BAB II
LANDASAN TEORI
A. KebudayaanKebudayaan Indonesia adalah satu kondisi yang majemuk karena bermodalkan berbagai kebudayaan lingkungan wilayah yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya sendiri-sendiri. Pengalaman serta kemampuan wilayah-wilayah itu memberikan jawaban terhadap masing-masing tantangan, itulah yang memberi bentuk, dari kebudayaan itu. Juga proses sosialisasi yang kemudian dikembangkan dalam kerangka masing-masing kultur itu, memberi warna kepada kepribadian yang muncul dari lingkungan wilayah budaya itu sendiri.
Klarifikasi tentang keberadaan tari tidak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Kehadiran tari benar-benar merupakan masalah sosial dan hingga kini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Hadi (2005:30) sebagai berikut:
Kehadiran tari ditengah-tengah masyarakat mengundang berbagai macam pertan yaan. Karena itu lahirlah pertanyaan tentang bagaimana jenis kegiatan atau perilaku sosial yang cukup berarti (significant symbol) ini harus dipahami. Dasar pemahaman ini menyangkut sosiologi yang berskala besar (makro), yaitu merupakan suatu system sosio-kultural yang terdiri dari sekelompok manusia, yang menggunakan berbagai cara untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka; bertindak menurut bentuk tindakan sosial yang sudah terpolakan dan menciptakan kesepakatan bersama yang dibuat untuk memberi makna bagi tindakan bersama yang dibuat.
infrastruktur material yang berisi bahan baku dan bentuk sosial dasar yang berhubungan dengan usaha manusia untuk mempertahankan hidup serta beradaptasi dengan lingkungannya. Infrastruktur sebuah masyarakat dapat diidentifkasi seperti misalnya unit dasar teknologi, ekonomi, ekologi dan demografi. Dengan pengertian bahwa tanpa unit-unit yang paling dasar itu, manusia tidak mungkin dapat bertahan secara fisik. Di samping itu pola social yang termasuk infrastruktur, berisi pula beberapa pola kehidupan sosial yang teratur yang dipakai dikalangan para anggota masyarakat, yaitu struktur social yang selalu merujuk kepada pola prilaku atau berisi apa yang dilakukan orang secara aktual. Unit dasar struktur sosial ini menyangkut misalnya stratifikasi sosial, organisasi sosial, keluarga, kekerabatan, gaya hidup, pembagian kerja dan pendidikan.
Pada dasarnya kesenian yang berkembang di Indonesia terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kesenian yang lahir di kalangan Istana atau kerajaan dan kesenian yang lahir di kalangan rakyat (kesenian rakyat). Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sujana, Anis (2001:132) sebagai berikut:
Sekarang dikenal dua kutub kebudayaan, yaitu kebudayaan rakyat di satu pihak dan kebudayaan istana dipihak lain (volkskuns dan hofkuns), maka kesenian rakyat menempati bagian luar (outdoor) keraton, dan kesenian istana menempati bagian dalam ( indoor) keraton.
Kayam (1981:39) bahwa, sebagai berikut: ”...”tradisi agung” dan “tradisi kecil”. Yakni pola kebudayaan dari peradaban kota (agung) dan pola kebudayaan dari komunitas kecil atau masyarakat pertanian (kecil)”. Hal tersebut diungkap pula oleh Soedarsono dalam bukunya Pengaruh Perubahan Sosial Terhadap Seni Pertunjukkan di Indonesia, dijelaskan bahwa, sebagai berikut.
Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang sangat berbeda, yaitu golongan istana dan golongan rakyat, telah mengahdirkan dua gaya seni pertunjukkan yang sangat berbeda pula, yaitu seni pertunjukkan istana dan seni pertunjukkan rakyat.
B. Kesenian
Kesenian merupakan unsur kebudayaan selalu mengalami perkembangan dan perubahan dari masa ke masa. Perubahan itu disadari oleh pandangan manusia yang dinamis dan semakin lama semakin berkembang dalam konsep proses dan hasil karya berkesenian.
Hal tersebut dapat dimengerti karena kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan dan manusia adalah pencipta sekaligus penikmatnya. Oleh karena itu, sepanjang sejarahnya manusia tidak akan lepas dari seni, karena hal tersebut mengandung nilai estetis (keindahan), sedangkan manusia menyukai keindahan. Sejalan dengan hal tersebut, Rohidi (2000:3) berpendapat sebagai berikut:
Kesenian telah menyertai manusia sejak awal kehidupannya, dan sekaligus juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh hidup manusia. Semua ini menunjukkan keunikan baik dari umurnya maupun ke universalanya, sebagai salah satu bagian dari kebudayaan.
sering orang menyatakan nilai seni merupakan nilai spiritual (kejiwaan). Pandangan tersebut dikemukakan pula oleh Rohindi (2000:11), sebagai berikut:
Kesenian adalah sebagai pedoman bagi pemenuhan integrative, yang bertalian dengan keindahan, berfungsi untuk mengintegrasikan berbagai kebutuhan tersebut menjadi suatu satuan system yang diterima oleh cita rasa yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pembenaran secara moral dan penerimaan akal pikiran warga masyarakat pendukungnya.
Karena kompleksitas dan kedalamannya, maka orang membuat batasan-batasan tentang seni. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam memahami dan menilai seni, sehingga timbul konsep-konsep yang bervariasi sesuai dengan pemahaman, penghayatan, pengalaman dan pandangan seseorang terhadap seni.
Berbagai kesenian merupakan petualangan manusia, dan sebagian besar karya-karya tentang estetika pada masa kini, dimulai dari perbedaan-perbedaan umum di antara cabang-cabang seni yang dihasilkan dalam kehidupan kita. Namun demikian, dalam tahapan tertentu berbagai cabang kesenian ini mempunyai satu kesatuan, yang membentuk identitas masyarakat pendukungnya.
Kesenian sudah melekat dalam tatanan hidup masyarakat. Hal ini tidak dapat kita pungkiri lagi karena kesenian telah ada sejak jaman dulu dalam kehidupan masyarakat. Bentuk kesenian adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia di zaman dulu tersebut, sering kali disebut sebagai kesenian tradisional.
tersendiri yang berpijak kepada adat istiadat atau aturan-aturan yang sudah baku, seperti yang diungkapkan oleh Edy Sedyawati (1981: 48) bahwa:
Predikat tradisional bisa diartikan sebagai segala yang sesuai dengan tradisi sesuai dengan kerangka pola-pola bentuk maupun penerapan yang selalu berulang, sedang yang tidak tradisional adalah yang terikat pada kerangka apapun.
Dari pernyataan di atas, menunjukan bahwa pandangan masyarakat tentang kesenian tradisi hanya diartikan sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan tanpa pengamatan yang lebih dalam, serta mencerminkan makna dan symbol yang terdapat didalamnya.
Kesenian tradisional sangat dirasakan masyarakat pendukungnya sebagai sarana untuk mencapai suatu kebutuhan baik moril maupun spiritual. Mereka sangat percaya bahwa keinginannya, akhirnya akan tercapai. Akan tetapi makna yang terkandung dalam kesenian tradisional pada umumnya berhubungan dengan kebutuhan pendukungnya.
Dari begitu banyak gaya tari rakyat yang ada, maka dapat dilihat ciri-ciri yang selalu ada pada setiap tari rakyat, hal ini diungkapkapkan oleh Sedyawati (1986: 169) diantaranya sebagai berikut:
1. Fungsi sosial; Tarian yang mempunyai sifat sosial atau kebersamaan, atau bisa ditarikan oleh semua kalangan masyarakat.
3. Sifatnya spontanitas dan komunikatif; Geraknya dilakukan tanpa dipikirkan terlebih dahulu tapi muncul secara spontan, asalkan mendekati suasana hati lingkungan, dapat menjadi unsur berlangsungnya sebuah tari rakyat.
4. Bentuk geraknya sederhana; Bentuk gerak yang diungkapkan bukan gerak yang sukar dan tinggi mutunya dalam arti gaya tari tertentu yang tinggi nilainya, akan tetapi sifat atau bentuk gerak yang sederhana (tidak ada pengolahan), sekedar mengimbangi bentuk gerak dan irama pasangannya.
5. Tata rias dan busana pada umumnya sederhana; Kespontanitasan yang dituntut untuk berpartisipasi dalam tarian rakyat, dengan sendirinya menjadikan unsur tata rias dan tata busana penampilan tari rakyat sangat sederhana.
6. Irama iringan dinamis; Iringan musiknya penuh semangat dan tenaga, sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan. Dengan diiringi hentakan-hentakan pukulan kendang lebih kerap, yang menyebabkan gending iringan terasa lebih dinamis.
7. Jarang membawakan cerita lakon; Di dalam pertunjukkan tari rakyat ini tidak membawakan cerita lakon.
9. Sifat tari rakyat sering humoristis: Dari segi sifat tari rakyat, dapat dirasakan bahwa humor sangat menonjol mewarnai sifat tari rakyat itu.
10. Tempat pementasan berbentuk arena; Tempat penyelenggaraan tari rakyat sangat lumrah diadakan di arena, dimana kemungkinan tontonan itu menyatu dengan para penontonnya (tidak ada batas antara pemain dan penonton).
11. Bertemakan kehidupan masyarakat; Tema tari rakyat mencerminkan kehidupan masyarakat dimana teori itu dilahirkan dan dibina, serta dikembangkan, seiring dengan pengaruh suasana lingkungan tempat dan waktu.
Pemaparan di atas diungkap pula oleh Dolyana (1981:14) bahwa, “Ciri khas sebuah kesenian rakyat yaitu suasana yang akrab dan kadang-kadang tidak diketahui lagi batas antara pemain dengan penonton”. Hal tersebut sejalan dengan ciri-ciri kesenian lengger yang merupakan kesenian rakyat.
C.
Kesenian Tradisional Lengger
Dalam Ensiklopedi Indonesia tradisi ialah hal atau segala sesuatu yang
diserahkan dari sejarah masa lampau dalam bidang adat, bahasa, tata
kemasyarakatan, keyakinan dan sebagainya. Secara turun temurun dari nenek
moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat.
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan, berbagai bentuk ekspresi
kebudayaan dan kesenian warisan tradisi mempunyai sifat kedaerahan.
Tradisional dapat diartikan pula sebagai segala sesuatu yang sesuai dengan
pandangan hidup, kepercayaan, ajaran, upacara adat, kesenian yang semua
bersifat turun temurun (Sedyawati, 1981:48).
Seni tradisi dalam kehidupan kita meliputi seluruh bentuk seni yang
dihargai dan merupakan terusan atau kelanjutan masa lalu. Kesenian tradisional
adalah sebagai warisan nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun
merupakan bentuk kesenian yang sudah menyatu dengan masyarakat, sangat
berkaitan dengan adat istiadat, dan berhubungan erat dengan sifat kedaerahan.
Kesenian tradisional merupakan ungakapan perasaan dari masyarakat
pendukungnya secara simbolis. Menurut Sedyawati (1981:48) kesenian
tradisional adalah segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi, kerangka pola-pola
bentuk maupun penerapan yang selalu berulang dan diwariskan secara turun
temurun. Kesenian tradisional sebagai produk rakyat jelas sekali gaya seni dan
ciri-cirinya lebih bersifat spontan dan umumnya mempunyai fungsi ritual.
Kesenian tradisional dalam pertumbuhannya erat dengan lingkungan fisik
maupun sosial budaya. Menurut Soedarsono, “Tari adalah ekspresi jiwa manusia
yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah”.
Diskripsi Pigeaud dalam
Javaanese volksvertoningen lazim digunakan
untuk member gambaran seperti apakah Lengger di masa lalu. Mulanya
pertunjukan ini menampilkan laki-laki yang berperan sebagai perempuan
kemudian menari dan menyanyi diiringi angklung, kempul, gong, dan kendang
bersama penari Lengger. Topeng yang digunakan adalah topeng yang beragam,
mulai dari topeng raja, ksatria, putri, hingga karakter-karakter binatang.
Menurut sumber di sekitar wilayah Banyumas dan Wonosobo, kata
“Lengger” berasal dari dua kata, yakni “Leng” yang berarti lubang atau liang
sebagai symbol feminimitas dan “Ngger” yang berasal dari kata jengger yang
dalam bahasa Jawa merujuk pada jengger ayam jantan (jago) sebagai lambang
maskulinitas. Hal ini berkaitan dengan sejarah pertunjukan Lengger yang
dahulunya ditarikan oleh laki-laki yang berdandan perempuan.
Namun ada juga pendapat bahwa Lengger adalah gabungan kata “le”
yang merupakan suku kata pertama dari kata
Ledhek, Tledhek dan “ngger” yang
berasal dari kata “Geger” yang dalam bahasa Indonesia berarti gempar. Sehingga
dapat dimaknai sebagai tledhek yang membuat kegegeran atau kegemparan.
Cerita ini berhubungan dengan cerita Panji yang dipentaskan, diceritakan dalam
cerita Panji, Dewi Sekartaji dalam mencari sang kekasih yaitu Raden Panji
Inukertapati. Dalam pencarianya, Dewi Sekartaji menyamar sebagai penari
tledhek barangan, dan karena kecantikan serta kepandaianya menari, banyak
pemuda yang tergila-gila hingga tak sadarkan diri.
Tledek geger juga dapat muncul dari kegegeran penari tayub yang
biasanya ditarikan oleh seorang perempuan namun ditarikan oleh seorang
laki-laki. Menurut beberapa sumber, keberadaan penari laki-laki yang berperan
sebagai perempuan telah muncul semasa perang Diponegoro mencapai daerah
Tumenggung Jogonegoro yang juga merupakan orang kepercayaan Pangeran
Diponegoro sekaligus penyiar agama Islam, oleh karena situasi perang yang tidak
memungkinkan untuk mendatangkan penari perempuan pada saat prajurit
membutuhkan hiburan, kemudian mereka mendandani laki-laki layaknya
perempuan untuk menari tayub.
Asal usul berikutnya adalah “Leng” (eling) dari kata
Elinga yang dalam
bahasa Indonesia berarti mengingan atau ingat, dan “ngger” (angger) yang berarti
anak laki-laki. Penyatuan dua kata tersebut berarti “Elinga Ngger”, yaitu
merupakan nasehat yang diberikan kepada anak atau orang yang jauh lebih muda.
Pendapat ketiga ini kental dengan siar Islam. Menurut crita, istilah ini muncul
ketika Sunan Kalijaga menyebarkan Islam di tengah-tengah para pemuda yang
sedang larut dalam kegembiraan Tayuban. (Syamsul Hadi, 2006 : 7)
D.
Fungsi Kesenian Tradisional
Dalam kehidupan sehari-hari manusia memerlukan santapan-santapan
estetis yang berwujud seni. Namun perhatian antara orang yang satu dengan orang
yang lain berbeda. Ada yang lebih senang kepada seni lukis, seni musik, seni
drama, seni tari dan lain sebagainya. Kesenian sebagai salah satu aktivitas budaya
masyarakat dalam hidupnya tidak pernah berdiri sendiri. Segala bentuk dan
fungsinya berkaitan erat dengan masyarakat tempat kesenian itu tumbuh, hidup,
dan berkembang.
Kata fungsi menunjukkan pengaruh terhadap sesuatu yang lain, tidak
dimaksud fungsional bukan merupakan sesuatu yang lepas dari konteksnya,
melainkan harus dipandang secara keseluruhan. Yang dimaksud fungsi kesenian
di sini adalah bahwa kegiatan kesenian tersebut mempunyai peranan penting
dalam kehidupan masyarakat (Soekanto, 1989:6).
Kesenian tradisional dalam kaitannya dengan fungsi, bagaimana suatu
kesenian tradisional yang diciptakan oleh suatu masyarakat dapat mempunyai
makna dan arti penting bagi masyarakatnya, dengan demikian kesenian
tradisional yang hidup dalam kelompok masyarakat tertentu memiliki fungsi
tertentu pula (Sedyawati, 1983:138).
Kehadiran suatu bentuk kesenian di tengah-tengah masyarakat
mempunyai fungsi-fungsi tertentu di tengah kehidupan masyarakatnya. Oleh
karena itu dapatlah kiranya kehadiran suatu kesenian dikaji fungsinya, baik itu
sebagai sarana upacara, hiburan atau tontonan untuk dinikmati masyarakat umum.
Keberadaan suatu bentuk kesenian selalu berkaitan dengan fungsinya.
Kesenian tradisional bukan hanya merupakan suatu sarana hiburan saja, tetapi
berperan erat dalam segi agama, persembahan atau sebagai wujud ungkapan dari
rasa syukur maupun bentuk ekspresi dari masyarakat pendukungnya. Menurut
Peursen (dalam Djazuli, 1994:36) dijelaskan bahwa fungsi selalu menunjukan
terhadap sesuatu yang lain, apa yang namanya fungsional adalah sesuatu yang
tidak dapat berdiri sendiri tetapi apabila dihubungkan dengan yang lain akan
Sebagai salah satu unsur kebudayaan, kesenian memiliki fungsi sebagai
acuan pedoman bertindak bagi pendukungnya, dalam upaya memenuhi kebutuhan
estetikanya. Sebagai sistem budaya, kesenian menjadi pengatur, penata,
pengendali atau pedoman bagi para pendukungnya dalam kegiatan kesenian baik
dalam tataran berkreasi maupun dalam apresiasi. Hal ini terbukti terutama dalam
bentuk kesenian tradisional (Triyanto, 1994:179).
Menurut Thohir (1994:4) kesenian adalah salah satu unsur kebudayan
yang menunjukkan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat.
Melalui kesenian manusia mencari, melaksanakan dan menciptakan aktifitas yang
besar untuk memenuhi rasa estetis sesuai dengan tuntutan emosinya. Menurut
Sach (dalam Djazuli, 1994:36), kesenian tradisional memiliki fungsi untuk tujuan
magis dan sebagai tontonan, tujuan magis maksudnya adalah mempengaruhi
keadaan manusia dan lingkungannya, seperti untuk mendatangkan hujan,
memperoleh kesejahteraan, selamat dari bencana dan lain sebagainya. Fungsi
penyajian kesenian tradisional sebagai tontonan adalah untuk hiburan atau
santapan estetis yang merupakan perkembangan dari fungsi magis.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas peneliti menyimpulkan bahwa
kesenian tradisional yang hidup dalam kelompok masyarakat tertentu memiliki
fungsi tertentu pula dalam kehidupan masyarakatnya. Kesenian tradisional bukan
hanya merupakan suatu sarana hiburan saja, tetapi berperan erat dalam segi
agama, persembahan atau sebagai wujud ungkapan dari rasa syukur maupun
Seni pertunjukan memiliki fungsi yang sangat kompleks dalam kehidupan manusia. Disamping itu, antara manusia yang hidup di negara berkembang dengan yang hidup di negara maju, juga sangat berlainan dalam mereka memanfaatkan seni pertunjukkan dalam hidup mereka. Sebagai contoh yang mudah saja, di negara-negara yang sedang berkembang, yang dalam tata kehidupannya masih banyak mengacu kepada budaya agraris, seni pertunjukkan memiliki fungsi ritual yang sangat beragam. Lebih-lebih apabila penduduk Negara tersebut memeluk agama yang selalu melibatkan seni dalam kegiatan-kegiatan upacaranya, seperti misalnya saja agama Hindu Dharma di Bali. Sebaliknya, di negara-negara maju yang dalam tata kehidupannya sudah mengacu kepada budaya industrial yang segala sesuatu bisa diukur dengan uang, sebagian besar bentuk-bentuk seni pertunjukkan merupakan penyajian estetis, yang hanya dinikmati keindahannya.
Oleh karena begitu kompleksnya fungsi seni pertunjukkan dalam kehidupan masyarakat serta antara masyarakat yang satu menempatkan salah satu bentuk seni pertunjukkan lebih penting dari masyarakat yang lain, maka tak pernah ada kesepakatan serta keseragaman pendapat mengenai fungsi-fungsi yang sangat kompleks ini.
misalnya seorang pengibing pada pertunjukkan tayub, ketuk tilu, topeng banjet, doger kontrak, bajidoran dan disko, seni pertunjukkan itu berfungsi sebagai sarana hiburan pribadi. Jika penikmat seni pertunjukkan itu adalah penonton yang kebanyakan harus membayar, seni pertunjukkan itu berfungsi sebagai presentasi estetis.
Seperti yang diungkapkan oleh Soedarsono (2002: 122), sebagai berikut. Seni pertunjukkan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok fungsi-fungsi primer dan kelompok fungsi-fungsi sekunder. Secara garis besar seni pertunjukkan primer terbagi menjadi tiga fungsi, yaitu
1. Sebagai sarana ritual;
2. Sebagai ungkapan pribadi yang pada umunya berupa hiburan pribadi; 3. Sebagai presentasi estetis. Sedangkan yang berfungsi sekunder, diantaranya:
• Media interaksi atau komunikasi; • Gengsi atau prestion;
• Mata pencaharian; • Pendidikan, dan lain-lain.
kepentingan ritual ini penikmatnya adalah para penguasa dunia atas serta bawah, sedangkan manusia sendiri lebih mementingkan tujuan upacara itu dari pada menikmati bentuknya.
Seni pertunjukkan semacam ini bukan disajikan bagi manusia tetapi harus dilibatkan (arts of participation). Seni pertunjukkan ritual memiliki ciri-ciri khas, yaitu:
1. Diperlukan tempat pertunjukkan yang terpilih, yang biasanya dianggap sakral; 2. Diperlukan pemilihan hari serta saat yang terpilih yang biasanya juga dianggap
sakral;
3. Diperlukan pemain yang terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci, atau yang telah membersihkan diri secara spiritual;
4. Diperlukan seperangkat sesaji yang kadang-kadang sangat banyak jenis dan macamnya;
5. Tujuan lebih dipentingkan daripada penampilannya secara estetis; dan 6. Diperlukan busana yang khas.
penari pria yang menari bersama penari wanita yang menghiburnya memiliki gaya penampilan sendiri-sendiri.
Seni pertunjukkan yang berfungsi sebagai penyajian estetis memerlukan penggarapan yang sangat serius, karena penikmat yang pada umumnya membeli karcis, menuntut sajian pertunjukan yang baik. Di Indonesia seni pertunjukkan estetis muncul pada akhir abad ke-19, ketika di beberapa wilayah tumbuh kota-kota yang penghuninya dalam hidupnya tidak tergantung pada pertanian. Mereka itu adalah para karyawan pemerintah, para pengusaha, para karyawan–karyawan perusahaan, serta para pedagang. Sebagai makhluk yang memiliki estetis (aesthetic behavior), yang secara naluriah ingin menikmati sajian-sajian estetis, mereka memerlukan bentuk-bentuk pertunjukkan yang bisa dinikmati dengan membeli karcis kapan saja dan dimana saja. Sudah barang tentu seni pertunjukkan estetis baru akan berkembang dengan baik apabila para cara penikmatnya memiliki penghasilan yang cukup, sehingga mereka bisa menyisihkan sebagian penghasilannya untuk kepentingan rekreasi.
E. Penelitian Yang Relevan
Berikut ini dikemukakan penelitian yang relevan dengan bahasan permasalah yang sesuai dalam penelitian ini, yaitu: Suwoko. 2011. Struktur dan Makna Gerak Simbolis Tari Lengger Solasih Karya Sanggar Satria Wonosobo Kabupaten Wonosobo,