• Tidak ada hasil yang ditemukan

Trias Eka Nurlela BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Trias Eka Nurlela BAB II"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

A.Terapi Intravena

1. Pengertian

Terapi intravena merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan dengan cara memasukkan cairan melalui intravena dengan bantuan infus set yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh (Tamsuri,2008). Pemasangan infuse adalah tindakan pemasangan kateter intravena pada vena tertentu untuk memberikan terapi intravena. Terapi intravena digunakan untuk mengoreksi berbagai kondisi pasien, terutama dalam hal pemasukan peroral tidak adekuat, ketidakseimbangan elektrolit, kurangnya nutrient tubuh, untuk medikasi secara IV dan untuk memasukkan produk darah (Craven &Hirnle, 2000).

Selain itu terapi intravena diberikan untuk memperbaiki atau mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada penyakit akut dan kronis dan juga digunakan untuk pemberian obat intravena (Potter dan Perry, 2005).

2.Tujuan Terapi Intravena

Tujuan utama terapi intravena diberikan pada pasien menurut Sugiarto (2006) adalah:

(2)

b. Memberikan obat-obatan dan kernoterapi. c. Transfusi darah dan produk darah.

d. Memberikan nutrisi parenteral dan suptemen nutrisi.

3.Indikasi Terapi Intravena

Selain untuk pemberian cairan, pemasangan intravena juga berfungsi untuk pemberian obat IV dengan indikasi yaitu:

a. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya, pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit rnemberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dan segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan. dan lamanya perawatan.

b. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalarn sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar,

(3)

sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.

c. Pasien tidak dapat minum obat karena rnuntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertirnbangkan pemberian rnelalui jalur lain sepe rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).

d. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak atau obat masuk ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan. e. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan

melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik atau vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes melitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus atau suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavailabilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri. Dari uraian di atas dapat diketahui hahwa pemberian atau pemasangan terapi intravena harus sesuai indikasi pada keadaan-keadaan tertentu dan berfungsi untuk pemberian obat intravena. Secara garis besar, Sugiarto (2006) menyimpulkan bahwa indikasi pemasangan terapi intravena, yaitu:

(4)

2) Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas.

3) Pemberian kantong darah dan produk darah. 4) Pemberian obat yang terus-menerus (continiu).

5) Upaya profilaksis (tindakan pencegahan sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat).

6) Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya

resiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba). sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.

4.Keuntungan dan Kerugian Terapi Intravena

a. Keuntungan

Menurut Sugiarto (2006), terapi intravena mempunyai keuntungan sebagai berikut :

1) Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat.

2) Absorsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan.

(5)

4) Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari.

5) Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidak stabilan dalam traktus gastrointestinalis.

b. Kerugian

Sugiarto (2006) mengatakan hahwa terapi intravena mempunyai kerugian sebagai berikut:

1. Tidak bisa dilakukan “drug recall” dan rnengubah aksi obat tersebut

sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi.

2. Kontrol pemberian yang tidak baik bisa rnenyebabkan “speed shock”. 3. Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu kontaminasi mikroba

melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vaskular seperti flebitis mekanik dan kimia, inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terapi intravena

a. Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Sisi Penusukan Vena

Menurut Sharon dalam Sugiarto (2006) ada beherapa faktor yang mempengaruhi pemilihan sisi penusukan vena, yaitu:

(6)

2) Prosedur yang diantisipasi; misalnya jika pasien harus menerirna jenis terapi tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti pembedahan. pilih sisi yang tidak terpengaruhi apapun.

3) Aktivitas pasien; misalnya gelisah, bergerak. tak bergerak dan perubahan

tingkat kesadaran.

4) Terapi IV sebelumnya; flebitis sebelumnya membuat vena tidak baik untuk digunakan. Kemoterapi juga dapat membuat vena menjadi buruk (mudah pecah).

5) Sakit sebelumnya, misalnya jangan digunakan ekstrimitas yang sakit

pada pasien stroke.

6) Kesukaan pasien; jika mungkin pertimbangkan kesukaan alami pasien untuk sebelah kiri atau kanan.

7) Torniquet; gunakan 4 sampai 6 cm di atas titik yang diinginkan.

8) Membentuk genggaman; minta pasien membuka dan menutup genggaman berulang-ulang.

9) Posisi tergantung; gantung lengan pada posisi menggantun (rnisalnya di bawah batas jantung).

b. Pemilihan Kanula untuk Infus Perifer

Menurut Prajitno dalam Sugiarto (2006), pemilihan kanul dapat mempengaruhi terapi infus perifer, antara lain:

(7)

2) Kanula logam digunakan bila kanula plastik tidak mungkin diganti secara rutin setiap 48-72 jam, namun untuk kasus tertentu yang memelihara fiksasi yang baik harus digunakan kanula plastik.

c. Pemilihan Lokasi Pemasangan IV

Pemilihan lokasi pemasangan infus menurut Sharon dalam Sugiarto (2006) adalah :

1) Pada orang dewasa pemasangan kanula lebih baik pada lengan atas dan pada lengan bawah, bila perlu pemasangan dilakukan di daerah sub klavikula atau jugularis.

2) Vena tangan paling sering digunakan untuk terapi IV yang rutin.

3) Vena lengan, periksa dengan teliti kedua lengan sebelum keputusan dibuat

4) Vena lengan atas, juga digunakan untuk terapi IV.

5) Vena ekstremitas bawah, digunakan hanya menurut kebijaksanaan institusi.

6) Vena kepala, digunakan sesuai kebija institusi, sering dipilih pada bayi dan anak.

d. Persiapan Psikologis pada Pasien

Persiapan psikologis pada pasien juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemasangan intravena (Sharon dalarn Sugiarto, 2006), yaitu:

(8)

2. Berikan instruksi tentang perawatan dan keamanan IV. 3. Gunakan terapi bermain untuk anak kecil.

4. Dorong pasien untuk mengajukan pernyataan atau masalah. e. Persiapan Pemasangan IV

Adapun persiapan pemasangan IV menurut Prajitno dalam Sugiarlo (2006) adalah:

1) Tempat yang akan dipasang kanula terdahulu didesinfeksi dengan antiseptik.

2) Gunakan Yodium Tinture 1-2 % atau dapat juga menggunakan

Klorheksidine, lodofer atau alkohol 70 %. Antiseptik secukupnya dan ditunggu sampai kering minimal 30 detik sebelum dilakukan pemasangan kanula.

3) Jangan menggunakan heksalurofen atau campuran semacam benzalkonium dalam air untuk desinfeksi tempat tusukan.

f. Prosedur Pemasangan Infus

Prosedur pemasangan terapi intravena menurut Sharon dalam Sugiarto (2006) adalah:

1) Lakukan pemilihan sisi dan pakai sarung tangan.

2) Pasang tourniquet di atas sisi pemasangan untuk meningkatkan pengisian vena yang lebih baik (jika aliran arteri tidak teraba dapat disebabkan karena tourniquet terlalu ketat).

(9)

4) Pastikan kelengkapan produk misalnya jarum, kateter atau starter pack. 5) Tusukkan alat infus ke kulit, sisi potongan jarum ke arah atas dengan

sudut kira kira 45 derajat terhadap kulit. Turunkan batang jarum sarnpai menjadi sejajar dengan kulit dan dorong jarum sarnpai vena tertembus. Aliran balik darah umumnya memastikan masuk kedalam vena.

6) Dengan perlahan angkat keseluruhan batang dan dorong ke dalam vena. 7) Untuk kateter ketika jarum introdukter, dorong kateter plastik melewati jarum ke dalam pembuluh sementara jarum tidak bergerak. Cabut jarum introdukter, patahkan, dan buang ke tempat yang aman. setelah mernastikan bahwa darah mengalir.

8) Hubungkan set pemberian dan tentukan kecepatan aliran yang diinginkan.

9) Fiksasi jarum atau kateter.

10) Adalah sangat membantu untuk memberi label pada sisi IV dengan tanggal dan ukuran alat yang digunakan dalam upaya untuk mempermudah keputusan mengenai infus atau darah.

g. Prosedur Setelah Pemasangan

Prosedur setelah pemasangan IV line menurut Prajitno dalarn Sugiarto (2006) yaitu:

1. Beri antiseptik pada tempat pemasangan terutama pada teknik insisi. 2. Kanula difiksasi sebaik-baiknya.

(10)

4. Cantumkan tanggal pemasangan di tempat yang rnudah dibaca (misalnya plester, penutup pipa infus) serta pada catatan pasien yang bersangkutan tuliskan tanggal dan lokasi pemasangan.

h. Perawatan Tempat Pemasangan Infus

Adapun cara perawatan tempat pernasangan IV line menurut Prajitno dalarn Sugiarto (2006) adalah :

1) Tempat tusukan diperiksa setiap hari untuk melihat kemungkinan timbulnya komplikasi tanpa membuka kasa penutup yaitu dengan cara meraba daerah vena tersebut, Bila ada demarn yang tidak bisa dijelaskan dan ada nyeri tekan pada daerah penusukan, barulah kasa penutup dibuka untuk melihat kemungkinan komplikasi.

2) Cek setiap 8 jam apakah ada tanda-tan flebitis atau infeksi.

3) Pindahkan pemasangan IV line setiap 72 jam untuk mengurangi resiko flebitis atau infeksi lokal.

4) Bila kanula harus dipertahankan untuk waktu lama, maka setiap 48-72 jam kasa penutup harus diganti dengan yang baru dan steril.

5) Bila pada pemasangan kanula, tempat pemasangan diberi antiseptik maka setiap penggantian kasa penutup, tempat pemasangan diberi antise kembali.

i. Penyulit Terapi Intra Vena

(11)

dapat menyebabkan kematian. Adapun gangguan yang dapat terjadi pada saat terapi intravena seperti flebitis tromboflebitis, purulenta, bakteri (Prajitno dalam Sugiarto, 2006).

Selain penyakit, ada beherapa hal yang perlu diperhatikan pada pemasangan infus melalui jalur pembuluh darah vena. Pemasangan jalur intravena memiliki kontraindikasi sebagai berikut:

1) Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.

2) Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan

digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).

3) Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki). j. Komplikasi Pemasangan Infus

Ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan terapi IV menurut Sugiarto (2006), yaitu:

1) Flematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan”

(12)

2) Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pernbuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.

3) Flebitis, tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pernbuluh vena,

terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar. 4) Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah. terjadi akibat masuknya udara yang ada dalarn cairan infus ke dalam pembuluh darah.

5) Ekstravasasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan ekstrasel.

B. Phlebitis

1. Pengertian

Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena. Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth, 2002).

(13)

mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada area tersebut.

2. Klasifikasi Phlebitis

Pengklasifikasian phlebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada empat kategori penyebab terjadinya phlebitis yaitu kimia, mekanik, agen infeksi, dan post infus (INS, 2006).

a. Chemical Phlebitis (Phlebitis kimia)

Kejadian phlebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter yang digunakan.

PH darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya karamelisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik.

(14)

sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280 – 310 mOsm/L, larutan yang memliki osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmoler yang mempunyai osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil. Cairan isototonik akan menjadi lebih hiperosmoler apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS, 2006). Menurut Imam Subekti vena perifer dapat menerima osmolalitas larutan sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin tinggi osmolalitas (makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada dinding vena perifer seperti phlebitis, trombophebitis, dan tromboemboli. Pada pemberian jangka lama harus diberikan melalui vena sentral, karena larutan yang bersifat hipertonis dengan osmolalitas > 900 mOsm/L, melalui vena sentral aliran darah menjadi cepat sehingga tidak merusak dinding.

(15)

material katheter juga berperan pada kejadian phlebitis. Bahan kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau polietelin (teflon) mempunyai resiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan yang terbuat dari silikon atau poliuretan (INS,2006).

Partikel materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat yang tidak sempurna diduga juga bisa menyebabkan resiko terjadinya phlebitis. Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai dengan 5 mikron pada infus set, akan menurunkan atau meminimalkan resiko phlebitis akibat partikel materi yang terbentuk tersebut. (Darmawan, 2008)

b. Mechanical Phlebitis (phlebitis mekanik)

Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau penempatan katheter intravena. Penempatan katheter pada area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena pada saat ekstremitas digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak dan meyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena. (The Centers for Disease Control and Prevention, 2002)

c. Backterial Phlebitis (Phlebitis Bakteri)

(16)

yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus adalah stapylococus dan bakteri gram negative, tetapi dengan epidemic HIV / AIDS infeksi oleh karena jamur dilaporkan meningkat.

Tabel 2.1

Kuman pathogen yang sering ditemukan di aliran darah Pathogen

1986 - 1989 1992 - 1999

Coagulase-negatif Staphylococcus 27 37

S Aureus 16 13

Adanya bakterial phlebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai predisposisi komplikasi sistemik yaitu septicemia. Faktor – faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain :

1) Tehnik cuci tangan yang tidak baik.

2) Tehnik aseptik yang kurang pada saat penusukan. 3) Tehnik pemasangan katheter yang buruk.

4) Pemasangan yang terlalu lama. (INS, 2002)

d. Post Infus Phlebitis

(17)

1) Tehnik pemasangan catheter yang tidak baik. 2) Pada pasien dengan retardasi mental.

3) Kondisi vena yang baik.

4) Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam. 5) Ukuran katheter terlalu besar pada vena yang kecil.

3. Diagnosa dan Pengenalan tanda Phlebitis

Phlebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan visual yang dilakukan oleh perawat. Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual untuk kejadian phlebitis, yaitu:

Tabel 2.2 VIP Score (Visual Infusion Phleitis Score) oleh andrew jacson, dalam PPI 2014)

SKOR KEADAAN AREA PENUSUKAN PENILAIAN

0 Tempat suntikan tampak sehat Tidak ada tanda phlebitis 1 Salah satu dari berikut jelas

a. Nyeri area penusukkan b. Adanya eritema di area

penusukkan

Mungkin tanda dini phlebitis

2 Dua dari berikut jelas ; a. Nyeri area penusukkan b. Eritema

c. Pembengkakan

Stadium dini phlebitis

3 Semua dari berikut jelas; a. Nyeri sepanjang kanul b. Eritema

c. Indurasi

Stadium moderat phlebitis

4 Semua dari berikut jelas; a. Nyeri sepanjang kanul b. Eritema

c. Indurasi

d. Venous chord teraba

(18)

5 Semua dari berikut jelas; a. Nyeri sepanjang kanul b. Eritema

c. Indurasi

d. Venous chord teraba e. Demam

Stadium lanjut

thrombophlebitis

(INS, 2006 dalam PPI 2014)

4. Tindakan Pencegahan Phlebitis

Kejadian phlebitis merupakan hal yang masih lazim terjadi pada pemberian terapi cairan baik terapi rumatan cairan, pemberian obat melalui intravena maupun pemberian nutrisi parenteral. Oleh karena itu sangat diperlukan pengetahuan tentang faktor – faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis serta pemantauan yang ketat untuk mencegah terjadinya phlebitis yang telah disepakati oleh para ahli, antara lain ;

a. Mencegah phlebitis bakterial

Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit. Untuk pemilihan larutan antisepsis, CDC merekomendasikan penggunaan chlorhexedine 2 %, akan tetapi penggunaan tincture yodium, iodofor atau alcohol 70 % bisa digunakan.

b. Selalu waspada dan tindakan aseptic

(19)

jalan pmberian obat, pemberian cairan infus atau pengambilan sampel darah) merupakan jala masuk kuman.

c. Rotasi katheter

May dkk (2005) melaporkan hasil pemberian Perifer Parenteral Nutrition (PPN), di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas phlebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru – baru ini oleh webster dkk disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72 – 96 jam untuk membatasi potensi infeksi.

d. Antiseptic dressing

INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang trnsparan sehingga mudah untuk melakukan pengawasan tanpa harus memanipulasinya. Penggunaan balutan konvensional masih bisa dilakukan, tetapi kassa steril harus diganti tiap 24 jam.

e. Kecepatan pemberian

(20)

waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 – 330 mL/jam. Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Katheter harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.

f. Titrable acidity

Titrable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable aciditys sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah (0.16 mEq/L). Dengan demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko phlebitisnya. g. Heparin dan hidrokortison

(21)

mengurangi kekerapan phlebitis pada vena yang diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial. Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan phlebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukkan endapan kalsium.

C.Respon Nyeri

1. Pengertian Nyeri

The International Association for the study of pain (1979) dalam Koizer (2000) mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau dilukiskan dalam istilah seperti kerusakan.

Pengertian nyeri lainnya adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan dan disebabkan oleh stimulus spesifik seperti mekanik, termal, kimia, atau elektrik pada ujung ujung saraf serta tidak dapat diserahkan kepada orang lain menurut summer (1985) dalam Meliala (2004).

(22)

2. Klasifikasi Nyeri

a. Nyeri akut yang berlangsung tidak melebihi 6 bulan, serangan mendadak dari sebab yang sudah diketahui dan daerah nyeri biasanya sudah diketahui, nyeri akut ditandai dengan ketegangan otot, cemas yang keduanya akan meningkatkan persepsi yeri.

b. Nyeri kronis,nyeri yang berlangsung 6 bulan atau lebih,sumber nyeri tidak diketahui dan tidak bisa ditemukan lokasinya.Sifat nyeri hilang dan timbul pada periode tertentu nyeri menetap (Aziz,2006).

Karakteristik nyeri menurut Aziz (2006):

1) Pada nyeri akut dan kronis karakteristik nyeri meliputi:pengalaman sumber, serangan, waktu, pernyataan nyeri, gejala klinis, pola dan perjalanan.

2) Pada nyeri somatik dan nyeri viseral karakteristik nyeri meliputi: menjalar, stimulasi reaksi otonom, dan reaksi kontraksi otot.

3. Fisiologis Nyeri

Menurut Meliala (2004) proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi tiga:

a. Jenis I : Proses stimulasi singkat

(23)

diukur dari discharge yang dijalarkan nosiseptor dengan persepsi nyeri atau ekspresi subyektif nyeri. Contoh : Pukulan, cutan, dan aliran listrik yang mengenai jaringan tubuh tertentu akan menyebabkan timbulnya persepsi nyeri bila stimulus tidak begitu kuat dan tidak menimbulkan lesi maka timbulnya persepsi nyeri yang timbul akan terjadi dalam waktu singkat.

b. Jenis II : Proses stimulasi yang berkepanjangan, yang menyebabkan lesi atau inflamasi jaringan

Nyeri inflamasi mengenai jaringan cukup kuat dan menyebabkan fungsi berbagai komponen sistem nosiseptor berubah.Sehingga inflamasi dapat dikatakan penyebab utama nyeri akut atau kronis dan penyakit pada : faringitis, appendisitis, arthritis, artikularis dan otot. Inflamasi merupakan proses reaksi proteksi dari jaringan untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat, akibat dari trauma maupun infeksi. Ciri khas dari inflamasi ialah : rubor, kalor, tumor, dolor, dan fungsiolaesa.

c. Jenis III : Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf.

(24)

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang memfleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunsn saraf pusat (cortex cerebri).

1) Proses Transduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke implus elektrikal pada ujung syaraf suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum, paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer (Turk & Flor, 1999). 2) Proses Transmisi

(25)

sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi.Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjtnya implus disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortec cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri (Davis, 2003).

3) Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusun saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Hal inilah yang menyebabkan

persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang (Turk & Flor, 1999). 4) Persepsi

(26)

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri.

a. Usia

Menurut Potter & Perry (2005) usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri pada anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua dan perawat. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri,2007)

b. Jenis kelamin

(27)

Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang dilakukan Burn, dkk. (1989) dalam Potter & Perry (2005) mempelajari kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria.

c. Kecemasan

Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stress praoperatif menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2001)

5. Pengukuran Intensitas Nyeri

(28)

adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dalam teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Skala penilaian numerik (Numerial Rating Scale) adalah yang paling efektif (Potter & Perry, 2005). Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 poin (AHCPR, 1992 dalam Potter & Perry, 2005). Pengukuran tingkat nyeri dapat dilakukan dengan wawancara tentang nyeri pada pasien. Perawat bertanya pada pasien tentang bagaimana nyeri dirasakan dengan bantuan Skala Bourbonais.

Intensitas nyeri dapat dapat diukur menggunakan alat yang berupa Verbal Discriptor Scale (VDS) dan Numerical rating scales (NRS), Visual analog scale (VAS).

a. Verbal Descriptor Scale (VDS)

Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang

tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan

(29)

memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak ada nyeri nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat nyeri berat tidak terkontrol Gambar 2.1. Verbal Descriptor Scale (VDS)

b. Numerical rating scales (NRS)

Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar. 2.2 Numerical rating scales (NRS)

(30)

coefficients (ICCs) dan keempat skala nyeri ini menunjukkan konsistensi

penilaian pasca bedah setiap harinya (0,673 - 0,825) dan mempunyai hubungan kekuatan (r = 0,71-0,99).

c. Visual Analog Scale (VAS)

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Keandalan VAS ini telah dibuktikan oleh Intraclass korelasi koefisien (ICCs) dengan 95% confidence interval (95% CIS) dan Bland-Altman analisis yang digunakan untuk menilai keandalan diperoleh pasangan pengukuran VAS 1 menit terpisah setiap 30 menit selama dua jam. Hasil yang diperoleh dari ringkasan ICC untuk semua pasangan VAS skor adalah 0,97 [95% CI = 0,96-0,98]. Hal tersebut menunjukan bahwa VAS cukup handal digunakan untuk menilai nyeri.

Tidak Nyeri Nyeri Sangat

(31)

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskriptif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

D.Lidah Buaya (Aloe Vera)

1. Pengertian

Lidah buaya (Aloe vera atau Aloe barbadensis Miller) sinonim dengan Aloe barbandenis Mill atau Aloe vulgaris. Tanaman ini merupakan family dari Liliaceae. Nama lainnya adalah crocodiles tongoes (Inggris), Jadam (Malaysia), Salvila (Spanyol), dan Lu hui (Cina). Lidah buaya merupakan sejenis tumbuhan yang sudah dikenal sejak ribuan tahun silam dan digunakan sebagai penyubur rambut, penyembuh luka, dan perawatan kulit. Tumbuhan ini dapat ditemukan dengan mudah di kawasan kering di Afrika.

(32)

Lidah buaya (Aloe vera) merupakan tumbuhan berbatang pendek yang tidak terlihat karena tertutup oleh daun – daun yang rapat dan sebagian terbenam dalam tanah. Melalui batang inilah muncul tunas – tunas yang selanjutnya akan menjadi tanaman anak. Aloe vera yang bertangkai panjang juga muncul dari batang melalui celah – celah atau ketiak daun. Batang ini dapat distek untuk perbanyakan tanaman. Peremajaan tanaman ini dilakukan dengan memangkas habis daun dan batangnya, kemudian dari sisa tunggal batang ini, akan muncul tunas – tunas baru (Agoes, 2010 dalam Sari 2010).

Tanaman lidah buaya dikenal sebagai bahan obat tradisional. Khasiat yang tersimpan dari lidah buaya untuk pembersih darah, penurun panas, obat wasir, batuk rejan dan mempercepat penyembuhan luka. Sejumlah nutrisi yang bermanfaat terkandung di dalam lidah buaya, berupa bahan organik dan anorganik, diantaranya vitamin, mineral dan beberapa asam amino, serta enzim yang diperlukan tubuh. Pemanfaatan lidah buaya dapat berfungsi sebagai antiinflamasi, antijamur, antibakteri dan regenerasi sel, untuk mengontrol tekanan darah, menstimulasi kekebalan tubuh terhadap serangan kanker, serta dapat digunakan sebagai nutrisi pendukung bagi penderita HIV. Penggunaan dapat berupa gel dalam bentuk segar atau dalam bentuk jadi seperi kapsul, jus, makanan, dan minuman kesehatan (Fredy, 2010)

2. Kandungan

(33)

pngobatan adalah jenis Aloe vera Barbadensis miller. Lidah buaya jenis ini mengandung 72 zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Di antarake-72 zat yang dibutuhkan tubuh itu terdapat 18 macam asam amino, karbohidrat, lemak, air, vitamin, mineral, enzim, hormon, dan zat golongan obat. Antara lain antibiotok, antiseptik, antibakteri, antikanker, antivirus, antijamur, antiinfeksi, antiperadangan, anti pembengkakan, antiparkinson, antiaterosklerosis, serta antivirus yang resisten terhadap antibiotik.

Tanaman lidah buaya kaya akan kandungan zat-zat seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin, polisakarida dan komponen lain yang sangat bermanfaat bagi kesehatan antara lain aloin, barbaloin, isobarbaloin, aloe emodin, aleonin dan aloesin.

Tabel 2.3 Kandungan zat aktif lidah buaya (Aloe vera) yang sudah teridentifikasi

Zat aktif Kegunaan

Lignin Mempunyai kemampuan penyerapan yang tinggi sehingga memudahkan peresapan gel kedalam kulit atau mukosa

Saponin Membersihkan dan bersifat antiseptik, serta bahan pencuci yang baik

Kompleks Anthraguinone

Sebagai bahan laksatif, penghilang rasa sakit, mengurangi racun, sebagai antibakteri, antibiotik.

Acemannan Sebagai antivirus, antibakteri, antijamur dan dapat menghancurkan sel tumor, serta meningkatkan daya tahan tubuh.

Enzim bradykinese, karbiksipeptidase

Mengurangi inflamasi, antialergi dan dapat mengurangi rasa sakit

Glukomannan, mukopulypeptidase

(34)

Tenin, aloctin A Sebagai anti inflamasi

Salisilat Menghilangkan rasa sakit, dan antiinflamasi

Asam amino Bahan untuk pertumbuhan dan perbaikan serta sebagai sumber energi. Aloe vera menyediakan 20 asam amino dari 22 AA yang dibutuhkan tubuh.

Mineral Memberikan ketahanan tubuh terhadap penyakit, dan berinteraksi dengan vitamin untuk fungsi tubuh.

Vitamin A, B1, B2, B6, B12, C, E, asam folat.

Bahan penting untuk menjalankan fungsi tubuh secara normal dan sehat.

(Setiani, 2005).

Mekanisme kerja aloe vera dalam menurunkan tingkat skala nyeri phlebitis adalah lidah buaya menghambat migrasi sel PMN (neutrofit) ke jaringan vena yang meradang, sehingga proses inflamasi vena dihambat. Kandungan asam amino, glikoprotein dan aloe emodin dalam lidah buaya (aloe vera) mempercepat perkembangan sel-sel baru dalam proses regenerasi epitel

pembuluh darah.

E.Kompres Hangat Lembab dan Dingin

1. Pengertian

(35)

Kompres panas adalah memberikan rasa hangat pada daerah tertentu dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukan. Tindakan ini selain untuk melancarkan sirkulasi darah juga untuk menghilangkan rasa sakit, merangsang peristaltic usus, pengeluaran getah radang menjadi lancar, serta memberikan ketenangan dan kesenangan pada klien. Pemberian kompres dilakukan pada radang persendian, kekejangan otot, perut kembung, dan kedinginan (Potter & Perry, 2010).

Kompres dingin, lembab, dan kering adalah memberi rasa dingin pada daerah setempat dengan menggunakan kain yang dicelupkan pada air biasa atau air es sehingga memberi efek rasa dingin pada area tersebut. Tujuan diberikan kompres dingin adalah menghilangkan rasa nyeri akibat odema atau trauma, mencegah kongesti kepala, memperlambat denyutan jantung, mempersempit pembuluh darah dan mengurangi arus darah lokal. Tempat yang diberikan kompres dingin tergantung lokasinya. Selama pemberian kompres, kulit klien diperiksa setelah 5 menit pemberian, jika dapat ditoleransi oleh kulit diberikan selama 20 menit dengan suhu 15˚C. Kompres ini dapat dilakukan secara bersih

atau steril (Potter & Perry, 2012)

Kompres lembab kering. Faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih sensasi kering atau lembab yaitu tipe luka atau cidera, lokasi bagian tubuh dan peradangan.

(36)

drainasse. Kompres itu sendiri terbuat dari potongan dari balutan yag tipis yang dilembabkan dalam larutan yang hangat. Sedang balutan kasa atau bahan kaca yang dipasang di area tubuh yang besar.

Panas dari kompres hangat hilang secara cepat maka perlu mempertahankan suhu yang konstan, dengan cara perawat perlu mengganti kompresan sesering mungkin bisa juga dengan diberikan lapisan pemanas anti air pada kompres. Karena kelembaban menghasilkan panas, setiap pengaturan suhu harus lebih rendah untuk kompres lembab dibanding pemberian sensasi kering, panas yang lembab memberikan vasodilatasi dan evaporasi panas dari permukaan kulit (Potter & Perry, 2010)

2. Derajat suhu air untuk kompres (Wolf, 1984 dalam Ningsih, 2013)

a. Dingin sekali : dibawah 13˚C (55ᵒF) b. Dingin : 10 - 18˚C (50 - 65˚F) c. Sejuk : 18 - 26˚C (65 - 80˚F) d. Hangat kuku : 26 - 34˚C (80 - 93˚F) e. Hangat : 34 - 37˚C ( 93 - 98˚F) f. Panas : 37 - 41˚C (98 - 105˚F) g. Sangat panas : 41 - 46˚C (105 - 115˚F)

3. Keuntungan dan Kerugian Pemberian Kompres Hangat Lembab

a. Keuntungan :

(37)

2) Kompres lembab menyesuaikan diri dengan baik terhadap sebagian besar area tubuh.

3) Panas yang lembab masuk ke dalam lapisan jaringan panas lembab yang hangat tidak membuat keringat dan kehilangan cairan yang dapat dilihat.

b. Kerugian :

1) Paparan yang lama menyebabkan kemerahan pada kulit.

2) Panas yang lembab akan menjadi dingin dengan cepat karena evaporasi yang lembab.

3) Panas yang lembab menghasilkan resiko yang lebih besar terhadap kulit yang terbakar karena kelembaban menghasilkan panas.

4. Langkah-langkah untuk memberikan kompres hangat lembab (Potter &

Perry, 2010)

a. Peralatan

1) Larutan hangat yang dianjurkan pada suhu yang tepat.

2) Balutan tipis yang steril atau kompres yang sudah dipersiapkan. 3) Sarung tangan bersih

4) Alat anti air/perlak. b. Langkah-langkah

(38)

2) Lihat catatan medis untuk mengidentifikasi adanya kontra indikasi sistemik terhadap pemberian kompres hangat.

3) Cuci tangan.

4) Periksa kondisi kulit terbuka dan luka dimana perawat akan

memperikan kompres.

5) Kaji ekstremitas klien terhadap kesensitifan terhadap suhu dengan mengukurnya melalui sentuhan ringan dan sensasi suhu.

6) Siapkan alat dan persediaan.

7) Jelaskan langkah-langkah prosedur dan tujuan pada klien.

8) Jelaskan langkah-langkah pencegahan untuk mencegah luka bakar. 9) Menutup pintu dan tirai tempat tidur.

10) Membantu klien dalam menemukan posisi yang nyaman, sejajar dengan garis tubuh dan menempatkan alas anti air (perlak) dibawah area yang akan diobati.

11) Buka area tubuh yang mau diobati dengan kompres, dan bungkus klien dengan selimut (jika diperlukan).

12) Siapkan kompres

13) Bila menggunakan sumber panas, hangatkan larutan. (Perawat harus memeriksa suhu sebelum memberikan kompres pada lengan bawah klien).

(39)

15) Angkat lapisan kasa atau kain tipis yang dicelup, peras dari berlebihnya cairan, dan taruh pada luka. Dalam beberapa detik (5-20 detik), angkat tepi kasa untuk mengkaji tanda adanya kemerahan.

16) Setelah kompres dilakukan kita kaji kembali luka atau kondisi kulit dan

kemudian bilas dengan kain/kasa yang kering. 17) Kaji klien setelah dilakukan kompres.

(40)

F. Kerangka Teori Penelitian

G.

Gambar.2.2 Kerangka Teori Penelitian (Sumber : Potter & Perry 2010)

Terapi Intravena a. Lamanya

pemasangan infus

10 : Nyeri Sangat Hebat

(41)

H. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Variebal Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.3. Kerangka Konsep

I. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris (Nasir, Abdul, dan Ideputri, 2011). Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu “ Kompres lidah buaya lebih efektif daripada kompres air hangat dalam penurunan tingkat skala nyeri phlebitis”.

Teknik kompres: a. Kompres

Lidah Buaya (gel Aloe vera)

b. Kompres Air Hangat

Respon Nyeri

Variabel pengganggu:

a. Usia b. Jenis

Gambar

Tabel 2.1
Tabel 2.2 VIP Score (Visual Infusion Phleitis Score) oleh andrew
Gambar. 2.2 Numerical rating scales (NRS)
Gambar 2.3. Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjabaran kebutuhan, peneliti melihat adanya peluang untuk mengantisipasi timbulnya keluhan pada bagian tubuh tertentu dan untuk meminimalkan timbulnya rasa

berfungsi mengeluarkan air dari suatu areal perkebunan ke sungai alami atau ke lokasi yang rendahan, dan lainnya. Sistem drainse buatan di wilayah studi bervariasi

Hasil pengujian terhadap Batu Apung dan Batu Scoria yang berasal dari aliran sungai kali putih, gunung kelud yang terlebih dahulu di crushing, bahwa Batu Apung

Anda dapat menggunakan layar System BIOS (BIOS Sistem) untuk melihat pengaturan BIOS serta mengedit fungsi spesifik sebagai urutan booting, sandi sistem, sandi pengaturan,

29 Observasi yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini dilakukan di Baitul Maal Wat Tamwil Al- Falah Sumber guna memperoleh data dan informasi yang

Kencana, Jakarta, hlm.. memaksakan sebuah penyelesaian tertentu. Dari sini terlihat jelas perbedaan antara upaya damai melalui mediasi dengan upaya damai yang diatur

Sehingga berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan diatas dapat diketahui bahwa ternyata peranan pendidikan dalam masyarakat Kampung Naga masih kurang, tingkat

a).Personifikasi : majas yang membandingkan benda-benda tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat seperti manusia. Metafora : majas perbandingan yang diungkapkan secara