• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain. Sebelum memasuki fase AIDS, penderita terlebih dulu dinyatakan sebagai HIV positif (Kemenkes RI, 2014).

World Health Organization (WHO) (2015) menemukan bahwa 36,9 juta (34,3 - 41,4 juta) orang hidup dengan HIV, sebagian besar orang yang hidup dengan HIV di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Data statistik menemukan 2 juta (1,9 - 2,2 juta) orang terinfeksi kasus baru HIV dan 34 juta orang telah meninggal karena AIDS, termasuk 1,2 juta orang yang meninggal di tahun 2014. WHO (2015) menemukan bahwa dari kasus HIV/AIDS di atas, 2,6 juta (2,4 - 2,8 juta) anak-anak hidup dengan HIV dan 220.000 anak-anak terinfeksi kasus baru HIV.

Data statistik menunjukkan bahwa di Indonesia sejak 1 April 1987 s.d. 30 September 2014 terdapat 150.296 kasus (HIV), 55.799 kasus (AIDS) dan 9.796 (kematian) (Dirjen PP & PL Kemenkes RI, 2014). Data Program penanggulangan Penyakit Menular Dinas kesehatan Daerah Istimewah Yogyakarta (P3M Dinkes DIY) (2014) menunjukkan kasus HIV/AIDS di Yogyakarta sampai dengan September 2014 diketahui bahwa kasus HIV sejumlah 1651 kasus, dan kasus AIDS sejumlah 1158 kasus.

(2)

Data Dirjen PP & PL Kemenkes RI (2014), kasus AIDS di Indonesia berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada grafik sebagai berikut:

Gambar 1. Grafik Kasus AIDS di Indonesia Berdasarkan Golongan Umur Sumber: Data Dirjen PP & PL Kemenkes RI, 2014

Data P3M Dinkes DIY (2014), kasus HIV/AIDS di Yogyakarta berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada grafik, sebagai berikut:

Gambar 2. Grafik Kasus HIV/AIDS DIY Berdasarkan Kelompok Umur Sumber: Data P3M Dinkes DIY, 2014

Grafik di atas menunjukkan bahwa tingginya kasus HIV dan AIDS pada usia produktif dan sebagian dari mereka mendapatkan stigma maupun diskriminasi

9794 238 968 441 1717 18352 1589 5974 1874 551 Kasus AIDS 48 9 19 16 15 339 426 192 99 15 88 16 39 20 36 658 494 253 116 35 AIDS HIV

(3)

dari lingkungan ataupun komunitas, tanpa terkecuali anak dengan status HIV. Mann (1998) menyatakan bahwa epidemi stigma merupakan tantangan terbesar dibandingkan penyakit HIV/AIDS itu sendiri, karena hal tersebut memperburuk kondisi ODHA dan menghambat program pencegahan penularan HIV/AIDS (Holzemer dkk, 2007)

Sosiolog Erving Goffman (dalam Sengupta, Banks, Jonas, Miles, & Smith, 2011) mendefinisikan stigma sebagai proses merendahkan yang secara signifikan menilai buruk individu di mata individu lainnya. Stigma HIV/AIDS merupakan tentang status merendahkan seseorang yang hidup dengan HIV/AIDS dalam sebuah tatanan sosial (Charles dkk, 2012).

Stigma HIV/AIDS berdasarkan laporan United States Agency for International Development (USAID) (2006) merupakan proses mendevaluasi dan mengurangi kesempatan hidup bagi ODHA. Proses tersebut terjadi melalui ketakutan terhadap penularan, menolak kontak dengan orang yang hidup dengan HIV/AIDS, adanya sikap menyalahkan, penghakiman dan rasa malu terhadap ODHA, berlakunya stigma (diskriminasi), serta adanya pengungkapan status bagi ODHA. Arboleda-fl’orez (2008) menjelaskan bahwa reaksi stigma dapat diukur melalui ranah kognitif (pengetahuan), afeksi (perasaan, nada dan sikap), dan tingkah laku.

Stigmatisasi menyebabkan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mendapatkan tantangan yang lebih sulit dalam menjalani kehidupan. Bahkan, sebagian anak-anak dengan status HIV positif yang tidak tahu dengan kondisi yang dialaminya juga tidak luput dari tindakan penolakan yang diterima. Menurut Hall (2003), persoalan HIV/AIDS menyebabkan anak-anak menghadapi sejumlah kesulitan. Anak-anak yang orang tuanya terinfeksi sering dibiarkan tanpa uang untuk biaya

(4)

sekolah dan makanan. Selain itu, anak yatim HIV menghadapi sejumlah stressor seperti stigma, isolasi, dan ketidakstabilan dan mungkin berisiko terhadap berbagai kesulitan emosi dan perilaku.

Hasil penelusuran yang dilakukan peneliti menunjukan bahwa terjadi bentuk stigma pada anak-anak di lingkungan sekolah, seperti yang dikemukakan informan ODHA dalam kutipan wawancara berikut:

“Waktu itu saya ngga kepikiran, waktu anak saya itu mau masuk TK, saya dibilangin katanya formulir pendaftarannya sudah penuh bu, sudah pada ngumpulin semua. Yaa lama-lama selang berapa ngga sampe sebulan itu saya tahu ternyata mereka itu menolak anak saya karena status itu (HIV)”.

Jika kondisi stigma terus terjadi, maka masa depan dari anak-anak yang memiliki status HIV ataupun yang memiliki hubungan terhadap status HIV akan sangat memprihatinkan, seperti buruknya performa akademik hingga kehilangan hak atas pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan dari sekolah yang nantinya hal tersebut akan mempengaruhi kualitas hidup dari penderita HIV maupun yang memiliki hubungan dengan status HIV. Pauline, Mwaniki, Kibui, Gichuhi, dan Kahiga (2015) menemukan bahwa anak-anak dengan HIV/AIDS yang disertai stigmatisasi memberikan performa akademik yang buruk pada anak pra sekolah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA), salah satunya adalah stigma. Hasil penelitian Said, Hakimi, dan Kusnanto (2014) terkait kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Yogyakarta menemukan bahwa stigma HIV/AIDS memiliki kekuatan hubungan yang bermakna dengan kualitas hidup ODHA, semakin tinggi stigma yang diterima maka semakin rendah pula kualitas hidupnya. Selain itu, ODHA yang memiliki stigma memiliki risiko tinggi terhadap

(5)

depresi berat dan ODHA yang mengalami depresi berat memiliki kualitas hidup yang lebih buruk (Charles dkk, 2012).

Holzemer dkk (2007) menyatakan bahwa terjadinya penurunan kualitas hidup serta memburuknya kesehatan dan penolakan untuk melakukan pengobatan oleh ODHA disebabkan karena adanya stigma terkait HIV/AIDS, sehingga hal tersebut memperburuk kondisi ODHA dan menghambat program pencegahan penularan HIV/AIDS.

Stigma mencegah orang yang memiliki risiko tinggi seperti pekerja seks komersial, homoseksual, dan pengguna narkoba jarum suntik untuk melakukan pemeriksaan HIV. Hal tersebut dikarenakan apabila hasil tes tersebut positif, mereka khawatir akan adanya diskriminasi, pengucilan maupun penghakiman dari masyarakat. Adanya keengganan untuk melakukan tes HIV menyebabkan ketidaktahuan bahwa sesungguhnya dalam tubuh mereka telah terpapar oleh virus HIV, yang pada akhirnya menularkan kepada pasangan seksual ataupun teman berbagi jarum suntik. Dampak akhir dari keengganan terhadap pemeriksaan HIV karena adanya stigma tersebut menyebabkan semakin tingginya kasus penularan HIV/AIDS di masyarakat (Dinkes DIY, 2014).

Sengupta dkk (2011) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mendasari terjadinya stigma HIV/AIDS disebabkan oleh (1) Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS; (2) Miskonsepsi tentang cara penularan HIV; (3) Kurangnya akses terhadap perawatan kesehatan; (4) Bagaimana media membentuk dan melaporkan epidemik; (5) Karakteristik AIDS sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan (6) Prasangka dan rasa takut terhadap kelompok tertentu. Dari faktor-faktor tersebut dapat dikatakan

(6)

bahwa salah satu upaya dalam menurunkan stigma HIV/AIDS adalah dengan meningkatkan pengetahuan terkait HIV/AIDS.

Sejak kemunculan HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 1987, berbagai upaya penanggulangan HIV/AIDS telah dilakukan, termasuk dalam mereduksi stigma HIV/AIDS yang dapat menjadi hambatan dalam program penanggulangan HIV/AIDS. Upaya-upaya tersebut dilakukan baik melalui media elektronik maupun sosialisasi dari tenaga profesional dengan tujuan meningkatkan pengetahuan terkait HIV/AIDS. Namun, tidak semua dari masyarakat bisa terpapar oleh informasi tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Said dkk (2014) bahwa stigma masih ada dan kental di masyarakat yang masih belum cukup terpapar informasi tentang HIV. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa masih rendahnya ODHA yang berkeinginan untuk open status di masyarakat dikarenakan ketakutan mereka akan menerima stigma, seperti dikucilkan di masyarakat dan pengusiran dari tempat tinggal.

Berdasarkan fenomena tersebut, diperlukan sebuah bentuk intervensi dalam upaya menurunkan stigma HIV/AIDS untuk menghindari dampak buruk baik secara fisik maupun psikis. Dengan menurunkan stigma diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup ODHA, sehingga ODHA mampu berproduktif dengan memberikan kontribusi terhadap dirinya sendiri, keluarga maupun lingkungan dimana ODHA tersebut berada.

Intervensi dapat diberikan dengan menggunakan pendekatan berbasis informasi untuk meningkatkan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Penularan HIV/AIDS merupakan bagian dari konten pengetahuan HIV/AIDS, dengan pengetahuan yang baik terkait cara penularan HIV maka akan mampu mereduksi stigma HIV/AIDS (Sengupta dkk, 2011). Hal ini, sejalan dengan penelitian yang

(7)

dilakukan oleh Wisotowardono (2008) bahwa pelajar dengan tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS rendah lebih berisiko untuk menstigma dibandingkan pelajar dengan tingkat pengetahuan tinggi.

Brown, Trujillo, and Macintyre (2003) mengemukakan bahwa terdapat empat kategori intervensi berdasarkan konseptualisasi psikososial dari proses stigmatisasi, salah satu bentuk intervensi tersebut adalah pendekatan berdasarkan informasi. Pendekatan berdasarkan informasi merupakan informasi berdasarkan fakta yang disampaikan melalui komunikasi tulisan ataupun lisan, seperti video, informasi tertulis melaui pamplet, iklan maupun penggunaan metode peer education (Restall & Gonzalaz, 2014).

Media komunikasi, informasi dan edukasi yang terbukti efektif untuk meningkatkan pengetahuan HIV/AIDS adalah melalui peer education (Population Council, 2002; UNAIDS, 1999; Visser, 2007). Peer education menggunakan individu-individu tertentu sebagai peer educator dari kelompok sasaran untuk memodifikasi perilaku. Rogers melalui teori difusi inovasi berpendapat bahwa individu-individu tertentu dari populasi sasaran, menjadi agen perubahan perilaku dengan menyebarluaskan informasi dan mempengaruhi norma-norma kelompok dalam komunitas mereka (dalam UNAIDS, 1999). Peer education mengacu pada elemen dari teori perilaku tersebut yang secara implisit menegaskan bahwa anggota tertentu dari kelompok sebaya (menjadi peer educator) dapat berpengaruh dalam memunculkan perubahan perilaku di antara rekan-rekan mereka.

Li dkk (2013) melakukan penelitian dengan konsep yang sama dengan peer education. Penelitian tersebut dilakukan melalui intervensi White Coat Warm Heart (WW) menggunakan popular opinion leaders (Pols) untuk mempengaruhi

(8)

rekan sesama profesi dalam menurunkan stigma dan diskriminasi HIV/AIDS. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa adanya peningkatkan kenyamanan bekerja terhadap orang dengan HIV di kalangan penyedia layanan kesehatan. Hasil penelitian menemukan bahwa peer education dengan menggunakan peer educator sebagai agen perubah efektif terhadap penundaan aktivitas seksual, yang dapat berdampak pada pencegahan HIV/AIDS di kalangan remaja (Visser, 2007).

Chania, Mikitenko, dan Bogachoff (2012) melaksanakan program peer education dalam mereduksi stigma dan diskriminasi terkait HIV dan AIDS di Ukraina, dengan melatih 14.500 pendidik sebaya (peer educator). Hasil program pendidikan sebaya menemukan Ukraina menjadi lebih toleran dan menerima ODHA. Jumlah penolakan untuk pendaftaran anak–anak HIV-positif di sekolah berkurang secara signifikan dan semua anak HIV-positif pada target wilayah projek memiliki akses ke sekolah. Selain itu, persentase populasi pada target wilayah untuk mereduksi stigma dan diskriminasi HIV/AIDS yang diperkirakan sebelumnya bahwa ODHA harus diisolasi telah berkurang dari 80 persen menjadi 27 persen.

Penerapan peer education pada penelitian ini mengacu pada fenomena bahwa pendekatan melalui penyuluhan oleh tenaga profesional tidak cukup untuk menurunkan stigma HIV/AIDS. Hal ini seperti yang dikemukakan informan staf Dinkes DIY pada kutipan wawancara, sebagai berikut:

“Iya mba, di taman kanak-kanak yang di Wonosari itu pernah ada kasus, dari pihak sekolah sih ngga ada masalah tapi dari pihak orangtua wali yang ngga mau menerima anak yang HIV ini, kita udah sosialisasi tapi anaknya tetap aja ngga boleh, yaa jadinya tetap keluar dari sekolah itu”.

(9)

Hal serupa juga terjadi pada kasus di salah satu sekolah Taman Kanak-kanak yang berada di wilayah Wirobrajan, sebagaimana yang dikemukakan informan staf KPA dalam kutipan wawancara berikut:

“Untuk kasus anak mba LT, sebenarnya pihak KPA sudah mencoba menjelaskan kepada pihak sekolah, namun yaa anak tersebut tetap saja tertolak”.

Program peer education dilakukan dengan memberikan pelatihan terhadap peer educator terpilih sebelum peer educator menyebarkan informasi kepada rekan sebaya untuk dapat mempengaruhi sebuah sikap yang ada dalam sistem sosial (UNAIDS, 1999). Merakou dan Kourea-Kremastinou (2006) menyatakan bahwa, selain pemahaman pengetahuan HIV/AIDS, kemampuan berkomunikasi secara interpersonal juga dibutuhkan oleh seorang peer educator dalam upaya pemberian informasi mengenai HIV/AIDS guna pencegahan maupun menurunkan stigma HIV/AIDS.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan HIV/AIDS. Peningkatan pengetahuan HIV/AIDS menjadi perantara (mediator) dalam mereduksi stigma HIV/AIDS. Urbayatun dan Whidiarso (2012) berpendapat bahwa keterkaitan antara dua fenomena terkadang tidak hadir dalam bentuk langsung karena terkadang keterkaitan tersebut diperantarai oleh fenomena lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, Li, Zhang, Mao, Zhao, dan Stanton (2011) melakukan intervensi pada siswa SMU di Cina, intervensi tersebut dilakukan melalui program Focus on Kids dengan meningkatkan pengetahuan HIV/AIDS sebagai mediator dalam mereduksi stigma HIV, hasil penelitian menemukan stigma semakin menurun dengan adanya mediator pengetahuan HIV/AIDS.

Peer education merupakan proses pembelajaran yang mengacu pada teori sosial kognitif yang dikemukakan oleh Bandura (1997), teori pembelajaran sosial

(10)

kognitif juga disebut sebagai teori pembelajaran melalui modeling. Proses modeling menjelaskan bahwa individu melakukan pembelajaran dengan meniru apa yang ada di lingkungan sehingga terjadi perubahan perilaku, kognitif dan afeksi, proses perubahan tersebut terjadi melalui observational learning. Proses observasional learning merupakan pembentukan sebuah perilaku yang melibatkan beberapa tahapan. Tahapan tersebut berawal dari sebuah stimulus perilaku model dan berakhir dengan penampilan (performance) tertentu sebagai hasil atau perolehan belajar dari peniru (Bandura, 1997).

Tahap-tahap dalam proses belajar tersebut, yakni: Pertama, tahap perhatian (attentional), pada tahap pertama ini individu akan memusatkan perhatian terhadap materi atau perilaku model. Karakteristik model akan menjadi variabel penentu terhadap tingkat perhatian, seperti kejelasan dalam penyampaian materi, daya tarik personal dan frekuensi kehadiran (Bandura, 1997).

Tahap kedua retensi (retention), pada tahap ini informasi berupa materi dan contoh perilaku model akan diproses dan disimpan dalam memori melalui mengkodekan peristiwa model ke dalam simbol-simbol verbal yang mudah dipergunakan. Penggunaan media belajar yang sesuai akan memudahkan individu untuk mengingat (Bandura, 1997).

Tahap ketiga reproduksi (reproduction), pada tahapan ini segala bayangan atau bentuk simbolis yang berisi informasi pengetahuan dan perilaku model yang telah tersimpan dalam memori diproduksi kembali. Proses reproduksi akan lebih efektif pada individu, apabila disertai dengan tindakan konkrit (Bandura, 1997).

Tahap keempat motivasi (motivation), tahap ini menekankan bahwa seseorang akan mempraktekkan apa yang telah dipelajarinya tergantung pada motivasinya. Individu akan cenderung mengadopsi sebuah perilaku apabila

(11)

terdapat imbalan eksternal maupun internal yang bermanfaat bagi individu tersebut (Bandura, 1997).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sejak kemunculan HIV/AIDS pada tahun 1987, upaya menurunkan stigma HIV/AIDS telah dilakukan melalui media elektronik maupun sosialisasi oleh tenaga kesehatan. Namun, upaya tersebut tidak cukup untuk memberikan informasi HIV/AIDS maupun menurunkan stigma HIV/AIDS di kalangan masyarakat ataupun komunitas, sehingga masih ditemukannya kasus penolakan terhadap ODHA di lingkungan sekolah, seperti yang terjadi di wilayah Wirobrajan maupun Wonosari.

Stigma HIV/AIDS terjadi karena kurangnya pengetahuan HIV/AIDS, sehingga diperlukan pendekatan berbasis informasi untuk meningkatkan pengetahuan HIV/AIDS yang dapat menurunkan stigma HIV/AIDS. Pendekatan berbasis informasi dapat dilakukan melalui program peer education. Program peer education merupakan media komunikasi, informasi dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan HIV/AIDS yang berdampak pada penurunan stigma HIV/AIDS. Program peer education melatih guru Taman Kanak-kanak sebagai peer educator untuk menyampaikan informasi dan edukasi HIV/AIDS kepada rekan sebaya (rekan sesame guru) melalui grup diskusi sebaya. Dengan demikian, program peer education menggunakan dua tahapan intervensi. Pertama, pelatihan guru sebagai peer educator terpilih untuk memberikan pemahaman pengetahuan HIV/AIDS, peran peer educator dan komunikasi interpersonal. Kedua, guru yang telah mendapatkan pelatihan sebagai peer educator menyampaikan informasi dan edukasi HIV/AIDS kepada rekan sebaya melalui grup diskusi sebaya.

(12)

Kedua proses pembelajaran tersebut mengacu pada teori pembelajaran sosial kognitif dari Bandura. Teori tersebut menjelaskan bahwa dalam penelitian ini, seorang fasilitator yang bertugas memberikan materi pada tahapan pelatihan bertindak sebagai model, peserta peer educator akan meniru apa yang telah disampaikan oleh fasilitator. Tahapan selanjutnya, peer educator melalui grup diskusi sebaya menjadi model bagi rekan sebaya yang meniru apa yang telah disampaikan oleh peer educator. Proses peniruan tersebut diharapkan mampu memberikan perubahan kognitif sehingga memberikan efek terhadap penurunan stigma HIV/AIDS.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah ada perbedaan pengetahuan HIV/AIDS sebelum dan sesudah

program peer education yang diberikan kepada guru Taman Kanak-kanak. 2. Apakah ada perbedaan stigma HIV/AIDS sebelum dan sesudah program

peer education yang diberikan kepada guru Taman Kanak-kanak?

3. Apakah ada pengaruh peningkatan pengetahuan HIV/AIDS dalam menurunkan stigma HIV/AIDS pada guru taman Kanak-kanak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji program peer education melalui peningkatan pengetahuan HIV/AIDS dalam menurunkan stigma HIV/AIDS pada Guru Taman Kanak-kanak (TK) di wilayah Kecamatan Wirobrajan. Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Mengembangkan dan menambah wawasan intervensi yang berlandaskan ilmu psikologi untuk memodifikasi perilaku terkait stigma HIV/AIDS.

(13)

2. Memberikan informasi terkait pengetahuan HIV/AIDS dalam upaya penanggulangan dan penularan HIV/AIDS.

D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian terkait Stigma HIV/AIDS telah banyak dilakukan, berikut beberapa penelitian terkait stigma HIV/AIDS:

1. Said dkk 2014) melakukan penelitian stigma HIV/AIDS dan kualitas hidup orang yang hidup dengan HIV/AIDS di Yogyakarta dengan desain cross sectional study yang didukung oleh data kualitatif. Hasil penelitian membuktikan ada hubungan yang signifikan secara statistik antara kualitas hidup dan stigma HIV/AIDS (r = - 0,39; p = 0,02), domain fisik dan stigma (r = -0,42; p = 0,01), dan domain psikologis dan stigma (r = - 0,47; p = 0,00), kepatuhan pada obat menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kualitas hidup (mean = 6,4; CI = 2,5 - 10,4; p = 0,00). Penelitian ini menyimpulkan bahwa stigma HIV/AIDS yang lebih tinggi menyebabkan kualitas hidup yang rendah. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan terletak pada metode yakni menggunakan metode quasi eksperimen, subjek penelitian, dan variabel penelitian.

2. Li dkk (2013) melakukan penelitian melalui intervensi White Coat Warm Heart (WW) menggunakan popular opinion leaders (Pols) untuk mempengaruhi rekan sesama profesi dalam menurunkan stigma dan diskriminasi HIV/AIDS dan meningkatkan kenyamanan bekerja terhadap orang dengan HIV di kalangan penyedia layanan kesehatan dengan metode randomized. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa intervensi mengurangi sikap dan perilaku stigma penyedia layanan kesehatan. Penelitian ini memiliki kesamaan pada intervensi yang akan diberikan

(14)

yakni menggunakan significant others untuk memunculkan perubahan perilaku pada individu tertentu. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan terletak pada setting, metode dan subjek penelitian.

3. Charles dkk (2012) melakukan penelitian hubungan antara stigma, depresi dan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional berbasis komunitas yang dilakukan di tujuh kabupaten Tamil Nadu, India, terhadap 400 ODHA. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa stigma terjadi pada ODHA yang menyebabkan terjadinya depresi berat. ODHA yang mengalami depresi mengarah pada kualitas hidup yang buruk. Selain itu, tingginya dukungan sosial berhubungan dengan tingginya kualitas hidup. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan terletak pada metode, setting, subjek dan variabel pada penelitian.

4. Wisotowardono (2008) melakukan penelitian terkait hubungan pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di kalangan pelajar SMA di kota Surakarta dengan rancangan cross sectional. Hasil penelitian menyimpulkan pelajar dengan tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS rendah, lebih berisiko untuk mengalami stigma dibandingkan dengan pelajar dengan tingkat pengetahuan tinggi. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan terletak pada rancangan dan subjek penelitian.

Gambar

Gambar 2. Grafik Kasus HIV/AIDS DIY Berdasarkan Kelompok Umur  Sumber: Data P3M Dinkes DIY, 2014

Referensi

Dokumen terkait

(5) Terdapat pengaruh jenis bahan ajar terhadap hasil belajar siswa antara yang diajarkan menggunakan bahan ajar terintegrasi nilai- nilai Islami dan yang

Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan transportasi berbasis masal, pemerintah Kota Bandung direncanakan akan segera melaksanakan pembangunan moda transportasi

Perkembangan hukum di Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam

Untuk mencari CAR atau rasio kecukupan modal dalah jumlah modal (modal inti dan modal pelengkap) dibagi dengan jumlah ATMR kemudian dari hasil itu dikalikan 100%

Hal ini diduga karena pengolahan tanah mini- mum dengan penutupan mulsa 30 % sampai 60 % dapat melindungi permukaan tanah dari cahaya matahari langsung, mengendalikan kelembaban

Hal ini menunjukkan bahwa inovasi, adopsi e-commerce, dan keunggulan kompetitif merupakan prediktor dari kinerja pemasaran sehingga UKM penting untuk memperhatikan dan

Dalam perkembangannya, masyarakat telah menunjukkan kepedulian terhadap masalah pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan anak usia dini untuk usia 0 sampai dengan 6 tahun

Seluruh peserta wajib mengikuti panduan personal. Namun ada kelalaian yang dilakukan peserta, terutama pada panduan jaga jarak. Seluruh peserta WLB harus membawa bukti