TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERAN IMAM
MASJID SEBAGAI WALI MUH}AKKAM DALAM PERNIKAHAN
(
Studi Kasus di Masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya)SKRIPSI
Oleh :
Rizal Arif Fitria NIM. C31212122
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan (field research) dengan judul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Peran Imam Masjid Sebagai Wali Muh}akkam
dalam Pernikahan (Studi Kasus di Masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya)”.
Judul tersebut bertujuan untuk menjawab permasalahan tentang bagaimana penyebab terjadinya peran imam masjid sebagai wali Muh}akkam dalam pernikahan dan Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap peran imam masjid sebagai wali
Muh}akkam dalam pernikahan yang terjadi di masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto
Surabaya.
Data penelitian dihimpun melalui wawancara (interview) dan dokumentasi
selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis untuk menganalisa data
yang berupa informasi, wawancara dalam bentuk bahasa narasi kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran sehingga dapat memberikan penilaian terhadap kebenaran tersebut. Teknik deskriptif tersebut menggunakan pola pikir deduktif yang merupakan pola berfikir dengan menggunakan analisa yang berpijak dari pengertian-pengertian atau fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan masalah khusus.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, peran imam masjid sebagai wali muh}akkam dalam pernikahan secara tegas tidak sah, baik secara hukum Islam maupun hukum positif. Seperti yang di jelaskan dalam Q.S. al-Baqa>rah: 232, Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1 tahun 1974 Jo Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, hal tersebut dilaksanakan oleh imam masjid karena kurangnya pemahaman secara universal dan konperhensif dalam hukum perkawinan.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, pihak orang tua seharusnya lebih hati-hati dalam pengontrolan dan pengawasan serta selalu berkomunikasi terhadap anak
perempuannya agar hal seperti ini tidak terjadi kembali karena banyak mud}arat
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 12
C. Rumusan Masalah ... 13
D. Kajian Pustaka ... 13
E. Tujuan Penelitian ... 15
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 16
G. Definisi Operasional ... 17
H. Metode Penelitian ... 18
I. Sistematika Pembahasan ... 21
BAB II KONSEP PERWALIAN DALAM HUKUM ISLAM ... 23
A. Konsep Wali dalam Hukum Islam ... 23
1. Pengertian Wali ... 23
2. Dasar Hukum Perwalian ... 28
3. Syarat Wali Nikah ... 33
4. Urutan Wali Nikah ... 34
5. Wali Muh}akkam dalam Hukum Islam ... 37
BAB III PERAN IMAM MASJID SEBAGAI WALI MUH}AKKAM DALAM
PERNIKAHAN... 42
A. Gambaran Umum tentang Obyek Penelitian ... 42
1. Kondisi Geografis ... 42
2.Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 43
3. Keadaan Sosial Budaya ... 44
4.Keadaan Sosial Keagamaan ... 45
B. Profil Masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya ... 46
C. Pelaksanaan Peran Imam Masjid Sebagai Wali Muh}akkam dalam Pernikahan di Masjid Al-Mu’wanah Siwalankerto Surabaya ... 48
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERAN IMAM MASJID SEBAGAI WALI MUH{AKKAM DALAM PERNIKAHAN .... 56
A. Analisis Penyebab Terjadinya Peran Imam Masjid Sebagai Wali Muh{akkam dalam Pernikahan ( Studi Kasus di Masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya) ... 59
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Peran Imam Masjid Sebagai Wali Muh{akkam dalam Pernikahan( Studi Kasus di Masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya) ... 65
BAB V PENUTUP ... 69
A. Kesimpulan ... 69
B. Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Makhluk hidup di muka bumi ini diciptakan Allah secara
berpasang-pasangan, begitupun manusia diciptakan laki-laki dan perempuan. Manusia
diciptakan Allah dengan maksud dan tujuan, yakni beribadah kepada Allah
Swt sebagai sang Kholiq, beribadah dalam arti mengabdi kepada Allah Swt
secara keseluruan, baik secara pribadi maupun sebagai anggota dalam
masyarakat dan sebagai kesatuan makhluk dalam alam semesta.
Pernikahan merupakan sunatulla>h yang umum berlaku pada makhluk
Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan.1 Nikah merupakan
jalan alami yang paling baik, sehat dan sesuai untuk menyalurkan dan
memuaskan naluri seks, sehingga seseorang menjadi tenang dan terhindar
melakukan perbuatan haram.2 Hal itu ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa
Allah telah menciptakan segala sesuatu yang berpasang-pasangan, sebagai
mana firmanNya dalam surat Ya>sin ayat 36 :
Artinya: “Maha suci tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Q.S.Ya>sin :36)3.
1Sa’id bin Abdullah bin Thalib Al-Hamdani, Risalah Nikah ( Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 1.
2 Al-Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H), 10.
2
Dalam firmanNya surat al-Za>riyat ayat 49 juga disebutkan semua hal
diciptakan secara berpasang-pasang :
Artinya : “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasang supaya kamu
mengingat kebesaran Allah. “(Q.S. al-Za>riyat : 49).4
Adapun menikah bagi manusia sangat berbeda dengan makhluk lainnya, Allah tidak menganjurkan manusia begitu bebas dalam hal penyaluran syahwat, bahkan Allah Swt juga mengatur serta menentukan beberapa ketetapan yang berhubungan dengan kehormatan manusia memelihara kemuliyaan dan kesucian yaitu dengan cara melakukan pernikahan secara legal sesuai dengan ketentuan yang berlaku, ketentuan tersebut bisa menjadikan hubungan laki-laki dan perempuan sah dan
mendapat keridhoan Allah Swt disertai dengan kasih sayang dan ija>b qabu>l
sehingga bisa menyalurkan syahwatnya secara baik dan benar sesuai dengan aturan yang berlaku. Menikah juga dapat menjaga keturunan dari kerancauan nasab dan menjaga maratabat kaum perempuan dari seks bebas oleh para lelaki yang menggaulinya.
Menikah memiliki keutamaan yang sangat luar biasa, sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Ru>m : 21, yang berbunyi :
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. “( Q.S. al-Ru>m : 21)5.
3
Di negara Indonesia, persoalan yang berkaitan dengan perkawinan
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi seluruh
warga Indonesia. Aturan yang dimaksud adalah UU No. 1 tahun 1974 dan
pelaksanaannya dalam bentuk PP No. 9 tahun 1975. Perundang-undangan ini
merupakan hukum materiil dari hukum perkawinan, sedangkan hukum
formilnya ditetapkan dalam UU No. 7 tahun 1989. Disamping semua itu ada
aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman hakim di lembaga peradilan
agama adalah Kompilasi Hukum Islam yang telah ditetapkan dan
disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam.6
Perkawinan yang dianjurkan dalam Islam adalah dalam rangka untuk
melakukan ibadah, bukan untuk melampiaskan kepuasan birahi dalam bentuk
melakukan seks saja. Oleh karena itu perkawinan merupakan ikatan yang
sangat kuat dan memiliki tujuan yang luhur, seperti halnya yang tertera
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 dan 3 menegaskan, perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang kuat (mitha>qan
qhali>z}on) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sa>kinah, mawaddah dan rah{mah.7
UU No. 1 Tahun 1974 juga menjelaskan bahwa perkawinan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
4
dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. 8Pernikahan bukanlah hal
yang sederhana, tidak cukup hanya berkumpulnya laki-laki dan perempuan
dalam sebuah keluarga, dalam pernikahan banyak sekali hal yang harus
dipahami dan dilalui. Mulai dari persiapan sebelum dilangsungkannya
pernikahan hingga setelah pernikahan.
Para ulama madzab sepakat bahwa pernikahan baru bisa dianggap sah
jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ija>b dan qabu>l antara wanita
yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antar pihak yang
menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya
semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.9Sahnya
pernikahan merupakan awal mula untuk membina dalam keutuhan
pernikahan tersebut sebagai ikatan yang sangat kuat.
Untuk mewujudkan kuatnya ikatan perkawinan dan mewujudkan
kehidupuan keluarga yang sa>kinah, mawaddah dan rah{mah., maka sejak awal
tata cara perkawinan diatur dengan syarat dan rukun tertentu. Membahas
mengenai rukun pernikahan para ulama’ fiqih berbeda pendapat, baik dalam
jumlah maupun jenisnya. Namun, dibalik itu semua, juga ada beberapa
kesamaan. Kemudian Ibnu Rusyd dalam Bida>yatu al-Mujtahid menerangkan
pula, Ulama berselisih pendapat, apakah wali menjadi syarat sahnya nikah
atau tidak? Berdasarkan riwayat Ashab, Imam Malik berpendapat bahwa
8 Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
5
tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah, pendapat
ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i.
Sedangkan Imam Abu Hanifah, Zufar, al-Sya’bi dan al-Zuhri berbeda
pendapat dengan pendapat para imam di atas, beliau beranggapan bahwa
apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa adanya wali, tetapi
calon suami dari wanita tersebut sebanding maka nikahnya itu boleh. Namun
Daud memisahkan\ antara gadis dan janda, ia mensyaratkan adanya wali pada
gadis dan tidak mensyaratkan perlu adanya wali pada janda. 10
Diantara pendapat para imam yang penulis uraikan adalah sebagai
berikut : Imam Malik berpendapat bahwa rukun nikah ada lima macam,
yaitu :11 Wali dari pihak perempuan, mahar (mas kawin), Calon pengantin
laki-laki, Calon pengantin perempuan, Si>ghat akad nikah. Senada dengan
Imam Malik, Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam,
yaitu12 : Calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali, dua
orang saksi, si>ghat akad nikah.
Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu hanya ija>b dan qabu>l saja
(yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin
laki-laki). Sedangkan menurut segolongan Hanafiyah yang lain rukun nikah
10 Ibn Rusyd, Bida>yatul Al-Mujtahid, Jilid II, Alih bahasa Abdurrahman, (Semarang: Asy Syifa,1990), 365.
6
itu ada empat, yaitu 13:Si>ghat (ija>b dan qabu>l), calon pengantin perempuan,
calon pengantin laki-laki, wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Sehingga rukun pernikahan dalam Islam jika digabung kesemuanya
dari beberapa pendapat Imam madhab di atas adalah sebagai berikut :
1. Adanya calon suami istri yang akan melakukan pernikahan
2. Adanya calon wali dari mempelai wanita. Hal ini sesuai dengan hadis
Nabi Muhammad Saw :
اما
غب تحكن ةأرما
)ئاس لل اا ةعبراا هجرخا( لطاب اهحاك ف اهيلو نذا ر
Artinya : “Perempuan mana saja yang menikah tanpa seijin walinya, maka
pernikahannya batal”.14
3. Adanya dua orang saksi. Dalam rukun yang ketiga ini didasarkan kepada
dalil berupa hadits Nabi Muhammad Saw yang berbunyi :
د اشو يوب اا حاكن ا
)دما اور(لدع ى
Artinya : “Tidak sah nikah seseorang tanpa adanya wali dan saksi yang
adil”.15
4. Adanya mahar.16
5. Si>ghat akad nikah berupa ija>b qabu>l.
Masing-masing dari rukun di atas ada syarat yang diberikan.
Namun, dalam hal ini peneliti hanya fokus pada rukun pernikahan yang
berupa wali. Tidak lepas dari salah satu rukun nikah di atas yaitu wali,
13 Ibid., 47
14Ibnu Rusyd, Bidayatu al-Mujtahidwa Niha>yatu al-Muqtashid Juz II, (Beirut : Dar al-Fikri,t.t.,). 7
15Ibid.,9
7
adanya wali bukanlah hal yang remeh melainkan sangat berperan penting
dalam menentukan keabsahan ikatan perkawinan, seperti yang disabda
Rasulullah Saw yang artinya dari Abi Musa bahwasanya Nabi Saw bersabda,
tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali (HR. Abu Daud ).17
Hadis lain yang seirama dengan hadis di atas yang artinya, dari
Aisyah berkata, bersabda Rasulullah Saw, siapa saja wanita yang dinikahkan
dengan tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal beliau mengulanginya tiga
kali. Jika lelakinya telah menyetubuhinya, maka ia berhak atas maharnya,
karena ia telah menghalalkan kehormatannya, jika pihak wali enggan
menikahkan, maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seorang yang
tidak ada walinya. (HR. Abi Daud).
Pengertian wali dalam arti umum, wali mempunyai banyak arti antara
lain adalah : Wali adalah orang yang menurut hukum dapat diserahi
kewajiban untuk mengurus, mengasuh, memelihara, mengawasi dan
menguasai suatu persoalan. Perwalian disebut juga wilayah yang berarti
penguasaan dan perlindungan. Dalam definisi lain dijelaskan wali adalah
Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi mengurus anak yatim
serta hartanya, sebelum anak itu dewasa. 18 Pengertian wali dalam Negara
bisa berarti Kepala Pemerintah.19
17 Imam Abi Daud Sulaiman ibn al-Asy’ari al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Jilid 2, (Surabaya : Maktabah Dahlan, t.t.). 229
18 Abdul Roman Ghozali, Fiqih Munakahat, ( Jakarta: Kencana, 2003), 165
8
Pengertian di atas tentu saja disesuaikan dengn konteks kalimat yang
digunakan. Sedangkan menurut istilah, wali adalah pertanggung jawaban
tindakan, pengawasan oleh orang dewasa yang cakap terhadap orang yang
ada di bawah umur dalam hal pengurusan diri pribadi seseorang dan harta
kekayaan. Sedangkan pengertian wali dalam konteks pernikahan adalah
pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan
janji nikah dengan pengantin laki-laki).20
Adanya perwalian sangatlah penting karena wali menentukan
keabsyahan nikah, namun wali disini tidak bersifat kaku melainkan bersifat
fleksibel. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bagian ketiga membahas
tentang wali nikah secara detail, sebagaimana yang ada dibawah ini :
Wali Nikah Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari ;
a. Wali nasab;
b. Wali hakim.
jika tidak ada wali nasab yaitu terdiri dari empat urutan dalam
kedudukan kekerabatan dengan calon mempelai perempuan, empat
kedudukan itu diantaranya adalah, pertama, garis lurus ke atas yakni, ayah,
kakek dan seterusnya ke atas. Kedua, jalur kerabat saudara laki-laki
9
kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunannya. Ketiga, kelompok
kerabat paman, yakni saudara laki kandung seayah dan keturunan
laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki-laki-laki kandung kakek, saudara
laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.21 Jika dari wali nasab tidak
ada atau adanya wali nasab namun wali nasab tersebut enggan untuk
menikahkan putrinya (wali Ad}al), maka alternatif lain ia bisa menikah
menggunakan wali hakim.
Wali hakim tidak serta merta bertindak menjadi wali melainkan harus
mengetahui adanya wali nasab atau tidak, seperti apa yang dituturkan pasal
23 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, wali hakim baru
bisa bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak
mungkin mengghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghoib
atau ad{al atau enggan. Dalam hal ini ad{al atau enggan maka wali hakim baru
dapat bertindak setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali
tersebut.22
Wali hakim adalah wali yang ditunjuk oleh menteri agama atau
pejabat yang ditunjuk olehnya. Namun dalam prakteknya pernikahan yang
terjadi di masyarakat juga menggunakan wali hakim, istilah lain masyarakat
menyebutnya wali muh{akkam, wali hakim (muh{akkam) dalam pernikahan
merupakan wali yang ditunjuk oleh kedua belah mempelai baik laki-laki
ataupun perempuan, dalam hal penunjukan biasanya mereka menunjuk
21 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992), Pasal 21 ayat 1
10
seorang tokoh masyarakat atau pemuka agama (imam masjid) yang
menurutnya mengetahui dalam seluk beluk agama untuk menjadi wali dalam
pernikahan mereka.23
Pernikahan menggunakan imam masjid sebagai wali muh}akkam ini
bertentangan dengan undang-undang perkawinan Indonesia yang telah ada,
karena wali hakim dalam pernikahan adalah wali yang ditunjuk, diangkat
oleh negara, dan mendapat penetapan dari pengadilan agama. Namun dalam
kasus yang penulis tuangkan dalam skripsi ini wali hakimnya ditunjuk oleh
kedua mempelai, dalam hal ini adalah seorang imam masjid Al-Mu’awanah
Siwalankerto Surabaya yang mereka anggap bisa dan mampu untuk menjadi
wali dalam pernikahan mereka, padahal ditempat tersebut ada wali hakim
yang benar berwenang, dalam hal ini petugas KUA setempat yang
berwenang.
Pernikahan bawah tangan dengan menggunakan wali muh{akkam
dikalangan masyarakat masih sering terjadi, mereka beranggapan bahwa
pernikahan yang dilakukan dengan ditangani oleh seseorang yang dianggap
alim (‘ulama), seperti pemuka atau guru agama, imam masjid atau seseorang
yang dianggap mengetahui hukum-hukum Islam adalah sah. Para calon
suami istri sudah berstatus duda atau janda, atau dalam perkawinan
poligami, yang berhalangan nikah secara resmi karena walinya enggan atau
halangan lainnya, mereka memilih nikah dengan menggunakan wali
muh{akkam. Secara umum pria yang menikah dengan menggunakan wali
23 Deprtemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat
11
muh{akkam ini ada orang awam, begitu pula perempuannya dari kalangan
orang biasa .
Walaupun demikian kelihatannya mereka para calon mempelai kurang
mengetahui hukum secara jelas, sehingga cenderung mencari jalan pintas dan
mudah saja dalam melangsungkan pernikahan, tanpa memikirkan implikasi
hukum dan sosialnya di kemudian hari. Pernikahan yang penulis teliti terjadi
di masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya, jika memang pasangan
suami istri yang akan menikah menggunakan wali muha{kkam harus
memenuhi salah satu syarat yang diberikan oleh imam masjid
Al-Mu’awanah, syarat itu adalah jarak antara calon mempelai perempuan
tempat ia menikah dengan jarak wali nasabnya adalah satu safar atau 16
farsakh. Jika jarak ini sudah memenuhi maka pernikahan bisa dilangsungkan
dengan mengangkat imam masjid sebagai wali dalam pernikahan mereka.
Pasangan suami istri yang menikah dan menunjuk imam masjid
sebagai wali muh{akkam adalah mereka yang bukan merupakan warga
setempat, melainkan warga luar daerah yang dengan alasan tertentu ingin
segera dinikahkan. Padahal di berbagai daerah ini sudah ada wali hakimnya,
yaitu Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) atau petugas yang ditunjuk.
Maka dengan alasan yang telah dipaparkan panjang lebar di atas, sekiranya
perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di
atas. Permasalahan ini akan dibahas dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Peran Imam Masjid Sebagai Wali Muh{akkam dalam
12
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Beberapa masalah telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di
atas, oleh karena itu penulis mengidentifikasikan inti permasalahan ini
adalah sebagai berikut :
1. Konsep perwalian dalam hukum Islam.
2. Dasar hukum wali.
3. Syarat menjadi wali dalam pernikahan.
4. Kududukan wali dalam pernikahan.
5. Urutan wali dalam pernikahan.
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dengan wali
Muh}akkam yang terjadi di Siwalankerto Surabaya.
7. Pandangan hukum Islam mengenai imam masjid sebagai wali
muh{akkam dalam perkawinan yang terjadi di masjid Al-Mu’awanah
Siwalankerto Surabaya.
Adanya permasalahan di atas, maka untuk memberikan arah yang jelas
dalam penelitian ini penulis membatasi pada masalah-masalah sebagai
berikut :
1. Penyebab terjadinya imam masjid sebagai wali muh}akkam dalam
pernikahan yang terjadi di masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto
13
2. Tinjauan hukum Islam terhadap imam masjid sebagai wali muh}akkam
dalam pernikahan yang terjadi di masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto
Surabaya.
C. Rumusan Masalah
Agar jelas dan praktis, maka permasalahan-permasalahan ini akan
penulis rumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana penyebab terjadinya pernikahan dengan Imam Masjid
sebagai wali muh}akkam yang terjadi di masjid Al-Mu’awanah
Siwalankerto Surabaya?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap peran imam masjid
sebagai wali muh}akkam dalam pernikahan yang ada di masjid
Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya?
D. Kajian Pustaka
Perkawinan bawah tangan di Indonesia bukanlah hal baru lagi di
masyarakat, kajian pustaka pada kasus ini adalah untuk mendapatkan
gamabaran hubungan topik yang akan penulis paparkan dengan penelitian
sejenis yang mungkin pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya
sehingga diharapkan tiadak ada pengulangan materi penelitian.
Adapun penelitian terdahulu yang pernah dilakukan para peneliti
14
1. Peran Kiai Sebagai Wali Muh}akkam (Studi Kasus di Desa Sukabumi,
Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo), Skripsi Alwi Sihab UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, hasil penelitian menunjukkan bahwa
peran kiai sebagai wali muh{akkam dipergunakan oleh mempelai
pengantin dengan pertimbangan hamil prapernikahan, kawin lari, masalah
poligami, tidak memenuhi syarat undang-undang serta ekonomi.24
2. Analisis Putusan Mengenai Perkara Peralihan Perwalian Dari Wali Nasab
Kepada Wali Hakim Karena Wali Adhal (Studi Kasus Putusan Nomor
58/Pdt.P/2010/Pa Mks.) Skripsi Indra Fani UNHAS Makasar, hasil
penelitian ini menjelaskan tentang dasar & pertimbangan hukum
majelis hakim dalam menetapkan wali ad{al, cara penggugat bermohon
pada Pengadilan Agama Makassar untuk peralihan dari Wali Nasab ke
wali hakim karena wali ad{al serta proses penyelesaian perkara wali ad{al di
Pengadilan Agama Makassar25.
3. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Pernikahan Dengan
Menggunakan Wali Hakim Karena Orang Tua Di luar Negeri (Studi
Kasus di Desa Dampul Timur Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang).
Skripsi M. Wadis UINSA Surabaya. yang intinya praktik yang terjadi di
Desa Dampul Timur Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang merupakan
sebuah pernikahan di mana dalam perwaliannya sang mempelai
24Alwi Sihab, “Peran kiai Sebagai Wali Muh{akkam Studi Kasus di Desa Sukabumi, Kecamatan
Mayangan, Kota Probolinggo”(Skipsi UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2013),t.h.
25Indra Fani, “Analisis Putusan Mengenai Perkara Peralihan Perwalian dari Wali Nasab kepada
Wali Hakim karena Wali Ad}al Studi Kasus Putusan Nomor 58/Pdt.P/2010/PA Mks”(Skripsi
15
perempuan wali nasabnya di luar negeri, sehingga dalam proses
pernikahan seorang wali nasab tidak bisa hadir dalam pernikahan tersebut
karena uz}ur, yaitu jarak yang tidak memungkinkan. Maka dari itu, dalam
menikahkan anaknya langsung diwalikan ke hakim yang menikahkan
untuk menikahkan anaknya dengan tanpa mengikuti urutan wali nasab
sebelumnya.26
Dari kajian pustaka di atas penelitian penulis berbeda, letak
perbedaannya adalah tentang seorang imam masjid yang biasa menjadi
wali muh}akkam walaupun wali dari calon mempelai perempuan ada.
Keberadaan wali dari calon mempelai perempuan tidak diinformasikan
bahwa calon mempelai perempuan akan melangsungkan pernikahan
karena kendala jarak yang teramat jauh, kemudian calon mempelai
perempuan menunjuk imam masjid untuk bertindak sebagai walinya yang
disebut wali muh{akkam, hal ini bisa dilangsungkan jika jarak antara wali
muh{akkam dan wali nasab lebih satu shafar atau 16 farsakh.
E. Tujuan penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang tersebut di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
26 M. Wadis, “Analisis Hukum Islam terhadap Praktik Pernikahan dengan Menggunakan Wali
Hakim karena Orang Tua di Luar Negeri di Desa Dampul Timur kecamatan Jrengik Kabupaten
16
1. Mengetahui penyebab terjadinya peran imam masjid sebagai wali
muh}akkam dalam pernikahan yang ada di masjid Al-Mu’awanah
Siwalankerto Surabaya.
2. Mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap peran imam masjid sebagai
wali muh{akkam dalam pernikahan yang ada di masjid Al-Mu’awanah
Siwalankerto Surabaya.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat untuk hal-hal
sebagai berikut :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan pembaca
pada umumnya, dan khususnya bagi mahasiswa yang berkecimpung
dibidang Ahwal al-Syaksiyah yang berkaitan dengan perwalian dalam
pernikahan.
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
inspirasi pada umat Islam khususnya di Indonesia serta memberikan
pemahaman pada masyarakat Islam bahwa pernikahan itu harus
dicatatkan dan jika tidak ada wali nasab maka bisa menggunakan wali
17
G. Definisi Operasional
Untuk memperjelas arah pembahasan masalah yang diangkat. Maka
penulis perlu memberikan definisi dari judul tersebut, yakni dengan
menguraikan sebagai berikut :
1. Hukum Islam
Seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah rasul
tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini, berlaku
untuk mengikat semua umat yang beragama Islam.27 Dalam hal ini
hukum Islam adalah al-Qur’an, sunnah, Qawl Fuqaha.
2. Imam Masjid
Imam merupakan sebuah posisi pemimpin dalam agama Islam. 28
Masjid adalah rumah atau bangunan tempat bersembahyang orang
Islam.29 Imam masjid yang penulis maksud adalah orang yang menjadi
pemimpin dari para jama’ah untuk melaksanakan sholat wajib yang ada
di masjid Al-Mu’awanah yang ada di Siwalankerto Surabaya.
3. Wali Muh{akkam
Seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami istri untuk
bertindak sebagai wali dalam pernikahan mereka.30karena alasan tidak
adanya wali nasab, atau bahkan wali nasab enggan menjadi wali saat
27 Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam,(Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004), 12 28 Setya Nugraha, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya : Karina, t.t.,), 250
29 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ke-3 edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), t.h._
18
pernikahan kedua mempelai, kedua calon mempelai cenderung
mempercayakan tokoh masyarakat, atau tokoh agama (imam masjid)
untuk dijadikan sebagai wali muh{akkam dalam melangsungkan
pernikahan mereka.
H. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Terkait dengan rumusan masalah di atas, data yang dikumpulkan
adalah sebagai berikut :
a. Data yang terkait tentang peran imam masjid sebagai wali
muh}akkam dalam pernikahan di masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto
Surabaya.
b. Data yang terkait mengenai pernikahan dengan wali muh}akkam
menurut hukum Islam.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sumber data primer
dan sekunder, yang akan dijabarkan sebagai berikut :
Sumber primer yang merupakan sumber data utama dalam
penelitian ini adalah keterangan dari wawancara antara lain :
a. Imam masjid yang bertindak sebagai wali muh{akkam.
b. Ta’mir Masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya.
Sedangkan sumber sekunder yaitu dari literatur dan buku-buku
19
yang ada hubungannya dengan judul skripsi yang diteliti. Adapun buku
yang dijadikan sumber data skunder adalah sebagai berikut :
1. Fiqh as-Sunnah, karya sayyid Sabiq
2. Bida{yatul al-Mujtahid wa niha{yah al-Muqtas{id, karya Ibn Rusyd
3. Al-Fiqh ‘ala Madha}hibil al-Arba’ah, karya Abdurrahman al-Jaziri
4. Risalah Nikah, Karya Sa’id bin Abdullah bin Thalib al-Hamdani
5. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, karya Amir Syarifuddin.
6. Fiqih Lima Madzab, karya Muhammad Jawad Mughniyah
7. Fiqh Munakahat, karya Abdul Rahman Ghozali
8. Hukum Perkawinan Islam, karya M. Idris Ramulyo
9. Pokok-pokok Materi Metodelogi Penelitian dan Aplikasinya, karya
M. Iqbal Hasan
3. Teknik Pengumpulan Data
Interview
Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengajukan
pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden atau
informan yang sesuai dengan topik penelitian.31
Metode ini dilakukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan
yakni pelaku yang bertindak sebagai wali muh}akkam dalam
pernikahan, saksi yang mengetahui prosesi pernikahan tersebut, serta
20
ta’mir masjid Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya tempat
berlangsungnya pernikahan.
4. Teknik Pengolahan Data
a. Editing
Adalah usaha merapikan data yang awalnya belum tersusun rapi
dan membuat penulisan skripsi menjadi lebih terstruktur mudah
untuk dipahami.
Teknik ini digunakan penulis untuk memeriksa kelengkapan yang
sudah penulis dapatkan dari sumber utama yakni Imam masjid
Al-Mu’awanah Siwalankerto Surabaya.
b. Organizing
Adalah suatu proses dimana pelaksanaan suatu tujuan tertentu
dilaksanakan dan diawasi. Pelaksanaan tersebut berada di masjid
Al-Mu’awanah Siwalanketo Surabaya. Dalam rangka memaparakan apa
yang telah dirancang sebelumya untuk memperoleh bukti-bukti dan
gambaran secara jelas tentang pernikahan menggunakan wali
Muh{akkam.
c. Analizing
Adalah melakukan analisa/tinjauan hukum terhadap hasil
pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah, teori, dalil
hingga diperoleh kesimpulan akhir sebagai jawaban dari
permasalahan yang dipertanyakan.
21
Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut
dapat ditafsirkan, setelah data yang diperlukan terkumpul, maka penulis
akan menganalisis data tersebut dengan menggunakan metode analisis
deskriptif yaitu menyajikan data dalam bentuk narasi yang saling
berkaitan dan mempunyai bobot yang memadai.
Demikian pula penulis gunakan cara berpikir ilmiah yang
berangkat dari kesimpulan yang umum menuju yang khusus (deduktif),
dengan menjelaskan aturan-aturan dalam hukum Islam tentang
pernikahan dengan wali muh{akkam, kemudian digunakan untuk
menganalisis hal-hal yang bersifat khusus yaitu yang terjadi di
Siwalankerto Surabaya.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan jaminan bahwa pembahasan yang termuat dalam
penulisan ini benar-benar mengarah kepada tercapainya tujuan yang ada,
maka peneliti membuat sistematika sebagai berikut :
Bab pertama berisi tentang Pendahuluan. Pada bab ini meliputi : latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi operasional, metode penelitian, teknik pengumpulan data,
teknik pengolahan data, metode analisis data dan sistematika pembahasan.
Bab kedua tentang landasan teori, bab ini membahas tentang konsep
perwalian dalam hukum Islam, dasar hukum perwalian, macam-macam wali,
22
Islam, macam-macam wali nikah, konsep wali Muh}akkam. Hal ini yang
nantinya digunakan sebagai pisau analisis tinjauan hukum Islam dalam
menganalisis tentang wali muhakam dalam pernikahan, hal ini mengacu pada
al-Qur’an, as-Sunnah, Qawl Fuqaha, Kompilasi Hukum Islam dan UU no 1
tahun 1974 tentang perkawinan.
Bab ketiga berisi tentang pembahasan. Dalam hal ini dibahas tentang
profil kelurahan Siwalankerto, keadaan masjid diberlangsungkannya
pernikahan dengan wali muh{akkam, dan praktik peran imam masjid sebagai
wali Muh}akkam dalam pernikahan.
Bab keempat berisi analisis, dalam bab ini berisi tentang ulasan
analisis tentang praktik peran imam masjid sebagai wali Muh}akkam dalam
pernikahan dan analisi hukum Islam terhadap peran imam masjid sebagai
wali muh}akkam dalam pernikahan.
BAB II
KONSEP PERWALIAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Konsep Wali dalam Hukum Islam
Perwalian dalam pernikahan memang harus ada karena menentukan
keabsahan ikatan sakral yang akan dijalani, ikatan sakral ini bukan hanya
sekedar formalitas saja melainkan harus memiliki tujuan yang jelas, tujuan
dari pernikahan adalah mewujudkan keluarga yang saki>nah, mawaddah, dan
rah}mah. Adapun untuk mewujudkan tujuan dari pernikahan penulis
memaparkan konsep pernikahan menurut hukum Islam adalah sebagai
berikut :
1. Pengertian wali
Perwalian dalam istilah bahasa adalah wa>li yang berarti menolong
yang mencintai.1 Kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak dari
awliya>. Kata ini berasal dari bahasa arab yang berarti teman, klien, sanak
atau pelindung. Dalam literatur fiqih Islam disebut dengan al-wala>yahi
(alwila>yah), orang yang mengurus atau yang menguasai sesuatu. 2
Perwalian dalam istilah fiqih disebut wila>yah, yang berarti penguasaan
dan perlindungan. Seperti dalam penggalan ayat, “wa man yatwallallaha
1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawir, (Jogjakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir,
1984), 1960.
2 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
24
wa rasu>lahu” dan kata “ba’d}uhum awliya>’u ba’d}in. Ayat 61 Surat
At-Tawbah juga berarti kekuasaan atau otoritas (as-Sult{ah wal-Qudrah).
Adapun perwalian dalam terminologi para fuqaha>’ (pakar hukum Islam),
seperti disebutkan Wahbah al-Zuhayli ialah kekuasaan/otoritas yang
dimiliki seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan
sendiri tanpa harus bergantung pada izin orang lain. Jadi perwalian
menurut fiqih ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada
seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang. Orang
yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali.3
Untuk memperjelas pengertian tentang perwalian, maka penulis
memaparkan beberapa pengertian antara lain, perwalian yang berasal
dari kata wali mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua
yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau
belum akil baligh dan melakukan perbuatan hukum.4 Sedangkan menurut
Amin Suma perwalian adalah kakuasaan atau otoritas (yang dimiliki)
seseorang untuk secara langsung melakukan tindakan sendiri tanpa harus
bergantung ( terikat ) atas izin orang lain.5
Sedangkan menurut Dedi Junaedi, perwalian dalam Islam dibagi
menjadi dua kategori yaitu : Perwalian umum biasannya mencakup
3 Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-undang Perkawinan, (Undang-Undang no. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 1986), 41.
4 Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum
Islam dan Hukum Adat, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2002), 60
5 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
25
kepentingan bersama (bangsa atau rakyat) seperti waliyul amri> (dalam
arti Gubernur atau yang lainnya). Sedangkam perwalian khusus ialah
perwalian terhadap jiwa dan harta seseorang, seperti terhadap anak
yatim.6Sayyid sabiq juga mengklasifikasikan wali menjadi dua golongan,
menurutnya wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan
pada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, selanjutnya menurut
beliau wali ada yang khusus dan ada yang umum, yang khusus adalah
yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya.7
Berbeda dari pengertian di atas, kamus praktis bahasa Indonesia,
wali berarti orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban
mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa atau
pengasuh pengantin perempuan pada waktu nikah (orang yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).8Senada dengan
Kamus besar bahasa Indonesia, Ali Afandi menuturkan perwalian adalah
pengawasan pribadi dan pengurusan terhadap harta kekayaan seorang
anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua. Jadi dengan demikian anak yang orang tuannya telah bercerai
atau salah satu dari mereka meninggal dunia, ia berada dibawah
perwalian.9
6 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, (Jakarta : Akademika Pressindo. Cet pertama, 2000),
104.
7 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 7, (Bandung,: Al ma’arif, 1980), 7.
8 Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1996), 176.
9 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Kleuarga, Hukum Pembuktian, ( Jakarta: Rineka Cipta,
26
Muhammad jawad al-Mugniyah memberi pengertian wali adalah
seorang yang diberi kewenangan atau kekuasaan secara syar’i atas
segolongan manusia, hal tersebut dikarenakan adanya kekurangan
tertentu pada orang tertentu.10 Sedangkan Abdur Rahman al-Jaziri dalam
kitabnya fiqih ‘ala> madzahibil ‘arba’ah mendefinisikan wali dalam nikah
bahwa :11
ْ اَْول
ْي ل
ْ
ْ فْ
ْيلا
َْك
ْ حا
ُْْ
َْوْ
ْ لاْ ذ
ْ ى
َْْ يَْ ل
َْوْ ق
ُْف
َْْعَْل
ْ يْ هْ
ْ ص
ْ ح
َْةْ
ْ لاَْع
ْ قْ د
َْْف
َْل
َْْي
ْ ص
ُْح
ْْ ب
ُْدْ وْ
نْ هْ
َْوُْ
وْ
ْ اََْ
ُْب
َْاْ وَْو
ْ ص
ْ يُْةْ
َْوْ لاَْق
ْ رْ ي
ُْب
ْْ ا
َْعل
ْ صا
ُْب
ْْ لا
ُْمْ عْ
لُْقْ
َْو
ُْسلا
ْ لَْط
ُْنا
َْْوْ لا
َْمْ لا
ُْك
Artinya :”Wali dalam nikah adalah orang yang mempunyai puncak kebijaksanaan atas keputusan yang baginya menentukan sahnya akad (pernikahan), maka tidaklah sah suatu akad tanpa dengannya, ia adalah
ayah atau kuasanya dan kerabat yang melindungi, mu’tik, sultan dan
penguasa yang berwenang.”
Mustofa Hasan seirama dengan pernyataan dari Abdur Rahman al-Jaziri,
beliau menyatakan wali dalam nikah adalah orang yang berhak
menikahkan karena adanya pertalian darah secara langsung dengan pihak
mempelai perempuan.12
Jadi wali dalam nikah adalah seorang laki-laki yang berwenang
untuk menikahkan calon mempelai putri akibat hubungan darah, yang
berhak menjadi wali adalah kelompok kerabat laki-laki lurus ke atas
(ayah, kakek dan seterusnya), kelompok kerabat saudara laki-laki
kandung atau saudara laki-laki seayah, kelompok kerabat paman
10 Muhammad Jawad al-Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, ( Jakarta: Lentera, 2011), 345.
11 Abdur Rohman al-Jaziri, Fiqih ‘Ala Madzahibil Arba’ah, Jilid 4 Kairo: Darul Haditst, 2004),
26.
27
(saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan seterusnya), dan
kelompok saudara laki-laki kandung kakek.
Menurut hukum Islam perwalian terbagi dalam tiga kelompok. Para
ulama mengelompokan perwalian sebagai berikut :
1. Perwalian terhadap jiwa ( al-wala>yah ‘alan-nafs );
2. Perwalian terhadap harta ( al-wala>yahalal-ma>l );
3. Perwalian terhadap jiwa dan harta ( al-wala>yah ‘alan-nafsi wal-ma>li
ma’an).
Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-wala>yah ‘alan-nafs,
yaitu perwalian yang bertalian dengan pengawasan ( al-ishra>f ) terhadap
urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga. Hal ini
berdasarkan pengertian semantik, kata wali dapat dipahami alasan hukum
Islam menetapkan ayah sebagai orang yang paling berhak untuk menjadi
wali dalam kepentingan anaknya, karena ayah adalah orang yang paing
dekat, siap menolong, serta mengasuh dan membiayai anak-anaknya. Jika
tidak ada ayahnya barulah hak perwaliannya digantikan oleh keluarga
dekat lainnya dari pihak ayah, dan seterusnya.13
Setiap pernikahan harus memerlukan wali. Adanya wali merupakan
salah satu rukun untuk sahnya suatu pernikahan, disamping zawjun
(suami), zawjatun (istri), wali, shahidayn (dua orang saksi) dan ija>b qabu>l.
Ditetapkannya wali sebagai salah satu rukun keabsyahan perkawinan
bukanlah ingin mempersulit pelaksanaan perkawinan, melainkan didasari
28
oleh sejumlah nas} yang s}ahih. Didalam sejumlah hadits diterangkan
mengenai keharusan adanya wali dalam pernikahan.
2. Dasar Hukum Perwalian
Menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian, hukum Islam
merujuk kepada firman Allah Swt, as-Sunnah dan qaul fuqaha>’, dasar-dasar
mengenai perwalian adalah sebagai berikut :
ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْْْ
Artinya: ”Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya, dan Allah Maha
perkasa lagi maha bijaksana”. (Q.S. al-Baqa>rah: 228).14
ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْْْ ْ
Artinya :Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (Q.S. An-Nu>r: 32).15
Dalam Firman Allah Swt :
14 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah atau
Penafiran al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Restu, 1979), 34.
29 ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْْْ ْ
Artinya : Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. al-Baqa>rah: 232).16
Dalam hal ini al-Maraghi menjelaskan dalam firman Allah:
“مهنيب”menunjukkan bahwasanya tidak ada halangan bagi seseorang
laki-laki untuk melamar perempuan atau janda tersebut langsung kepada
dirinya untuk melakukan pernikahan. Pada saat itu diharamkan pada
walinya menahan dan menghalang-halangi melakukan pernikahan
dengan orang yang melamarnya.17
Dalam hadits yang berkenaan dengan wali nikah, yaitu:
َْعْ ن
ْ
ُْسَْلْ ي
َْم
ْ نا
ْْ ب
ْ ن
ُْْمْ
و
َْس
َْعْى
ْ ن
ْ
ُْزلا
ْ ْ ر
َْعْى
ْ نْ
ُْعْ رَْ
و
َْعْة
ْ ئا
َْشَْة
َْْأ
ْ ن
ْ
ّْلا
ي
ْ:لاقْ.م.ص
اّا
اْ مَْرَْأ
ْ ةْْ
َنَْك
َْح
ْ ت
ْ
ْ بَْغ
ْ يْ
ْ إْ ذ
ْ ن
َْْوْ ل
ْ يَْه
َْفْا
ْ
َْك
ُْحا
َْهَْبا
ْ طا
ْ لْ
ْ إفْلطاباهحاك فْلطاباهحاك ف
ْ نْ
َْدَْخ
َْلْ
َْ ب
َْواْ
َََ
ْلحلسااارهَاا
ْ م
ْ نْ
َْ فْ ر
ْ ج
َْهْا
ْ إَف
ْ نْ
ْ ورجلسا
َْفْا
ُْسلا
ْ لَْط
ُْنا
َْْو
ُْ ل
َْْم
ْ نْ
َََْْو
ْ ل
َْْلُْه
ْ
)يئاس لاَّْاْةسمخااماور(
18.
Artinya: “Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri, dari Urwah dari Aisyah,
sesungguhnya Nabi Muhammad Saw telah bersabda: “Barang siapa di
16 Ibid.,35 17 Ibid.,35
30
antara perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal. Karena apabila terjadi persetubuhan maka baginya (perempuan yang dinikahi) berhak atas mahar dengan sebab dihalalkannya farjinya. Demikian pula apabila terjadi pertentangan (tenang walinya) maka sulthan adalah wali bagi seorang yang tidak mempunyai wali.”
Dan dalam hadits yang lain, dalam Sunan Ibnu Majah (Kita>bun
Nika>h} dan Kita>but T>{ala>q) disebutkan:
َْح
ْ دَْ ث
ََْْاا
ُْ بْ وُْك
َْرْ ي
ْ ب
ْ
َْأََ ث
ْ
ْ نباْهاادبع
ْْ
ُ
َا
َْع,كراب
ْ نْ
َْح
َْج
ُْجا
َْْع
ُْزلاْن
ْ
َْع,ىر
ْ ن
ُْعْ رَْ
وَْة
َْْع
ْ ن
َْعْ ئا
َْشَْة
َْْع
ْ نْ
صْي لا
.
ْم
َْوَْع
ْ نْ
ْ ع
ْ كَْر
َْمَْةْ
َْعْ ن
ْ
لاقْ:لاقْسابعْنبا
ْ
مْصْهااْلوسر
”ْ
ََْْ ن
َْك
َْحا
ْْ إ
ْ َْ ب
َْوْي ل
َْوْ"
ْ ف
ْ
ْةشئاعْثيدح
)
ُْسلاو
ْ لَْط
ُْنا
َْْو
ْي ل
َْْم
ْ نْ
َََْْو
ْ ل
َْْلُْه
(
19Artinya:“Telah meriwayatkan kepada kami Abu Kuraib: Telah
meriwayatkan kepada kami Abdullah bin Mubarok, dari Hajjaj, dari Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, dari Nabi Saw dan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, keduanya mengatakan: Rasulullah Saw telah bersabda: tidak sah pernikahan tanpa wali”. Dan dalam hadits ‘Aisyah disebutkan “dan bagi
perempuan yang tidak mempunyai wali, maka penguasalah yang menjadi walinya”.
Selanjutnya Sayid Sabiq menyertakan sebuah hadits yang
dikutipnya, sebagaimana disebutkan dalam karyanya Fiqih al-Sunnah,
yang berbunyi sebagai berikut:
َْعْ ن
ْْ با
ْ ن
ُْْمْ
و
َْس
ى
َْْا
ْ ن
َْْر
ُْسْ و
َْل
ْ
هاا
ْ
ص
ْم
ْ
لاق
ْ :
ََْْ ن
َْك
َْحا
ْْ إ
ْ َ
ْْ بَْو
ْيل
ْ
)
اور
ْ
دما
ْ
يأو
ْ
دوواد
ىذمرلا
ْ
نباو
ْ
نابح
ْ
مكا او
ْ
اهححصو
(
Artinya: “Dari Abu Musa, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:
“Tidak sah nikah tanpa wali”.20
Serta dalam hadits lain:
19 Muhammad Yazid al-Qozwaini, Sunan Ibnu Majah, juz 1,( Dar al- Fikr, t.t., ). 605
31
َْح
ْ دَْ ث
َْ
ْ َجْا
ْ يُْل
ْْ ب
يليقعلاْ ناورمْ نبْ دمحْ ا ثْ يكلعلاْ نس اْ ن
نعْ ناسحْ نباْ مس ْ ا ث
لاق:لاقْ ةرير ْ ياْ نعْ نيرسْ نبْ دمح
ََْ(ْ مْ صْ هااْ لوسر
َْ تَْزْ و
ُْج
ْْ
َ
َاْ رَْأ
ُْةْ
َْوََْ
َْ تَْْز
ْ وُْج
ْ
َ
َاْ رَْأ
ُْةَْْ ن
ْ ف
َْسَْه
َْفْا
ْ إْ ن
ْ
ْ زلا
ْ ناَْيَْة
ْْ
َْيْ
ْ لا
ْ ت
ُْ تَْْز
ْيو
ُْجْ
َْ نْ ف
َْسَْه
ا
21(
Artinya: ”Telah meriwayatkan kepada kami Jamil dan Hasan al-‘Atiki:
telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Marwan al-Uqaili: Telah meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirrin, dari Hurairah, ujarnya: Rasulullah bersabda: Seseorang perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lain, dan juga seorang perempuan tidak boleh menikahkan diri sendiri. Karena hanya perempuan berzinalah yang
menikahkan dirinya sendiri”.
Selain dasar hukum di atas yang bersumber dari al-Qur’an dan as
-Sunnah, pendapat para ulama’ fiqih juga penulis jadikan dasar hukum
dalam konsep perwalian menurut hukum Islam, berikut adalah pandangan
para ulama’ fiqih tentang dasar hukum wali dalam pernikahan :
Pandangan Malikiyah tentang wali, Imam Malik, sebagaimana
dikutip Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa tidak terjadi pernikahan, kecuali
dengan wali. Wali adalah syarat sahnya pernikahan sebagaimana riwayat
hadits Asyhab.22Atas pemikiran imam Malik, para pengikut Imam Malik
atau dikenal Malikiyah, lebih tegas berpendapat, wali adalah rukun dari
sebagian rukun nikah, tidak sah nikah tanpa adanya wali.23
Pandangan Syafi’iyah, dalam hal ini diwakili oleh Imam Taqiyuddin
Abi Bakar ibn Muhammmad al-Husaini al-Husna al-Dimsqi al-syafi’I
dalam kitabnya Kifa>yatul Akhya>r fi> H}alli Ga>yat al-Ikhtis{ar, dijelaskan
21 Ibid,. 606
22 Ibnu Rusyd, Bida>yatu al-Mujtahid wa Niha>yatu al-Muqtas}id, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz 2,.t.t), 7. 23 Abdur Rahman al-Juzairi, Fiqih ‘Ala al-maz}a>hibil al-Arba’ah, jilid 4,(Beirut : Dar Al-Fikr,
32
bahwa wali adalah salah satu rukun nikah, tidak sah pernikahan kecuali
dengan wali.24
Senada dengan pandangan Malikiyah dan Syafi’iyah, pandangan
Hanabilah mengenai wali pada dasarnya sama, ketiga madzab tersebut
menganjurkan nikah harus dengan menggunakan wali, karena adanya wali
itu sangat penting (d{aru>ri) dalam menentukan sahnya pernikahan.25
Menurut Abdur Rahman al-Jaziry,
َْ تاَْف
َْق
ْ
ةيكلَا
ْ
ةيعفاشلاو
ْ
ةلبا او
َْْعَْل
ى
ْ
َْضُْر
ْ وَْرْ ة
ُْْو
ُْجْ و
ْ د
ْ
لولا
ْ
ْ ف
ْ
ْيلا
َْك
ْ حا
َْْف
ُْك
ُْل
ْْ ن
َْك
حا
َْ يَْق
ُْع
ْْ ب
ُْدْ و
ْ ن
ْ
َْولا
ْي ل
َْْاْ و
َْْم
ْ ن
َْْ يُْ
ْ و
َْب
َْْمَْ
ْ باْ ه
َْْ يَْق
ُْع
َْْب
ْ طا
ْال
َْْ فَْل
ْ ي
َْس
ْْ ل
َْملْ
رَْأْ ة
ُْْ تَْب
ْ شا
ُْرْ
َْعْ ق
ُْد
ْ
اهجاوز
َْ ب
ْ لا
ْْ م
َْن
ْ
َْلا
ْ حَْو
ْ لا
ْ
َْسَْو
ْ ءا
ْ
َْك
َْنا
ْ ت
ْ
َْكْ ب
ْ يَْرة
َْْاْ و
ْ
َْص
ْ غْ يَْر
ة
َْْع
ْ قاَْل
ْ ةْ
َْاْ و
ْ
ْ َُْ
ْ وَْنْ ة
ْْ ا
ْ َ
َْْأْ ن
َْها
ْ
َْك
َْنا
ْ ت
ْ شْ ي
َْبُْةْ
ََْْ
َْيْ ص
ْ ل
ُْحْ
َْزَْوا
ُْجَْه
اْْ ب
ُْدْ و
ْ نْ
ْ إَْذا
َْْوَْر
َْض
َْها
26.
Artinya: ”Telah sepakat golongan Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah
atas pentingnya keberadaan wali dalam suatu pernikahan, maka setiap nikah yang didapati tanpa adanya wali atau tanpa adanya pengganti atas kedudukannya (wali) adalah batal hukumnya. Dari itu, tidak ada seorang perempuan pun yang dapat melakukan atau melangsungkan akad nikahnya, baik gadis yang telah dewasa, kecil, berakal maupun majnunah, kecuali ia telah dewasa dan menjadi janda, maka di sini seorang wali dianggap kurang baik bila dengan kemauannya menikahkan lagi tanpa
seizin anaknya yang janda tersebut dan atas ridhanya”.
Sedangkan pandangan hanafiyah berbeda dengan pendapat para
imam diatas. Zufar, Al-Sya’bi, dan Al-Zuhri berpendapat bahwa apabila
24 Ad-Dimsyiqi, Kifa>yatul Akhyar fi> H}alli Gayat al-Ikhtisyar Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr, t,.t), 48. 25 Dedi Supriadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung : Pustaka Setia,2009),46
26 Abdur Rohman al-Jaziri, Fiqih ‘Ala> Maz}ahibi al-Arba’ah, Jilid 4 ( Mesir: Darul Haditst, 2004),
33
seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa menggunakan wali,
sedangkan suaminya sebanding (kufu’), maka nikahnya sah.27
3. Syarat Wali Nikah
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan
yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu seorang wali haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :
1. Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali), 2. Baligh (anak-anak tidak
sah menjadi wali), 3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali), 4.
Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali), 5. Adil (orang fasik tidak sah
menjadi wali), 6. Tidak sedang ihrom atau umroh.28
Sayyid Sabiq beranggapan, syarat-syarat bagi seorang wali nikah
yaitu :Orang merdeka atau tidak budak belian, telah sampai umur atau
sudah baligh, berakal, beragama Islam. Tidak jauh beda Sudarsono
menyebutkan bahwa wali nikah harus memenuhi kriteria dasar dan
mengikat. Kriteria tersebut terdiri dari; baligh, berakal sehat, merdeka,
laki-laki, Islam dan tidak sedang dalam ihram atau umrah.29sedangkan
Hussein Bahreisy menyatakan bahwa syarat-syarat wali nikah yaitu
:Laki-laki, muslim, dewasa, berakal, tidak ihram / haji ataupun umroh,
tidak dipaksa, berakhlak baik.30\
27Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Lengkap,(Depok: Rajawali Press. 2014), 91
28 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-Undang
dan Hukum Perdata (BW), (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981), 28
34
Kemudian dalam I’a>nat at-T}a>libi>n juz III, menyatakan :
َْوُْش
ُْرْ و
ُْط
ْ
ْ ف
ْْ لا
َْوْي ل
َْْع
َْدَْلا
ْ ةْ
َْوُْح
ْ رْ يُْة
َْْو
ْ للا
ْ كْ ل
ْ ي
ُْف
َْْف
َْل
ْ
ةيَو
ْ
قسافل
َْْغ
ْ يُْر
ْ لا
َْمْ ما
ْ
َْلا
ْ عْ
َظ
ُْم
َْ ل
ْ ن
ْ
قسفلا
ْ
َْ نُْق
ُْص
َْْ يْ ق
َْد
ُْح
ْ ف
ْ شلا
َْه
َْداُْة
َْْ فَْي
ْ مَْ
ُْعْ
ْ ولا
َََْْي
ُْةْ
َْك
ْ رلا
ْ ق
َْْ
َْذ
ُْاَْو
ُْض
ْْ
َ
َا
ْ ذ
َْ
ْ ب
َْخا
ْ ي
َْصلا
ْ ح
ْ يْ ح
ْ
ََْْ ن
َْك
َْحا
ْ
ْ إ
ْ َْ ب
َْوْي ل
ُْْمْ ر
ْ ش
ْ دْ
ْ لدعا
31Artinya:“Syarat wali itu harus adil, merdeka dan mampu bertanggung
jawab (dewasa dan berakal sehat). Karena itu tidak boleh menjadi wali bagi orang yang fasik selain Imam yang mulia, sebab kefasikan itu dapat
mengurangi sifat muru’ah dalam persaksian yang (karenanya) dapat
menjadi penghalang pada kompetensinya (menjadi wali) sebagaimana seorang budak. Ini pendapat madzhab yang berdasarkan hadits shahih yaitu: tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali yang cerdas (mursyid) artinya adil.
4. Urutan Wali Nikah
Keberadaan wali nikah bukanlah untuk mempersulit para calon
mempelai dalam pelaksanaan menikah, keberadaan wali sangatlah fleksibel
bisa disesuaikan dengan keberadaan wali yang ada pada saati itu, berikut
penulis paparkan urutan wali menurut hukum Islam :
Imam Malik berpendapat keluarga dekat lebih berhak untuk menjadi
wali. Selanjutnya beliau mengatakan anak laki-laki sampai ke bawah lebih
utama, kemudian ayah sampai ke atas, kemudian saudara laki-laki seayah
seibu, kemudian saudara laki-laki seayah saja, kemudian anak laki-laki dari
saudara-saudara laki-laki seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari
31 Muhammad Syatha’ Ad- Dimyati, I’a>natu at-T}a>libi>n, Juz III, (Mesir: Maktabah
35
saudara-saudara lelaki seayah saja, lalu kakek dari pihak ayah, sampai ke
atas.
Sedangkan Wali dalam fiqih munakahat secara umum ada 3 macam,
yaitu wali nasab, wali hakim dan muh}akkam, Dibawah ini akan diuraikan
lebih lanjut mengenai ke-3 macam wali adalah sebagai berikut :
a. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon
mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab urutannya
adalah: Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas,
saudara laki-laki kandung (seibu sebapak), saudara laki-laki sebapak,
anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, anak laki-laki dari
saudara laki-laki sebapak an seterusnya ke bawah, paman (saudara dari
bapak) kandung, paman (saudara dari bapak) sebapak, anak laki-laki
paman kandung, anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya ke
bawah.32
b. Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk
bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat
menggantikan wali nasab apabila: Calon mempelai wanita tidak
mempunyai wali nasab sama sekali, walinya mafqud, artinya tidak
32 M. Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Empat Mazhab, ( Jakarta: PT. Hidakarya
36
tentu keberadaannya, wali berada ditempat yang jaraknya sejauh
masaful al-qashri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar),
wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai,
wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh, 33 anak zina (dia hanya
bernasab dengan ibunya), walinya gila atau fasik.34
c.Wali Muh}akkam
Wali muh}akkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon
suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.35
Adapun cara pengangkatannya adalah : calon suami dan calon istri
mengucapkan tahkim dengan kalimat, “saya angkat bapak/saudara
untuk menikahkan saya pada si (calon istri) dangan mahar……...dan
putusan bapak/ saudara saya terima dengan senang”. Kemudian calon
istri pun mengucapkan hal yang sama dan orang yang dijadikan hakim
pun menjawab , saya terima tahkim ini.36 Orang yang bisa diangkat
sebagai wali muh}akkam adalah orang lain yang terpandang, disegani,
luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas,
adil, Islam dan laki-laki.37
Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan
wali hakim, padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka
33 Departemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah, (Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1997/1998), 35.
34 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung : al- Bayan, 1994), Cet ke1, .62.
35 Beni Ahmad Soebandi, Fiqih Munakahat 1,(Bandung : Pustaka Setia, 2013), 250. 36 Ibid., 250
37
pernikahan dilangsungkan dengan wali muh}akkam. Caranya ialah
kedua calon suami istri mengangkat seseorang yang mempunyai
pengertian tentang hukum-hukum pernikahan untuk menjadi wali
dalam pernikahan mereka. Bila urutan wali diatas masih ada maka
maka muh}akkam tidak boleh mengawinkannya.38
5. Wali Muh}akkam dalam Hukum Islam
Kata Muh}akkam diambil dari bahasa Arab yang asal katanya h{akama
– yah{kumu – h{ukman wah{ukumatan, yang artinya memegang perintah,
mengepalai, menghukumkan, menjatuhkan hukum.39 Mah}kamatun artinya
temp