FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERAPAN
STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN ENTITAS TANPA
AKUNTABILITAS PUBLIK (SAK ETAP) PADA UMKM
DI KABUPATEN BOGOR
PUSPITA PUTRI AFIANTI 8335123540
Skripsi ini Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI
KONSENTRASI AUDIT
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
F ACTORS THAT AF F ECT THE IMPLEMENTATION OF
F INANCIAL ACCOUNTING STANDARD F OR ENTITIES
WITHOUT PUBLIC ACCOUNTABILITY (SAK ETAP) ON
MICRO, SMALL & MEDIUM ENTERPRISES (MSMEs) IN
KABUPATEN BOGOR
PUSPITA PUTRI AFIANTI 8335123540
This Undergraduate Thesis is Written as a Partial Fulfillment of the Requirement for the Bachelor Degree in Faculty of Economics
Universitas Negeri Jakarta
UNDERGRADUATE ACCOUNTING STUDY PROGRAM
CONCENTRATE IN AUDITING
FACULTY OF ECONOMICS
ABSTRAK
PUSPITA PUTRI AFIANTI. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP ) pada UMKM di Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Jakarta 2017.
Penelitian ini melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan SAK Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) pada UMKM di Kabupaten Bogor. Pengujian persepsi pengusaha UMKM, umur usaha, serta sosialisasi & pelatihan terhadap penerapan SAK Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) menggunakan survey yang dilakukan dengan mendatangi langsung responden. Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode
purposive sampling dengan menentukan jumlah sampel berdasarkan rumus Roscoe. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 89 responden yang merupakan pengusaha UMKM pada bidang industri sepatu sandal di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Data penelitian diuji menggunakan analisis regresi berganda dengan tingkat signifikansi 5%. Hasil penelitian tidak dapat memberi bukti bahwa persepsi pengusaha dan umur usaha berpengaruh positif terhadap penerapan SAK ETAP sedangkan sosialisasi & pelatihan berpengaruh positif terhadap penerapan SAK ETAP.
ABSTRACT
PUSPITA PUTRI AFIANTI. Factors that Affect the Implementation of Financial Accounting Standard for Entities Without Public Accountability (SAK ETAP) on Micro, Small and Medium Enterprises in Kabupaten Bogor. Skripsi. Faculty of Economics. Universitas Negeri Jakarta. 2017
This study was aimed to test the impact of UMKM enterpreneurs’ perception, entities’ age, and the socialization and training of Without Public Accountability Entities SAK (SAK ETAP) implementation. Purposive sampling method with roscoe formula was used in data gathering. There were 89 shoes and sandals UMKM enterpreneurs in Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor participated in this study. Data collected were tested using multiple regression analysis with 5% level of significance. Result from this study showed that the UMKM enterpreneurs’s perception and entities’ age failed to have any significant impact to the implementation of SAK ETAP, while the socialization and trainings were found to have positive significant contributions to it.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
nikmat karunia serta seizinNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
proposal skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Penerapan SAK ETAP pada UMKM di Kabupaten Bogor” dengan lancar
tanpa suatu kendala apapun. Penulisan skripsi ini diajukan untuk
memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Program Studi S1 Akuntansi di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Jakarta.
Dalam penyusunan dan penulisan proposal skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan, bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis hendak memberikan ucapan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu penulis, diantaranya adalah:
1. Allah SWT yang selalu memberikan kemudahan dan kelancaran
kepada penulis dalam setiap rangkaian proses penyusunan skrispi ini;
2. Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan umatnya untuk selalu
menuntut ilmu, bersabar, ikhlas, dan tawakkal;
3. Kedua Orang Tua penulis yang selalu mendukung penulis. Melalui
ridho mereka juga lah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini serta
keluarga besar M. Nurdin yang juga mendukung penulis tiada henti;
4. Nuramalia Hasanah, SE, M.Ak, selaku Ketua Program Studi S1
Akuntansi;
5. Susi Indriani, SE, M.Si., Ak, selaku Dosen Pembimbing I dan Dr. Etty
6. Reza Febriatna, Annisa Halim, Putri Eksanika, Fauzia Hanum,
Mauldina Nury, selaku sahabat yang telah menemani sedari SMP
sampai saat ini selalu memberi dukungan dan hiburan.
7. Putri Saraswati, Fasya Fauzani, yang bersedia direpotkan penulis
mendengarkan keluh kesahnya, Liza, Fanidia, Faiza, dan teman-teman
piranha lainnya yang telah memberikan semangat kepada penulis;
8. Annisaa, Irvina, Riza, Hafni, Indriana, Ida, Erni, Ayas, dan
teman-teman serta sahabat-sahabat penulis yang tidak bisa disebutkan satu
persatu yang selalu tanpa henti mendukung dan menyemangati serta
menghibur penulis setiap saat;
9. Seluruh teman-teman S1 Akuntansi Reguler A 2012 yang telah
menghabiskan waktu bersama selama empat tahun terakhir ini dan
saling membantu dalam kondisi apapun;
10. Seluruh rekan-rekan S1 Akuntansi angkatan 2012 yang telah
berjuang bersama dalam proses penyusunan proposal skripsi ini;
11. Terakhir, terima kasih kepada pihak-pihak lain yang tanpa mengurangi
rasa hormat yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam skripsi ini. Saran dan kritik
sangat dinantikan demi kebaikan di masa yang akan datang.
Jakarta, Februari 2017
Penulis,
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
PERNYATAAN ORISINALITAS ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah... 1
B.Identifikasi Masalah ... 9
C.Pembatasan Masalah ... 10
D.Perumusan Masalah ... 10
E. Kegunaan Penelitian ... 10
BAB II KAJIAN TEORETIK ... 12
A.Deskripsi Konseptual ... 12
1. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) ... 12
2. Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) ... 14
3. Technology Acceptance Model ... 27
4. Teori ERG ... 30
5. Penerapan SAK Entitas Tanpa Akuntailitas Publik (SAK ETAP) ... 33
6. Persepsi Pengusaha UMKM ... 36
7. Umur Usaha ... 39
8. Sosialisasi & Pelatihan ... 40
B.Hasil Penelitian yang Relevan ... 47
C.Kerangka Teoretik... 51
1. Pengaruh Persepsi Pengusaha UMKM terhadap penerapan SAK ETAP .. 51
3. Pengaruh Sosialisasi & Pelatihan terhadap penerapan SAK ETAP ... 54
D.Perumusan Hipotesis ... 55
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 56
A.Tujuan Penelitian ... 56
B.Objek dan Ruang Lingkup Penelitian ... 56
C.Metode Penelitian ... 57
D.Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 57
E. Teknik Pengumpulan Data dan Operasional Variable Penelitian ... 59
1. Teknik Pengumpulan Data ... 59
2. Operasionalisasi Variabel ... 60
F. Teknik Analisis Data ... 67
1. Analisis Statistik Deskriptif ... 67
2. Uji Kualitas Data ... 67
3. Analisis Regresi Linier Berganda... 70
4. Pengujian Hipotesis ... 71
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 74
A.Deskripsi Data ... 74
1. Subjek Penelitian ... 74
2. Deskripsi Karakteristik Responden ... 76
3. Statistik Deskriptif ... 79
B.Pengujian Hipotesis ... 84
1. Hasil Uji Instrumen Penelitian ... 84
2. Uji Asumsi Klasik ... 86
3. Uji Regresi Linier Berganda... 90
4. Uji Hipotesis ... 92
C. Pembahasan ... 96
1. Pengaruh Persepsi Pengusaha UMKM terhadap penerapan SAK ETAP .. 97
2. Pengaruh Umur Usaha terhadap penerapan SAK ETAP ... 100
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 105
A.Kesimpulan ... 105
B.Implikasi ... 106
C.Saran ... 107
DAFTAR PUSTAKA ... 109
LAMPIRAN ... 114
DAFTAR TABEL
Tabel I.1
Statistik Industri Kabupaten Bogor Tahun 2008-2012 ... 8
Tabel I.2
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Bogor dan Sekitarnya
Tahun 2014 ... 8
Tabel II.1
Penelitian Terdahulu ... 47
Tabel III.1
Operasionalisasi Variabel Penelitian ... 65
Tabel IV.1
Tingkat Penyebaran dan Pengembalian Kuesioner ... 75
Tabel IV.2
Jumlah Penyebaran Kuesioner ... 75
Tabel IV.3
Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin ... 77
Tabel IV.4
Data Statistik Berdasarkan Umur ... 77
Tabel IV.5
Karakteristik Responden berdasarkan Jenjang Pendidikan Terakhir ... 78
Tabel IV.6
Karakteristik Responden berdasarkan Latar Belakang Pendidikan ... 79
Tabel IV.7
Statistik Deskriptif Variabel ... 79
Tabel IV.8
Distribusi Jawaban atas Persepsi Pengusaha UMKM ... 80
Tabel IV.9
Tabel IV.10
Distribusi Jawaban atas Sosialisasi & Pelatihan ... 82
Tabel IV.11
Statistik Deskriptif Penerapan SAK ETAP ... 83
Tabel IV.12
Uji Validitas Data ... 85
Tabel IV.13
Uji Realiabilitas Data ... 85
Tabel IV.14
Uji Normalitas Data ... 87
Tabel IV.15
Uji Multikolinearitas ... 88
Tabel IV.16
Hasil Uji Glejser ... 89
Tabel IV.17
Analisis Regresi Berganda ... 90
Tabel IV.18
Hasil Uji Parsial (Uji-t) ... 92
Tabel IV.19
Hasil Uji Simultan (Uji-F) ... 95
Tabel IV.20
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Kuesioner Penelitian ... 115
Lampiran 2
Perbedaan PSAK dan SAK ETAP ... 121
Lampiran 3
Tabulasi Data Hasil Kuesioner ... 127
Lampiran 4
Uji Validitas & Reliabilitas ... 142
Lampiran 5
Hasil Uji Normalitas P-Plot ... 148
Lampiran 6
Grafik Scatterplot ... 149 Lampiran 7
Surat Rekomendasi Penelitian ke Kesbangpol Jakarta Timur ... 150
Lampiran 8
Surat Rekomendasi Penelitian ke Kesbangpol Kabupaten Bogor ... 151
Lampiran 9
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Modal utama pembangunan perekonomian Indonesia bergantung pada
keberadaan UMKM yang handal dan kuat. Kedudukannya sebagai pemain
utama dan tulang punggung dalam kegiatan ekonomi di berbagai sektor, yaitu:
penyedia lapangan kerja yang terbesar, pemain penting dalam pengembangan
kegiatan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat, pencipta pasar baru dan
sumber inovasi, serta sumbangannya dalam menjaga neraca pembayaran melalui
kegiatan ekspor. Itu telah terbukti ketika krisis menerpa pada periode tahun
1997–1998, hanya UMKM yang mampu tetap berdiri kokoh. (Bank Indonesia,
2015).
Keberhasilan UMKM dalam menghadapi masa krisis tidak serta merta
menjadikan mereka mampu menjaga kelangsungan usahanya dengan baik.
Banyak hambatan dan kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal
yang harus dihadapi para pelaku UMKM, seperti aspek keuangan, sumber daya
manusia (SDM), iklim usaha, infrastruktur dan pemasaran sehingga walaupun
memiliki peran yang strategis bagi ekonomi namun upaya mengembangkan
sektor UMKM juga bukanlah hal yang mudah (Bank Indonesia, 2015).
plan (rencana pengembangan usaha) merupakan kendala yang menyebabkan minimnya akses keuangan UMKM. Padahal dengan adanya laporan keuangan
akan memungkinkan pemilik memperoleh data dan informasi yang tersusun
secara sistematis. Laporan keuangan berguna bagi pemilik untuk dapat
memperhitungkan keuntungan yang diperoleh, mengetahui berapa tambahan
modal yang dicapai dan juga dapat mengetahui bagaimana keseimbangan hak
dan kewajiban yang dimiliki sehingga setiap keputusan yang diambil oleh
pemilik dalam mengembangkan usahanya akan didasarkan pada kondisi konkret
keuangan yang dilaporkan secara lengkap bukan hanya didasarkan pada asumsi
semata.
Pemerintah Indonesia, membina UMKM melalui Dinas Koperasi dan
UMKM, di masing-masing Provinsi atau Kabupaten/Kota. Namun
kenyataannya UMKM di Indonesia tidak semulus yang dibayangkan.
Permasalahan yang terjadi selama ini banyak UMKM atau usaha kecil yang
gulung tikar salah satu faktornya adalah tidak konsistennya mereka memakai
pembukuan keuangan, seperti misalnya ketika mendapat pinjaman modal dari
Bank ternyata arahnya tidak untuk usaha tetapi untuk kebutuhan yang lain, atau
tanpa perhitungan kita mengambil uang usaha tersebut untuk keperluan pribadi,
dan lain-lain. Di dalam usaha ini kita juga penting untuk melakukan
pengelolahan keuangan tersebut, semua harus ada hitunganya, yang mana uang
untuk usaha, mana uang untuk pribadi dan mana uang untuk kegiatan sosial.
(www.kompasiana.com)1
1Dikutip dari artikel “
http://www.kompasiana.com/dhitaarinanda/pembukuan-keuangan-tetap-penting-bagi-usaha-Memang kita sadari bahwa disiplin melakukan pembukuan belum membudaya di Indonesia. Masih sedikitnya UMKM yang melakukan
pembukuan secara formal disebabkan oleh beberapa faktor. Paling tidak terdapat
dua faktor yang menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi. Pertama, terbatasnya
skill manajemen dari pelaku UMKM khususnya mengenai aspek pembukuan dan akuntansi dan yang kedua, biaya untuk menyelenggarakan sistem
pembukuan yang standar dirasakan masih terlalu tinggi. (Rohman, 2011)
Banyak UMKM yang belum sadar akan pentingnya pencatatan akuntansi atau
laporan keuangan dalam usahanya karena terlalu fokus pada proses produksi dan
operasionalnya. Terlebih lagi bentuk UMKM yang lebih didominasi perusahaan
perseorangan mengakibatkan kurangnya kebutuhan untuk membuat laporan
keuangan yang sesuai standar akuntansi. Bentuk perusahaan perseorangan juga
menyebabkan pemisahan keuangan bagi diri pribadi pemilik usaha dengan
kegiatan usahanya seringkali juga tidak dilakukan. Akibatnya, terkadang sangat
sulit diketahui dengan pasti perkembangan usahanya. Hanya perusahaan besar,
atau yang telah masuk ke bursa efek (go public) umumnya secara kontinyu melakukan pembukuan dengan baik. Bahkan laporan keuangannya disusun oleh
akuntan publik.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyadari Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) bagi perekonomian nasional harus didukung akses
keuangan yang baik agar industri tersebut semakin berkembang. Kurangnya
akses ke layanan keuangan dan melek finansial yang rendah menghambat
perkembangan UMKM di Indonesia. Pada akhir Februari 2016, pinjaman dalam
negeri untuk UMKM hanya sebesar Rp728,97 triliun, atau 18%, jika
dibandingkan dengan total kredit sebesar Rp3.998.09 triliun. Selain itu, UMKM
adalah segmen dengan indeks relatif rendah melek finansial. Hal ini berdasarkan
survei yang dilakukan oleh OJK pada tahun 2013, di mana tingkat melek
finansial berdiri di 21,84% dan tingkat inklusi keuangan mencapai 59,74%.2
Pemerintah telah berupaya mengatasi permasalahan tersebut dengan
menetapkan sebuah peraturan yang mewajibkan UMKM untuk melakukan
pencatatan akuntansi yang baik yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Dalam pasal 48 menyatakan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha mikro,
usaha kecil, dan usaha menengah yang telah memperoleh izin usaha dilakukan
oleh pejabat secara teratur dan berkesinambungan sesuai dengan
kewenangannya. Selanjutnya. Pada pasal 49 ditegaskan dalam rangka
pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 48, pemegang
izin usaha wajib menyusun pembukuan kegiatan usaha.
Saat ini sebagian UMKM telah mulai menyusun laporan keuangan
meskipun terbatas untuk memenuhi persyaratan kredit ataupun dalam
pemenuhan kewajiban perpajakan. Pelaksanaan pembuatan laporan keuangan
sendiri memerlukan keterampilan dan pengetahuan mengenai pembukuan
akuntansi. Hal ini masih sulit dilakukan karena keterbatasan pengetahuan pelaku
UMKM, rumitnya proses akuntansi, dan anggapan bahwa laporan keuangan
bukanlah hal yang penting bagi UMKM (Said, 2009; dalam Rudiantoro dan
Siregar, 2012)
Terkait dengan kondisi tersebut, untuk mempermudah UMKM dalam
penyusunan laporan keuangan dan akan pentingnya standardisasi laporan
keuangan yang lebih sederhana, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) melalui Dewan
Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) pada tanggal 19 Mei 2009 telah
mengesahkan Standar Akuntansi untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik
(SAK ETAP) yang ditujukan khusus bagi entitas tanpa akuntabilitas publik yaitu
salah satunya UMKM dan telah berlaku efektif per 1 Januari 2011.
Penerapan SAK ETAP ini tentu tidak hanya perlu dipersiapkan oleh pelaku
UMKM namun juga oleh pemerintah, pihak penyalur kredit dan lembaga
akuntansi secara bersama-sama. Mereka juga harus berperan untuk
mensosialisasikan standar yang baru kepada pelaku UMKM, memberikan
pelatihan dasar akuntansi dan penyajian laporan keuangan berdasarkan SAK
ETAP bagi pelaku UMKM dan membuat program pendukung lainnya.
Sebagai langkah awal untuk menerapkan SAK ETAP secara keseluruhan,
peran sosialisasi atau pelatihan bagi UMKM sangat diperlukan agar mereka
mengetahui dan memahami tujuan dan cara penerapan standar tersebut.
Umumnya proses sosialisasi yang dilakukan IAI meliputi publikasi penetapan
dan pengesahan SAK ETAP melalui berbagai media cetak dan sarana
komunikasi lainnya, yakni dengan penerbitan buku SAK yang dijual dan
disebarluaskan kepada publik, penyelenggaraan berbagai pelatihan, kursus dan
Sejak saat pengesahan SAK ETAP hingga saat ini, diselenggarakan berbagai
pelatihan mengenai penyajian laporan keuangan berdasarkan SAK ETAP yang
ditujukan kepada pelaku UMKM maupun akademisi. Sosialisasi dan pelatihan
juga dilakukan oleh pemerintah, perusahaan swasta, dan juga perguruan tinggi
negeri, misalnya Dinas Koperasi & UMKM Pematang Siantar menjadikan
program pelatihan akuntansi sebagai salah satu program kerja tahunan mereka,
Prodi Akuntansi FE Unjani memberikan pelatihan SAK ETAP bagi UMKM se
Kota Cimahi atau seperti Kadin yang menggandeng PwC untuk melakukan pelatihan kepada UMKM sebagai bentuk keprihatinannya pada UMKM yang
hanya 5% dari jumlahnya memahami masing-masing laporan keuangannya. (www.bisniskeuangan.kompas.com)
Standar akuntansi ini tentu diharapkan tidak hanya berdampak positif bagi
UMKM dalam segi menyiapkan laporan keuangan dengan tujuan pendanaan
yang berasal dari pihak perbankan. Dalam jangka panjang penyederhanaan
standar akuntansi keuangan bagi entitas tanpa akuntabilitas publik, termasuk
UMKM, diharapkan dapat menghilangkan anggapan negatif pelaku usaha yang
menganggap bahwa proses pencatatan keuangan dalam akuntansi dan
pembuatan laporan keuangan merupakan hal yang sulit. Dengan hilangnya
anggapan negatif tersebut, pelaku usaha akan memiliki pikiran terbuka dan
keinginan untuk melakukan pencatatan keuangan dengan teliti serta mempelajari
akuntansi secara lebih mendalam.
Hal ini tentu tidak hanya berguna bagi UMKM dalam rangka mendapatkan
informasi dan keuangan mengenai kondisi perusahaan yang lebih relevan,
sehingga pelaku UMKM akan mampu melakukan pengambilan keputusan bisnis
terkait usaha yang dibangunnya dengan lebih baik di masa yang akan datang.
Selain itu, pembuatan laporan keuangan yang layak akan memudahkan
perusahaan dalam mencari investor yang mau membantu mengembangkan
UMKM. Dengan demikian potensi UMKM untuk terus tumbuh dan berkembang
akan semakin baik dalam jangka panjang.
Di wilayah Kabupaten Bogor sendiri, salah satunya di sentra UMKM sepatu
dan sandal Kecamatan Ciomas, berdasarkan data pra penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM belum menerapkan SAK
ETAP dalam sistem pencatatan dan pembukuan mereka. Hal ini sangat
disayangkan mengingat perkembangan industri di Kabupaten Bogor dari tahun
ke tahun mengalami peningkatan yang didominasi oleh usaha kecil dan
menengah dibandingkan dengan usaha besar. Perkembangan industri di
Kabupaten Bogor disajikan dalam Tabel I.1. Selain itu, Kabupaten Bogor juga
sebagai penyumbang PDRB terbesar kedua setelah Kabupaten Bekasi terhadap
PDRB Jawa Barat.3 Melihat kondisi ini, apabila UMKM dikelola dan
dikembangkan dengan baik tentunya akan dapat mewujudkan usaha menengah
yang tangguh.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang kesiapan implementasi SAK ETAP pada UMKM
dengan mengambil judul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan
Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK
3
ETAP) pada UMKM di Wilayah Kabupaten Bogor”.
Tabel I.1
Statistik Industri Kabupaten Bogor Tahun 2008-2012
Tahun
Industri Kecil Menengah Industri Menengah Besar
Unit Tenaga
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Bogor dan Sekitarnya Tahun 2014
Kabupaten/Kota PDRB (Rp Juta) Share (%) Kab. Bekasi 227.469.485,60 16,41 Kab. Bogor 151.285.109,93 10,92
Kota Bogor 29.102.228,90 2,10 Kota Bekasi 64.126.991,25 4,63 Kota Depok 43.675.166,89 3,15
Jawa Barat 1.385.959.440,65
Sumber: Dinas Koperasi UKM Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, 2015
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
identifikasi masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Kurangnya kesadaran para pelaku UMKM terhadap pencatatan keuangan
yang mengakibatkan tidak tersedianya informasi kondisi perusahaan;
2. Sosialisasi & pelatihan mempengaruhi pemahaman pelaku UMKM dalam
hal pembukuan/pencatatan akuntansi
3. Sering dijumpai UMKM yang mengalami kegagalan dalam pengajuan kredit
ke bank disebabkan tidak tersedianya informasi akuntansi dari pihak
peminjam;
4. Adanya peraturan yang mewajibkan usaha kecil (UMKM) untuk melakukan
pembukuan;
5. Sebuah usaha yang baru berdiri masih sangat lemah dan rentan oleh
gangguan kecil baik itu dari faktor eksternal dan internal. Sehingga apabila
tidak melakukan pembukuan/pencatatan dengan baik.
6. Bagi perusahaan perseorangan, biasanya perlakuan untuk memisahkan uang
usaha dan uang pribadi masih sulit dilakukan sehingga kemungkinan akan
terjadi ketidakjelasan pemakaian uang usaha.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka
dalam penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah agar pengkajian masalah
dalam penelitian ini dapat lebih terfokus dan terarah. Karena keterbatasan yang
penelitian ini hanya membatasi masalah pada penerapan SAK ETAP pada
industri perajin sepatu dan sandal di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah terdapat pengaruh persepsi pengusaha UMKM terhadap penerapan
SAK ETAP?
2. Apakah terdapat pengaruh umur usaha terhadap penerapan SAK ETAP?
3. Apakah terdapat pengaruh sosialisasi dan pelatihan terhadap penerapan
SAK ETAP?
E. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis terhadap berbagai pihak yang memiliki hubungan
dengan penelitian ini. Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
a. Melalui penelitian ini, peneliti mencoba memberikan bukti pada
variabel-variabel persepsi pengusaha, umur usaha, serta pelatihan dan
sosialisasi akuntansi terhadap penerapan SAK ETAP pada UMKM.
b. Bagi peneliti lain diharapkan dapat menambah wawasan serta referensi
untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam yang berkaitan
2. Kegunaan Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran mengenai
pentingnya pencatatan akutansi dan pembuatan laporan keuangan,
membantu tersosialisasinya SAK ETAP, serta membantu mengetahui
kendala yang dihadapi dalam menerapkan SAK ETAP.
b. Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui sejauh mana UMKM dalam
menerapkan SAK ETAP dan mengetahui cara yang paling efektif dalam
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A.Deskripsi Konseptual
1. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
Secara umum, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
merupakan unit usaha yang dikelola oleh suatu kelompok masyarakat atau
keluarga (Wahyudi, 2009). Selain itu, UMKM didefinisikan sebagai entitas
yang tidak memiliki akuntabilitas publik tetapi yang mempublikasikan
laporan keuangan untuk tujuan umum, meliputi entitas yang memiliki efek
yang diperdagangkan di bursa efek (Price Waterhouse Coopers, 2009)4
Definisi lain terkait usaha kecil dikemukakan oleh M. Tohar bahwa usaha
kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil, dan memenuhi
kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana
diatur dalam undang-undang (Tohar, 2001). Sedangkan Menurut Ina
Primiana mendefinisikan usaha kecil adalah sebagai berikut (Primiana,
2009:11):
1. Pengembangan empat kegiatan ekonomi utama (core business) yang menjadi motor penggerak pembangunan, yaitu agribisnis, industri
manufaktur, sumber daya manusia (SDM), dan bisnis kelautan.
2. Pengembangan kawasan andalan, untuk dapat mempercepat pemulihan
perekonomian melalui pendekatan wilayah atau daerah, yaitu dengan
4Dikutip dari artikel “
3. pemilihan wilayah atau daerah untuk mewadahi program prioritas dan
pengembangan sektor-sektor dan potensi.
4. Peningkatan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa UMKM
merupakan usaha yang dikelola oleh perseorangan atau sekelompok
masyarakat yang tidak memiliki akuntabilitas publik atau mempublikasikan
laporan keuangannya dan memperdagangkan sahamnya di bursa efek.
a. Penggolongan UMKM berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun
2008
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah yang ditetapkan pada tanggal 4 Juli 2008, bahwa
definisi resmi yang tertuang pada pasal 1 ayat 1, usaha mikro adalah:
“Usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
Sedangkan pada UU yang sama dalam pasal 1 ayat 2 yang dimaksud
dengan usaha kecil ialah:
“Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). “
Selain itu berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 pasal 1 ayat 3, usaha
menengah diartikan sebagai:
“Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh
orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini. memiliki keka yaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).”
b. Penggolongan UMKM berdasarkan Badan Pusat Statistik Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia memberikan definisi UKM
berdasarkan kuantitas tenaga kerja, yaitu untuk usaha kecil memiliki
jumlah tenaga kerja lima sampai dengan 19 orang, sedangkan usaha
menengah memiliki tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang.
2. Standar Akuntansi Keuangan bagi Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP)
Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas
Publik (SAK ETAP) adalah standar akuntansi yang disusun sebagai acuan
dan dimaksudkan untuk digunakan entitas tanpa akuntabilitas publik.
Menurut buku SAK ETAP (2009:1) Standar Akuntansi Keuangan untuk
Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) dimaksudkan untuk
digunakan entitas tanpa akuntabilitas publik. Entitas tanpa akuntabilitas
publik adalah entitas yang:
b. Menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statement) bagi pengguna eksternal. Contoh pengguna eksternal adalah pengusaha yang tidak terlibat langsung dalam pengelolaan usaha,
kreditur, dan lembaga pemeringkat kredit.
Walaupun demikian, entitas yang memiliki akuntabilitas publik
signifikan dapat menggunakan SAK ETAP jika otoritas berwenang membuat
regulasi mengizinkan penggunaan SAK ETAP.
Entitas memiliki akuntabilitas publik signifikan jika:
1. Entitas telah mengajukan pernyataan pendaftaran, atau dalam proses
pengajuan pernyataan pendaftaran, pada otoritas pasar modal atau
regulator lain untuk tujuan penerbitan efek di pasar modal; atau
2. Entitas menguasai aset dalam kapasitas sebagai fidusia untuk sekelompok
besar masyarakat, seperti bank, entitas asuransi, pialang dan atau pedagang
efek, dana pensiun, reksa dana dan bank investasi.
Entitas yang memiliki akuntabilitas public signifikan dapat
menggunakan SAK ETAP jika otorits berwenang membuat regulasi
mengizinkn penggunaan SAK ETAP, contohnya adalah Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.
11/37//DKBU tanggal 31 Desember 2009. Dari pernyataan di atas dapat
disimpulkan bahwa perusahaan yang terdaftar di bursa efek (listed
company), bank, perusahaan asuransi, pialang, atau pedagang efek, entitas
dana pension, perusahaan reksa dana, dan BUMN bukan merupakan
mengandung makna bahwa entitas kecil dan menengah yang dimaksud
oleh SAK ETAP adalah entitas kecil menengah non-listed atau entitas yang tidak masuk dalam bursa saham. Artinya ada dua standar akuntansi
yang berbeda yang dijadikan acuan dalam penyusunan dan pelaporan
keuangan. Ini berarti juga akan ada standar pengukuran dan pengungkapan
yang berbeda dari masing-masing standar akuntansi tersebut. Di satu sisi
ada SAK ETAP yang khusus ditujukan untuk entitas kecil menengah yang
non-listed, di sisi lain ada SAK umum, dalam hal ini PSAK yang ditujukan untuk entitas lainnya, termasuk entitas kecil menengah jika entitas tersebut
termasuk listed company. Laporan keuangan yang dihasilkan oleh suatu entitas nantinya harus menyebutkan bahwa laporan keuangan tersebut
telah dinyatakan sesuai dengan standar akuntansi yang digunakan, apakah
SAK ETAP atau PSAK.
a. Laporan Keuangan SAK ETAP
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam PSAK (2007:7),
laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan.
Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba
rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang disajikan dalam berbagai
cara misalnya laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan dan
laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari
1) Neraca
Menurut Harahap (2009:107) neraca disebut juga laporan posisi
keuangan perusahaan. Laporan ini menggambarkan posisi asset,
kewajiban dan ekuitas pada saat tertentu.
Neraca merupakan laporan keuangan yang menyajikan informasi
tentang posisi keuangan sebuah organisasi pada satu saat tertentu.
(Samryn, 2011)
Sedangkan menurut Kieso dan Weygandt dalam buku Intermediate Accounting (2010), yang dimaksud dengan neraca adalah sebagai berikut: “The balance sheet, sometimes referred to as the statement of financial position, reports the assets, liabilities, and stockholders’ equity of a business enterprise at a spesific date.”
Berdasarkan SAK ETAP (IAI, 2009) itu sendiri neraca merupakan
laporan keuangan yang menyajikan aset, kewajiban dan ekuitas suatu
entitas pada suatu tanggak tertentu atau akhir periode pelaporan. Neraca
minimal mencakup pos-pos : kas dan setara kas, piutang usaha dan
piutang lainnya, persediaan, properti investasi, aset tetap, aset tidak
berwujud, utang usaha dan utang lainnya, aset dan kewajiban pajak,
kewajiban kewajiban diestimasi, ekuitas. Entitas menyajikan pos, judul
dan sub jumlah lainnya dalam neraca jika penyajian seperti itu relevan
dalam rangka pemahaman terhadap posisi keuangan entitas. SAK ETAP
tidak menentukan format atau urutan terhadap pos-pos yang disajikan.
Dari pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan neraca sebagai
kewajiban, dan ekuitas. Neraca mengungkapkan informasi mengenai
jumlah dan informasi lainnya tentang sumber daya perusahaan,
kewajiban pada kreditur, dan ekuitas pemilik yang dimiliki perusahaan
sampai dengan tanggal pelaporan neraca tersebut.
2) Laporan Laba Rugi
Laporan laba rugi merupakan sebuah laporan yang menyajikan
informasi tentang pendapatan, beban, dan laba atau rugi yang diperoleh
sebuah organisasi selama satu periode waktu tertentu. Misalnya, 1
bulanan, 3 bulanan, 6 bulanan, atau a tahun penuh. (Samryn, 2011)
Menurut Munawir (2010:26), laporan laba rugi merupkan suatu
laporan yang sistematis tentang penghasilan, beban, laba-rugi yang
diperoleh oleh suatu perusahaan selama periode tertentu.
Menurut Kieso dan Weygandt dalam buku Intermediate Accounting
(2010), yang dimaksud dengan laporan laba rugi adalah sebagai berikut:
“The income statement, often called the statement of income or statement of earning is the report that measures the success of enterprise operations for a given period of time.”
Laporan laba rugi memasukkan semua pos penghasilan dan beban
yang diakui dalam suatu periode kecuali SAK ETAP (IAI, 2009: 23)
menyaratkan lain. SAK ETAP mengatur perlakuan berbeda terhadap
dampak koreksi atas kesalahan dan perubahan kebijakan akuntansi yang
disajikan sebagai penyesuaian terhadap periode yang lalu dan bukan
sebagai bagian dari laba atau rugi dalam periode terjadinya perubahan.
keuangan, bagian laba atau rugi dari investasi yang menggunakan metode
ekuitas, beban pajak, dan laba atau rugi neto. Entitas harus menyajikan
pos, judul dan sub jumlah lainnya pada laporan laba rugi jika penyajian
tersebut relevan untuk memahami kinerja keuangan entitas. Selain itu
entitas tidak boleh menyajikan atau mengungkapkan pos pendapatan dan
beban sebagai “pos luar biasa”, baik dalam laporan laba rugi maupun
dalam catatan atas laporan keuangan.
Dari pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
laporan laba rugi sebagai laporan kinerja yang mengungkapkan
kesuksesan hasil operasi perusahaan pada suatu periode tertentu.
3) Laporan Perubahan Ekuitas dan Laporan Laba Rugi dan Saldo Laba
a) Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan perubahan ekuitas merupakan laporan keuangan yang
menyajikan pengaruh laba rugi tahun berjalan serta penggunaannya,
dan penambahan atau pengurangan modal pemilik (Samryn, 2011)
Menurut Kieso dan Weygandt dalam buku Intermediate Accounting (2010), yang dimaksud dengan laporan perubahan ekuitas adalah sebagai berikut:
“Statement of Owners’ Equity, often called statement of retained earning is the reports which reconciles the balance of retained earning account from the beginning to the end of period.”
Laporan laba rugi menyajikan laba atau rugi entitas untuk periode,
pos pendapatan dan beban yang diakui secara langsung dalam ekuitas
koreksi kesalahan yang diakui dalam periode tersebut, dan (tergantung
pada format laporan perubahan ekuitas yang dipilih oleh entitas) jumlah
investasi oleh, dan deviden dan distribusi lain ke pengusaha ekuitas
selama periode tersebut. (IAI, 2009: 26).
Dari pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan laporan
perubahan ekuitas sebagai laporan yang menunjukkan rekonsiliasi saldo
awal ekuitas hingga menunjukkan saldo akhir ekuitas. Rekonsiliasi
tersebut berasal dari tambahan investasi, laba rugi usaha, dan
pendistribusian hasil untuk pemilik (dividend atau drawing). b) Laporan Laba Rugi dan Saldo Laba
Laporan laba rugi dan saldo laba menyajikan laba atau rugi entitas
dan perubahan saldo laba untuk suatu periode pelaporan. Entitas
menyajikan laporan laba rugi dan saldo laba menggantikan laporan laba
rugi dan laporan perubahan ekuitas jika perubahan pada ekuitas hanya
berasal dari laba atau rugi, pembayaran deviden, koreksi kesalahan
periode lalu, dan perubahan kebijakan akuntansi (IAI, 2009: 27).
4) Laporan Arus Kas
Menurut Kieso dan Weygandt dalam buku Intermediate Accounting
(2010), yang dimaksud dengan laporan arus kas adalah :
“The statement of cash flow therefore reports cash receipts, cash payments, and net change in cash resulting from operating, investing, and financing activities of an enterprise during a period, in format that reconciles the beginning and ending cash balance.”
suatu periode dan mengklasifikasikan menurut aktivitas operasi, aktivitas
investasi, dan aktivitas pendanaan (IAI, 2009: 28).
Dari pengertian di atas, penulis dapat mendefinisikan laporan arus kas
sebagai laporan yang menyajikan penerimaan dan pengeluaran kas yang
berasal dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.
a) Pelaporan Arus Kas dari Aktivitas Operasi
Arus kas dari aktivitas operasi terutama diperoleh dari aktivitas
penghasil utama pendapatan entitas. Oleh karena itu, arus kas tersebut
pada umumnya berasal dari transaksi dan peristiwa dan kondisi lain
yang mempengaruhi penetapan laba atau rugi. Entitas melaporkan arus
kas dari aktivitas operasi dengan menggunakan metode tidak langsung.
Dalam metode ini laba atau rugi neto disesuaikan dengan mengoreksi
dampak dari transaksi non kas, penangguhan atau akrual dari
penerimaan atau pembayaran kas untuk operasi dimasa lalu dan masa
depan, dan unsur penghasilan atau beban yang berkaitan dengan arus
kas investasi atau pendanaan. (IAI, 2009:30)
b) Pelaporan Arus Kas dari Aktivitas Investasi dan Pendanaan
Entitas melaporkan secara terpisah kelompok utama penerimaan
kas bruto dan pengeluaran kas bruto yang berasal dari aktvitas investasi
dan pendanaan. Jumlah agregat arus kas yang berasal dari akuisisi dan
pelepasan entitas anak atau unit usaha lain disajikan secara terpisah dan
5) Catatan Atas Laporan Keuangan
Laporan keuangan yang lengkap biasanya memuat catatan atas
laporan keuangan yang menjelaskan tentang gambaran umum perusahaan,
kebijakan akuntansi perusahaan, serta penjelasan atas pos-pos signifikan
dari laporan keuangan perusahaan. (Samryn, 2011)
Menurut Kieso dan Weygandt dalam buku Intermediate Accounting
(2010), yang dimaksud dengan catatan atas laporan keuangan adalah :
“Notes to Financial Statement are the accontants’ means of amplifying or explaining the items presented in the main body of the statements (balance sheet, income statement, statement of owners’ equity, and statement of cashflow).”
Catatan atas laporan keuangan berisi informasi sebagai tambahan
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Catatan atas laporan
keuangan memberikan penjelasan naratif atau rincian jumlah yang
disajikan dalam laporan keuangan dan informasi pos-pos yang tidak
memenuhi kriteria pengakuan dalam laporan keuangan (IAI, 2009: 34).
b. Tujuan Laporan Keuangan
Dalam SAK ETAP Bab 2 paragraf 1 sendiri disebutkan bahwa:
“Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi posisi
keuangan, kinerja keuangan dan laporan arus kas suatu badan usaha yang bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi oleh siapapun yang tidak dalam posisi dapat meminta laporan keuangan khusus untuk memenuhi kebutuhan infromasi tertentu.”
Menurut IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) dalam PSAK No. 01 (Revisi
2009:7), yang dimaksud laporan keuangan adalah suatu penyajian
laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi
keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi
sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan
ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban
manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada
mereka.
Berdasarkan Kerangka Dasar Penyusunan Penyajian Laporan
Keuangan (KDPPLK), paragraf 12 dijelaskan bahwa tujuan laporan
keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi
keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang
bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan
ekonomi.
Yanto, Yakub, dan Hoesada (2009) menyimpulkan bahwa SAK ETAP diharapkan dapat memberi solusi bagi debitur perbankan dan memberi
jalan keluar bagi UMKM (entitas yang tidak punya akuntabilitas pubik)
yang walaupun feasible namun selama ini dianggap tidak bankable karena tak mempunyai agunan memadai.
SAK ETAP menawarkan kemudahan dalam hal penyederhanaan
pembuatan dan penyajian laporan keuangan bagi pelaku UMKM
dibandingkan dengan acuan yang jauh lebih kompleks dalam PSAK,
standar akuntansi yang ditawarkan pun disesuaikan dengan lingkup dan
jenis transaksi UMKM. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar pelaku
dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan ekonomis
kedepannya.
c. Karakteristik Kualitatif Informasi dalam Laporan Keuangan SAK
ETAP
Karakteristik Kualitatif Informasi dalam Laporan Keuangan berdasarkan
SAK ETAP (IAI, 2009 )
1) Dapat dipahami
2) Relevan
3) Materialitas
4) Keandalan
5) Substansi
Mengungguli bentuk
6) Pertimbangan Sehat
7) Kelengkapan
8) Dapat Dibandingkan
9) Tepat Waktu
10) Keseimbangan antara
Biaya dan Manfaat
d. Penyajian Laporan Keuangan SAK ETAP
SAK ETAP menjelaskan penyajian laporan keuangan secara wajar kedalam
sub bagian, sebagai berikut (IAI, 2009):
a. Penyajian Wajar
Penyajian wajar mensyaratkan penyajian jujur atas pengaruh transaksi,
peristiwa dan kondisi lain yang sesuai dengan definisi dan kriteria
pengakuan aset, kewajiban, penghasilan dan beban.
b. Kepatuhan Terhadap SAK ETAP
Entitas yang laporan keuangannya mematuhi SAK ETAP harus
laporan keuangan.
c. Kelangsungan usaha
Pada saat menyusun laporan keuangan, manajemen entitas yang
menggunakan SAK ETAP membuat penilaian atas kemampuan entitas
melanjutkan kelangsungan usahanya.
d. Frekuensi Pelaporan
Entitas menyajikan secara lengkap laporan keuangan, termasuk
infromasi komparatif minimum satu tahun sekali.
e. Penyajian yang Konsisten
Penyajian dan klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan antar
periode harus konsisten kecuali jika terjadi perubahan yang signifikan
atas sifat operasi entitas.
f. Informasi Komparatif
Informasi harus diungkapkan secara komparatif dengan periode
sebelumnya kecuali dinyatakan lain oleh SAK ETAP.
g. Materialitas dan Agregasi
Pos-pos yang material disajikan secara terpisah dalam laporan
keuangan sedangkan yang tidak material digabungkan dengan jumlah
yang memiliki sifat atau fungsi yang sejenis
h. Laporan Keuangan Lengkap
Laporan keuangan entitas meliputi :
a) Neraca
c) Laporan perubahan ekuitas yang juga menunjukan:
i. Seluruh perubahan dalam ekuitas, atau
ii. Perubahan ekuitas selain perubahan yang timbul dari transaksi
dengan pengusaha dalam kapasitasnya sebagai pengusaha;
d) Laporan arus kas
e) Catatan atas laporan keuangan yang berisi ringkasan kebijakan
akuntansi yang signifikan dan informasi penjelasan lainnya.
9) Identifikasi Laporan Keuangan
Identifikasi semua komponen secara jelas dan jika laporan keuangan
merupakan komponen dari laporan lain, maka laporan keuangan harus
dibedakan dari informasi lain dalam laporan tersebut.
e. Perbedaan SAK umum dan SAK ETAP
Terdapat beberapa perbedaan di antara kedua standar tersebut yang mana,
dalam beberapa hal, SAK ETAP memberikan banyak kemudahan bagi
perusahaan dibandingkan dengan PSAK yang memiliki ketentuan pelaporan
yang lebih kompleks (www.iaiglobal.or.id, diakses tanggal 27 September
2016).
Perbedaan pertama yaitu segi pengguna standar akuntansinya. Dalam buku
SAK ETAP (IAI, 2009), dijelaskan bahwa standar ini dimaksudkan untuk
digunakan oleh entitas tanpa akuntabilitas publik yang merupakan entitas yang
tidak memiliki akuntabilitas publik signifikan dan tidak menerbitkan laporan
keuangan untuk tujuan umum bagi pengguna eksternal. Adapun bagi entitas
berdasarkan PSAK yang telah berlaku. Walaupun demikian, entitas yang
memiliki akuntabilitas publik signifikan dapat menggunakan SAK ETAP jika
otoritas berwenang membuat regulasi mengizinkan penerapan SAK ETAP.
Perbedaan kedua dapat dilihat dari jumlah standar, format laporan
keuangan, dan tingkat kerumitan. SAK ETAP merupakan acuan dan aturan
yang lebih pendek, singkat, dan ringkas dibandingkan PSAK, yang apabila
dibandingkan secara kasat mata hal ini dapat dilihat dari ketebalan buku SAK
ETAP yang hanya sekitar seratus halaman dengan menyajikan 30 bab.
Sementara Standar Akuntansi Keuangan Indonesia revisi tahun 2009 sendiri
terdiri dari 59 PSAK bagi perlakuan akuntansi yang berbeda-beda. Bertujuan
untuk meringankan proses pencatatan akuntansi yang dilakukan oleh
perusahaan, SAK ETAP dibuat secara lebih jauh sederhana dengan
dihapuskannya beberapa pos-pos akuntansi yang seharusnya ada dalam laporan
keuangan berdasarkan PSAK. Selain itu, standar bagi transaksi-transaksi yang
sekiranya tidak timbul dalam perusahaan dengan skala usaha kecil dan
menengah juga dihapuskan.
Selain itu terdapat perbedaan lebih lanjut mengenai perbandingan PSAK
dengan SAK ETAP dalam beberapa perlakuan akuntansi dapat dilihat dalam
lampiran 2, halaman 124.
3. Technology Acceptance Model (TAM)
Beberapa model penelitian telah dilakukan untuk menganalisis dan
memahami faktor-faktor yang mempengaruhi diterimanya penggunaan
referensi hasil riset di bidang teknologi informasi adalah seperti Theory of Reasoned Action (TRA), Theory of Planed Behaviour (TPB), dan TAM yang dikembangkan oleh Davis et aldalam Jogiyanto (2007) merupakan salah satu
model penelitian yang banyak digunakan dalam penelitian teknologi
informasi, karena model penelitian ini lebih sederhana dan mudah diterapkan.
TAM merupakan pengembangan TRA dan memprediksi penerimaan
pengguna terhadap teknologi. TAM percaya bahwa penggunaan sistem
informasi dapat meningkatkan kinerja seseorang atau organisasi, serta
mempermudah pemakainya dalam menyelesaikan pekerjaan (Dasgupta,
2002). Menurut Davis dalam Jogiyanto (2007) TAM adalah sebuah teori yang
dirancang untuk menjelaskan bagaimana pengguna mengerti dan
menggunakan sebuah teknologi informasi. TAM menggunakan TRA dari
Fishbein dan Ajzen yang digunakan untuk melihat bagaimana tingkat adopsi
responden dalam menerima teknologi informasi. Menurut Davis (1989)
seperti yang dikutip oleh Wijaya (2005:39), tujuan utama TAM adalah untuk
memberikan dasar untuk penelusuran pengaruh faktor eksternal terhadap
kepercayaan, sikap, dan tujuan pengguna. TAM menganggap bahwa 2
keyakinan individual, yaitu persepsi manfaat (perceived usefulness) dan persepsi kemudahan penggunaan (perceived easy of use), adalah pengaruh utama untuk perilaku penerimaan komputer.
Wijaya (2005:39) menyatakan bahwa TAM mendeskripsikan terdapat
dua faktor yang secara dominan mempengaruhi integrasi teknologi. Faktor
faktor kedua adalah persepsi pengguna terhadap kemudahan penggunaan
teknologi. Kedua faktor tersebut mempengaruhi kemauan untuk
memanfaatkan teknologi. Selanjutnya kemauan untuk memanfaatkan
teknologi akan mempengaruhi penggunaan teknologi yang sesungguhnya.
Pada umumnya penguna teknologi akan memiliki persepsi positif terhadap
teknologi yang disediakan. Persepsi negatif akan muncul sebagai dampak dari
penggunaan teknologi tersebut. Artinya persepsi negatif berkembang setelah
pengguna pernah mencoba teknologi tersebut atau pengguna berpengalaman
buruk terhadap penggunaan teknologi tersebut. Sehingga model TAM dapat
digunakan sebagai dasar untuk menentukan upaya-upaya yang diperlukan
untuk mendorong kemauan menggunakan teknologi.
Menurut Jogiyanto (2007), persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use) terhadap sebuah informasi menunjukkan sejauh mana seseorang percaya bahwa menggunakan suastu informasi tertentu dengan mudah, bebas
atau tidak diperlukan usaha apapun. Sedangkan kegunaan adalah nilai fungsi
dari suatu benda atau informasi yang dapat membantu memudahkan,
memperingan, dan mempunyai makna atau arti dari hal tersebut (Rahmat,
2003:85)
Minat penggunaan system atau teknologi berhubungan dengan cara
perusahaan merencanakan dan mengatur sistem informasi dalam mencapai
manfaat potensial dan efektif (Croteau dan Bergeron, 1992). Sistem informasi
diterapkan sesuai dengan strategi bisnis. Oleh karenanya, perusahaan dapat
bisnisnya. Persepsi tentang kemudahan dalam menggunakan sistem informasi
merupakan faktor yang dominan untuk menjelaskan persepsi dari manfaat dan
penggunaan suatu sistem. Persepsi tentang manfaat mempunyai pengaruh
yang kuat terhadap penggunaan sistem. Pemanfaatan sistem berhubungan
dengan perilaku menggunakan sistem tersebut untuk menyelesaikan tugas.
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa konstruk kegunaan
persepsian (perceived usefulness) mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap penggunaan sistem informasi (misalnya Davis, 1989; Chau, 1996;
Igbaria et al., 1997; Sun, 2003) Penelitian-penelitian sebelumnya juga
menunjukkan bahwa kegunaan persepsian (perceived usefulness) merupakan konstruk yang paling banyak signifikan dan penting yang mempengaruhi
sikap (attitude), niat (behavioral intention), dan perilaku (behavior) di dalam menggunakan teknologi dibandingkan dengan konstruk lainnya. Sebaliknya,
penelitian Karahna dan Limayem pada tahun 2000 yang menggunakan
variabel karakteristik tugas dalam penelitiannya memperoleh hasil bahwa
penentu penggunaan sistem informasi dengan konstruk perceived usefulness
dan (perceived of ease use) berbeda untuk tugas-tugas yang berbeda.
4. Teori ERG (Existence-Relatednes-Growth)
Teori ERG dikemukakan oleh Clayton Alderfer seorang psikolog asal
Amerika Serikat, kelahiran 1 September 1940, dimana teori ini merupakan
simplifikasi dan pengembangan lebih lanjut dari teori hirarki kebutuhan
Abraham Maslow. Clayton Alderfer berpendapat bahwa manusia mempunyai
hubungan/relatedness, dan perkembangan/growth. (Siagian, 2004; dalam Soraya, 2016)
Ketiga kebutuhan pokok manusia ini diurai Aldelfer sebagai simplifikasi
teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow sebagai berikut:
a. Existence atau keberadaan adalah suatu kebutuhan akan tetap bisa hidup sesuai dengan tingkat kebutuhan tingkat rendah dari Maslow yaitu
meliputi kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman. Menurut
teori ERG, eksistensi seseorang merupakan kebutuhan yang mendasar
yang merupakan kebutuhan nyata setiap orang untuk mempertahankan
eksistensinya itu secara terhormat. Mempertahankan eksistensi bukan
hanya dapat terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, namun juga dapat
mempertahankan semua yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, antara lain
harta kekayaan, jabatan, status sosial, perusahaan dan lain-lain.
b. Relatedness atau hubungan mencakup kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Setiap orang ingin mengaitkan keberadaannya dengan
orang lain dan dengan lingkungannya. Dalam hal bisnis, kebutuhan
berinteraksi ditunjukkan adanya kerjasama bisnis antara para pengusaha.
Kerja sama tersebut dapat terjadi antara pengusaha dengan bank dalam hal
pemenuhan modal. Atau dapat berupa hubungan antara konsumen dan
supplier dalam hal pemenuhan pesanan atau jual beli. Hubungan baik yang
dibangun oleh sebuah usaha dengan semua mitranya dapat menjaga
eksistensi usaha tersebut.
pada keinginan seseorang untuk tumbuh dan berkembang, misalnya pada
peningkatan keterampilan dalam bidang pekerjaan atau profesi seseorang
yang memungkinkan meraih apa yang secara umum disebut sebagai
kemajuan dalam perjalanan hidup seseorang. Dalam kehidupan
organisasional, kebutuhan untuk meraih kemajuan tercermin pada
dorongan untuk mencapai prestasi sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Standar tersebut dapat berupa standar yang ditetapkannya sendiri atau
standar yang sudah berlaku secara umum dan harus ditaati.
Teori ERG juga mengungkapkan bahwa sebagai tambahan terhadap
proses kemajuan pemuasan juga proses pengurangan keputusan. Yaitu,
jika seseorang terus-menerus terhambat dalam usahanya untuk memenuhi
kebutuhan menyebabkan individu tersebut mengarahkan pada upaya
pengurangan karena menimbulkan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang
lebih rendah.
Penjelasan tentang teori ERG Aldefer menyediakan sarana yang
penting bagi manajer tentang perilaku. Jika diketahui bahwa tingkat
kebutuhan yang lebih tinggi dari seseorang bawahan misalnya,
pertumbuhan nampak terkendali, mungkin karena kebijaksanaan
perusahaan, maka hal ini harus menjadi perhatian utama manajer untuk
mencoba mengarahkan kembali upaya bawahan yang bersangkutan
memenuhi kebutuhan akan keterkaitan atau kebutuhan eksistensi. Teori
ERG Aldefer mengisyaratkan bahwa individu akan termotivasi untuk
kebutuhan.
Kebutuhan pemilik usaha akan eksistensi usaha, hubungan dengan
pihak lain, dan perkembangan usaha dapat dipenuhi dengan menerapkan
SAK ETAP (Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas
Publik).
5. Penerapan SAK Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP)
Menurut J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain, penerapan adalah
hal, cara atau hasil (Badudu & Zain, 1996:1487). Adapun menurut Lukman
Ali, penerapan adalah mempraktikan, memasangkan (Ali, 1995).
Kehadiran SAK ETAP dengan prinsip kesederhanaan seharusnya dapat
memudahkan UMKM dalam menyajikan laporan keuangan. SAK ETAP
diharapkan dapat memberi kebebasan dalam berbisnis, kebebasan
berinvestasi, dan membangun ekonomi kerakyatan berbasis UMKM bagi
Indonesia. Apabila SAK ETAP diterapkan dengan baik, pihak UMKM akan
terbantu dalam menyusun laporan keuangan baku yang merupakan bahan
pertimbangan atau mata rantai dalam proses pengambilan keputusan yang
sangat dibutuhkan pelaku bisnis, sekaligus berfungsi sebagai perwujudan
pertanggungjawaban dari manajemen dalam menjalankan usahanya secara
profesional. Dengan diterapkannya SAK ETAP dalam perusahaan, UMKM
tentu akan memiliki data (keterangan) akurat yang tentunya sangat berguna
bagi pelaku UMKM dalam upaya lebih meningkatkan produktivitas,
efektivitas dan efisiensi usaha.
IAI menyatakan bahwa SAK ETAP, bukan SAK UKM, bertujuan untuk
menciptakan fleksibilitas dalam penerapannya. SAK ETAP merupakan
standar akuntansi keuangan yang berdiri sendiri dan tidak mengacu pada
PSAK umum, sebagian besar menggunakan konsep biaya historis, mengatur
transaksi yang umum dilakukan oleh UKM, bentuk pengaturan lebih
sederhana dalam hal pengukuran, pengakuan, penyajian, dan pengungkapan,
dan relative tidak berubah selama beberapa tahun (Ahalik, 2015:18).
Studi terhadap penerapan SAK memberikan bukti bahwa Standar
Akuntansi yang dijadikan pedoman dalam penyusunan laporan keuangan
memberatkan bagi UKM (Wahdini & Suhairi, 2006). Dalam penelitian
Wahdini dan Suhairi (2006) studi yang sama juga pernah dilakukan di
beberapa negara, dan menyimpulkan bahwa Standar Akuntansi yang
dijadikan pedoman dalam penyusunan laporan keuangan memberatkan bagi
UKM (Williams, Chen, & Tearney, 1989; Knutson & Hendry, 1985).
Sekalipun memberatkan, penelitian tentang jenis informasi akuntansi
yang disajikan dan digunakan oleh perusahaan kecil di Australia
mengungkapkan bahwa informasi akuntansi utama yang banyak disiapkan
dan digunakan perusahaan kecil adalah informasi yang diharuskan menurut
undang-undang (statutory), yaitu neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, dan laporan arus kas (Homes & Nicholls, 1989).
Standar akuntansi keuangan tidak lepas dari perihal informasi
akuntansi, di mana standar keuangan keuangan merupakan tata cara formal
mendefinisikan informasi akuntansi sebagai informasi kuantitatif tentang
entitas ekonomi yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan ekonomi
dalam menentukan pilihan-pilihan diantara alternatif-alternatif tindakan.
Kekurangan informasi akuntansi dalam manajemen perusahaan dapat
membahayakan perusahaan kecil. Kondisi keuangan yang memburuk dan
kekurangan catatan akuntansi akan membatasi akses untuk memperoleh
informasi yang diperlukan, sehingga akan menyebabkan kegagalan
perusahaan (Haswell dan Holmes, 1989; dalam Astuti, 2007).
Tarmizi (2013) mengukur penerapan SAK ETAP menggunakan 3
indikator, yaitu akuntabilitas, tujuan dan kelengkapan informasi sesuai SAK
ETAP. Menurut Eni Minarni (2014) implementasi SAK ETAP dapat diukur
dengan 7 indikator terkait pemahaman pengukuran, pengungkapan dan
penyajian akun-akun yang tercantum dalam SAK ETAP, yaitu: (1)
penyajian laporan keuangan dengan menghilangkan pos-pos yang diatur
dalam SAK-ETAP, (2) Proses penyajian laporan laba/rugi tanpa harus
menyajikan laba/rugi komprehensif, (3) Proses pengungkapan modal, (4)
Proses penyajian arus kas dengan menggunakan metode tidak langsung, (5)
proses pengukuran properti investasi dengan menggunakan biaya, (6) proses
pengakuan dan pengukuran aset tidak berwujud, (7) pembebanan biaya
pinjaman langsung dibebankan.
Sedangkan Supadmi (2015) mengukur implementasi SAK ETAP
dengan 6 indikator yang diadopsi dari pedoman SAK ETAP yang disusun
SAK ETAP, (2) Tidak mengakui aset dan kewajiban jika tidak diijinkan
oleh SAK ETAP, (3) Mereklasifikasi pos-pos yang sebelumnya
menggunakan SAK yang berlaku umum menjadi SAK ETAP, (4)
Menerapakan pengukuran aset dan kewajiban yang diakui sesuai SAK
ETAP, (5) SAK ETAP membantu pengontrolan masuk dan keluar keuangan
perusahaan, (6) SAK ETAP memberi kemudahan dalam penyajian laporan
keuangan perusahaan.
SAK ETAP merupakan standar akuntansi keuangan yang
diperuntukkan oleh entitas tanpa akuntabilitas publik, salah satunya ialah
UMKM. Sehingga, dengan kata lain, penerapan SAK ETAP adalah tindakan
pelaksanaan atau pemanfaatan keterampilan pengetahuan baru di bidang
akuntansi keuangan (dalam hal ini SAK ETAP) untuk suatu kegunaan
ataupun tujuan khusus perusahaan.
6. Persepsi Pengusaha UMKM
Sesuai dengan perkembangan UMKM dalam melaporkan laporan
keuangannya, kini telah dikeluarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas
Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP). Penerapan standar akuntansi ini
diharapkan dapat memberi gambaran kinerja manajemen UKM di masa lalu
dan prospek di masa depan, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan baik
oleh pengurus maupun oleh anggota UKM dan pihak eksternal yang memiliki
kepentingan lain yang berhubungan dengan UKM. Sejak diberlakukannya
SAK ETAP, persepsi dari berbagai pihak muncul sebagai tanggapan atas
(kebermanfaatan) adanya standar yang baru (Supadmi, 2015). Pada dasarnya,
sebuah perubahan sistem yang mampu memberikan kegunaan pada
penggunanya maka sistem tersebut akan diterima dengan baik dan begitu pula
sebaliknya, apabila sistem tersebut tidak bermanfaat atau menyulitkan maka
akan ditinggalkan oleh penggunanya (Robbins, 2002). Wibowo (2006)
mengatakan bahwa persepsi kemudahan penggunaan sebuah teknologi
didefiniskan sebagai suatu ukuran dimana seseorang percaya bahwa sebuah
informasi dengan mudah dapat dipahami dan digunakan. Fitakurokkmah
(2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa persepsi kegunaan dan
persepsi kemudahan penggunaan berpengaruh positif dalam penggunaan
SAK ETAP oleh BPR di Malang Raya.
Beberapa penelitian tentang penerapan PSAK No.30 mengenai
perlakuan akuntansi sewa guna usaha aktiva tetap dan pengaruhnya pada
neraca dan laporan laba rugi perusahaan oleh Ria (2008) dan penerimaan
suatu sistem baru atas dasar penerimaan konsumen terhadap penggunaan
teknologi yang telah dilakukan melalui perluasan teori Technology Acceptance Model (TAM). TAM yang pertama kali diperkenalkan oleh Davis (1989) mengemukan bahwa persepsi konsumen atas Persepsi Kebergunaan
(Perceived of Usefullness) dan Persepsi Kemudahan Penggunaan (Perceived Easy of Used) adalah faktor utama yang mempengaruhi segi penggunaan atau pengadopsian teknologi. Wibowo (2006) mengatakan bahwa persepsi
kemudahan penggunaan sebuah teknologi didefiniskan sebagai suatu ukuran