• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERAN IMAM MASJID SEBAGAI WALI MUH}AKKAM DALAM PERNIKAHAN : STUDI KASUS DI MASJID AL-MU’AWANAH SIWALANKERTO SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERAN IMAM MASJID SEBAGAI WALI MUH}AKKAM DALAM PERNIKAHAN : STUDI KASUS DI MASJID AL-MU’AWANAH SIWALANKERTO SURABAYA."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERAN IMAM

MASJID SEBAGAI WALI MUH}AKKAM DALAM PERNIKAHAN

(

Studi Kasus di Masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya)

SKRIPSI

Oleh :

Rizal Arif Fitria NIM. C31212122

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan (field research) dengan judul

“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Peran Imam Masjid Sebagai Wali Muh}akkam

dalam Pernikahan (Studi Kasus di Masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya)”.

Judul tersebut bertujuan untuk menjawab permasalahan tentang bagaimana penyebab terjadinya peran imam masjid sebagai wali Muh}akkam dalam pernikahan dan Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap peran imam masjid sebagai wali

Muh}akkam dalam pernikahan yang terjadi di masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto

Surabaya.

Data penelitian dihimpun melalui wawancara (interview) dan dokumentasi

selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis untuk menganalisa data

yang berupa informasi, wawancara dalam bentuk bahasa narasi kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran sehingga dapat memberikan penilaian terhadap kebenaran tersebut. Teknik deskriptif tersebut menggunakan pola pikir deduktif yang merupakan pola berfikir dengan menggunakan analisa yang berpijak dari pengertian-pengertian atau fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan masalah khusus.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, peran imam masjid sebagai wali muh}akkam dalam pernikahan secara tegas tidak sah, baik secara hukum Islam maupun hukum positif. Seperti yang di jelaskan dalam Q.S. al-Baqa>rah: 232, Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1 tahun 1974 Jo Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, hal tersebut dilaksanakan oleh imam masjid karena kurangnya pemahaman secara universal dan konperhensif dalam hukum perkawinan.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, pihak orang tua seharusnya lebih hati-hati dalam pengontrolan dan pengawasan serta selalu berkomunikasi terhadap anak

perempuannya agar hal seperti ini tidak terjadi kembali karena banyak mud}arat

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 12

C. Rumusan Masalah ... 13

D. Kajian Pustaka ... 13

E. Tujuan Penelitian ... 15

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 16

G. Definisi Operasional ... 17

H. Metode Penelitian ... 18

I. Sistematika Pembahasan ... 21

BAB II KONSEP PERWALIAN DALAM HUKUM ISLAM ... 23

A. Konsep Wali dalam Hukum Islam ... 23

1. Pengertian Wali ... 23

2. Dasar Hukum Perwalian ... 28

3. Syarat Wali Nikah ... 33

4. Urutan Wali Nikah ... 34

5. Wali Muh}akkam dalam Hukum Islam ... 37

(8)

BAB III PERAN IMAM MASJID SEBAGAI WALI MUH}AKKAM DALAM

PERNIKAHAN... 42

A. Gambaran Umum tentang Obyek Penelitian ... 42

1. Kondisi Geografis ... 42

2.Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 43

3. Keadaan Sosial Budaya ... 44

4.Keadaan Sosial Keagamaan ... 45

B. Profil Masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya ... 46

C. Pelaksanaan Peran Imam Masjid Sebagai Wali Muh}akkam dalam Pernikahan di Masjid Al-Mu’wanah Siwalankerto Surabaya ... 48

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERAN IMAM MASJID SEBAGAI WALI MUH{AKKAM DALAM PERNIKAHAN .... 56

A. Analisis Penyebab Terjadinya Peran Imam Masjid Sebagai Wali Muh{akkam dalam Pernikahan ( Studi Kasus di Masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya) ... 59

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Peran Imam Masjid Sebagai Wali Muh{akkam dalam Pernikahan( Studi Kasus di Masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya) ... 65

BAB V PENUTUP ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Makhluk hidup di muka bumi ini diciptakan Allah secara

berpasang-pasangan, begitupun manusia diciptakan laki-laki dan perempuan. Manusia

diciptakan Allah dengan maksud dan tujuan, yakni beribadah kepada Allah

Swt sebagai sang Kholiq, beribadah dalam arti mengabdi kepada Allah Swt

secara keseluruan, baik secara pribadi maupun sebagai anggota dalam

masyarakat dan sebagai kesatuan makhluk dalam alam semesta.

Pernikahan merupakan sunatulla>h yang umum berlaku pada makhluk

Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan.1 Nikah merupakan

jalan alami yang paling baik, sehat dan sesuai untuk menyalurkan dan

memuaskan naluri seks, sehingga seseorang menjadi tenang dan terhindar

melakukan perbuatan haram.2 Hal itu ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa

Allah telah menciptakan segala sesuatu yang berpasang-pasangan, sebagai

mana firmanNya dalam surat Ya>sin ayat 36 :

 



 





 

 

  

Artinya: “Maha suci tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Q.S.Ya>sin :36)3.

1Sa’id bin Abdullah bin Thalib Al-Hamdani, Risalah Nikah ( Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 1.

2 Al-Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H), 10.

(10)

2

Dalam firmanNya surat al-Za>riyat ayat 49 juga disebutkan semua hal

diciptakan secara berpasang-pasang :

       

Artinya : “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasang supaya kamu

mengingat kebesaran Allah. “(Q.S. al-Za>riyat : 49).4

Adapun menikah bagi manusia sangat berbeda dengan makhluk lainnya, Allah tidak menganjurkan manusia begitu bebas dalam hal penyaluran syahwat, bahkan Allah Swt juga mengatur serta menentukan beberapa ketetapan yang berhubungan dengan kehormatan manusia memelihara kemuliyaan dan kesucian yaitu dengan cara melakukan pernikahan secara legal sesuai dengan ketentuan yang berlaku, ketentuan tersebut bisa menjadikan hubungan laki-laki dan perempuan sah dan

mendapat keridhoan Allah Swt disertai dengan kasih sayang dan ija>b qabu>l

sehingga bisa menyalurkan syahwatnya secara baik dan benar sesuai dengan aturan yang berlaku. Menikah juga dapat menjaga keturunan dari kerancauan nasab dan menjaga maratabat kaum perempuan dari seks bebas oleh para lelaki yang menggaulinya.

Menikah memiliki keutamaan yang sangat luar biasa, sebagaimana

firman Allah dalam surat al-Ru>m : 21, yang berbunyi :

                       

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. “( Q.S. al-Ru>m : 21)5.

(11)

3

Di negara Indonesia, persoalan yang berkaitan dengan perkawinan

telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi seluruh

warga Indonesia. Aturan yang dimaksud adalah UU No. 1 tahun 1974 dan

pelaksanaannya dalam bentuk PP No. 9 tahun 1975. Perundang-undangan ini

merupakan hukum materiil dari hukum perkawinan, sedangkan hukum

formilnya ditetapkan dalam UU No. 7 tahun 1989. Disamping semua itu ada

aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman hakim di lembaga peradilan

agama adalah Kompilasi Hukum Islam yang telah ditetapkan dan

disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam.6

Perkawinan yang dianjurkan dalam Islam adalah dalam rangka untuk

melakukan ibadah, bukan untuk melampiaskan kepuasan birahi dalam bentuk

melakukan seks saja. Oleh karena itu perkawinan merupakan ikatan yang

sangat kuat dan memiliki tujuan yang luhur, seperti halnya yang tertera

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 dan 3 menegaskan, perkawinan

menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang kuat (mitha>qan

qhali>z}on) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga

yang sa>kinah, mawaddah dan rah{mah.7

UU No. 1 Tahun 1974 juga menjelaskan bahwa perkawinan

merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

(12)

4

dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. 8Pernikahan bukanlah hal

yang sederhana, tidak cukup hanya berkumpulnya laki-laki dan perempuan

dalam sebuah keluarga, dalam pernikahan banyak sekali hal yang harus

dipahami dan dilalui. Mulai dari persiapan sebelum dilangsungkannya

pernikahan hingga setelah pernikahan.

Para ulama madzab sepakat bahwa pernikahan baru bisa dianggap sah

jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ija>b dan qabu>l antara wanita

yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antar pihak yang

menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya

semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.9Sahnya

pernikahan merupakan awal mula untuk membina dalam keutuhan

pernikahan tersebut sebagai ikatan yang sangat kuat.

Untuk mewujudkan kuatnya ikatan perkawinan dan mewujudkan

kehidupuan keluarga yang sa>kinah, mawaddah dan rah{mah., maka sejak awal

tata cara perkawinan diatur dengan syarat dan rukun tertentu. Membahas

mengenai rukun pernikahan para ulama’ fiqih berbeda pendapat, baik dalam

jumlah maupun jenisnya. Namun, dibalik itu semua, juga ada beberapa

kesamaan. Kemudian Ibnu Rusyd dalam Bida>yatu al-Mujtahid menerangkan

pula, Ulama berselisih pendapat, apakah wali menjadi syarat sahnya nikah

atau tidak? Berdasarkan riwayat Ashab, Imam Malik berpendapat bahwa

8 Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

(13)

5

tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah, pendapat

ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i.

Sedangkan Imam Abu Hanifah, Zufar, al-Sya’bi dan al-Zuhri berbeda

pendapat dengan pendapat para imam di atas, beliau beranggapan bahwa

apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa adanya wali, tetapi

calon suami dari wanita tersebut sebanding maka nikahnya itu boleh. Namun

Daud memisahkan\ antara gadis dan janda, ia mensyaratkan adanya wali pada

gadis dan tidak mensyaratkan perlu adanya wali pada janda. 10

Diantara pendapat para imam yang penulis uraikan adalah sebagai

berikut : Imam Malik berpendapat bahwa rukun nikah ada lima macam,

yaitu :11 Wali dari pihak perempuan, mahar (mas kawin), Calon pengantin

laki-laki, Calon pengantin perempuan, Si>ghat akad nikah. Senada dengan

Imam Malik, Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam,

yaitu12 : Calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali, dua

orang saksi, si>ghat akad nikah.

Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu hanya ija>b dan qabu>l saja

(yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin

laki-laki). Sedangkan menurut segolongan Hanafiyah yang lain rukun nikah

10 Ibn Rusyd, Bida>yatul Al-Mujtahid, Jilid II, Alih bahasa Abdurrahman, (Semarang: Asy Syifa,1990), 365.

(14)

6

itu ada empat, yaitu 13:Si>ghat (ija>b dan qabu>l), calon pengantin perempuan,

calon pengantin laki-laki, wali dari pihak calon pengantin perempuan.

Sehingga rukun pernikahan dalam Islam jika digabung kesemuanya

dari beberapa pendapat Imam madhab di atas adalah sebagai berikut :

1. Adanya calon suami istri yang akan melakukan pernikahan

2. Adanya calon wali dari mempelai wanita. Hal ini sesuai dengan hadis

Nabi Muhammad Saw :

اما

غب تحكن ةأرما

)ئاس لل اا ةعبراا هجرخا( لطاب اهحاك ف اهيلو نذا ر

Artinya : “Perempuan mana saja yang menikah tanpa seijin walinya, maka

pernikahannya batal”.14

3. Adanya dua orang saksi. Dalam rukun yang ketiga ini didasarkan kepada

dalil berupa hadits Nabi Muhammad Saw yang berbunyi :

د اشو يوب اا حاكن ا

)دما اور(لدع ى

Artinya : “Tidak sah nikah seseorang tanpa adanya wali dan saksi yang

adil”.15

4. Adanya mahar.16

5. Si>ghat akad nikah berupa ija>b qabu>l.

Masing-masing dari rukun di atas ada syarat yang diberikan.

Namun, dalam hal ini peneliti hanya fokus pada rukun pernikahan yang

berupa wali. Tidak lepas dari salah satu rukun nikah di atas yaitu wali,

13 Ibid., 47

14Ibnu Rusyd, Bidayatu al-Mujtahidwa Niha>yatu al-Muqtashid Juz II, (Beirut : Dar al-Fikri,t.t.,). 7

15Ibid.,9

(15)

7

adanya wali bukanlah hal yang remeh melainkan sangat berperan penting

dalam menentukan keabsahan ikatan perkawinan, seperti yang disabda

Rasulullah Saw yang artinya dari Abi Musa bahwasanya Nabi Saw bersabda,

tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali (HR. Abu Daud ).17

Hadis lain yang seirama dengan hadis di atas yang artinya, dari

Aisyah berkata, bersabda Rasulullah Saw, siapa saja wanita yang dinikahkan

dengan tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal beliau mengulanginya tiga

kali. Jika lelakinya telah menyetubuhinya, maka ia berhak atas maharnya,

karena ia telah menghalalkan kehormatannya, jika pihak wali enggan

menikahkan, maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seorang yang

tidak ada walinya. (HR. Abi Daud).

Pengertian wali dalam arti umum, wali mempunyai banyak arti antara

lain adalah : Wali adalah orang yang menurut hukum dapat diserahi

kewajiban untuk mengurus, mengasuh, memelihara, mengawasi dan

menguasai suatu persoalan. Perwalian disebut juga wilayah yang berarti

penguasaan dan perlindungan. Dalam definisi lain dijelaskan wali adalah

Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi mengurus anak yatim

serta hartanya, sebelum anak itu dewasa. 18 Pengertian wali dalam Negara

bisa berarti Kepala Pemerintah.19

17 Imam Abi Daud Sulaiman ibn al-Asy’ari al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Jilid 2, (Surabaya : Maktabah Dahlan, t.t.). 229

18 Abdul Roman Ghozali, Fiqih Munakahat, ( Jakarta: Kencana, 2003), 165

(16)

8

Pengertian di atas tentu saja disesuaikan dengn konteks kalimat yang

digunakan. Sedangkan menurut istilah, wali adalah pertanggung jawaban

tindakan, pengawasan oleh orang dewasa yang cakap terhadap orang yang

ada di bawah umur dalam hal pengurusan diri pribadi seseorang dan harta

kekayaan. Sedangkan pengertian wali dalam konteks pernikahan adalah

pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan

janji nikah dengan pengantin laki-laki).20

Adanya perwalian sangatlah penting karena wali menentukan

keabsyahan nikah, namun wali disini tidak bersifat kaku melainkan bersifat

fleksibel. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bagian ketiga membahas

tentang wali nikah secara detail, sebagaimana yang ada dibawah ini :

Wali Nikah Pasal 19

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Pasal 20

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang

memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari ;

a. Wali nasab;

b. Wali hakim.

jika tidak ada wali nasab yaitu terdiri dari empat urutan dalam

kedudukan kekerabatan dengan calon mempelai perempuan, empat

kedudukan itu diantaranya adalah, pertama, garis lurus ke atas yakni, ayah,

kakek dan seterusnya ke atas. Kedua, jalur kerabat saudara laki-laki

(17)

9

kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunannya. Ketiga, kelompok

kerabat paman, yakni saudara laki kandung seayah dan keturunan

laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki-laki-laki kandung kakek, saudara

laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.21 Jika dari wali nasab tidak

ada atau adanya wali nasab namun wali nasab tersebut enggan untuk

menikahkan putrinya (wali Ad}al), maka alternatif lain ia bisa menikah

menggunakan wali hakim.

Wali hakim tidak serta merta bertindak menjadi wali melainkan harus

mengetahui adanya wali nasab atau tidak, seperti apa yang dituturkan pasal

23 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, wali hakim baru

bisa bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak

mungkin mengghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghoib

atau ad{al atau enggan. Dalam hal ini ad{al atau enggan maka wali hakim baru

dapat bertindak setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali

tersebut.22

Wali hakim adalah wali yang ditunjuk oleh menteri agama atau

pejabat yang ditunjuk olehnya. Namun dalam prakteknya pernikahan yang

terjadi di masyarakat juga menggunakan wali hakim, istilah lain masyarakat

menyebutnya wali muh{akkam, wali hakim (muh{akkam) dalam pernikahan

merupakan wali yang ditunjuk oleh kedua belah mempelai baik laki-laki

ataupun perempuan, dalam hal penunjukan biasanya mereka menunjuk

21 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992), Pasal 21 ayat 1

(18)

10

seorang tokoh masyarakat atau pemuka agama (imam masjid) yang

menurutnya mengetahui dalam seluk beluk agama untuk menjadi wali dalam

pernikahan mereka.23

Pernikahan menggunakan imam masjid sebagai wali muh}akkam ini

bertentangan dengan undang-undang perkawinan Indonesia yang telah ada,

karena wali hakim dalam pernikahan adalah wali yang ditunjuk, diangkat

oleh negara, dan mendapat penetapan dari pengadilan agama. Namun dalam

kasus yang penulis tuangkan dalam skripsi ini wali hakimnya ditunjuk oleh

kedua mempelai, dalam hal ini adalah seorang imam masjid Al-Mu’awanah

Siwalankerto Surabaya yang mereka anggap bisa dan mampu untuk menjadi

wali dalam pernikahan mereka, padahal ditempat tersebut ada wali hakim

yang benar berwenang, dalam hal ini petugas KUA setempat yang

berwenang.

Pernikahan bawah tangan dengan menggunakan wali muh{akkam

dikalangan masyarakat masih sering terjadi, mereka beranggapan bahwa

pernikahan yang dilakukan dengan ditangani oleh seseorang yang dianggap

alim (‘ulama), seperti pemuka atau guru agama, imam masjid atau seseorang

yang dianggap mengetahui hukum-hukum Islam adalah sah. Para calon

suami istri sudah berstatus duda atau janda, atau dalam perkawinan

poligami, yang berhalangan nikah secara resmi karena walinya enggan atau

halangan lainnya, mereka memilih nikah dengan menggunakan wali

muh{akkam. Secara umum pria yang menikah dengan menggunakan wali

23 Deprtemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat

(19)

11

muh{akkam ini ada orang awam, begitu pula perempuannya dari kalangan

orang biasa .

Walaupun demikian kelihatannya mereka para calon mempelai kurang

mengetahui hukum secara jelas, sehingga cenderung mencari jalan pintas dan

mudah saja dalam melangsungkan pernikahan, tanpa memikirkan implikasi

hukum dan sosialnya di kemudian hari. Pernikahan yang penulis teliti terjadi

di masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya, jika memang pasangan

suami istri yang akan menikah menggunakan wali muha{kkam harus

memenuhi salah satu syarat yang diberikan oleh imam masjid

Al-Mu’awanah, syarat itu adalah jarak antara calon mempelai perempuan

tempat ia menikah dengan jarak wali nasabnya adalah satu safar atau 16

farsakh. Jika jarak ini sudah memenuhi maka pernikahan bisa dilangsungkan

dengan mengangkat imam masjid sebagai wali dalam pernikahan mereka.

Pasangan suami istri yang menikah dan menunjuk imam masjid

sebagai wali muh{akkam adalah mereka yang bukan merupakan warga

setempat, melainkan warga luar daerah yang dengan alasan tertentu ingin

segera dinikahkan. Padahal di berbagai daerah ini sudah ada wali hakimnya,

yaitu Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) atau petugas yang ditunjuk.

Maka dengan alasan yang telah dipaparkan panjang lebar di atas, sekiranya

perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di

atas. Permasalahan ini akan dibahas dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Peran Imam Masjid Sebagai Wali Muh{akkam dalam

(20)

12

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Beberapa masalah telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di

atas, oleh karena itu penulis mengidentifikasikan inti permasalahan ini

adalah sebagai berikut :

1. Konsep perwalian dalam hukum Islam.

2. Dasar hukum wali.

3. Syarat menjadi wali dalam pernikahan.

4. Kududukan wali dalam pernikahan.

5. Urutan wali dalam pernikahan.

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dengan wali

Muh}akkam yang terjadi di Siwalankerto Surabaya.

7. Pandangan hukum Islam mengenai imam masjid sebagai wali

muh{akkam dalam perkawinan yang terjadi di masjid Al-Mu’awanah

Siwalankerto Surabaya.

Adanya permasalahan di atas, maka untuk memberikan arah yang jelas

dalam penelitian ini penulis membatasi pada masalah-masalah sebagai

berikut :

1. Penyebab terjadinya imam masjid sebagai wali muh}akkam dalam

pernikahan yang terjadi di masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto

(21)

13

2. Tinjauan hukum Islam terhadap imam masjid sebagai wali muh}akkam

dalam pernikahan yang terjadi di masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto

Surabaya.

C. Rumusan Masalah

Agar jelas dan praktis, maka permasalahan-permasalahan ini akan

penulis rumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana penyebab terjadinya pernikahan dengan Imam Masjid

sebagai wali muh}akkam yang terjadi di masjid Al-Mu’awanah

Siwalankerto Surabaya?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap peran imam masjid

sebagai wali muh}akkam dalam pernikahan yang ada di masjid

Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya?

D. Kajian Pustaka

Perkawinan bawah tangan di Indonesia bukanlah hal baru lagi di

masyarakat, kajian pustaka pada kasus ini adalah untuk mendapatkan

gamabaran hubungan topik yang akan penulis paparkan dengan penelitian

sejenis yang mungkin pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya

sehingga diharapkan tiadak ada pengulangan materi penelitian.

Adapun penelitian terdahulu yang pernah dilakukan para peneliti

(22)

14

1. Peran Kiai Sebagai Wali Muh}akkam (Studi Kasus di Desa Sukabumi,

Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo), Skripsi Alwi Sihab UIN

Maulana Malik Ibrahim Malang, hasil penelitian menunjukkan bahwa

peran kiai sebagai wali muh{akkam dipergunakan oleh mempelai

pengantin dengan pertimbangan hamil prapernikahan, kawin lari, masalah

poligami, tidak memenuhi syarat undang-undang serta ekonomi.24

2. Analisis Putusan Mengenai Perkara Peralihan Perwalian Dari Wali Nasab

Kepada Wali Hakim Karena Wali Adhal (Studi Kasus Putusan Nomor

58/Pdt.P/2010/Pa Mks.) Skripsi Indra Fani UNHAS Makasar, hasil

penelitian ini menjelaskan tentang dasar & pertimbangan hukum

majelis hakim dalam menetapkan wali ad{al, cara penggugat bermohon

pada Pengadilan Agama Makassar untuk peralihan dari Wali Nasab ke

wali hakim karena wali ad{al serta proses penyelesaian perkara wali ad{al di

Pengadilan Agama Makassar25.

3. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Pernikahan Dengan

Menggunakan Wali Hakim Karena Orang Tua Di luar Negeri (Studi

Kasus di Desa Dampul Timur Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang).

Skripsi M. Wadis UINSA Surabaya. yang intinya praktik yang terjadi di

Desa Dampul Timur Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang merupakan

sebuah pernikahan di mana dalam perwaliannya sang mempelai

24Alwi Sihab, “Peran kiai Sebagai Wali Muh{akkam Studi Kasus di Desa Sukabumi, Kecamatan

Mayangan, Kota Probolinggo”(Skipsi UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2013),t.h.

25Indra Fani, “Analisis Putusan Mengenai Perkara Peralihan Perwalian dari Wali Nasab kepada

Wali Hakim karena Wali Ad}al Studi Kasus Putusan Nomor 58/Pdt.P/2010/PA Mks”(Skripsi

(23)

15

perempuan wali nasabnya di luar negeri, sehingga dalam proses

pernikahan seorang wali nasab tidak bisa hadir dalam pernikahan tersebut

karena uz}ur, yaitu jarak yang tidak memungkinkan. Maka dari itu, dalam

menikahkan anaknya langsung diwalikan ke hakim yang menikahkan

untuk menikahkan anaknya dengan tanpa mengikuti urutan wali nasab

sebelumnya.26

Dari kajian pustaka di atas penelitian penulis berbeda, letak

perbedaannya adalah tentang seorang imam masjid yang biasa menjadi

wali muh}akkam walaupun wali dari calon mempelai perempuan ada.

Keberadaan wali dari calon mempelai perempuan tidak diinformasikan

bahwa calon mempelai perempuan akan melangsungkan pernikahan

karena kendala jarak yang teramat jauh, kemudian calon mempelai

perempuan menunjuk imam masjid untuk bertindak sebagai walinya yang

disebut wali muh{akkam, hal ini bisa dilangsungkan jika jarak antara wali

muh{akkam dan wali nasab lebih satu shafar atau 16 farsakh.

E. Tujuan penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang tersebut di atas, maka tujuan dari

penelitian ini adalah :

26 M. Wadis, “Analisis Hukum Islam terhadap Praktik Pernikahan dengan Menggunakan Wali

Hakim karena Orang Tua di Luar Negeri di Desa Dampul Timur kecamatan Jrengik Kabupaten

(24)

16

1. Mengetahui penyebab terjadinya peran imam masjid sebagai wali

muh}akkam dalam pernikahan yang ada di masjid Al-Mu’awanah

Siwalankerto Surabaya.

2. Mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap peran imam masjid sebagai

wali muh{akkam dalam pernikahan yang ada di masjid Al-Mu’awanah

Siwalankerto Surabaya.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat untuk hal-hal

sebagai berikut :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan pembaca

pada umumnya, dan khususnya bagi mahasiswa yang berkecimpung

dibidang Ahwal al-Syaksiyah yang berkaitan dengan perwalian dalam

pernikahan.

2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

inspirasi pada umat Islam khususnya di Indonesia serta memberikan

pemahaman pada masyarakat Islam bahwa pernikahan itu harus

dicatatkan dan jika tidak ada wali nasab maka bisa menggunakan wali

(25)

17

G. Definisi Operasional

Untuk memperjelas arah pembahasan masalah yang diangkat. Maka

penulis perlu memberikan definisi dari judul tersebut, yakni dengan

menguraikan sebagai berikut :

1. Hukum Islam

Seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah rasul

tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini, berlaku

untuk mengikat semua umat yang beragama Islam.27 Dalam hal ini

hukum Islam adalah al-Qur’an, sunnah, Qawl Fuqaha.

2. Imam Masjid

Imam merupakan sebuah posisi pemimpin dalam agama Islam. 28

Masjid adalah rumah atau bangunan tempat bersembahyang orang

Islam.29 Imam masjid yang penulis maksud adalah orang yang menjadi

pemimpin dari para jama’ah untuk melaksanakan sholat wajib yang ada

di masjid Al-Mu’awanah yang ada di Siwalankerto Surabaya.

3. Wali Muh{akkam

Seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami istri untuk

bertindak sebagai wali dalam pernikahan mereka.30karena alasan tidak

adanya wali nasab, atau bahkan wali nasab enggan menjadi wali saat

27 Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam,(Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004), 12 28 Setya Nugraha, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya : Karina, t.t.,), 250

29 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ke-3 edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), t.h._

(26)

18

pernikahan kedua mempelai, kedua calon mempelai cenderung

mempercayakan tokoh masyarakat, atau tokoh agama (imam masjid)

untuk dijadikan sebagai wali muh{akkam dalam melangsungkan

pernikahan mereka.

H. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Terkait dengan rumusan masalah di atas, data yang dikumpulkan

adalah sebagai berikut :

a. Data yang terkait tentang peran imam masjid sebagai wali

muh}akkam dalam pernikahan di masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto

Surabaya.

b. Data yang terkait mengenai pernikahan dengan wali muh}akkam

menurut hukum Islam.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sumber data primer

dan sekunder, yang akan dijabarkan sebagai berikut :

Sumber primer yang merupakan sumber data utama dalam

penelitian ini adalah keterangan dari wawancara antara lain :

a. Imam masjid yang bertindak sebagai wali muh{akkam.

b. Ta’mir Masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya.

Sedangkan sumber sekunder yaitu dari literatur dan buku-buku

(27)

19

yang ada hubungannya dengan judul skripsi yang diteliti. Adapun buku

yang dijadikan sumber data skunder adalah sebagai berikut :

1. Fiqh as-Sunnah, karya sayyid Sabiq

2. Bida{yatul al-Mujtahid wa niha{yah al-Muqtas{id, karya Ibn Rusyd

3. Al-Fiqh ‘ala Madha}hibil al-Arba’ah, karya Abdurrahman al-Jaziri

4. Risalah Nikah, Karya Sa’id bin Abdullah bin Thalib al-Hamdani

5. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, karya Amir Syarifuddin.

6. Fiqih Lima Madzab, karya Muhammad Jawad Mughniyah

7. Fiqh Munakahat, karya Abdul Rahman Ghozali

8. Hukum Perkawinan Islam, karya M. Idris Ramulyo

9. Pokok-pokok Materi Metodelogi Penelitian dan Aplikasinya, karya

M. Iqbal Hasan

3. Teknik Pengumpulan Data

Interview

Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengajukan

pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden atau

informan yang sesuai dengan topik penelitian.31

Metode ini dilakukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan

yakni pelaku yang bertindak sebagai wali muh}akkam dalam

pernikahan, saksi yang mengetahui prosesi pernikahan tersebut, serta

(28)

20

ta’mir masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya tempat

berlangsungnya pernikahan.

4. Teknik Pengolahan Data

a. Editing

Adalah usaha merapikan data yang awalnya belum tersusun rapi

dan membuat penulisan skripsi menjadi lebih terstruktur mudah

untuk dipahami.

Teknik ini digunakan penulis untuk memeriksa kelengkapan yang

sudah penulis dapatkan dari sumber utama yakni Imam masjid

Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya.

b. Organizing

Adalah suatu proses dimana pelaksanaan suatu tujuan tertentu

dilaksanakan dan diawasi. Pelaksanaan tersebut berada di masjid

Al-Mu’awanah Siwalanketo Surabaya. Dalam rangka memaparakan apa

yang telah dirancang sebelumya untuk memperoleh bukti-bukti dan

gambaran secara jelas tentang pernikahan menggunakan wali

Muh{akkam.

c. Analizing

Adalah melakukan analisa/tinjauan hukum terhadap hasil

pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah, teori, dalil

hingga diperoleh kesimpulan akhir sebagai jawaban dari

permasalahan yang dipertanyakan.

(29)

21

Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut

dapat ditafsirkan, setelah data yang diperlukan terkumpul, maka penulis

akan menganalisis data tersebut dengan menggunakan metode analisis

deskriptif yaitu menyajikan data dalam bentuk narasi yang saling

berkaitan dan mempunyai bobot yang memadai.

Demikian pula penulis gunakan cara berpikir ilmiah yang

berangkat dari kesimpulan yang umum menuju yang khusus (deduktif),

dengan menjelaskan aturan-aturan dalam hukum Islam tentang

pernikahan dengan wali muh{akkam, kemudian digunakan untuk

menganalisis hal-hal yang bersifat khusus yaitu yang terjadi di

Siwalankerto Surabaya.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan jaminan bahwa pembahasan yang termuat dalam

penulisan ini benar-benar mengarah kepada tercapainya tujuan yang ada,

maka peneliti membuat sistematika sebagai berikut :

Bab pertama berisi tentang Pendahuluan. Pada bab ini meliputi : latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil

penelitian, definisi operasional, metode penelitian, teknik pengumpulan data,

teknik pengolahan data, metode analisis data dan sistematika pembahasan.

Bab kedua tentang landasan teori, bab ini membahas tentang konsep

perwalian dalam hukum Islam, dasar hukum perwalian, macam-macam wali,

(30)

22

Islam, macam-macam wali nikah, konsep wali Muh}akkam. Hal ini yang

nantinya digunakan sebagai pisau analisis tinjauan hukum Islam dalam

menganalisis tentang wali muhakam dalam pernikahan, hal ini mengacu pada

al-Qur’an, as-Sunnah, Qawl Fuqaha, Kompilasi Hukum Islam dan UU no 1

tahun 1974 tentang perkawinan.

Bab ketiga berisi tentang pembahasan. Dalam hal ini dibahas tentang

profil kelurahan Siwalankerto, keadaan masjid diberlangsungkannya

pernikahan dengan wali muh{akkam, dan praktik peran imam masjid sebagai

wali Muh}akkam dalam pernikahan.

Bab keempat berisi analisis, dalam bab ini berisi tentang ulasan

analisis tentang praktik peran imam masjid sebagai wali Muh}akkam dalam

pernikahan dan analisi hukum Islam terhadap peran imam masjid sebagai

wali muh}akkam dalam pernikahan.

(31)

BAB II

KONSEP PERWALIAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Konsep Wali dalam Hukum Islam

Perwalian dalam pernikahan memang harus ada karena menentukan

keabsahan ikatan sakral yang akan dijalani, ikatan sakral ini bukan hanya

sekedar formalitas saja melainkan harus memiliki tujuan yang jelas, tujuan

dari pernikahan adalah mewujudkan keluarga yang saki>nah, mawaddah, dan

rah}mah. Adapun untuk mewujudkan tujuan dari pernikahan penulis

memaparkan konsep pernikahan menurut hukum Islam adalah sebagai

berikut :

1. Pengertian wali

Perwalian dalam istilah bahasa adalah wa>li yang berarti menolong

yang mencintai.1 Kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak dari

awliya>. Kata ini berasal dari bahasa arab yang berarti teman, klien, sanak

atau pelindung. Dalam literatur fiqih Islam disebut dengan al-wala>yahi

(alwila>yah), orang yang mengurus atau yang menguasai sesuatu. 2

Perwalian dalam istilah fiqih disebut wila>yah, yang berarti penguasaan

dan perlindungan. Seperti dalam penggalan ayat, “wa man yatwallallaha

1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawir, (Jogjakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir,

1984), 1960.

2 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo

(32)

24

wa rasu>lahu” dan kata “ba’d}uhum awliya>’u ba’d}in. Ayat 61 Surat

At-Tawbah juga berarti kekuasaan atau otoritas (as-Sult{ah wal-Qudrah).

Adapun perwalian dalam terminologi para fuqaha>’ (pakar hukum Islam),

seperti disebutkan Wahbah al-Zuhayli ialah kekuasaan/otoritas yang

dimiliki seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan

sendiri tanpa harus bergantung pada izin orang lain. Jadi perwalian

menurut fiqih ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada

seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. Orang

yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali.3

Untuk memperjelas pengertian tentang perwalian, maka penulis

memaparkan beberapa pengertian antara lain, perwalian yang berasal

dari kata wali mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua

yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau

belum akil baligh dan melakukan perbuatan hukum.4 Sedangkan menurut

Amin Suma perwalian adalah kakuasaan atau otoritas (yang dimiliki)

seseorang untuk secara langsung melakukan tindakan sendiri tanpa harus

bergantung ( terikat ) atas izin orang lain.5

Sedangkan menurut Dedi Junaedi, perwalian dalam Islam dibagi

menjadi dua kategori yaitu : Perwalian umum biasannya mencakup

3 Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-undang Perkawinan, (Undang-Undang no. 1 tahun

1974 tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 1986), 41.

4 Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum

Islam dan Hukum Adat, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2002), 60

5 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo

(33)

25

kepentingan bersama (bangsa atau rakyat) seperti waliyul amri> (dalam

arti Gubernur atau yang lainnya). Sedangkam perwalian khusus ialah

perwalian terhadap jiwa dan harta seseorang, seperti terhadap anak

yatim.6Sayyid sabiq juga mengklasifikasikan wali menjadi dua golongan,

menurutnya wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan

pada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, selanjutnya menurut

beliau wali ada yang khusus dan ada yang umum, yang khusus adalah

yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya.7

Berbeda dari pengertian di atas, kamus praktis bahasa Indonesia,

wali berarti orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban

mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa atau

pengasuh pengantin perempuan pada waktu nikah (orang yang

melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).8Senada dengan

Kamus besar bahasa Indonesia, Ali Afandi menuturkan perwalian adalah

pengawasan pribadi dan pengurusan terhadap harta kekayaan seorang

anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada dibawah kekuasaan

orang tua. Jadi dengan demikian anak yang orang tuannya telah bercerai

atau salah satu dari mereka meninggal dunia, ia berada dibawah

perwalian.9

6 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, (Jakarta : Akademika Pressindo. Cet pertama, 2000),

104.

7 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 7, (Bandung,: Al ma’arif, 1980), 7.

8 Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1996), 176.

9 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Kleuarga, Hukum Pembuktian, ( Jakarta: Rineka Cipta,

(34)

26

Muhammad jawad al-Mugniyah memberi pengertian wali adalah

seorang yang diberi kewenangan atau kekuasaan secara syar’i atas

segolongan manusia, hal tersebut dikarenakan adanya kekurangan

tertentu pada orang tertentu.10 Sedangkan Abdur Rahman al-Jaziri dalam

kitabnya fiqih ‘ala> madzahibil ‘arba’ah mendefinisikan wali dalam nikah

bahwa :11

ْ اَْول

ْي ل

ْ

ْ فْ

ْيلا

َْك

ْ حا

ُْْ

َْوْ

ْ لاْ ذ

ْ ى

َْْ يَْ ل

َْوْ ق

ُْف

َْْعَْل

ْ يْ هْ

ْ ص

ْ ح

َْةْ

ْ لاَْع

ْ قْ د

َْْف

َْل

َْْي

ْ ص

ُْح

ْْ ب

ُْدْ وْ

نْ هْ

َْوُْ

وْ

ْ اََْ

ُْب

َْاْ وَْو

ْ ص

ْ يُْةْ

َْوْ لاَْق

ْ رْ ي

ُْب

ْْ ا

َْعل

ْ صا

ُْب

ْْ لا

ُْمْ عْ

لُْقْ

َْو

ُْسلا

ْ لَْط

ُْنا

َْْوْ لا

َْمْ لا

ُْك

Artinya :”Wali dalam nikah adalah orang yang mempunyai puncak kebijaksanaan atas keputusan yang baginya menentukan sahnya akad (pernikahan), maka tidaklah sah suatu akad tanpa dengannya, ia adalah

ayah atau kuasanya dan kerabat yang melindungi, mu’tik, sultan dan

penguasa yang berwenang.”

Mustofa Hasan seirama dengan pernyataan dari Abdur Rahman al-Jaziri,

beliau menyatakan wali dalam nikah adalah orang yang berhak

menikahkan karena adanya pertalian darah secara langsung dengan pihak

mempelai perempuan.12

Jadi wali dalam nikah adalah seorang laki-laki yang berwenang

untuk menikahkan calon mempelai putri akibat hubungan darah, yang

berhak menjadi wali adalah kelompok kerabat laki-laki lurus ke atas

(ayah, kakek dan seterusnya), kelompok kerabat saudara laki-laki

kandung atau saudara laki-laki seayah, kelompok kerabat paman

10 Muhammad Jawad al-Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, ( Jakarta: Lentera, 2011), 345.

11 Abdur Rohman al-Jaziri, Fiqih ‘Ala Madzahibil Arba’ah, Jilid 4 Kairo: Darul Haditst, 2004),

26.

(35)

27

(saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan seterusnya), dan

kelompok saudara laki-laki kandung kakek.

Menurut hukum Islam perwalian terbagi dalam tiga kelompok. Para

ulama mengelompokan perwalian sebagai berikut :

1. Perwalian terhadap jiwa ( al-wala>yah ‘alan-nafs );

2. Perwalian terhadap harta ( al-wala>yahalal-ma>l );

3. Perwalian terhadap jiwa dan harta ( al-wala>yah ‘alan-nafsi wal-ma>li

ma’an).

Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-wala>yah ‘alan-nafs,

yaitu perwalian yang bertalian dengan pengawasan ( al-ishra>f ) terhadap

urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga. Hal ini

berdasarkan pengertian semantik, kata wali dapat dipahami alasan hukum

Islam menetapkan ayah sebagai orang yang paling berhak untuk menjadi

wali dalam kepentingan anaknya, karena ayah adalah orang yang paing

dekat, siap menolong, serta mengasuh dan membiayai anak-anaknya. Jika

tidak ada ayahnya barulah hak perwaliannya digantikan oleh keluarga

dekat lainnya dari pihak ayah, dan seterusnya.13

Setiap pernikahan harus memerlukan wali. Adanya wali merupakan

salah satu rukun untuk sahnya suatu pernikahan, disamping zawjun

(suami), zawjatun (istri), wali, shahidayn (dua orang saksi) dan ija>b qabu>l.

Ditetapkannya wali sebagai salah satu rukun keabsyahan perkawinan

bukanlah ingin mempersulit pelaksanaan perkawinan, melainkan didasari

(36)

28

oleh sejumlah nas} yang s}ahih. Didalam sejumlah hadits diterangkan

mengenai keharusan adanya wali dalam pernikahan.

2. Dasar Hukum Perwalian

Menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian, hukum Islam

merujuk kepada firman Allah Swt, as-Sunnah dan qaul fuqaha>’, dasar-dasar

mengenai perwalian adalah sebagai berikut :

  ْ   ْ  ْ   ْ   ْ  ْ   ْ   ْ   ْ  ْ   ْ   ْ   ْ  ْْْ

Artinya: ”Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan

kewajibannya menurut cara yang makruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya, dan Allah Maha

perkasa lagi maha bijaksana”. (Q.S. al-Baqa>rah: 228).14

  ْ  ْ   ْ  ْ   ْ   ْ   ْ  ْ  ْ   ْ  ْ   ْ   ْ  ْ  ْ  ْ   ْ   ْ   ْ  ْْْ ْ

Artinya :Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (Q.S. An-Nu>r: 32).15

Dalam Firman Allah Swt :

14 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah atau

Penafiran al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Restu, 1979), 34.

(37)

29  ْ   ْ  ْ  ْ   ْ  ْ   ْ  ْ  ْ   ْ  ْ   ْ  ْ   ْ  ْ  ْ   ْ  ْ  ْ  ْ   ْ   ْ   ْ   ْ   ْ  ْ   ْ  ْ   ْ   ْ  ْ   ْ   ْ   ْ  ْ  ْ  ْْْ ْ

Artinya : Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. al-Baqa>rah: 232).16

Dalam hal ini al-Maraghi menjelaskan dalam firman Allah:

مهنيب”menunjukkan bahwasanya tidak ada halangan bagi seseorang

laki-laki untuk melamar perempuan atau janda tersebut langsung kepada

dirinya untuk melakukan pernikahan. Pada saat itu diharamkan pada

walinya menahan dan menghalang-halangi melakukan pernikahan

dengan orang yang melamarnya.17

Dalam hadits yang berkenaan dengan wali nikah, yaitu:

َْعْ ن

ْ

ُْسَْلْ ي

َْم

ْ نا

ْْ ب

ْ ن

ُْْمْ

و

َْس

َْعْى

ْ ن

ْ

ُْزلا

ْ ْ ر

َْعْى

ْ نْ

ُْعْ رَْ

و

َْعْة

ْ ئا

َْشَْة

َْْأ

ْ ن

ْ

ّْلا

ي

ْ:لاقْ.م.ص

اّا

اْ مَْرَْأ

ْ ةْْ

َنَْك

َْح

ْ ت

ْ

ْ بَْغ

ْ يْ

ْ إْ ذ

ْ ن

َْْوْ ل

ْ يَْه

َْفْا

ْ

َْك

ُْحا

َْهَْبا

ْ طا

ْ لْ

ْ إفْلطاباهحاك فْلطاباهحاك ف

ْ نْ

َْدَْخ

َْلْ

َْ ب

َْواْ

َََ

ْلحلسااارهَاا

ْ م

ْ نْ

َْ فْ ر

ْ ج

َْهْا

ْ إَف

ْ نْ

ْ ورجلسا

َْفْا

ُْسلا

ْ لَْط

ُْنا

َْْو

ُْ ل

َْْم

ْ نْ

َََْْو

ْ ل

َْْلُْه

ْ

)يئاس لاَّْاْةسمخااماور(

18

.

Artinya: “Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri, dari Urwah dari Aisyah,

sesungguhnya Nabi Muhammad Saw telah bersabda: “Barang siapa di

16 Ibid.,35 17 Ibid.,35

(38)

30

antara perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal. Karena apabila terjadi persetubuhan maka baginya (perempuan yang dinikahi) berhak atas mahar dengan sebab dihalalkannya farjinya. Demikian pula apabila terjadi pertentangan (tenang walinya) maka sulthan adalah wali bagi seorang yang tidak mempunyai wali.”

Dan dalam hadits yang lain, dalam Sunan Ibnu Majah (Kita>bun

Nika>h} dan Kita>but T>{ala>q) disebutkan:

َْح

ْ دَْ ث

ََْْاا

ُْ بْ وُْك

َْرْ ي

ْ ب

ْ

َْأََ ث

ْ

ْ نباْهاادبع

ْْ

ُ

َا

َْع,كراب

ْ نْ

َْح

َْج

ُْجا

َْْع

ُْزلاْن

ْ

َْع,ىر

ْ ن

ُْعْ رَْ

وَْة

َْْع

ْ ن

َْعْ ئا

َْشَْة

َْْع

ْ نْ

صْي لا

.

ْم

َْوَْع

ْ نْ

ْ ع

ْ كَْر

َْمَْةْ

َْعْ ن

ْ

لاقْ:لاقْسابعْنبا

ْ

مْصْهااْلوسر

”ْ

ََْْ ن

َْك

َْحا

ْْ إ

ْ َْ ب

َْوْي ل

َْوْ"

ْ ف

ْ

ْةشئاعْثيدح

)

ُْسلاو

ْ لَْط

ُْنا

َْْو

ْي ل

َْْم

ْ نْ

َََْْو

ْ ل

َْْلُْه

(

19

Artinya:“Telah meriwayatkan kepada kami Abu Kuraib: Telah

meriwayatkan kepada kami Abdullah bin Mubarok, dari Hajjaj, dari Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, dari Nabi Saw dan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, keduanya mengatakan: Rasulullah Saw telah bersabda: tidak sah pernikahan tanpa wali”. Dan dalam hadits ‘Aisyah disebutkan “dan bagi

perempuan yang tidak mempunyai wali, maka penguasalah yang menjadi walinya”.

Selanjutnya Sayid Sabiq menyertakan sebuah hadits yang

dikutipnya, sebagaimana disebutkan dalam karyanya Fiqih al-Sunnah,

yang berbunyi sebagai berikut:

َْعْ ن

ْْ با

ْ ن

ُْْمْ

و

َْس

ى

َْْا

ْ ن

َْْر

ُْسْ و

َْل

ْ

هاا

ْ

ص

ْم

ْ

لاق

ْ :

ََْْ ن

َْك

َْحا

ْْ إ

ْ َ

ْْ بَْو

ْيل

ْ

)

اور

ْ

دما

ْ

يأو

ْ

دوواد

ىذمرلا

ْ

نباو

ْ

نابح

ْ

مكا او

ْ

اهححصو

(

Artinya: “Dari Abu Musa, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:

“Tidak sah nikah tanpa wali”.20

Serta dalam hadits lain:

19 Muhammad Yazid al-Qozwaini, Sunan Ibnu Majah, juz 1,( Dar al- Fikr, t.t., ). 605

(39)

31

َْح

ْ دَْ ث

َْ

ْ َجْا

ْ يُْل

ْْ ب

يليقعلاْ ناورمْ نبْ دمحْ ا ثْ يكلعلاْ نس اْ ن

نعْ ناسحْ نباْ مس ْ ا ث

لاق:لاقْ ةرير ْ ياْ نعْ نيرسْ نبْ دمح

ََْ(ْ مْ صْ هااْ لوسر

َْ تَْزْ و

ُْج

ْْ

َ

َاْ رَْأ

ُْةْ

َْوََْ

َْ تَْْز

ْ وُْج

ْ

َ

َاْ رَْأ

ُْةَْْ ن

ْ ف

َْسَْه

َْفْا

ْ إْ ن

ْ

ْ زلا

ْ ناَْيَْة

ْْ

َْيْ

ْ لا

ْ ت

ُْ تَْْز

ْيو

ُْجْ

َْ نْ ف

َْسَْه

ا

21

(

Artinya: ”Telah meriwayatkan kepada kami Jamil dan Hasan al-‘Atiki:

telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Marwan al-Uqaili: Telah meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirrin, dari Hurairah, ujarnya: Rasulullah bersabda: Seseorang perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lain, dan juga seorang perempuan tidak boleh menikahkan diri sendiri. Karena hanya perempuan berzinalah yang

menikahkan dirinya sendiri”.

Selain dasar hukum di atas yang bersumber dari al-Qur’an dan as

-Sunnah, pendapat para ulama’ fiqih juga penulis jadikan dasar hukum

dalam konsep perwalian menurut hukum Islam, berikut adalah pandangan

para ulama’ fiqih tentang dasar hukum wali dalam pernikahan :

Pandangan Malikiyah tentang wali, Imam Malik, sebagaimana

dikutip Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa tidak terjadi pernikahan, kecuali

dengan wali. Wali adalah syarat sahnya pernikahan sebagaimana riwayat

hadits Asyhab.22Atas pemikiran imam Malik, para pengikut Imam Malik

atau dikenal Malikiyah, lebih tegas berpendapat, wali adalah rukun dari

sebagian rukun nikah, tidak sah nikah tanpa adanya wali.23

Pandangan Syafi’iyah, dalam hal ini diwakili oleh Imam Taqiyuddin

Abi Bakar ibn Muhammmad al-Husaini al-Husna al-Dimsqi al-syafi’I

dalam kitabnya Kifa>yatul Akhya>r fi> H}alli Ga>yat al-Ikhtis{ar, dijelaskan

21 Ibid,. 606

22 Ibnu Rusyd, Bida>yatu al-Mujtahid wa Niha>yatu al-Muqtas}id, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz 2,.t.t), 7. 23 Abdur Rahman al-Juzairi, Fiqih ‘Ala al-maz}a>hibil al-Arba’ah, jilid 4,(Beirut : Dar Al-Fikr,

(40)

32

bahwa wali adalah salah satu rukun nikah, tidak sah pernikahan kecuali

dengan wali.24

Senada dengan pandangan Malikiyah dan Syafi’iyah, pandangan

Hanabilah mengenai wali pada dasarnya sama, ketiga madzab tersebut

menganjurkan nikah harus dengan menggunakan wali, karena adanya wali

itu sangat penting (d{aru>ri) dalam menentukan sahnya pernikahan.25

Menurut Abdur Rahman al-Jaziry,

َْ تاَْف

َْق

ْ

ةيكلَا

ْ

ةيعفاشلاو

ْ

ةلبا او

َْْعَْل

ى

ْ

َْضُْر

ْ وَْرْ ة

ُْْو

ُْجْ و

ْ د

ْ

لولا

ْ

ْ ف

ْ

ْيلا

َْك

ْ حا

َْْف

ُْك

ُْل

ْْ ن

َْك

حا

َْ يَْق

ُْع

ْْ ب

ُْدْ و

ْ ن

ْ

َْولا

ْي ل

َْْاْ و

َْْم

ْ ن

َْْ يُْ

ْ و

َْب

َْْمَْ

ْ باْ ه

َْْ يَْق

ُْع

َْْب

ْ طا

ْال

َْْ فَْل

ْ ي

َْس

ْْ ل

َْملْ

رَْأْ ة

ُْْ تَْب

ْ شا

ُْرْ

َْعْ ق

ُْد

ْ

اهجاوز

َْ ب

ْ لا

ْْ م

َْن

ْ

َْلا

ْ حَْو

ْ لا

ْ

َْسَْو

ْ ءا

ْ

َْك

َْنا

ْ ت

ْ

َْكْ ب

ْ يَْرة

َْْاْ و

ْ

َْص

ْ غْ يَْر

ة

َْْع

ْ قاَْل

ْ ةْ

َْاْ و

ْ

ْ َُْ

ْ وَْنْ ة

ْْ ا

ْ َ

َْْأْ ن

َْها

ْ

َْك

َْنا

ْ ت

ْ شْ ي

َْبُْةْ

ََْْ

َْيْ ص

ْ ل

ُْحْ

َْزَْوا

ُْجَْه

اْْ ب

ُْدْ و

ْ نْ

ْ إَْذا

َْْوَْر

َْض

َْها

26

.

Artinya: ”Telah sepakat golongan Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah

atas pentingnya keberadaan wali dalam suatu pernikahan, maka setiap nikah yang didapati tanpa adanya wali atau tanpa adanya pengganti atas kedudukannya (wali) adalah batal hukumnya. Dari itu, tidak ada seorang perempuan pun yang dapat melakukan atau melangsungkan akad nikahnya, baik gadis yang telah dewasa, kecil, berakal maupun majnunah, kecuali ia telah dewasa dan menjadi janda, maka di sini seorang wali dianggap kurang baik bila dengan kemauannya menikahkan lagi tanpa

seizin anaknya yang janda tersebut dan atas ridhanya”.

Sedangkan pandangan hanafiyah berbeda dengan pendapat para

imam diatas. Zufar, Al-Sya’bi, dan Al-Zuhri berpendapat bahwa apabila

24 Ad-Dimsyiqi, Kifa>yatul Akhyar fi> H}alli Gayat al-Ikhtisyar Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr, t,.t), 48. 25 Dedi Supriadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung : Pustaka Setia,2009),46

26 Abdur Rohman al-Jaziri, Fiqih ‘Ala> Maz}ahibi al-Arba’ah, Jilid 4 ( Mesir: Darul Haditst, 2004),

(41)

33

seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa menggunakan wali,

sedangkan suaminya sebanding (kufu’), maka nikahnya sah.27

3. Syarat Wali Nikah

Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan

yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu seorang wali haruslah

memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :

1. Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali), 2. Baligh (anak-anak tidak

sah menjadi wali), 3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali), 4.

Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali), 5. Adil (orang fasik tidak sah

menjadi wali), 6. Tidak sedang ihrom atau umroh.28

Sayyid Sabiq beranggapan, syarat-syarat bagi seorang wali nikah

yaitu :Orang merdeka atau tidak budak belian, telah sampai umur atau

sudah baligh, berakal, beragama Islam. Tidak jauh beda Sudarsono

menyebutkan bahwa wali nikah harus memenuhi kriteria dasar dan

mengikat. Kriteria tersebut terdiri dari; baligh, berakal sehat, merdeka,

laki-laki, Islam dan tidak sedang dalam ihram atau umrah.29sedangkan

Hussein Bahreisy menyatakan bahwa syarat-syarat wali nikah yaitu

:Laki-laki, muslim, dewasa, berakal, tidak ihram / haji ataupun umroh,

tidak dipaksa, berakhlak baik.30\

27Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Lengkap,(Depok: Rajawali Press. 2014), 91

28 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-Undang

dan Hukum Perdata (BW), (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981), 28

(42)

34

Kemudian dalam I’a>nat at-T}a>libi>n juz III, menyatakan :

َْوُْش

ُْرْ و

ُْط

ْ

ْ ف

ْْ لا

َْوْي ل

َْْع

َْدَْلا

ْ ةْ

َْوُْح

ْ رْ يُْة

َْْو

ْ للا

ْ كْ ل

ْ ي

ُْف

َْْف

َْل

ْ

ةيَو

ْ

قسافل

َْْغ

ْ يُْر

ْ لا

َْمْ ما

ْ

َْلا

ْ عْ

َظ

ُْم

َْ ل

ْ ن

ْ

قسفلا

ْ

َْ نُْق

ُْص

َْْ يْ ق

َْد

ُْح

ْ ف

ْ شلا

َْه

َْداُْة

َْْ فَْي

ْ مَْ

ُْعْ

ْ ولا

َََْْي

ُْةْ

َْك

ْ رلا

ْ ق

َْْ

َْذ

ُْاَْو

ُْض

ْْ

َ

َا

ْ ذ

َْ

ْ ب

َْخا

ْ ي

َْصلا

ْ ح

ْ يْ ح

ْ

ََْْ ن

َْك

َْحا

ْ

ْ إ

ْ َْ ب

َْوْي ل

ُْْمْ ر

ْ ش

ْ دْ

ْ لدعا

31

Artinya:“Syarat wali itu harus adil, merdeka dan mampu bertanggung

jawab (dewasa dan berakal sehat). Karena itu tidak boleh menjadi wali bagi orang yang fasik selain Imam yang mulia, sebab kefasikan itu dapat

mengurangi sifat muru’ah dalam persaksian yang (karenanya) dapat

menjadi penghalang pada kompetensinya (menjadi wali) sebagaimana seorang budak. Ini pendapat madzhab yang berdasarkan hadits shahih yaitu: tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali yang cerdas (mursyid) artinya adil.

4. Urutan Wali Nikah

Keberadaan wali nikah bukanlah untuk mempersulit para calon

mempelai dalam pelaksanaan menikah, keberadaan wali sangatlah fleksibel

bisa disesuaikan dengan keberadaan wali yang ada pada saati itu, berikut

penulis paparkan urutan wali menurut hukum Islam :

Imam Malik berpendapat keluarga dekat lebih berhak untuk menjadi

wali. Selanjutnya beliau mengatakan anak laki-laki sampai ke bawah lebih

utama, kemudian ayah sampai ke atas, kemudian saudara laki-laki seayah

seibu, kemudian saudara laki-laki seayah saja, kemudian anak laki-laki dari

saudara-saudara laki-laki seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari

31 Muhammad Syatha’ Ad- Dimyati, I’a>natu at-T}a>libi>n, Juz III, (Mesir: Maktabah

(43)

35

saudara-saudara lelaki seayah saja, lalu kakek dari pihak ayah, sampai ke

atas.

Sedangkan Wali dalam fiqih munakahat secara umum ada 3 macam,

yaitu wali nasab, wali hakim dan muh}akkam, Dibawah ini akan diuraikan

lebih lanjut mengenai ke-3 macam wali adalah sebagai berikut :

a. Wali Nasab

Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon

mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab urutannya

adalah: Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas,

saudara laki-laki kandung (seibu sebapak), saudara laki-laki sebapak,

anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, anak laki-laki dari

saudara laki-laki sebapak an seterusnya ke bawah, paman (saudara dari

bapak) kandung, paman (saudara dari bapak) sebapak, anak laki-laki

paman kandung, anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya ke

bawah.32

b. Wali Hakim

Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk

bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat

menggantikan wali nasab apabila: Calon mempelai wanita tidak

mempunyai wali nasab sama sekali, walinya mafqud, artinya tidak

32 M. Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Empat Mazhab, ( Jakarta: PT. Hidakarya

(44)

36

tentu keberadaannya, wali berada ditempat yang jaraknya sejauh

masaful al-qashri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar),

wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai,

wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh, 33 anak zina (dia hanya

bernasab dengan ibunya), walinya gila atau fasik.34

c.Wali Muh}akkam

Wali muh}akkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon

suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.35

Adapun cara pengangkatannya adalah : calon suami dan calon istri

mengucapkan tahkim dengan kalimat, “saya angkat bapak/saudara

untuk menikahkan saya pada si (calon istri) dangan mahar……...dan

putusan bapak/ saudara saya terima dengan senang. Kemudian calon

istri pun mengucapkan hal yang sama dan orang yang dijadikan hakim

pun menjawab , saya terima tahkim ini.36 Orang yang bisa diangkat

sebagai wali muh}akkam adalah orang lain yang terpandang, disegani,

luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas,

adil, Islam dan laki-laki.37

Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan

wali hakim, padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka

33 Departemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat

Nikah, (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1997/1998), 35.

34 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung : al- Bayan, 1994), Cet ke1, .62.

35 Beni Ahmad Soebandi, Fiqih Munakahat 1,(Bandung : Pustaka Setia, 2013), 250. 36 Ibid., 250

(45)

37

pernikahan dilangsungkan dengan wali muh}akkam. Caranya ialah

kedua calon suami istri mengangkat seseorang yang mempunyai

pengertian tentang hukum-hukum pernikahan untuk menjadi wali

dalam pernikahan mereka. Bila urutan wali diatas masih ada maka

maka muh}akkam tidak boleh mengawinkannya.38

5. Wali Muh}akkam dalam Hukum Islam

Kata Muh}akkam diambil dari bahasa Arab yang asal katanya h{akama

– yah{kumu – h{ukman wah{ukumatan, yang artinya memegang perintah,

mengepalai, menghukumkan, menjatuhkan hukum.39 Mah}kamatun artinya

temp

Gambar

Tabel Batas Wilayah

Referensi

Dokumen terkait

a) Guru membagi peserta didik dalam beberapa kelompok dengan kemampuan yang beragam. b) Setiap kelompok mengekspresikan ide dan pendapatnya ke dalam Lembar Kegiatan Siswa

り情緒的関係を営むという発想を退け、集団としての「家」の情緒の維持に回収する言

Siswa yang memiliki minat baca yang rendah, sangat tergantung pada pembelajaran yang diberikan oleh guru, mereka tidak memiliki inisiatif untuk membaca saat di perintah

D. Guru menugaskan siswa untuk menilai hasil analisis etika kewargaan digital dengan menggunakan format penilaian yang sudah ada dengan jujurc. E. Siswa untuk menyajikan

Tahapan pada Markov Chain antara lain: (1) Membuat tabel jumlah pelanggan pada setiap merek; (2) Membuat tabel perpindahan merek yaitu berupa data perubahan atau

merosot jauh yang dahulunya hampir satu Desa Karng Kuten sekarang hanya tinggal satu dusun saja yang masih bertahan membuat anyaman bambu itupun hanya 27

Batik yang dihasilkan tidak hanya menjadi produk budaya saja, melainkan telah berubah menjadi produk ekonomi dengan melakukan diversifikasi produk yang mengandalkan

Berdasarkan critera kontek tersebut, bisa dikatakan bahwa seyogyanya harga yang terbentuk dalam bursa berjangka yang berada di Indonesia atau sering dikenal dengan