• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sarinah : Ideologi Gerakan Perempuan Soekarno (Studi Analisis Wacana Buku ―Sarinah‖ Karya Soekarno)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sarinah : Ideologi Gerakan Perempuan Soekarno (Studi Analisis Wacana Buku ―Sarinah‖ Karya Soekarno)"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Keadaan perempuan yang selalu mengalami penindasan dan kekerasan

oleh pihak laki-laki, akhirnya membangunkan dan membangkitkan suatu

pergerakan yang berusaha meniadakan dan menghapuskan segala ketertindasan.

Sudah suatu hukum alam, bahwa perempuan selalu dinomorduakan dan menjadi

subordinasi dari kaum laki-laki. Namun, penindasan dan kekerasan yang dialami

oleh kaum perempuan itu bukan berarti tidak menimbulkan suatu pergerakan.

Pergerakan perempuan lahir pada dunia Barat. Di Dunia Barat pertama sekali

terdengar semboyan ―Perempuan, Bersatulah!!!‖. Pada Dunia Barat juga

berkembangnya contoh untuk kaum perempuan di belahan dunia lain. Bahkan,

dari mulut dunia Barat juga, yaitu Khatarina Brechkovskaya, pertama-tama

terdengar seruan ―Hai wanita Asia, sadar dan melawanlah‖.1

Tatkala perempuan di Dunia Barat sudah sadar, sudah bergerak, sudah

melawan, maka perempuan di Dunia Timur masih saja diam dan menerima derita

pingitan dan penindasan dengan tiada proses sedikit untuk melakukan suatu

pergerakan. Perempuan di Dunia Timur tidak menyadari bahwa ada kemungkinan

1

(2)

menghilangkan suatu penindasan dan pingitan yang dialami. Sebagaimana

paham-paham politik yang timbul di Dunia Barat menular ke Dunia Timur, demikian

pula semboyan-semboyan kemerdekaan wanita yang didengung-dengungkan di

Dunia Barat akhirnya mengumandang di Dunia Timur. Pada akhirnya, Dunia

Timur sudah mempunyai ―pergerakan wanita‖ sendiri, bukan hanya sesuatu

pergerakan yang hanya dikhususkan untuk kaum laki-laki.

Awal pergerakan perempuan di Dunia Barat diawali oleh Revolusi

Amerika dan Revolusi Perancis pada abad ke delapan belas silam. Dalam

Revolusi Amerika dan Perancis itu untuk pertama kalinya ada aksi dari pihak

wanita yang tersusun, yang boleh diberi gelar ―gerakan wanita‖. Dalam Revolusi

itulah kaum wanita Barat secara tersusun menuntut hak-haknya sebagai manusia,

sebagai anggota masyarakat, sebagai warga negara, memprotes kezaliman atas diri

mereka.

Sebelum terjadinya Revolusi Amerika dan Perancis tersebut, belum ada

gerakan wanita. Namun, ada suatu perkumpulan di kalangan kaum perempuan

bangsawan dan hartawan yang melakukan kegiatan yang disebut Soekarno adalah

kegiatan ―kerajinan‖, yaitu semacam kegiatan pertemuan antara teman-teman

yang tidak berhubungan dengan massa masyarakat, dan tidak berisi ideologi sosial

dan ideologi politik sama sekali. Kegiatan semacam ini lebih kepada kegiatan

kerumahtanggaan. Ilmu memasak, ilmu menjahit, ilmu memelihara anak, ilmu

bergaul, ilmu kecantikan, ilmu estetika, serta praktiknya, hal-hal yang semacam

(3)

laki-laki bukan menjadi pembahasan utama pada perkumpulan wanita ini. Dengan kata

lain, nilai-nilai patriarkat tidak ditentang.2

Setelah adanya gerakan ―keperempuanan‖ itu, kemudian muncul suatu

kemajuan dalam ―gerakan‖ perempuan ini. Yaitu suatu gerakan perempuan yang

dengan sadar menuntut persamaan hak, persamaan derajat dengan kaum laki-laki.

Perempuan-perempuan ditingkatan ini sadar, bahwa perempuan dihampir segala

bidang tidak diberi jalan oleh kaum laki-laki, sehingga oleh karena itu hampir

semua hal kemasyarakatan menjadi monopoli laki-laki. Merasa tidak adil, bahwa

perempuan di lapangan masyarakat tidak dibolehkan berlomba-lomba dengan

kaum laki-laki. Tidak diizinkannya beraktifitas di kantor, di dunia politik, tidak

diizinkannya perempuan mengenyam dunia pendidikan tinggi, dan lain

sebagainya. Maka, memberantas ketidakadilan ini, memberantas tidak samanya

hak dan derajat antara perempuan dan laki-laki, menuntut adanya persamaan hak

dan persamaan derajat itu, itulah pokok tujuannya. Pergerakan ini dinamakan

pergerakan emansipasi wanita atau pergerakan Feminisme. Persamaan hak

dengan kaum laki-laki, dan terutama sekali hak memasuki segala macam

pekerjaan masyarakat, persamaan hak itulah menjadi pokok tuntutannya. Pada

hakikatnya, perubahan dalam masyarakat yang menjadi asal segala

perubahan-perubahan ideologi. Sebagaimana perubahan-perubahan dalam proses produksi merubah

anggapan-anggapan di dalam masyarakat itu, merubah moral, merubah adat,

2

(4)

merubah isme-isme, maka perubahan dalam proses produksi itu juga merubah

ideologi-ideologi perempuan tentang caranya mencari perbaikan nasib.3

Adanya keyakinan pada gerakan Feminisme, kemudian memunculkan

suatu gerakan wanita yang didalam aksi sosialis hendak mendatangkan suatu

dunia baru yang didalamnya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat

kebahagiaan, tidak adanya penindasan. Dalam pergerakan ini, perempuan tidak

beraksi sendiri, tetapi antara perempuan dan laki-laki bersama-sama berjuang,

bersama-sama bergerak, bahu membahu, didalam suatu gelombang. Satu

gelombang perjuangan kelas, yang tidak kenal perbedaan antara manusia dengan

manusia, satu gelombang menuju kemerdekaan, kemerdekaan laki-laki dan

kemerdekaan perempuan. Dengan tercapainya pergerakan pada tingkatan

pergerakan wanita sosialis ini, tercapailah juga tingkatan yang tertinggi daripada

pergerakan Sarinah4 mengejar nasib yang lebih layak. Tingkatan ini masih terus

menggeletar, masih terus menggelombang, tidak akan hilang sebelum tercapainya

masyarakat adil, pengganti masyarakat kapitalistis yang didalamnya ada

penindasan kelas.5

Salah satu impian yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan adalah

bertambahnya pemimpin perempuan. Terbukanya kesempatan perempuan untuk

mengambil bagian dalam pengambilan keputusan. Seperti yang terjadi selama ini,

3

Ibid, hal. 10

4

Soekarno menggunakan kata ―Sarinah‖ dalam kalimat ini bukan untuk menunjuk wanita pengasuhnya di masa kecil, melainkan sebutan yang mewakili wanita atau perempuan di Indonesia.

5

(5)

bahwa pemimpin hampir selalu dikaitkan dengan laki-laki atau maskulin yang

menunjukkan laki-laki hampir selalu mengambil keputusan secara dominan.6

Perempuan mempunyai peranan dalam setiap pengambilan keputusan. Namun,

peranan perempuan hanya sebagai orang kedua, subordinasi. Perempuan belum

secara otomatis mendapatkan hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki.

Perempuan mempunyai kedudukan yang sama dalam melaksanakan

pembangunan, namun hak perempuan dalam bidang itu belum sama dengan hak

laki-laki.

Peran perempuan dalam gerakan perubahan sosial tidak bisa dianggap

sebagai hal yang tidak penting untuk dibicarakan. Bahkan di Indonesia, bisa

dikatakan bahwa perempuan sebagai penggerak revolusi. Seperti yang dikatakan

seorang Founding Father, Soekarno dalam buku ―Sarinah‖ karyanya

mengatakan bahwa ― Hai Perempuan-perempuan Indonesia, jadilah revolusioner,

tiada kemenangan revolusioner, jika tanpa perempuan revolusioner, dan tiada

perempuan revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner‖. Sejak awal, Soekarno

menyadari bahwa kedudukan perempuan bukan hanya sebagai pendamping bagi

kaum laki-laki. Lebih dari itu, perempuan harus mendapatkan hak-hak yang sama

dengan kaum laki-laki tanpa meninggalkan kodrat sesungguhnya sebagai

perempuan.

6

(6)

Selanjutnya, dalam buku ―Sarinah‖ karyanya, Soekarno juga menjelaskan

bahwa :

― Soal wanita adalah soal masyarakat. Sayang sekali, jika soal wanita itu belum dipelajari secara sungguh-sungguh oleh pergerakan kita. Sudah lama Saya bermaksud untuk menulis buku tentang soal itu, tetapi sering kali maksud Saya itu terhalang oleh beberapa sebab. Tetapi sesudah Kita memproklamasikan kemerdekaan, maka menurut pendapat Saya soal wanita itu perlu dengan segera dijelaskan dan dipopulerkan. Sebab kita tidak dapat menyusun Negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika (antara lain soal-soal) kita tidak mengerti soal wanita. Itulah sebabnya saya, setiba Saya di Yogyakarta, segera mengadakan kursus-kursus wanita itu.‖

Penyelenggaraan kursus politik untuk kaum perempuan tersebut bukan

semata acara seremonial yang tidak memiliki visi dan misi yang jelas. Soekarno

secara matang mengadakan kursus tersebut agar para perempuan Indonesia

menyadari pentingnya sebuah perjuangan rakyat. Perjuangan yang tidak hanya

dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi juga kaum perempuan. Sebab ketika seorang

berbicara tentang rakyat, maka ia sedang membicarakan masyarakat. Sementara

dalam masyarakat terdapat laki-laki dan perempuan. Prinsip itulah yang menjadi

dasar perjuangan Soekarno.7

Soekarno meyakini bahwa kemerdekaan bangsa dan terbentuknya negara

Indonesia tidak akan sempurna tanpa peran aktif kaum perempuan. Oleh karena

itu, dalam kursus politik yang diselenggarakannya di Jogjakarta tahun 1947,

Soekarno membicarakan persoalan-persoalan perempuan di Indonesia, sejarah

perjuangan kaum perempuan di Eropa dan Amerika, serta kewajiban perempuan

dalam revolusi nasional. Bagi Soekarno, perempuan dan revolusi adalah dua hal

7

(7)

yang tidak dapat dipisahkan, bahkan telah melekat dalam dirinya. Menurut

Ahmad Kusuma Djaya mengatakan bahwa Soekarno merupakan sosok yang

menempatkan perempuan sebagai sumber revolusi untuk menciptakan suatu

perubahan.8

Menurut Soekarno, revolusi nasional belum selesai karena Indonesia

belum berhasil menjadi negara nasional. Segenap anak Bangsa seharusnya

bersatu, seharusnya bergerak menjalankan revolusi nasional. Hal ini bukan saja

demi tegaknya negara Nasional yang berkesejahteraan sosial dan berkeadilan

sosial, tapi untuk memungkinkan terbentuknya tata dunia baru yang pula

berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial. Juga untuk memungkinkan

lahirnya budaya-budaya yang merupakan proses kemerdekaan dan pemanusiaan

yang karenanya Indonesia dan dunia memaknai keragaman sebagai berkah.

Perempuan sewajibnya pula ambil bagian dalam gelora Revolusi Nasional yang

merupakan tahap menuju Revolusi Sosial ini. Hal ini karena hanya dalam

masyarakat berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial, perempuan terbebas

dari retak yang dibuat oleh imperialisme dan kapitalisme, juga oleh pergerakan

perempuan tingkat satu dan tingkat dua. Namun, menurut Soekarno, gerakan

perempuan tingkat kedua masih bersifat elitis, masih kuat berbau borjuis yang

berperan melanggengkan penghisapan dan penindasan, kemiskinan dan

ketidakadilan. Gerakan ini berarti pula memberi tekanan pada penegakan

8

(8)

kesejahteraan sosial dan keadilan sosial melalui pembukaan peluang-peluang bagi

perempuan kelas bawah.

Selanjutnya, Soekarno melihat bahwa di Indonesia, gerakan perempuan

masih berada dibawah harapannya. Menurut pandangan Soekarno, gerakan

perempuan seharusnya ditopang oleh teori, kecakapan berorganisasi, dan dinamis.

Dengan demikian gerakan perempuan menjadi ideologis, artikulatif, dan dinamis

melihat situasi demi situasi. Kualitas-kualitas ini harus dimiliki dan dipraktikkan

oleh perempuan-perempuan Indonesia, termasuk perempuan dari kalangan rakyat

jelata. Oleh karena itu, perlu adanya suatu ideologi gerakan perempuan yang tidak

melupakan budaya-budaya dan adat istiadat dari perempuan itu sendiri. Soekarno

menganggap bahwa ideologi gerakan perempuan didunia Barat tidak sesuai

dengan budaya yang ada di Indonesia. Ideologi Feminisme dianggap telah

melewati batas dan kodrat sesungguhnya dari perempuan itu sendiri. Itulah

menagapa sebabnya ―Sarinah‖ dianggap sebagai ideologi gerakan perempuan.

Pemikiran Soekarno tentang perempuan tentu tidak terlepas dari peran

Idayu Nyoman Rai yang tidak lain adalah Ibu kandung Sang proklamator dan

peran dari sosok Sarinah sang ibu asuh. Kehadiran Sarinah dalam hidup Soekarno

yang diyakini telah membawa perubahan dalam hidup Soekarno dan menjadi

sumber inspirasi bagi Soekarno, tepatnya inspirasi untuk mencintai sesama

manusia tanpa memperdulikan kelas sosial. Sarinah dianggap sebagai kemenyan

kesadaran dan kembang tujuh perasaan, menyeruak dari lidah sang proklamator,

(9)

Ketangguhannya terlihat dalam usahanya menjadi seorang pembantu rumah

tangga yang setia terhadap majikan. Sementara, kesabarannya tampak saat

mengasuh Soekarno. Ketangguhan dan kesabaran Sarinah didukung oleh rasa

cinta dan kasihnya kepada keluarga Soekarno.

Bagi orang biasa, mengidolakan salah satu tokoh besar merupakan suatu

keniscayaan. Begitu pula Soekarno yang sangat mengidolakan sosok perempuan

bernama Sarinah. Terlebih Sarinah telah mengabdikan hidupnya untuk mengasuh

Soekarno dan meninggalkan pesan yang selalu melekat dalam hati dan pikirannya,

yaitu rasa cinta. Sarinah merupakan tokoh yang mempengaruhi kesadaran

Soekarno terhadap kehidupan rakyat Indonesia. Selain itu, Sarinah juga menjadi

seorang perempuan yang memantik rasa cinta Soekarno kepada bangsa dan tanah

air Indonesia. Sebagai seorang pengasuh, Sarinah selalu berusaha menjadi ibu

yang baik bagi Soekarno. Sarinah mengajarkan budi pekerti yang harus dipahami

oleh Soekarno. Sarinah pun menanamkan rasa cinta dan pengabdian terhadap

rakyat serta tanah air kepada Soekarno. Hingga akhirnya, Soekarno menjadi tokoh

yang memperjuangkan hak perempuan, bangsa dan tanah air Indonesia. Itulah

mengapa Sarinah dianggap sebagai guru budi pekerti Soekarno.

Sarinah menjadi sosok yang menginspirasi Soekarno untuk menegakkan

keadilan bagi kaum perempuan, terlebih dalam hal memperjuangkan kesetaraan.

Meski hanya belajar dari lingkungan dan masyarakat, Sarinah terbukti mampu

menggugah pemikiran Soekarno untuk kemajuan bangsa ini. Sarinah merupakan

(10)

keluarga Soekarno. Ketika dewasa, Soekarno tidak pernah merasa ragu untuk

menumpahkan rasa cinta kepada rakyat kecil, begitu pula keyakinannya saat

berjuang meraih kemerdekaan Indonesia. Nasehat Sarinah selalu diingat dan

menjadi semangat dalam setiap langkah perjuangannya. Itulah sebabnya,

Soekarno tidak pernah melupakan Sarinah. Pada umumnya, Sarinah membantu

pekerjaan Idayu, Ibunda Soekarno. Namun kemudian, secara khusus Sarinah

menjadi pengasuh Soekarno. Selama berada dalam asuhannya, Soekarno mengaku

banyak mendapat pelajaran tentang hakikat mencintai orang kecil.

Bukan tanpa alasan Soekarno menulis buku tentang perempuan. Soekarno

menganggap bahwa segala hal tentang perempuan penting untuk dibicarakan,

termasuk tentang bagaimana peran perempuan dalam segala bidang, khususnya

peran perempuan dalam hal pembangunan dan pergerakan. Selain itu, terbitnya

kitab ―Sarinah‖ akan menjadi pedoman bagi perempuan-perempuan di Indonesia

agar mereka sadar betapa pentingnya peran perempuan turut aktif dalam revolusi

agar terciptanya masyarakat yang sosialistis. Alasan lain diterbitkannya kitab

―Sarinah‖ ini merupakan suatu tanda ucapan terimakasih Sang Singa Podium

kepada sosok pengasuhnya dimasa kecil ―Mbok Sarinah‖.9

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik membahas bagaimana

ideologi gerakan perempuan menurut Soekarno dan juga penulis mencoba untuk

menyadarkan kembali khalayak banyak, khususnya perempuan bagaimana peran

dan pentingnya kedudukan perempuan dalam suatu gelombang revolusi seperti

9

(11)

yang dicita-citakan oleh Soekarno. Maka penulis mengambil judul : Sarinah : Ideologi Gerakan Perempuan Soekarno (Studi Analisis Wacana Buku

“Sarinah” Karya Soekarno).

1.2Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa

masalah yang dikemukakan dalam penelitian dipandang menarik, penting, dan

perlu diteliti. Rumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan

secara tersurat petanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau

dicarikan pemecahannya. Rumusan masalah merupakan penjabaran dari

identifikasi masalah dan pembatasan.10

Berangkat dari latar belakang tersebut, penulis membuat suatu rumusan

masalah, yaitu : Ideologi gerakan perempuan seperti apa yang dibangun oleh

Soekarno dalam buku ―Sarinah‖ ?

1.3Batasan Masalah

Dalam suatu penelitian, perlu adanya suatu pembatasan masalah terhadap

masalah yang akan dibahas oleh penulis agar hasil penelitian tidak keluar dari

tujuan yang ingin dicapai. Agar kajian penelitian lebih fokus, maka yang menjadi

batasan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Alasan Soekarno memilih Sarinah menjadi tokoh dalam Buku.

10

(12)

2. Ideologi gerakan perempuan yang dibangun oleh Soekarno dalam buku

―Sarinah‖.

1.4Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian ilmiah, perlu adanya suatu tujuan penelitian.

Tujuan penelitian adalah pertanyaan mengenai hal yang ingin dicapai dalam

penelitian ini. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah :

1. Untuk mengetahui mengapa Soekarno memilih Sarinah menjadi tokoh

dalam Buku.

2. Untuk mengetahui ideologi gerakan perempuan yang dibangun oleh

Soekarno dalam buku ―Sarinah‖.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, antara lain :

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang

diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran mengenai

pergerakan dan peran perempuan dalam perjuangan Republik Indonesia

menurut pandangan Soekarno.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pisau analisis

bagi para aktivis sosial, aktivis perempuan, mahasiswa/i dan lain-lain

dalam membedah persoalan masyarakat khusunya persoalan perempuan.

3. Bagi penulis, membantu penulis untuk mengasah kemampuan dan

(13)

dan juga merupakan suatu syarat akhir untuk menyelesaikan studi strata

satu di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.

1.6Kerangka Teori

Untuk mempermudah pelaksanaan dalam penelitian ini, maka perlu

dipaparkan sudut pandang dan landasan berfikir mengenai analisis wacana kritis

serta dipertegas dengan teori feminisme untuk menyempurnakan penelitian.

1.6.1 Analisis Wacana

1.6.1.1Pengertian Analisis Wacana

Istilah wacana (E= discourse, L= discursus = running to and from atau I =

diskursus) memiliki pengertian yang beragam tergantung pada konteks apa yang

tengah digunakan untuk memperbincangkannya. Secara umum wacana dimengerti

sebagai pernyataan-pernyataan. Masyarakat umum memahami wacana sebagai

perbincangan yang terjadi dalam masyarakat ihwal topik tertentu. Dalam ranah

yang lebih ilmiah Michael Stubbs dalam Slemborouck menyatakan bahwa

wacana memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut, (a) memberi

perhatian terhadap penggunaan bahasa (language use, bukan language system)

yang lebih besar daripada kalimat atau ujaran, (b) memberi perhatian pada

hubungan antara bahasa dengan masyarakat dan (c) memberi perhatian terhadap

(14)

menekankan bahwa analisis terhadap wacana tidak memandang secara bias antara

bahasa lisan atau tertulis, jadi keduanya dapat dijadikan objek pemeriksaan

analisis wacana.11

Wacana adalah komunikasi verbal, ucapan, percakapan. Wacana adalah

sebuah perlakuan formal dari subjek dalam ucapan atau tulisan. Wacana adalah

sebuah unit teks yang digunakan oleh linguis untuk menganalisis satuan lebih dari

kalimat.12 Selanjutnya, Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang

menghubungkan proporsisi yang satu dengan proporsisi yang lainnya, membentuk

suatu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat–

kalimat.13 Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut saat ini selain

kata demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil, dan lingkungan hidup. Ada

yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada

juga yang mengartikan sebagai pembicaraan atau diskursus. Kata wacana juga

dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi,

politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Pemakaian istilah ini sering kali

diikuti dengan beragamnya istilah, definisi, bahkan tiap disiplin ilmu mempunyai

istilah sendiri, banyak ahli memberikan definisi dan batasan yang berbeda

mengenai wacana tersebut. Luasnya makna ini dikarenakan oleh perbedaan

lingkup dan disiplin ilmu yang memakai istilah wacana tersebut.

11

Widyastuti Purbani. 2009. Analisis Wacana Kritis Dan Analisis Wacana Feminis ( Critical Discourse Analysis And Feminist Discourse Analysis). Diakses melalui

http://staff.uny.ac.id/system/files/pengabdian/dr-widyastuti-purbani-ma/analisis-wacana-kritis.pdf Jurnal PDF dilihat pada Tanggal 07 Februari 2017 pukul 20.17 wib

12

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LkiS Yogyakarta. Hal. 2

13

(15)

Perbedaan disiplin ilmu ini dapat digambarkan sebagai berikut. Dalam

lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama pada hubungan antara konteks

sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah unit

bahasa yang lebih besar dari kalimat. Analisis wacana dalam studi linguistik

merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal yang lebih memperhatikan pada

unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan diantara unsur

tersebut. Analisis wacana dalam lingkungan psikologi sosial, diartikan sebagai

pembicaraan. Wacana yang dimaksud disini agak mirip dengan sruktur dan bentuk

wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik,

analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena

bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa

ideologi terserap didalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis

wacana.14

Seperti yang sudah dikemukakan diatas, istilah analisis wacana adalah

istilah umum yang digunakan dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai

pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik

singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai

bahasa/pemakaian bahasa. Setidaknya, ada tiga pandangan mengenai bahasa

dalam analisis wacana menurut Mohammad A.S. Hakim. Pandangan pertama

diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Oleh penganut aliran ini, bahasa dilihat

sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya.

14

(16)

pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui

penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan

memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan

dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan

antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana,

konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui

makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang

penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah

sintaksis dan semantik. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata

atau aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana lantas diukur

dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran.

Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini banyak

dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan

empirisme/positivisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam

pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk

memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai

penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor

sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini,

seperti dikatakan A.S. Hakim, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol

terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam

paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan.

(17)

tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh

karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk

membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu

upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan

suatu pernyataan.

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin

mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensistif pada proses

produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional.

Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis

faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada

gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut

perilaku-perilakunya. Hal inilah yang menghasilkan paradigma kritis. Analisis wacana

tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses

penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme.

Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi

kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak

dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai

dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan

sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium

netral yang terletak diluar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis

dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu,

(18)

analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses

bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang

mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Dalam pandangan semacam ini,

wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam

pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam

masyarakat. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori yang

ketiga itu juga disebut sebagai analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/

CDA).15

1.6.1.2 Analisis Wacana Norman Fairclough

Norman Fairclough mencoba membangun suatu model analisis wacana

yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga

Fairclough mengkombinasikan tradisi analisis tekstual yang selalu melihat bahasa

dalam ruang tertutup, dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian

besar Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat

bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis

yang menyeluruh. Melihat bahasa dalam perspektif ini membawa konsekuensi

tertentu. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan, dalam

hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis harus

dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial

dan konteks sosial tertentu. Norman Fairclough membangun suatu model yang

mengintegrasikan secara bersama-sama analsis wacana yang didasarkan pada

15

(19)

linguistik dan pemikiran sosial dan politik, dan secara umum diintegrasikan pada

perubahan sosial. Oleh karena itu, model yang dikemukakan oleh Fairclough ini

sering juga disebut sebagai model perubahan sosial (social change). Fairclough

memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana

menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktik sosial, lebih daripada aktivitas

individu atau untuk merefleksikan sesuatu.

Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi : teks, discourse

practice, dan sociocultural practice. Dalam model analisis Fairclough, teks

dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat.

Selain itu, Fairclough juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana

antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Semua

elemen yang dianalisis tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah berikut.

Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin

ditampilkan dalam teks, yang umumnya membawa muatan ideologis tertentu.

Analisis ini pada dasarnya ingin melihat bagaimana sesuatu ditampilkan dalam

teks yang bisa jadi membawa muatan ideologis tertentu. Kedua, relasi, merujuk

pada analisis bagaimana konstruksi hubungan di antara wartawan dengan

pembaca, seperti apakah teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka

atau tertutup. Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas

(20)

ditampilkan.16 Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan

proses produksi dan konsumsi teks. Sedangkan Sociocultural practice adalah

dimensi yang berhubungan dengan konteks diluar teks. Konteks disini

memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi.

1.6.1.2.1 Teks

Fairclough melihat teks dalam berbagai tingkatan. Sebuah teks bukan hanya

menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana

hubungan antarobjek didefiniskan. Ada tiga elemen dasar dalam model

Fairclough, elemen tersebut yaitu: Representasi, Relasi, Identitas.

Unsur Yang Ingin Dilihat

Representasi Bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi,

keadaan atau apa pun ditampilkan dan

digambarkan dalam teks.

Relasi Bagaimana hubungan antara wartawan,

khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan

digambarkan dalam teks.

Identitas Bagaimana Identitas wartawan, khalayak, dan

partisipan berita ditampilkan dan digambarkan

dalam teks.

16

(21)

Tabel 1.117 Unsur dasar Model analisis Norman fairclough Representasi pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang,

kelompok, tindakan, kegiatan, ditampilkan dalam teks. Representasi dalam

pengertian Fairclough dilihat dari dua hal, yakni bagaimana seseorang, kelompok,

dan gagasan ditampilkan dalam anak kalimat dan gabungan atau rangkaian antar

anak kalimat.

1. Representasi dalam anak kalimat

Aspek ini berhubungan dengan bagaimana seseorang, kelompok,

peristiwa, dan kegiatan ditampilkan dalam teks, dalam hal ini bahasa

yang dipakai. Menurut Fairclough, ketika sesuatu tersebut ditampilkan,

pada dasarnya pemakai bahasa dihadapkan pada paling tidak dua

pilihan. Pertama, pada tingkat kosakata, kosakata apa yang dipakai

untuk menampilkan dan menggambarkan sesuatu, yang menunjukkan

bagaimana sesuatu tersebut dimasukkan dalam satu set kategori.

Kedua, pilihan yang didasarkan pada tingkat tata bahasa. Pemakai tata

bahasa dapat memilih, apakah seseorang, kelompok, atau kegiatan

tertentu hendak ditampilkan sebagai sebuah tindakan ataukah sebagai

sebuah peristiwa.18

2. Representasi dalam kombinasi anak kalimat

Antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain dapat

digabungkan sehingga membentuk suatu pengertian yang dapat

17

Ibid, Hal. 289

18

(22)

dimaknai. Pada dasarnya, realitas terbentuk lewat bahasa dengan

gabungan antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lainnya.

Gabungan antara kalimat akan membentuk suatu koherensi lokal,

yakni pengertian yang didapat dari gabungan anak kalimat satu dengan

yang lain, sehingga suatu kalimat mempunyai arti.

3. Representasi dalam rangkaian antarkalimat

Jika representasi dalam kombinasi anak kalimat menggabungkan

anak kalimat yang satu dengan yang lainnya, maka aspek ini

berhubungan dengan bagaimana dua kalimat atau lebih disusun dan

dirangkai. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam

anak kalimat yang lebih menonjol dibandingkan dengan bagian yang

lain.

4. Relasi

Relasi berhubungan dengan bagaimana peristiwa dalam media

berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Media disini dipandang

sebagai suatu arena sosial, dimana semua kelompok, golongan, dan

khalayak yang ada dalam masyarakat saling berhubungan dan

menyampaikan versi pendapat dan gagasannya.

5. Identitas

Aspek identitas ini terutama dilihat oleh Fairclough dengan melihat

bagaimana identitas wartawan ditampilkan dan dikonstruksi dalam

(23)

menempatkan dan mengidentifikasi dirinya dengan masalah atau

kelompok sosial yang terlibat.

1.6.1.2.2 Discourse Practice

Analisis discourse practice memusatkan perhatian pada bagaimana

produksi dan konsumsi teks. Teks dibentuk lewat suatu praktik diskursus, yang

akan menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi. Dalam pandangan Norman

Fairclough, ada dua sisi dari praktik diskursus tersebut. Yakni produksi teks dan

konsumsi teks. Dengan kata lain, kita harus tahu bagaimana teks tersebut

diproduksi dan bagaimana juga teks tersebut dikonsumsi.

1.6.1.2.3 Sociocultural Practice

Analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks

sosial yang ada dapat mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul. Menurut

Norman Fairclough, sosiocultural practice tidak memiliki hubungan langsung

dalam menentukan teks, melainkan melalui mediasi oleh discourse practice.

Mediasi itu meliputi dua hal, yang pertama, bagaimana teks tersebut diproduksi.

Praktik diskursus inilah yang secara langsung akan menentukan bagaimana teks

tersebut diproduksi. Kedua, khalayak juga akan mengkonsumsi dan menerima

teks tersebut dalam pandangan bagaimana teks tersebut diproduksi. Fairclough

membuat tiga level analisis pada sociocultural practice, yaitu : (1) Situasional,

teks diproduksi diantaranya memperhatikan aspek situasional ketika teks tersebut

(24)

sehingga satu teks bisa jadi berbeda dengan teks yang lain. (2) Institusional, level

institusional melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi dalam praktik

produksi wacana. (3) Sosial, faktor sosial sangat berpengaruh terhadap wacana

yang muncul dalam pemberitaan. Bahkan Fairclough menegaskan bahwa wacana

yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Dalam level

sosial, budaya masyarakat, misalnya turut menentukan perkembangan dari

wacana.19

1.6.2 Teori Feminisme 1.6.2.1Pengertian Feminisme

Teori Feminisme beranjak dari asumsi bahwa gender merupakan

konstruksi yang meskipun bermanfaat, didominasi oleh bias laki-laki dan

cenderung opresif terhadap perempuan. Teori Feminisme berupaya menantang

asumsi-asumsi gender yang hidup dalam masyarakat dan mencapai cara yang

lebih membebaskan kaum perempuan dan laki-laki untuk hidup di dunia.20

Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi

atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme ialah tentang perlawanan

terhadap pembagian kerja di suatu dunia yang menetapkan kaum laki-laki sebagai

yang berkuasa dalam ranah publik, seperti dalam pekerjaan, olahraga, perang,

pemerintahan, sementara kaum perempuan hanya menjadi pekerja tanpa upah

19

Ibid, Hal. 316-325

20

(25)

dirumah, dan memikul seluruh beban kehidupan keluarga.21 Feminisme berasal

dari bahasa latin, femina atau perempuan.22 Feminisme yang memiliki artian dari

femina tersebut, memiliki arti sifat keperempuan, sehingga Feminisme diawali

oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibanding laki-laki di

masyarakat. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab

ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan

hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka

sebagai manusia (human being). Maggie Humm dalam bukunya “Dictionary of

Feminist Theories” menyebutkan Feminisme merupakan ideologi pembebasan

perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan

bahwa perempuan mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang

dimilikinya.23

Dalam buku Wanita Bergerak karya Soekarno, mengatakan bahwa

Feminisme merupakan pergerakan kaum perempuan yang menuntut adanya

persamaan hak dengan kaum laki-laki, dan pekerjaan dalam masyarakat,

persamaan hak itulah yang menjadi pokok tuntutannya. Dan oleh karena tuntutan

hak memasuki segala macam pekerjaan itu terutama sekali datang dari golongan

wanita atasan dan pertengahan, maka pergerakan Feminisme itu terutama sekali

21

Marisa Rueda, dkk. 2007. Feminisme Untuk Pemula. Yogyakarta : Resist Book. Hal. 3

22

Pengertian Feminisme diakses melalui

https://googleweblight.com/?lite_url=https://id.m.wikipedia.org/wiki/feminisme.html dilihat pada tanggal 26 November 2016 pukul 20.12 wib

23

(26)

adalah satu pergerakan ―kasta pertengahan‖, satu pergerakan borjuis, dan bukan

satu pergerakan yang pengikutnya kebanyakan dari kalangan rakyat jelata.24

Gerakan Feminisme merupakan gerakan pemberontakan kaum perempuan

yang ditujukkan kepada laki-laki untuk melawan kondisi sosial yang terjadi

dimasyarakat seperti institusi rumah tangga, maupun perjuangan perempuan untuk

mengingkari apa yang disebut dengan kodrat. Karena situasi ini dan keterbatasan

pengetahuan tentang Feminisme bagi sebagian besar masyarakat khususnya

perempuan menolak gerakan dan keberadaannya. Dalam gerakan yang dilakukan

untuk memajukan perempuan, pemikiran Feminisme pada umumnya memusatkan

perhatian kepada perempuan dan mengasumsikan bahwa munculnya

permasalahan kaum perempuan disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya

kaum perempuan disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya kaum

perempuan sendiri. Situasi ini yang mengakibatkan ketidakmampuan perempuan

bersaing dengan laki-laki dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung.25

Menurut peneliti sendiri, Feminisme adalah paham yang menggerakan

pemahaman dan kesadaran perempuan terhadap kehidupan perempuan agar lebih

mendapatkan kebebasan dan keadilan dalam segala bidang.

Dengan beragamnya arti Feminisme, maka akan sulit mendapatkan

definisi Feminisme dalam semua ruang dan waktu. Hal ini terjadi karena

Feminisme tidak mengusung teori tunggal, akan tetapi menyesuaikan kondisi

sosiokultural yang melatarbelakangi munculnya paham itu serta adanya perbedaan

24

Op. Cit, Ir. Soekarno. 2013, Wanita bergerak.. , hal. 16

25

(27)

tingkat kesadaran, presepsi, dan tindakan yang dilakukan oleh para feminis.

Contohnya di Amerika, gerakan Feminisme pada mulanya lebih dipandang

sebagai suatu sudut pandangan yang mencoba membantu melihat adanya

ketimpangan-ketimpangan perilaku terhadap tindakan kaum perempuan, baik

yang bersifat struktural maupun kultural maka pada perkembangannya yang lebih

lanjut nilai yang diperjuangkan gerakan ini dikonsektualisasi sesuai dengan

kepentingan sejarah dan tempat gerakan itu mucul. Yakni dari penolakan perilaku

menjadi upaya pembebasan hak-hak perempuan yang cenderung radikal.

Dengan demikian Feminisme kini bukan lagi sekedar ideologi dan

kepercayaan semata, melainkan suatu ajakan untuk bertindak atau gerakan

pembebasan. Dengan tindakan maka feminisme akan menjadi gerakan

pembebasan perempuan yang nyata dan dapat mengangkat derajat perempuan

pada posisi yang sepantasnya. Jika tidak, maka Feminisme hanya akan menjadi

retorika saja bahkan keberadaan akan ditelan waktu.

1.6.2.2Aliran Dalam feminisme

Dalam perkembangannya, Feminisme terbagi menjadi beberapa aliran

besar dengan teori yang dimunculkan sebagai landasan bagi upaya pembongkaran

dominasi laki-laki terhadap perempuan. Sebab dominasi laki-laki terhadap

perempuan tidak hanya berupa penindasan secara fisik, melainkan telah menjadi

bagian kesadaran sosial. Paling tidak ada tiga aliran besar yang berkembang,

(28)

1. Feminisme Liberal

Feminisme Liberal mulai berkembang pada abad ke 18, di dasari

pada prinsip-prinsip Liberalisme, yaitu semua orang (laki-laki dan

perempuan) dengan kemampuan rasionalitasnya diciptakan dengan hak

yang sama dan setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk

memajukan dirinya. Tokoh-tokoh dalam Feminisme Liberal, yaitu : Alison

Jaggar (Feminist Politics and Human Nature), Mary Wollstonecraft ( A

Vindication of the Rights of Woman), John Stuart Mill and Hariet Taylor

(Early Essays on Marriage and Divorce), John Stuart Mill (The Subjection

of Women), Hariet Taylor (Enfranchisement of Women), Angela Davis

(Women, Race and Class).26

Adapun awal lahirnya aliran Feminisme Liberal adalah tentang

konsepsi nalar, yakni keyakinan bahwa nalar membedakan manusia

dengan makhluk lain tidak memberikan informasi apapun. Sebab

perempuan walau sama-sama manusia yang bernalar, perempuan tidak

memiliki kesadaran untuk bebas dari keterpurukannya. Aliran ini

dinamakan Feminisme Liberal karena memiliki perhatian khusus tentang

pentingnya kebebasan individu tantang hak-hak yang didapat dan

kewajiban yang dilakukan. Yakni setiap individu perempuan atau laki-laki

memiliki hak-hak yang harus dilindungi dari penindasan, sehingga

26

Dean Saputri. 2011. Aliran-Aliran Feminisme, diakses melalui

(29)

perhatian utama dari aliran ini adalah tentang persamaan hak, khususnya

hak-hak perempuan.

Feminisme liberal mengisyaratkan bahwa manusia baik laki-laki

dan perempuan adalah sama, seimbang, dan serasi dihadapan publik.

Laki-laki memiliki kekhususan tertentu, begitu pula dengan perempuan.

Namun, tidak boleh dijadikan suatu alasan untuk melakukan penindasan.

Perempuan tidak bisa diletakkan lebih rendah dari laki-laki dalam setiap

bidang, sebab laki-laki dan perempuan memliki kesanggupan dalam

melakukan segala sesuatu diruang khusus dan publik.

Feminisme liberal juga melihat sumber penindasan bagi

perempuan karena belum terpenuhinya hak-hak perempuan, seperti

diskriminasi hak, kesempatan, dan kebebasan hanya karena berjenis

kelamin perempuan. Namun aliran ini tetap menolak persamaan secara

keseluruhan antara laki-laki dan perempuan. dalam beberapa hal, aliran ini

masih tetap memandang perlu adanya pembedaan antara laki-laki dan

perempuan, seperti yang berhubungan dengan fungsi reproduksi. Aliran ini

juga beranggapan bahwa tidak harus dilakukan perubahan struktural secara

menyeluruh namun cukup melibatkan perempuan di dalam berbagai peran.

Selain itu, Feminisme liberal melandaskan Idealisme fundamentalnya pada

pemikiran bahwa manusia bersifat otonomi dan diarahkan oleh penalaran

yang menjadikan manusia mengerti akan prinsip-prinsip moralitas dan

(30)

dengan akses pada pendidikan, kebijakan yang bias gender, hak-hak politis

dan sipil. Rochelle Gatlin (1987 : 121) menerangkan korelasi antara

Feminisme liberal dan perubahannya menjadi Feminisme radikal. Ia

mendefinisikan feminis liberal adalah kaum liberal yang potensial. Akan

tetapi banyak liberalis yang tidak menyadari hal ini dan menyangkal

bahwa Liberalisme yang mereka dukung adalah sebuah ideologi politis

seperti lainnya. Mereka sering tidak sadar bahwa nilai-nilai liberal dari

hak-hak individual dan kesetaraan kesempatan sesungguhnya

berkontradiksi dengan pengakuan feminis mereka bahwa perempuan

adalah sebuah kelas seks yang kondisi umumnya ditentukan secara sosial

dan bukan secara individual.27

2. Feminisme Radikal

Femisme radikal berkembang sekitar tahun 1960-an, kata kunci

dari aliran ini adalah radikal yakni mengakar dan menghendaki adanya

perombakan pada suatu sistem. Sumber masalah bagi aliran Feminisme

radikal adalah ideologi patriarki, yakni bentuk organisai rumah tangga di

mana ayah adalah tokoh dominan dalam rumah tangga, menguasai

anggotanya, dan menguasai reproduksi rumah tangga. Feminisme radikal

berpusat pada aspek biologis. mereka berpendapat bahwa ketidakadilan

gender disebabkan dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan.

27

(31)

Maksudnya adalah perempuan merasa dieksploitasi oleh kaum laki-laki

dalam hal-hal biologis yang dimiliki perempuan, misalnya adalah peran

kehamilan dan keibuan yang selalu diperankan oleh perempuan. Oleh

sebab itu, kaum feminis radikal sering menyerang institusi-institusi

keluarga dan sistem patriarki yang mereka anggap adalah sumber

penindasan.

Kaum feminis radikal menganggap institusi-institusi tersebut

adalah institusi yang melahirkan sistem dominasi pria sehingga wanita

tertindas. Patriarki tidak hanya secara historis menjadi struktur dominasi

dan ketundukkan, namun ia pun terus menjadi model dasar dominasi

ditengah-tengah masyarakat. Kaum feminis radikal sangat menghindari

institusi perkawinan. Mereka mempunyai tujuan yang harus dicapai adalah

mengakhiri tirani keluarga biologis. Apabila lembaga perkawinan tidak

dapat dihindari maka kaum feminis membuat teknologi untuk mengurangi

penindasan terhadap perempuan yaitu dengan membuat kontrasepsi dan

teknologi bayi tabung. Feminisme radikal cenderung membenci pria.

Bahkan mereka menganggap perempuan bisa hidup mandiri tanpa

kehadiran kaum pria. Feminisme radikal memperjuangkan gerakannya

melalui kampanye dan demonstrasi untuk membangun ruang dan

kebudayaan perempuan. Mereka berkonsentrasi pada diakhirnya

(32)

melawan kekerasan laki-laki terhadap perempuan seperti pemerkosaan dan

pornografi.28

3. Feminisme Marxis

Kata kunci dari aliran ini adalah Marxis, yakni berlandaskan pada

teori konfliknya Karl Marx tentang kepemilikan pribadi. Bagi Marx

kepemilikan pribadi akan menimbulkan kehancuran pada sistem keadilan

dan kesamaan kesempatan yang pernah dimiliki masyarakat. Dari

kepemilikan tersebut sejatinya telah menciptakan sistem kelas yang

eksploitatif. Dalam pandangan aliran Feminisme Marxis, bahkan dalam

keluargapun tercermin sistem private property, yakni kepemilikan suami

atas keluarganya. Suami adalah cerminan kaum borjuis yang menguasai

nafkah dan materi dari keluarga, sehingga memiliki kekuasaan dan posisi

yang kuat dalam keluarga dibanding istri dan anak-anak yang ditempatkan

menjadi kaum proletar.

Selain itu, perempuan bagi aliran ini dalam keluarga di tempatkan

hanya dalam sektor domestik untuk mengurus rumah tangga. Perempuan

dalam rumah tanggapun dalam pekerjaannya tidak diperhitungkan dalam

perhitungan ekonomi, sosial, dan politik. Dengan tidak adanya nilai

ekonomis, sosial, dan politik dalam kehidupan berumah tangga maka

perempuan dianggap tidak lebih bernilai dibanding laki-laki. Laki-laki

28

(33)

dianggap lebih bernilai karena memiliki pekerjaan yang ekonomis dan

memberi masukan nafkah kepada keluarga. Oleh karena itu, perjuangan

feminis marxis adalah menuntut agar pekerjaan rumah tangga dihargai dan

bernilai ekonomis. Sebab pekerjaan rumah tangga adalah produktif dan

menciptakan surplus value atau nilai tambah dalam kehidupan berumah

tangga. Dengan cara itu, laki-laki dan perempuan berkedudukan sama

karena secara ekonomis keduanya mempunyai pekerjaan yang sama nilai

ekonomis.

Feminis Marxis percaya bahwa pekerjaan perempuan membentuk

pemikiran perempuan dan karena itu membentuk juga sifat-sifat alamiah

perempuan. Kaum feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme adalah suatu

sistem hubungan kekuasaan yang eksploitatif (majikan mempunyai

kekuasaan yang lebih besar, mengkoreksi pekerja untuk bekerja lebih

keras) dan hubungan pertukaran (bekerja untuk upah, hubungan yang

diperjualbelikan). Feminis Marxis menolak hubungan kontraktual antara

pekerja dan majikan.29 Feminisme Marxis lebih menekankan pada

pembangunan aliansi dengan kelompok-kelompok dan kelas-kelas

tertindas lainnya, yaitu dengan gerakan-gerakan anti-imperialis,

organisasi-organisasi buruh, partai-partai politik kiri. Mereka terlibat

29

Ariyana. 2007. Teori Feminis Marxis-Sosialis. Diakses melalui

(34)

dalam dialog permanen dengan laki-laki progresif dalam

organisasi-organisasi ini mengenai makna dan arti penting perjuangan feminis.30

1.7Metodologi Penelitian 1.7.1 Metode penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode

deskriptif. Metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang

diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek

penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat dan lain-lain pada saat

sekarang bardasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.31 Penelitian

deskriptif bertujuan untuk menunjukan ihwal masalah atau objek tertentu secara

rinci. Penelitian deskriptif dilakukan agar dapat menjawab suatu atau beberapa

pertanyaan mengenai keadaan objek yang sedang diteliti oleh penulis secara rinci.

Peneliti menggunakan penelitian deskriptif karena peneliti ingin memberikan

gambaran bagaimana ideologi gerakan perempuan yang dibangun oleh Soekarno

dalam buku karyanya ―Sarinah‖. Hal ini yang kemudian mendasari peneliti untuk

menggunakan metode penelitian deskriptif dalam penelitian.

1.7.2 Jenis Penelitian

Berdasarkan metode yang dipakai maka penelitian ini menggunakan

penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan analisis wacana

30

Loc,Cit. Marisa Rueda,dkk. 2007. Feminisme... 31

(35)

ideologi gerakan perempuan Soekarno. Langkah pertama yang dilakukan oleh

peneliti dalam penelitian ini ialah mendeskripsikan pandangan Soekarno

mengenai peran ―Sarinah‖ dalam mempengaruhi pemikiran Soekarno dalam

memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dan kemudian menganalisis

ideologi gerakan perempuan yang dibangun Soekarno dalam buku ―Sarinah‖

karya Soekarno dengan menggunakan pisau analisis wacana Norman Fairclough.

1.7.3 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah Buku ―Sarinah‖ karya Soekarno. Dimana buku

ini terdiri dari 6 bab dan berjumlah 329 halaman.

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam menyusun sebuah penelitian akan menjadi penting memilih sebuah

teknik pengumpulan data yang tepat, yang akan sangat berpengaruh terhadap hasil

penelitian. Teknik pengumpulan data akan memungkinkan dicapainya pemecahan

masalah secara valid dan reliabel, yang pada gilirannya akan memungkinkannya

dirumuskannya generalisasi yang objektif.32

Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam melakukan

penelitian ini adalah teknik pengumpulan data sekunder yaitu dengan melakukan

pengumpulan data kepustakaan (library research). Bahan-bahan yang diambil

sebagai data-data untuk penulisan tulisan ilmiah berasal dari tulisan-tulisan yang

32

(36)

terdapat dalam buku- buku, jurnal, makalah internet dan sejenisnya yang berkaitan

dengan penelitian ini.

1.7.5 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

menggunakan analisis data deskriptif kualitatif, yaitu dengan analisis atas masalah

yang ada sehingga selanjutnya akan diperoleh gambaran yang jelas mengenai

objek yang akan diteliti dan kemudian akan dilakukan penarikan kesimpulan pada

fenomena yang sedang diamati dengan metode ilmiah. Prinsip utama yang perlu

ditekankan dalam penelitian ini adalah untuk menemukan teori dan fakta yang

(37)

1.8Sistematika Penulisan

Dalam suatu penelitian, perlu adanya sistematika penulisan agar dapat

diperoleh suatu gambaran yang jelas dan terperinci. Adapun yang menjadi

sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, perumusan masalah,

tujuan penelitian, pembatasan masalah, kerangka teori, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : GAMBARAN UMUM

Bab ini Penulis akan menguraikan biografi Soekarno, Hubungan

Soekarno dengan Sarinah, dan memaparkan profil Buku ―Sarinah‖.

BAB III : ANALISIS WACANA BUKU ―SARINAH‖ KARYA

SOEKARNO

Bab ini penulis akan melakukan analisis mengapa Soekarno

memilih Sarinah menjadi tokoh dalam buku karyanya dan juga

penulis akan melakukan analisis ideologi gerakan perempuan yang

dibangun Soekarno dalam buku ―Sarinah‖ dengan menggunakan

teori analisis wacana Norman Fairclough.

(38)

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil-hasil pembahasan dan analisis

pada bab-bab sebelumnya, serta berisi saran-saran yang nantinya

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Analisis Wacana Politik Tubuh Perempuan Pada Level Teks, Penulis dan Pembaca dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Novel Sri Sumarah ..... commit

Di tengah gencarnya gerakan feminis yang dilakukan oleh para penulis perempuan, tampil Yonathan Rahardjo menyajikan sebuah kumpulan cerita pendek mengenai perempuan, berjudul

Lha benar-benar nggak sengaja, sepertinya ini pengaruh alam bawah sadar saya yang sejak kecil hidup saya dekat dengan perempuan, seperti ibu saya, nenek saya, dan pembantu

Representasi Perjuangan Perempuan Melawan Penindasan (Studi Analisis Wacana Kritis Sara Mills dalam Cerpen Perempuan Preman Karya Seno Gumira Ajidarma.. Jurusan

Kalau dalam linguistik, analisis wacana menunjuk pada kajian terhadap satuan bahasa di atas kalimat yang memusatkan perhatian pada aras lebih tinggi dari hubungan

Di mana mereka dilihatkan dalam film Kartini ini sebagi sosok yang membuat perempuan dimarginal akibat dari tradisi Jawa yang membelenggu kaum perempuan pada masa

Sebuah kalimat bisa terungkap bukan hanya karena ada orang yang membentuknya dengan motivasi atau kepentingan subjektif tertentu (rasional atau irasional). Analisis

Menggantungkan hukum keluar rumah dan berkiprah di dunia publik pada ada atau tidak adanya fitnah, juga bukan hanya menata tubuh perempuan secara fisik, tetapi juga membangun pikiran