• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyeimbangkan Kembali Keadilan (Rebalancing Justice) Catatan Atas Konsep Perlindungan Korban Kejahatan dalam RUU KUHAP. Oleh: Zainal Abidin 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menyeimbangkan Kembali Keadilan (Rebalancing Justice) Catatan Atas Konsep Perlindungan Korban Kejahatan dalam RUU KUHAP. Oleh: Zainal Abidin 1"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Menyeimbangkan Kembali Keadilan (Rebalancing Justice)

Catatan Atas Konsep Perlindungan Korban Kejahatan dalam RUU KUHAP Oleh: Zainal Abidin1

1. Pengantar

Perlindungan terhadap korban kejahatan di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam 14 tahun terakhir. Reformasi tahun 1998, membuka kembali berbagai kemungkinan perubahan hukum, khususnya hukum pidana. Meski upaya pembaharuan hukum pidana dan hukum acara pidana secara menyeluruh belum terjadi, telah banyak peraturan perundang-undangan, yang ‘mereformasi’ subtansi ketentuan pidana dan hukum acara pidana, termasuk penguatan jaminan hak-hak korban. Dan secara global, perkembangan hukum pidana juga menunjukkan kepedulian besar terhadap hak-hak korban kejahatan. Korban kejahatan yang selama ini terpinggirkan dalam sistem peradilan pidana, lambat lain mulai menguat dengan munculnya berbagai instrumen internasional yang memberikan ruang kepada para korban kejahatan. Perkembangan ini memungkinan hukum domestik mengadopsi prinsip-prinsip hak-hak korban.

Hak-hak korban telah diakui sebagai hak asasi manusia. Pada tahun 1985, PBB mengadopsi Deklarasi Tentang Prinsip-Prinsip Keadilan untuk Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power), yang mengakui hak-hak korban kejahatan dan perlakuan terhadap korban dalam proses peradilan pidana. Berbagai instrumen HAM PBB lainnya juga telah mengakui hak-hak korban, misalnya Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (The International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), maupun berbagai Instrumen HAM internasional lainnya yang mengatur hak-hak khusus, misalnya Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan Konvensi Hak Anak. Dan Indonesia telah meratifikasi hampir seluruh Instrumen HAM, yang berkonsekuensi pada kewajiban untuk mengakui hak-hak yang dijamin dan kewajiban untuk menyesuaikan hukum nasionalnya, termasuk penguatan jaminan hak-hak korban kejahatan/pelanggaran.

KUHP dan KUHAP memang telah mengakui hak-hak korban kejahatan, namun dalam praktiknya masih menjadi pelengkap penderita dalam sistem peradilan pidana. Hal ini disebabkan ketentuan dan prosedur pemenuhan hak-hak korban kurang memadai. Misalkan,

1 Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Catatan ini merupakan pembaruan makalah yang disampaikan dalam Seminar “Menyongsong Perspektif Baru Perlindungan Saksi dan Korban dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”, diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hotel Aryaduta, 10 April 2013.

(2)

jarang sekali korban kejahatan mendapatkan kompensasi atau restitusi. Tak terlepas karena KUHAP masih menekankan pada perlindungan hak-hak tersangka dan terdakwa.2

Pasca reformasi peraturan yang paling awal, dan menyebut adanya hak-hak korban adalah adanya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. UU Pengadilan HAM memberikan jaminan hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran HAM berat.3 Kemudian muncul berbagai UU yang memberikan hak-hak korban, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak. Hal ini dapat dimaknai sebagai penerimaan atas konsep, prinsip dan paradigma baru dalam sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu menyeimbangkan perlindungan terhadap tersangka, terdakwa, terpidana, dengan saksi dan korban.4

Tahun 2006, dibentuk UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang merupakan puncak dari pengakuan dan jaminan hak-hak korban kejahatan. UU ini memberikan hak-hak prosedural dan subtansif kepada korban kejahatan, dan memberikan mandat pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Setelah 7 tahun, akselerasi pemenuhan hak korban kejahatan semakin membaik meski belum sempurna.

Paradigma lainnya yang terus berkembang adalah konsep ‘restorative justice’, sebagai konsep yang mengimbangi model ‘retributive justice’. Konsep ‘restorative justice’ secara terbatas telah diteapkan dalam sejumlah regulasi, misalnya dalam UU Peradilan anak. Konsep ‘restorative justice’ juga tampak dimasukkan dalam RUU RUU KUHP dan RUU KUHAP, yang terlihat dengan munculnya berbagai model penghukuman yang bukan hanya hukuman penjara, dan mengatur model-model penyelesaian perkara diluar pengadilan untuk kejahatan-kejahatan tertentu. Penerapan konsep ‘restorative justice’ ini, merujuk pada praktik atas sistem keadilan modern, mempunyai kekuatan untuk mengembalikan posisi korban dalam posisi penting, setara dengan jaminan hak-hak kepada para tertuduh.5

Mencermati berbagai perkembangan tersebut, maka penting untuk melihat perumusan konsep hak-hak korban dalam RUU KUHAP. Tulisan ini akan membahas bagaimana paradigma, arah

2 UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP dianggap sebagai regulasi yang mencerminkan ‘pendulum has swung

too far”, dimana dalam KUHAP lebih banyak menekankan perlindungan tersangka dan terdakwa, dan minim perlindungan terhadap saksi dan korban.

3 Pelanggaran HAM yang berat adalah Kejahatan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000)

4 Dikatakan sebagai penerimaan karena dalam sejumlah UU, muncul berbagai ketentuan baru yang terkait dengan proses peradilan pidana untuk memberikan perlindungan saksi dan korban baik hak-hak yang bersifat prosedural (informasi perkembangan kasus kepada saksi mapun korban, penggunaan sarana teleconference dalam pemeriksaan saksi-saksi di pengadilan, dan lainnya) maupun subtantif (hak-hak keamanan fisik dan mental kepada saksi, hak korban untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, layanan medis, rehabilitasi psiko sosial dan sebagainya.

5 Carolyn Hoyle and Richard Young, “New Vision of Crime Victims”, Center for Criminological Research, University of Oxford, 2002.

(3)

dan tujuan pembaruan hukum acara pidana di Indonesia kedepan? dan bagaimana hak-hak saksi dan korban akan dirumuskan dalam hukum acara pidana yang baru ?

2. Menyeimbangkan Kembali Keadilan (Rebalancing Justice)

Pembaruan hukum acara pidana atau proses peradilan pidana, saat ini bergerak kearah untuk menyeimbangkan kembali keadilan (rebalancing justice). Upaya untuk menyeimbangkan ini, setidaknya memfokuskan pada upaya yang lebih kuat untuk mengakui dan menjamin hak-hak korban dengan; adanya hukum yang komprehensif, pengakuan-hak korban yang permanen dan dukungan dana yang memadai.6 Dalam konteks ini, khusus akan membahas sejumlah pendekatan baru dalam sistem peradilan pidana.

a. Pendekatan hak-hak korban

Pembaruan hukum acara pidana, perlu melihat kembali berbagai pendekatan untuk memastikan perlindungan bagi semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan, dalam hal ini antara pelaku, saksi dan para korban. Model-model pendekatan semacam crime prevention model, due process, dan sebagainya, terus menghadapai tantangan, sehingga perlu mempertimbangkan alternatif lainnya guna mengefektifkan sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuannya.

Salah satu model yang patut dipertimbangkan adalah model pendekatan hak-hak korban (victims rights approach), yang dikombinasikan dengan dengan pendekatan-pendekatan lainnya. Pendekatan ini bukan semata-mata menjadikan korban sebagai pihak yang mempengaruhi semua keputusan, karena memberikan korban kendali yang bebas dan penuh akan membahayakan (jeopardize), melainkan tetap menghormati hak-hak tersangka.

Pendekatan ini menekankan bagaimana menempatkan korban kejahatan sebagai jantung dari SPP (the heart of criminal justice system).7 Setidaknya ada tiga alasan untuk melakukan pendekatan ini;

Pertama, pemusatan secara praktis, yakni memastikan sistem administrasi dan keuangan tersedia untuk menjamin pelayanan dan fasilitas disediakan secara konsisten dan otomomatis kepada semua korban, tidak hanya di pengadilan, dan dengan adanya badan-badan khusus atau pelayanan saksi-saksi. Termasuk pelayanan standar seperti informasi, layanan psikologis, pelayanan yang disediakan kepada korban dalam memberikan bukti-bukti, dan sebagainya.

Kedua, pemusatan kultural, yakni adanya perubahan kultur aparat peradilan pidana untuk memastikan berjalannya proses peradilan yang berpusat kepada korban. Misalnya,

6 Irvin Waller, “Rights for Victims of Crime”, Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2011.

7 Mattew Hall, “Rights of Victims of Crimes, Policy and Practice in Criminal Justice”, Willam Publising, 2009. Hal. 191-208.

(4)

penyediaan ruang terpisah kepada saksi-saksi dan korban untuk menghilangkan tekanan, penundaan proses peradilan yang tidak perlu, memastikan tingkat partisipasi korban, dan model memperlakukan dan penanganan korban. Pada aspek kedua ini, semua praktisi dan aparat harus memahami tujuan proses peradilan pidana yang berpusat pada korban

Ketiga, pemusatan pada keterangan (narasi) korban. Dalam banyak kasus, terdapat permasalahan ketika korban memberikan keterangan yang disebabkan adanya interupsi, bias, dan prasangka, memaksa korban memberikan keterangan dengan cara yang tidak biasa dan tidak alami, dan menghasilkan jawaban yang singkat. Proses peradilan yang berbasiskan pada pemusatan korban seharusnya memberikan ruang bagi korban untuk mengkonstruksikan narasinya secara penuh.

b. Restorative Justice

Model Restorative justice diajukan oleh kaum abolisionis yang menolak sarana koersif berupa penal dan diganti dengan sarana reparatif. Paham abolisionis menganggap SPP mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara relatistis harus dirubah dasar-dasar sruktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara. Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Dan peranan negara dalam model ini berkurang

Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka. Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkenal pengaruh – korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka -- dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice juga menekankanpada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal dan korban tidakmendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.8

8 Zainal Abidin, “Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP 2005”, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3, September 2005. Dokumen dapat diakses di http://docs.perpustakaan-elsam.or.id/ruu_kuhp/

(5)

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana pendekatan restorative justice ini dalam sistem peradilan pidana, dan peranan korban dalam proses tersebut. Dalam banyak skema tentang restorative juctice, ditemukan bahwa korban banyak berharap terlibat secara penuh, namun ada juga sejumlah studi yang menujukkan bahwa korban tidak bersedia terlibat secara langsung.9 Pendekatan restorative justiceini perlu melihat sejumlah permasalahan pokok, yaitu ; i) dalam level normatif, apakah model ini akan mempunya peranan penting pada sistem keadilan, dan ii) dalam level praktis, apa tantangan yang perlu diselesaikan untuk memastikan bahwa model restorative justice ini mempunyai peranan dalam penciptaan sistem keadilan.

Mempertimbangan model restorative justice dalam konteks pembaruan hukum acara pidana, sangat tergantung dari tujuan pembaruan itu sendiri. Kejelasan tujuan ini sangat penting, karena penekanan dari berbagai pengalaman dan implementasi model restorative justice di berbagai negara juga berbeda-beda. Pada satu sisi, tujuan penting dari proses keadilan pidana adalah merekonsiliasikan para pihak dan memperbaiki “luka” akibat kejahatan,10 sehingga tujuan ini sangat relevan untuk mempertimbangkan penggunaan model restorative justice. Dan lebih jauh, tujuan ini juga diharapkan sebagai proses untuk sarana kontrol atas kejahatan. Namun, demikian model restorative justice ini akan sangat tidak relevan jika tujuan pembaruan hukum pidana adalah semata untuk menghukum pelaku (penguatan pada retributive justice).

c. Hak-Hak Korban

Aspek lain yang penting dalam konteks pembaruan hukum pidana adalah, memastikan jaminan hak-hak korban. The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985,11 merupakan salah satu capaian penting terkait dengan hak-hak korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaaan. Dalam Deklarasi ini terdapat pengakuan bahwa suatu kejahatan menyebabkan penderitaan kepada korban (crime does harm to victims). Selanjutnya terdapat serangkaian perjanjian internasional yang mengakui dan mengatur hak-hak korban kejahatan secara lebih spesifik.

Pokok-pokok hak korban kejahatan diantaranya mencakup:

1) Hak untuk diakui (rights to recognition); seseorang harus diakui sebagai korban terlepas apakah pelaku teridentifikasi, tertangkap, diadili,atau dihukum, dan terlepas apakah ada hubungan antara pelaku dan korban.

9Carolyn Hoyle and Richard Young, “New Vision of Crime Victims”, Center for Criminological Research, University of Oxford, 2002. hal.104-105.

10 Burt Gallaway and Joe Hudson, “Restorative Justice: International Perspectives”, Kugler Publication. Hal. 506.

(6)

2) Hak atas informasi (right to information); korban berhak mendapatkan informasi, misalnya korban akan menerima informasi saat itu juga ketika melakukan kontak pertama dengan penegak hukum. Informasi diberikan dengan cara yang paling efektif, dengan penggunaan teknologi mutakhir. Informasi setidaknya mencakup; i) bentuk pelayanan yang dapat diterima, bentuk dukungan yang bisa diakses misalnya kesehatan, pelayanan sosial dan pelayanan yang relevan lainnya, ii) kapan dan bagaimana mereka dapat melaporkan kejahatan dan apakah mereka dapat memilih untuk melaporkan atau tidak, iii) prosedur tentang proses penegakan hukum, iv) peranan mereka dalam peradilan, v) dalam situasi apa mereka akan mendapatkan perlindungan, vi) dalam situasi apa mereka akan mendapatkan bantuan hukum, vii) syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mendapatkan kompensasi. Sedangkan untuk penanganan kasusnya sendiri, korban juga berhak atas informasi; i) hasil dan perkembangan laporan mereka, ii) perkembangan kasusnya, dan iii) putusan pengadilan.

3) Hak atas pendampingan (right to assistance); korban dapat menerima pendampingan material, medis, psikologis, dan sosial dari pemerintah, lembaga sosial, komunitas, dan pihak lain. Pendampingan dapat berupa; i) pendampingan seketika (misalnya pendampingan medis, dukungan material-shelter, rumah dan transportasi, dan lainnya), ii) pendampingan jangka menengah (keberlanjutan pelayanan dari pendampingan seketika, pelayanan psikologis dan intervensi spiritual, pendampingan untuk kebutuhan finansial, dan lainnya), iii) pendampingan jangka panjang (keberlanjutan pendampingan sebelumnya, memastikan kembalinya korban ke komunitas, pendampingan korban dalam proses peradilan, dan lain sebagainya).

4) Hak atas reparasi (rights to reparations); restitusi dari pelaku, kompensasi dari negara, rehabilitasi, kepuasan, dan sebagainya.

5) Hak untuk berpatisipasi (right to participation); Para korban harus mampu berpatisipasi dan terwakili dan proses peradilan untuk mempertahakan kepentingannya. Kepentingan para korban adalah mempunyai suara terkait dengan keamanannya, reparasi kepada mereka dan keadilan. Hak atas partisipasi ini membuat mereka akan mempertahankan kepentingannya dengan cara yang sama dengan pelaku.

Dalam konteks pembaruan hukum acara pidana, hak-hak korban harus menjadi bagian penting yang diatur dan dirumuskan. Pengakuan hak-hak korban ini akan mengintegrasikan korban secara nyata dalam sistem peradilan pidana. Sejumlah potensi keuntungan mengintegrasikan hak-hak korban; (1) memberikan keuntungan terapi bagi korban karena karena diberikan peranan dalam proses, (2) Membuka partisipasi korban dalam proses peradilan termasuk, memberikan suara kepada korban untuk alasan terapi, dan (3) meningkatkan kepuasan mereka dalam proses peradilan pidana.12

12 Carolyn Hoyle and Richard Young, “New Vision of Crime Victims”, Center for Criminological Research, University of Oxford, 2002. Hal. 98.

(7)

3. Catatan Terhadap RUU KUHAP

Dalam konteks jaminan hak-hak korban, masih terdapat sejumlah catatan terhadap RUU KUHAP, yaitu :

a. Meski ada kemajuan pengaturan hak-hak korban (prosedural dan subtansial), namun masih tidak lengkap.13 Yang perlu dipertimbangkan atau dirumuskan lebih lanjut, adalah : (i) Ganti kerugian kepada korban masih diletakkan pada kesalahan pelaku semata, padahal pengalaman membuktikakan adanya korban tetapi pelaku tidak bisa ditangkap, diadili, atau akhirnya dibebaskan. Hal ini berpotensi kegagalan dalam merumuskan hak-hak korban dan pemulihannya. (ii) Ganti kerugian korban kejahatan diletakkan pada pelaku kejahatan. Artinya RUU KUHAP hanya mendasarkan bahwa pelaku kejahatan-lah yang berkewajiban untuk membayar kerugian, dan melepaskan kewajiban negara. Padahal dalam sejumlah kasus, banyak pelaku kejahatan merupakan orang yang miskin secara ekonomi, dan tidak mempunyai kemampuan untuk membayar ganti kerugian. Namun, disisi lain korban kejahatan membutuhkannya. Ketiadaan peran negara ini, akan menyulitkan pemenuhan hak korban, jika pelaku memang benar-benar tidak mampu secara ekonomi. (iii) Tidak ada rumusan right to participation, padahal hak ini sangat penting untuk mendorong pembaruan acara pidana yang berbasis pada hak-hak korban.

b. Masih ada sejumlah hak yang seharusnya diatur namun belum dicakup. Khususnya hak-hak yang telah dinyatakan sebagai hak korban dalam berbagai instrumen HAM internasional yang sudah diterima oleh Indonesia, termasuk menyesuaikan terminologi yang digunakan.14 c. Rumusan RUU KUHAP meletakkan beban perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan

korban semata pada para penegak hukum yang disebutkan, misalnya kepolisian, jaksa, pengadilan, dan advokat (dalam pemberian bantuan hukum). Padahal, perkembangan saat ini, sudah banyak lembaga-lembaga pendukung yang secara khusus mempunyai mandat dan kewenangan untuk memberikan perlindungan korban dan saksi, misalnya LPSK. Karenanya RUU KUHAP harus menempatkan posisi LPSK dalam sistem peradilan pidana, karena LPSK mempunyai mandat untuk melakukan perlindungan saksi dan korban dan menjalankan peranannya dalam keseluruhan proses peradilan, dan dengan dimasukkannya LPSK dalam KUHAP akan mengintegrasikan seluruh sub system kelembagaan SPP dalam menjamin hak-hak saksi dan korban.

13 Lihat pasal 133 RUU KUHAP, Bagian Ketiga tentang Putusan Pengadilan tentang Ganti Kerugian terhadap Korban.

14 Sejumlah istilah terkait dengan hak-hak korban, dalam berbagai UU berbeda-beda maksudnya meski menggunakan istilah yang sama. Lihat misalnya istilah kompensasi, rehabilitasi, dan sebagainya (Pasal 1 angka 14, pasal 40, Pasal 128, pasal 133), atau istilah ganti kerugian, rehabilitasi, dan kompensasi (Pasal 1 angka 22 dan 23, Pasal 103, Pasal 128-132, Pasal 133) . Sejumlah istilah tersebut telah digunakan dalam berbagai undang-undang lainnya dengan makna yang berbeda-beda, termasuk istilah ‘restitusi’ yang disamakan dengan ‘ganti kerugian” sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 26 tahun 2000 dan UU No. 13 tahun 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Sajrone komponen iki guru ngamati dhampak utawa asil saka tindakan kang ditindakake marang siswa. Tes kanthi mangsuli pitakonan-pitakonan kanggo mangertene pencapaian

Teknologi Puslitbangnak yang telah dimanfaatkan sebanyak 5 teknologi, yaitu (1) Teknologi pembibitan dan penggemukan sapi potong, (2) Teknologi i nformasi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa konspe diri mahasiswi jilboobers dibagai menjadi dua yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif,

Banyaknya penelitian yang mengangkat kebermaknaan hidup, berpikir positif, strategi coping dan dukungan sosial sebagai variabel dengan subjek yang berbeda menarik peneliti

Uji aktivitas antioksidan penangkap radikal dilakukan terhadap isolat yang telah diperoleh dan dilakukan dengan metode Kwon and Kim (2003) yaitu

Dari hasil analisis berat jenis cat tembok emulsi terlihat bahwa perlakuan penambahan 20% emulsifier natrium silikat dan 15% perekat polivinil asetat memberikan

Apabila relasi yang baik antara perusahaan dengan investor dapat terjalin dan mampu bertahan dalam rentang waktu yang cukup lama, maka hal ini akan menarik para

bergantung pada urutan masuk dataset.Dalam bidang pendidikan penambangan metode data (data mining) digunakan untuk mengembangkan metode dalam mengekstrak pengetahuan