• Tidak ada hasil yang ditemukan

WINDA DWI HUDHANA BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "WINDA DWI HUDHANA BAB II"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian yang Relevan

Pada penelitian sebelumnya pernah dilakukan penelitian yang menggunakan kajian sosiologi sastra. Kajian tersebut berkaitan tentang gaya hidup. Penelitian tersebut dilakukan Fatma pada tahun 2008 dengan judul “Refleksi Gaya Hidup dan Sikap Hidup Remaja dalam Tiga Novel Remaja Seperti Bintang (Regina Feby, 2005), Impian Moira (Dewie Sekar, 2005), dan Cowok Nyebelin Banget! (Tryanee, 2006)”. Tujuan dari penelitian tersebut yaitu (1) Mengungkap gambaran gaya hidup remaja, yang tercermin dalam tiga novel remaja. (2) Mengungkap gambaran sikap hidup remaja dalam menghadapi persoalan hidup sehari-hari, yang tercermin dalam tiga novel remaja. Adapun unsur yang dteliti adalah dari segi tokoh akan ditemukan ciri dan karakter, serta penggambaran watak tokoh baik dari segi fisik maupun kejiwaan/mental. Dari segi alur ditemukan serangkaian peristiwa/kejadian yang diketahui dari beberapa masalah yang berhubungan dengan remaja. Sedangkan dari latar dapat diketahui berbagai macam tempat yang menjadi kebiasaan atau tempat yang melatari terjadinya berbagai masalah/kejadian.

(2)

memberikan gambaran tentang keberadaan konteks sosial dan historis dari teks-teks dalam novel Mr. Maybe menunjukkan bahwa Materialisme sebagai anak budaya gaya hidup. Selain itu novel ini sejelasnya mengungkap sindiran terhadap penyakit materialis yang hadir di kehidupan masyarakat kelas dominan.

Penelitian ini memiliki perbedaan dengan kedua penelitian tersebut. Perbedaannya terdapat pada tujuan, adapun tujuannya adalah dapat mendeskripsikan gaya hidup hedonis dan relasi gaya hidup tersebut dengan gaya hidup hedonis yang ada pada kehidupan nyata di masyarakat. Hasil yang akan diperoleh dari penelitian ini yaitu penggambaran gaya hidup hedonis setiap tokoh meliputi: 1) Agresifitas dan anarkisme, 2) Vandalisme dan Grafity, 3) Pola hidup konsumtif, dan 4) Geng. Kemudian penggambaran gaya hidup hedonis tersebut dihubungkan dengan realitas yang terjadi dimasyarakat.

Peneliti menarik simpulan bahwa penelitian ini perlu diadakan karena dalam penelitian sebelumnya belum pernah diulas mengenai aspek gaya hidup hedonis dan hubungannya dengan kehidupan nyata di masyarakat. Jadi, penelitian dengan judul “Gaya Hidup Hedonis dalam Novel Dan Hujan pun Berhenti Karya Farida Susanty”, layak untuk diteliti karena belum ada yang meneliti dan penelitian ini murni hasil penelitian saya sendiri.

B. Landasan Teori

1. Struktur Karya Sastra

(3)

pembangun sebuah karya sastra. Unsur-unsur tersebut juga merupakan sebuah rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.

Karya sastra sebagai sebuah struktur merupakan sebuah bangunan yang terdiri atas berbagai unsur yang satu sama lainnya saling berkaitan (Sangidu, 2004:16). Karena itu, apabila terjadi perubahan pada salah satu unsur struktur, mengakibatkan hubungan antarstruktur akan berubah. Unsur-unsur dalam karya sastra tersebut saling mempengaruhi satu sama lain sehingga memiliki kaitan yang erat.

Suatu struktur mempunyai tiga sifat, yaitu totalitas, transformasi, dan otoregulasi (Sangidu, 2004:15). Struktur novel merupakan totalitas, karena novel yang dibangun dari sejumlah unsur akan saling berhubungan dan saling menentukan sehingga novel tersebut menjadi suatu karya yang bemakna hidup.

(4)

a. Penokohan

Tokoh cerita (character), menurut Abraham (dalam Nurgiyantoro, 2010:165) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku dalam sebuah karya sastra. Pelaku dapat diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, dan lingkungan tempat tinggal (Sumarjo dalam Syafiruddin, 2011 dalam http://www.syafir.com). Pada sebuah karya sastra fiksi, karakter seorang tokoh dapat diketahui pula dari cara berbicara. Selain itu, dari adanya karakter tersebut dapat menunjukkan mengenai gaya hidup (life style).

Walaupun tokoh cerita “hanya” merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging yang mempunyai pikiran dan perasaan (Nurgiyantoro, 2010:167). Untuk itu, tokoh dalam sebuah cerita harus menggambarkan realitas kehidupan masyarakat sehingga mudah diterima oleh pembacanya. Apabila suatu tokoh bersikap dan bertindak lain dari penggambaran sebelumnya, hal tersebut merupakan sebuah kejutan, tetapi harus dipertanggungjawabkan dari segi plot.

b. Latar

(5)

fungsi psikologis sehingga setting pun mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya (Aminuddin, 1995:67). Setting tidak hanya menggambarkan terjadinya sebuah peristiwa, tetapi setting juga dapat menggambarkan suasana tokoh dalam sebuah karya sastra.

Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis (Aminuddin, 1995:67). Latar tempat merupakan latar yang mengacu pada tempat terjadinya suatu peristiwa dalam karya sastra. Latar waktu merupakan latar yang mengacu pada waktu terjadinya sebuah peristiwa. Latar peristiwa merupakan latar yanng mengacu terjadinya sebuah peristiwa atau yang lebih dikenal sebagai latar suasana.

Setting menurut Sumarjo (dalam Syafiruddin, 2011 dalam http://www.syafir.com) setting merupakan latar yang membantu kejelasan jalan cerita. Setting ini meliputi waktu, tempat, sosial budaya.

Menurut Abraham (dalam Nurgiyantoro 2010:216) Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

(6)

Perbedaan setting secara fisikal dan psikologis yaitu (1) setting yang bersifat fisikal berhubungan dengan tempat, misalnya kota jakarta, daerah pedesaan, pasar, sekolahan dan lain-lain, serta benda-benda dalam lingkungan tertentu yang tidak menuansakan makna apa-apa, sedangkan setting psikologis adalah setting berupa lingkungan tertentu yang mampu menuansakan suatu makna serta mampu mengajuk emosi pembaca. (2) Setting fisikal hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik, sedangkan setting psikologis dapat berupa suasana maupun sikap serta jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu. (3) Untuk memahami setting yang bersifat fisikal, pembaca cukup melihat dariapa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap setting yang bersifat psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran (Aminuddin, 1995:68-69).

Menurut Nurgiyantoro (2010:227), unsur latar dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

1) Latar Tempat

(7)

karya tersebut kurang diyakini. Pendeskripsian tempat yang teliti dan realistis ini penting dilakukan, agar pembaca terkesan dan seolah-olah hal yang diceritakan sungguh-sungguh terjadi.

2) Latar Waktu

Latar ini berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 2010:230). Masalah kapan terjadinya sebuah peristiwa dalam novel, biasanya dihubungkan dengan waktu faktual. Waktu tersebut dapat dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Persepsi pembaca mengenai waktu tersebut kemudian dibawa ke dalam suasana cerita. Sehingga pembaca dapat memahami dan menikmati cerita tersebut dan kemudian dapat dihubungkan dengan realitas kehidupan masyarakat. Adanya persamaan perkembangan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesankan pembaca seoah-olah peristiwa tersebut sungguh-sungguh terjadi.

3) Latar Sosial

(8)

2. Gaya Hidup Hedonis

Gaya hidup merupakan gambaran nilai moral orang tersebut dalam masyarakat di sekitarnya. Gaya hidup berkaitan erat dengan perkembangan zaman dan teknologi. Semakin bertambahnya zaman dan semakin canggihnya teknologi, maka semakin berkembang luas pula penerapan gaya hidup oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Wijonarko (2006 dalam http://www.jakartaconsulting.com) menyatakan bahwa, gaya hidup adalah frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu.

Menurut Sugono (2008:449) gaya adalah kesanggupan untuk berbuat. Dan Hidup adalah mengalami keadaan dengan cara yg tertentu (Sugono, 2008: 543). Jadi gaya hidup yaitu suatu kesanggupan atau sikap untuk mengalami suatu keadaan dengan cara tertentu.

(9)

Tetapi gaya hidup sering disalahgunakan oleh sebagian besar remaja. Apalagi para remaja yang berada dalam kota Metropolitan. Mereka cenderung bergaya hidup dengan mengikuti mode masa kini. Tentu saja, mode yang mereka tiru adalah mode dari orang Barat. Jika mereka dapat memfilter dengan baik dan tepat, maka pengaruhnya juga akan positif. Namun sebaliknya, jika tidak pintar dalam memfilter mode dari orang Barat tersebut, maka mereka akan terpengaruh negatif bagi mereka sendiri.

Hedonis yaitu filsuf yang berpendirian bahwa tujuan hidup manusia yang terutama ialah memperoleh kesenangan (Sugono, 2008:531). Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, dan berpesta merupakan tujuan utama hidup. Mereka beranggapan hidup ini hanya sekali, untuk itu mereka ingin menikmati hidup. Menurut pandangan mereka, hidup dijalani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas.

(10)

dalam konteks gaya hidup hedonis, kenikmatan dunia (kesenangan dunia) merupakan hal yang paling diutamakan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya hidup hedonis yaitu gaya hidup manusia yang hanya mengutamakan kesenangan. Manusia yang menganut gaya hidup hedonis, merupakan manusia yang hanya mengutamakan kesenangan. Mereka mengabaikan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh gaya hidup hedonis.

Faham hedonis sendiri berarti suatu pemikiran yang menjadikan tujuan utama dalam hidup yaitu kesenangan materi. Kesenangan yang memuaskan jiwa dan batin setiap manusia. Manusia harus bisa memilih keinginannya agar dapat mencapai kepuasan yang mendalam. Hedonisme yang hanya mencari kenikmatan materi demi kepuasan jiwa tidaklah sempurna sampai seseorang terjauh dari kehidupan spiritual yang dianggap mengekang manusia.

(11)

tersebut secara tidak langsung mendorong kaum hedonis untuk berperilaku konsumtif.

Sebagian besar masyarakat Indonesia telah menganut faham hedonis. Hedonis menjadi sebuah gaya hidup baru yang menarik bagi para pengikutnya. Hedonis telah memberikan dampak positif maupun negatif, dampak positif dari hedonis yaitu masyarakat dapat mengenal teknologi yang lebih maju dan dapat memanfaatkannya seoptimal mungkin. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan yaitu akulturasi. Gaya hidup hedonis memiliki beberapa bentuk antara lain:

a. Agresivitas dan Anarkisme

Perubahan sosial masyarakat Indonesia yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir cukup dramatis, yaitu perubahan masyarakat dari satu kondisi ekstrem ke kondisi ekstrem yang lainnya. Hal tersebut merujuk dari kondisi hanyut dalam kemewahan, gaya hidup, dan konsumerisme menuju kondisi lain yang ektrem berupa agresivitas dan anarkisme. Dua titik kondisi ektrem tersebut berlangsung dalam rentang waktu relatif singkat. Modernisasi dan pembangunan secara tidak langsung telah berpengaruh pada bangsa Indonesia sehingga telah kehilangan sesuatu yang sangat penting yaitu akal sehat dan kontrol diri. Mereka membiarkan diri mereka tenggelam dalam dua ekstremitas sekaligus (ektremitas kemewahan dan kekerasan) tanpa bisa mengendalikan diri (Zaprulkhan, 2012 dalam http://cetak.bangkapos.com).

(12)

sesuatu/seseorang merintangi tujuan individu tersebut (Halim, 2008:81). Agresivitas dapat muncul dalam bentuk verbal maupun fisikal. Dalam tingkat yang paling tidak melukai, agresivitas mucul dalam bentuk gosip dan yang paling parah adalah penyerangan fisik yang dapat menimbulkan kematian. Namun demikian, agresivitas dalam bentuk verbal bukan berarti tidak mampu melukai, bahkan sering kali agresivitas verbal dapat membunuh karakter orang lain. Makian, kata-kata kasar dan hinaan adalah hal-hal yang dapat membuat seseorang terluka dan efeknya jauh lebih menyakitkan dan akan lama menetap dalam ingatan seseorang daripada terkena lemparan batu atau pukulan.

Merujuk kepada agresivitas antar kelompok, sebagaimana sering terihat dalam perang antarwarga Jakarta, pada tingkat yang paling kronis perang tidak hanya terjadi antara warga dengan warga, tetapi sudah melebar menjadi warga melawan pelajar. Dalam hal ini, perilaku agresif sudah menjadi perilaku yang anarkis, yaitu yang sengaja diakukan dengan sadar sebagai perilaku perlawanan terhadap sistem/keadaan akibat frustasi yang terus-menerus. Puncak terparah dari tindakan anarkis dapat terlihat pada berbagai kerusuhan skala kota.

(13)

Baudrillard (2009:234) mengungkapkan bahwa, persoalan yang sebenarnya dari kekerasan muncul di tempat lain. Yaitu persoalan kekerasaan riil, tidak terkontrol, yang disebabkan kelimpahruahan dan jaminan sosial, sekali waktu mencapai batas tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa gaya hidup hedonis yang terjadi di masyarakat, gaya hidup hedonis dapat menimbulkan kecemburuan sosial dalam masyarakat khususnya dikalangan komunitas hedonis itu sendiri. Dimana kecemburuan sosial tersebut dapat melahirkan gosip-gosip yang kemudian berkembang menjadi isu. Isu-isu tersebut apabila mendapat tanggapan serius dari masyarakat dapat berdampak pada tindakan anarkis.

b. Grafiti dan vandalisme

Di samping potensinya dalam revitalisasi ekonomi dan budaya lokal, secara akademis sering kali mural yang berbentuk grafiti oleh para ahli psikologi lingkungan dikelompokkan ke dalam kategori budaya yang tidak diinginkan dan dilihat sebagai aktivitas yang bersifat subversif dan dipraktikkan oleh individu dengan mentalitas kriminal dan kurang menghormati orang lain serta sering merusak fasilitas publik dan properti pribadi. Dengan kata lain, grafiti secara visual mengancam kecantikan, kebersihan, dan keselamatan kota, serta secara simbolis justru mengancam aktivitas budaya (Halim, 2008:105)

(14)

mengutarakan agenda yang jelas atas hak mereka. Fiske (dalam Halim, 2008:106) mengatakan bahwa, istiah grafiti sendiri asalnya dari lingkungan penguasa, tetapi ditafsirkan lain oleh masyarakat jelata, suatu nomenklatur otoritarian yang mendefinisikan grafiti sebagai penanda-penanda ilegal pada dinding-dinding kota. Grafiti dimasukkan sebagai kejahatan sebagai sebuah bentuk pelanggaran terhadap undang-undang. Warga tidak diizinkan merusak dan mencorat-coret properti istana karena tidak elok dilihat. Para pemilik properti memandang grafiti sebagai ilegal, amoral dan merusak pemandangan. Zukin (dalam Halim, 2008:106) mengatakan, menurut mereka hal itu menandakan adanya aktivitas kriminal dan menandai kehadiran dari sebuah kedengkian dan permusuhan, serta menganggu estetika kapitalisme yang bersih dan teratur untuk mempromosikan konsumerisme.

(15)

Grafiti dan vandalisme memiliki perbedaan yaitu seni grafiti biasanya selalu dikerjakan dengan serius, rapi, indah, tematis, dan membutuhkan waktu pengerjaan serta keahlian tersendiri. Juga yang paling penting bisa terlepas dari beban-beban dogmatis dari komunitas tertentu. Kecuali sebagai bentuk ekspresi batin kreatornya saja (Mulyadie, 2010 dalam http://irvanmulyadie.blogspot.com).

Sedangkan aksi vandalisme tidak mempunyai aturan main yang jelas. Mereka secara sporadis mencoreng moreng dinding-dinding perkotaan dengan niatan untuk menunjukan identitas, atau semacam unjuk gigi kepada kawan dan lawan-lawannya mengenai keberadaan komunitasnya (Mulyadie, 2010 dalam http://irvanmulyadie.blogspot.com). Didalam aksinya, coretan-coretan tersebut hanya berupa logo, nama atau slogan komunitasnya yang dituangkan sembarangan.

Akibatnya, selain merugikan berbagai pihak dengan kesan kumuh yang ditimbulkan, juga dapat mengganggu ketertiban, keamanan dan kenyamanan masyarakat. Sebab berawal dari aksi vandalisme inilah seringkali memicu adanya aksi anarkis.

c. Pola Hidup Konsumtif

(16)

(boros), lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah.

Ritzer (2008:373) mengungkapkan bahwa, alat konsumsi dan fungsi mereka sepertinya cukup ramah, bahkan sangat positif. Tetapi, dilihat lebih dalam, alat konsumsi merupakan alat dengan keramahan dalam artian mudah untuk digunakan dan memudahkan pekerjaan, bukan ramah yang dapat menggiring dan merangsang konsumen untuk mengonsumsi menurut cara yang sangat menguntungkan bagi pabrik dan penjual. Misalnya shopping mall dan adanya katalog yang membujuk para konsumen untuk membeli barang yang tidak dibutuhkan. Jaringan TV shopping dan cybermall yang menayangkan produk-produknya membujuk para konsumen untuk membelanjakan uangnya lebih daripada semestinya dan bahkan membeli barang-barang yang tidak diperlukan. Ritzer (2008:374) juga mengungkapkan bahwa, alat konsumsi baru ini dan lainnya memungkinkan masyarakat melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, bahkan alat konsumsi juga mendesak mereka secara finansial, psikologi, materi untuk membeli lebih daripada yang mereka perlukan; membelanjakan uang lebih dari yang seharusnya.

(17)

Baudrillard (2009:XIX) mengungkapkam bahwa konsumsi yang berlebihan dan tidak bergunalah yang memungkinkan orang dan masyarakat merasa bahwa mereka ada, bahwa mereka sepenuhnya hidup. Masyarakat konsumsi beranggapan bahwa hasil-hasil produksi merupakan segalanya yang mampu membuat mereka sepenuhnya hidup. Mereka mengagungkan hasil-hasil produksi sebagai pahlawan produksi, yaitu sebagai penyelamat hidup mereka untuk terus bertindak konsumtif.

Ironisnya, pola hidup konsumtif ini juga telah mulai ditawarkan kepada anak-anak yang masih belia dengan menyediakan berbagai permainan ketangkasan dimana orang tua harus mengeluarkan puluhan ribu rupiah sekali main. Gaya hidup remaja metropolitan telah membuat mereka menjadi generasi yang sering berkeliaran. Hal ini tentu tidak lepas dari pengaruh globalisasi baik melalui media cetak maupun elektronik yang menampilkan gaya hidup dunia barat menjadi sebuah gaya hidup global dengan sebuah pesan bahwa jika mereka tidak melakukan apa yang dilakukan oleh anak-anak seusia mereka maka mereka akan ketinggalan zaman.

(18)

mabuk maka penderitaan jiwanya terlupakan untuk sementara. Setelah dia sadar dari mabuknya, maka sudah pasti masalah kesulitan hidup akan kembali terasa. d. Geng

Geng adalah kelompok atau gerombolan remaja yang terkenal karena kesamaan latar belakang sosial, sekolah, daerah dan sebagainya (Sugono, 2008:471). Bermacam-macam jenis geng di lingkungan sekitar, misalnya geng motor, geng punk, dan lain sebagainya. Ideologi yang sama dan sifat yang sama melatarbeakangi terbentuknya sebuah geng dengan alasan kenyamanan bersama dengan teman yang memiliki kesamaan nasib, daerah, sifat atau bahkan hobi.

Geng dianggap negatif oleh masyarakat karena melihat fakta-fakta yang ada dalam masyarakat bahwa geng sering berbuah keonaran. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Willis (2008:66) bahwa, saat ini geng remaja telah menjurus kepada hal-hal negatif, seperti perkelahian massal, minuman keras, memakai narkoba, melakukan kejahatan seks, dan perampokan. Contoh geng yang sempat menjadi sorotan yaitu geng nero, geng yang telah berbuat keonaran di masyarakat hingga beberapa anggotanya harus ditangkap dan dipenjara. Kaitanya dengan gaya hidup hedonis, banyak remaja yang membentuk komunitas atau geng sebagai media bersenang-senang seperti berpesta.

(19)

bertahan karena kehendak rakyat, kesenian lahir karena kehendak bangsa, seni populer ini lahir dan bertahan lebih karena kehendak media. Media dan konsumsi tersebut telah menggeser ikatan sosial yang semula mementingkan aspek moral dan kognisi dengan ikatan etika.

Kondisi modern jelas mempengaruhi kepribadian manusia (Sztompka, 2007:89). Kondisi modern yang dimaksud adalah gaya hidup modern yang kemudian memicu masyarakat untuk bertindak konsumtif. Tindakan tersebut dapat menimbulkan paham hedonis. Tidak hanya dalam masyarakat, dalam dunia sastra pun paham-paham hedonis sedang menjadi tema hangat sehingga banyak novel yang mengangkat tema tersebut.

3. Relasi Sastra dengan Masyarakat

Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa yang bersifat estetik (dalam arti seni), hasilnya berupa karya sastra, misalnya novel, puisi, cerita pendek, drama, dan lain-lain (Noor 2007:9).

(20)

dan sejumlah hasil tertentu yang dimaksud yaitu suatu hal yang berkaitan dengan karya sastra.

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek Werren, 1995:3). Kegiatan yang dimaksudkan oleh Wellek Warren adalah kegiatan untuk menghasilkan sebuah karya seni yang kreatif.

Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa sastra yaitu hasil kegiatan yang bersifat kreatif melalui bahasa yang diciptakan bukan pertama, melainkan penerus dari karya sebelumnya. Karya sastra yang diciptakan merupakan hasil imajinasi seseorang yang mendapatkan inspirasi dari karya sebelumnya. Karya sastra tersebut dituangkan melalui bahasa-bahasa yang indah.

Sastra dapat dipadang sebagai suatu gejala sosial (Sangidu, 2004:41). Sastra yang diciptakan oleh pengarang pada waktu tertentu, merupakan penggambaran situasi sosial pada masa itu. Sastra tidak hanya merekam kenyataan yang ada dalam masyarakat, tetapi merekam dan melukiskan kenyataan keseluruhannya. Karena itu, pengarang yang melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya tidak dapat mengabaikan begitu saja dengan masalah tersebut. Karya sastra merupakan tanggapan penciptanya terhadap realita sosial yang dihadapinya. Sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang (fakta individual atau libidinal), dan pengalaman sekelompok masyarakat (fakta sosial).

(21)

dihasilkan oleh pengarang merupakan sastra yang kompleks, karena ia berada dalam jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat. Pengarang melahirkan karya sastra yang berwujud novel atau lainnya merupakan manifes sosial. Manifestasi sosial yang berwujud karya sastra tidaklah lahir dengan cara sederhana, tetapi ia lahir dengan cara pengarang melakukan analisis data-data yang ada dalam kehidupan masyarakat terlebih dahulu, menginterprestasikan, mencoba menetapkan tanda-tanda penting, dan kemudian mengubahnya dalam bentuk tulisan (karya sastra). Dengan demikian, yang harus diperhatikan oleh pengarang adalah karya sastra harus dilahirkan dari sebuah observasi yang rasional dan pengalaman pengarang dari sebuah realitas sosial.

Seorang pengarang yang berkualitas tentu dapat melihat perkembangan masyarakat secara keseluruhan sehingga persepsinya terhadap realitas sosial yang telah dituangkan dalam bentuk karya sastra merupakan sastra yang sangat kompleks sehingga perlu ditafsirkan dengan cermat dan hati-hati. Dengan kata lain, sastra adaah bagian dari masyarakat yang dihasilkan oleh pengarang yang adalah anggota masyarakat. Oleh karena itu, latar belakang sosial pengaranglah yang perlu diperhatikan apabila sastra dinilai sebagai cerminan masyarakat.

Karya sastra mewakili kehidupan, kehidupan adalah kenyataan sosial yang dalam diri sastrawan dapat menjadi objek penciptaan karya sastra (Noor, 2007:49). Untuk itu karya sastra yang diciptakan bersifat sosial, yaitu norma-norma yang dapat tumbuh dalam masyarakat.

(22)

persoalan serta menentukan cara berkreasi sesuai dengan konsepnya. Sebaliknya, masyarakat juga mempunyai alasan untuk mengharap tanggung jawab sosial pengarang. Mungkin berupa kritik atau protes terhadap situasi dan kondisi sosial tertentu yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Pengarang merasa perlu bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakatnya. Persoalan penderitaan dan dilema masyarakat adalah miliknya. Oleh sebab itu, problem masyarakat sebenarnya juga problem karya sastra, karena karya sastra tidak hanya berfaedah bagi perseorangan tetapi juga berfungsi sosial.

Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman (Endraswara, 2008:89). Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang berupaya mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antar pengarang dan pembacanya. Pengarang sebagai seorang zender (pengirim pesan) akan menyampaikan berita zaman lewat cermin dalam teks kepada ontvanger (penerima pesan). Berarti bahwa karya sastra sekaligus merupakan alat komunikasi yang jitu.

(23)

Sastrawan dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat: seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya (Wellek Werren, 1995: 120). Kehidupan masyarakat banyak yang dipengaruhi oleh tokoh-tokoh hasil ciptaan seorang pengarang. Masyarakat banyak yang meniru gaya hidup tokoh-tokoh tersebut seperti gaya hidup mewah atau hedonis, gaya hidup konsumtif, bahkan bunuh diri yang sering digambakan dalam novel. Selain itu pengarang juga sering kali terpengaruh dengan adanya fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat zaman sekarang. Dengan latar belakang sebuah fenomena, pengarang terdorong untuk menciptakan sebuah karya sastra.

Berbeda dengan pendapat-pendapat mengenai sastra sebagai cerminan masyarakat yang diungkapkan oleh beberapa ahli sosiologi diatas. Faruk (2010:47) mengungkapkan bahwa gambaran mengenai manusia-manusia itu, relasi-relasi itu dan juga ruang dan waktu itu, lebih dipahami sebagai hasil rekaan belaka dari pengarang karya sastra sebagai individu, bukan sebagai sesuatu yang mengacu pada dunia sosial yang nyata. Hal tersebut merupakan hasil imajinasi pengarang, kalaupun dunia sosial yang tergambar dianggap mengacu pada kenyataan, kenyataan yang diacu bukanlah kenyataan sosial, melainkan kenyataan batiniah pengarangnya.

(24)

Referensi

Dokumen terkait

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial adalah latar yang.. menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial. masyarakat

Menurut Nurgiyantoro (2005: 227) unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok diuraikan sebagai berikut. a) Latar tempat adalah lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan

peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. 3) Latar sosial, menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan. perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu

Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan

Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan dapat berupa tempat-tempat dengan

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.. (3)

Latar tempat merupakan tempat terjadinya peristiwa – peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Latar tempat yang diceritakan dalam cerita anak karya

Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, tata cara kehidupan