‐ ‐
Bab 3
Arahan Kebijakan dan Rencana
Strategis Infrastruktur Bidang
Cipta Karya
3.1 Arahan Kebijakan Pembangunan Bidang Cipta Karya dan
Arahan Penataan Ruang
3.1.1 Arahan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan nasional karena turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu, Ditjen Cipta Karya Kementerian PU berperan penting dalam implementasi amanat kebijakan pembangunan nasional.
A. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
RPJPN 2005‐2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007, merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 2005‐2025. Dalam dokumen tersebut, ditetapkan bahwa Visi Indonesia pada tahun 2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”. Dalam penjabarannya RPJPN mengamanatkan beberapa hal sebagai berikut dalam pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu:
a. Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor‐sektor terkait lainnya, seperti industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air, serta kesehatan.
b. Dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan maka Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan pada (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam penyediaan air minum dan sanitasi, (2) pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat, (3) penyelenggaraan pelayanan air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional, dan (4) penyediaan sumber‐sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.
c. Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh. Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama untuk proyek‐proyek yang bersifat komersial.
d. Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada setiap tahapan RPJMN, yaitu :
‐ ‐ RPJMN ke 3 (2015‐2019): Pemenuhan kebutuhan hunian bagi seluruh masyarakat terus
meningkat karena didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi itu semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh.
RPJMN ke 4 (2020‐2024): terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung sehingga terwujud kota tanpa permukiman kumuh.
B. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2020
RPJMN 2010‐2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dengan mendorong partisipasi masyarakat Dalam rangka pemenuhan hak dasar untuk tempat tinggal dan lingkungan yang layak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28H, pemerintah memfasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah serta memberikan dukungan penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman, seperti air minum, air limbah, persampahan dan drainase. Dokumen RPJMN juga menetapkan sasaran pembangunan infrastruktur permukiman pada periode 2010‐2014, yaitu:
a. Tersedianya akses air minum bagi 70 % penduduk pada akhir tahun 2014, dengan perincian akses air minum perpipaan 32 persen dan akses air minum non‐perpipaan terlindungi 38 %. b. Terwujudnya kondisi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) hingga akhir tahun 2014, yang
ditandai dengan tersedianya akses terhadap sistem pengelolaan air limbah terpusat (off‐site) bagi 10% total penduduk, baik melalui sistem pengelolaan air limbah terpusat skala kota sebesar 5 % maupun sistem pengelolaan air limbah terpusat skala komunal sebesar 5 % serta penyediaan akses dan peningkatan kualitas sistem pengelolaan air limbah setempat (on‐site) yang layak bagi 90 % total penduduk.
c. Tersedianya akses terhadap pengelolaan sampah bagi 80 % rumah tangga di daerah perkotaan.
d. Menurunnya luas genangan sebesar 22.500 Ha di 100 kawasan strategis perkotaan.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka kebijakan pembangunan diarahkan untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan air minum dan sanitasi yang memadai, melalui:
a. menyediakan perangkat peraturan di tingkat Pusat dan/atau Daerah; b. memastikan ketersediaan air baku air minum;
c. meningkatkan prioritas pembangunan prasarana dan sarana permukiman;
d. meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan air minum, penanganan air limbah, dan pengelolaan persampahan;
e. meningkatkan sistem perencanaan pembangunan air minum dan sanitasi; f. meningkatkan cakupan pelayanan prasarana permukiman;
g. Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS);
h. Mengembangkan alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur; i. meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta;
j. mengurangi volume air limpasan, melalui penyediaan bidang resapan.
‐ ‐ infrastrukur, dan peningkatan SDM dan Kelembagaan, yang akan dilakukan melalui :
Meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas masyarakat terhadap :
a. pelayanan transportasi kepada seluruh lapisan masyarakat dan jaminan keberlanjutannya melalui rehabilitasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana transportasi; pelayanan transportasi perintis di wilayah terpencil, pedalaman dan perbatasan dan public service obligation (PSO) untuk angkutan penumpang kelas ekonomi perkeretaapian dan angkutan laut;
b. penyediaan data serta informasi dalam rangka pengelolaan sumber daya air secara terpadu, efektif, efisien dan berkelanjutan, dengan: (1) mendorong terbentuknya jaringan informasi sumber daya air antar seluruh pemangku kepentingan (stakeholders); (2) membangun dan mengoptimalkan jaringan basis data antar seluruh stakeholders dan menetapkan standar, kodifikasi, klasifikasi, proses dan metode/prosedur pengumpulan dan penyebaran data dan informasi; dan (3) melakukan collecting, updating dan sinkronisasi data serta informasi secara rutin dari instansi/lembaga terkait;
c. kelistrikan desa termasuk daerah tertinggal dan terpencil serta pengembangan jaringan gas kota melalui peningkatan pembangunan dan pemanfaatan energi terbarukan;
d. (1) hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah; (2) penyediaan layanan air minum dan sanitasi yang layak melalui penyediaan perangkat peraturan, memastikan ketersediaan air baku air minum; meningkatkan kinerja manajemen penyelenggara penyedia/operator; mengembangkan alternatif sumber pendanaan; dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta; (3) penyediaan air minum layak sesuai target MDG’s melalui: (a) pemenuhan kebutuhan pokok rumah tangga terutama di wilayah rawan air, wilayah tertinggal, dan wilayah strategis; (b) meningkatkan pembangunan tampungan‐tampungan dan saluran pembawa air baku; (c) prasarana, sarana dasar, dan utilitas umum yang memadai dan terpadu dengan pengembangan kawasan perumahan dalam rangka mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.
e. menutup wilayah blank spot informasi melalui pemerataan penyediaan infrastruktur dan layanan komunikasi dan informatika; serta peningkatan jangkauan dan mempertahankan keberlanjutan layanan komunikasi dan informatika di wilayah perbatasan, perdesaan, terpencil, dan wilayah non komersial lain.
Penyediaan dan penambahan fasilitas keselamatan transportasi yang memenuhi standar keselamatan internasional, guna mendukung penurunan tingkat fatalitas kecelakaan sebesar 50 persen dari kondisi saat ini, yang didorong melalui pendanaan Dana Alokasi Khusus (DAK); serta peralatan pencarian dan penyelamatan (SAR) dalam operasi penanganan kecelakaan transportasi dan bantuan SAR dalam penanggulangan bencana dan musibah lainnya.
Mendukung pembangunan berkelanjutan dan rendah karbon, melalui pengembangan infrastruktur yang ramah lingkungan, mempertimbangkan daya dukung lingkungan, serta dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim maupun peningkatan keselamatan dan kualitas kondisi lingkungan;
‐ ‐ peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan infrastruktur sumber daya air dan peningkatan pemberdayaan serta partisipasi masyarakat terutama di tingkat kabupaten/kota; (6) mempercepat penyelesaian rancangan pola pengelolaan sumber daya air yang berbasiskan wilayah sungai dan lingkungan yang terpadu antar sektor dan tata guna lahan, dan pengembangan wilayahnya, baik yang menjadi kewenangan pusat, provinsi maupun kabupaten.
Arah kebijakan dalam rangka mendukung peningkatan daya saing sektor riil diprioritaskan pada penyediaan sarana dan prasarana yang mampu menjamin kelancaran distribusi barang, jasa, dan informasi untuk meningkatkan daya saing produk nasional, yang dilakukan melalui :
1. Percepatan pembangunan sarana dan prasarana transportasi yang difokuskan pada 6 koridor utama pengembangan ekonomi serta yang mendukung pengembangan daerah pariwisata dan sentra‐sentra produksi pangan dan pertanian, energi, dan industri;
2. Pengembangan transportasi umum massal di wilayah perkotaan yang dapat memberikan pelayanan yang aman, nyaman, efisien, lebih ramah lingkungan, dan harga terjangkau sesuai dengan cetak biru transportasi perkotaan;
3. Peningkatan keterpaduan sarana dan prasarana penghubung antar‐pulau dan antarmoda yang terintegrasi sesuai dengan sistem transportasi nasional dan cetak biru transportasi multimoda;
4. Memenuhi tuntuan kompatibilitas global yang memperkuat daya saing nasional dengan menempatkan jaringan transportasi nasional sebagai subsistem dari jaringan global dan regional, sehingga standar sistem operasi, standar keselamatan, dan kualitas pelayanan dapat memenuhi standar internasional.
5. Mendorong efisiensi transportasi barang dan penumpang terutama dari aspek penegakan hukum, deregulasi pungutan dan retribusi di jalan, serta penataan jaringan dan ijin trayek yang terpadu serta akuntabel.
6. Pembangunan sarana dan prasarana pengendali banjir dan pengamanan pantai, terutama pada daerah perkotaan dan pusat‐pusat perekonomian melalui: (1) percepatan pelaksanaan penanganan DAS Bengawan Solo secara terpadu; (2) rehabilitasi sarana dan prasarana pengendali banjir untuk pemulihan pasca bencana; (3) mengoptimalkan dan mengefektifkan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengendali banjir; (4) meningkatkan pembangunan dan optimalisasi fungsi sarana/prasarana pengamanan pantai yang telah ada; (5) adaptasi dan mitigasi perubahan iklim guna mengoptimalkan upaya pengendalian banjir dan pengamanan pantai; dan (6) meningkatkan koordinasi antar kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penyelesaian permasalahan sosial dan lingkungan dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air sesuai prinsip‐prinsip pembangunan berkelanjutan.
7. Pembangunan komunikasi dan informatika diarahkan kepada: (a) memperkuat konektivitas nasional secara virtual (virtual domestic connectivity) melalui pengembangan infrastruktur
broadband nasional baik jaringan backbone maupun lasemile termasuk mendorong
penetrasi broadband sebagai bentuk universal service melalui pemanfaatan ICT Fund dan mempercepat penetrasi siaran TV digital; (b) memperkuat komunikasi dan pertukaran informasi antar instansi pemerintah melalui pengembangan e‐government secara nasional; (c) meningkatkan e‐literasi melalui peningkatan kualitas SDM TIK termasuk aparatur pemerintah; dan (d) mendukung pengembangan industri manufaktur TIK dalam negeri.
‐ ‐ efisiensi ekonomi dengan tetap memperhatikan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat: (c) kebijakan dan pelaksanaan listrik yang murah dan hemat serta dalam rangka mengelaborasi master plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia; (d) peningkatan kapasitas sarana dan prasarana energi dan ketenagalistrikan serta; (e) restrukturisasi kelembagaan termasuk penyempurnaan regulasi untuk mengakomodasikan perkembangan sektor energi dan ketenagalistrikan.
Arah kebijakan dalam rangka meningkatkan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) di masing‐masing sub bidang adalah: (a) melanjutkan reformasi strategis kelembagaan dan peraturan perundang‐undangan pada sektor dan lintas sektor yang mendorong pelaksanaan KPS, (b) mempersiapkan proyek KPS yang terintegrasi agar dapat diimplementasikan oleh Kementerian/Lembaga dan Satuan Kerja Perangkat Daerah secara matang sehingga dapat menekan biaya transaksi yang tidak perlu, (c) melakukan penguatan peran kelembagaan KPS untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan pelaksanaan KPS dalam menyusun strategi perencanaan dan prioritas sektor yang akan dikerjasamakan, dan (d) menyediakan fasilitas‐fasilitas untuk mendukung investasi dalam pembangunan dan pengoperasian proyek KPS, termasuk menyediakan dana pendukung di dalam APBN.
Strategi yang akan ditempuh adalah: (a) membentuk jejaring dan meningkatkan kapasitas untuk mendorong perencanaan dan persiapan proyek KPS, melakukan promosi KPS, peningkatan kapasitas dalam pengembangan, dan memantau pelaksanaan KPS; (b) membentuk fasilitas‐ fasilitas yang mendorong pelaksanaan proyek KPS, seperti: fasilitasi dalam penyediaan tanah dan pendanaan seperti Infrastructure funds dan guarantee funds; (c) mendorong terbentuknya regulator ekonomi sektoral yang adil dalam mewakili kepentingan pemerintah, badan usaha, dan konsumen; (d) memfasilitasi penyelesaian sengketa pelaksanaan proyek KPS secara efisien dan mengikat; (e) mempersiapkan proyek KPS yang akan ditawarkan secara matang melalui proses perencanaan yang transparan dan akuntabel; (f) memberi jaminan adanya sistem seleksi dan kompetisi yang adil, transparan, dan akuntabel; (g) meningkatkan pelayanan sarana dan prasarana daerah melalui peningkatan pengeluaran pemerintah daerah yang didukung oleh kerangka insentif yang lebih baik.
Mempertimbangkan ruang lingkup infrastruktur yang cukup luas, arah kebijakan dan strategi dalam meningkatkan KPS diuraikan sebagai berikut :
1. Pengembangan sumber daya air yang berkelanjutan, untuk mendorong peran swasta dan masyarakat dalam penyediaan saluran pembawa air baku yang didukung melalui penetapan hak guna air, peningkatan jaminan atas resiko oleh pemerintah, dan peningkatan willingness to pay bagi penerima manfaat. Strategi pelaksanaan kebijakan tersebut adalah: (a) menyusun peraturan perundangan yang menjamin swasta untuk dapat berpartisipasi dalam penyediaan infrastruktur sumber daya air; (b) mengembangkan inovasi sumber pendanaan termasuk penyediaan dukungan pemerintah; (c) mengembangkan kegiatan yang terpadu antara sumber penyediaan air baku dengan sistem penyediaan air minum pada kawasan komersial (termasuk water conveyance).
‐ ‐ mengembangkan bundling dan unbundling pembangunan infrastruktur transportasi, yakni bundling dengan pengembangan pusat kegiatan, kawasan industri, kawasan ekonomi khusus, kawasan perdagangan bebas, atau sektor infrastruktur lainnya, dan unbundling melalui penyediaan dukungan pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung, yang bersumber dari APBN/APBD dan/atau pinjaman/hibah luar negeri untuk penyediaan prasarana non komersial termasuk lahan, sedangkan dana pihak swasta digunakan untuk membiayai infrastruktur komersial.
3. Penyediaan air minum dengan mengembangkan inovasi pendanaan yang disesuaikan dengan modalitas proyek. Strategi pelaksanaan kebijakan tersebut adalah mengembangkan bundling untuk sistem penyediaan air minum, seperti instalasi pengolahan air (IPA), transmisi, dan distribusi khususnya dalam skala kawasan komersial, dan unbundling untuk penyediaan air minum yang paling komersial, seperti water meter.
4. Pembangunan persampahan yang berkelanjutan dengan meningkatkan peran aktif masyarakat dan dunia usaha sebagai mitra pengelolaan. Strategi yang ditempuh antara lain: (a) pengurangan timbulan sampah melalui penerapan prinsip 3R (reuse, reduce and
recycle), dan mendorong pengunaan kemasan pembungkus yang ramah lingkungan; (b)
pengelolaan persampahan secara profesional, melalui pemasaran bisnis persampahan pada masyarakat dan swasta; (c) perkuatan lembaga pengelolaan sampah untuk peningkatan pelayanan persampahan dalam satu wilayah; (d) pemberian jaminan kepastian hukum kerjasama pengelolaan sampah antarpemda dalam pengelolaan akhir sampah bersama dan antara pemda dengan swasta; (e) mengembangkan sistem tarif (tipping fee) yang mempertimbangkan pemulihan biaya dan kemampuan APBD dan masyarakat di daerah; serta (f) mengembangkan bundling untuk sistem pengelolaan sampah, seperti pengumpulan, pengangkutan, dan pengolahan akhir sampah, khususnya dalam skala kawasan komersial, serta pentahapan (unbundling) untuk sistem pengelolaan persampahan yang paling komersial, sehingga menarik bagi masyarakat dan swasta.
5. Pembangunan komunikasi dan informatika melalui: (a) pembukaan peluang usaha bagi badan usaha secara kompetitif, tidak diskriminatif, dan transparan dalam penyediaan sarana dan prasarana dan layanan komunikasi dan informatika termasuk di wilayah nonkomersial; (b) penyederhanaan perizinan, antara lain melalui penerapan unified
access licensing; (c) pengembangan skema KPS dalam penyelenggaraan komunikasi dan
informatika selain skema perizinan (licensing) dengan memperhatikan pengelolaan risiko antara pemerintah dan badan usaha berdasarkan prinsip pengalokasian risiko kepada pihak yang paling mampu mengendalikan resiko; serta (d) pemberian insentif/stimulus bagi penyelenggara untuk pembangunan di wilayah nonkomersial.
6. Pembangunan prasarana ketenagalistrikan nasional dengan meningkatkan diversifikasi dalam pemanfaatan energi non‐minyak khususnya untuk pembangkit tenaga listrik, yang dikaitkan dengan penurunan tarif dan upaya mitigasi perubahan iklim (climate change) dan pembangunan berkelanjutan. Strategi yang akan diterapkan adalah: (1) memberi kepastian hukum yang adil kepada badan usaha dalam penyediaan tenaga listrik sesuai UU Ketenagalistrikan yang baru; (2) meningkatkan kualitas standar dan prosedur penyiapan proyek yang dapat diterima semua pihak; (3) memberi kepastian yang adil dalam kesepakatan kedua belah pihak dalam perjanjian kerjasama proyek dan perjanjian jual beli energi atau tenaga listrik dengan memperhatikan pengelolaan resiko yang adil dan tepat serta mengikutsertakan pemerintah daerah; (4) mendorong usaha penyediaan ketenagalistrikan pada pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan tenaga listrik yang dilakukan baik secara terintegrasi maupun secara terpisah.
‐ ‐ yaitu percepatan pembangunan beberapa pelabuhan di 6 (enam) koridor utama ekonomi dan percepatan penyelesaian pembangunan jalan tol Trans Jawa.
C. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia
Selaras dengan visi pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang‐Undang No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025, maka visi Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia adalah “Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”. Melalui langkah MP3EI, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi akan menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 Triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada periode 2011–2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011 – 2014 menjadi 3,0 persen pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti itu mencerminkan karakteristik negara maju.
Gambar 3.1. Aspirasi Pencapaian PDB Indonesia
Visi 2025 tersebut diwujudkan melalui 3 (tiga) misi yang menjadi fokus utamanya, yaitu: 1. Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari
pengelolaan aset dan akses (potensi) SDA, geografis wilayah, dan SDM, melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar‐ kawasan pusat‐pusat pertumbuhan ekonomi.
2. Mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional. 3. Mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun
pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation‐ driven economy.
Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia didukung oleh potensi demografi, kekayaan sumber daya alam serta posisi geografis Indonesia.
‐ ‐
Potensi Indonesia
1. Penduduk dan Sumber Daya Manusia
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk ke‐4 terbesar di dunia. Penduduk yang besar dengan daya beli yang terus meningkat adalah pasar yang potensial, sementara itu jumlah penduduk yang besar dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang terus membaik adalah potensi daya saing yang luar biasa Indonesia tengah berada dalam periode transisi struktur penduduk usia produktif. Pada kurun waktu 2020 – 2030, penurunan indeks (ratio) ketergantungan Indonesia (yang sudah berlangsung sejak tahun 1970) akan mencapai angka terendah. Implikasi penting dari kondisi ini adalah semakin pentingnya penyediaan lapangan kerja agar perekonomian dapat memanfaatkan secara maksimal besarnya porsi penduduk usia produktif. Lebih penting lagi, bila tingkat pendidikan secara umum diasumsikan terus membaik, produktivitas perekonomian negara ini sesungguhnya dalam kondisi premium, dimana hal tersebut akan sangat bermanfaat untuk tujuan percepatan maupun perluasan pembangunan ekonomi.
2. Sumber Daya Alam
Indonesia adalah negara yang kaya dengan potensi sumber daya alam, baik yang terbarukan (hasil bumi) maupun yang tidak terbarukan (hasil tambang dan mineral). Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia harus dapat dikelola seoptimal mungkin, dengan meningkatkan industri pengolahan yang memberikan nilai tambah tinggi dan mengurangi ekspor bahan mentah.
Sampai tahun 2010, Indonesia masih menjadi salah satu produsen besar di dunia untuk berbagai komoditas, antara lain kelapa sawit (penghasil dan eksportir terbesar di dunia), kakao (produsen terbesar kedua di dunia), timah (produsen terbesar kedua di dunia), nikel (cadangan terbesar ke empat di dunia) dan bauksit (cadangan terbesar ke tujuh di dunia) serta komoditas unggulan lainnya seperti besi baja, tembaga, karet dan perikanan. Indonesia juga memiliki cadangan energi yang sangat besar seperti misalnya batubara, panas bumi, gas alam, dan air yang sebagian besar dimanfaatkan untuk mendukung industri andalan seperti tekstil, perkapalan, peralatan transportasi dan makanan‐ minuman.
3. Letak Geografis
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah dengan panjang mencapai 5.200 km dan lebar mencapai 1.870 km. Lokasi geografisnya juga sangat strategis (memiliki akses langsung ke pasar terbesar di dunia) karena Indonesia dilewati oleh satu Sea Lane of Communication (SLoC), yaitu Selat Malaka, di mana jalur ini menempati peringkat pertama dalam jalur pelayaran kontainer global (lihat Gambar 1.6). Berdasarkan data United Nations Environmental Programme (UNEP, 2009) terdapat 64 wilayah perairan Large Marine Ecosystem (LME) di seluruh dunia yang disusun berdasarkan tingkat kesuburan, produktivitas, dan pengaruh perubahan iklim terhadap masing‐masing LME. Indonesia memiliki akses langsung kepada 6 (enam) wilayah LME yang mempunyai potensi kelautan dan perikanan yang cukup besar, yaitu: LME 34 – Teluk Bengala; LME 36 – Laut Cina Selatan; LME 37 – Sulu Celebes; LME 38 – Laut‐laut Indonesia; LME 39 – Arafura – Gulf Carpentaria; LME 45 – Laut Australia Utara. Sehingga, peluang Indonesia untuk mengembangkan industri perikanan tangkap sangat besar.
Tantangan Indonesia
‐ ‐ saat ini masih terfokus pada pertanian dan industri yang mengekstraksi dan mengumpulkan hasil alam. Industri yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah produk, proses produksi dan distribusi di dalam negeri masih terbatas. Selain itu, saat ini terjadi kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlanjut ke generasi yang akan datang. Harus pula dipahami bahwa upaya pemerataan pembangunan tidak akan terwujud dalam jangka waktu singkat. Namun begitu, upaya tersebut harus dimulai melalui upaya percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia sebagai titik awal menuju Indonesia yang lebih merata. Tantangan lain dari suatu negara besar seperti Indonesia adalah penyediaan infrastruktur untuk mendukung aktivitas ekonomi. Infrastruktur itu sendiri memiliki spektrum yang sangat luas. Satu hal yang harus mendapatkan perhatian utama adalah infrastruktur yang mendorong konektivitas antar wilayah sehingga dapat mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi Indonesia. Penyediaan infrastruktur yang mendorong konektivitas akan menurunkan biaya transportasi dan biaya logistik sehingga dapat meningkatkan daya saing produk, dan mempercepat gerak ekonomi. Termasuk dalam infrastruktur konektivitas ini adalah pembangunan jalur transportasi dan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), serta seluruh regulasi dan aturan yang terkait dengannya. Kualitas sumber daya manusia juga masih menjadi tantangan Indonesia. Saat ini sekitar 50 % tenaga kerja di Indonesia masih berpendidikan sekolah dasar dan hanya sekitar 8 % persen yang berpendidikan diploma/sarjana. Kualitas sumber daya manusia ini sangat terkait dengan kualitas sarana pendidikan, kesehatan, dan akses ke infrastruktur dasar.
Indonesia sedang menghadapi urbanisasi yang sangat cepat. Jika pada tahun 2010 sebanyak 53 persen penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan, maka BPS memprediksi bahwa pada tahun 2025 penduduk di kawasan perkotaan akan mencapai 65 persen. Implikasi langsung yang harus diantisipasi akibat urbanisasi adalah terjadinya peningkatan pada pola pergerakan, berubahnya pola konsumsi dan struktur produksi yang berdampak pada struktur ketenagakerjaan, meningkatnya konflik penggunaan lahan, dan meningkatnya kebutuhan dukungan infrastruktur yang handal untuk mendukung distribusi barang dan jasa. Sebagai negara kepulauan, Indonesia juga menghadapi tantangan akibat perubahan iklim global. Beberapa indikator perubahan iklim yang berdampak signifikan terhadap berlangsungnya kehidupan manusia adalah : kenaikan permukaan air laut, kenaikan temperatur udara, perubahan curah hujan, dan frekuensi perubahan iklim yang ekstrem. Demikian pula, pengaruh kombinasi peningkatan suhu rata‐rata wilayah, tingkat presipitasi wilayah, intensitas kemarau/banjir, dan akses ke air bersih, menjadi tantangan bagi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia.
Dengan seluruh potensi dan tantangan yang telah diuraikan di atas, Indonesia membutuhkan percepatan transformasi ekonomi agar kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dapat diwujudkan lebih dini. Perwujudan itulah yang akan diupayakan melalui langkah‐langkah percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Untuk itu dibutuhkan perubahan pola pikir (mindset) yang didasari oleh semangat “Not Business As Usual”.
Perubahan pola pikir paling mendasar adalah pemahaman bahwa pembangunan ekonomi membutuhkan kolaborasi bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan Swasta (dalam semangat Indonesia Incorporated). Perlu dipahami juga kemampuan pemerintah melalui ABPN dan APBD dalam pembiayaan pembangunan sangat terbatas. Di sisi lain, semakin maju perekonomian suatu negara, maka semakin kecil pula proporsi anggaran pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Dinamika ekonomi suatu negara pada akhirnya akan tergantung pada dunia usaha yang mencakup BUMN, BUMD, dan swasta domestik dan asing.
‐ ‐ mendorong partisipasi maksimal yang sehat dari dunia usaha. Semangat Not Business As Usual juga harus terefleksi dalam elemen penting pembangunan, terutama penyediaan infrastruktur. Pola pikir masa lalu mengatakan bahwa infrastruktur harus dibangun menggunakan anggaran Pemerintah. Akibat anggaran Pemerintah yang terbatas, pola pikir tersebut berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan infrastruktur yang memadai bagi perekonomian yang berkembang pesat. Saat ini telah didorong pola pikir yang lebih maju dalam penyediaan infrastruktur melalui model kerjasama pemerintah dan swasta atau Public‐Private Partnership (PPP).
Namun demikian, untuk mempercepat implementasi MP3EI, perlu juga dikembangkan metode pembangunan infrastruktur sepenuhnya oleh dunia usaha yang dikaitkan dengan kegiatan produksi. Peran Pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberi insentif bagi dunia usaha untuk membangun kegiatan produksi dan infrastruktur tersebut secara paripurna. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun tarif) pajak, bea masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya, sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Perlakuan khusus diberikan agar dunia usaha memiliki perspektif jangka panjang dalam pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Selanjutnya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus membangun linkage semaksimal mungkin untuk mendorong pembangunan daerah sekitar pusat pertumbuhan ekonomi.
Sebagai dokumen kerja, MP3EI berisikan arahan pengembangan kegiatan ekonomi utama yang sudah lebih spesifik, lengkap dengan kebutuhan infrastruktur dan rekomendasi perubahan/revisi terhadap peraturan perundang‐undangan yang perlu dilakukan maupun pemberlakuan peraturan‐perundangan baru yang diperlukan untuk mendorong percepatan dan perluasan investasi. Selanjutnya MP3EI menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. MP3EI bukan dimaksudkan untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan yang telah ada seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 (UU No. 17 Tahun 2007) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, namun menjadi dokumen yang terintegrasi dan komplementer yang penting serta khusus untuk melakukan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. MP3EI juga dirumuskan dengan memperhatikan Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN‐GRK) karena merupakan komitmen nasional yang berkenaan dengan perubahan iklim global.
‐ ‐
D. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan Indonesia
(MP3KI)
Sejak tahun 2010, penurunan kemiskinan melambat, secara absolut menurun sekitar 1 juta penduduk miskin per tahun. Tingkat kemiskinan pada bulan Maret 2013 sebesar 11,37% atau 28,07 juta jiwa. Berkurang 0,59 juta jiwa dibandingkan tahun 2012 (target RKP 2014 sebesar 9,5%‐ 10,5%).
Pelambatan tersebut diakibatkan oleh permasalahan antara lain :
1. Perencanaan dan/atau pelaksanaan program/ kegiatan penanggulangan kemiskinan belum optimal yaitu:
Menyangkut ketidaktepatan sasaran, ketidakpaduan lokasi dan waktu, dan koordinasi antar program/ kegiatan maupun program/ kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang belum selaras;
Program‐program pro‐rakyat Klaster‐4 belum terlaksana secara sistematis dan terstruktur;
Penyediaan pelayanan dasar di daerah tertinggal, terisolir/ terpencil, daerah perbatasan masih belum efektif;
Peran dan kapasitas TKPKD di beberapa daerah belum optimal;
Pemekaran wilayah yang terus menerus menyulitkan dalam perencanaan dan penganggaran.
2. Social exclusion (marjinalisasi), seperti kepada penduduk: disable, lansia, berpenyakit kronis, non‐ktp, dan kelompok rentan lainnya.
3. Kebijakan makro yang kurang optimal dalam mendukung upaya penanggulangan kemiskinan.
4. Sebagian masyarakat masih memiliki kesadaran yang rendah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, termasuk yang terkait dengan pendidikan dan kesehatan ibu dan anak.
Disamping permasalahan tersebut terdapat juga tantangan dalam penanggulangan kemiskinan yaitu :
Pertumbuhan ekonomi masih belum mampu menyerap tenaga kerja penduduk miskin, seperti di pertanian;
Pertumbuhan penduduk relatif cukup besar;
Petani dan nelayan dihadapkan pada lahan usaha yang terbatas serta terjadinya perubahan iklim;
Kapasitas dan peluang usaha masyarakat miskin masih rendah; Laju urbanisasi yang pesat memperparah kemiskinan perkotaan;
Peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor formal menghadapi tantangan isu ketenagakerjaan;
Masih banyak daerah terisolir, dengan akses pelayanan dasar rendah; Belum tersedianya Jaminan Perlindungan Sosial yang komprehensif.
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) dirancang dengan memiliki visi yaitu mandiri, maju, adil dan makmur. Misi yang akan diwujudkan adalah sejahtera, bebas dari kemiskinan absolut, dan memiliki kapabilitas penghidupan yang tinggi dan berkelanjutan. Dalam mencapai visi dan misi tersebut, strategi yang utama yang digunakan meliputi :
Mengembangkan sistem perlindungan sosial nasional
Meningkatkan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin dan rentan Mengembangkan penghidupan berkelanjutan
‐ ‐ dan memperluas jangkauan penurunan tingkat kemiskinan di semua daerah dan di semua kelompok masyarakat. Dalam mencapai misi penanggulangan kemiskinan pada tahun 2025, MP3KI bertumpu pada sinergi dari tiga strategi utama, yaitu:
a. Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh, terintegrasi,dan mampu melindungi masyarakat dari kerentanan dan goncangan;
b. Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan sehingga dapat terpenuhinya kebutuhan‐kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di masa mendatang;
c. Mengembangkan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) masyarakat miskin dan rentan melalui berbagai kebijakan dan dukungan di tingkat lokal dan regional dengan memperhatikan berbagai aspek.
Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Ditjen Cipta Karya, berperan penting dalam pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat (PNPM Perkotaan/P2KP, PPIP, Pamsimas, Sanimas dsb) serta Program Pro Rakyat.
MP3KI adalah affirmative action, sehingga pembangunan ekonomi yang terwujud tidak hanya Pro‐growth, tetapi juga Pro‐Poor, Pro‐job dan Pro‐environment; termasuk penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat miskin.
Substansi yang melatarbelakangi perluasan pengurangan kemiskinan melalui MP3KI dapat dirangkum dalam 9 alasan, yaitu:
1. Pertumbuhan penduduk yang besar (bisa jadi potensi, bisa juga jadi tantangan); 2. Lahan usaha petani dan nelayan makin terbatas;
3. Peluang dan pengembangan usaha si miskin amat terbatas;
4. Urbanisasi memperparah kemiskinan perkotaan (slum and squatter); 5. Rendahnya kualitas SDM usia muda;
6. Rendahnya penyerapan kerja sektor industri;
7. Masih banyak daerah terisolir dengan akses pelayanan dasar yang rendah; 8. Belum tersedianya jaminan sosial yang komprehensif;
9. Masih terjadi marjinalisasi penduduk miskin, cacat, illegal, berpenyakit kronis dsb.
Tahapan Pelaksanaan MP3KI
Tahapan pelaksanaan MP3KI dibagi ke dalam tiga tahapan, dimana tahapan pertama telah dilalui. Tahapan pertama telah dicapai beberapa target yaitu percepatan pengurangan kemiskinan danterbentuknya BPJS. Berikut adalah tahapan pelaksanaan MP3KI yang saat ini telah berlangsung tahapan kedua.
Periode 2013‐2014:
Percepatan pengurangan kemiskinan untuk mencapai target 8% ‐ 10% pada tahun 2014; Perbaikan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan;
Pada kantong‐kantong kemiskinan, sinergi lokasi dan waktu, serta perbaikan sasaran (seperti : Program Gerbang Kampung di Menko Kesra);
Sustainable livelihood penguatan kegiatan usaha masyarakat miskin, termasuk membangun keterkaitan dengan MP3EI;
Terbentuknya BPJS kesehatan pada tahun 2014. Periode 2015 – 2019:
Transformasi program‐program pengurangan kemiskinan
Peningkatan cakupan, terutama untuk Sistem Jaminan Sosial menuju universal coverage Terbentuknya BPJS Tenaga Kerja
‐ ‐ Periode 2020‐2025:
Pemantapan sistem penanggulangan kemiskinan secara terpadu; Sistem jaminan sosial mencapai universal coverage
E. Kawasan Ekonomi Khusus
UU No. 39 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Kawasan Ekonomi Khusus adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di samping zona ekonomi, KEK juga dilengkapi zona fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Ditjen Cipta Karya dalam hal ini diharapkan dapat mendukung infrastruktur permukiman pada kawasan tersebut sehingga menunjang kegiatan ekonomi di KEK.
KEK merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Fungsi KEK adalah untuk melakukan dan mengembangkan usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata, dan bidang lain. Sesuai dengan hal tersebut, KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona, antara lain Zona pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, dan energi yang kegiatannya dapat ditujukan untuk ekspor dan untuk dalam negeri.
Kriteria yang harus dipenuhi agar suatu daerah dapat ditetapkan sebagai KEK adalah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung, adanya dukungan dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam pengelolaan KEK, terletak pada posisi yang strategis atau mempunyai potensi sumber daya unggulan di bidang kelautan dan perikanan, perkebunan, pertambangan, dan pariwisata, serta mempunyai batas yang jelas, baik batas alam maupun batas buatan.
Untuk menyelenggarakan KEK, dibentuk lembaga penyelenggara KEK yang terdiri atas Dewan Nasional di tingkat pusat dan Dewan Kawasan di tingkat provinsi. Dewan Kawasan membentuk Administrator KEK di setiap KEK untuk melaksanakan pelayanan, pengawasan, dan pengendalian operasionalisasi KEK. Kegiatan usaha di KEK dilakukan oleh Badan Usaha dan Pelaku Usaha.
Fasilitas yang diberikan pada KEK ditujukan untuk meningkatkan daya saing agar lebih diminati oleh penanam modal. Fasilitas tersebut terdiri atas fasilitas fiskal, yang berupa perpajakan, kepabeanan dan cukai, pajak daerah dan retribusi daerah, dan fasilitas nonfiskal, yang berupa fasilitas pertanahan, perizinan, keimigrasian, investasi, dan ketenagakerjaan, serta fasilitas dan kemudahan lain yang dapat diberikan pada Zona di dalam KEK, yang akan diatur oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan.
Dalam hal pengawasan, ketentuan larangan tetap diberlakukan di KEK, seperti halnya daerah lain di Indonesia. Namun, untuk ketentuan pembatasan, diberikan kemudahan dalam sistem dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan tetap mengutamakan pengawasan terhadap kemungkinan penyalahgunaan atau pemanfaatan KEK sebagai tempat melakukan tindak pidana ekonomi.
‐ ‐ Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah diubah dengan Undang‐ Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐ Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang‐Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang‐Undang Menjadi Undang‐ Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775) untuk diusulkan menjadi KEK, baik dalam jangka waktu maupun setelah berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan. Dengan berlakunya Undang‐Undang ini, tidak terjadi lagi pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
F. Direktif Presiden Program Pembangunan Berkeadilan
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh Kementerian, Gubernur, Walikota/Bupati, untuk menjalankan program pembangunan berkeadilan yang meliputi Program pro rakyat, Keadilan untuk semua, dan Program Pencapaian MDGs. Ditjen Cipta Karya memiliki peranan penting dalam pelaksanaan Program Pro Rakyat terutama program air bersih untuk rakyat dan program peningkatan kehidupan masyarakat perkotaan. Sedangkan dalam pencapaian MDGs, Ditjen Cipta Karya berperan dalam peningkatan akses pelayanan air minum dan sanitasi yang layak serta pengurangan permukiman kumuh.
G. Prioritas Kabupaten/Kota Bidang Cipta Karya
Penyelenggaraan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya salah satunya mengacu pada Undang‐Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Dengan mengacu kepada peraturan perundangan tersebut, maka prioritas penanganan infrastruktur Bidang Cipta Karya diarahkan pada kabupaten/kota yang berfungsi strategis secara nasional. Pada pelaksanaannya, alokasi APBN Bidang Cipta Karya terdapat 5 (lima) klaster penanganan Bidang Cipta Karya sebagai berikut:
a. Klaster A, merupakan kabupaten/kota prioritas strategis nasional yang termasuk dalam Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat‐Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di dalam KSN dan kabupaten/kota di dalam kawasan metropolitan, serta kawasan strategis lainnya (KEK, MP3EI) yang telah memiliki Perda RTRW dan Perda Bangunan Gedung.
b. Klaster B, merupakan kabupaten/kota prioritas strategis nasional yang termasuk dalam Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat‐Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di dalam KSN dan kabupaten/kota di dalam kawasan metropolitan, serta kawasan strategis lainnya (KEK, MP3EI) yang telah memiliki Perda RTRW.
c. Klaster C, terdiri dari kabupaten/kota yang menjadi prioritas pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM), berdasarkan karakteristik antara lain daerah yang rawan bencana alam, memiliki cakupan air minum/sanitasi rendah, permukiman kumuh, dan daerah kritis atau miskin.
d. Klaster D ditujukan dalam rangka pengembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat Bidang Cipta Karya yang bertujuan penanggulangan kemiskinan di perkotaan dan perdesaan.
e. Klaster E ditujukan untuk kabupaten/kota yang memiliki program inovasi baru Bidang Cipta Karya yang diusulkan secara kompetitif dan selektif.
Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional Klaster A
‐ ‐ MP3EI) yang telah memiliki Perda RTRW dan Perda Bangunan Gedung. Berdasarkan hasil identifikasi dengan menggunakan kriteria‐kriteria di atas, di Provinsi Jawa Timur terdapat 10 (sepuluh) kabupaten/kota yang termasuk pada Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional Klaster A, yang dipaparkan pada Tabel 3.1. berikut :
Tabel 3.1. Daftar Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional Klaster A di Provinsi Jawa Timur
Catatan :
* Mewakili Ibukota Provinsi ** Kategori Khusus
Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional Klaster B
Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional pada Klaster B adalah kabupaten/kota yang merupakan Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat‐Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di dalam KSN dan kabupaten/kota di dalam kawasan metropolitan, serta kawasan strategis lainnya (KEK, MP3EI) yang memiliki Perda RTRW. Berdasarkan hasil identifikasi dengan menggunakan kriteriakriteria di atas, di Provinsi Jawa Timur terdapat 7 (tujuh) kabupaten/kota yang termasuk pada Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional Klaster B, yang dipaparkan pada Tabel 3.2 berikut.
Tabel 3.2. Daftar Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional Klaster B di Provinsi Jawa Timur
Kabupaten/Kota Klaster C dalam Rangka Pemenuhan Standar Pelayanan
Minimal (SPM)
‐ ‐ Selain memenuhi karakteristik tersebut, daerah juga harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dan memiliki program yang responsif. Prioritas Kabupaten/Kota dalam pemenuhan SPM dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut.
Tabel 3.3. Daftar Prioritas Kabupaten/Kota dalam Pemenuhan SPM
No.
Kabupaten/Kota Sektor Prioritas Pemenuhan SPM
1 Kabupaten Banyuwangi Air Minum
2 Kabupaten Blitar Air Minum
3 Kabupaten Bojonegoro Kumuh, Air Minum
4 Kabupaten Jember Air Minum
5 Kabupaten Kediri Air Minum
6 Kabupaten Lumajang Air Minum
7 Kabupaten Madiun Air Minum
8 Kabupaten Magetan Air Minum 9 Kabupaten Nganjuk Air Minum
10 Kabupaten Ngawi Air Minum
11 Kabupaten Pamekasan Air Minum 12 Kabupaten Ponorogo Air Minum
13 Kabupaten Probolinggo Penyehatan Lingkungan Permukiman 14 Kabupaten Sampang Air Minum
15 Kabupaten Situbondo Penyehatan Lingkungan Permukiman 16 Kabupaten Trenggalek Penyehatan Lingkungan Permukiman 17 Kabupaten Tuban Pengembangan Permukiman (Kumuh), Air Minum 18 Kabupaten Tulungagung Air Minum
19 Kota Madiun Pengembangan Permukiman (Kumuh), 20 Kota Probolinggo Air Minum
21 Kota Surabaya Pengembangan Permukiman (Kumuh), Air Minum
Pemberdayaan Masyarakat (Klaster D)
Klaster D khusus dialokasikan bagi program‐program pemberdayaan masyarakat Bidang Cipta Karya, baik di perkotaan maupun perdesaan. Program pemberdayaan masyarakat ini diperuntukkan dalam rangka pengentasan kemiskinan, sesuai dengan amanat pembangunan nasional.
Kabupaten/Kota Klaster E bagi Daerah dengan Program dan Inovasi
Klaster E diperuntukkan untuk kabupaten/kota yang memiliki program yang kreatif dan inovasi baru bagi pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dan tercantum pada Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2‐JM) Bidang Cipta Karya. Pada Klaster E ini juga difasilitasi daerah yang berprestasi dan memiliki inovasi baru.
‐ ‐
3.1.2 Arahan Penataan Ruang
3.1.2.1 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
RTRWN yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN dijadikan sebagai pedoman untuk: Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional; Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional; Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional; Perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah provinsi, serta keserasian antarsektor; Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; Penataan ruang kawasan strategis nasional; dan Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
A. Tujuan Penataan Ruang Wilayah Nasional
Penataan ruang wilayah nasional bertujuan untuk mewujudkan:
1. Ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan 2. Keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan
3. Keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota
4. Keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan, ruang udara termasuk ruang di dalam bumi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
5. Keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang
6. Pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
7. Keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah 8. Keseimbangan dan keserasian kegiatan antar sektor
9. Pertahanan dan keamanan negara yang dinamis serta integrasi nasional Selanjutnya RTRWN menjadi pedoman untuk :
1. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional 2. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional
3. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional
4. Perwujudan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah provinsi, serta keserasian antar sektor
5. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi 6. Penataan ruang kawasan strategis nasional
7. Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota
B. Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Nasional
Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Nasional, meliputi kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang.
Adapun kebijakan pengembangan struktur ruang meliputi :
Peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhirarki;
Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah nasional.
‐ ‐ Menjaga keterkaitan antar kawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan dan
perdesaan, serta antara kawasan perkotaan dan wilayah disekitarnya;
Mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani oleh pusat pertumbuhan;
Mengendalikan perkembangan kota‐kota pantai
Mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah disekitarnya
Sedangkan Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang meliputi : Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung:
Pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
Pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.
Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budi daya:
Perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budi daya; Pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan
daya tampung lingkungan.
Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategis nasional:
Pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Strategi :
Menetapkan kawasan strategis nasional berfungsi lindung;
Mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan;
Membatasi pemanfaatan ruang disekitar kawasan strategis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan;
Membatasi pengembangan sarana dan prasarana di dalam dan disekitar kawasan strategis nasional yang dapat memicu perkembangan kegiatan budi daya;
Mengembangkan kegiatan budi daya tidak terbangun disekitar kawasan strategis nasional yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budi daya terbangun;
Merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional.
Pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antar kawasan.
Strategi :
Memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan;
Membuka akses dan meningkatkan aksesbilitas antar kawasan tertinggal dan pusat pertumbuhan wilayah;
Mengembangkan sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekonomi masyarakat; Meningkatkan akses masyarakat ke sumber pembiayaan;
Meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan kegiatan ekonomi.
C. Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional
Rencana struktur ruang wilayah nasional meliputi (A) sistem perkotaan nasional, (B) sistem jaringan transportasi nasional, (C) sistem jaringan energi nasional, (D) sistem jaringan telekomunikasi nasional, dan (E) sistem jaringan sumber daya air. Namun dalam pembahasan yang terkait dengan Penyusunan RPI2JM Bidang Cipta Karrya adalah sistem perkotaan nasional.
‐ ‐ (PKW), dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yang dapat berupa :
1. kawasan megapolitan; 2. kawasan metropolitan; 3. kawasan perkotaan besar; 4. kawasan perkotaan sedang; atau 5. kawasan perkotaan kecil.
Untuk Provinsi Jawa Timur PKN ditentukan di Kawasan Perkotaan Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan) serta di Malang. Sedangkan PKW di Provinsi Jawa Timur diarahkan pada wilayah Probolinggo, Tuban, Kediri, Madiun, banyuwangi, Jember, Blitar, Pamekasan, Bojonegoro, dan Pacitan. Berikut arahan pengembangan perkotaan di Provinsi Jawa Timur.
Tabel 3.4. Sistem Perkotaan Nasional dan Arahan Pengembangannya di Provinsi Jawa Timur
No.
Sistem Perkotaan
Wilayah Arahan
1 PKN Gerbangkertasusila Termasuk dalam tahapan pengembangan I dengan fokus kegiatan revitalisasi kota‐kota yang telah berfungsi
Malang Termasuk dalam tahapan pengembangan I dengan fokus kegiatan pengembangan/ peningkatan fungsi kawasan perkotaan 2 PKW Probolinggo Termasuk dalam tahapan pengembangan II
dengan fokus kegiatan pengembangan/ peningkatan fungsi kawasan perkotaan Tuban Termasuk dalam tahapan pengembangan I
dengan fokus kegiatan pengembangan/ peningkatan fungsi kawasan perkotaan Kediri Termasuk dalam tahapan pengembangan I
dengan fokus kegiatan pengembangan/ peningkatan fungsi kawasan perkotaan Madiun Termasuk dalam tahapan pengembangan II
dengan fokus kegiatan pengembangan/ peningkatan fungsi kawasan perkotaan Banyuwangi Termasuk dalam tahapan pengembangan I
dengan fokus kegiatan pengembangan/ peningkatan fungsi kawasan perkotaan Jember Termasuk dalam tahapan pengembangan II
dengan fokus kegiatan pengembangan baru kawasan perkotaan
‐ ‐ Pamekasan Termasuk dalam tahapan pengembangan II
dengan fokus kegiatan pengembangan baru kawasan perkotaan
Bojonegoro Termasuk dalam tahapan pengembangan II dengan fokus kegiatan pengembangan baru kawasan perkotaan
Pacitan Termasuk dalam tahapan pengembangan II dengan fokus kegiatan pengembangan baru kawasan perkotaan
Sumber : Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
3.1.2.2 Rencana Tata Ruang Wilayah Kawasan Strategis Nasional (RTRW
KSN)
Penetapan kawasan strategis nasional dilakukan berdasarkan kepentingan: a. Pertahanan dan keamanan;
b. Pertumbuhan ekonomi; c. Sosial dan budaya;
d. Pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi; dan/atau e. Fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
Tabel 3.5. Kawasan Strategis Nasional di Provinsi Jawa Timur
No. Kawasan Strategis Nasional Kota/Kabupaten Sudut Kepentingan 1 Kawasan Perkotaan Gresik –
Bangkalan – Mojokerto – Surabaya – Sidoarjo – Lamongan
(Gerbangkertosusila)
Kab. Gresik, Kab.
Bangkalan, Kota Mojokerto, Kota Surabaya, Kab.
Sidoarjo, Kab. Lamongan
Ekonomi
2 Kawasan Stasiun Pengamat
Dirgantara Watukosek PenggunaanAlam dan Teknologi Tinggi Sumberdaya PenggunaanAlam dan Teknologi Tinggi Sumberdaya 3 Kawasan Perbatasan Negara
Pulau Barung
Kabupaten Jember Pertahanan dan Keamanan
4 Kawasan Perbatasan Negara Pulau Sekel dan Panehan
Kabupaten Trenggalek Pertahanan dan Keamanan
Sumber : Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Beberapa arahan yang harus diperhatikan dari RTRW KSN dalam penyusunan RPI2‐JM Cipta Karya Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:
a. Cakupan delineasi wilayah yang ditetapkan dalam KSN. b. Arahan kepentingan penetapan KSN, yang dapat berupa:
1. Ekonomi
‐ ‐ 3. Sosial Budaya
4. Pendayagunaan Sumberdaya alam dan Teknologi Tinggi 5. Pertahanan dan Keamanan
c. Arahan pengembangan pola ruang dan struktur ruang yang mencakup: 1. Arahan pengembangan pola ruang:
Arahan pengembangan kawasan lindung dan budidaya
Arahan pengembangan pola ruang terkait bidang Cipta Karya seperti pengembangan RTH.
2. Arahan pengembangan struktur ruang terkait keciptakaryaan seperti pengembangan prasarana sarana air minum, air limbah, persampahan, dan drainase.
3. Indikasi program sebagai operasionalisasi rencana pola ruang dan struktur ruang khususnya untuk bidang Cipta Karya.
Adapun RTRW KSN yang telah ditetapkan sampai saat ini adalah sebagai berikut :
a. Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur;
b. Perpres No. 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan;
c. Perpres No. 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar;
d. Perpres No. 62 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo;
e. Perpres No. 86 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda;
f. Perpres No. 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kawasan‐kawasan di wilayah Provinsi Jawa Timur belum ada yang memiliki Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis.
3.1.2.3 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Timur
A. Visi dan Misi Penataan Ruang Provinsi
Visi Penataan Ruang Provinsi adalah “terwujudnya ruang wilayah Provinsi berbasis agribisnis dan jasa komersial yang berdaya saing global dalam pembangunan berkelanjutan”. Misi penataan ruang adalah mewujudkan:
a. keseimbangan pemerataan pembangunan antar wilayah dan pertumbuhan ekonomi;
b. pengembangan pusat pertumbuhan wilayah dalam meningkatkan daya saing daerah dalam kancah Asia;
c. penyediaan sarana dan prasarana wilayah secara berkeadilan dan berhierarki serta bernilai tambah tinggi;
d. pemantapan fungsi lindung dan kelestarian sumber daya alam dan buatan;
e. optimasi fungsi budidaya kawasan dalam meningkatkan kemandirian masyarakat dalam persaingan global;
f. keterpaduan program pembangunan berbasis agribisnis dan jasa komersial yang didukung seluruh pemangku kepentingan; dan
g. kemudahan bagi pengembangan investasi daerah serta peningkatan kerja sama regional