatakan bahwa tekanan fisik dan mental yang
dialami guru sebagai akibat dari kondisi kerja dapat menyebabkan guru
mengalami stres kerja.
Berdasarkan uraian mengenai stres kerja maupun uraian
mengenai guru pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus diatas, peneliti
akan berusaha untuk mengungkapkan stres kerja dengan melihat gejala
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang hendak digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam penelitian ini
tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan, membuktikan
hipotesis, membuat ramalan atau mendapatkan makna dan implikasi
(Suryabrata, 2006).
Penelitian ini hendak mengungkapkan dan mendeskripsikan
tingkat stres kerja pada guru Sekolah Luar Biasa di Kabupaten Sleman.
B. Variabel Penelitian
Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah tingkat
stres kerja pada guru sekolah luar biasa.
C. Definisi Operasional
Tingkat stres kerja pada guru sekolah luar biasa dipandang
sebuah kondisi ketidakseimbangan antara harapan dan sumber daya
dengan tekanan yang dialami oleh guru sekolah luar biasa dalam tugas
mendidik dan melakukan pendampingan terhadap anak berkebutuhan
gejala yang mencakup aspek psikologis, aspek fisiologis, dan aspek
perilaku.
Penulis hendak melihat reaksi guru sekolah luar biasa dalam
mengahadapi tekanan yang dapat memunculkan stres kerja pada guru
sekolah luar biasa dengan menggunakan skala stres kerja yang mencakup
aspek fisiologis, aspek psikologis dan aspek perilaku. Secara lebih
kongkret, reaksi psikologis berupa ketidakstabilan emosi individu saat
mengalami stres, reaksi fisiologis meliputi keluhan - keluhan fisik yang
terjadi saat individu mengalami stres, dan reaksi perilaku merupakan
reaksi yang muncul dalam bentuk perilaku termasuk kemampuan
komunikasi interpersonal individu.
Tingkat stres pada subyek dilihat dari skor total pada skala
tingkat stres kerja yang diukur berdasarkan reaksi yang muncul akibat
stres. Semakin tinggi skor total pada skala stres menunjukkan tingkat stres
kerja yang semakin tinggi dan semakin rendah skor total pada skala stres
kerja menunjukkan tingkat stres kerja yang semakin rendah.
D. Subyek Penelitian
Teknik pemilihan subyek yang digunakan adalah teknik purposive
sampling, yaitu suatu teknik pemilihan sekelompok subyek di dasarkan atas
cirri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004).
biasa tertentu, dikarenakan yang hendak diungkapkan dalam penelitian ini adalah tingkat stres kerja pada guru sekolah luar biasa secara umum.
E. Metode dan Alat Penelitian
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan melakukan penyebaran skala secara langsung yang
kemudian diisi olah subyek. Skala yang digunakan dalam penelitian adalah
skala yang mengukur tingkat stres kerja pada guru sekolah luar biasa di
kabupaten Sleman. Pembuatan skala pengukuran tingkat stres kerja dalam
penelitian ini didasarkan pada teori Spector yang memuat tiga aspek, yaitu
aspek psikologis, fisiologis, dan perilaku.
Metode rating yang digunakan dalam pembuatan skala dalam
penelitian ini adalah dengan method of summated rating (metode rating
yang dijumlahkan). Dalam metode skala ini, penentuan nilai skala adalah
berdasarkan penskalaan sikap dengan menggunakan distribusi respon
(Gable, dalam Azwar, 2004). Dalam skala yang telah dibuat, subyek akan
diminta untuk merespon pernyataan – pernyataan yang telah disusun
secara favorable (mendukung obyek) dan unfavorable ( tidak mendukung
obyek).
Dalam penelitian ini memuat empat alternatif jawaban. Keempat
alternatif jawaban tersebut adalah tidak pernah (TP), jarang (J), sering
(S),dan sangat sering (SS). Sistem pemberian skor pada tiap item
bergantung pada jenis kategori item, untuk item dengan kategori favorable,
tertinggi adalah sangat sering (SS) dengan skor 4. Demikian pula
sebaliknya, jika item termasuk kategori unfavorable, maka skor tertinggi
adalah terdapat pada kategori jawaban tidak pernah (TP) dengan skor 4,
sedangkan dkor teendah adalah pada kategori jawaban sangat sering (SS).
Pemilihan kategori jawaban dengan menghilangkan alternatif
jawaban tengah merupakan upaya untuk mengurangi kemungkinan adanya
subyek yang memiliki kecenderungan untuk memilih alternatif jawaban
yang bersifat netral.
Skor pada masing - masing item pada skala dijumlahkan,
sehingga mendapatkan skor total skala pada tiap subyek. Semakin tinggi
skor yang diperolah subyek mengindikasikan tingkat stres kerja yang
tinggi pada subyek, sedangkan semakin rendah skor yang dimiliki subyek
mengindikasikan semakin rendah pula tingkat stres kerja yang dimiliki
Tabel 3.1 Blueprint Skala Tingkat Stres Kerja Pada Guru Sekolah
Luar Biasa
No Aspek Stres Kerja
Item
Jumlah Favorabel Unfavorabel
1 Psikologis 8 8 16
2 Fisiologis 8 8 16
3 Perilaku 8 8 16
TOTAL 24 24 48
Tabel 3.2 Distribusi Item Skala Tingkat Stres Kerja Pada Guru
Sekolah Luar Biasa
No Aspek Stres Kerja
Item
Jumlah
Favorabel Unfavorabel
1 Psikologis 1,4,10,11,16,22,26 5,7,14,21,29,30,32,40,47 16
2 Fisiologis 2,12,15,23,24,34,37,39 17,19,20,27,28,41,42,44 16
3 Perilaku 3,6,9,18,25,35,36,38 8,13,31,33,43,45,46,48 16
F. Validitas dan Realibilitas Alat Ukur
1. Validitas Alat Ukur
Menurut Azwar (2004), suatu alat ukur dikatakan memiliki
validitas yang tinggi jika alat tersebut mampu memberikan hasil ukur
yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Dengan
kata lain suatu alat ukur dapat mengukur atribut yang hendak diukur.
Pengukuran validitas alat tes dilakukan dengan validitas isi.
Berdasarkan metode ini, validitas diukur melalui analisis rasional dan
professional judgement dari seseorang yang telah memenuhi kualifikasi
bidang keilmuan, yaitu dosen pembimbing, hal ini dilakukan agar dapat
melihat sejauh mana isi tes tersebut mencerminkan atribut yang hendak
diukur. Item yang digunakan akan dilihat sejauh mana item – tersebut
mewakili komponen dalam keseluruhan isi obyek yang hendak diukur
dan sejauh mana item – item tes dapat mencakup ciri perilaku yang
hendak diukur (Azwar, 2004). Oleh karena itu pembuatan skala stres
kerja dalam penelitian ini dikonsultasikan terlebih dahulu oleh pihak
yang berkompeten untuk memenuhi syarat validitas isi alat tes
berdasarkan professional judgement.
2. Seleksi Item
Proses seleksi item diperlukan untuk memilih item - item yang
baik. Item yang baik dalam suatu penelitian adalah item yang memiliki
kemampuan untuk memberikan indikasi apakah seseorang memiliki
dalam penelitian ini adalah penggunaan koefisien korelasi dengan
mengkorelasikan skor item dengan skor item total. Pengkorelasian antara
skor item dengan skor item total akan menghasilkan koefisien korelasi
item total. Koefisien korelasi yang baik adalah ≥ 0.3, jadi item yang
memiliki koefisien korelasi kurang dari 0.3 dinyatakan gugur (Azwar,
2003). Akan tetapi dikarenakan jika menggunakan koefisien korelasi
tersebut, masih terlalu banyak item yang gugur maka bisa
dipertimbangkan untuk mengurangi standar kriteria koefisien korelasi.
Batas paling bawah yang disarankan adalah 0,20. Koefisien korelasi
dibawah 0,20 sangat tidak disarankan (Azwar, 2005).
Berdasarkan hasil seleksi item yang dilakukan terhadap 48 item
skala stres kerja yang disusun, maka diperoleh hasil jumlah item gugur
sebanyak 10 item. Sehingga jumlah item sahih yang dipergunakan
Tabel 3.3 Distribusi Item Skala Tingkat Stres Kerja Pada Guru
Sekolah Luar Biasa Setelah Pemotongan Item
No Aspek Stres
Kerja
Item
Jumlah
Favorabel Unfavorabel
1 Psikologis 1,4,11,16 ,22,26 5,14,21 ,30,32,40 12
2 Fisiologis 2,15,23,24,34,37,39 17,19,20,27,41,42,44 14
3 Perilaku 3,6,9,18,25,35,36,,38 13,33,45,,48 12
Total 21 17 38
3. Reliabilitas Alat Tes
Reliabilitas adalah keterpercayaan, keterandalan, keajegan,
kestabilan dan konsistensi (Azwar, 2003). Menurut pendapat Azwar
tersebut, reliabilitas merupakan salah satu ciri utama instrument
pengukuran yang baik. Pengukuran koefisien reliabilitas dilakukan
dengan menggunakan teknik -Alpha Cronbach. Hal ini dilakukan sebab
dengan pendekatan tersebut koefisien mempunyai nilai praktis dan
koefisien yang tinggi karena hanya dilakukan satu kali pada sekelompok
subyek (Azwar, 2003). Reliabilitas dalam penelitian ini diukur dengan
pendekatan konsistensi internal yang didasarkan pada data dari sekali
pengenaan satu bentuk skala sikap pada sekelompok responden
Berdasarkan uji reliabilitas terhadap 38 item pada uji coba
skala stres kerja yang telah dilakukan menghasilkan koefisien alpha
sebesar 0, 889. Angka koefisien alpha hasil uji coba tersebut
menunjukkan bahwa kuesioner stres kerja tersebut sudah cukup dapat
diandalkan untuk pengambilan data penelitian. Hal ini dikarenakan
koefisien alpha sudah hampir mendekati angka 0,900. Hal ini didasarkan
pada pendapat Azwar (2005), bahwa kadang suatu koefisien yang tidak
mencapai koefisien alpha sebesar 0,900 pun dapat dianggap cukup
berarti, skor minimal pada koefisien alpha adalah 0,600.
G. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis
deskriptif untuk mengetahui tingkat stres kerja dan mengetahui faktor
penyebab stres kerja. Menurut Sugiyono (2007) analisis deskriptif adalah
analisis yang bertujuan memberikan gambaran terhadap obyek yang
diteliti melalui data atau sampel populasi sebagaimana adanya. Analisis
deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini meliputi rata-rata hitung
(mean) dan analisis prosentase. Semua data yang terkumpul dianalisa
dengan statistik kemudian ditafsirkan dalam bentuk kalimat sehingga
40
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di kabupaten Sleman, Yogyakarta dengan
pertimbangan latar belakang Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Sehingga
perkembangan cakupan pendidikan juga cukup pesat. Secara khusus tentang
perkembangan pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus di
Yogyakarta, terutama di kabupaten Sleman ini juga berkembang dengan cukup
signifikan, hal ini didasarkan data tentang jumlah Sekolah Luar Biasa di
kabupaten Sleman, baik Sekolah Luar Biasa Negeri maupun Sekolah Luar
Biasa Swasta yang mencapai 41,67 % atau 25 sekolah dari seluruh Sekolah
Luar Biasa di Yogyakarta yang berjumlah 60 Sekolah Luar Biasa. Berdasarkan
hal tersebut peneliti memilih lokasi di SLB Tuna Sejahtera, SLB Yapenas, serta
SLB PGRI. Pemilihan terhadap tiga sekolah tersebut didasarkan bahwa dari
tiga sekolah tersebut sudah didapatkan data yang cukup representatif.
2. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah guru pendidikan Sekolah Luar Biasa
yang memiliki peran sebagai tenaga pendidik professional untuk mendampingi
anak berkebutuhan khusus. Guru pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
memiliki peran tidak hanya sebagai tenaga pendidik yang memiliki kompetensi
keterampilan serta karakteristik khusus dalam upaya mendampingi anak
didiknya. Hal ini didukung pendapat Efendi (2003), yang menyatakan bahwa
guru SLB juga dituntut untuk bertindak seperti paramedik, therapis, social
worker, konselor, dan administrator.
Dalam penelitian ini terkumpul 38 subyek dari tiga sekolah luar biasa
di Sleman, Yogyakarta. Berdasarkan proses identifikasi yang telah dilakukan,
diperoleh data sebagai berikut, sebanyak 23 orang (60,52%) memiliki tingkat
pendidikan sarjana/S1, 9 orang (23,68%) memiliki tingkat pendidikan setingkat
SMA, yaitu di SGPLB. Sedangkan sisanya yaitu 2 orang (0,05%) memiliki
tingkat pendidikan diploma, dan terdapat angka 10,52% atau 4 orang yang
tidak diketahui tingkat pendidikannya. Sehingga dapat disajikan dalam tabel
sebagai berikut;
Tabel 4.1 Tingkat Pendidikan Guru Sekolah Luar Biasa
Tingkat Pendidikan Frekuensi (Orang) Presentase (%)
Sarjana (S1) 23 60,52
Diploma 2 0,05
SGPLB 9 23,58
Tidak Diketahui 4 10,52
Selain itu, subyek yang diperoleh memiliki tingkat lama bekerja yang
berbeda, meskipun sebagian besar sudah bekerja lebih dari empat tahun. Data
yang berhasil dikumpulkan menyebutkan bahwa guru sekolah luar biasa yang
bekerja lebih dari dua tahun sampai dengan kurang dari empat tahun sebanyak
4 orang (10,52%) dan yang telah bekerja lebih dari empat tahun sebanyak 29
orang (76,32%). Sedangkan sisanya, yaitu sebanyak 4 orang atau 10,52 % tidak
diketahui tingkat lama bekerjanya. Penyajian table berdasarkan data tersebut
adalah sebagai berikut;
Tabel 4.2. Data Lama Bekerja Guru Sekolah Luar Biasa
Lama Bekerja Frekuensi (orang) Persentase (%)
< 2 tahun 1 orang 2,63 %
Normal Parameters(a,b) Mean 84.0263 Std. Deviation 10.73385 Asymp. Sig. (2-tailed) .877 a Test distribution is Normal.
Dalam penelitian ini, uji normalitas dilakukan dengan teknik
Kolmogorov-Smirnov yang menyatakan bahwa jika nilai signifikansi lebih
besar dari 0,05 (P > 0.05) maka sebarannya normal. Berdasarkan analisis teknik
Kolmogorov-Smirnov SPSS versi 13.00 diperoleh nilai signifikansi sebesar
0,877. Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang diambil berasal dari sebuah
distribusi normal.
2. Deskriptif Data Penelitian
Tabel 4.4 Statistics Descriptive
Sedangkan Proses penghitungan mean teoritik adalah sebagai
berikut;
3. Uji Perbedaan Mean Empirik dengan Mean Teoritik
Untuk membandingkan rata-rata empirik dengan rata-rata
teoritik dilakukan analisis menggunakan uji t satu sampel (One Sample t
Test). Jika hasil t hitung signifikan pada taraf 5%, maka artinya rata-rata
empirik berbeda secara signifikan daripada rata-rata teoritik. Adapun hasil
uji t satu sampel dengan menggunakan program SPSS disajikan pada table
berikut
mean teoritik sebesar 95 dengan nilai p sebesar 0.000 dan nilai t sebesar
-6,302 sehingga disimpulkan bahwa ada perbedaan signifikan antara mean
empirik dengan mean teoritiknya. Dapat dilihat juga bahwa mean teoritik
lebih besar daripada mean empirik. Hal tersebut menunjukkan bahwa
subjek penelitian mengalami stres kerja yang rendah.
Berdasarkan hasil penelitian juga diperoleh data
Tabel 4.6 Data Perbandingan Mean Teoritik dan Mean Empirik
Aspek Psikologis Aspek Fisiologis Aspek Perilaku
Skor Total 1015 1196 982
Rata-rata 84,58 85,43 81,83
Berdasarkan data tersebut, maka jika dibandingkan dengan mean
empirik penelitian sebesar 84,03 akan diperoleh gambaran bahwa aspek
fisiologis memiliki sumbangan terbesar terhadap variable stress kerja,
yaitu dengan nilai mean pada aspek fisiologis sebesar 85,43. Hal ini berarti
bahwa indikator-indikator pada aspek fisiologis dapat mengungkapkan
kondisi stress kerja yang dialami guru sekolah luar biasa secara lebih jelas
dibandingkan aspek lainnya. Sedangkan nilai mean pada aspek psikologis
menempati urutan kedua setelah aspek fisiologis dengan nilai sebesar
84,58. Hal ini berarti bahwa indikator-indikator pada aspek ini cukup baik
untuk mengungkapkan kondisi stress kerja pada guru sekolah luar biasa.
Nilai skor rata-rata pada aspek perilaku memiliki nilai terendah
dibandingkan aspek lainnya, yang berarti bahwa indikator aspek ini kurang
dapat mengungkapakan stres kerja pada guru sekolah luar biasa.
C. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar stres kerja
pada Guru Sekolah Luar Biasa di Kabupaten Sleman. Berdasarkan hasil
dengan nilai mean empirik yang didapatkan adalah 84,03 sedangkan hasil
penghitungan mean teoritik adalah 95, oleh karena mean empirik lebih rendah
daripada mean teoritik sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat stres kerja
pada guru SLB di kabupaten Sleman cenderung rendah.
Sebenarnya cukup sulit untuk menemukan kriteria obyektif yang
dapat mengukur situasi yang penuh stres, karena setiap individu memberikan
respon yang berbeda terhadap stres (Smet,1994). Oleh karena itu tingkat stres
pada masing-masing individu berbeda dengan yang lain, karena sangat
tergantung oleh respon subyektif masing-masing individu.
Berdasarkan berbagai pemaparan tentang konsep stres, ada
berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi tingkat stres. Hardjana
(1994) mengemukakan bahwa terkena tidaknya stres terhadap seseorang
dipengaruhi oleh ketangguhan diri (hardiness). Orang yang berpribadi kurang
tangguh lebih mudah terkena stres daripada orang yang berpribadi tangguh.
Menurut Johnson (dalam Sri Rahayu, 2006), Kepercayaan
interpersonal berhubungan negatif dengan stres kerja, artinya semakin tinggi
kepercayaan interpersonal maka semakin rendah stres kerja begitu sebaliknya.
Kepercayaan interpersonal adalah salah satu bentuk ketrampilan dalam
berhubungan dengan orang lain yang dapat digunakan sebagai coping terhadap
stres. Sehingga bagi individu yang memiliki keterampilan interpersonal akan
lebih mudah untuk melakukan strategi coping terhadap situasi stressful.
Hal ini didukung oleh Sarafino (1990) yang menyatakan bahwa
mencoba melakukan usaha-usaha tertentu untuk beradaptasi dengan situasi
tersebut untuk mengatasi stres. Adaptasi ini bisa dilakukan dengan coping.
Sarafino mendefinisikan coping sebagai suatu proses yang terjadi ketika
individu berusaha untuk mengontrol adanya ketidakseimbangan antara
tuntutan dengan sumberdaya - sumberdaya yang dimilikinya dalam situasi
stres.
Faktor yang mempengaruhi tingkat stres dan terkait dengan data
penelitian adalah tingkat pendidikan. Berdasarkan data penelitian, sebagian
besar subyek memiliki tingkat pendidikan sarjana (S1), yaitu 23 orang (60,52
%). Hal ini didukung oleh Hardjana, (1994) yang mengemukakan bahwa
pendidikan akan membuat seseorang memiliki pengetahuan praktis dalam
hidup pribadi serta pengetahuan teoritis yang mendasari praktik hidup dalam
berbagai bidang. Semua pengetahuan praktis dan teoritis yang dimiliki akan
membuat seseorang menghadapi, mengatasi dan dan mengelola stres yang
datang. Smet (1994) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mengubah
pengalaman stres adalah variabel dalam kondisi individu, dimana didalamnya
terdapat inteligensi serta tingkat pendidikan.
Hal lain yang juga berpengaruh terhadap tingkat stres kerja adalah
tingkat lama dalam suatu pekerjaan. Berdasarkan data penelitian, dapat
diketahui bahwa sebanyak 29 orang atau dengan prosentase sebesar 76,32%
telah bekerja dalam jangka waktu lebih dari empat tahun. Sehingga telah
memiliki pola adaptasi terhadap segala kondisi stressful yang terkait dengan
mengembangkan keterampilan dalam mengenali dan berhubungan dengan
orang lain maupun lingkungan sekitar. Bahkan sudah memiliki pengalaman
untuk menangani hambatan dan kondisi stresfull yang dihadapi di sekolah. Hal
ini sesuai dengan Smet (1994) yang mengemukakan faktor yang mengubah
pengalaman stres diantaranya adalah dukungan sosial yang dirasakan, jaringan
sosial dan kontrol pribadi, serta Hubungan dengan lingkungan sosial,
49
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa para guru sekolah luar biasa di Kabupeten Sleman,
Yogyakarta mengalami stres cenderung rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil
penghitungan mean empirik yang didapatkan adalah 84,03 sedangkan hasil
penghitungan mean teoritik adalah 95, oleh karena mean empirik lebih rendah
daripada mean teoritik sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat stres kerja
pada guru SLB di kabupaten Sleman cenderung rendah.
B. Saran
1. Bagi Instansi Pendidikan Anak Luar Biasa
Berdasarkan hasil penelitian, maka diharapkan dapat menjaga
kebijakan yang berguna bagi guru sekolah luar biasa dalam menghadapi
tekanan dalam bekerja sehingga iklim dalam bekerja yang sudah ada dapat
terhaga dengan baik. Karena bagaimanapun juga kondisi yang penuh
tantangan dan tekanan, jika diatur dalam takaran yang tepat justru dapat
menjaga kinerja para guru sekolah luar biasa tetap terjaga. Selain itu juga
perlu diadakan evaluasi terkait kebijakan terhadap kesejahteraan baik materi
maupun rohani pada guru, sehingga diharapkan dapat mengurangi
2. Bagi Para Guru Sekolah Luar Biasa
Bagi para guru sekolah luar biasa hendaknya dapat menjaga
kondisi saat menghadapi tekanan dalam bekerja. Selain itu juga hendaknya
saling membuka diri dalam menjalin relasi interpersonal antar rekan
seprofesi maupun pihak instansi terkait (sekolah) jika merasa menghadapi
kondisi yang dapat memicu timbulnya stres kerja yang berat. Hal tersebut
juga sebagai bentuk upaya pencegahan untuk menanggulangi kondisi stres
yang berlebihan.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hendaknya memperhatikan secara lebih detail tentang karateristik
khusus guru sekolah luar biasa maupun sekolah yang bersangkutan.
Sehingga dapat mendapatkan data yang lebih lengkap dan bervariasi. Selain
itu juga perlu diperhatikan cara pengumpulan data untuk mencegah dan
mengurangi kemungkinan adanya faking dalam menjawab skala penelitian.
C. Kelemahan Penelitian
Penelitian ini terdapat kelemahan utama, terutama pada pembuatan
item pada skala yang digunakan untuk mengukur variable yang hendak diteliti.
Hal utama yang terkait dengan pembuatan item adalah tentang pemilihan kata
dan penyusunan kalimat pernyataan item skala. Semoga dalam penelitian
selanjutnya dapat diperbaiki, sehingga tidak mengurangi maksud dan arti dari