BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Kehidupan masyarakat, kredit bukanlah merupakan sesuatu yang
asing lagi. Bukan hanya dikota-kota besar saja istilah ini dikenal masyarakat, akan
tetapi sampai di pelosok-pelosok desa, kata-kata kredit telah demikian populer. Salah
satu jenis layanan jasa perbankan yang sudah cukup dikenal di masyarakat adalah
memberikan kredit kepada nasabahnya. Akan tetapi tidak setiap orang dapat
meminjam uang ke bank dan bank tidak secara cuma-cuma memberikan kredit
kepada nasabahnya, harus ada syarat-syarat yang harus dipenuhi jika ingin
mendapatkan kredit dari bank.
Secara terminologi kata kredit berasal dari bahasa latin “Credere” yang
mempunyai makna kepercayaan. Jadi, pemberi kredit atau kreditor percaya bahwa
penerima kredit atau debitor akan memenuhi janjinya sesuai dengan apa yang telah
disepakati secara bersama antara pemberi kredit dengan penerima kredit.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suharno, kepercayaan dilihat dari sudut
pandang bank berarti adanya suatu keyakinan bahwa dana yang akan diberikan
kepada debitor akan dikembalikan tepat pada waktunya sesuai dengan kesepakatan
kedua belah pihak yang akan dituangkan dalam perjanjian tertulis.1
Fungsi menyalurkan dana kepada masyarakat yang paling dominan
dilakukan bank adalah melalui usaha perkreditan. Walaupun disadari bahwa
1
disamping menjanjikan keuntungan sebagai sumber utama pendapatan bank,
pemberian kredit juga mempunyai sisi risiko yang tinggi bagi bank. Oleh sebab
itu terdapat pokok-pokok kaidah yang harus diperhatikan atau dilakukan bank
sebelum memberikan kreditnya yaitu prinsip kehati-hatian, seperti yang tertuang
dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perbankan yang menyatakan:
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Direksi BI No. 27/162/KTP/DIR
tanggal 31 Maret 1995 kepada bank diwajibkan untuk:
Memiliki kebijakan perkreditan secara tertulis, yang sekuang-kurangnya memuat atau mengatur prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organisasi dan manajemen prekreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi dan administrasi kredit, pengawasan dan penyelesaian kredit bermasalah. Melalui ketentuan tersebut diharapkan bank mempunyai panduan yang jelas sebagai pedoman pelaksanaan perkreditannya, sehingga risiko yang mungkin timbul sedini mungkin dapat dideteksi dan dikendalikan, sekaligus dapat menghindari kemungkinan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian kredit.2
Secara umum, dalam tata hukum perbankan Indonesia dikenal dua sistem
perbankan nasional yaitu Bank Konvensional dan Bank Syariah. Salah
satu kegiatan usaha Bank yaitu pemberian atau penyaluran kredit pada Bank
Konvensional dan pembiayaan pada Bank Syariah.
2 Wahyudi Santoso, Restrukturisasi Kredit, Sebagai Bagian Integral Restrukturisasi
Pasal 1 angka 12 UU No. 10 Tahun 1998 tentang tentang Perbankan
menerangkan pengertian pembiayaan sebagai berikut: “Pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.
Ketentuan di atas menjelaskan bahwa pembiayaan adalah sama halnya
dengan kredit pada bank konvensional berupa uang atau tagihan dan adanya
kesepakatan antara bank dengan nasabah penerima pembiayaan. Hal yang
membedakan adalah kredit yang diberikan oleh Bank konvensional dengan prinsip
bunga sedangkan pembiayaan yang disalurkan oleh Bank Syariah dengan prinsip bagi
hasil dari keuntungan yang diperoleh nasabah.
Sebagai bank nonkenvensional pertama di Indonesia yang menerapkan
sistem syariah yaitu Bank Muamalat. Pada awal pendirian bank Muamalat,
keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan
industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan
sistem syariah ini hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”.3
Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya Bank Syariah berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam
pemberian pembiayaan disyaratkan oleh bank adanya agunan atau jaminan
3Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta,
pembiayaan. Definisi dari Agunan menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah:
“Jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak
bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada Bank Syariah
dan/atau UUS (Unit Usaha Syariah) guna menjamin pelunasan kewajiban
Nasabah Penerima Fasilitas.“
Fungsi dari pemberian agunan/jaminan adalah guna memberikan hak dan
kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dengan barang-barang jaminan
tersebut, bila debitur cidera janji tidak membayar kembali hutangnya pada waktu
yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Pelaksaanaan pemberian kredit atau pembiayaan pada umumnya dilakukan
dengan mengadakan suatu perjanjian atau akad. Perjanjian tersebut terdiri dari
perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang dan dengan perjanjian tambahan
berupa perjanjian pemberian jaminan oleh pihak debitur.
Jaminan dapat digolongkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan
ditentukan bahwa, “Bank tidak akan memberikan kredit tanpa adanya jaminan.”
Jaminan dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk jaminan, yaitu Jaminan materiil
(kebendaan) dan jaminan imateriil (perorangan).4 Dalam praktik jaminan yang sering
digunakan adalah jaminan kebendaan yang dijadikan jaminan atau disebut Hak
4 H.S. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Radja Grafindo Persada, 2004,
Tanggungan. Pemberian jaminan dengan Hak Tanggungan diberikan melalui Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
Apabila debitur selaku pemberi Hak Tanggungan cidera janji (wanprestasi).
Wanprestasi dimulai pada saat pihak debitur tidak melakukan kewajibannya sesuai
dengan kesepakatan dan lalai melaksanakannya. Maka suatu wanprestasi dari pihak
debitur menyebabkan salah satu pihak dirugikan yang dalam hal ini adalah bank,
yang mana suatu resiko yang tidak dapat dihindari oleh setiap bank dalam pemberian
pembiayaan.
Dalam hal ini Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan merupakan langkah
terakhir yang dilakukan kreditur selaku penerima Hak Tanggungan apabila pihak
kreditur atau bank dalam melakukan penagihan pembiayaan bermasalah hasilnya
tidak cukup efektif, maka berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan cara
pelelangan dimuka umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yaitu: “Apabila debitur cidera janji,
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan asset tersebut”, artinya adalah apabila
menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.5
Lelang sebagai suatu lembaga hukum mempunyai fungsi menciptakan
nilai suatu barang atau mencairkan suatu barang, untuk memenuhi kebutuhan
penjualan lelang sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, untuk memenuhi atau melaksanakan putusan pengadilan, dan untuk
memenuhi kebutuhan dunia usaha pada umumnya, produsen atau pemilik
barang dimungkinkan melakukan penjualan lelang.
Sebagaimana diketahui lembaga lelang sudah ada sejak zaman Belanda
dengan lahirnya Vendu Reglement termuat dalam Ordonantie tanggal 28 Februari
1980 Staatsblaad 1941 Nomor 3, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1908,
hingga kini masih menjadi dasar hukum penyelenggaraan pelaksanaan pelelangan
atau penjualan barang jaminan di muka umum di Indonesia.6
PT. Bank Muamalat, Tbk Cabang Stabat langsung melakukan lelang dengan
mendaftarkannya ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) tanpa
melalui proses pengadilan. Dipilihnya Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang (KPKNL) oleh Bank dikarenakan biaya terjangkau, jangka waktu relatif lebih
singkat, dan masih memberikan toleransi waktu kepada debitur dalam rangka
menyelesaikan kewajiban-kewajibannya.
5 Ni Nengah Sugihartini, Jurnal Ilmiah: Pelelangan Obyek Hak Tanggungan Karena Debitur
Wanpresta si (Studi Di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Matara m), Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2015, hal. 1.
6
Sebelum lelang dilakukan, bank akan meminta nasabah debitur untuk
melengkapi dokumen persyaratan lelang Hak Tanggungan. Kemudian Kepala Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) menetapkan hari, dan tanggal
pelaksanaan lelang setelah dilakukan analisa kelengkapan dokumen.
Pelaksanaan lelang diawali dengan penawaran secara tertulis (tertutup) dari
para peserta, kemudian apabila penawaran tertinggi dari peserta telah melampaui
limit lelang yang ditetapkan, maka peserta dengan penawaran tertinggi tersebut
ditunjuk sebagai pemenang lelang, namun apabila penawaran belum melampaui limit
lelang, penawaran dilanjutkan dengan penawaran terbuka secara naik-naik hingga
diperoleh harga tertinggi di atas limit lelang. Jika tahap ini pun penawaran tertinggi
belum melampaui limit lelang, maka lelang akan diulang dalam jangka waktu kurang
lebih dalam satu bulan ke depan dan hal ini mempunyai implikasi biaya.
Adapun perbedaan proses eksekusi hak tanggungan dengan Bank
Konvensional adalah PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. Cabang Stabat sudah
menilai biaya lelang diawal ketika nasabah debitur mengajukan permohonan
pembiayaan di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Cabang Stabat. Mengenai
besarnya biaya lelang diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34, Pasal 37 dan
Pasal 38 Keputusan Menteri Keuangan RI No.27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang. Biaya operasional dari pendaftaran objek lelang sampai setelah
lelang berbeda-beda dan besarnya biaya lelang tergantung pada jenis barang yang
Setelah proses lelang dilakukan, maka pembagian hasil lelang dipergunakan
untuk melunasi hutang pokok dan margin tertunggak. Hal tersebut sifatnya wajib
untuk didahulukan karena kedua hal tersebut merupakan hak kreditur selaku pemberi
dana pembiayaan dan kewajiban debitur untuk memenuhinya. Selain itu sebagian lagi
untuk biaya yang dikeluarkan untuk melelang barang tersebut. Selanjutnya pemenang
lelang mendapatkan risalah lelang sebagai bukti tertulis dan digunakan untuk
melakukan balik nama kepada pemenang lelang. Dari risalah lelang tersebut maka
diketahui sisa hasil eksekusi jaminan tersebut, karena biasanya dalam pelaksanaan
lelang harga barang jaminan nilai jualnya jauh lebih besar dengan hutang debitur.
Dalam hal nasabah tidak diketahui keberadaannya dan tidak pula meninggalkan
kuasanya pada wakil untuk mengurus harta kekayaan serta kepentingannya, maka
nasabah tersebut dapat dinyatakan berada dalam keadaan tidak hadir. Keadaan tidak
hadir seorang nasabah yang sudah dilelang barang jaminannya sangat mempengaruhi
bank dalam mengambil tindakan untuk mengembalikan sisa hasil lelang, karena sisa
hasil lelang atas barang jaminan tersebut tidak boleh dimasukkan ke neraca laba rugi
bank. Maka apa yang dapat dilakukan oleh pihak bank terhadap sisa hasil lelang
tersebut dan bagaimana penyelesaiannya.
Saat ini lelang menjadi suatu alternatif penjualan yang efektif dan
efisien. Namun dalam praktek pelaksanaan sampai berakhirnya lelang tidak selalu
berjalan dengan baik, karena adanya kendala-kendala dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, untuk mengetahui hak-hak debitur dan
dilakukan penelitian dalam bentuk tesis yang berjudul “Analisis Hukum Hak Sisa
Hasil Lelang Atas Barang Jaminan Pada Pembiayaan Perbankan Syariah (Studi Di
PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Cabang Stabat)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan pembiayaan bermasalah pada PT. Bank Muamalat,
Tbk Cabang Stabat dan cara penyelesaiannya?
2. Bagaimana prosedur pelaksanaan lelang pada PT. Bank Muamalat, Tbk
Cabang Stabat ?
3. Bagaimana penyelesaian setelah dilaksanakannya lelang terdapat sisa hasil
lelang di PT. Bank Muamalat, Tbk. Cabang Stabat ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan Permasalahan yang dikemukakan di atas, adapun tujuan yang
ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan pembiayaan bermasalah
pada PT. Bank Muamalat, Tbk Cabang Stabat dan cara penyelesaiannya.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur pelaksanaan lelang pada PT.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelesaian setelah dilaksanakannya
lelang terdapat sisa hasil lelang di PT. Bank Muamalat, Tbk. Cabang Stabat.
D. Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang
hendak dicapai bersama, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik
secara teoritis dan praktis, yaitu:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu
pengetahuan hukum dan diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis untuk
menambah literatur kepustakaan, memberikan sumbangan ide dan konsep
pemikiran untuk perkembangan ilmu hukum.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat,
khususnya kepada nasabah atau debitur Bank Muamalat Cabang Stabat, agar
semua pihak dapat terlindungi dan tidak merugikan pihak manapun apabila
mengalami permasalahan dalam pelaksanaan terhadap penyelesaian hak sisa
hasil lelang atas barang jaminan pada kredit perbankan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara
Sumatera Utara, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul tentang “Analisis
Hukum Hak Sisa Hasil Lelang Atas Barang Jaminan Pada Kredit Perbankan Syariah
(Studi Di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Cabang Stabat).
Akan tetapi berdasarkan penelusuran literatur sebelumnya, ada ditemukan
beberapa penelitian yang membahas mengenai antara lain:
1. Elman Simangunsong, NIM 097005048, mahasiswa Program Pasca Sarjana
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Tahun 2009, berjudul
Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Barang Jaminan Tidak Bergerak Yang Di Beli
Berdasarkan Lelang Pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang
(KPKNL) Medan.
Rumusan Masalah:
A. Bagaimana pengaturan tata cara lelang eksekusi jaminan tidak bergerak?
B. Bagaimana pelaksanaan lelang eksekusi barang jaminan tidak bergerak pada
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Medan?
C. Bagaimana hambatan-hambatan dalam pelaksanaan lelang eksekusi barang
jaminan tidak bergerak?
2. Meilie, NIM 087011145, mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Tahun 2008, berjudul Pelaksanaan
Lelang Barang Jaminan Kredit Pada Bank Melalui Balai Lelang Swasta ( Studi
Kasus Pada PT. Bank Swasta ).
Rumusan Masalah:
B. Bagaimana mekanisme pelaksanaan lelang barang jaminan kredit pada
Bank Swasta melalui Balai Lelang Swasta?
C. Bagaimana kekuatan hukum risalah lelang dari pelaksanaan lelang barang
jaminan kredit Bank Swasta melalui Balai Lelang Swasta?
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori diartikan sebagai suatu sistem yang berisikan proposi-proposi
yang telah diuji kebenarannya, berpedoman pada teori maka akan dapat
menjelaskan, aneka macam gejala sosial yang dihadapi, walau hal ini tidak selalu
berarti adanya pemecahan terhadap masalah yang dihadapi, suatu teori juga
mungkin memberikan pengarahan pada aktifitas penelitian yang dijalankan dan
memberikan taraf pemahaman tertentu.7 Dalam dunia ilmu, teori menempati
yang penting karena memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum
serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik.8 Teori
adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses
tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.9
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, 1991, hal. 6.
8 Sadjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 259.
9 J. J.J.M. Wuisman, Penyunting M.Hisam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, azas-azas, FE UI,
Sebagai tolak ukur menganalisis permasalahan yang akan diteliti
karena suatu teori atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling sedikit
mencakup hal-hal sebagai berikut:10
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan
fakta yang hendak diteliti atau diuji kebenarannya.
b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan konsep-konsep.
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah
diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang telah
diteliti.
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh
karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin
faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan pada
pengetahuan penelitian.
Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir,
pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi
bahan pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujuinya.11
Sedangkan tujuan dari kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana
10J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya , Alumni, Bandung 1993, hal. 254. 11
mengorganisasikan dan menginterprestasikan hasil-hasil penelitian dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.12
Sehubungan dengan pembahasan diatas maka penelitian ini perlu
mempunyai landasan fikir, yaitu teori hukum yang akan digunakan yaitu teori
perlindungan hukum dan teori kepastian hukum.
1. Teori Perlindungan Hukum
Teori perlindungan hukum oleh Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum
yang dimaksud di sini adalah suatu perbuatan hal melindungi subjek-subjek
hukum dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya
dapat dipaksakan dengan suatu sanksi.13 Perlindungan hukum bagi rakyat terdiri
2 (dua) macam yaitu:
a. Perlindungan hukum represif artinya ketentuan hukum dapat dihadirkan
sebagai upaya pencegahan terhadap tindakan pelanggaran hukum. Upaya ini
diimplementasikan dengan membentuk aturan hukum yang bersifat normatif.
b. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap
hati-hati dalam pengambilan keputusan.
Di negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila maka
negara wajib memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh warga
masyarakat sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum
12Burhan Ashofa, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Rhineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 19 13Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan hukum akan harkat
dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan,
Persatuan, Permusyawaratan serta Keadilan Sosial. Nilai-nilai tersebut
melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah
kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai
kesejahteraan bersama,14
Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa
yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya
sebagai manusia.15
Adapula menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk
melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau
kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan
adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.
Pada dasarnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek yang
dilindungi oleh hukum yang dapat menimbulkan adanya hak dan kewajiban dari
masing-masing pihak. Hak dan kewajiban didalam hubungan hukum
tersebut harus mendapatkan perlindungan oleh hukum, sehingga anggota
14 Donni Gusmawan, Perlindungan Hukum di Negara Pancasila , Liberty, Yogyakarta, 2007,
hal. 38.
15
masyarakan merasa aman dalam melaksanakannya. Hal ini menunjukkan
bahwa arti dari perlindungan hukum itu sendiri adalah pemberian kepastian atau
jaminan bahwa seseorang yang melakukan hak dan kewajiban telah dilindungi
oleh hukum.16
2. Teori Kepastian Hukum
Teori kepastian hukum menurut Gustav Radbruch, hubungan antara
keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh karena kepastian hukum
harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu harus
ditaati, walaupun isinya kurang adil atau juga kurang sesuai dengan tujuan
hukum. Tetapi dapat pengecualian bilamana pertentangan antara isi tata hukum
tentang keadilan begitu besar. Sehingga tata hukum itu tampak tidak adil pada
saat itu tata hukum boleh dilepaskan.17
Pendapat tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum
adalah kepastian hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari
hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya
tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur
kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati
meskipun hukum positif itu kurang adil.
Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama
adanya peraturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan
16 SatjiptoRaharjo, Ilmu hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal. 53.
17 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982,
apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum
bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan hukum yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan
atau dilakukan oleh negara terhadqap individu. Kepastian hukum bukan hnya
berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi
dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim
lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.18
Soerjono Soekanto berpendapat, bagi kepastian hukum yang penting adalah
peraturan dan dilaksanakan peraturan itu sebagaimana yang ditentukan. Apakah
peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat adalah diluar
pengutamaan kepastian hukum.19
2. Konsepsi
Konsepsi adalah pemahaman yang terbangun dalam akal dan pikiran
peneliti untuk menghubungkan teori dan obserpasi, antara abstrak dan kenyataan.
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstrak yang digeneralisasikan
dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional. Oleh karena itu untuk
menjawab permasalahan haruslah didefinisikan beberapa konsep dasar, agar
secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan yang
18 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Grup, Jakarta,
2008, hal. 158.
19 Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,
telah ditentukan. Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping
yang lainnya, seperti asas dan standar. Oleh sebab itu kebutuhan untuk
membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting
dalam hukum.20
Pemakaian konsep terhadap istilah terutama dalam judul penelitian,
bukanlah untuk keperluan, mengkomunikasikannya semata-mata dengan pihak
lain. Sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntut peneliti
sendiri didalam menangani proses penelitian dimaksud.21 Konsepsi ini
bertujuan untuk menghindari salah pengertian atau penafsiran dalam penelitian
ini. Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar atau
istilah, agar dalam pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan yaitu:
a. Lelang adalah penjualan barang yang dilakukan di muka umum termasuk
melalui media elektronik, dengan cara penawaran lisan untuk memperoleh
harga yang semakin meningkat atau dengan penawaran harga secara tertulis
dan tertutup yng didahului dengan pengumuman lelang sebagai usaha untuk
mengumpulkan para calon peminat atau pembeli.22
20Sumadi Surya Brata, Metodelogi Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal.
4.
21Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1999, hal. 107-108.
22 S. Mantayborbir, Iman Jauhari, Agus Hari Widodo, Hukum Piutang Dan Lelang Negara Di
b. Sisa Hasil Lelang yaitu kelebihan hasil lelang dalam hal terdapat sisa hasil
bersih lelang atas barang jaminan hutang milik debitur atau Penanggung
Hutang (PH) yang melebihi nilai hak tanggungan.
c. Jaminan atau agunan adalah aset yang diserahkan Nasabah atau Debitur
kepada bank atau Kreditur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.23
d. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil.24
Sedangkan Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian.25
e. Bank adalah suatu lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan
dengan kewenangan untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
23
Munir Fuady, Hukum Sekitar Perjanjian Kredit, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 25.
24 Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
25
atau bentu-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak,26
f. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.27
G. Metode Penelitian
Untuk melengkap penulisan tesis ini dengan tujuan agar dapat lebih terarah
dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang
digunakan antara lain:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka
juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan
yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.28
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang
menggambarkan semua gejala dan fakta yang terjadi dilapangan serta
26
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia , Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 50.
27 Sentosa Sembiring, Op.Cit. hal. 124.
28Bernard Arief Shirdata, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir ,
mengaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan
permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan
keadaan yang terjadi dilapangan.29
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
atau penelitian hukum normatif. yaitu penelitan yang dilakukan untuk
mendapatkan data dari bahan-bahan kepustakaan terutama yang berhubungan
mengenai masalah hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum
primer, dan sekunder.30 Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara
mengkaji hukum dalam Law in Book yang dikonsepsikan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan.31 Penelitian ini menekankan
kepada sumber-sumber bahan sekunder, baik berupa peraturan-peraturan maupun
teori-teori hukum, disamping menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di
masyarakat, sehingga ditemukan suatu asas-asas hukum yang berupa dogma atau
doktrin hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk
menganalisis permasalahan, yang dapat menjawab pokok permasalahan dalam
penulisan tesis ini, yaitu mengenai pelaksanaan hak sisa hasil lelang atas barang
jaminan pada kredit perbankan (studi di PT. Bank Muaalat Indonesia, Tbk.
Cabang Stabat).
29Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 132.
30 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 13-14.
31
2. Sumber Bahan Hukum/Data
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data
sekunder. Data sekunder yang dimaksud antara lain meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier berupa norma dasar,
perundang-undangan, hasil penelitian ilmiah, buku-buku, dan lain-lain
sebagainya.32
a. Bahan Hukum Primer.33
Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian
diantaranya adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
b. Bahan Hukum Sekunder.34
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-hasil
32
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.30.
33Romy Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, hal. 53.
34
penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan praktisi hukum, buku
bacaan hukum, jurnal-jurnal, serta bahan dokumen-dokumen hukum
lain yang terkait.
c. Bahan Hukum Tersier.35
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang
memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedi, kamus bahasa, artikel,
internet dan lain-lain yang relevan dengan penelitian ini.
Selain data sekunder sebagai sumber data utama, dalam penelitian ini
juga digunakan data primer sebagai data pendukung yang diperoleh dari
wawancara. Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak yang telah ditentukan
sebagai informan atau narasumber dikhususkan untuk pemecahan masalah yang
masih memerlukan informasi lebih lanjut dalam memastikan validitas data-data
sekunder yang telah diperoleh. Dalam wawancara ini akan diperoleh data dari
sumber pertama, dalam hal ini adalah Sub. Branch Manager PT. Bank Muamalat
Indonesia Tbk, Cabang Stabat, 1 (satu) orang.
3. Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini baik data sekunder maupun data primer diperoleh
dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian
kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan
35
mempelajari dokumen-dokumen, buku-buku teks, teori-teori, peraturan
perundang-undangan, artikel, tulisan ilmiah yang ada hubungannya dengan
penelitian ini. Selain itu, guna mendukung data primer yang diperoleh melalui
penelitian kepustakaan tersebut dilakukan pula wawancara dengan beberapa
informan sebagai narasumber untuk menggali data tentang hal-hal yang berkaitan
dengan penyelesaian hak sisa hasil lelang pada kredit perbankan.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan
data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.36
Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahaan data merupakan
kerja seorang peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya pikir
secara optimal.37 Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan
pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (bahan
hukum primer, sekunder, maupun tertier), untuk mengetahui validitasnya.
Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematiskan sehingga
36Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal
106.
37
menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.38
Kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga
diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat
dalam masalah peneyelesaian hak sisa hasil lelang atas barang jaminan pada
kredit perbankan (Studi di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Cabang Stabat).
Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif,
yaitu cara berpikir dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya ditarik
hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan
umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk
proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat
khusus,39 guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan
dalam penelitian ini.
38Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
hal. 106.
39 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,