A 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. edah Sesar (ectio Caesaria) 2.1.1. Pengertian
Bedah sesar (ectio caesarea) adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus yang masih utuh (Prawirohardjo, 2008). Defenisi lainnya adalah melahirkan janin yang sudah mampu hidup (beserta plasenta dan selaput ketuban) secara transabdominal melalui insisi uterus (Benson, 2009).
2.1.2. Klasifikasi Bedah Sesar
Ada beberapa jenis bedah sesar yaitu :
1) Bedah sesar klasik atau corporal merupakan tindakan yang paling sederhana dengan membuat insisi pada bagian bawah korpus uteri (diatas lipatan vesikouteri) melalui peritoneum viseral ke dalam miometrium. Pembedahan ini dilakukan bila segmen bawah rahim tidak dapat dicapai dengan aman, bayi besar dengan kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah (Prawirohardjo, 2008; Wuryani, 2012)
2) Bedah sesar ismika atau profunda (low cervical dengan insisi pada segmen bawah rahim) merupakan suatu pembedahan dengan melakukan insisi melintang-konkaf pada segmen bawah rahim kira-kira 10 cm (Prawirohardjo, 2008).
2.1.3. Indikasi Bedah Sesar
Tabel 2.1. Indikasi edah Sesar (Tsen, 2014)
Maternal Perdarahan antepartum atau intrapartum
Gagal pervaginam
Chorioamnnionitis
Gangguan kondisi maternal (misalnya; preeklampisa berat, penyakit jantung, dsb)
Distosia
Gagal induksi
Herpes Genital
Kehamilan ganda
Permintaan pasien
Plasenta Previa Placental abruption
Previous Myomectomy
Insisi Uterus sebelumnya
Ruptur Uteri
Fetal Presentasi bokong atau malpresentasi lainnya Fetal Ditress
Dugaan Makrosomia
Status fetus yang meragukan
Prolaps tali pusat
Ahli Obstetri Menghindari persalinan dengan forsep atau vakum yang sulit
2.2. Anestesi Regional Pada Kehamilan
Anestesia regional sudah dikenal dari abad ke-19. Anestesia spinal pertama sekali ditemukan 5 tahun sebelum orang mengenal lumbal pungsi. Pada
Quincke. Teknik yang dilakukan Quincke ini dilakukan diantara L3-L4 agar tidak mengenai medulla spinalis. Kemudian Bier dan Hildebrandt melakukan anestesi spinal pada 6 orang dengan kokain dosis kecil. Bahkan Hildebrandt sendiri pun bersedia dilakukan anestesi spinal terhadap dirinya. Keberhasilan pun didapat oleh keduanya walau pun efek samping didapati seperti hipotensi, mual, muntah, dan Post Dural Puncture Headache. Hipotensi dan bradikardi merupakan kejadian yang sering terjadi (Smith, 2006; Tsen, 2014; Brull, 2015).
Pada tahun 1900 Tuffer melakukan tindakan anestesi spinal pada 63 pasien operasi dengan histerektomi dimana pasien tidak lagi merasa sakit dan dapat dilakukan histerektomi. Sedangkan Rudolph Matas menggunakan kokain hydroclorida 10-20 mg yang hipotonik pada pasien-pasiennya (Smith, 2006)
Mortalitas ibu yang melahirkan pada anestesi umum merupakan alasan utama dari penggunaan anestesi regional yang luas saat ini untuk prosedur bedah sesar. Anestesi regional sangatlah aman bila dilakukan sesuai aturan dibandingkan dengan komplikasi yang didapat bila pasien dilakukan anestesia umum. Penggunaan anestesi regional dapat menurunkan angka mortalitas dan menurunkan komplikasi yang dapat terjadi seperti aspirasi, emboli paru, masalah jantung, dan pneumonia. Pada pasien–pasien obstetri, anestesi regional sering digunakan karena dapat mengurangi mortalitas dan komplikasi yang terjadi seperti aspirasi dan gagal intubasi bila dilakukan anestesia umum (Tsen, 2014).
Anestesi spinal adalah penyuntikan lokal anestesia pada L3-L4 dengan tujuan memasukkan lokal anestesia pada ruang subarachnoid sehingga mendapatkan efek analgesia. Anestesi spinal lebih aman 16-1 kali dibandingkan anestesi umum. Anestesia spinal juga paling sering digunakan pada bedah sesar dan menjadi pilihan utama pada pasien kebidanan sekarang ini karena efek samping yang ditimbulkannya minimal bagi ibu dan janin. Teknik ini adalah teknik yang sederhana yang dapat dipelajari dengan tingkat keberhasilan yang tinggi (Covino, 1994; Liguori, 200; Brull, 2015).
yang terblok terlebih dahulu kemudian diikuti oleh motorik. Saraf motorik bertanggung jawab akan kontraksi dari otot, dan bila di blok otot-otot akan relaks. Saraf sensoris bertanggung jawab atas sensasi sentuhan dan nyeri. Sedangkan saraf otonom bertanggung jawab atas dilatasi dari pembuluh darah, denyut nadi dan pergerakan usus. Pada pasien yang dilakukan anestesi spinal dapat terjadi efek pada sistem pembuluh darah, pernafasan, sistem pencernaan, kandung kemih serta endokrin dan metabolik (Stoelting, 2006; Butterworth, 2013).
Efek anestesi spinal pada sistem pencernaan berupa terbloknya saraf simpatis didaerah thorakolumbal pada sistem pencernaan menyebabkan meningkatkan motilitas pergerakan usus sehingga peristaltik pun akan meningkat (Butterworth, 2013; Brull, 2015).
2.3. Motilitas Gastrointestinal
2.3.1.Fisiologi Normal dari Motilitas Gastrointestinal
Traktus gastrointestinal menerima persyarafan dari dua divisi sistem syaraf otonom. Sinyal dari sistem syaraf otonom memengaruhi aktivitas dari sistem syaraf intrinsik yang terdiri dari plexus myenteric (Plexus Aurbach) dan plexus submucous (Plexus Meissner). Sebagai contoh, impuls dari sistem syaraf parasimpatis meningkatkan aktivitas intrinsik, sedangkan sinyal dari sistem syaraf simpatis menurunkan aktivitas intrinsik. Sejumlah besar dari substansi neuromodulator juga bekerja pada traktus gastrointestinal.
Komponen kranial dari sistem syaraf parasimpatis memersyarafi traktus gastrointestinal (esofagus, lambung, pankreas, usus kecil, kolon) yang dibawa oleh nervus vagus. Bagian distal dari kolon banyak dipersyarafi oleh syaraf parasimpatis yang keluar dari komponen sacral yang dihantarkan oleh nervus pelvic dari plexus hypogastric. Serabut dari sistem syaraf simpatis menuju traktus gastrointestinal melalui ganglia seperti celiac ganglia (Stoelting, 2006).
diberi makan terdiri dari gerakan yang berkelanjutan dengan amplitudo bervariasi yang rendah, kontraksi yang tidak berkelompok yang memiliki jumlah, intensitas, dan durasi berdasarkan pada makanan yang dimakan (sejumlah komposisi fisika dan kimia). Namun, diantara pemberian makan terdapat proses migrating motor complex (MMC) yang merupakan pola kontraksi dari usus. Migrating motor complex pertama sekali dijelaskan oleh Szurszweski, yaitu gerakan yang dipercaya sebagai fungsi pembersihan dengan cara mendorong isi intralumen usus kearah distal selama kondisi puasa. Pada manusia, kontraksi ini terjadi sekitar sekali setiap 1-2 jam (Luckey, 2003).
Otot dari lambung disusun oleh sel-sel yang berhubungan erat, yang dapat menimbulkan fungsi elektrofisiologi. Ada 3 jenis potensial elektrikal yang khusus;
resting potential, slow-wave atau pacesetter potential, dan spike potential yang memicu kontraksi (Luckey, 2003). Namun, potensial-potensial elektrik tersebut hanya dapat terjadi selama frekuensi slow-wave dan ditentukan oleh pacemaker. Sejumlah hormon gastrointestinal memengaruhi motilitas gastrointestinal yang telah diketahui belakangan ini. Motilitas gaster ditentukan oleh interaksi yang kompleks antara karakteristik elektrofisiologi, input syaraf, dan hormon gastrointestinal (Fujimiya, 2000).
Pengosongan cairan dari lambung dimulai dalam 1 menit setelah minum, sedangkan pengosongan makanan padat dari lambung dimulai dalam 15-13 menit (median 49 menit). Pengosongan lambung pada orang yang sehat dan ibu hamil yang tidak obesitas tetap berlangsung setelah meminum 300 cc cairan jernih (Stoelting, 2006).
Usus besar yang memiliki tujuan utama dalam mengabsorbsi air dan menyimpan feses, berbeda dalam hal struktur dan fungsi dibandingkan bagian usus yang lainnya. Pengukuran aktivitas elektrikal pada kolon menunjukkan osilasi irreguler dengan berbagai amplitudo. Otot polos kolon tidak terdiri dari
berhubungan dengan osilasi tapi melibatkan kontraksi yang membersihkan isi lumen ke arah distal (Luckey, 2003; Vather, 2013).
2.3.2. Post Operative Ileus
Definisi ileus dijelaskan dalam Dorland’s Illustrated Medical Dictionary sebagai obstruksi dari saluran cerna (Dorland, 1994). Definisi lain ileus menurut Livingstone dan Passaro adalah penghambatan fungsional dari aktivitas gerakan mendorong dari saluran cerna, terlepas dari mekanisme penyebab dari patogenetik (Livingstone, 1990). Lebih lanjut lagi mereka menjelaskan post operative ileus
sebagai ileus tanpa komplikasi yang terjadi setelah pembedahan, yang kembali normal dalam 2-3 hari. Pada post operative ileus, terhentinya gerakan usus kecil bersifat sementara, dan gerakan lambung kembali muncul dalam 24 sampai 48 jam.
2.3.3. Patogenesis Post Operative Ileus
Pada lambung dan usus kecil, aktivitas elektrik basal yang normal mengalami kemunduran setelah prosedur pembedahan. Secara spesifik, pada lambung terdapat pola yang irreguler dari gastric spike dan aktivitas slow-wave.
Terlebih lagi, setelah pembedahan jika pasien tidak diberi makan, aktivitas MMC diduga hanya berupa dorongan terhadap kontraksi usus (Livingstone, 1990). Oleh karena itu, pasien yang tidak diberi diet oral setelah pembedahan juga diduga memiliki gerakan motilitas usus yang minimal.
Berbagai agen anestesi dapat memengaruhi aktivitas MMC. Sebagai contoh, eter dan halothan bersifat menghambat gerakan usus, sementara enfluran bersifat merangsang (Luckey, 2003).
Aktivitas elektrikal kolon juga terganggu sebagai hasil dari prosedur pembedahan. Setelah pembedahan pada monyet dan manusia, terdapat gangguan dari 3 aktivitas elektrikal yang telah dijelaskan sebelumnya (Luckey, 2003). Aktivitas respon elektrikal yang terus-menerus adalah akhir untuk kembali ke normal (kira-kira 2 jam setelah pembedahan) dan berhubungan dengan onset dari flatus. Walaupun aktivitas elektrik dari saluran gastrointestinal terganggu pada pasien dengan ileus paralitik post operasi, kembalinya aktivitas listrik yang normal tidak selalu bertepatan dengan pulihnya keluhan ileus (Vather, 2013).
2.3.4. Pengaruh Anestesi terhadap Post Operative Ileus
Semua jenis dari anestesi memiliki efek pada motilitas saluran cerna. Agen anestesi menggunakan efeknya yang paling kuat pada bagian dari usus yang bergantung pada integrasi syaraf. Terutama usus besar tidak memiliki gap junction interseluler, yang membuat kolon lebih rentan terhadap efek penghambatan dari anestesi (Livingstone, 1990).
Perpanjangan waktu pengosongan lambung diobservasi setelah paparan dari anestesia. Atropine, halotan dan enflurane merupakan agen yang menurunkan pengosongan lambung. Konsekuensi dari perpanjangan pengosongan lambung adalah kemungkian aspirasi, peningkatan resiko mual dan muntah pasca operasi, dan penghambatan absorbsi dari pengobatan (Luckey, 2003).
epidural opioid, dan 3 dari penelitian ini menunjukkan pengurangan yang signifikan pada durasi post operative ileus pada kelompok epidural bupivacaine dibandingkan dengan kelompok epidural opioid (Luckey, 2003).
Dari beberapa penelitian prospektif (Asantila, 1991; Liu, 1995; Jorgensen, 2001) yang membandingkan efek epidural bupivacaine dan kombinasi epidural bupivacaine dengan morphine terhadap pemulihan dari post operative ileus, epidural bupivacain sendiri tampak lebih superior tanpa efek samping yang signifikan yang memengaruhi penghilang nyeri.
2.3.5. Penanganan Post Operative Ileus
1. Diet dini pasca operasi; pemberian diet dini pasca operasi melalui enteral atau nasoenteral telah disarankan sebagai cara untuk menurunkan durasi dari ileus paralitik pasca operasi. Alasannya adalah bahwa pemberian diet dini dapat menstimulasi refleks saluran cerna yang dapat memproduksi koordinasi dari gerakan propulsif, dan memicu sekresi hormon gastrointestinal yang menyebabkan efek positif secara keseluruhan terhadap saluran cerna
2. Pemasangan nasogastric tube; sejak dahulu pemasangan nasogastric tube
telah digunakan untuk penanganan postoperatif ileus. Namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa pemasangan nasogastric tube tidak mempersingkat waktu munculnya bising usus. Terlebih lagi penggunaan yang tidak sesuai dapat menimbulkan komplikasi seperti demam, penumonia dan atelektasis. (Cheatham, 1995)
3. Prosedur Laparaskopi; prosedur ini menawarkan keuntungan secara teoritis yaitu mengurangi trauma jaringan dibandingkan dengan prosedur laparatomi. Berkurangnya trauma jaringan memicu pemulihan fungsi saluran cerna yang lebih cepat pasca operasi (Luckey, 2003)
2.3.6. Manajemen Farmakologi dalam Penanganan Post Operative Ileus (Luckey, 2003)
1. NSAID (Non teroid Anti Inflammatory Drug).
Obat NSAID dapat mengurangi post operative ileus dengan cara menuurunkan pemakaian opioid. Beberapa penelitian juga menunjukkan manfaat pemberian NSAID dalam mengurangi mual dan muntah serta meningkatkan waktu pengosongan gastrointestinal.
2. Laxatif.
Banyak klinisi yang menggunakan laxatif sebagai pengobatan post operative ileus, namun masih sedikit penelitian uji klinis yang pernah dilakukan.
3. Prostaglandin.
Prostaglandin diketahui dapat memengaruhi motilitas saluran cerna. Pada manusia, prostaglandin E2 dilaporkan dapat meningkatkan waktu pengosongan pada usus kecil dan usus besar. Penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk mengetahui manfaat prostaglandin tersebut.
4. Neostigmin.
Obat penghambat enzim antikolinesterase ini diketahui sebagai terapi yang potensial dalam menangani post operative ileus. Sebuah penelitian melaporkan bahwa neostigmin dapat meningkatkan motilitas kolon pasca operasi.
5. Metoclopramide.
Sebagai agen prokinetik yang beraksi sebagai agonis kolinergik dan antagonis dopamin. Namun belum ada penelitian yang signifikan menunjukkan manfaat dari pemberian agen ini dalam penanganan post operative ileus.
2.4. Post Operative Nausea and Vomitting (PONV)
berasal dari olfaktori, visual, vestibular dan psikogenik. Kemoreseptor pada CTZ memonitor level substansi di darah dan cairan serebrospial dan dan faktor – faktor lainnya juga bisa mencetuskan terjadinya PONV (Rahman, 2004).
Berbagai hal mengenai mual belum diketahui secara baik. Hal tersebut dihubungkan dengan relaksasi gastrointestinal, retroperistaltik di duodenum, meningkatnya salivasi, pucat dan takikardi. Muntah dan retching adalah respon batang otak, mual melibatkan bagian otak yang lebih tinggi. Muntah diawali dengan bernafas yang dalam, penutupan glotis dan naiknya palatum molle. Diafragma lalu berkontraksi dengan kuat dan otot – otot abdominal berkontraksi untuk meningkatkan tekanan intra-gastrik. Hal ini menyebabkan isi lambung keluar dengan penuh tenaga ke esofagus dan keluar dari mulut (Rahman, 2004).
Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa mekanisme patofisiologi yang menyebabkan mual dan muntah telah diketahui. Koordinator utama pusat muntah adalah kumpulan saraf–saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf –saraf ini menerima input dari (Rahman, 2004, Doubravska, 2010):
a. Chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema
b. Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena penyakit telinga tengah)
c. Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal) d. Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan
dengan cedera fisik)
Gambar 2.1. Jaras Terjadinya Muntah dan eberapa Obat yang Digunakan Untuk Mengatasi Mual (Doubravska, 2010)
Ada tiga komponen utama dari terjadinya muntah yaitu detektor refleks muntah, mekanisme intergrasi dan gerakan motorik yang akan terjadi.
a. Mekano reseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.
b. Kemo reseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap stimulus kimia (ASPAN,2006).
Etiologi muntah pada PONV terdiri dari banyak faktor. Faktor–faktornya bisa diklasifikasi berdasarkan frekuensi terjadinya PONV pada pasien yaitu (Gan Tj, 2006):
1. Faktor–faktor pasien
a. Umur: insidensi PONV 5% pada bayi, 25% pada usia dibawah 5 tahun, 42 – 51% pada umur 6 – 16 tahun dan 14 – 40% pada dewasa. b. Gender: wanita dewasa akan mengalami PONV 2 – 4 kali lebih
banyak dibandingkan laki-laki, kemungkinan karena hormon perempuan.
c. Obesitas: dilaporkan bahwa pada pasien obesitas lebih mudah terjadi PONV baik karena adiposa yang berlebihan sehingga penyimpanan obat–obat anestesi atau produksi estrogen yang berlebihan oleh jaringan adiposa.
d. Motion sickness: pasien yang mengalami motion sickness lebih mungkin terkena PONV.
e. Perpanjangan waktu pengosongan lambung: pasien dengan kondisi ini akan menambah resiko terjadinya PONV.
f. Perokok: perokok akan lebih cenderung mengalami PONV. 2. Faktor–faktor preoperatif
a. Makanan: waktu puasa yang panjang atau baru saja makan akan meningkatkan insiden PONV.
b. Ansietas: stess dan ansietas bisa menyebabkan muntah.
c. Penyebab operasi: operasi dengan peningkatan tekanan intra kranial, obstruksi saluran pencernaan, kehamilan, aborsi atau pasien dengan kemoterapi.
a. Faktor anestesi
1) Intubasi: stimulasi mekanoreseptor faringeal bisa menyebabkan muntah.
2) Anestetik: kedalaman anestesi atau inflasi gaster pada saat ventilasi dengan masker bisa menyebabkan muntah.
3) Anestesia: perubahan posisi kepala setelah bangun akan merangsang vestibular.
4) Obat–obat anestesi: opioid adalah obat penting yang berhubungan dengan PONV. Etomidate dan methohexital juga berhubungan dengan kejadian PONV yang tinggi.
5) Agen anstesi inhalasi: eter dan cyclopropane menyebabkan insiden PONV yang tinggi karena pelepasan katekolamin. Pada sevoflurane, enflurane, desflurane dan halothane dijumpai angka kejadian PONV yang lebih rendah. N2O mempunyai peranan yang penting dalam
terjadinya PONV. Mekanisme terjadinya muntah akibat N2O karena
kerjanya pada reseptor opioid pusat, perubahan pada tekanan telinga tengah, stimulasi saraf simpatis dan distensi gaster.
b. Teknik anestesi
Insiden PONV diprediksi lebih rendah dengan regional anestesi bila dibandingkan dengan general anestesi. Pada regional anestesi dijumpai insiden terjadinya muntah yang lebih rendah pada intra dan postoperatif.
c. Faktor pembedahan :
1) Kejadian PONV juga berhubungan dengan tingginya insiden dan keparahan PONV. Seperti pada laparaskopi, bedah payudara, laparatomi, bedah plastik, bedah optalmik (strabismus), bedah THT, bedah ginekologi.
2) Durasi operasi (setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV meningkat sampai 60%).
4. Faktor–faktor pasca operatif
Terjadinya PONV sangat kompleks tapi faktor–faktor tertentu diketahui meningkatkan insiden. Faktor–faktor preoperatif yang berhubungan dengan pasien seperti umur, gender, keseimbangan hormonal, berat badan, isi lambung, riwayat sebelumnya, kecemasan dan riwayat mual muntah. Faktor–faktor pasca operatif adalah teknik atau obat yang berhubungan dengan hipotensi, nyeri, analgesia opioid, diet oral yang cepat dan mobilisasi. Thomson juga menegaskan bahwa penggunaan opioid menstimulasi pusat muntah melalui CTZ tanpa pengaruh dari jalur maupun waktu pemberiannya (Gan, 2006; Sadqa, 2008).
2.5. Diet Pasca edah
Diet pasca bedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan. Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta (Almatsier, 2005).
Menurut Dudrick, pada operasi bedah digestif menimbulkan berbagai tingkat stres yang tergantung dari berbagai faktor, termasuk jenis penyakit yang diderita, lamanya, status gizi sebelum operasi dan penyakit-penyakit penyertanya. Stres akan meningkatkan katabolisme tubuh dengan cara glikogenolisis dan glukoneogenesis, sedangkan lipolisis ditekan, sehingga sebagian besar menggunakan sumber protein tubuh untuk energi. Pemberian protein secara dini pada tindakan bedah akan mengurangi katabolisme protein tubuh yang dapat dipantau secara sederhana melalui berkurangnya penurunan berat badan, berkurangnya ekskresi urea dalam urin, dan cepat tercapainya keseimbangan nitrogen positif. Pada stres hebat seperti pada luka bakar telah dilaporkan keberhasilan pemberian dini makanan yang mengandung tinggi protein, sehingga mengurangi morbiditas dan mortalitas.
2.6.Tujuan Diet
Tujuan diet pasca bedah adalah untuk mengupayakan agar status gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara sebagai berikut :
1. memberikan kebutuhan dasar (cairan, energi, protein)
2. mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi lain 3. memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan
2.6.1. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian (Almatsier, 2010) a. Makanan pasca bedah I (MPB I)
Diet ini diberian kepada semua pasien pasca bedah. Pasca bedah kecil : setelah sadar atau rasa mual hilang
Pasca bedah besar : setelah rasa sadar atau mual hilang serta ada tanda-tanda usus mulai bekerja.
Selama 6 jam sesudah pembedahan, makanan yang diberikan berupa air putih, teh manis, air kacang hijau, sirup, air jeruk manis dan air kaldu jernih. Makanan ini diberikan dalam waktu yang sesingkat mungkin, karena kurang dari semua zat gizi. Makanan diberikan secara bertahap sesuai kemampuan dan kondisi pasien, mulai dari 30 ml/jam.
b. Makanan pasca bedah II (MPB II)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai perpindahan dari diet pasca bedah I. Makanan diberikan dalam bentuk cair kental, berupa sari buah, sup, susu, dan puding rata-rata 8-10 kali sehari selama pasien tidak tidur. Jumlah cairan yang diberikan tergantung keadaan dan kondisi pasien. Diet ini diberikan untuk waktu sesingkat mungkin karena zat gizinya kurang. c. Makanan pasca bedah III (MPB III)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai perpindahan dari diet pasca bedah II. Makanan yang diberikan berupa makanan saring ditambah susu dan biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2.000 ml sehari.
Pasien pasca bedah kecil, setelah diet pasca bedah I Pasien pasca bedah besar, setelah diet pasca bedah II
Makanan diberikan berupa makanan lunak yang dibagi dalam 3 kali makanan lengkap dan 1 kali makanan selingan.
2.6.2. Pemberian Diet Dini Pasca Operasi
Pemberian makan enteral dini pasca operasi melalui oral atau jalur nasoenterik telah disarankan sebagai cara untuk menurunkan durasi dari ileus pasca operasi. Alasan logis dibalik pemberian diet enteral dini adalah bahwa asupan makanan dapat, (1) menstimulasi refleks yang memproduksi aktivitas gerakan usus yang terkordinasi dan (2) memicu sekresi dari hormon gastrointestinal, yang secara keseluruhan menyebabkan efek positif pada motilitas saluran cerna. Peran dari pemberian makanan enteral dini pasca operasi masih tetap belum jelas karena beberapa studi mendukung dan studi lainnya menolak keuntungannya yang dapat memperpendek post operative ileus (Luckey,2003; Vather , 2013).
2.7. Kerangka Teori
Gambar 2.2. Kerangka Teori Penelitian
PASCA BEDAH
SESAR
PEMERIAN DIET
ORAL PASCA
EDAH SESAR
ISING USUS KOMPLIKASI GASTROINTESTINAL (MUAL, MUNTAH, PERUT KEMUNG)
2.8. Kerangka Konsep
unculnya bising usus Kejadian mual, muntah dan kembung/distensi abdomen
Diet oral ditunda paska bedah sesar
Diet oral dini paska bedah sesar
Variabel bebas
Variabel tergantung