• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Makna Syair Al-Hallaj Dalam Kitab "هو هو" ديوان الحلاّج Huwa-Huwa DῙwān Al-Ḥallāj

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Makna Syair Al-Hallaj Dalam Kitab "هو هو" ديوان الحلاّج Huwa-Huwa DῙwān Al-Ḥallāj"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Kajian Terdahulu

Penelitian terhadap sebuah syair bukanlah hal baru dalam dunia sastra. Sudah ada beberapa penelitian terdahulu tentang masalah ini sebelumnya, yaitu:

1) Skripsi karya Zulhafnita (960704036), mahasiswa Bahasa Arab, Fakultas Sastra USU tahun angkatan 1996, dengan judul “Analisis Syair Diwan As-Syafi’i Karya Yusuf Asy-Syekh Muhammad Al-Baqi Menurut Teori Waluyo”. Hasil penelitiannya berupa analisis 5 buah syair yang diambil peneliti dari kitab “Diwan As-Syafi’i”, kemudian dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa langkah kerja dalam analisis struktur puisi Indonesia dapat juga

berlaku untuk syair Arab. Dan syair dianalisis dengan mengkonsentrasikan struktur Fisik [Diksi, Pengimajian, Kata Konkret, Majas, Versifikasi (Rima, Ritma, Metrum) dan Tipografi] serta struktur Batin (Tema, Perasaan, Nada dan Suasana, Amanat) dari syair tersebut.

2) Skripsi karya Leli Juhria Siregar (980704009), mahasiswa Bahasa Arab, Fakultas Sastra USU tahun angkatan 1998, dengan judul “Analisis Ijaz Dan Itnab Dalam Al-Quran Pada Surat Ar-Rahman”. Hasil penelitiannya mengungkapkan analisis ijaz dan iṭnab dalam al-Quran pada surat ar-Rahman dengan menggunakan teori Ahmad Al-Hasyimi. Dari hasil tersebut ditemuka n ijaz dalam surat ar-Rahman sebanyak 12 ayat, diantaranya 10 ayat yang termasuk ijaz qasar dan 2 ayat termasuk ijaz hazfi, serta ditemukan 16 ayat yang terdapat itnab dalam surat tersebut.

(2)

ayat yang dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu ﺮﺼﻘﻟﺍ ﺯﺎﺠﻳﺇ/ijazu qasrin/

sebanyak 2 ayat, dan ﻑﺬﺣ ﺯﺎﺠﻳﺇ /ijazu hazfin/ sebanyak 25 ayat.

4) Skripsi karya Abun Bunyamin (105021000784), mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Sastra dan Ilmu Humaniora, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul ﺝّﻼﺤﻟﺍ ﺭﻮﺼﻨﻣ ﻦﺑ ﻦﻴﺴﺤﻟ ﻲﻓﻮﺼﻟﺍ ﺮﻌﺸﻟﺍ" "(ﺔﻴﻘﻴﻁﻮﻨﻣﺮﻫ ﺔﺳﺍﺭﺩ)Hasil penelitiannya mengungkapkan makna syair sufi dalam diwan Al-Hallaj dengan menggunakan teori Heurmeneutika. Persamaan dari penelitian ini yaitu sama-sama menggunakan syair dalam diwan al-hallaj sebagai objek penelitiannya. Penelitian dari Abun Bunyamin menginterpretasikan makna syair secara global berdasarkan kelompok syair, sedangkan penelitian ini menginterpretasikan makna syair bait per bait.

Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian ini meneliti jenis karya sastra syair sufistik. Syair yang akan diteliti diambil dari kitab ﺝّﻼﺤﻟﺍ ﻥﺍﻮﻳﺩ "ﻮﻫ ﻮﻫ" /huwa-huwa dīwān al

-ḥallāj/'Diwan Al-Hallaj'yang berbahasa Arab. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan analisis makna dari syair Al-Hallaj dengan menggunakan teori

Balaghah Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin sebagai analisis struktur syairnya, kemudian dari struktur syair tersebut diinterpretasikan kembali maknanya.

2.2 Landasan Teori

2. 2. 1 Pengertian Sastra Arab dan Fungsinya

ﺪﻗ

"

بَدﻷا

"

ﻆﻔﻟ نأ

ﺔﻔﻠﺘﺨﳌا ﺔﻴﻴﺑﺮﻌﻟا رﻮﺼﻌﻟا ﰲ ﺔﻔﻠﺘﺨﳌا ﺎﻬﻴﻧﺎﻌﻣو

"

بدﻷا

"

ﻆﻔﻟ ﲔﺑ ﺔﻠﺼﻟا ﻒﻠﻜﺗ ﰲ ﺎﻀﻳأ ﲑﺜﻛ لﻮﻘﻟاو

.

ﻢﺋﻻﻮﻟا ﱃإ ةﻮﻋﺪﻟا ﲎﻌﲟ

"

بدﻷا

"

ﻦﻣ ﻖﺘﺷا

ﲔﺑو

"

بَدﻷا

"

ﻩﺬﻫ ﻪﻴﻠﻋ ﺖﻟد ﺎﻤﻴﻓ ﲑﺜﻛ لﻮﻘﻟا ﰒ

.

ﻢﺋﻻﻮﻟا ﱃإ ةﻮﻋﺪﻟا ﲎﻌﲟ

"

بدﻷا

"

،ﲔﺴﺣ

) .

رﻮﺼﻌﻟا فﻼﺘﺧﺎﺑ ﺖﻔﻠﺘﺧا ﱵﻟا ﱏﺎﻌﳌا ﻦﻣ ﺔﻤﻠﻜﻟا

۲۰۰۵

:

۲۲

(

(3)

al-qaulu kaṡīrun fīmā dallat ’alaihi hażihi al-kalimatu min al-ma’ānī al-latī

ikhtilafat bi ikhtilāfi al-’uṣūri/'Sastramaknanya berbeda disetiap abad pada bangsa Arab … adapun kataSastra berasal dari kata ﺏﺩﻷﺍ/al-adaba/'yang menjamu' yang bermakna mengundang orang ke perjamuan. Dan perkataan ini juga banyak diartikan dalam hubungan yang berbeda antara lafazh ﺏﺩﻷﺍ/al-adaba/

dan ﺏﺩﻷﺍ/al-adabu/ dengan makna mengundang ke sebuah perjamuan.Kemudian kata Sastra itu sendiri memiliki banyak makna, setiap kata ditunjukkan dengan makna yang berbeda pula, semua itu tergantung dengan masanya' (Husein, 2005:22).

Sastra Arab dikenal dengan istilah ﺏﺩﻷﺍ/al-adabu/ yang secara leksikal selain berarti sastra, juga etika (sopan santun), tata cara, filologi, kemanusiaan, kultur, dan ilmu humaniora (Munawwir, 1997:12-13). Adapun dalam bahasa Indonesia, kata -adab diserap bukan dengan makna sastra, tetapi kesopanan, kehalusan, dan kebaikan budi pekerti; akhlak. (Kridalaksana, 1995:5)

ﺔﻴﺑﺮﻌﻟا ﺔﻐﻠﻟا بادآ

/adābu al-lughati al-’arabiyyati agna sā`ira al-ādābi as-sāmiyati, bal hiya ’alā al-ijmāli agnā ādābu sā`iri lugāti al-’ālami.. lianna al-lażīna waḍa’ū ādābuhā fī aṡnā`i at-tamaduni al-islāmīy akhlāṭa min umami syattā jam’uhum al-islāmi au ad-daulatu al-islāmiyyatu, wa fīhim al-’arabī, wa al-fārisī, wa at-turkī, wa al

-hindī, wa as-sūriyyi, wa al-’irāqī, wa al-miṣrī, wa ar-rūmī, wa al-`armanī, wa al

-barbarī, wa al-zanjī, wa aṣ-ṣaqlabī wa ghairihim../'Sastra Arab itu … merupakan sastra terkaya ditataran bahasa Semit, yang memiliki keindahan bahasa terkaya di antara sastra dan bahasa-bahasa di dunia. Dikarenakan sastra tersebut terbentuk selama peradaban Islam, bercampur dengan bangsa-bangsa pada masa jayanya islam atau negara-negara islam, yang didalamnya termasuk bangsa Arab, Persia, Turki, Hindi, Syria, Irak, Mesir, Romawi, Armenia, Barbar, Negro, Slavia, dan sebagainya..'. (Zaidan, 1996:22)

Pentingnya Adab -(sastra) adalah mengajar orang untuk berkata halus, berbudi pekerti yang baik sebagaimana Hadist Rasulullah SAW yang dinukilkan oleh Thaha Husein (2005:23) dalam bukunya ّﻰﻠﻫﺎﺠﻟﺍ ﺏﺩﻷﺍ ﻲﻓ/fī al-adabi

(4)

'Aku diajarkan oleh Tuhanku sebagai orang yang beradab maka sangat baiklah tingkah lakuku'. (HR. Ibnu Hibban). (Lihat: Al-Hamidi, 1994:16, Sofyan, 2004:10 dan Sutiasumarga, 2000:1)

Berdasarkan pendapat para pakar sastra Arab di atas dapat disimpulkan bahwa: sastra Arab itu dikenal dengan ﺏﺮﻌﻟﺍ ﺏﺩﻷﺍ/al-adabu al-’arabi/ karya sastra yang mengandung makna yang halus dan telah diungkapkan dengan pilihan kata

indah yang bertujuan agar memperbaiki tingkah laku pembacanya. Salah satu karya sastra itu adalah sya’ir.

2. 2. 2 Pengertian Syair

Pengertian syair secara etimologis menurut Ma’luf (1986:391) dalam

Kamus Munjid berasal dari kata ﺍﺮﻌﺷ - ﺍﺮﻌﺷ - ﺮﻌﺸﻳ -ﺮﻌﺷ /sya’ara-yasy’uru-syi’ran-sya’ran/, kata masdarnya adalah ﺮﻌﺸﻟﺍ/asy-syi’ri/ dan jamaknya ﻪﺑ ﺪﺼﻘﻳ ﻡﻼﻛ :ﺭﺎﻌﺷﺃ

ﺔّﻴﻔﻘﺘﻟﺍ ﻭ ﻥﺯﻮﻟﺍ/asy’ār: kalāmun yuqṣidu bihi al-waznu wa at-taqfiyyatu/'syair: perkataan yang dimaksud padanya ada wazan dan qafiyah'.

Adapun menurut Al-Fadl (1990:409) dalam Muzakki (2011:40) secara

etimologis kata syair berakar dari kata ﺍﺭﻮﻌﺷ – ﺍﺮﻌﺷ - ﺮﻌﺸﻳ - ﺮﻌﺷ /sya’ara-yasy’uru-syi’ran-syu’ūran/ yang berarti mengetahui, merasakan, sadar, mengkomposisi, atau menggubah sebuah syair. Kemudian menurut Munawwir (1997:724) kata

ﺮﻌﺷ/syi’run/ bermakna 'syair, puisi (kalimat bersajak)', sedangkan dalam bahasa Indonesia kata syair/sya.ir/ (n Sas) 1. Puisi lama yang tiap-tiap bait terdiri atas empat larik (baris) yang berakhir dengan bunyi yang sama; 2. Sajak; puisi. (Kridalaksana, 1995: 983)

Secara terminologis, menurut para ahli pengertian syair adalah:

ﺔﻴﻓﺎﻗ و نزو ﻪﻟ يﺬﻟﺎﻣﻼﻜﻟاﻮﻫو ﺮﻌﺷ

.

/syi’run wa huwa al-kalāmu al-lażī lahu waznun wa qāfiyatun/'syair adalah perkataan yang mempunyai wazan dan qafiyah'. (Al-Hamidi, 1994:16)

(5)

ﺬﻟا مﻼﻜﻟا ﻮﻫ ﺮﻌﺸﻟا نأ ىﲑﻨﻤﻤﻬﻨﻣو

.

ﺔﻴﻓﺎﻘﻟاو نزﻮﻟا ﰲ مﻮﻈﻨﳌا مﻼﻜﻟا ﻮﻫﺮﻌﺸﻟا

ي

ﻢﺘﻌﻳ

د

بﺎﺒﻟﻷا ﺐﻠﳜ يﺬﻟا ﲎﻔﻟا لﺎﻤﳉا اﺬﻫ ﱃإ ﻪﻴﻓ ﺪﺼﻘﻳو ،لﺎﻴﳋا ﻰﻠﻋ ﻪﺒﺣﺎﺼﻬﻴﻓ

.

بﻮﻠﻘﻟا ىﻮﻬﺘﺴﻳو

/asy-syi’ru huwa al-kalāmu al-manẓūmu fī al-wazni wa al-qāfiyati. Wa minhum

man yarā anna asy-syi’ra huwa al-kalāmu al-lażī ya’tamidu fīhi ṣāḥibahu ’alā al

-khayāli, wa yaqṣidu fīhi ila hażā al-jamāli al-fani al-lażī yakhlubu al-albāba wa

yastahawā al-qulūbi/'syair adalah perkataan yang teratur yang terdiri dari wazan dan qafiyah. Dan diantara mereka mendefinisikan bahwa syair merupakan perkataan yang di dalamnya bersandar pada imajinasi pengarang, yang menuju pada keindahan seni dan dimaksudkan untuk mengetuk pintu hati dan menarik jiwa pendengarnya'.

Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat ciri – ciri syair Arab yaitu :

ﺔﻴﻓﺎﻘﻟﺍ ﻭ ﻥﺯﻮﻟﺍ ﻲﻓ ﺖﻤﻈﻧ ﻥﺇﻭ ﺍًﺮﻌﺷ ﻑﺮﺼﻟﺍﻭ ﻮﺤﻨﻟﺍ ﺕﺎﻣﻮﻈﻨﻣ ﻯﺮﻳ ﻻ ﻮﻫﻭ … /wa huwa lā yarā

manẓūmātu an-naḥwu wa aṣ-ṣarfi syi’ran wa in naẓamta fī al-wazni wa

al-qāfiyati/'… dia tidak memandang susunan-susunan nahwu dan saraf pada syair, tetapi melihat pada aturan wazan dan qafiyah'. (Husein, 2005:309)

Allam dalam Muzakki (2011:46) menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan wazan ialah pengulangan bunyi yang sama pada setiap akhir bait dari bait-bait syair. Dalam kajian sastra, istilah wazan diartikan sebagai pola irama atau musikalitas.Unsur ini terlihat pada penyusunan bunyi kata dan kalimat, dan bisa terjadi secara lahir maupun secara maknawi.

(6)

2. 2. 3 Pengertian Qasidah

Ada pengertian-pengertian qasidah yang dijumpai dari beberapa referensi. Menurut Ma’ruf dkk (2001:13) dalam bukunya ﺽﻭﺭﻷﺍ ﻢﻠﻋ/’Ilmu ’Aruḍ/ pengertian qasidah yaitu:

-

ﺪﻤﺘﻌﺘﻳأ، ًةﺪﺣاو ًﺔﻴﻓﺎﻗ و اًﺪﺣاو ﺎًﻳﺮﻌﺷ ﺎًﻧزو مﺰﺘﻠﺗ تﺎﻴﺑﻷﺎﻨﻣ ﺔﻋﻮﻤﳎ ﻲﻫ ﺔّﻴﺑﺮﻌﻟا ةﺪﻴﺼﻘﻟا

.

ﺎًﻌﻣ ﺔﻴﻓﺎﻘﻟا و نزﻮﻟا

:

ﰐﺪﺣو ﻰﻠﻋ

-

ﺎﻬﻤْﻈَﻧ ﰲ

/al-qaṣīdatu al-‘arabiyyatu hiya majmū’atu min al-abyāti tultazimu waznān

syi’riyān wāḥidān wa qāfiyatan wāḥidatan, ayy ta’tamidu -fī naẓmihā- ’ala waḥdatay : al-waznu wa al-qāfiyatu ma’ān/'qasidah arab yaitu kumpulan dari bait-bait yang diharuskan memiliki satu wazan (pola) dalam sebuah syair dan satu qafiyah, (yakni) dalam aturannya- terdiri atas wazan dan qafiyah secara bersamaan'.

Sementara Munawwir (1997:1124) menjelaskan pengertian ﺓﺪﻴﺼﻘﻟﺍ /al-qaṣīdatu/ yakni'sya’ir yang terdiri atas tujuh atau sepuluh bait'. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kasidah/ka.si.dah/ (n) bentuk puisi, berasal dari kesusastraan Arab, bersifat pujaan (satire, keagamaan), biasanya dinyanyikan (dilagukan). (Kridalaksana, 1995:450)

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengertian qasidah terkait kajian sastra Arab yakni syair arab yang jumlah baitnya banyak, serta memiliki wazan dan qafiyah. Qasidah pada umumnya bersifat pujaan dan biasanya dinyanyikan.

2. 2. 4 Analisis Makna Syair Al-Hallaj Ditinjau Dari Ilmu Ma’ani

Ilmu Ma’ani merupakan sub bab dalam ilmu balaghah, ilmu ini digunakan untuk menganalisis syair arab tersebut. Adapun pengertiannya sebagaimana berikut:

(7)

.

ﻪﻟ ﻖﻴﺳ يﺬﻟا ضﺮﻐﻟا ﻖﻓو نﻮﻜﻳ ﺚﻴﲝ لﺎﳊا

lażi siyaqu lahu/'Ilmu Ma’ani adalah pokok-pokok dan dasar-dasar untuk mengetahui tata cara menyesuaikan kalimat kepada kontekstualnya (muqtadhal hal-nya) sehingga cocok dengan tujuan yang dikehendaki'. (Al-Hasyimi, 1994:34)

Selain itu pengertian Ilmu Ma’ani menurut Akhdlori (1989:18) yaitu:

ءﺎﻄﺧ ﻦﻋ ﱐﺎﻌﳌا ﺔﻳدﺄﺗ ﻆﻓﺎﺣ ﻮﻫ ﱏﺎﻌﳌا ﻢﻠﻋ

.

ﱐﺎﻌﳌﺎﺑ فﺮﻌﻳ

/’ilmu al-ma’ānī huwa ḥāfiẓun ta`diyatu al-ma’ānī ’an khaṭā`in yu’rafu bi al-

ma’ānī/'ilmu ma’ani merupakan lafazh untuk menjaga dari menimbulkan makna yang salah'. Jadi, ilmu Ma’ani itu ialah ilmu untuk menjaga dari kesalahan berbicara.

Pembahasan di dalam ilmu Ma’ani demikian banyak dan kompleks, untuk itu peneliti hanya mengambil satu bab judul saja dari ilmu ma’ani tersebut, yakni

Musawah, Ijaz dan Iṭnab yang berdasarkan kepada teori Balaghah dari Ali Jarim dan Mustafa Amin. Berikut penjelasan mengenai kaidah dari ketiganya:

a. Musawah

Secara bahasa kata ﺓﺍﻭﺎﺴﻤﻟﺍ/al-musāwātu/ bermakna persamaan.(Munawwir, 1997: 682). Sedangkan menurut istilah :

وﺎﺴﳌا

(8)

yang maknanya sesuai dengan banyaknya kata-kata, dan kata-katanya sesuai dengan luasnya makna yang dikehendaki, tidak ada penambahan atau pun pengurangan'. (Jarim dan Amin, 2005:339)

Contoh:

(

۱۱۰

:

ةﺮﻘﺒﻟا

) .

ﷲاﺪﻨﻋ ﻩوﺪﲡ ﲑﺧ ﻦّﻣ ﻢﻜﺴﻔﻧﻷ اﻮﻣّﺪﻘﺗ ﺎﻣو

/wa mā tuqaddimū lianfusikum min khairin tajidūhu ’inda Allah/'dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah'. (QS Al-Baqarah:110)

Pada contoh di atas kita dapatkan bahwa kata-katanya disusun sesuai dengan makna yang dikehendaki, dan jika kita tambahi satu kata saja, tampak ada kelebihan dan bila kita kurangi satu kata akan mengurangi maknanya. Kata-kata yang tersusun sama dengan banyaknya makna disebut sebagai musawah.

b. Ijaz yang cukup banyak di bawah lafaz yang sedikit yang memenuhi kejelasan tujuan.

(9)

menggunakan ungkapan yang pendek, namun mengandung banyak makna, tanpa di sertai pembuangan beberapa kata/kalimat. b. ijaz ḥażf, yaitu ijaz dengan cara membuang sebagian kata atau kalimat dengan syarat ada karinah yang menunjukkan adanya lafazh yang dibuang tersebut'. (Jarim dan Amin, 2005:342)

Contoh:

(

۸۲

:

مﺎﻌﻧﻻا

)

.

ﻦﻣﻷا

ﻢﳍ ﻚﺌﻟو

أ

/ūlā`ika lahumu al-amnu/'mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan'. (QS Al-An’am:82)

Pada ayat ini terdapat ijaz qashar karena kata “al-amnu” mencakup seluruh hal yang menyenangkan, termasuk bebas dari ketakutan fakir, mati, penganiayaan, hilangnya kenikmatan, dan dari hal-hal menakutkan yang lain.

و ﺔﻬﻛﺎﻓ ﺖﻠﻛأ

.

ءﺎﻣ

/akaltu fākihatan wa mā`an/'saya makan buah-buahan dan air'. (Jarim dan Amin, 2005:343)

Pada kalimat di atas terdapat ijaz ḥażf, diperkirakan asal kalimatnya adalah

و ﺔﻬﻛﺎﻓ ﺖﻠﻛأ

ﺖﺑﺮﺷ

ءﺎﻣ

/akaltu fākihatan wa syaribtu mā`an/'saya makan buah-buahan

dan minum air'.

c. Iṭnab

Itnab berasal dari kata ﺏﺎﻨﻁﺍ– ﺐﻨﻄﻳ – ﺐﻨﻁﺍ/aṭnaba - yuṭnibu - iṭnāban/

'berlebih-lebihan, panjang perkataannya'. (Yunus, 2010:241)

.

ةﺪﺋﺎﻔﻟ ﲎﻌﳌا ﻰﻠﻋ ﻆﻔّﻠﻟا ةدﺎﻳز بﺎﻨﻃﻹا

،ﻲﴰﺎﳍا

)

۱٩٦٠

:

۲۲٦

(

/al-iṭnabu ziyādatun al-lafẓi ’alā al-ma’nā lifā`idatin/'Itnab adalah menambah lafaz atas maknanya karena suatu faedah'.

:

ﺎﻬﻨﻣ ،ةّﺪﻋ رﻮﻣﺄﺑ نﻮﻜﻳو ،ةﺪﺋﺎﻔﻟ ﲎﻌﳌا ﻰﻠﻋ ﻆﻔّﻠﻟا ةدﺎﻳز

:

بﺎﻨﻃﻹا

أ‌

.

.

ّصﺎﳋا ﻞﻀﻓ ﻰﻠﻋ ﻪﻴﺒﻨّﺘﻠﻟ مﺎﻌﻟا ﺪﻌﺑ صﺎﳋا ﺮﻛذ

(10)

ج‌

f.at-tażyīlu, wa huwa ta’qību al-jumlati bijumlati ukhrā tasytamilu ’alā ma’nāhā

taukīdān, wa huwa qismāni: 1) jārin majrā al-maṡalu ini istaqalla ma’nāhu wa

'Itnab adalah bertambahnya lafaz dalam suatu kalimat melebihi makna kalimat tersebut karena suatu hal yang berfaedah. Teknik itnab banyak sekali, di antaranya adalah:

a. Żikrul-khāṣ ba’dal-’ām (menyebutkan lafaz yang khusus setelah lafaz yang umum). Hal ini berfaedah untuk mengingatkan kelebihan sesuatu yang khas itu.

(11)

c. Al-īḍāḥ ba’dal-ibhām (menyebutkan lafaz yang jelas maknanya setelah menyebutkan lafaz yang maknanya tidak jelas). Hal ini berfaedah mempertegas makna dalam perhatian pendengar.

d. Tikrār (mengulangi penyebutan suatu lafaz). Hal ini berfaedah, seperti untuk mengetuk jiwa pendengarnya terhadap makna yang dimaksud, untuk tahassur (menampakkan kesedihan), dan untuk menghindari kesalahpahaman karena banyaknya anak kalimat yang memisahkan unsur pokok kalimat yang bersangkutan.

e. I’tirāḍ (memasukkan anak kalimat ke tengah-tengah suatu kalimat atau antara dua kata yang berkaitan, dan anak kalimat tersebut tidak memiliki kedudukan dalam i’rab).

f. Tażyīl (mengiringi suatu kalimat dengan kalimat lain yang mencakup maknanya). Hal ini berfaedah sebagai taukid. Tadzyiil itu ada dua macam: a. jārin majrā al-miṡl (berlaku sebagai contoh) bila kalimat yang ditambahkan itu maknanya mandiri, tidak membutuhkan kalimat yang pertama. b. gairu jārin majrā al-miṡl (bila kalimat kedua itu tidak dapat lepas dari kalimat pertama). g. Iḥtirās (penjagaan), yaitu bila si pembicara menyampaikan suatu kalimat yang memungkinkan timbulnya kesalahpahaman, maka hendaklah ia tambahkan lafaz atau kalimat untuk menghindarkan kesalahpahaman tersebut'. (Jarim dan Amin, 2005:356)

Contoh żikrul-khāṣ ba’dal-’ām (lafaz yang khusus setelah yang umum):

.

ﺎﻬﻴﻓ حوّﺮﻟاو ﺔﻜﺌﻠﳌا لّﺰﻨﺗ

:

رﺪﻘﻟا

)

٤

(

/tanazzalu al-malāikatu wa ar-rūḥu fīhā/'pada malam itu turun malaikat- malaikat dan Malaikat Jibril'. (QS Al-Qadr:4)

Pada ayat ini terdapat itnab dalam bentuk żikrul-khāṣ ba’dal-’ām (lafaz yang khusus setelah yang umum), karena Allah secara khusus menyebut

Ar-Ruuh, yakni Jibril, padahal ia telah tercakup dalam keumuman malaikat. Hal ini dimaksudkan sebagai penghormatan dan penghargaan bagi Jibril, seakan-akan ia dari jenis lain.

Contoh żikrul-’ām ba’dal-khāṣ(lafaz yang umum setelah yang khusus):

ّﻻا ﲔﳌﺎﻈﻟا دﺰﺗ ﻻو ،تﺎﻨﻣﺆﳌاو ﲔﻨﻣﺆﻤﻠﻟ ّو ﺎًﻨﻣﺆﻣ ﱵﻴﺑ ﻞﺧد ﻦﳌو ّيﺪﻟاﻮﻟو ﱄﺮﻔﻏا ّبر

.

ارﺎﺒﺗ

:

حﻮﻧ

)

۲٨

(12)

/rabbi igfirlī waliwālidayya wa liman dakhala baitiya mu`minān wa lil mu`minīna

wa al-mu`mināti, wa lā tazidi aẓ-ẓālimīna illā tabāran/'ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman, dan semua orang yang beriman, laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kehancuran'. (QS Nuh: 28)

Pada ayat ini terdapat żikrul-’ām ba’dal-khāṣ (lafaz yang umum setelah yang khusus), karena Allah menyebutkan lafaz “al-mu`minīn wa al-mu`mināt”, yang keduanya adalah lafaz yang umum, mencakup orang-orang yang disebut pada lafaz-lafaz sebelumnya. Tujuan ditambahkannya lafaz-lafaz tersebut adalah untuk menunjukkan ketercakupan lafaz yang khas ke lafaz yang umum dengan member perhatian khusus pada sesuatu yang khas itu karena disebut dua kali.

Contoh al-īḍāḥ ba’dal-ibhām (lafaz yang jelas maknanya setelah menyebutkan lafaz yang maknanya tidak jelas) :

.

ﲔﺤﺒﺼﻣ عﻮﻄﻘﻣ ءﻻﺆﻫ ﺮﺑاد ّنا ﺮﻣﻻا ﻚﻟاذ ﻪﻴﻟا ﺎﻨﻴﻀﻗو

:

ﺮﺠﳊا

)

٦٦

(

/wa qaḍainā ilaihi żālika al-amra anna dābira hā`ulā`i maqṭū’un muṣbiḥīna/'dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh'. (QS Al-Hijr: 66)

Pada ayat ini terdapat al-īḍāḥ ba’dal-ibhām (lafaz yang jelas maknanya setelah menyebutkan lafaz yang maknanya tidak jelas), karena firman Allah “anna dābira hā`ulā`i maqṭū’un muṣbiḥīn” merupakan penjelasan bagi lafaz “al-amr” yang disebut sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk menambah ketegasan makna di hati pembaca dengan disebutkan dua kali, pertama secara samar dan kedua dengan tegas.

Contoh tikrār (mengulangi penyebutan suatu lafaz) :

ﺎّ�ﺄﻛ حﺎﻣّﺮﻟاو ﱰﻨﻋ نﻮﻋﺪﻳ

؞

ﻢﻫدﻷﺎﻧﺎﺒﻟ ﰲ ﺮﺌﺑ نﺎﻄﺷأ

ﺎّ�ﺄﻛ فﻮﻴّﺴﻟاو ﱰﻨﻋ نﻮﻋﺪﻳ

؞

(13)

/yad’ūna ’antara wa ar-rimāḥu ka`annahā

؞

asyṭānu bi`rin fī labāni al-adhami

yad’ūna ’antara wa as-suyūfu ka`annahā

؞

lam’u al-bawāriqi fī saḥābin muẓlimin/'mereka mengundang ’Antarah, sedangkan panah-panah itu seakan-akan tambang sumur di dada kuda. Mereka mengundang ’Antarah, sedangkan pedang-pedang itu seakan-akan cahaya kilat di awan yang gelap'. (Jarim dan Amin, 2005:352)

Pada syair ’Antarah ini terdapat tikrār (mengulangi penyebutan suatu lafaz) yakni pada lafazh ﺮﺘﻨﻋ ﻥﻮﻋﺪﻳ/yad’ūna ’antara/'mereka mengundang ’Antarah', untuk menegaskan dan memantapkan maknanya di hati pendengar dan pembaca.

Contoh i’tirāḍ (memasukkan satu kalimat atau lebih ke tengah-tengah suatu kalimat atau antara dua kata yang berhubungan) :

ّﱐﺄﺑ ﺪﻌﺳﻮﻨﺑ ﺖﻤﻋز ﻻأ

؞

اﻮﺑﺬﻛ ﻻأ

ﱏﺎﻔّﻨّﺴﻟاﲑﺒﻛ

/alā za’amat banū sa’din biannī

؞

–alā każabū– kabīru as-sinni fānī/

'apakah anak-anak Sa’d tidak beranggapan bahwa saya –sebenarnya mereka bohong– adalah orang yang sudah tua dan akan musnah?'. (Jarim dan Amin, 2005:352)

Pada syair ini terdapat i’tirāḍ (memasukkan satu kalimat atau lebih ke tengah-tengah suatu kalimat atau antara dua kata yang berhubungan).Kalimat

yang ditambahkan tersebut tidak memiliki kedudukan dalam dalam i’rab.Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan ke-baligh-an suatu kalimat.Lafaz ﺍﻮﺑﺬﻛ ﻻﺃ /alā każabū/ dalam syair An-Nabighah terletak di antara isim inna dan khabarnya, dengan maksud untuk menegaskan peringatan kepada orang yang menuduhkan telah tua.

Contoh tażyīl (mengiringi suatu kalimat dengan kalimat lain yang mencakup maknanya) jārin majrā al-miṡl (berlaku sebagai contoh):

(14)

/tazūru fatan yu’ṭī ’alā al-ḥamdi mālahu wa man yu’ṭi aṡmāna al-maḥamidi yuḥmadi/'engkau menengok seorang pemuda yang memberikan hartanya berkata pujian. Siapa orangnya yang memberi karena dipuji adalah orang yang terpuji'. (Jarim dan Amin, 2005:352)

Contoh tażyīl (mengiringi suatu kalimat dengan kalimat lain yang mencakup maknanya) gairu jārin majrā al-miṡl (tidak dapat berlaku sebagai contoh) :

ﻪﻠّﻣؤأ ﺎًﺌﻴﺷ ﱄ كدﻮﺟ ﻖﺒﻳ ﱂ

ﻞﻣأ ﻼﺑ ﺎﻴﻧّﺪﻟا ﺐﺤﺻأ ﲏﺘﻛﺮﺗ

/lam yubqi jūduka lī syai`an u`ammiluhu :: taraktanī aṣḥabu ad-dunyā bilā amali/

'kemurahanmu tidak lagi menyisakan bagiku sesuatu yang dapat aku harapkan. Engkau meninggalkan aku menempuh kehidupan dunia tanpa harapan'. (Jarim dan Amin, 2005:352)

Pada dua syair di atas terdapat tażyīl (mengiringi suatu kalimat dengan kalimat lain yang mencakup maknanya). Hal ini dimaksudkan untuk mempertegas maknanya. Sesungguhnya makna kedua bait syair tersebut telah selesai pada

syaṭar pertama, namun diulas kembali pada syaṭar kedua. Tażyīl pada contoh pertama adalah kalimat yang maknanya mandiri, tidak terikat dengan pemahaman terhadap kalimat sebelumnya.Tażyīl yang demikian disebut sebagai jārin majrā al-miṡl (berlaku sebagai contoh). Sedangkan pada bait kedua bukan kalimat yang maknanya mandiri, sebab maknanya tidak dapat dipahami tanpa lebih dulu memahami kalimat sebelumnya.Tażyīl yang demikian disebut sebagai gairu jārin majrā al-miṡl (tidak dapat berlaku sebagai contoh).

Contoh iḥtirās (penjagaan) :

ﺎﻨﻃﺎﻴﺳ ﲔﳌﺎﻇ

ﺎﻬﻴﻠﻋ ﺎﻨﺒﺒﺻ

؞

ﻞﺟرأ و عاﺮﺳ ﺪﻳأ ﺎﺑ ترﺎﻄﻓ

/ṣababnā ’alaihā – ẓālimīna siyāṭana :: faṭārat bihā aidin sirā’un wa arjulu/

(15)

Pada kalimat di atas terdapat iḥtirās (penjagaan), seandainya dihilangkan kata ẓālimīn, niscaya pendengar akan beranggapan bahwa kuda Ibnu Mu’taz itu dungu dan berhak dipukul. Makna yang demikian tidak sesuai dengan maksud pembicara.Lafaz tersebut ditambahkan untuk menjaga kesalah pahaman terhadap suatu kalimat.

Setelah uraian panjang di atas mengenai kaidah ijaz, itnab dan musawah

dalam ilmu Ma’ani yang digunakan sebagai teori dalam mengungkapkan struktur syair Al-Hallaj, kemudian peneliti akan menguraikan sedikit tentang interpretasi sebagai analisis makna setelah syair tersebut dianalisis strukturnya. Berikut beberapa uraian tentang interpretasi:

Pengertian interpretasi sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu

interpretasi/in.ter.pre.ta.si/ (n) pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu; tafsiran (Kridalaksana, 1995:384). Pengertian ini diambil untuk mendekatkan pemahaman pembaca secara umum.

Kaelan (2005:76) menuturkan bahwa interpretasi adalah memperantai pesan yang secara eksplisit dan implisit termuat dalam realitas. Peneliti adalah interpretator yang sekaligus berhadapan dengan kompleksitas bahasa, sehingga harus makna atau pesan yang terkandung dalam bahasa yang tidak jelas menjadi semakin jelas.

Berdasarkan uraian tersebut Kaelan menjelaskan bahwa interpretasi dapat dipahami dengan tiga pengertian, masing-masing memiliki ciri khas tersendiri:

d. Interpretasi sebagai metode pengungkapan

(16)

e. Interpretasi sebagai metode menerangkan

Kegiatan interpretasi dalam hal ini dilaksanakan dengan mengintrodusir faktor dari luar, artinya upaya untuk mengungkapkan makna objek dalam hubungannya dengan faktor-faktor yang berada di luar objek.

f. Interpretasi sebagai metode menerjemahkan

Pengertian menerjemahkan bukan berarti sekedar mengganti kata-kata yang ada, tanpa menangkap intinya serta isinya, namun menerjemahkan dalam pengertian ini harus mampu menangkap esensi atau makna yang terkandung dalam objek. (Kaelan, 2005 :76-79)

2.3Biografi Al-Hallaj

Untuk meneliti karya sastra penting pula mengenal siapa penulis karya itu dengan menelusuri biografinya. Merujuk kepada beberapa referensi yang ada maka biografi Al-Hallaj adalah sebagai berikut:

Al Hallaj, yang mempunyai nama lengkap Abul Mughith al Husayn Ibnu Mansur Ibnu Muhammad Al Baydawi (244-309/858-922), adalah mistikus Islam

terbesar yang makamnya dijunjung tinggi sebagai orang suci atau wali. Dieksekusi di Baghdad karena ajarannya dituduh dapat menyesatkan dan berlawanan dengan ajaran orthodox, bersamaan waktunya dengan pergolakan politik, ekonomi dan agama dalam sejarah kekhalifahan Abbasiyah dan Umayyah. Hidup, khotbah dan kematiannya menyinari sebuah moment krusial dalam sejarah peradaban Islam. Pengalaman batin yang ia kemukakan menjadi denah sekaligus perpecahan dalam sejarah tasawuf.

Tempat Lahir dan Pendidikan Al-Hallaj

Pada buku terjemahan Diwan Al-Hallaj yang ditulis oleh Louis Massignon dijelaskan secara rinci tentang Al-Hallaj sebagai berikut:

(17)

keturunan Abu Ayyub, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Ayahnya, seorang penggaru kapas (menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya), ditengah perkebunan kapas yang terbentang dari Tustar sampai Wasit, di atas sungai Tigris. Sang ayah sering bepergian antara Bayda dan Wasit, sebuah kota kecil yang menjadi pusat tekstil. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut (sampai batas tertentu), akar budaya Hallaj. Kota kecil Tur mayoritas penduduknya penganut mazhab Sunni-Hambali, sedangkan sebagian kecil lainnya penganut Syiah ekstrimis. Tur juga pusat sekolah penghafal Al Qur’an. Di Wasit, Hallaj menempuh pendidikan bahasa Persia-nya dan menghafal Quran. Sampai usia 12 tahun, ia mempelajari Al-Qur’an dengan sepenuh hati sampai menjadi hafiz. Dengan sangat cepat, Hallaj memiliki otoritas untuk mengajarkan Al-Qur’an.

Ilmu Tasawuf dipelajarinya dari Sahal Al-Tustari, seorang sufi berpengaruh dan independen, yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsiran Al-Qur’annya. Sahal mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan. (Massignon, 2001:7)

Perpindahan Al-Hallaj ke Basrah

Hallaj meninggalkan Tustari pada usia 20 tahun dan tiba di Basrah. Disini, ia menerima jubah sufi dari Amir Al-Makki dan secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amir Al-Makki adalah murid Junaiyd, seorang sufi yang mahsyur pada waktu itu. Hallaj kemudian menikah dengan Ummu Al-Husayn, putri dari Abu Ya’kub Al-Akta. Rumah tangganya monogami, bersatu sampai akhir hayatnya. Mereka dikaruniai 3 anak laki-laki dan 1 perempuan. Namun pernikahan itu tanpa diketahui oleh Amir Al-Makki, guru Al-Hallaj, yang kemudian menimbulkan kecemburuan dan perlawanan dari Al-Makki. Hal itu pula yang menjadikan hubungan persahabatan antara Al-Makki dengan Al-Akta (mertuanya Al-Hallaj) tidak harmonis, ketidakharmonisan ini juga terjadi pada hubungan guru-murid antara Amir dan Hallaj.

Perkawinan ini pula yang kemudian membuatnya berkenalan dengan klan (kelompok) yang memiliki kaitan dengan pemberontak Zaydite dari orang-orang

(18)

ekstrimis Syiah. Semua ini menjadi awal yang memungkinkan reputasinya sebagai da’i Syiah, walau ia tetap memelihara kehidupan asketis yang bergelora berdasarkan ketundukan pada tuntunan mazhab Sunni. Hallaj lalu pergi ke Baghdad, berkonsultasi dengan Junayd, satu hal yang memantik konflik antara mertuanya Al-Akta dengan Al-Makki. Hallaj melanjutkan pencariannya terhadap kebenaran Tuhan dengan pergi ziarah ke Mekkah dan sewaktu kembali pecahlah pemberontakan Zandj. (Massignon, 2001 :8)

Ibadah Haji Yang Dilakukan Al-Hallaj

Al-Hallaj melaksanakan haji pertama dan berjanji untuk menetap selama satu tahun sambil melaksanakan umrah. Dengan jiwa muda yang bergelora, ia mampu menjaga kesunyiannya secara intens dan berkelanjutan. Di Mekkah

inilah, Hallaj bereksperimen dengan pandangan pribadinya tentang kesatuan dengan Tuhan, dan mulai menyatakan pandangannya tentang ilmu-ilmu rahasia. Hallaj pulang dari Mekkah membawa pemikiran baru yang kemudian ia komunikasikan kembali dengan sesama sufi seperti Amir Al-Makki dan Junayd. Amir Al-Makki berbeda pendapat dengannya tentang posisi kaum sufi dalam

mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hallaj menyadari bahwa ibadah dapat menjadi cara pemuasan pribadi, namun ia juga ingin menyampaikan pesan spiritualnya pada masyarakat melalui syair.

(19)

yang baik dan yang buruk. Menurut mereka, Hallaj melakukan suatu peleburan atau pengejawantahan sifat ketuhanan ke dalam jiwa manusia.

Tahun 290/902 adalah titik balik bagi perjalanan spiritualnya. Ia kembali melakukan ziarah ketiga ke Mekkah dan menjadi ziarahnya yang terakhir. Sekembalinya, Hallaj mengenakan ‘muraqqa’a’, baju tambalan compang-camping, dan ‘futa’, sejenis jubah yang biasa dikenakan kaum perempuan India. Semua ini dilakukan Hallaj agar ia lebih leluasa menyampaikan khotbah-khotbahnya kepada semua lapisan masyarakat. (Massignon, 2001:9-11)

Khutbah Terakhir Al-Hallaj di Baghdad

Kembali kepada teman-temannya di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal seperti Nuri dan Syibli, Hallaj menempatkan sebuah gambar Ka’bah di kamarnya. Ia berdo’a pada malam hari didekat makam, dan berseru di jalan-jalan pada siang hari. Cintanya membara pada Tuhan dan hasratnya ‘untuk mati di pembuangan’ tertuang dalam sajaknya: “O, saudaraku, selamatkan aku dalam Tuhan, Tuhan telah menghalalkanmu untuk membunuhku. Bunuhlah aku!”. Ungkapan itu membangkitkan emosi orang-orang sekaligus mencemaskan kalangan ulama. Tokoh Zahirit, Mohammad Ibnu Dawud merasa tersinggung atas kesatuan mistik Hallaj dengan Tuhan. Ia didakwa ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati. Tapi hakim Syafi’i Ibnu Surayd menyatakan bahwa inspirasi mistik bukanlah bagian dari tuntutan hukum. Pada saat itulah, menurut cerita yang berkembang, Hallaj akan menjawab kepada sahabatnya sufi Syibli di masjid Al Mansyur tentang shatahat-nya yang mahsyur:“Ana al-Haq”, “Akulah kebenaran”.(Massignon, 2001:12)

Peristiwa Yang Menyebabkan Penahanan Al-Hallaj

(20)

dan seorang menteri keuangan Syi’ah Ibnu Al Furat. Hallaj dilibatkan dalam pemberantasan anti Hambali. Sekalipun empat dari pengikutnya ditahan, ia berhasil meloloskan diri ke Sus. Tiga tahun berikutnya, ia menjadi tumbal dari kebencian penganut Sunni, lalu ditahan dan dibawa kembali ke Baghdad. Penahanan itu berlangsung selama Sembilan tahun.

Pada tahun 301/913, menteri Ibnu Isa, sepupu dari seorang pengikut Hallaj menghentikan perkara (fatwa dari Ibnu Surayd). Pengikut Hallaj yang dipenjara dilepaskan. Sementara itu, di bawah tekanan musuhnya, Hallaj dipertontonkan selama 3 hari di tiang di depan khalayak dan dihina dengan diberi papan bertuliskan ‘Agen Karmat’. Syi’ah Qaramitah adalah kelompok Syi’ah garis keras yang dipimpin oleh Hamdan Ibnu Karmat yang menentang pemerintahan dinasti Abbasiyah sejak abad X sampai XI Masehi. Perlakuan ini merupakan pengaruh dari komandan kepolisian yang bermusuhan dengan menteri. Hallaj akan ditawan di kerajaan, yang memungkinkannya untuk memberi pengetahuan pada tawanan lain. Pada tahun 303/915, Hallaj menyembuhkan khalifah dari demam yang akut, dan pada tahun yang sama, ia menyembuhkan sakit parah seekor burung betet warisan pangeran. Orang-orang Mu’tazilah mengadukan “pembualannya”. Dalam hal ini, menteri Ibnu Isa berpihak pada Hallaj. Tapi, pada tahun 304/916 ia diganti oleh orang yang anti Hallaj yaitu Ibnu Furat.

Tetapi pengaruh Ibu Suri mencegah yang terakhir ini dari dibukanya kembali persidangan. Pada saat itu, nampaknya merupakan peristiwa penting

dengan selesainya dua karya terpenting Hallaj yaitu TaWaSin (Al Azal) berisi renungannya tentang Iblis “pembangkang yang monoteis” dan buku kecil tentang kenaikan “mi’raj” Muhammad SAW. Renungan dalam buku itu menjadi jawaban bagi Syi’ah ekstrimis, Al Shalmaghani, tentang iman dan maksiat, keburukan dan

(21)

Pengadilan Hallaj dimulai lagi pada tahun 308-309/921-922. Konspirasi dan spekulasi moneter dari menteri Hamid dihalangi secara sia-sia oleh Ibnu Isa. Pembukaan kembali kasus Hallaj dimulai. Mujahid, seorang pemimpin yang dihormati oleh persatuan pembaca Al Qur’an. Ia teman dari sufi Ibnu Salim dan Syibli, tetapi Mujahid anti pada Hallaj. Orang-orang Hambali, di bawah pengaruh Ibnu Atha’ (seorang penganut Hambali yang juga mistikus) melancarkan gerakan oposisi menentang menteri Hamid. Tindakan ini sekaligus sebagai protes atas kebijakan moneter dan sebagai upaya menyelamatkan Hallaj.

Yang menjadi tuntutan hakim adalah kalimat yang diutarakan Hallaj:

‘berkeliling tujuh kali disekitar Ka’bah di hati masing-masing’. Hallaj didakwa sebagai pemberontak Karmat yang ingin membinasakan Ka’bah di Mekkah. Namun tak seorang penganut Syafi’i-pun datang. Hakim yang beraliran Hanafi tidak mampu menghukumnya, tapi wakilnya menerima serta menguatkan Ibnu Umar, sementara itu wakil dari saksi-saksi profesional didatangkan untuk

mengumpulkan 88 tanda tangan. Dalam hal ini Ibnu Umar ditekan oleh Hamid serta menyatakan: ‘Dihalalkan menumpahkan darahnya’. (Massignon, 2001:12-15)

Eksekusi Al-Hallaj

(22)

Tanggal 24 Maret 922 di pintu Khurazan, dihadapan kerumunan orang yang tak tehitung banyaknya, Hallaj bertudung mahkota, dicambuk dan dinaikkan ke atas Gibet (tiang pancung). Sementara itu kerusuhan-kerusuhan tidak dapat dipadamkan, teman dan musuhnya mengajukan pertanyaan silih-berganti. Hallaj dengan mantap menaiki tangga menuju tiang gantungan. Sahabatnya, Syibli yang hadir disitu bertanya tentang inti dari tasawuf. Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan Syibli saat itu adalah tingkat tasawuf terendah. “Adakah yang lebih tinggi dari ini?”, Tanya Syibli. “Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya”, ujar Hallaj. Tradisi dan kepercayaan yang berlaku saat itu berhasil mematahkan sebagian jawaban Hallaj. Kerumunan orang mulai melempar batu ke arahnya. Sementara itu, kekuasaan khalifah juga digugat atas keputusan pemenggalan kepala itu yang hanya akan dilakukan pada malam hari, membiarkannya mati dan baru keesokan harinya disemayamkan. Pada malam bersejarah itu, cerita-cerita menakjubkan beredar. Di pihak lain, para pembubuh tanda tangan dikumpulkan, mengelilingi ibnu Mukram yang berteriak: “Semua ini untuk kejayaan Islam, darahnya juga bisa menimpa leher kita”. Kepala Hallaj pun jatuh, potongannya disiram minyak dan dibakar. Sementara lidahnya dipotong dan matanya dicungkil. Keesokan harinya, abu jenazah mistikus shaleh itu dibuang ke sungai Tigris dari atas ketinggian menara. Kejadian memilukan dalam sejarah peradaban Islam ini tercatat dalam tarikh: 27 Maret 922. (Massignon, 2001:16-17)

Saksi-saksi menceritakan kembali ungkapannya terakhir yang mengiris perasaan: “Cinta kepada Yang Maha Esa adalah melebur kedalam Yang Esa”.

Hallaj lalu shalat dua rakaat dalam rengkuhan Cinta yang meluap pada Kekasihnya, ia melantunkan ayat suci Al-Qur’an surat Asy-Syu’arā`, 18: “Orang-orang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan dan orang-orang yang beriman merasa takut padanya dan meyakini bahwa kiamat itu benar adanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang

yang membantah tentang hari kiamat itu benar-benar berada dalam kesesatan yang jauh”.

Hukuman mati yang dijatuhkan pada Hallaj menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan bahkan hingga saat ini. Sementara kalangan ulama dan sahabat Hallaj sendiri memiliki penilaian yang berbeda dalam menanggapi kasus

(23)

yang sama, tapi kegilaanku menyelamatkan diriku, sedangkan kecerdasan telah menghancurkan dirinya”.

Pengadilan Hallaj berlangsung dengan latar belakang intrik politik, agama dan politisasi moneter yang menimpa Baghdad selama pemerintahan Al Mu’tadir yang memiliki sedikit dukungan. Gambaran situasi dinasti Abbasiyah pada awal abad IX-X dengan konspirasi dan koalisi para menteri untuk kepentingan pribadi, kelompok dan aliran yang beragam. Dua nama musuh besar Hallaj yang menjadi menteri yaitu Ibnu Al Furat, seorang Syiah dan menteri Hamid, seorang Sunni. Khotbah-khotbah Hallaj di pasar dan mesjid Baghdad diincar khususnya pada nilai-nilai keimanan dan pada pernyataannya tentang penyatuan Cinta dengan Tuhan. (Massignon, 2001:18)

Al-Hallaj adalah seorang alim dalam ilmu agama islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Suraij, ia adalah seorang yang hafal al-Qur’an dan sarat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fiqh dan hadis, serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. Dia adalah seorang zahid yang terkenal pada masanya, dan banyak lagi sifat-sifat kesalehannya. Keahlian dan kepribadiannya yang demikian itulah yang menjadikannya mampu melahirkan karya-karya gemilang, terutama tentang tasawuf. Dan salah satu karyanya yaitu Kitab "ﻮﻫ ﻮﻫ" /huwa-huwa/. Riwayat hidup Al-Hallaj yang berakhir dengan peristiwa tragis telah banyak mendapat perhatian ulama dan pengamat tasawuf. Inti sari ajaran tasawuf Al-Hallaj- yang kadang dinyatakan dalam bentuk syair dan kadang berupa nasr dengan kata-kata yang dalam-, meliputi tiga persoalan pokok, yaitu: Hulul, Haqiqah Muhammadiyah, dan Wahdah Al-Adyan. (Asmaran, 2002:315-316)

Filsafat Ajaran Al-Hallaj

Intisari ajarannya telah dinyatakan, yakni baik berupa syair maupun natsar (prosa), dalam susunan kata-kata yang mendalam meliputi tiga perkara:

1. Hulul, yaitu Ketuhanan (Lahut) menjelma ke dalam diri Insan (Nasut). 2. Alhaqiqatul Muhammadiyah, yaitu Nur Muhammad sebagai asal usul

(24)

3. Kesatuan segala agama. (Hamka, 1953:108)

Ibnu Nadim seorang ahli riwayat ternama, yang banyak sekali membicarakan Al-Hallaj dan menentang pendiriannya, mencatat bahwa karangannya tidak kurang dari 47 buah buku. Beberapa kitab yang terpenting di antaranya ialah:

1. Al-Ahruf Al-Muhaddasah wa Al-Azaliyah wa Al-Asma’ Al-Kulliyah

2. Kitab Al-Usul wa Al-Furu’

3. Kitab Sirr Al-’Alam wa Al-Mab’us

4. Kitab Al-’adl wa Al-tauhid (tentang tauhid/aqidah) 5. Kitab ’Ilm Al-Baqa’ wa Al-fana’i (tentang ilmu Kalam)

6. Kitab Madh Al-Nabi wa Masal Al-A’la (tentang pujian-pujian kepada Nabi)

7. Kitab Huwa Huwa (tentang kumpulan syair-syairnya)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pemaknaan tersebut adalah buah dari sikap atau Standpoint yang didapatkan dari pengalaman latar belakang kehidupan informan, tingkat pendidikan, dan juga

Pelanggan ITHHCOR02AIS Bekerja dilingkungan yang berbeda secara sosial ITHHCOR03AIS Mengikuti Prosedur Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan di Tempat Kerja ITHHCO01AIS

Implementasi Sistem penjaminan mutu pendidikan dalam suatu sistem pendidikan di Indonesia yang wilayahnya luas, dan ditambah dengan pelaksanaan otonomi pendidikan di

Elastisitas harga, nilai sebesar 1,109 pada fungsi permintaan menunjukan nilai elastisitas harga lebih dari satu maka dapat dikatakan elastis, artinya jika harga

UNTUK MENINGKATKAN KOORDINASI DIANTARA UNIT KERJA DALAM OPD PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA, MAKA USULAN PENSIUN BAGI UPTD, UNIT KERJA DAN SEKOLAH DI LINGKUNGAN

Dilanjutkan dengan tanggapan ahli (ahli dipilih yang memiliki pemahaman progresif tentang hak perempuan atas waris dan kepemilikan tanah) terhadap pengalaman peserta pada

Dari hasil analisa ada beberapa hal yang dapat diambil simpulannya yaitu: (1) dari hasil pengujian hipotesis pertama disimpulkan bahwa ada pengaruh motivasi kualitas terhadap